Rabu, 10 Januari 2024

ilmu kalam 1

Al  Adl, : bahwa Allah adalah Maha Adil. 
Al Ba’ts:  (kebangkitan) adalah keluarnya orang-orang mati dari kubur mereka setelah 
jasad mereka yang hancur dimakan tanah dikembalikan seperti semula. 
Al Hasyr: adalah dikumpulkannya para hamba ke suatu tempat setelah dibangkitkan  
Al Haudl:  adalah telaga yang telah Allah sediakan di dalamnya minuman bagi 
orang-orang  surga. Mereka meminum darinya sebelum masuk surga setelah 
selamat melewati jembatan shirath 
Al Imamah,: bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat 
sebagai penerus risalah kenabian. 
Al Ma'ad,: bahwa akan terjadinya hari kebangkitan. 
Al Mizan: seperti timbangan yang ada di dunia, memiliki batang, tiang dan dua neraca; satu 
neraca untuk kebaikan dan satu neraca untuk keburukan. 
al-Hanifiyat al-Samhat, ( ΔΤϤδϟ΍ ΔϴϔϴϨΤϟ΍):  yakni sikap toleran, terbuka, dan inklusif. 
Al-Kautsar:  bisa berarti  kebaikan yang banyak atau berarti nama sungai di surga atau nama 
telaga di surga bagi Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam 
al-Tahkim: (arbitrase)  yakni mengangkat Kitab Al Qur’an diatas tombak. 
An Nubuwwah,: bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai 
pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia 
Asy`ariyah: adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. 
At Tauhid: bahwa Allah adalah Maha Esa. 
Barzakh: Alam kubur 
Bayt Lahm;  tempat dilahirkannya Nabi Isa al-Masih bin Maryam 
Dajjal:  manusia dari anak turun Nabi Adam, riwayat yang kuat dia berasal dari Bani Israil  
Dzira:  hasta  
Free will, freedom of willingness atau freedom of action,: yaitu kebebasan untuk 
berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. 
--   169 
  
Hisab:  diperlihatkannya amal perbuatan para hamba kepada mereka  
Ilahiyat:  masalah yang berkaitan dengan ketuhanan 
Ilmu Kalam: adalah ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan 
menggunakan argumentasi yang rasional sebagai bukti  kebenaran al-Qur’an dan 
hadis 
Imam Mahdi:  seorang keturunan ahlul bait yang namanya sama dengan nama Nabi 
Muhammad dan nama ayahnya juga sama yaitu Abdullah  
Isra’: (perjalanan di malam hari) perjalanan Nabi di waktu malam hari dari Masjid Al-
Haram di Mekah menuju Masjid Al-Aqsha di Palestina dalam waktu relatif 
singkat. 
 Jabara:  yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. 
Khawarij: secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khawaarij, secara harfiah berarti mereka 
yang keluar. 
Kiamat:  hari dibangkitkan manusia dari alam kubur untuk digiring ke padang makhsyar 
dan mempertanggung jawabkan semua amal ibadahnya (hisab). Sebagian ulama 
mendefinisikan hari kiamat dengan hancurnya dunia ini secara total tidak ada lagi 
kehidupan 
Maturidiyah: merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama aliran itu 
dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al Maturidi 
Mauqif: Fase yang akan dilalui oleh makhluk setelah dibangkitkan kembali 
Mi’raj: (alat untuk naik atau tangga) naiknya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi 
wasallam, dari Masjid Al-Aqsha ke langit sampai Sidratul Muntaha, terus sampai 
ke tempat yang paling tinggi untuk menerima wahyu dari Allah subhanahu wa 
ta’ala 
Murji`ah: adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa 
yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak 
Nadzara:  melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan merenungkan 
Neraka:  adalah tempat yang telah Allah siapkan untuk menyiksa orang-orang kafir, siksaan yang 
tiada berhenti untuk selamanya 
Nububiyah: hubungan yang memperhatikan antara Allah dengan makhluk 
Qadariyah: suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh 
Tuhan. 
Ruhuniyat:  kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan alam metafisik seperti 
malaikat, jin, iblis, setan, roh dan lain sebagainya 
Sakaratul maut: adalah rasa sakit yang menyerang jiwa dan menjalar keseluruh 
bagian jiwa sehingga tidak akan ada lagi satu pun bagian jiwa yang  
terbebas dari rasa sakit itu  
Shirath:  jembatan lebar yang terbentang di atas neraka Jahannam dan dilewati oleh manusia 
dan jin. 
Sidratulmuntaha: pohon besar yang sangat indah sehingga tidak ada seorangpun yang 
mampu menyifatinya (menjelaskan keindahannya secara detail), dikerumuni 
kupu-kupu dari emas. Akarnya di langit ke enam dan menjulang tinggi hingga ke 
langit ke tujuh, Rasulullah melihatnya ketika beliau berada di langit ke tujuh. 
Surga: adalah tempat kenikmatan dan keselamatan yang kekal dan abadi 
Syafa’at: meminta kebaikan dari yang lain untuk orang lain. Dalam hal ini orang yang memberikan 
syafa’at memohon kebaikan kepada Allah untuk orang lain bukan untuk dirinya sendiri 
Syi’ah: Adalah bentuk pendek dari kalimat Syi`ah Ali yaitu : 0rang-orang yang mengaku 
pengikut/partai Ali bin Abi Thalib ra. 
Tadabbara: dalam arti merenungkan sebagaimana terdapat dalam beberapa ayat 
Thur Saina’; tempat Nabi Musa mendengar kalâm Allah yang ‘azali (yang bukan huruf, 
suara maupun bahasa). 
Tiberia: danau yang ada di palestina 
wurud dukhul : melewati shirath lalu masuk ke neraka 
wurud murur: mendatangi shirath dengan melewati di atas udaranya 
Ya’juj wa Ma’juj: manusia dari keturunan Nabi Adam yang berasal dari dua kabilah, 
mereka semua adalah orang-orang kafir  
 

Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupakan penjabaran inti atas 
ilmu kalam atau ilmu teologi Islam berupa ketauhidan, bahkan seluruh ajaran agama Islam. 
Sila berikutnya dari sila kedua sampai kelima Pancasila merupakan petunjuk untuk 
membumikan atau melaksanakan atas pokok-pokok ajaran ilmu kalam atau teologi Islam. 
Oleh karenanya, Ajaran Islam tidak bertentangan sama sekali dengan Pancasila. Sehingga 
tidak berlebihan jika kita berkeyakinan bahwa Pancasila adalah Islam dan Islam adalah 
Pancasila. Menurut Nurcholish, Pancasila dipandang sebagai kesamaan pandang (kalimatun 
Sawa’) bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa yang beraneka macam suku, ras, 
agama, dan kepercayaan atau keyakinan. Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa 
merupakan kalimatun Sawâ’ atau teologi universal. Karenanya, menurut Nurcholish, dalam 
kehidupan pluralitas beragama yang diikat dalam satu bangsa ini, perlu dikembangkan sikap 
keberagamaan yang, al-hanifiyah al-samhah, (ȓȨɮȸɦȄȓʊɘʊɳݰݍȄ), yakni sikap toleran, terbuka, 
dan inklusif. 
 
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan 
menggunakan argumentasi yang rasional atau sesuai dengan pemahaman akal manusia. Kitab 
Suci Al-Quran menegaskan bahwa fondasi agama dan iman adalah pemikiran logis. Al-Quran 
selalu menekankan agar manusia beriman dengan menggunakan pikiran. Dalam pandangan 
Al-Quran, taklid belum dapat dikatakan cukup untuk mengimani dan memahami keyakinan-
keyakinan (akidah) pokoknya. Karena itu, manusia harus melakukan telaah atau investigasi 
rasional atas prinsip-prinsip dasar dan akidah-akidah agama. 
 
Ilmu Kalam merupakan salah satu ilmu Islam, sebuah disiplin rasional dan logis. Ilmu 
kalam merupakan sebuah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah 
pokok Islam (ushuluddin). Ilmu Kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya 
membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut. 
Di masa lalu, juga disebut ushuluddin atau 'ilmu at-tauhid wash shifat. Ilmu ini menjelaskan 
iman dan akidah Islam, membahasnya dari segala aspeknya, dan memaparkan alasan-alasan 
untuk memperkuatnya. Namun demikian, di zaman sekarang, teologi Islam tersebut kurang 
mampu membumi karena hanya pembahasan yang bersifat samawy (langit). Oleh karena itu, 
teologi Islam juga harus dibumikan secara sosial yaitu yang memuat tentang ketuhanan, yang 
bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan, bahkan bagi alam semesta. Teologi Islam harus 
memberikan sumbangan pada dunia, karena itu harus aktif dalam berbagai kehidupan nyata 
yang bersifat duniawi. 
 

1. Pengertian Ilmu Kalam 
a. Pengertian Secara Etimologi (Bahasa) 
Secara etimologis ilmu adalah suatu pengetahuan dan kalam yaitu : perkataan atau 
percakapan. Kalam yang dimaksud bukan pembicaraan dalam pengertian sehari-hari, 
melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan 
logika. Maka ciri utama ilmu kalam ialah rasionalitas. 
b. Pengertian Secara Etimologi  
1) Menurut Musthafa Abdul Raziq 

Sesungguhnya ilmu ini berdasarkan argumentasi-argumentasi rasional yang 
berkaitan dengan keimanan dengan metode analisa.  
2) Menurut Al Farabi 

Ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta 
eksistensi semua yang mungkin (makhluk) mulai dari penciptaan hingga 
kebangkitan berlandaskan doktrin Islam. 
3) Menurut Ibnu Khaldun 

Ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang 
akidah imani berdasarkan dalil-dalil rasional. 
 
4) Menurut TM. Hasby ash-Shidiqy  
Ilmu tauhid/ kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara 
menetapkan akidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, 
baik dalil itu naqli, aqli, maupun dalil wijdani (perasaan yang halus) 
Jadi Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah 
ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran 
dan disertai alasan-alasan yang rasional. 
2. Nama-Nama Ilmu Kalam dan Sebab Penamaanya 
a. Ilmu Kalam 
Membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil aqliyah dari 
permasalahan sifat kalam bagi Allah. Ada beberapa alasan dinamai dengan Ilmu 
Kalam, di antaranya : 
1) Sebagian para ulama ketika menjelaskan berbagai persoalan dalam hal-hal   
 akidah Islam itu dengan  ilmu kalam, untuk membedakan dengan yang  
 biasa digunakan oleh para filosof.  
2) Para ulama menyebuttkan metodenya itu dengan sebutan al-kalam, sehingga  
 mereka disebut ahlul kalam, sedang para filosof dapat disebut ahli mantiq. 
3) Pada abad ke 2 H, ada persoalan yang menggoncangkan umat Islam yaitu  
 tentang persoalan kalamullah. Apakah al-Qur’an itu diciptakan atau bukan,  
 baru (hadits) atau terdahulu (qodim). 
b. Ilmu Ushuluddin 
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada akidah atau keyakinan Allah Swt.. 
Atau yang membahas pokok-pokok dalil Agama. 
c. Ilmu Tauhid  
Disebut ilmu tauhid karena membahas ke-Esaan Allah Swt.. baik menyangkut dzat, 
sifat dan perbuatan. 
d. Fiqh Al Akbar  
Menurut Abu Hanifah hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi menjadi 
dua yaitu fiqh al akbar (pokok-pokok agama) dan fiqh al asghar (membahas hal-hal 
yang berkaitan dengan masalah muamalah) 
e. Teologi Islam  
Teologi Islam merupakan istilah yang diambil dari bahasa Inggris, theology yakni 
ilmu yang membahas masalah ketuhanan. Ilmu kalam disebut juga Ilmu Teologi 
karena Teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya.  
3. Ruang Lingkup Ilmu Kalam 
Ruang lingkup permasalahan atau pokok permasalahan Ilmu Kalam menurut Hasan Al 
Banna, imeliputi persoalan-persoalan sebagai berikut : 
a. Ilahiyyah 
Ilahiyyah adalah masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Aspek yang 
diperdebatkan antara lain: 
1) Sifat-sifat Tuhan 
2) Qudrat dan Iradat Tuhan 
3) Persoalan kemauan bebas manusia 
4) Masalah  Al Qur’an, apakah makhluk atau tidak  
b. Nubuwwah  
Nubuwwah adalah hubungan yang memperhatikan antara Allah dengan makhluk, di 
dalam hal ini membicarakan tentang hal-hal sebagai berikut: 
1) Utusan-utusan Tuhan atau petugas-petugas yang telah di tetapkan Tuhan 
melakukan pekerjaan tertentu yaitu Malaikat. 
2) Wahyu yang disampaikan Tuhan sendiri kepada para Rasul-Nya baik secara 
langsung maupun dengan perantara Malaikat. 
3) Para Rasul itu sendiri yang menerima perintah dari Allah untuk menyampaikan 
ajarannya kepada manusia. 
c. Ruhiyyah  
Ruhiyyah adalah kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan alam metafisik 
seperti malaikat, jin, iblis, setan, roh dan lain sebagainya. 
d. Sam’iyyah  
Sam’iyyah adalah persoalan-persoalan yang berkenaan dengan kehidupan sesudah 
mati yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 
1) Kebangkitan manusia kembali di akhirat 
2) Hari perhitungan 
3) Persoalan shirat (jembatan) 
4) Persoalan yang berhubungan dengan tempat pembalasan yaitu surga atau neraka 
4. Peranan Dalil dalam  Ilmu Kalam 
a. Naqli 
AlQur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud 
Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan akidah Islamiyah 
uang lainnya. Para mutakallim tidak pernah lepas dari nash-nash Al-Qur’an dan 
hadits ketika berbicara masalah ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu 
kalam mencoba memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian 
menjadikannya sebagai penguat argumentasi/ logika mereka. 
Sebagai sumber ilmu kalam. Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan 
dengan masalah ketuhanan, di antaranya : QS. AlIkhlas: 3-4, QS Al-Furqan: 59, QS 
An Nisa: 125, QS Al Anbiya: 92. (Silahkan lihat al-Qur’an dan Tafsir) 
 
Hadits Nabi Saw. yang membicarakan masalah masalah yang dibahas dalam ilmu 
kalam. Di antaranya adalah hadits Nabi Saw. yang menjelaskan tentang hakikat 
keimanan. 
Dari Syayyidina Umar ra berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah 
Saw. suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju 
yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas- 
  
bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang 
mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan 
kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Saw.) seraya berkata:“ Ya 
Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah 
Saw.:“ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang 
disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, 
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji 
jika mampu“, kemudian dia berkata:“ anda benar“. Kami semua heran, dia 
yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi:“ 
Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda:“ Engkau beriman 
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan 
hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, 
kemudian dia berkata:“anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi:“ 
Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau 
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak 
melihatnya maka Dia melihat engkau. Kemudian dia berkata:“Beritahukan 
aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”.Beliau bersabda:“Yang ditanya 
tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Dia berkata:“ Beritahukan aku tentang 
tanda-tandanya“, beliau bersabda:“ Jika seorang hamba melahirkan tuannya 
dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan 
penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan 
bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. 
Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya:“Tahukah engkau siapa yang 
bertanya?”. aku berkata:“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau 
bersabda:“ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) 
mengajarkan agama kalian “.(HR. Muslim) 
b. Aqli 
  Kata ‘aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, di antaranya: Addiyah 
(denda), alhikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). 
Secara terminologi, ‘aql digunakan untuk dua pengertian: 
1) Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang 
bisa ada dan bisa hilang. 
 
  
2) Akal adalah insting yang diciptakan Allah kemudian diberi muatan tertentu 
berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas 
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia. 
Ajaran Islam mendorong penggunaan akal untuk digunakan dalam kaitanya dengan 
hal yang bersifat positif/ baik, seperti Allah menciptakanya untuk manusia. Beberapa 
dalil yang menjadi dasar penggunaan akal adalah 
1) Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat 
menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah.  
2) Allah mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Seperti, celaan Allah 
terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya. Seperti dalam QS. Al-
Mulk: 10. (Silahkan lihat al-Qur’an dan Tafsir) 
3) Adanya ungkapan dalam Al Qur’an yang mendorong penggunaan akal.  
Ungkapan Al Qur’an tersebut misalnya,  tadabbur, tafakkur, ta’aqqul dan 
lainnya. Maka kalimat seperti la’allakum tatafakkaruun (mudah-mudahan kamu 
berfikir), atau afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak berakal), dan jugaafalaa 
yatadabbaruunal Qur’an (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi 
kandungan Al Qur’an) dan lainnya. 
4) Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan 
mengikuti kebenaran, seperti QS. Al Mujadalah: 11. (Silahkan lihat al-Qur’an 
dan Tafsir) 
5) Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal. 
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam 
Ahmad bin Hanbal, Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari 
Rasulullah, sedang taqlid menerima apa adanya tanpa mengetahui dasar dan latar 
belakangnya. Seperti dalam QS. AlBaqarah: 170. (Silahkan lihat al-Qur’an dan 
Tafsir) 
5. Fungsi Ilmu Kalam 
a. Untuk menolak akidah yang sesat dengan berusaha menghindari tantangan-
tantangan dengan cara memberikan penjelasan duduk perkaranya timbul 
pertentangan itu, selanjutnya membuat suatu garis kritik sehat berdasarkan logika.  
b. Memberikan penguatan landasan keimanan umat Islam melalui pendekatan filosofis 
dan logis, sehingga kebenaran kebenarann Islam tidak saja dipahami secara 
dogmatis (diterima apa adanya) tetapi bisa juga dipaparkan secara rasional. 

  
c. Menopang dan menguatkan sistem nilai ajaran Islam yang terdiri atas tiga pokok, 
yaitu iman sebagai landasan akidah, Islam sebagai manifestasi syariat, ibadah, dan 
muamalah, serta ihsan sebagai aktualisasi akhlak. 
d. Menjawab problematika penyimpangan teologi agama lain yang dapat merusak 
akidah umat Islam, khususnya ketika Islam bersinggung dengan teologi agama lain 
dalam masyarakat yang heterogen (berbeda-beda). 
6. Hubungan Ilmu Kalam dengan Ilmu Lain 
a. Persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam, Ilmu TaSawuf dan Ilmu Filsafat 
 Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. 
Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan 
dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah 
alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan objek kajian taSawuf adalah 
Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari objeknya 
ketiga ilmu itu membahas tentang ketuhanan.  
Perbedaan antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu 
kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika (aqliyah landasan pemahaman yang 
cenderung menggunakan metode berfikir filosofis) dan argumentasi naqliyah yang 
berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama. Sementara filsafat adalah 
sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Filsafat 
menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal 
(mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mendalam) dan terikat logika. 
Sedangkan ilmu taSawuf mealalui penghayatan yang mendalam lewat hati (dzauq). 
b. Korelasi antara Ilmu Kalam dengan Filsafat, Tasawuf, dan Fiqih 
1) Ilmu Kalam dengan Filsafat 
a) Ilmu kalam merupakan bagian atau ruang lingkup dari terutama filsafat Islam 
karena persoalan-persoalan ketuhanan meluas yang dalam kenyataanya 
penggunaan dalil aqli melebihi dalil naqli. 
b) Filsafat dijadikan sebagai alat untuk membenarkan nash agama. Filsafat 
mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya 
diberikan wahyu sedangkan ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang 
keberadaan Tuhan dan sifat-sifatNya baru kemudian didukung oleh 
argumentasi akal. 

 
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah 
ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan 
disertai alasan-alasan yang rasional. 
Ilmu Kalam memiliki banyak nama, di antaranya: Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu 
Tauhid, Fiqh Al Akbar, Teologi Islam. 
Di antara objek kajian ilmu kalam adalah: Ilahiyyah, Nubuwwah, Ruhiyyah, Sam’iyyah 
Adapun fungsi ilmu kalam adalah: untuk menolak akidah yang sesat; 
Memberikan penguatan landasan keimanan umat Islam melalui pendekatan filosofis dan 
logis; menopang dan menguatkan sistem nilai ajaran Islam yang terdiri atas tiga pokok, 
yaitu iman, Islam , serta ihsan; dan menjawab problematika penyimpangan teologi agama 
lain yang dapat merusak akidah umat Islam,  
Ilmu Kalam juga memiliki keterikatan dengan ilmu lain, seperti: Filsafat, Tasawuf, Fiqih 
dan Ushul Fiqih 
 
 
--   
Pada masa Nabi Saw. umat Islam adalah umat yang satu, mereka satu akidah, satu 
syariah dan satu akhlaqul karimah karena jika ada sedikit perbedaan langsung ditanyakan 
kepada beliau dan bila terdapat perselisihan pendapat di antara mereka, maka hal tersebut 
dapat diatasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Pada masa 
pemerintahan Khulafaur Rasyidin mulailah adanya perselisihan. Awal mula adanya 
perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi) pada pemerintahan khalifah 
Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Dan awal adanya 
gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejak kekhalifahan Utsman bin Affan. 
 
Pada masa khalifah Utsman bin Affan dengan latar belakang kepentingan kelompok, 
yang mengarah pada terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan. 
Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, pada masa itu perpecahan di tubuh umat Islam 
terus berlanjut. Umat Islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abi 
Thalib yang menamakan dirinya kelompok syi’ah, dan yang kontra yang menamakan dirinya 
kelompok Khawarij. Akhirnya perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang Jamal 
yaitu perang antara Ali dengan Aisyah dan perang Siffin yaitu perang antara Khalifah Ali bin 
Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai 
aliran di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah, akhirnya 

1. Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam 
Pasca wafatnya Rasulullah Saw. kaum muslimin berkumpul di Saqifah bani Sa’adah 
untuk memilih khalifah pengganti Rasulullah Saw. Pertemuan tersebut dihadiri oleh dua 
kelompok besar, yaitu Anshar dan Muhajirin. Di antara pendukung kaum Anshar adalah 
Saad bin Ibadah, Qais bin Saad dan Habab bin Mundzir. Delegasi Anshar menginginkan 
agar khalifah dipilih dari golongan mereka. Menurutnya, golongan Anshar adalah orang-
orang yang membantu perjuangan Rasulullah Saw. dalam pengembangan dakwah Islam dari 
Madinah. Merekalah yang memberikan tempat bagi Rasulullah Saw. dan kaum muhajirin 
setelah pindah dari Makkah ke Madinah. 
 
  Sementara kaum Muhajirin yang diwakili oleh Abu Bakar Ash Shidiq ra, Umar bin 
Khattab ra dan Abu Ubaidah menginginkan agar khalifah dipilih dari partai mereka. Bagi 
mereka, orang pertama yang membantu perjuangan Rasulullah Saw., disamping itu, mereka 
masih kerabat dekat dengan Rasulullah Saw. Abu Bakar Ash Shidiq ra lebih memilih Abu 
Ubaidah atau Umar bin Khatab ra sebagai khalifah. Namun Umar dan Abu Ubaidah justru 
lebih mengedepankan Abu Bakar Ash Shiddiq ra dengan alasan karena beliau orang yang 
ditunjuk Rasulullah Saw. sebagai imam shalat ketika Beliau sakit. 
 
  Basyir bin Saad yang berasal dari suku Khazraj melihat bahwa perselisihan antara 
dua kubu tersebut jika dibiarkan dapat mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam. 
Untuk menghindari hal itu, ia angkat bicara dan menerangkan kepada para peserta sidang 
bahwa semua yang dilakkan kaum muslimin, baik dari partai Muhajirin ataupun Anshar 
hanyalah untuk mencari ridha Allah Swt.. Tidak layak jika kedua partai mengungkit-ungkit 
kebaikan dan keutamaan masing-masing demi kepentingan politik. Kemudian Basyir bin 
Saat membait Abu Bakar  Ash Shidiq ra. Sikap Basyir dikecam oleh Habban bin Mundzir 
dari kaum Anshar. Ia dianggap telah menyalahi kesepakatan Anshar untuk memilih khalifah 
dari partainya. Namun Basyir menjawab, Demi Allah tidak demikian. Saya membenci 
perselisihan dengan suku yang memang memiliki hak untuk menjadi khalifah. 
 
--    
  
Mayoritas suku Aus dari partai Anshar mengedepankan Saad bin Ibadah sebagai khalifah. 
Namun kemudian Asyad bin Khudair yang juga dari suku Aus berdiri membaiat Abu Bakar 
Ash Shidiq ra. Ia menyeru pada para hadirin untuk mengikuti jejaknya. Merekapun bangkit 
ikut membaiat dan memberikan dukungan pada Abu Bakar  Ash Shidiq ra kemudian terpilih 
sebagai Khalifah pertama umat Islam 
 
  Setelah Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq ra wafat segera digantikan Umar bin 
Khattab ra secara aklamasi dengan pemerintahan. Banyak kebijaksanaan Umar yang 
sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi, orang 
mengikutinya dengan patuh. Ketika meninggal, Umar bin Khattab ra digantikan oleh 
Utsman bin Affan ra, seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga 
pedagang Mekah yang cukup terkemuka, Utsman bin Affan ra  memiliki kemampuan 
administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan.  
  Kelemahan Utsman bin Affan ra yang mencolok dan mengakibatkan 
ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan 
keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. 
Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang menggunakan 
kesempatan untuk mengipas-ngipas guna memperoleh keuntungan pribadi. Di Mesir, 
penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab ra, yakni Amar bin Ash dengan 
Abdullah ibnu Sa'd, salah seorang keluarga Utsman, mengakibatkan pemberontakan. 
Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan Abdullah bin Saba’ berhasil 
membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai al Fitnatul Kubro 
(prahara besar) yang pertama.  
 
  Mayoritas sejarawan sependapat bahwa Abdullah bin Saba’ adalah pendeta Yahudi 
yang masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Ia membangun 
gerakan untuk menggulingkan kekhalifahan Usman dengan memanfaatkan kekisruhan 
politik yang sedang terjadi. Untuk mewujudkan misinya itu ia menggunakan figur Ali bin 
Abi Thalib ra sebagai alat untuk menebar fitnah di kalangan umat muslim. Ia melacarkan 
propaganda dengan melebih-lebihkan dan mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib ra. Ia 
juga merendahkan Khalifah terdahulu. Usaha Abdulah bin Saba’ tersebut mendapatkan 
perhatian yang besar, terutama dari kota-kota besar seperti Mekah, Madinah, Basrah.  
 
  
Ketika Utsman bin Affan ra wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku 
menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau ditentang 
oleh beberapa pihak, antara lain oleh Thalhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri 
Rasulullah Saw. Penentangan timbul terutama karena Ali bin Abi Thalib ra dianggap tidak 
tegas dalam mengadili pembunuh Utsman bin Affan ra.  
 
  Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra perpecahan memuncak, 
kemudian terjadilah perang Jamal yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah ra 
dan perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu 
Sofyan. Tentara gabungan pimpinan Thalhah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. 
Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah ra yang tertangkap kemudian dikirimkan 
kembali ke Madinah. 
 
  Tentangan dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih 
keluarga Utsman bin Affan ra. Dia menuntut Ali bin Abi Thalib ra agar segera mengadili 
para pembunuh khalifah ketiga itu. Sementara Ali bin Abi Thalib melihat bahwa situasi dan 
kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk menangkap dan mengadili pelaku 
pembunuhan khalifah Ustman. Perselisihan antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah 
akhirnya semakin meruncing. Muawiyah tetap bersikukuh pada pendiriannya, demikian 
juga dengan Ali bin Abi Thalib ra. Akhirnya, Muawiyah bin Abu Sufyan memutuskan 
untuk melawan Ali bin Abi Thalib ra dengan kekuatan militer. Terjadilah pertempuran 
hebat antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Hampir saja, 
pasukan Ali bin Abi Thalib ra dapat memenangkan pertempuran. Namun kemudian 
Muawiyah menawarkan perdamaian. Peristiwa itu disebut dengan altahkim (arbitrase)  
yakni mengangkat Kitab Al Qur’an diatas tombak. 
 
  Kedua belah pihak sepakat untuk bersama-sama (Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra dan 
Muawiyyah bin Abu Sofyan) meletakkan jabatan masing-masing. Tahkim ini dari pihak Ali 
bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa, dan pihak Muawiyyah bin Abu Sufyan diwakili 
oleh Amru bin Ash. Tahkim berujung dengan kericuhan, disebabkan oleh Amru bin Ash. 
Pengunduran Ali bin Abi Thalib dari Khalifah disetujui dan diterima oleh Amru bin Ash, 
dan ia menetapkan jabatan Khalifah pada Muawiyyah bin Abu Sufyan. 
 
  
Pendukung Ali bin Abi Thalib ra selanjutnya disebut dengan golongan Syiah. 
Kenyataannya, tidak semua pengikut Ali bin Abi Thalib ra menyetujui tahkim. Mereka 
menganggap bahwa tahkim hanyalah sekedar makar politik Muawiyah bin Abu Sufyan. 
Kelompok itu kemudian memisahkan diri dan membentuk partai baru yang disebut dengan 
golongan Khawarij. Golongan ini menganggap Ali bin Abi Thalib ra, Musa Al Asy'ari, 
Muawiyyah bin Abu Sufyan dan Amru bin Ash kafir dan harus dituntut. Mereka itu mesti 
dibunuh.Konsep kafir yang dianut oleh Khawarij berkembang menjadi faham bahwa orang 
yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.  
 
  Dari peristiwa perang Siffin tersebut timbul berbagai aliran di kalangan umat Islam, 
masing-masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya yaitu tiga 
golongan yakni golongan Khawarij adalah suatu aliran pengikut Ali bin Abi Thalib ra yang 
keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap putusan Ali bin Abi Thalib 
ra yang menerima tahkim dalam perang Siffin pada tahun 37H/648 M, dengan kelompok 
bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan Khilafah. 
 
  Golongan Murji`ah adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang 
yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat 
kelak. Golongan ketiga adalah syi`ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan 
keluarganya. Sedangakan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr ibn al-Ash, 
Abu Musa al-Asy`ari. Yang menerima tahkim adalah kafir, sebagaimana dijelaskan dalam 
al-Qur`an   
Perpecahan dan bergolong-golong dalam Islam, sejak dahulu telah dinyatakan oleh Nabi 
Muhammad Saw. sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya : 

“Bahwasanya bani israil telah terpecah menjadi 72 millah (faham/aliran) dan akan 
terpecah umatku menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat 
bertanya :”Siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Nabi menjawab : yang satu itu ialah 
orang yang beri’tiqad sebagaimana i’tiqadku dan i’tiqad sahabat-sahabatku.”  (HR. 
Tirmizi) 
 
  
Sejak awal, Rasulullah Saw. sudah menggambarkan akan terjadi perbedaan ummat Islam 
dalam memahami maupun menjalankan ajaran Islam. Hal ini sebagaimana terdapat dalam 
hadits-hadits yang bertalian dengan akan adanya firqah-firqah yang berselisih faham dalam 
lingkkungan ummat Islam. Hadits tersebut diantaranya : 

“Bahwasannya siapa yang hidup (lama) diantaramu niscaya akan melihat perselisihan 
(faham) yang banyak. Ketika itu berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah 
Khulafaur-Rasyidin yang diberi hidayat. Pegang teguh itu dan gigitlah dengan gigi 
gerahammu”. (HR. Abu Dawud). 
 
 Masalah akidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat Islam. Setelah 
peristiwa tahkim, dan masa pemerintahan dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah tumbuh 
berbagai aliran teologi seperti murji’ah, qadariah, jabariah dan Mu’tazilah. Kemudian, 
lahirlah imam Abu Mansur Al Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah 
batil. Mereka membentuk aliran Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan Al Asy'ari 
yang telah keluar dari kelompok Mu’tazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya 
yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqaha dan ahli hadits. Dia dan 
pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya'irah dan kemudian dikenal dengan Ahlus Sunnah 
wal Jamaah (suni). 
 
2. Faktor-faktor Timbulnya Aliran-Aliran Ilmu Kalam 
a. Faktor dari dalam (intern) 
1) Dorongan dan pemahaman Al-Qur’an 
 Al Qur’an dalam konteks ayat-ayat yang menjelaskan bahwa orang orang-orang 
yang beriman kepada Allah adalah orang-orang yang berakal yang selalu merenungi 
ayat-ayat Nya. Beberapa contoh dari rincian ayat-ayat yang menganjurkan manusia 
untuk menggunakan akalnya, sebagaimana berikut ini. 
a) Nadzara, melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan merenungkan.Misalnya QS. 
Qaf: 6. (Silahkan lihat al-Qur’an dan Tafsir) 
b) Tadabbara, dalam arti merenungkan sebagaimana terdapat dalam beberapa ayat, 
antara lain QS. Shad:  29 (Silahkan lihat al-Qur’an dan Tafsir) 
  
2) Perbedaan pemahaman terhadap dalil Al Qur’an dan hadits 
 Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al Qur’an, sehingga berbeda 
dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadits yang 
shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadits yang shahih. 
Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional 
belaka tanpa merujuk kepada hadits. 
3) Persoalan Politik 
 Faktor politik dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran di lingkungan 
Umat Islam, khususnya pada awal perkembangannya. Maka persoalan imamah 
(khilafah), menjadi persolan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, 
bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam. Permasalahan ini dimulai ketika ketika 
Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan 
yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang 
paling benar. 
4) Peristiwa Majlis Tahkim 
 Setelah peristiwa majelis tahkim muncul  aliran-aliran pemikiran dalam Islam yakni 
Khawarij, syi’ah dan Murjiah yang memiliki doktrin-doktrin yang berbeda-beda. 
 
b. Faktor dari luar (ekstern)  
1) Pengaruh pemikiran agama selain Islam.   
Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Kristen 
dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh Islam, 
mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya dalam 
ajaran-ajaran Islam. 
 
2) Penggunaan filsafat dalam membela akidah Islam. 
Golongan Islam terutama golongan Mu’tazilah memusatkan perhatiannya untuk 
penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. 
mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya  kalau mereka sendiri tidak 
mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya. Sehingga 
kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya. 
 
3) Keinginan Mutakallimin mengimbangi pemikiran filsafat 
--   
Allah Swt. berfirman: 
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah seraya dengan 
berjama’ah dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu 
ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, 
sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, … .” (QS. Ali ‘Imran: 103). 
Belajarlah dari buah perang shifin dan jamal. Bukankah peperangan  dan perpecahan di 
antar muslim, hanya menghasilkan kerapuhan dan kemudlaratan? 
 
 
Islam merupakan agama yang rahmatan li al-‘Alamin. Dibawa oleh seorang Nabi yang amin. 
Islam memberi penerangan bagi umat manusia dan menuntunnya kepada jalan yang lurus. 
Ajaran Islam ini kemudian dengan begitu cepat menyebar keseluruh penjuru dunia. Hal ini 
menimbulkan rasa iri dan dengki dari umat lain, terutama dari kalangan Yahudi. Mereka 
berupaya menebar kerusakan dan konspirasi untuk merusak Islam dengan berbagai macam 
cara. Mereka berusaha membunuh Nabi dan menebarkan fitnah di tengah umat Islam. 
 

Pasca wafatnya Rasulullah, Islam terus berkembang ke berbagai wilayah Arab dan bahkan ke 
luar Arab. Kekuasaan kaum muslimin semakin luas. Di saat itu pula, berbagai 
persekongkolan muncul, terutama dari kaum Yahudi. Adalah Abdullah Ibn Saba’, tokoh 
Yahudi yang masuk Islam pada masa Utsman bin Affan. Ia mendapatkan celah kesempatan 
untuk melaksanakan rencananya memperkeruh suasana kedamaian pada kaum muslimin, juga 
turut menyebarkan fitnah di kalangan umat Islam. Pada masa Utsman muncul propaganda 
dan konspirasi dari Yahudi membisikkan kepada sebagian kaum muslim bahwa Sayyidina Ali 
merupakan orang yang sah menduduki khalifah. Maka munculah orang-orang yang 
mengatakan bahwa Sayyidina Ali dan kedua putranya, Hasan dan Husain serta keturunan 
Husain ra. adalah orang yang lebih berhak memegang khalifahan Islam, daripada yang lain. 
Kekhalifahan adalah hak mereka berdua. Propaganda ini menemukan tanah yang sangat 
subur di al-Mada’in, ibu kota Imperium Persia, terlebih bahwa Husain telah menikahi putri 
Kaisar Persia, Yazdajir yang singgasananya dihancurkan oleh pasukan Islam yang telah 
menang. Hal inilah yang barang kali merupakan sebab terpusatnya para Imam Syi’ah, sejak 
imam keempat, pada keturunan Imam Husain dan disingkirkannya keturunan Imam Hasan. 
 
 
1. Aliran Khawarij 
a. Pengertian 
Khawarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khawaarij, secara harfiah berarti mereka 
yang keluar. Istilah khawarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam 
Islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya 
karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim 
(arbitrase) dalam Perang Shiffin (37 H/657 M). Pertama kali muncul pada pertengahan abad 
ke-7, berpusat di daerah yang kini terletak di bagian negara Irak bagian selatan.  
 
b. Tokoh  
1) Abdullah bin Wahhab  Ar Rasyidi 
2) Urwah bin Hudair 
3) Mustarid bin Sa'ad 
4) Hausarah  Al Asadi 
5) Quraib bin Maruah 
6) Nafi' bin Al Azraq 
7) Abdullah bin Basyir 
8) Najdah bin Amir Al Hanafi 
 
c. Doktrin Ajaran  
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa 
besar adalah kafir. Kemudian, kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni 
perang antara Aisyah, Thalhah, dan dan Zubair melawan khalifah Ali bin Abi Thalib 
dihukumi kafir. Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh mereka berempat tetapi 
hanya berhasil membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Menurut mereka Khalifah harus 
dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad Saw. dan tidak mesti 
keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi khalifah 
asalkan mampu memimpin dengan benar.  
1) Doktrin Akidah 
a) Setiap ummat Muhammad Saw. yang terus menerus melakukan dosa besar hingga  
 matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka. 
b) Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara  
 tersebut khianat dan zalim. 
c) Amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa  
 besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak dan  
karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah 
yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya. 
d) Kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan,  
apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala 
tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya 
dihukumkan kafir. 
e) Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan  
 orang yang jahat harus masuk neraka). 
f) Amar ma’ruf nahi munkar 
g) Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.  
h) Qur’an adalah makhluk. 
i) Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an  yang bersifat mutasyabihat (samar). 
 

  
2) Doktrin Politik 
a) Mengakui kekhalifahan Abu Bakar As Shiddiq radan Umar bin Khattab ra,  
 sedangkan Usman bin Affan radan Ali bin Abi Thalib ra, juga orang-orang yang ikut  
 dalam perang Jamal, dipandang telah berdosa. 
b) Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan  
setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul  istilah kafir 
dalam faham kaum khawarij. 
c) Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh  
 karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy. 
d) Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan  
 kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya. 
e) Mereka menerima Al Qur’an  sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber  
 hukum Islam.  
f) Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib ra adalah sah, tetapi setelah terjadi peristiwa  
tahkimtahun ke-7 dan kekhalifahannya Usman bin Affan ra dianggap telah 
menyeleweng. 
g) Mu’awiyah dan Amr bin Ash dan Abu Musa AlAsy’ari juga dianggap menyeleweng  
 dan telah menjadi kafir. 
 
d. Sekte  
Menurut Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa ada dua golongan utama dalam aliran khawarij, 
yakni : 
1) Sekte Al-Azariqoh 
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki 
pengikut sebanyak 20. 000 orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi Ibnu al-Azraq 
digelari  Amirul mukminin.  
Dalam pandangan teologisnya, al-Azariqoh tidak menggunakan term/istilah kafir, tetapi 
menggunakan term/istilah musyrik atau politeis. Musyrik adalah semua orang yang 
tidak sepaham dengan ajaran mereka, termasuk mereka yang tidak berhijrah ke 
daerahnya. 
2) Sekte Al-Ibadiah 
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte khawarij. 
Nama golongan ini diambil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. 
memisahkan diri dari golongan al-Azariqoh. 
 
  
Di antara faham sekte Al-Ibadiah adalah : 
a) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula 
musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan 
dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak 
sefaham dihukumkan haram. 
b) Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan muwahid, bukan mukmin. 
Muslim yang melakukan dosa besar tidak berarti sudah keluar dari Islam. 
 
 
2. Aliran Syi’ah 
a. Pengertian 
Istilah Syi'ah berasal dari kata bahasa Arab syi’ah. Adalah bentuk pendek dari kalimat 
Syi`ah Ali yaitu : pengikut/partai Ali bin Abi Thalib ra. Adapun menurut terminologi 
syi’ah adalah mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara 
para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, 
demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.  
 
Aliran Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali bin Abi Thalib ra  dan 
Mu’awiyah bin Abu Sofyan yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, 
sebagai respon atas penerimaan Ali bin Abi Thalib ra terhadap tahkim  yang ditawarkan 
Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pasukan Ali bin Abi Thalib ra terpecah menjadi dua, satu 
kelompok mendukung sikap Ali bin Abi Thalib ra, kelak  di sebut Syi’ah dan kelompok 
lain menolak sikap Ali bin Abi Thalib ra, kelak di sebut Khawarij. 
b. Tokoh  
1) Abu Dzar Al Ghiffari 
2) Miqad bin Al Aswad  
3) Ammar bin Yasir 
c. Doktrin Ajaran  
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan 
furu'uddin (masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin: 
1) At-Tauhid bahwa Allah Swt.. adalah Maha Esa. 
2) Al-Adl, bahwa Allah Swt.. adalah Maha Adil. 
3) An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai 
pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia 
--   33 
  
4) Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin 
umat sebagai penerus risalah kenabian. 
5) Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan. 
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang 
menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk 
menciptakan Takdir. 
I’tikadnya tentang kenabian ialah: 
1) Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000. 
2) Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad Saw. 
3) Nabi Muhammad Saw. suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling 
utama dari seluruh Nabi yang ada. 
4) Ahlul Baitnya, yaitu Ali bin Abi Thalib ra, Fatimah binti Muhammad ra, Hasan bin 
Ali, Husain bin Ali dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci. 
5) Al Qur’an adalah mukjizat kekal Nabi Muhammad Saw. 
d. Sekte  
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada 
sampai sekarang, yakni: 
 
1) Dua Belas Imam 
Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (12 Imam); dinamakan demikian sebab 
mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada 
dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka 
yaitu: 
a) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin 
b) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan Al Mujtaba 
c) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain Asy Syahid 
d) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin 
e) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad Al Baqir 
f) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq 
g) Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa Al Kadzim 
h) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali Ar Ridha 
i)   Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad Al Jawad atau 
Muhammad At Taqi 
j)   Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali Al Hadi 
--   
 
Detektifi fisika 
Air dan minyak memang tidak bisa menyatu, meski sama-sama cair. Tetapi keduanya sama 
sama bermanfaat bagi manusia, dalam kapasitasnya yang berbeda.  
Begitupun anda, memang dalam beragama, bermadzhab, banyak hal yang tidak bisa disatukan. 
Namun, pasti ada kalimah sawa, titik penyatu, tunggal ika, antara satu dengan yang lainnya. 
Allah Swt berfirman: 
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang 
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan 
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan 
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah 
kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada 
Allah)" 
(QS.Ali Imran: 64) 
Jika dengan ahl kitab saja masih ada titik temu yang bisa diusahakan, apalagi dengan sesama muslim 
bukan? 
 
 
--   
Saat ini, nama Syi’ah hanya dipergunakan bagi setiap dan semua orang yang 
menjadikan Sayyidina Ali berikut keluarganya sebagai pemimpin secara turun temurun. 
Dalam Syiah Dua Belas Imam ini, Imam ada 12 dan nama-nama mereka adalah: 1) 
Imam Ali ibn Abi Talib; 2) Imam Hasan ibn Ali; 3) Imam Husain ibn Ali; 4) Imam Ali 
ibn Husain; 5) Imam Muhammad ibn Ali; 6) Imam Ja’far ibn Muhammad; 7) Imam 
Musa ibn Ja’far; 8) Imam Ali ibn Musa; 9) Imam Muhammad ibn Ali; 10) Imam Ali ibn 
Muhammad; 11) Imam Hasan ibn Ali; 12) Imam Mahdi. Di dalam sekte syi’ah itsna 
’Asyariah dikenal konsep Usul Ad-Din. konsep ini menjadi akar atau fondasi 
pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima akar, yaitu: 1) Tauhid (the 
devine unity); 2) Keadilan (the devine justice); 3) Nubuwwah (apostleship); 4) Ma’ad 
(the last day); dan 5) Imamah (the devine guidance).  
Kedua  Khawarij. Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab kharaja 
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berkenaan dengan pengertian 
etimologis ini, orang yang memberontak imam yang sah disebut sebagai khawarij. 
Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang 
memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat Islam.  Doktrin-doktrin khawarij, 
di antaranya adalah: 1) Khalifah atau imam harus di pilih secara bebas oleh seluruh umat 
Islam; 2) Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap 
orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat; 3) Khalifah di 
pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat 
islam. Ia harus dijatuhkan bahkan di bunuh kalau melakukan kezaliman; 4) Khalifah 
sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, 
Utsman ra. Di anggap telah menyeleweng; 4) Seorang yang berdosa besar tidak lagi 
disebut Muslim sehingga harus di bunuh; 5) Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik 
harus masuk surga sedangkan orang yang jahat masuk ke dalam neraka). 
--   
 
Manusia adalah ciptaan Tuhan, dan Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang 
mutlak. Persoalan yang sering dihadapi oleh para pemikir teologi Islam sejak dulu ialah 
apakah perbuatan manusia itu sepenuhnya terikat pada kekuasaan dan kehendak mutlak 
Tuhan ataukah manusia diberi kebebasan untuk berbuat sesuatu. Di antara mereka ada yang 
berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan menentukan cara 
hidupnya sesuai dengan yang diinginkannya. Itulah paham yang dianut oleh kaum Qadariyah. 
Nama Qadariyah sendiri diambil dari paham yang mereka anut, yaitu bahwa manusia 
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya. Dalam telogi modern, 
paham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau freedom of 
action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. 
Di antara mereka ada pula yang berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa manusia itu 
tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri. Semua kehendak dan 
perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhanlah yang mempunyai 
kekuasaan dan kehendak yang mutlak. Itulah pendapat kaum Jabbariyah. Nama Jabbariyah 
diambil dari kata jabara, yang mengandung arti memaksa. 
  

kaum Jabbariyah mempunyai paham bahwa manusia melakukan perbuatan-perbuatannya itu 
dalam keadaan terpaksa. Perbuatan yang dilakukannya bukan kehendaknya sendiri, tetapi 
kehendak Tuhan. Dalam teologi modern, paham Jabbariyah ini dikenal dengan nama 
fatalisme atau predestination, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu telah ditentukan 
dari sejak azali oleh qadha dan qadar Tuhan. 
 
 
1. Aliran Jabbariyah  
a. Pengertian 
Secara bahasa Jabbariyah berasal dari kata  ˴ή˴Β˴Ο yang mengandung pengertian memaksa. 
Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama Jabbariyah berasal dari kata jabara 
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Jabara yang 
berarti memeksa atau terpaksa. Sedangkan secara istilah, Jabbariyah adalah menolak 
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. 
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa 
(majbur). Menurut Al-Syahrastany, Al-Jabr berarti maniadakan perbuatan manusia 
dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut 
paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Oleh karena itu manusia tidak dapat diberi 
sifat mampu (Isthitha’ah). Manusia, sebagai dikatakan Jahm ibn Saffan, terpaksa atas 
perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (Qudrah), kehendak (Iradah), dan pilihan 
bebas (al-Ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana 
perbuatan tuhan atas benda-benda mati. Jadi, nama Jabbariyah diambil dari kata Jabara 
yang mengandung arti terpaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa 
manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah bahasa Ingris 
paham ini disebut Fatalism atau Predistintion. Perbuatan manusia telah ditentukan sejak 
semula oleh Qodha dan Qhadar tuhan demikian Harun Nasution menyimpulkan.  
 
Menurut catatan sejarah, paham Jabbariyah ini diduga telah ada sejak sebalum agama 
Islam datang kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir 
sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang 
sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari 
mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata tunduk 
dan patuh kepada kehendak Tuhan. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak 
--   42 
  
melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka 
sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari 
mereka banyak tergantung pada kehendak nature. Hal ini membawa mereka pada sikap 
fatalistis. 
 
Faham al-jabr, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam 
oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari 
Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran Jabbariyah sama dengan Jahm yang 
mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari 
Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam 
perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahan 131 
H. 
 
Sebenarnya benih-benih faham al-jabr sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. 
Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini; 
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah 
takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, 
agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai 
takdir. 
2. Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. 
Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” 
Menndengan ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah 
berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman 
kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, 
hukuman dera karena mengggunakan dalil Takdir Tuhan. 
3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai Perang Siffin ditanya oleh seorang tua tentang 
qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu 
bertanya, “Bila perjalanan (menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan 
qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa 
qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan 
amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, 
batallah pahala dan siksa, gugur  
--   43 
  
pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku 
dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik. 
4. Pada pemerintahan Bani Umayyah. Pandangan tentang al-jabr semakin mencuat 
ke permukaan. Abdullah bin Abas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras 
kepada orang-orang  Syiria yang diduga berfaham Jabbariyah.  
 
Paparan di atas telah memberikan informasi, bahwa benih-benih faham 
Jabbariyah telah lahir semenjak Rosulullah masih hidup dan berkembang semakin 
kompleks setelah beliau wafat bahkan ketika pemerintahan Umar dan Ali yang meluas 
hingga masa kekuasaan Bani Umayyah. Al-Syahrastany membagi Jabbariyah jadi Dua 
kelompok yaitu yang Ekstrim dan yang moderat. Kelompok Jabbariyah ekstrim atau juga 
bisa disebut al-Jabbariyah al-Khalish ia tidak menetapkan perbuatan kepada manusia 
sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan perbuatan itu. 
Sedangkan Jabbariyah Moderat atau juga bisa disebut al-Jabbariyah al-Mutawashithoh 
ia mengakui bahwa manusia mempunyai andil atas perbuatannya oleh karena itu pada 
penulis Mu’tazilah memasukan Aliran Ahlu Sunnah dan Asy’ariyah mempunyai konsep 
Kaasb, sehingga menolak dikatakan sebagai berpaham Jabbariyah.  Menurut sebagian 
pakar dikalangan sebagian masyarakat termasuk Bangsa Arab terdapat sekelompok 
masyarakat yang merasa lemah dan tidak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran 
hidup ang ditimbulkan oleh suasana padang pasir. Kepasrahan mereka terhadap 
keperkasaan alam ini juga menjadi presenden munculnya aliran-aliran Jabbariyah. 
Jabbariyah dipimpin oleh seorang yang bernama Jaham bin Safwan, ia berasal 
dari Khurasan. Awalnya, Jaham adalah seorang penulis yang memberontak pada 
pemerintahan Bani Umayyah. Karena sosoknya yang sangat rajin dan sungguh-sungguh 
dalam bertabligh, ia menjadi terkenal. Namun ada satu fatwanya yang keliru dan 
bertentangan dengan ulama-ulama lainnya. Ia mengatakan bahwa manusia tidak 
memiliki kendali atas perbuatannya. Madzhabnya ini dinamakan madzhab Jabbariyah, 
yakni madzhab orang-orang yang berkeyakinan bahwa manusia tidak perlu usaha. Pada 
awalnya, keyakinan kaum Jabbariyah hampir sama dengan pemikiran kaum Ahlussunnah 
wal Jama’ah, yaitu berpendapat bahwa semua yang terjadi di alam ini adalah ciptaan 
Tuhan, tetapi kaum Jabariyyah yang dipimpin oleh Jaham bin Safwan ini sangat radikal, 
sangat keterlaluan, sehingga ia berpendapat bahwa jika kita meninggalkan shalat atau 
berbuat kejahatan maka tidak masalah, karena hal tersebut dijalankan oleh Tuhan. 
--   44 
  
Menurut Abu Zahra berpendapat bahwa aliran Jabbariyah ini mucul sejak zaman 
sahabat dan Bani Umayyah. Dasar munculnya paham Jabbariyah ini ada tiga perkara, 
yakni: 
1. Adanya paham Qadariyah: pada pembahasan aliran Qadariyah sangat bertolak 
belakang dengan aliran Jabbariyah ini, manusia itu memiliki kemerdekaan dalam 
menentukan kehendak dan perbuatan bahkan Tuhan tidak melakuakan apa-apa 
terhadap perbuatan manusia. Tiap-tiap orang adalah pencipta dari segala sesuatu 
perbuatannya sendiri. 
2. Pemahaman agamanya tanpa ada keberanian menakwilkan, dan 
3. Adanya aliran salaf yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga 
dapat menyerupakan sifat Allah dengan Manusia 
 
Golongan Jabbariyah muncul pertama kali bertempat di Khurasan (persia) pada tahun 70 
H. Aliran ini dipimpin oleh Jahm bin Shafwan yang mula-mula mengatakan bahwa 
manusia tidak mempunyai kebebasan apapun dan semua perbuatan manusia ditentukan 
oleh Allah Swt.. Dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Hal ini didasarkan 
misal pada QS. al-Shafat ayat 96 yang berarti, “Padahal Allah-lah yang menciptakan 
kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Paham Jabbariyah dinisbathkan kepada Jahm bin 
Shafwan karena itu kaum yang menganut aliran ini dinamkan dengan Kaum Jahmiyah, 
yang diambil dari nama pemimpinnya. Namun, ada juga pendapat bahwa yang 
mempelopori paham Jabbariyah ini adalah Al-Ja'ad bin Dirham (orang yang pertama kali 
mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan menghilangkan sifat-sifat Allah). 
 
b. Tokoh 
1) Jahm bin Shafwan 
2) AlJa’ad Bin Dirham 
3) Husain Bin Muhammad Al Najjar  
4) Dirar Ibn ‘Amr 
 
c. Doktrin Ajaran 
1) Aliran ekstrim.  
Tokoh aliran ekstrim adalah Jahm bin Shofwan, dengan doktrin pokok adalah:  
a) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak 
mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.  
--   45 
  
b) Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.  
c) Iman adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep 
yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.  
d) Kalam Tuhan adalah makhluk 
e) Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia sehingga tidak disifati berbicara, 
mendengar, dan melihat. 
f) Allah tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak 
 
2) Aliran Moderat  
Jabbariyah moderat ini sangat berbeda dengan aliran Jabbariyah yang ekstrim. 
Jabbariyah moderat berpendapat dan mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan 
perbuatan manusia, baik dari perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi manusia 
memiliki bagian di dalamnya yakni tenaga yang diciptakan dalam diri manusia 
mempunyai efek dan tujuan untuk mewujudkan perbuatannya itu sendiri dan inilah yang 
disebut dengan faham Kasab. Adapun menurut faham Kasab manusia tidaklah majbur 
(dipaksa oleh Tuhan) dan tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak 
pula menjadi pencipta perbuatan sendiri, tetapi manusia memperoleh perbuatan itu dari 
sang pencipta dan yang diciptakan oleh-Nya. 
 
Tokoh aliran Jabbariyah dalam pemikiran moderat ini adalah Husain bin Muhammad al-
Najjar dia menyatakan pokok-pokok teologinya berikut ini: 
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia tetapi manusia mengambil bagian atau 
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu sendiri. Maka dari itu inilah yang 
dinamakan dengan Kasab. 
2. Tuhan itu tidak dapat dilihat di akhirat kelak, tetapi menurut al-Najjar Tuhan itu dapat 
saja memindahkan potensi hati (ma'rifat) pada mata, sehingga manusia sendiri dapat 
melihat Tuhan. 
 
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum 
atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori 
kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian 
hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang 
telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya. Dari makna ini, kita 
berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabbariyah 
--   46 
  
berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak 
kelemahan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar 
terlepas dari kesimpulan tersebut. Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi paham 
Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung maupun 
tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada 
Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun 
ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba. 
Secara garis besar, pokok ajaran Jabbariyah Moderat adalah sebagai berikut: 
a) Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi 
manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri 
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.  
b) Manusia tidak dipaksa dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia 
memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.  
c) Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. 
 
2. Aliran Qadariyah 
a. Pengertian 
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata  ˴έ˴Ϊ˴ϗ yang yaitu : kemampuan 
dan kekuatan. Secara terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa 
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa 
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau 
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian diatas, dapat 
dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan 
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. 
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa 
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan 
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. 
Seharusnya, Qadariyah ini sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang 
berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus 
maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat pada kaum sunni, yang 
percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin 
dalam Rosihon Anwar, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh 
lawan mereka dengan merujuk hadits yang menimbulkan kesan negatif bagi nama 
Qadariyah. Hadits tersebut berbunyi:  

 yaitu :: “Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.” 
Tentang kapan munculnya Qadariyah dalam Islam, tidak dapat diketahui secara 
pasti. Ada beberapa ahli teologi Islam yang menghubungkan faham Qadariyah ini 
dengan kaum Khawarij. Pemahaman mereka (kaum khawarij) tentang konsep iman, 
pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu 
sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Menurut Ahmad Amin seperti 
dikutip Abuddin Nata, berpendapat bahwa faham Qadariyah pertama sekali dimunculkan 
oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Sementara itu Ibnu Nabatah dalam 
kitabnya Syarh Al-Uyun, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali 
memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen 
kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan 
Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatan 
Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan. 
Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal 
yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun 
Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham 
fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, 
mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang 
ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Sehingga ketika faham Qadariyah dikembangkan, 
mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan Islam. Kedua, 
tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut faham 
Jabbariyah. Pemerintah menganggap faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan 
faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik 
kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat 
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan. Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 
H/689 M, dipimpin Oleh Ma’bad al-Jauhani al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa 
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).  
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan 
politik Bani Umayah yang dianggapnya kejam. Qadariyah berakar pada qadara yang 
dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Paham Qadariyah 
pada hakikatnya adalah sebagian dari paham Mu’tazilah, karena imam-imanya terdiri 
dari orang-orang Mu’tazilah. Hampir seluruh orang-orang Mu’tazilah memfatwakan 
--   48 
  
bahwa semua perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri, bukan oleh Allah 
Swt.. Mereka beranggapan bahwa Allah tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan 
manusia dan apa yang diketahui oleh Allah sebelumnya, tetapi Allah mengetahui setelah 
perbuatan itu sudah dilakukan oleh manusia. Jadi, Allah pada waktu sekarang tidak 
bekerja lagi karena kodrat-Nya telah diberikan kepada manusia, dan Allah hanya melihat 
dan memperhatikan saja. Jika manusia mengerjakan perbuatan yang baik maka ia akan 
diberikan tuhan sebaik-baiknya tetapi ia akan dihukum kalau qodrat yang diberikan allah 
kepadanya tidak dipakai menurut semestinya. 
 
Ada sebagian orang Qadariyah yang memfatwakan bahwa semua perbuatan manusia 
yang baik adalah tuhan yang menciptakan, tetapi perbuatan manusia yang buruk dan 
yang maksiat maka orang itu sendirilah yang menciptakannya, tidak ada sangkut pautnya 
dengan tuhan. Nabi Muhammad Saw telah mengatakan dalam sebuah hadits, jauh 
sebelum paham Qadariyah muncul, yang yaitu :: “dari Hudzaifah, beliau berkata: 
berkata rasulullah Saw, : bagi tiap-tiap umat ada majusinya. Majusi umat ini ialah 
mereka yang tidak percaya kepada takdir. Kalau mereka meninggal jangan diziarahi, 
kalau mereka sakit jangan dijenguk, mereka adalah “partai dajjal”, memang ada haq bagi 
tuhan mengaitkan mereka dengan dajjal.” Dalam memberi komentar hadits ini, Imam 
Nawawi berkata dalam syarah muslim: sebabnya mereka dicap majusi, karena mereka 
menetapkan dua khaliq (yang menjadikan). yang baik dijadikan Allah dan yang buruk 
dijadikan manusia, sebagai keadaan orang majusi berkata, bahwa yang baik dibuat oleh 
cahaya dan yang buruk diciptakan oleh kegelapan. 
 
Madzhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M. Tokoh utama madzhab 
Qadariyah adalah Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimashqi. Ma’bad pernah berguru 
pada Hasan al-Basri bersama Wasil ibn Atha’, jadi beliau termasuk tabi’in atau generasi 
kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ghailan seorang 
yang ahli dalam berpidato sehingga banyak orang yang tertarik dengannya. Kedua tokoh 
ini yang menyebarkan paham-paham Qadariyah. Kedua tokoh tersebut mati dibunuh, 
Ghailan dibunuh pada masa Hisham Ibn Abdul Malik (724-743 M), dibunuh dengan 
diberikan hukuman mati oleh Hisyam yang sebelumnya diadakan perdebatan antara 
Ghailan dan al-Awza’i. Ma’bad dibunuh karena dituduh terlibat dalam pemberontakan 
bersama dengan Abd al-Rahman al-As’at, Gubernur Sajistan dalam menentang 
--   49 
  
kekuasaan bani Ummayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj Ibn Yusuf al-Thaqafi 
(orang suruhan Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan), Ma’bad mati terbunuh tahun 80 H. 
Kedua tokoh golongan Qadariyah yaitu: Ma’bad al-Juhaini dan Ghailan al-Dimashqi 
yang menyebarkan paham-paham Qadariyah kepada umat Islam pada masa itu, sehingga 
mengalami perkembangan ke berbagai daerah terutama Iraq dan Iran. Ma’bad 
menyebarkan pahamnya di Iraq dalam waktu yang relatif singkat tetapi dengan hasil 
yang sangat gemilang. Banyak orang yang tertarik dan menganut pahamnya. Ghailan al-
Dimashqi melanjutkan penyebaran paham Qadariyah di Sham tepatnya di daerah 
Damashkus, sehingga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Namun sebelumnya 
masih mendapat tantangan dari Khalifah Umar Ibn Abd al-‘Azis. Banyak sekali pengikut 
dari paham ini sampai kedua tokoh tersebut wafat yang kemudian digantikan oleh para 
pengikut-pengikutnya. 
Dalam perkembangannya penganut paham Qadariyah adalah Mu’tazilah. Paham 
Mu’tazilah inilah yang menjadi penyambung ajaran Qadariyah, karena dilihat dari 
perkembangan pemikirannya mengalami kesamaan dari keduanya, walaupun terdapat 
sudut pandang yang membedakan secara spesifik. Menurut pandangan KH. Ach. 
Masduki, seorang tokoh NU yang pernah menjabat sebagai Wakil Rois ‘Am PWNU 
Jawa Timur, menyatakan bahwa paham dari golongan Qadariyah ini juga merupakan 
sebagian dari paham Mu’tazilah. Oleh karena itu golongan Qadariyah juga boleh 
dinamakan Mu’tazilah Qadariyah. 
 
b. Tokoh  
1) Ma’bad AlJuhani  
2) Ghailan Al Dimasyqi 
 
c. Doktrin Ajaran  
Menurut Ali Musthafa Al-Ghurabi menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah SWT. 
tealah menciptakan manusia yang menjadikan dirinya kekuatan agar dapat 
melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah member 
beban kepada manusia, namun ia tidak memberikan kekuatan kepada manusia, maka 
beban itu adalah sia-sia, sedangkan sifat kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal 
yang tidak boleh terjadi.” Barangsiapa beranggapan bahwa hamba-hamba Allah lah 
sendiri lah yang menciptakan kasab mereka sendiri maka ia adalah Qodariy 
(Qodariyyah). Seperti disebutkan oleh Abu Manshur al Baghdadi. Sebagaimana Kaum 
--   50 
  
Majusi yang meyakini adanya dua pencipta, yakni cahaya yang menciptakan kebaikan 
dan kegelapan yang menciptakan kejelekan, kaum Qodariyyah meyakini Allah hanya 
menciptakan kebaikan dan manusia lah yang menciptakan kejelekan. Kesamaan 
mereka terletak pada keyakian adanya dua pencipta.  Satu diyakini sebagai pencipta 
kebaikan dan satu nya lagi diyakini sebagai pencipta kejelekan. Walaupun mereka 
berbeda pada siapa mereka menisbatkan. 
 
Pemahaman tentang Qodariyah ini jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang 
sifat Al-Qudrat yang dimiliki oleh Allah karena pemahaman terhadap sifat Al-Qudrat 
ini lebih ditujukan upaya ma’rifat kepada Allah, sedangkan paham Qodariyah lebih di 
tujukan kepada Qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara 
Qudrat yang dimiliki manusia dengan Qudrat yang Qudrat yang dimiliki tuhan. 
Qudrat tuhan Adalah bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, Tunggal, tidak 
berbilang dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek kekuatan (Al-
Makburat), serta tidak berkhir dalam hubungannya dengan zat. Sedangkan qudrat 
manusia Adalah sementara, berproses, bertambah, dan berkurang, dapat hilang. 
Di antara ajaran paham Qadariyah adalah sebagai berikut: 
1. Manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-
perbuatannya yang baik maupun yang buruk atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. 
2. Manusia mempunyai istitho’ah atau daya yang menyebabkan ia berkuasa atas 
segala perbuatannya. Manusia melakukan segala atas kehendak dan kekuasaannya. 
Karena itu ia menerima pahala atas perbuatannya yang baik atau siksa atas 
perbuatannya yang buruk. 
3. Manusia sendirilah yang menetapkan perbuatannya yang baik dan yang buruk. 
Daya untuk mewujudkan perbuatan itu telah ada dalam dirinya sebelum ia 
mewujudkan perbuatannya. 
 
Ayat-ayat Al Qur’an yang mereka gunakan untuk mendukung ajaran mereka di 
antaranya: QS.  Al-Kahfi: 29, QS. Fushilat:46, dan  QS. An-Najm:39-41.  
 
Beberapa ayat al-Qur’an yang telah dipaparkan di atas secara tekstual mengandung 
pengertian bahwa manusia mempunyai daya dan kekuatan yang dominan, yaitu : 
memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak. Namun kebebasan tersebut akan 
memunculkan konsekuensi logis sebagai akibat dari tindakan yang telah dipilih atau 

Hidayatullah.com 
Suatu ketika, Imam asy-Syafi’i pernah berbeda pendapat dengan guru beliau (Imam 
Malik). Menurut Imam Malik, rizky itu datang tanpa sebab. Seseorang cukup 
bertawakkal kepada Allah Swt. Namun Imam as-Syafi’i berbeda pendapat dengan 
gurunya tersebut. Menurut beliau, jika seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, 
bagaimana mungkin akan mendapatkan makanan? 
Hingga suatu ketika, Imam as-Syafi’i tidak sengaja ia bertemu dengan orang tua yang 
memikul  banyak kurma. Imam as-Syafi’i pun menawarkan jasa untuk memikulkan 
kurma tersebut. Setelah sampai, ternyata imam as-Syafi’i diberikan hadiah kurma. 
Dengan senyum, imam as-Syafi’i menerima upah tersebut, lantas langsung menemui 
gurunya. Lalu beliau berikan kurma tersebut kepada gurunya, sambil memperkuat 
argument, bahwa rizki harus diusahakan. Namun kata  Imam Malik: “ nah, engkau telah 
membawakan kepadaku kurma, tanpa aku harus susah mencarinya”. 
Lalu Keduanyapun tersenyum.  

Rasulullah Saw bersabda: 
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka 
sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan 
rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan 
kembali sore harinya dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibn Majah, 
Ibn Hibban dan al-Hakam)  
Bukankah ini isyarat, bahwa anda harus berusaha seperti burung yang terbang di pagi 
hari, lalu tawakkal akan hasil dari usaha  yang dilakukannya. Lalu sudahkah anda 
berusaha dan bertwakkal kepada Allah Swt? 
 
Qadariyah itu sendiri berasal dari qadara yang memiliki dua pengertian yaitu berani 
memutuskan dan juga berani mempunyai kekuatan atau kemampuan. Menurut aliran 
Qadariyah manusia berkuasa terhadap perbuatan-perbuatannya sendiri. Manusialah yang 
mewujudkan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan 
merekalah pula yang melakukan dan menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan 
dan kemampuannya sendiri.  
Jabbariyah Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak 
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-
perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. 
sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik 
perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga 
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. 
Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Dalam faham kasab, manusia tidaklah 
majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang tidak 
pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan 
tuhan. Analisis tentang Jabariyah bermaksud mengaitkan iktiqad yang dipegangnya 
dengan realitas kehidupan manusia sebagai hamba. Kepasrahan kepada Tuhan atas segala 
usaha ataupun ikhtiar menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Tuhannnya 
sebagai pihak penentu. 
 

Jika anda menelusuri jejak karangan-karangan ulama klasik, maka anda akan 
menemukan karakter unik, di mana setiap akhir tulisan turots, diakhiri dengan wallahu 
a’lamu bis Shawab. Sungguh bentuk ketawadluan seorang ulama, yang mengakui akan 
kemungkinan ijtihadnya salah. Ada yang beranggapan bahwa karakter tersebut se irama 
dengan Murji’ah, yang mencoba menangguhkan dan mengembalikan semuanya kepada 
keputusan Allah Swt. di yaum al-Hisab, ketika ditanya tentang posisi mukmin yang berdosa 
besar. 
 
Berbeda dengan Mu’tazilah. Jika anda pernah mendengar kemajuan bany Abbasiyah 
dalam ilmu pengetahuan, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa di sana ada peran mu’tazilah, 
yang sangat mensyukuri anugerah dari akal pikiran, meski kemudian hal tersebut tercoreng 
oleh mihnah. Ketika ditanya tentang posisi orang mukmin yang berdosa besar, Mu’tazilah 
mengkategorikannya dengan istilah al-Manzilu baina al- Manzilatain. 
 
 
1. Aliran Murji’ah 
a. Pengertian 
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda 
atau menangguhkan. Aliran ini muncul pada abad 1 Hijriyah. Pembawa paham murji’ah 
adalah Gailan Ad Damsiqy. 

  
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian 
persoalan konflik politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib ra, Mu’awiyah bin Abi 
Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin 
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara 
ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut.  
Paham kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin 
selama masih beriman kepada Allah Swt. dan rasul-Nya. Doktrin aliran ini yang paling 
terkenal adalah: 


 yaitu :: “Tidak berbahaya dengan keimanan segala dosa sebagaimana tidak 
bermanfaat  dengan kekufuran segala ketaatan.” 
Menurut kaum Murji’ah selama seseorang itu beriman maka tidak akan berbahaya baginya 
perbuatan dosa apapun yang ia lakukan, mereka kembalikan ketentuannya kepada Allah. 
Sebagaimana seseorang yang tidak beriman tidak bermanfaat baginya segala ketaatan 
yang ia lakukan. Padadal jika kita telaah nash-nash al-Qur’an ataupun hadits banyak sekali 
terdapat ancaman bagi mereka yang berbuat maksiat atau dosa.   
 
b. Tokoh  
1) Abu Hasan AshShalihi 
2) Yunus bin AnNamiri 
3) Ubaid AlMuktaib 
4) Ghailan AdDimasyq 
5) Bisyar AlMarisi 
6) Muhammad bin Karram 
 
c. Doktrin Ajaran  
 Menurut  Harun Nasution, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu : 
1) Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib ra, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Amr bin 
Ash, dan Abu Musa AlAsy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah 
di hari kiamat kelak. Murji’ah tidak mau mengambil bagian untuk memutuskan 
penghakiman kepada orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut. 
2) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar, dan 
meyakini perbuatan dosanya tidak membahayakannya. 
--   59 
  
3) Meletakkan (pentingnya) iman dari amal. 
Menurut murji’ah, barang siapa yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasulnya, 
meninggalkan kewajiban dan melakukan dosa besar, maka ia tetap dikatakan mukmin. 
Kaum murji’ah juga menolak aliran syi’ah yang  mengharuskan beriman kepada imam. 
 
4) Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh 
ampunan dan rahmat dari Allah. 
Orang berdosa besar ada kemungkinan dihukum di neraka sesuai dengan besarnya dosa 
yang telah dilakukannya, atau ada kemungkinan bahwa ia juga diampuni berdasarkan 
rahmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada mereka. 
 
d. Sekte-sekte aliran Mur’jiah 
1) Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah 
kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya 
dosa yang dilakukan. Kelompok ini sebetulnya terdiri dari fuqaha dan ahl sunnah. 
 
2) Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa 
orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, 
tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang 
menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah 
menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan 
seorang mukmin yang sempurna imannya. 
 
2. Aliran Mu’tazilah 
a. Pengertian 
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H. Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tizal 
yang yaitu : memisahkan diri, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar 
Mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri 
dari gurunya, Hasan Al Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di 
setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi 
mereka. 
Versi lain, sebagaimana dituturkan oleh al-Baghdadi bahwa Washil dan Amr bin Ubaid 
bin Bab diusir oleh Hasan al-Bashri dari Majelisnya karena berselisih paham mengenai 
qadar dan kedudukan orang mu’min yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari 
--   60 
  
Hasan Bashri. Maka keduanya disebut muktazillah, karena memposisikan diri dari 
paham mayoritas umat Islam. 
 
Ahmad Amin, memiliki teori yang berbedaa. Menurutnya, penggunaan kata Mu’tazilah 
sudah digunakan 100 tahun sebelum terjadinya perdebatan antara Washil bin Atha dan 
Hasan Bashri. Yaitu diberikan kepada orang-orang yang tidak ingin mengintervensi 
pertikaian politik yang terjadi pada masa Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. 
 
b. Tokoh  
1) Washil bin Atha’  
2) Abu Huzail Al Allaf  
3) Al Nazzam  
4) Abu Hasyim Al Jubba’i 
 
c. Doktrin Ajaran  
1) Al Tauhid (keesaan Allah) 
Meyakini sepenuhnya hanya Allah Swt. yang Maha Esa. Tidak ada yang serupa dengan-
Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini yang paling murni sehingga mereka senang 
disebut Ahlut Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah 
Swt., mereka meniadakan segala sifat Allah, yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat 
yang berdiri di luar Dzat-Nya  Kaum Mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan 
dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Dzat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha 
Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Dzat-Nya. Mu’tazilah juga meyakini bahwa 
Al Qur’an adalah makhluk. 
 
Pemahaman inilah yang berakibat fatal menyebabkan terjadinya peristiwa mihnah. 
Peristiwa yang menelan banyak korban dari kalangan ulama yang tidak sependapat 
dengan mu’tazillah, bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Di antara ulama yang pernah 
dihukum adalah Imam Ahmad bin Hanbal. 
 
Peristiwa mihnah pula yang pada akhirnya menjatuhkan pamor dari mu’tazillah, 
sehingga banyak masyarakat yang tadinya simpati menjadi tidak menyukai muktazillah. 
Bahkan seorang murid agung muktazillah, yaitu Abu Hasan al-Asy’ari kemudian 
menyatakan diri keluar dari muktazillah. 
--   61 
  
 
2) Al ‘Adl (keadlilan tuhan) 
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Allah Swt. tidak 
menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat 
mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan 
qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Allah Swt. pada diri manusia itu. Allah tidak 
memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai 
kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari 
keburukan-keburukan yang dilarangNya. 
 
Dengan pemahaman demikian, menurut mereka tidaklah adil bagi Allah Swt. seandainya 
Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu 
dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang 
berbuat buruk atas kemauannya sendiri. 
 
3) Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman) 
Al Wa’du WalWa’id (janji dan ancaman), menurut mereka wajib bagi Allah Swt. untuk 
memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, 
dan melaksanakan ancaman-Nya (alwa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah 
syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi 
Allah Swt. untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah. 
yaitu : Mu’tazilah beranggapan bahwa tidak pantas Allah Swt., ingkar akan janji yang 
sudah dibuatnya di dalam al-Qur’an.  
 
Ajaran ini pada satu sisi  seperti membatasi Tuhan dengan janji-janjinya dan 
mewajibkanNya melakukan janji-janjiNya, namun di sisi lain  juga tidak memberi 
peluang bagi orang mukmin, yang berdosa besar. Kecuali bagi mereka yang bertaubat 
dari dosa-dosanya. 
 
4) Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi di antara dua tempat) 
Adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang 
mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah fasiq, tidak dikatakan beriman dan tidak 
pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan mukmin dan tidak pula dihukumkan 
Kafir. 
--   
 
 
Pasca peristiwa mihnah, Imam Ahmad bin Hanbal mendapatkan penghargaan besar  dari 
penguasa, yang memang sependapat dengan pemikiran salafusshalih terkait al-Qur’an. Tidak 
hanya Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi para pemikir lain yang kontra dengan Mu’tazilah, bisa 
benafas lega setelah tumbangnya rezim Mu’tazilah. 
 
Di antara pemikir tersebut adalah Abu Hasan al-‘Asy’ary. Murid Al-Juba’i yang sudah 40 
tahun belajar dan menjadi mu’tazilly. Abu Hasan al-“Asy’ary, dengan kepiawaian yang 
dimilikinya, menggunakan logika berpikir ‘ala Mu’tazilah, dan kepiawaiannya dalam 
memahami hadits Rasulullah Saw, maka ia menjadi  permata menarik, yang mampu 
mengkombinasikan antara peran akal dan wahyu dalam kehidupan umat masa itu. 
 
Selain Abu Hasan al-Asy’ary, lahir pula tokoh lain seperti Abu Mansur al-Maturidi, yang 
mencetuskan pemikiran Maturidiyah. Baik Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-
sama mencoba mengkombinasikan antara peran akal dan wahyu secara adil, sehingga 
masyarakat menilai keduanya dengan pandangan positif, seolah-olah menjawab kekecewaan 


mereka terhadap Mu’tazilah. Kedua aliran ini, kemudian dikenal dalam aliran kalam dengan 
istilah ahl sunnah wal-jama’ah. Di mana dalam konteks fiqh mengikuti salah satu dari 4 
madzhab. 
 
 
 
a. Aliran Asy’ariyah 
1) Pengertian 
Aliran Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al 
Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin 
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al 
Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia 
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. 
 
Abul Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal 
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, 
seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari 
Al Jubba’i, seorang ketua Mu’tazilah di Bashrah.  
 
Abu Hasan Al Asy’ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Mu’tazilah, Qadariyah, 
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Dalam beragama ia berpegang pada Al 
Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabiin, serta imam 
ahli hadits. 
 
2) Tokoh 
a) Abu Ishaq AsySyirazi (293-476 H/ 1003-1083 M) 
b) Al-Qadhi Abu Bakar AlBaqilani (328-402 H/950-1013 M) 
c) Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027) 
d) Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M) 
e) Al-Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210) 
 

  
3) Doktrin Ajaran  
a) Sifat-sifat Tuhan.  
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur’an, yang 
disebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim (tidak bermula), dan tetap pada zat Tuhan. 
Sifat-sifat itu bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya. 
 
b) Al Qur’an. 
Menurutnya, Al Qur’an yang merupakan sifat kalam Allah adalah qadim dan bukan 
makhluk diciptakan. 
 
c) Melihat Tuhan. 
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti. 
 
d) Perbuatan Manusia.  
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu 
sendiri. 
 
e) Keadilan Tuhan 
Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat 
manusia di akhirat. Sebab semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan dan Tuhan Maha 
Kuasa atas segalanya. 
 
f) Muslim yang berbuat dosa.  
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir 
dan tetap mukmin. Di akherat kelak tergantung kehendak Tuhan, adakalanya mendapatkan 
ampunan dan adakalanya tidak diampuni. Jika tidak diampuni maka orang tersebut akan 
disiksa untuk sementara waktu dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga. 
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang 
beraliran Ahlussunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi 
cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa: 
a) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan 
danmempunyai wujud di luar zat. 
b) Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. 
c) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan 
--   70 
  
d) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat. 
e) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, 
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban 
yang tak dapat dipikul kepada manusia. 
 
b. Aliran Maturidiyah 
1) Pengertian 
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama 
aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al Maturidi. Aliran 
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al Maturidi yang 
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah 
digolongkan dalam aliranAhlussunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran yang bercorak 
rasional.  
 
Dilihat dari metode berpikir aliran Maturidiyah, berpegang pada keputusan akal pikiran 
dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan 
dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’. Berdasarkan prinsip 
pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an yaitu kewajiban melakukan 
penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al Qur’an.  
 
2) Doktrin Ajaran  
a) Akal dan wahyu 
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal 
banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. 
Menurut AlMaturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui 
dengan akal. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak 
akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau 
menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah. 
 
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu : 
1) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu. 
2) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu, 
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk 
wahyu. 
--   71 
  
 
b) Perbuatan manusia 
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah 
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah 
mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar 
kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al Maturidi 
mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan 
manusia. Allah mencipta daya (kasb/berusaha) dalam setiap diri manusia dan manusia 
bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat 
Allah dan ikhtiar manusia. 
 
c) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan 
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik 
atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan 
sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi 
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang 
sudah ditetapkan-Nya sendiri. 
 
d) Sifat Tuhan 
Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Sifat-sifat 
Tuhan itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa 
la hiya ghairuhu). 
 
e) Melihat Tuhan 
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam. 
QS. Al Qiyamah: 22-23 : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 
Kepada Tuhannyalah mereka melihat. 
 
f) Kalam Tuhan 
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan 
kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun 
dari huruf dan suara adalah baru (hadits).  
 
 
--   72 
  
g) Perbuatan Tuhan 
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi 
kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-
Nya sendiri. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, 
karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh 
Allah dalam kemampuan dan perbuatannya, hukuman atau ancaman dan janji terjadi 
karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya. 
 
h) Pengutusan Rasul 
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu 
yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di 
luar kemampuan akalnya.  
 
i) Pelaku dosa besar  
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam 
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan 
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka 
adalah balasan untuk orang musyrik.   
 
j) Iman 
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al 
qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan.  
3) Sekte Aliran Maturidiyah 
a) Sekte Samarkand. 
Golongan ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, disebutkan bahwa golongan ini dalam 
cara berpikirnya cenderung ke arah paham Mu’tazilah. 
b) Sekte Bukhara 
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia 
merupakan pengikut Al Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam 
pemikirannya. Sekte Bukhara adalah pengikut-pengikut Al Bazdawi di dalam aliran Al 
Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al 
Asy’ary. 

Allah Swt berfirman: 
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat 
kebaikan. (an-Nahl:128) 
Mumpung masih muda, perbanyaklah kebajikan, untuk diri, orang tua, guru, keluarga dan 
negara kita. 
 
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al 
Asy`ariy. Di antara doktrin Asy’ariyah: Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di 
dalam Al Qur’an, Al Qur’an adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan, Tuhan dapat 
dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, 
bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun, 
Muslim yang berbuat dosa tetap mukmin. 
Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama aliran 
itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al Maturidi. Doktrin 
Ajaran: mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan 
akal,  Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, Allah mencipta daya (kasb/berusaha) 
dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, Allah tidak berbuat 
sekehendak dan sewenang-wenang, Tuhan mempunyai sifat-sifat, manusia dapat melihat 
Tuhan, Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara 
dengan kalam nafsi. Perbuatan Tuhan semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak 
ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan 
keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri, Pengutusan Rasul berfungsi 
sebagai sumber informasi, pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka 
walaupun ia mati sebelum bertobat.  
 

 
A. Pengertian Isra’ dan Mi’raj 
Isra’ menurut bahasa berasal dari kata asra-yusri yang berarti perjalanan di malam 
hari, sebagaimana disebutkan dalam QS. Ad Dukhan (44) ayat 23. Sedangkan menurut 
istilah, Isra’ adalah perjalanan Nabi di waktu malam hari dari Masjid Al-Haram di Mekah 
menuju Masjid Al-Aqsha di Palestina dalam waktu relatif singkat. Secara tegas peristiwa ini 
disebutkan dalam surat al-Isra (17) ayat 1. 
Mi’raj secara bahasa berasal dari ‘araja-ya’ruju berarti alat untuk naik atau tangga, 
sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’arij (70) ayat 3. Menurut istilah, Mi’raj adalah 
naiknya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Masjid Al-Aqsha ke langit 
sampai Sidratul Muntaha, terus sampai ke tempat yang paling tinggi untuk menerima wahyu 
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tentang Mi’raj al-Qur’an tidak pernah menyebutkan secara 
eksplisit, namun para ulama menyimpulkan bahwa an-Najm (53) ayat 13-15 merupakan 
hujjah bagi peristiwa Mi’raj, apalagi esensinya sama dengan haditst-haditst Mi’raj. 
Kedua peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 Rajab satu tahun sebelum hijrahnya 
Nabi atau tahun ke-12 setelah kenabian, tepatnya tahun 622 Masehi. Hal ini disampaikan oleh 
kebanyakan ahli sejarah, yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi ketika Rasul akan 
hijrah ke Madinah kira-kira satu setengah tahun lagi (pertengahan tahun 12 dari kenabian). 
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun 622 Masehi. Namun, pada 
berbagai buku sejarah, dikemukakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada tahun 621 M atau tahun 
10/11 dari kenabian. Jumhur ulama menyebutkan tanggal 27 Rajab.  
 
B. Latar Belakang Terjadinya Isra’ dan  Mi’raj 
Selama 12 tahun dari kerasulan Nabi Muhammad merupakan tahun-tahun yang penuh 
dengan berbagai ujian. Rasulullah menghadapi masyarakat primitif penganut paganisme, 
selalu mendustakan agama yang mereka anggap baru, bahkan sampai menyerang Rasulullah 
secara terang-terangan. Masuk Islamnya Umar bin Khattab, seorang tokoh Quraisy yang 
mempunyai pengaruh besar, memberikan angin segar bagi Rasulullah. Namun, kaum Quraisy 
menjadi marah karena merasa tokoh mereka dijebak. Mereka kemudian menggunakan semua 
daya dan upaya untuk mengalahkan Rasulullah, namun hasilnya sia-sia. Sebab, ada Abu 
Thalib, paman Rasulullah, satu-satunya paman nabi dari Bani Hasyim yang cukup 
berwibawa, dihormati dan ditakuti. Peristiwa dan tekanan dari suku Quraisy yang bertubi-tubi 
merupakan tempaan tersendiri bagi kegigihan dan kesabaran Rasulullah. 
Pada tahun ke-12 kerasulan, istri tercinta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi 
wasallam yaitu sayidah Khadijah binti Khuwailid sebagai pendamping dalam perjuangan 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan paman Rasulullah, Abu Thalib, meninggal 
--   91 
  
dunia. Peristiwa ini membuat Nabi Muhammad menjadi sedih. Khadijah merupakan 
pendukung dakwah Nabi dalam berbagai keadaan dan Abu Thalib seorang yang sangat 
disegani oleh suku Quraisy. Para ulama berpendapat bahwa peristiwa kematian istri dan 
pamannya merupakan latar belakang dan kasualitas pada proses terjadinya Isra’ Mi’raj. 
 
C. Riwayat Isra’ dan Mi’raj 
1. a. Isra’ 
Diceritakan bahwa pada  suatu malam, terbukalah atap rumah Nabi di Mekah, diringi 
dengan turunnya malaikat Jibril menjemput Rasulullah, lantas dibawa ke Ka’bah. Di d