Rabu, 10 Januari 2024

kematian dalam budha 3



yang kedengarannya sangat gampang untuk dijawab.
Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’ , secara
otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, de￾finisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi
kehidupan itu sendiri. Dalam kenyataan, definisi kematian jauh lebih pe￾lik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.
Selama berpuluh-puluh abad masyarakat umum terindoktrinasi
oleh kepercayaan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang dihembuskan
oleh Tuhan ke dalam pernafasan. Pernafasan dianggap memegang pe￾ranan yang sangat penting. Tanpa adanya pernafasan, tak ada pula kehi￾dupan. Melalui pernafasanlah, makhluk hidup di dunia ini memperoleh
oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh organ –bahkan sel– dalam
tubuh. Kalau tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari paru￾paru, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya
peredaran darah dalam tubuh. Apabila jantung dan paru-paru berhenti
bekerja (cardio-pulmonary malfunction), otak yang berfungsi sebagai pu￾sat pengaturan saraf (neurological function) niscaya akan mengalami ke￾rusakan karena kekurangan oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, kerusakan ini berakibat fatal bagi keberlangsungan organisme da￾lam tubuh makhluk hidup, yakni kematian. Dari pengertian inilah kemu￾dian didefinisikan bahwa kematian adalah terhentinya pernafasan
(cessation of breathing). Definisi kematian ini pernah diakui serta dite￾rima oleh masyarakat umum, kalangan medis maupun kaum agamawan
di Barat.
Namun, pada pertengahan abad ke-20, tatkala ilmu pengetahuan
serta teknologi mulai berkembang, definisi kematian itu dipertanyakan
keabsahannya. Fungsi pernafasan alamiah dapat digantikan oleh alat per￾nafasan mekanis (respirator). Pernafasan tidak lagi secara mutlak identik
dengan kehidupan. Gagal atau rusaknya sistem pernafasan alamiah tidak￾lah selamanya berarti maut atau kematian. Karena itu, definisi kematian
perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.
Ini berlatar-belakang pada penjabaran yang diberikan oleh ahli
saraf di Perancis pada tahun 1958 tentang keadaan perbatasan antara
hidup dan mati yang disebut coma dépassé [secara harfiah berarti kea￾daan melebihi pingsan]. Pasien-pasien itu seluruhnya menderita keru￾sakan otak (brain lesions) yang pokok, struktural, dan tak tersembuhkan;
berada dalam keadaan pingsan (comatose), dan takmampu bernafas se￾cara spontan. Mereka tidak hanya kehilangan kemampuan dalam me￾nanggapi dunia luar, tetapi juga tidak lagi dapat mengendalikan
lingkungan dalam tubuh mereka sendiri. Mereka tidak dapat mengatur
suhu tubuh, mengendalikan tekanan darah, dan mengatur kecepatan de￾tak jantung secara wajar. Mereka bahkan tidak dapat menahan cairan da￾lam tubuh, dan sebaliknya melimpahkan air kencing dalam jumlah yang
sangat banyak. Organisme mereka secara keseluruhan boleh dikatakan
telah berhenti berfungsi.
Selanjutnya, pada tahun 1968, panitia khusus Sekolah Medis Har￾vard menerbitkan sebuah laporan berjudul “Sebuah Definisi [Keadaan]
Pingsan yang Takdapat Dibalikkan Kembali”. Di situ didaftarkan kriteria
bagi pengenalan gejala kematian otak. Laporan ini secara jelas mengiden￾tifikasi kematian otak (brain-death) sebagai kematian –meskipun tidak
secara langsung menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan kematian.
Apabila seorang pasien telah berada dalam keadaan seperti itu, penca￾butan alat pembantu pernafasan direstui karena ia secara medis telah di￾anggap mati.
Kegagalan kerja jantung dan paru-paru sangatlah mudah diketa￾hui, namun tidaklah gampang untuk dapat memastikan kematian otak.
Harus dilakukan pengamatan yang cermat atas rangkaian tanda-tanda ke￾hidupan. Apakah seorang pasien sama sekali tidak menanggapi rang￾sangan (stimulation) apa pun? Dapatkah ia bernafas tanpa alat pembantu?
Adakah pergerakan mata, penelanan atau batuk? Apakah alat pemantau
gelombang otak (EEG: Electro-EncephaloGram) menunjukkan adanya
bukti kegiatan elektrik yang datang dari otak? Adakah arus peredaran da￾rah melalui otak? Jawaban negatif dari rentetan pertanyaan ini menunjuk￾kan kematian otak. Namun, satu tanda saja tidaklah cukup untuk
membenarkan anggapan demikian.
Walaupun kebanyakan pakar medis telah menyepakati definisi
kematian otak, masih terdapat nuansa dalam rinciannya. Ada yang meru￾juk pada kerusakan otak secara keseluruhan (whole-brain), dan ada pula
yang mengacu pada kerusakan otak di bagian yang berfungsi lebih tinggi
(higher-brain). Namun, kriteria yang paling banyak dianut ialah keru￾sakan otak-pokok (brain-stem). Pada tahun 1973, dua ahli bedah saraf di
Minneapolis mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai suatu
keadaan yang takmungkin dapat dikembalikan lagi. Pada tahun 1976 dan
1979, konferensi agung perguruan dan fakultas di Inggris menerbitkan
suatu catatan penting dalam topik ini. Yang pertama menjabarkan ciri-ciri
klinis atas kematian otak-pokok, sedangkan yang kedua mengidentifika￾sikan kematian otak-pokok sebagai kematian. Suatu panduan yang mirip
dengan ini juga diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 1981. Opini
serta praktek internasional pada dasarnya bergerak selaras dengan garis￾garis ini –dalam menerima gagasan tentang kematian otak-pokok. Den￾mark adalah negara terakhir di Eropah yang mengabsahkan definisi ke￾matian otak-pokok (1990).
Otak-pokok adalah suatu bagian yang berbentuk seperti ‘batang’
atau ‘tonggak’, yang berada di bagian dasar/bawah otak. Selain merupa￾kan pusat jaringan saraf yang mengatur pernafasan, detak jantung dan
tekanan darah, ini juga memegang peranan penting dalam mengelola ke￾siagaan [dalam membangkitkan kemampuan bagi kesadaran, misalnya].
Kerusakan pada bagian-bagian yang penting, walaupun kecil, dapat
membuat seseorang berada dalam keadaan pingsan sepanjang waktu
(permanent coma). Otak-pokok ini mempunyai peranan yang sangat
penting atas bekerjanya otak besar dan otak kecil. Hampir semua pence￾rapan inderawi berjalan melintasi otak-pokok ini. Demikian pula perintah
pergerakan serta percakapan, juga dikirimkan melaluinya. Tak berfungsi￾nya otak-pokok berarti tidak adanya kegiatan-kegiatan bermakna pada
bagian otak besar; tak ada ingatan, perasaan dan pemikiran; tak ada in￾teraksi sosial terhadap keadaan lingkungan.
Selama beberapa dasawarsa belakangan ini, memang tidak ada
gugatan yang bernilai atas definisi kematian yang didasarkan pada keru￾sakan atau kematian pada bagian otak. Namun, ini bukanlah berarti bah￾wa inilah definisi kematian ‘yang sesungguhnya’ dan akan dipakai untuk
selamanya. Ilmu pengetahuan serta teknologi medis di masa depan
mungkin mampu menggantikan fungsi kerja otak –apakah dengan mem￾pergunakan peralatan mekanis/elektrik, melalui pembiakan jaringan otak
(brain tissue) ataupun melalui pengarasan (clonning). Dengan begitu, ke￾rusakan pada bagian otak tidaklah berarti maut atau kematian. Pada
waktu itulah, suatu definisi yang baru atas kematian perlu dirumuskan
lagi.
Apa definisi kematian dalam pandangan Agama Buddha? Apakah
mempercayai definisi klasik yang merujuk pada pernafasan –yang telah
luluh-lantak diterpa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi– ataukah
mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak –yang
masih meragukan ketelakannya dan menyimpan ketakpastian? Dalam Ki￾tab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera secara tegas menolak adanya roh
(soul) dalam pernafasan. Penolakan ini diungkapkan oleh beliau kepada
seorang menteri utusan Raja Milinda yang bernama Anantakâya. “Siapa
sih gerangan Nâgasena itu,” tanya Anantakâya untuk memancing perde￾batan. Nâgasena Thera tidak menjawab pertanyaan ini secara langsung,
tetapi justru balik bertanya: “Dalam pengertian Anda, siapakah Nâgasena
itu?” Mulailah Anantakâya menyajikan pandangan sesatnya, “Roh, perna￾fasan masuk dan keluar, itulah yang saya maksud sebagai Nâgasena.”
Nâgasena bertanya lebih lanjut: “Bagaimana seandainya nafas yang ke￾luar dari tubuh tidak masuk kembali; apakah orang itu akan mati atau ma￾sih hidup?” Anantakâya menjawab, “Jika nafas yang keluar dari tubuh
tidak masuk kembali, orang itu niscaya akan mati.” Nâgasena Thera
menyanggah pendapat ini dengan membuat suatu perumpamaan yang
gamblang: “Para peniup sangkalala atau terompet –yang sewaktu meniup
sangkalala atau terompet, nafas yang terhembuskan tidak masuk kembali
ke dalam tubuh–; mengapa mereka tidak mati?” Anantakâya berdiam diri
karena tidak mampu menjawab pertanyaan ini. Nâgasena Thera kemu￾dian mewejangkan: “Tidak ada roh dalam pernafasan. Nafas keluar dan
nafas masuk semata-mata hanyalah salah satu bagian dari kegiatan jasma￾niah (kâyasaõkhâra). Pernafasan adalah unsur udara (vâyodhâtu) yang
menghidupi tubuh jasmaniah; bukan kehidupan itu sendiri. Kehidupan
itu terdiri atas lima kelompok, yakni: materi/bentuk, perasaan, ingatan,
corak-corak batiniah, dan kesadaran. Pernafasan hanyalah salah satu
bagian dari materi/bentuk (rûpa).”
Agama Buddha secara tegas menolak definisi kematian yang
merujuk pada pernafasan. Apakah ini berarti Agama Buddha mengikuti
definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga
tidak. Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar diten￾tukan dari unsur-unsur jasmaniah –entah paru-paru, jantung ataupun
otak. Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’,
akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu
sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur
batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih da￾pat berfungsi sebagaimana layaknya –secara alamiah ataupun melalui
bantuan peralatan medis–, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesa￾daran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat,
kesadaran ajal akan langsung padam. Kepadaman kesadaran ajal merupa￾kan ‘the point of no return’ bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini.
Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya ke￾mampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi kematian menurut pan￾dangan Agama Buddha.
Ada tiga jenis kematian dalam Agama Buddha, yakni: 1. Khaóika
maraóa: Kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah
pada tiap-tiap saat akhir (bhaõga), 2. Sammuti-maraóa: Kematian
makhluk hidup berdasarkan persepakatan umum yang dipakai oleh
masyarakat dunia, 3. Samuccheda-maraóa: Kematian mutlak yang
merupakan keterputusan daur penderitaan para Arahanta. Kematian1
pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab, yaitu karena
habisnya usia (âyukkhaya), karena habisnya akibat perbuatan penyebab
kelahiran serta perbuatan pendukung (kammakkhaya)2
, karena habisnya
usia serta akibat perbuatan (ubhayakkhaya), karena terputus oleh
kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka).3 Empat sebab
kematian ini dapat diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita,
yaitu karena habisnya sumbu, habisnya bahan bakar, habisnya sumbu
serta bahan bakar, dan karena tertiup angin.

kematian sesungguhnya bukanlah satu kejadian (event), me￾lainkan suatu alur4 atau proses. Dalam Kitab Abhidhamma,
alur kematian yang dalam Bahasa Pâli disebut ‘maraóâ-
sannavithî’ ini dikupas secara terinci. Istilah ini secara har￾fiah berarti alur kesadaran yang muncul pada saat menjelang
mati. Alur kematian yang jumlahnya puluhan atau bahkan ratusan ini
pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni Maraóâsannavithî biasa dan
Paccâsannamaraóavithî. Maraóasannavithî biasa terjadi pada orang-orang
yang akan mati dalam waktu satu dua menit, satu dua jam atau lebih lama
lagi. Paccâsannamaraóavithî terjadi pada orang-orang yang akan mati da￾lam jarak yang sangat dekat [menjelang ajal]. Dalam alur kematian ini, ke￾sadaran yang lazimnya muncul dengan tugas memelihara kehidupan
(bhavaõgacittuppâda) kini beralih tugas menjadi kesadaran ajal (cuti￾citta). Begitu kesadaran ajal padam, keberadaan suatu makhluk dalam ke￾hidupan sekarang dapat dikatakan telah berakhir.
Berdasarkan pintu inderanya, alur kematian terpilah menjadi
dua, yakni: 1. Alur kesadaran yang muncul pada saat menjelang ajal me￾lalui pintu lima indera jasmaniah (pañcadvâramaraóâsannavithî), 2. Alur
kesadaran yang muncul pada saat menjelang ajal melalui pintu batiniah
(manodvâramaraóâsannavithî). Untuk orang awam (puthujjana 4) serta
orang suci yang masih harus belajar lagi (phalasekkhapuggala 3), alur ke￾matian melalui pintu batiniah ini5
, yang menjadi sebab ketergantungan
bagi kelahiran kembali dalam kehidupan yang baru, disebut kâmajavana￾manodvâra-maraóâsannavithî. Ada empat jenis yang menimbulkan kela￾hiran kembali batiniah (nâmapaöisandhi), dan satu jenis kelahiran kem￾bali jasmaniah (rûpapaöisandhi). Untuk orang suci tingkat Arahatta, alur
kematian yang tidak menjadi sebab ketergantungan bagi kelahiran kem￾
bali disebut alur kemangkatan mutlak (parinibbânavithî). Ada empat jenis
alur kemangkatan mutlak yang muncul setelah kesadaran pengolah objek
duniawi (kâmajavana), dan empat jenis yang muncul setelah pengolahan
objek pencapaian (appanâjavana), yakni: 1. pencapaian pencerapan
(jhânasamanantara), 2. perenungan terhadap faktor pencerapan (pac￾cavekkhaóasamanantara), 3. kesadaran adibiasa yang berkenaan dengan
kesaktian (abhiññâsamanantara), 4. perenungan terhadap Jalan, Pahala,
Pembebasan Sejati, dan noda batin yang telah dimusnahkan (jîvitasa￾masîsî).
Karena lemahnya arus kesadaran menjelang ajal, kesadaran
pengolah objek (javanacitta)6 yang lazimnya muncul sebanyak tujuh saat
kini hanya muncul sebanyak lima saat. Ada sedikit kesalahpahaman di
kalangan umat Buddha bahwa kehidupan suatu makhluk setelah kema￾tian –apakah akan terlahirkan di alam mendatang yang membahagiakan
atau menyengsarakan– ditentukan oleh corak “kesadaran terakhir” yang
muncul dalam kehidupan sekarang ini. Kesadaran terakhir yang muncul
ialah kesadaran ajal. Kesadaran yang terbentuk dari corak-corak batiniah
serta objek yang sama dengan kesadaran bertumimbal lahir serta pemeli￾hara kehidupan ini sesungguhnya tidak mempunyai peranan khusus da￾lam menentukan keadaan suatu makhluk di alam mendatang. Tugas
utamanya hanyalah mengakhiri kehidupan (cutikicca). Yang menentukan
kehidupan mendatang sesungguhnya ialah kesadaran pengolah objek
pada saat-saat menjelang mati.Ada tiga markah yang menjadi objek dalam alur kematian bagi
makhluk hidup yang belum terbebas dari noda-noda batin, yang masih
harus terlahirkan kembali, yakni: 1. Objek berupa perbuatan (kamma-
ârammaóa), 2. Objek berupa markah perbuatan (kammanimitta-
ârammaóa), 3. Objek berupa markah tujuan (gatinimitta-ârammaóa).8
Yang dimaksud dengan objek berupa perbuatan ialah pelbagai
kebajikan seperti menyumbangkan dâna, menjalankan kesilaan,
mengembangkan batin atau pelbagai kejahatan seperti membunuh, men￾curi, berzinah, berdusta, bermabuk-mabukan dan sebagainya; yang per￾nah diperbuat sepanjang hidup. Pada saat menjelang kematian,
perbuatan-perbuatan ini mungkin berkesempatan untuk muncul sebagai
objek dalam alur kematian melalui pintu batiniah. Apabila perbuatan
yang direnungkan itu termasuk kebajikan, makhluk yang mati akan terla￾hirkan kembali di alam yang membahagiakan; sedangkan kalau termasuk
kejahatan, akan terlahirkan kembali di alam yang menyengsarakan.
Yang dimaksud dengan objek berupa markah perbuatan ialah
pelbagai peralatan atau sarana dalam berbuat sesuatu, yakni enam ma￾cam objek: bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan objek batiniah yang
berkenaan dengan perbuatan yang pernah dilakukan sepanjang hidup.
Ini bisa merupakan penglihatan berupa vihâra, rumah sakit atau seko￾lahan yang didirikan, gambar atau arca Buddha, bhikkhu-saõgha yang di￾puja dan sebagainya; atau penglihatan berupa pisau penjagal atau pistol,
barang-barang curian, wanita yang diperkosa, orang yang diperdayai, mi￾numan keras, alat perjudian dan sebagainya. Apabila yang dilihat dan se￾bagainya itu termasuk sesuatu yang baik, yang menimbulkan keyakinan
yang benar, yang menimbulkan ketenangan serta ketentraman dan seje￾nisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang mem￾bahagiakan; sedangkan kalau termasuk sesuatu yang buruk, yang me￾nimbulkan ketakutan, kegelisahan, kecemasan, ketakpuasan, kemelekat￾an, kekikiran dan sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kem￾bali di alam yang menyengsarakan. Jika markah perbuatan ini muncul  karena pengenangan [berupa objek lampau], alur kematian yang terjadi
berarti melalui pintu batiniah. Namun, kalau markah perbuatan ini benar￾benar tertampak dan sebagainya pada saat itu pula [berupa objek
sekarang], alur kematian yang terjadi berarti melalui pintu lima indera jas￾maniah.
Yang dimaksud dengan objek berupa markah tujuan ialah pelba￾gai pertanda atas alam kehidupan di mana suatu makhluk akan terla￾hirkan kembali. Apabila markah tujuan ini tertampak sebagai istana yang
megah, kendaraan surgawi, dewa-dewi, cahaya terang, dan sejenisnya,
makhluk yang mati akan terlahirkan di alam yang membahagiakan;
sedangkan kalau tertampak sebagai api neraka yang menakutkan, tempat
yang tandus atau kotor, jurang yang curam, binatang buas, kegelapan dan
sejenisnya, makhluk yang mati akan terlahirkan kembali di alam yang
menyengsarakan. Objek berupa tujuan ini sesungguhnya dapat muncul
melalui seluruh pintu, namun kebanyakannya muncul melalui pintu
penglihatan serta pintu batiniah.9
Uraian di atas adalah alur kematian ditinjau dari segi batiniah.
Sesungguhnya, segi jasmaniah makhluk hidup juga merupakan suatu alur
atau proses (rûpavithî). Kecepatan yang ditempuh oleh suatu materi/ben￾tuk sejak muncul hingga padam kembali itu lebih lambat daripada unsur
batiniah. Perbandingannya ialah satu saat materi berbanding dengan tu￾juh belas saat kesadaran. Materi yang padam pada saat kematian tidaklah
bersamaan. Materi yang timbul dari perbuatan (kammajarûpa) muncul
terakhir kalinya pada saat awal kemunculan kesadaran pemelihara hidup
yang lalu (atîtabhavaõga). Karena waktu kepadamannya lebih lambat,
materi ini benar-benar padam secara keseluruhan pada saat akhir kemun￾culan kesadaran ajal. Inilah jenis materi yang padam berbarengan dengan
kesadaran terakhir dalam kehidupan ini. Materi yang timbul dari kesa￾daran (cittajarûpa) muncul terakhir kalinya pada saat awal kemunculan
kesadaran ajal. Karena waktu kepadamannya lebih lambat, materi ini ma￾sih sempat bertahan dan baru benar-benar padam secara keseluruhan be￾berapa saat setelah kesadaran terakhir dalam kehidupan ini muncul.Namun, ini bukanlah berarti bahwa materi ini akan mengikuti kesadaran
bertumimbal lahir di kehidupan yang baru. Materi yang timbul dalam ke￾hidupan ini pada dasarnya akan padam dalam kehidupan sekarang ini
pula. Materi yang timbul dari makanan (âhârajarûpa) muncul terakhir
kalinya pada saat akhir kemunculan kesadaran ajal. Oleh sebab itu, ma￾teri ini masih bertahan dan baru benar-benar padam secara keseluruhan
beberapa saat setelah kesadaran terakhir dalam kehidupan ini muncul.
Materi yang timbul dari hawa (utujarûpa) masih tetap dapat muncul me￾skipun suatu makhluk telah mati dan menjadi mayat. Ada beberapa yang
muncul sejenak karena unsur panas (tejo) yang terdapat dalam makanan.
Namun, ada pula yang terus muncul karena pengaruh hawa di luar
(bâhira-utupaccaya) meskipun mayatnya telah membusuk dan menjadi
abu; dan ini tetap berlangsung hingga dunia ini terhancurkan.
Alur kematian jasmaniah dari sudut pandang Agama Buddha
sangatlah bersesuaian dengan ilmu pengetahuan modern. Sel-sel dalam
suatu mayat terbukti masih dapat bertahan dan berkembang meskipun
suatu makhluk secara umum telah dinyatakan mati. Tidak mengherankan
kalau dijumpai bahwa rambut, kuku atau bagian lain dari suatu mayat
yang berada dalam lingkungan tertentu menjadi lebih panjang daripada
sewaktu baru mati.
adakah kehidupan lain setelah suatu makhluk mengalami
kematian? Apakah kematian merupakan akhir dari kehi￾dupan dan akhir dari segala-galanya? Apakah suatu
makhluk yang mati akan musnah tak berbekas? Ke
manakah makhluk hidup pergi setelah mati? Benarkah
ada alam surga dan neraka? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang senan￾tiasa mengusik pikiran umat manusia sejak dahulu kala.
Banyak orang yang menyangsikan adanya kehidupan setelah ke￾matian. Raja Pâyâsi yang memerintah Kota Setavyâ adalah salah satu con￾tohnya. Di hadapan Kûmara Kassapa Thera, beliau mengungkapkan
pandangan bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang, ti￾dak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat
dari perbuatan baik maupun buruk. Ketika ditanya apa alasan yang mem￾buat beliau berpandangan demikian, Raja Pâyâsi mengisahkan bahwa be￾liau mempunyai menteri, saudara serta kerabat yang sering berbuat jahat;
membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berdusta… Sewaktu
mereka sakit keras dan akan meninggal dunia, beliau berpesan apabila
mereka masuk ke alam neraka karena akibat kejahatan yang diperbuat
agar datang memberitahu beliau. Mereka menyanggupi pesan ini. Akan
tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang kendati
waktu telah berlangsung cukup lama. Inilah yang menjadi alasan bagi be￾liau untuk menolak adanya kehidupan mendatang... Kûmara Kassapa
Thera menanggapi alasan ini dengan sebuah perumpamaan tentang pen￾jahat. Ada penjahat yang telah tertangkap basah dan akan dihukum mati
karena perbuatannya. Ketika hukuman ini akan dijalankan, dia meminta
izin untuk pulang memberitahu sanak-keluarganya terlebih dahulu.
Apakah dia akan diizinkan? Tentunya tidak! Demikian pula, mereka yang
masuk ke alam neraka, tidak mendapat izin kembali ke alam manusia un￾tuk menyampaikan kabar.
Raja Pâyâsi mengemukakan alasan lain. Beliau pernah berpesan
kepada menteri, saudara serta kerabat yang suka berbuat baik agar da￾tang memberitahu beliau apabila masuk ke alam surga. Tak satu pun di
antara mereka ada yang datang meskipun sudah berjanji akan kembali
menemui beliau. Hal inilah yang membuat beliau tidak mempercayai
adanya kehidupun mendatang... Kûmara Kassapa Thera memberikan pe￾rumpamaan tentang orang yang terjatuh ke dalam lubang lumpur. Setelah
ditolong, diangkat ke atas, tubuhnya dibersihkan dan didandani dengan
pakaian, wewangian serta perhiasan yang mewah, dan dihibur dengan
kenikmatan lima indera; apakah dia ingin masuk ke dalam lubang lumpur
lagi? Raja Pâyâsi menjawab: “Tidak!” Mengapa? Karena lubang lumpur itu
kotor, berbau busuk, dan menjijikkan. Demikian pula, manusia merupa￾kan makhluk yang kotor, berbau busuk dan menjijikkan bagi para dewa.
Bagaimana mungkin mereka yang berbuat baik dan masuk ke alam surga
akan datang kembali ke alam manusia untuk memberitahu?
Kûmara Kassapa Thera memberikan penjelasan tambahan bahwa
waktu di dunia ini tidaklah sama dengan waktu di alam surga. Semakin
tinggi tingkat alamnya, semakin lama pula perbedaan waktunya. Waktu
seratus tahun di dunia ini sebanding dengan satu hari satu malam waktu
di Surga Tâvatiæsa, misalnya. Usia rata-rata makhluk di sana sekitar 1,000
tahun kedewaan. Para dewa mungkin berpikir kita bersenang-senang di
sini selama dua tiga hari dahulu, baru kemudian pergi menemui Raja
Pâyâsi. Karena perbedaan waktu, beliau mungkin telah meninggal dunia
saat itu. “Tetapi,” bantah Raja Pâyâsi, “Bagaimana bisa diketahui bahwa
dewa di Surga Tâvatiæsa mempunyai waktu yang lama seperti itu? Saya ti￾dak mempercayainya!” Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpa￾maan tentang orang buta sejak lahir. Ia mungkin tidak percaya adanya
warna merah, hitam, putih serta lainnya, dan juga mengatakan bahwa ti￾dak ada orang lain yang mampu melihat warna-warna tersebut. Apakah
pendapat orang buta itu dapat dibenarkan? Tentunya tidak. Ada pertapa
atau brahmana yang tinggal di tempat sunyi, senantiasa waspada, dan
mengembangkan usaha dalam pemusatan batin hingga mencapai ‘mata
kedewaan’ (dibba-cakkhu), yang melebihi kemampuan mata biasa. De￾ngan mata kedewaan ini, mereka dapat melihat kehidupan lain dan
makhluk-makhluk yang terlahirkan dengan seketika. Masalah kehidupan
lampau tidak seharusnya dimengerti hanya berdasarkan apa yang bisa
dilihat dengan mata biasa.
Raja Pâyâsi mengatakan bahwa beliau pernah melihat ada per￾tapa dan brahmana yang mempunyai kesilaan luhur. Mereka tetap men￾cintai kehidupannya, dan tidak ingin mati; masih mendambakan
kebahagian, dan tidak menginginkan penderitaan. “Jika merasa yakin
bahwa dengan melaksanakan kesilaan mereka pasti terlahirkan kembali
di alam surga, mengapa mereka tidak mencoba bunuh diri dengan memi￾num racun, menggantung leher, atau meloncat ke jurang?,” tanya Raja
Pâyâsi. Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang dua
orang istri yang ditinggal mati suami. Yang pertama mempunyai anak be￾rusia sepuluh tahun, sementara yang kedua sedang mengandung tua. Si
anak menagih warisan kepada ibu tirinya. Sang ibu meminta kelonggaran
waktu untuk memastikan apakah anak yang sedang dikandungnya laki￾laki atau perempuan. Pada zaman itu, hanya anak laki-laki yang berhak
atas kekayaan peninggalan orangtuanya. Si anak tidak sabaran, dan terus￾terusan mendesak. Sang ibu akhirnya mengambil jalan pintas dengan
membedah perutnya sendiri. Dengan berbuat demikian, tidak hanya jiwa
anaknya yang terancam, tetapi juga kehidupannya sendiri, dan ia niscaya
tidak akan memperoleh bagian dari harta kekayaan suaminya. Orang bi￾jaksana tidak akan menempuh jalan pintas semacam ini. Demikian pula
halnya dengan para pertapa dan brahmana. Meskipun yakin atas kehi￾dupan yang akan datang, mereka tidak akan memetik buah yang belum
waktunya masak. Mereka menempuh kehidupan secara wajar demi keba￾hagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Raja Pâyâsi menceritakan bahwa beliau pernah menghukum
penjahat dengan memasukkannya ke dalam gentong dalam keadaan ma￾sih hidup. Setelah ditutup rapat, gentong itu diletakkan di atas perapian
hingga penjahat yang berada di dalamnya mati. Ketika dibuka kembali,
beliau tidak melihat adanya jiwa yang keluar dari dalamnya. Kûmara
Kassapa Thera bertanya kepada Raja Pâyâsi apakah pernah bermimpi
pergi ke hutan, melihat kolam dan sebagainya. “Pernah,” jawab beliau.
“Pada waktu itu, apakah ada penjaga yang melihat jiwa beliau keluar￾masuk tubuh?” Raja Pâyâsi menjawab tidak ada. “Jika yang masih hidup
saja jiwanya tidak dapat dilihat, bagaimana mungkin Baginda dapat meli￾hat jiwa penjahat yang mati dibakar dalam gentong?,” tanya Kûmara
Kassapa Thera.
Raja Pâyâsi mengisahkan bahwa beliau pernah memerintahkan
untuk menimbang berat badan seorang penjahat sebelum dihukum gan￾tung. Begitu mati dan ditimbang lagi, berat badannya justru bertambah.
Jika memang ada jiwa yang keluar dari tubuhnya, seharusnya berat ba￾dannya berkurang. Kûmara Kassapa Thera mempertanyakan manakah
yang lebih ringan antara sebongkah besi yang terbakar dan yang dingin?
Besi yang terbakar lebih ringan karena perbedaan unsur api dan unsur
anginnya. Demikian pula, karena berpadu dengan usia [yang memberi￾kan kelangsungan hidup], kehangatan, dan kesadaran, tubuh manusia
yang masih hidup lebih ringan.
Raja Pâyâsi beralasan bahwa beliau pernah memerintahkan un￾tuk menghukum mati penjahat tanpa merusak bagian kulit, daging, otot
atau bagian tubuh lainnya. Setelah mati dan badannya digoyang-goyang
serta dibolak-balik, ternyata tidak ada jiwa yang keluar dari tubuhnya.
Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpamaan tentang sangkakala
(terompet dari kerang). Penduduk terpencil yang selama hidupnya belum
pernah melihat sangkakala mungkin tidak tahu bagaimana cara memakai
alat musik tersebut. Dengan diketuk-ketuk, digoyang-goyang atau
dibolak-balik, tentu tidak ada suara yang berbunyi.
Raja Pâyâsi menambahkan bahwa beliau pernah memerintahkan
untuk menghukum mati penjahat dengan mengiris-iris bagian kulit,
daging, otot serta bagian tubuh lainnya. Namun, tidak ada jiwa yang da￾pat ditemukan di sana. Kûmara Kassapa Thera memberikan perumpa￾maan tentang seorang anak kecil yang disuruh brâhmaóa pemuja-api
untuk menjaga api pemujaan supaya tidak padam. Karena kelalaian si
anak, api pemujaan itu menjadi padam. Si anak tidak tahu bagaimana
cara menyulut api. Ia mencobanya dengan membelah-belah kayu bakar
menjadi bagian kecil-kecil, tetapi tidak berhasil karena caranya salah. De￾mikian pula, kehidupan lampau serta mendatang tidaklah dapat diketa￾hui dengan cara yang tidak tepat.
Meskipun telah terpojokkan oleh pelbagai perumpamaan yang
masuk akal, Raja Pâyâsi masih tetap bersiteguh untuk mempertahankan
pandangannya bahwa tidak ada kehidupan lampau maupun mendatang,
tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika, dan tidak ada akibat
dari perbuatan baik maupun buruk. Beliau bersikap demikian karena
perasaan gengsinya. Masyarakat dan para raja dari banyak negara
tetangga mengetahui bahwa beliau mempunyai pandangan begitu dalam
waktu yang lama. Jika kemudian dilepaskan, mereka akan mencelanya
sebagai raja yang bodoh, yang memegang pandangan sesat.
Atas sikap tidak mau melepaskan pandangan lama yang sesat
dan berpaling dari kebenaran ini, Kûmara Kassapa Thera memberikan
empat macam ibarat yang dua di antaranya dapat diringkaskan sebagai
berikut
Ibarat seorang pemuda yang memelihara babi yang sewaktu pergi ke
tempat lain menemui setumpukan kotoran kering. Dengan berpikir bah￾wa ini dapat menjadi makanan bagi babi-babi peliharaannya, ia mem￾bungkus kotoran tersebut dengan pakaiannya dan membawa pulang
dengan menyunggihnya di atas kepala. Di tengah perjalanan, hujan turun
dengan keras. Meski demikian, ia tidak rela untuk membuang kotoran
yang karena basah menetes ke kepala serta tubuhnya. Orang-orang yang
melihat saling mencela kebodohannya dan menganggapnya sebagai
orang gila. Akan tetapi, pemuda pemelihara babi justru berpikir bahwa
merekalah yang bodoh karena kotoran yang dibawanya dapat dimanfaat￾kan untuk memelihara babi-babinya.
Ibarat dua lelaki yang pergi bersama ke pedalaman untuk men￾cari harta. Di tengah perjalanan mereka menemui bongkahan besi, tem￾baga, perak, dan emas. Setiap kali bertemu dengan barang-barang yang
lebih berharga, lelaki yang pertama menukarkan bawaannya. Akan
tetapi, lelaki yang kedua tidak mau, dan tetap setia untuk memperta￾hankan barang pertama yang dijumpainya dengan alasan karena sudah
terlanjur dibawa sejak lama, dan telah diikat erat. Ketika mereka sampai
kembali di desanya, masyarakat serta sanak keluarganya memuji kecer￾dasan lelaki pertama yang membawa emas bernilai tinggi, sedangkan
yang kedua tidak mendapat pujian apa pun. Sikap Raja Pâyasi dapat dii￾baratkan seperti lelaki yang tidak mau menukar barangnya dengan yang
lebih bernilai.
Raja Pâyâsi benar-benar takjub atas penjelasan Kûmara Kassapa
Thera, dan selanjutnya meyakini Sang Tiratana sebagai pernaungan serta
menyatakan diri sebagai umat Buddha (upâsaka). Setelah mangkat, Raja
Pâyâsi terlahirkan kembali di Surga Câtumahârâjika.
Pada masa kehidupan Buddha Gotama, pemimpin kaum heretik
yang mengajarkan paham ‘Ucchedavâda’ atau Kemusnahan (Annihila￾tion) ialah Ajita Kesakambala. Ia menyangkal adanya kehidupan setelah
kematian. Pandangannya mirip dengan kaum materialis Cârvâka peng￾anut sistem Lokâyata yang didirikan oleh B haspati –seorang figur legen￾daris. Ujaran atas pandangannya yang sangat menyesatkan ialah sebagai
berikut: “Tidak ada hasil/buah dari pemberian dâna, pemujaan, dan per￾sembahan. Tidak ada pula akibat setimpal dari perbuatan baik atau bu￾ruk. Tidak ada dunia sekarang ataupun mendatang. Perlakuan baik atau
buruk terhadap ibu atau ayah tidak berakibat apa pun. Tidak ada makh￾
luk yang terlahirkan dengan seketika. Di dunia ini tidak ada pertapa atau
brâhmaóa yang telah menjalankan praktek dengan benar; yang telah me￾nempuh kehidupan dengan baik; serta memiliki ketenangan batin, yang
dengan kebijaksanaan sendiri telah menembus dunia sini maupun dunia
sana, dan selanjutnya mengamalkan pengetahuannya kepada makhluk￾makhluk lain. Manusia terbentuk atas empat unsur dasariah (câtum￾mahâbhûta). Apabila seseorang meninggal, sifat mengeras dan melunak
dalam dirinya akan berubah menjadi tanah; sifat mencair dan mengental
menjadi air; sifat memanas dan mendingin menjadi api; sifat mengetat
dan mengendor menjadi udara; dan segala inderanya akan melayang ke
angkasa. Empat orang pemikul dengan sebuah tandu mengiring mayat￾nya sambil menguncarkan doa hingga sampai di tanah kubur. Di sana
tulang-belulangnya memudar/memutih, dan persembahan-persembah￾annya berakhir menjadi abu. Pemberian dâna yang diajarkan oleh orang￾orang dungu, yang dikatakan memberikan hasil/pahala, semuanya ada￾lah omong kosong belaka, dusta, tak beralasan. Baik orang dungu atau￾pun orang bijaksana, ketika badan jasmaninya tercerai-berai, keduanya
niscaya akan termusnahkan. Setelah kematian ini, tidak ada kehidupan
lagi (kelahiran kembali).”10
Kematian, dalam pandangan Agama Buddha, tidaklah selamanya
merupakan akhir dari kehidupan. Selama benih kehidupan belum
dilenyapkan, kematian suatu makhluk niscaya akan berlanjut pada
kehidupan mendatang. Kehidupan sekarang ini adalah hasil dari
kehidupan-kehidupan lampau. Kehidupan-kehidupan lampau ditambah
dengan kehidupan sekarang ini, niscaya akan menghasilkan kehidupan
mendatang
kecuali unsur-unsur batiniah (nâma) serta jasmaniah (rûpa)
yang membentuk makhluk hidup, Agama Buddha tidak
mengakui adanya roh kekal (eternal soul) ataupun kepriba￾dian abadi (eternal ego) yang diperoleh secara gaib dari su￾atu sumber yang takjelas asal-usulnya. Gagasan atas roh
kekal amat dibutuhkan untuk menopang kepercayaan tentang surga dan
neraka abadi –suatu dogma yang ditolak secara tegas oleh Agama Bud￾dha karena bertentangan secara mendasar dengan nilai-nilai keadilan. Su￾atu roh yang kekal harus tetap seperti semula tanpa mengalami
perubahan apa pun. Jika roh yang dianggap sebagai saripati (essence)
umat manusia bersifat kekal, tidaklah mungkin mereka akan mengalami
kebangkitan atau kejatuhan sebagaimana yang dikisahkan dalam mitos
Kejadian (Genesis). Orang yang pada awalnya diciptakan sebagai penja￾hat akan selamanya menjadi penjahat, dan sebaliknya orang yang pada
awalnya diciptakan sebagai orang bajik akan selamanya melakukan ke￾bajikan. Dalam pada itu, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskan
secara masuk akal, mengapa roh-roh yang berbeda secara beraneka￾ragam dibentuk pada permulaannya.
Ajaran tentang Tumimbal Lahir (Rebirth) dalam Agama Buddha
perlu dibedakan dari gagasan tentang Penitisan Kembali (Reincarnation)
dalam agama lain, yang merujuk pada perpindahan suatu roh kekal (ât￾man) dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya dalam suatu proses
penyucian diri hingga akhirnya bergabung kembali dengan Roh-Asal
yang Luhur (Parama-Âtman). Agama Buddha juga menolak adanya makh￾luk titisan (avatâra) yang secara legandaris turun ke dunia dalam wujud
manusia atau hewan untuk menumpas kejahatan dan menganjurkan ke￾bajikan [berdasarkan Kitab Bhagavad-Gîtâ]. Buddha Gotama bukanlah
salah seorang [dari sepuluh] penitisan ViŠu sebagaimana yang diakui
oleh penganut aliran Agama Hindu [berdasarkan Kitab Bhâgavat, Varâha,
Agni dan ViŠu-Purâóa].11 Pengakuan yang mencuat belakangan dan
mengimbas kuat sekitar abad kesepuluh Masehi –ketika Agama Buddha
sedang menyebar keluar dari India– itu merupakan suatu siasat untuk
‘mencaplok’ serta ‘menelan’ Agama Buddha.12 Dalam Kitab ViŠu-Purâóa
tersirat dendam kesumat serta ketakpuasan kaum Hindu terhadap keber￾hasilan penyebaran Agama Buddha di India. Lazimnya, para dewa dan
para iblis terlibat dalam peperangan, dan kemenangan selalu berada di
pihak dewa. Namun, pada suatu kesempatan, para dewa terkalahkan.
Para iblis berhasil mencapai kemenangan karena mereka telah menganut
serta menjalankan ajaran Veda. Satu-satunya cara untuk dapat menakluk￾kan mereka ialah dengan membuat mereka melepaskan kepercayaan ter￾hadap ajaran Veda. Para dewa memuja ViŠu untuk mencari pertolongan.
ViŠu kemudian menciptakan wujud khayalan (mâyâmoha); pertama kali
muncul sebagai pertapa telanjang (digambara) yang mengacu pada Jain￾isme, untuk membujuk para iblis agar melaksanakan praktek penebusan
karma buruk; dan selanjutnya muncul sebagai bhik u berjubah merah
(raktâmbara) yang merujuk pada Agama Buddha, untuk membujuk para
iblis agar mencampakkan upacara pengurbanan binatang sebagaimana
yang dipujikan dalam kitab-kitab Veda. Terperdayainya para iblis me￾rupakan kesempatan emas bagi para dewa. Akhirnya, para iblis berhasil
ditaklukkan. Mitos ini secara bermuslihat melecehkan Jainisme serta
Agama Buddha sebagai penyebab kekalahan, kehancuran. Misi yang di￾emban oleh ViŠu dalam menitis sebagai Buddha ialah untuk memper￾dayai para iblis dengan mewejangkan ajaran sesat (Adharma); bukan
mengajarkan kebenaran (Dhamma) sebagaimana yang diyakini oleh
umat Buddha.13 Lebih daripada semua itu, penitisan ViŠu yang kesepu
luh [terakhir], dalam wujud sebagai Kalkî bertunggangan kuda putih de￾ngan pedang terhunus, konon dikatakan mengemban misi utama dalam
membasmi para penganut Agama Buddha dari seluruh muka bumi.
Dalam Kitab Upani ad termuat banyak penjabaran tentang ât￾man. Âtman ini dikatakan terbebas dari kematian (vim tyuƒ) serta kese￾dihan (vi okaƒ) dan mempunyai pemikiran yang nyata (satyasaækalpaƒ).
Kadangkala âtman diidentifikasikan sebagai ‘diri’ dalam keadaan ber￾mimpi atau dalam keadaan tertidur pulas. Âtman dapat dipisahkan dan
mengembara keluar dari tubuh jasmaniah –terutama sewaktu sedang ti￾dur– ibarat pedang yang dapat dikeluarkan dari sarungnya. Bagi para
penganut Jainisme, âtman yang diidentikkan dengan kehidupan (jîva),
bersifat terbatas dan beraneka ragam bentuk serta ukurannya. Bukan
hanya umat manusia yang memiliki âtman tetapi segala sesuatu di alam
semesta ini juga memilikinya. Beberapa Âjîvaka menganggap âtman itu
berwarna biru, berbentuk segi delapan (octagonal) atau bundar (globu￾lar), dan berjarak lima ratus yojana. Bagaimanapun, segala gagasan ten￾tang ‘âtman’ atau ‘atta’ ditolak dengan tegas oleh Buddha Gotama; kecuali
sebagai sebutan sehari-hari dalam persepakatan umum. Sakkâya-diööhi
atau Atta-diööhi [pandangan atas keberadaan roh yang kekal] adalah be￾lenggu (saæyojana) pertama yang merintangi jalan menuju pencapaian
kesucian batin.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau dalam Agama Buddha
tidak dipercayai adanya suatu roh yang kekal, lalu apa yang bertumimbal
lahir kembali dalam kehidupan mendatang?” Yang bertumimbal lahir
kembali ialah unsur-unsur batiniah (nâma) dan jasmaniah (rûpa) –yang
kerap disebut lima kelompok kehidupan (pañcakkhandha). Kalau
dipertanyakan lebih lanjut apakah yang bertumimbal lahir kembali itu
merupakan suatu batin-jasmani yang sama, jawabannya ialah ‘bukan’.
Batin-jasmani tidaklah bersifat kekal [tak berubah sama sekali]. Dalam
kenyataan, kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung dalam
perubahan yang terus-menerus (santâna, continuous flux). Kita pada saat
ini bukanlah kita yang sama pada saat sebelum atau saat kemudian. Kita
pada hari ini bukanlah kita yang sama pada hari kemarin atau esok.
Namun, kita pada kehidupan ini berasal dari kita pada kehidupan￾
kehidupan yang lampau, dan ini semua kemudian menjadi persyaratan
bagi kita pada kehidupan mendatang. Seseorang mungkin akan
menyanggah, “Jika bukan sesuatu yang sama, mengapa kita pada
kehidupan mendatang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan￾perbuatan kita dalam kehidupan sekarang dan lampau?” Untuk
menganggapi sanggahan semacam ini, Nâgasena Thera menyajikan suatu
perumpamaan yang gamblang tentang pencuri mangga. Ketika dituduh
mencuri mangga oleh pemiliknya, pencuri itu berkilah bahwa mangga
yang ia ambil bukanlah mangga yang sama dengan yang ditanam oleh
pemiliknya. Karena itu, ia tidak patut menerima hukuman apa pun.
Apakah karena [bibit] mangga yang ditanam tidaklah persis sama seperti
[buah] mangga yang diambil, pencuri itu terbebas dari delik pencurian?
Tidak bukan? Demikian pula, bukanlah karena tidak ada roh yang kekal,
suatu makhluk tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan￾perbuatannya dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Ini dapat
diibaratkan dengan hukum Daya Tarik Bumi (Gravitation) yang bersifat
universal, yang menarik semua benda tanpa kecuali –entah berjiwa atau
tidak.
tak terlalu sulit untuk menerima pendapat umum bahwa
makhluk hidup itu terdiri atas jasmani dan batin. Na￾mun, kiranya tidak gampang untuk menjelaskan bagai￾mana kaitan di antara kedua bagian tersebut.
Persoalannya akan menjadi lebih pelik lagi apabila tiba
pada penjelasan bagaimana dua bagian yang sangat berbeda itu dapat
‘berpadu’ membentuk suatu makhluk hidup yang utuh.
Jasmani adalah sesuatu yang jelas terlihat, terdengar, tercium,
terasa, dan tersentuh. Karena itu, sama sekali tidak ada masalah untuk
membuktikan keberadaannya. Sebaliknya, karena batin merupakan sesu￾atu yang tidak terlihat oleh mata biasa…, pembuktian atas keberadaannya
tidaklah gampang dilakukan, dan ini sering berbuntut pada perdebatan
yang panjang.
Dalam gagasan umum, kehidupan di dunia ini tidaklah terlepas
dari “waktu dan ruang” (time and space). Untuk bisa berada, jasmani
–yang merupakan salah satu bagian kehidupan– membutuhkan waktu
dan ruang. Sekarang timbul pertanyaan, apakah batin juga membutuhkan
waktu dan ruang untuk bisa berada? Pertanyaan semacam ini jarang sekali
dijawab secara telak. Namun, ada beberapa petunjuk tersirat yang meng￾iyakan pertanyaan tersebut. Dalam masyarakat umum di Indonesia, mi￾salnya, ada ungkapan “Jangan dimasukkan dalam hati.” Ungkapan ini
secara langsung maupun taklangsung menunjukkan bahwa ‘hati’ bukan
hanya merupakan salah satu organ tubuh dengan fungsi yang bersifat
kejasmaniahan, melainkan juga berfungsi sebagai tempat untuk menyim￾pan bentuk-bentuk pikiran, gagasan, ingatan, perasaan, dan sebagainya.
Salah satu penjelasan dalam KBBI atas aran ‘hati’ ialah sebagai sesuatu
yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala
perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan￾perasaan dsb). Dari penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa unsur￾unsur batiniah suatu makhluk itu ‘berada’ di dalam hati kendati tidak
disebutkan apakah semua itu juga muncul ‘dari’ dari dalam hati. Ini me￾rupakan suatu kepercayaan yang primitif. Para pemikir modern
cenderung mempercayai ‘otak’ sebagai tempat kemunculan bentuk￾bentuk pikiran, gagasan, ingatan, perasaan, dan sebagainya; dan di sini
pula semua itu disimpan. Mereka kebanyakan juga kurang bisa menerima
kepercayaan kuno bahwa unsur-unsur batiniah makhluk hidup –entah itu
disebut jiwa atau roh– berada dalam pernafasan.
Dalam Kitab Kejadian 2:7 dikisahkan bahwa Tuhan menciptakan
manusia dari debu tanah, dan menghembuskan ‘nafas hidup’ ke dalam
cuping hidung [saluran pernafasan]; sehingga manusia menjadi suatu
makhluk hidup yang berjiwa (roh). Kisah ini menyiratkan bahwa
roh/jiwa, yang merupakan bagian batiniah suatu makhluk hidup, dapat
‘disisipkan’ dalam pernafasan. Sukar sekali untuk dapat membayangkan
hal ini apabila dipercayai bahwa roh/jiwa merupakan sesuatu yang
nirbentuk (tidak mempunyai bentuk). Bagaimana mungkin sesuatu yang
nirbentuk dapat disisipkan ke dalam sesuatu yang berbentuk? Dengan
pertanyaan yang lain, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak memiliki
bentuk dapat dipadukan atau dicampur dengan sesuatu yang berbentuk?
Bagaimanapun, dari kisah tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa
“roh/jiwa” adalah sesuatu yang ‘berada’ dalam pernafasan.14 Bersumber
pada anggapan semacam inilah, kemudian dipercayai bahwa seseorang
yang sudah tidak bernafas lagi berarti telah mati –dalam arti roh/jiwanya
telah keluar dari dalam tubuh makhluk hidup. Entah apakah roh/jiwa itu
keluar melalui hidung (saluran pernafasan) –sebagaimana pertama kali￾nya dihembuskan– ataukah dari lubang-lubang lainnya.
Masyarakat Tibet mempercayai adanya sembilan lubang di mana
kesadaran yang merupakan unsur batiniah keluar dari tubuh suatu makh￾luk hidup. Dari lubang mana kesadaran itu keluar, ini menjadi pertanda di
alam kehidupan manakah ia akan terlahirkan kembali. Jika keluar dari lu￾bang dubur, orang yang mati akan terlahirkan kembali di Alam Neraka.
Jika keluar dari lubang kemaluan, orang yang mati akan terlahirkan di
Alam Binatang. Jika keluar dari lubang mulut, orang yang mati akan terla￾hirkan di Alam Peta. Jika keluar dari lubang hidung, orang yang mati akan
terlahirkan di Alam Manusia (atau mungkin Alam Surga). Jika keluar dari
lubang pusar [ada lubangnya?], orang yang mati akan terlahirkan di Alam
Dewa. Jika keluar dari lubang telinga, orang yang mati akan terlahirkan di
Alam Raksasa. Jika keluar dari lubang mata, orang yang mati akan terla￾hirkan di Alam Brahma Berbentuk. Jika keluar dari lubang dahi [?], orang
yang mati akan terlahirkan di Alam Brahma Nirbentuk. Sementara itu, jika
keluar dari lubang ubun-ubun, orang yang mati akan terlahirkan di Alam
Sukhâvatî yang merupakan Surga Sebelah Barat kediaman Buddha
Amitâbha. Lubang yang terakhir inilah yang menjadi idam-idaman para
pemeluk Tantrayâna di Tibet. Dengan dasar kepercayaan ini, kemudian
diperkenalkan adanya suatu latihan bernama ‘Bova’ yang bermanfaat un￾tuk mengendalikan ke lubang mana kesadaran akan dikeluarkan dari da￾lam tubuh manusia saat kematian. Latihan ini biasanya baru boleh
dilaksanakan dengan bimbingan seorang guru berpengalaman. Dengan
bantuan guru yang amat piawai –yang telah menembus Dharma serta me￾miliki kemampuan luar biasa–, orang yang sangat jahat sekali pun, yang
tidak pernah berbuat kebajikan serta tidak pernah berlatih Bova sebe￾lumnya, dapat mencapai kebebasan apabila kesadarannya berhasil di￾arahkan keluar menuju Alam Kebuddhaan (Amitâbha) melalui lubang ke
sembilan tersebut. Kepercayaan Tibet ini secara taklangsung menyiratkan
bahwa kesadaran adalah sesuatu yang memiliki ‘wujud’ atau ‘bentuk’
(form) yang tertampak –entah apakah dapat dilihat dengan mata biasa
atau hanya dengan mata batin. Kalau tidak ada wujudnya, bagaimana
mungkin dapat dikatakan keluar dari lubang ini atau itu? Kepercayaan
bahwa kesadaran atau unsur-unsur batiniah lainnya memiliki wujud ada￾lah suatu anggapan yang riskan. Ini kerap terjadi karena keterjebakan da￾lam upaya “menjasmanikan batin”, yang timbul karena ketakmampuan
dalam menjelaskan sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa, tidak ter￾dengar… dan sebagainya.
Walaupun mungkin tidak dapat dibuktikan di laboratorium
ilmiah, keberadaan unsur-unsur batiniah tidak begitu disangsikan. Akan
tetapi, dari mana atau di bagian mana unsur-unsur batiniah itu berada
memang bukanlah suatu pertanyaan yang gampang dijawab dengan
telak. Hadaya-vatthu –tempat kedudukan atau tempat kemunculan
kesadaran (citta)– adalah suatu topik Abhidhamma yang kerap
menimbulkan perdebatan yang panjang. Istilah ini diterjemahkan ke
dalam Bahasa Inggris sebagai ‘heart’. Ada sedikit kesukaran untuk
mengalihbasakannya ke Indonesia karena kata ini bisa berarti ‘hati’ atau
‘jantung’. Dalam KBBI, ‘hati’ dijabarkan sebagai organ badan yang
berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya
untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan
empedu. Sementara itu, ‘jantung’ dijelaskan sebagai bagian tubuh yang
menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah
atas). Yang dimaksudkan dengan Hadaya-vatthu dalam kitab
Abhidhamma [yang digubah belakangan] ialah suatu materi yang muncul
karena kamma (kammajarûpa), berada dalam salah satu organ tubuh
yang berbentuk seperti bunga teratai terkatup, yang di dalamnya berisi
darah yang mengalir sekitar satu telapak tangan yang mencembung,
berbentuk mirip danau dengan ukuran kira-kira sebesar biji bunga
‘mesua ferrea linn’. Berdasarkan pengertian ini, dapatlah disimpulkan
bahwa Hadaya-vatthu adalah suatu materi yang berada di dalam rongga
‘jantung’; bukan ‘hati’ (liver). Yang diacu bukanlah organ jantung secara
keseluruhan (maæsa-hadaya-rûpa), melainkan sesuatu yang sangat kecil
yang berada di bagian dalamnya (vatthu-hadaya-rûpa). Hadaya-vatthu
dianggap sebagai tempat kemunculan manodhâtu [terdiri atas tiga
kesadaran] dan manoviññâóadhâtu [terdiri atas 76 kesadaran].
Berlandaskan pada Hadaya-vatthu inilah, makhluk hidup berbuat
(melalui pikiran, ucapan dan tindakan) sesuatu yang bermanfaat maupun
yang tak bermanfaat. Menurut Bhikkhu Nârada, pandangan bahwa
jantung merupakan tempat kemunculan kesadaran (cardiac theory)
sudah ada sejak [sebelum] zaman Buddha Gotama, dan pandangan ini
didukung secara nyata oleh kaum Upani ad. Beliau sendiri tidak pernah
secara terang-terangan mendukung ataupun menolak pandangan ini.
Jantung serta otak memang merupakan organ tubuh yang terpenting.
Tanpa adanya kedua organ ini, tubuh jasmaniah makhluk hidup tidaklah
dapat berfungsi sebagaimana layaknya. Namun, tidak di bagian mana
pun dalam Kitab Suci Tipiöaka, Beliau pernah menyatakan bahwa jantung
atau otak merupakan tempat kemunculan kesadaran dalam alam yang
terdiri dari lima kelompok kehidupan (pañcavokârabhûmi). Dalam kitab
Abhidhamma yang terakhir, Paööhâna, Sang Buddha hanya mengakui
adanya kebergantungan pada materi (yaæ rûpaæ nissâya). Baru dalam
Kitab Atthasâlinî (ulasan atas Kitab Dhammasaõgaóî), Hadaya-vatthu
disebut oleh pengulas belakangan dan dijelaskan sebagai landasan
kesadaran (cittassa vatthu).
ibarat terbenamnya surya di ufuk langit yang berarti terbitnya
mentari di bagian lain dunia ini, demikian pula kematian
makhluk hidup di suatu alam berarti kelahiran kembali di
alam yang sama atau alam lainnya. Ini berlangsung terus
hingga makhluk itu meraih Pembebasan Sejati dari daur
Saæsara atau kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.
Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan
yang secara garis besarnya terbagi atas: empat alam kemerosotan (apâya￾bhûmi), satu alam manusia (manussabhûmi), enam alam dewa
(devabhûmi)15, enam belas alam brahma berbentuk (rûpabhûmi), dan
empat alam brahma nirbentuk (arûpabhûmi).
Apâyabhûmi
Istilah ‘apâyabhûmi’ terbentuk dari tiga kosakata, yakni ‘apa’
yang berarti ‘tanpa, tidak ada’, ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan’, dan ‘bhûmi’
yang berarti ‘alam tempat tinggal makhluk hidup’. Apâyabhûmi adalah
suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat
kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan
tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian
dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai ‘dugga￾tibhûmi’. ‘Duggati’ terbentuk dari dua kosakata, yakni ‘du’ yang berarti
‘jahat, buruk, sengsara’, dan ‘gati’ yang berarti ‘alam tujuan bagi suatu
makhluk yang akan bertumimbal lahir’. Duggatibhûmi adalah suatu alam
kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai se￾bagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis
cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam,
yakni: 1. alam neraka (niraya), 2. binatang (tiracchâna), 3. setan (peta),
4. iblis (asurakâya). Karena tidak semua binatang hidup dalam keseng￾saraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh
dan langsung Alam Neraka
‘Niraya’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘ni’ yang berarti
‘bukan, tidak ada’ dan ‘aya’ yang berarti ‘kebajikan, kebahagiaan,
perkembangan’. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang
penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan,
tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan. Neraka dalam pandangan
Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apa￾bila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terja￾tuh ke dalam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain
yang lebih tinggi –tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah
mereka lakukan sepanjang kehidupan-kehidupan lampau. Konon diki￾sahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan
seekor anjing, berada dalam alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari.16
Tidaklah ‘adil’ untuk menjebloskan suatu makhluk sepanjang hidup (sela￾manya) dalam neraka hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilaku￾kannya –dengan mengabaikan semua kebajikannya dan tanpa memberi
peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah
suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan suatu Pencipta Adiko￾drati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk￾makhluk ciptaannya.
Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu neraka besar (mahâ-
niraya) dan neraka kecil (ussadaniraya). Neraka besar terdiri atas delapan
alam:
1. Sañjîva: alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi diban￾tai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di
sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditang￾gung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk
menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan
terlahirkan di alam ini.
2. Kâïasutta: alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan
cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji
dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh
bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmaóera yang suka
melanggar vinaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
3. Saõghâta: alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh
lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya
melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pem￾buru, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
4. Dhûmaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap
api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepe￾ngapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau ne￾layan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagai￾nya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
5. Jâlaroruva: alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api
melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan.
Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik
bhikkhu, sâmaóera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang di￾pakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
6. Tâpana: alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi
membara. Mereka yang membakar kota, vihâra, sekolahan dan sebagai￾nya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.
7. Patâpana: alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju pun￾cak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak ter￾pancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa
pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mes￾tika tidak berguna, penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak
ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa, ti￾dak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk
yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam
ini.
8. Avîci: alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi
membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka
yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu
atau Arahanta, melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah
pasamuan Saõgha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Avîci kerap diang￾gap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.
Neraka kecil terdiri atas delapan alam:
1. Aõgârakâsu: alam neraka yang terpenuhi oleh bara api
2. Loharasa: alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair
3. Kukkula: alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara
4. Aggisamohaka: alam neraka yang terpenuhi oleh air panas
5. Lohakhumbhî: alam neraka yang merupakan panci tembaga
6. Gûtha: alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk
7. Simpalivana: alam neraka yang merupakan hutan pohon ber￾duri
8. Vettaraóî: alam neraka yang merupakan air garam berisi duri
rotan
Alam Binatang
‘Tiracchâna’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘tiro’ yang berarti
‘melintang, membujur’, dan ‘acchâna’ yang berarti ‘pergi, berjalan’. Tirac￾châna atau binatang adalah suatu makhluk yang umumnya berjalan de￾ngan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.
Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi
jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam
manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inde￾rawi serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan
sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya. Binatang
tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari keja￾hatan, kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, con￾science) –kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (bodhisatta)
yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan
sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya]
atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya]. Binatang mempunyai
banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya
dapat dibedakan menjadi empat macam, yakni: 1. yang tak berkaki seper￾ti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada), 2. yang berkaki dua seperti
ayam, bebek, burung dan lain-lain (dvipada), 3. yang berkaki empat se￾perti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada), 4. yang berkaki ba￾nyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain (bahuppada).
Dalam pandangan Kristen serta beberapa agama Theistik lain￾nya, semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak
mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa
akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan
perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bu￾kan ditentukan oleh perbuatan mereka –baik dalam kehidupan sekarang
maupun kehidupan-kehidupan yang lampau–; melainkan merupakan
wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata un￾tuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga mau￾pun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristen
yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama
lagi di surga sebagaimana di bumi.
Alam Setan
‘Peta’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘pa’ yang berarti ‘ke de￾pan, menyeluruh’, dan ‘ita’ yang berarti ‘telah pergi, telah meninggal’.
Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka –yang menderita
karena tersiksa–, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, ke￾hausan dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terla￾hirkan sebagai setan ialah pencurian dsb. Seperti binatang, setan tidak
mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia
ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan,
kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan
untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, bina￾tang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang￾bayang gelap dan lain-lain. Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni: 1.
yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara
penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîvika), 2. yang senantiasa
kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika), 3. yang senantiasa
terberangus (nijjhâmataóhika), 4. yang tergolong sebagai iblis atau
makhluk yang suram (kâlakañcika). Jenis yang pertama itu dapat mene￾rima penyaluran jasa karena mereka bertinggal di sekitar atau di dekat
manusia, sehingga dapat mengetahui pemberian ini dan ber-anumodanâ
[menyatakan kenuragaan atas kebajikan yang diperbuat oleh makhluk
lain]. Apabila taktahu dan tak ber-anumodanâ, penyaluran jasa ini tidak
dapat diterima. Kalau terlahirkan sebagai setan, bodhisatta niscaya men￾jadi setan jenis paradattupajîvika; tidak mungkin menjadi setan jenis yang
lainnya. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian mempunyai ke- melekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga,
dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.
Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-saæyutta, disebutkan adanya 21
macam setan, yaitu: 1. yang hanya bertulang tanpa daging (aööhisaõkha￾sika), 2. yang hanya berdaging tanpa tulang (maõsapesika), 3. yang
berdaging benjol (maõsapióòa), 4. yang tak berkulit (nicchavirisa), 5.
yang berbulu seperti pisau (asiloma), 6. yang berbulu seperti tombak (sat￾tiloma), 7. yang berbulu seperti anak panah (usuloma), 8. yang berbulu
seperti jarum (sûciloma), 9. yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti￾yasûciloma), 10. yang berpelir besar (kumbhaóòa), 11. yang terbenam da￾lam tahi (gûthakûpanimugga), 12. yang makan tahi (gûthakhâdaka), 13.
yang berjenis betina tanpa kulit (nicchavitaka), 14. yang berbau busuk
(duggandha), 15. yang bertubuh bara api (ogilinî), 16. yang tak berkepala
(asîsa), 17. yang berperawakan seperti bhikkhu, 18. yang berperawakan
seperti bhikkhuóî, 19. yang berperawakan seperti calon bhikkhuóî
(sikkhamâna), 20. yang berperawakan seperti sâmaóera, 21. yang ber￾perawakan seperti sâmaóerî.
Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebut￾kan adanya 12 macam setan, yaitu: 1. yang makan ludah, dahak dan mun￾tahan (vantâsikâ), 2. yang makan mayat manusia atau binatang
(kuópâsa), 3. yang makan tahi (gûthakhâdaka), 4. yang berlidah api (ag￾gijâlamukha), 5. yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha), 6.
yang terdorong keinginan tiada habis (taóhaööita), 7. yang bertubuh hitam
pekat (sunijjhâmaka), 8. yang berkuku panjang dan runcing (satthaõga),
9. yang bertubuh sangat besar (pabbataõga), 10. yang bertubuh seperti
ular piton (ajagaraõga), 11. yang menderita di siang hari tetapi menikmati
kesenangan surgawi di malam hari (vemânika), 12. yang memiliki kesak￾tian (mahiddhika).
Alam Iblis
‘Asurakâya’ terbentuk atas tiga kosakata, yaitu ‘a’ yang merupa￾kan unsur pembalik, ‘sura‘ yang berarti ‘cemerlang, gemilang’, dan ‘kâya’
yang berarti ‘tubuh’. Namun, yang dimaksud dengan ‘tak cemerlang’ di
sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh, melainkan
suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat
batin tidak berceria. Istilah ‘asura’ mungkin juga berasal dari kisah keja￾tuhan dari Surga Tâvatiæsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya
akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk
tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam
kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai ‘pubbadevâ’. Asu￾rakâya atau iblis17 terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. iblis berupa dewa
(deva-asurâ), 2. iblis berupa setan (peti-asurâ), 3. iblis berupa penghuni
neraka (niraya-asurâ). Deva-asurâ terdiri atas vepacitti, râhu, subali,
pahâra, sambaratî, dan vinipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika,
vemânika, dan âvuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu
yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelela￾war.
Manussabhûmi
‘Manussa’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘mano’ yang berarti
‘pikiran, batin’ dan ‘ussa’ yang berarti ‘tinggi, luhur, meningkat, berkem￾bang’. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang
serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta
memahami sebab yang layak [kâraóâkaraóaæ manatijânâtîti=manusso],
yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [at￾thânattaæ manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang
merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalaæ manati jânâtîti=ma￾nusso]. Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pub￾bavidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang
berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di
Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Apara￾goyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di
Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesi￾laan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu
mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat ma￾nusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman Buddha Gotama, usia
rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu
abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Go￾tama telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata
umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun. Seorang Sammâsam￾buddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia lebih pendek
dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat
memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan
muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan
orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan
atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak per￾nah terlahirkan di tiga tempat lainnya –apalagi di alam-alam kehidupan
selain alam manusia. Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapaóóâsaka mem￾berikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan
yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan
atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia
dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk
lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau
marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis￾caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya
akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau
sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak ge￾mar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma
niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan. Demikian pula
kebalikannya.
Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta
disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi
yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama
kali muncul/lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud se￾bagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan terse￾but juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu
proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam
hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan
dari Alkitab.
Devabhûmi
Ada tiga macam deva atau dewa dalam pandangan Agama Bud￾dha, yaitu 1. Upattideva: dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan ke￾lahirannya, 2. Sammutideva: dewa berdasarkan persepakatan atau
perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya, 3. Visud￾dhideva: dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain
ialah Arahanta. Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah
merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk sur￾gawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi dalam
pandangan Buddhis tidaklah bersifat kekal. Mereka bisa mati karena
salah satu dari empat sebab: genapnya usia, habisnya kebajikan, terlena
dalam kenikmatan hingga lupa makan, murkah atau irihati.
Dalam kebanyakan agama Theistik, surga dipercayai sebagai su￾atu alam kehidupan yang bersifat kekal. Kepercayaan atas ‘kekekalan’
alam surga ini sempat menjadi topik perdebatan yang panjang. Diper￾cayai bahwa manusia jatuh dari Taman Eden dan mengalami pelbagai
penderitaan di dunia ini karena ketakpatuhan nenek-moyang mereka,
Adam dan Hawa, terhadap perintah serta larangan Tuhan. Hidup bersama
Tuhan di alam surga adalah idam-idaman mereka; menjadi tujuan akhir.
Manusia pernah bertinggal di Taman Eden, dan kemudian diusir dari
sana. Pertanyaan yang perlu dijawab sekarang ialah: Kalau seandainya
kita telah masuk surga, apakah mungkin suatu waktu nanti kita akan diu￾sir lagi dari sana? Jika demikian, bagaimana mungkin surga dianggap se￾bagai suatu alam yang kekal? Apa makna kekekalan itu sendiri? Dalam
pandangan Theistik tersebut, manusia adalah suatu makhluk yang penuh
dengan kelemahan serta kekurangan. Sangatlah mustahil bagi seseorang
untuk dapat memiliki ‘kesempurnaan’ batiniah. Bahkan, Tuhan yang
dipercayai sebagai Pencipta yang Mahasempurna sendiri sering dikatakan
masih memiliki sifat ‘cemburu’, ‘irihati’, ‘murkah’ dan sebagainya. Yang
perlu direnungkan ialah, apabila dalam sanubari manusia masih terdapat
kekotoran batiniah semacam itu, seandainya nanti mereka bertinggal di
surga yang kekal, apakah tidak mungkin bahwa akan timbul permasalah￾an yang berbuntut pada perbuatan-perbuatan berdosa, misalnya mem￾bunuh, mencuri, berzinah, berdusta dan sebagainya? Jika kemungkinan
ini benar-benar terjadi, lalu bagaimana nasib manusia nantinya? Apa hu￾kuman bagi pelaku dosa? Dijebloskan ke dalam neraka? Diusir dari surga
kekal?
Dalam pandangan Agama Buddha, alam surga di mana para
dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak
kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu: 1. Câtu￾mahârâjikâ, 2. Tâvatiæsa, 3. Yâmâ, 4. Tusita, 5. Nimmânaratî, 6. Para￾nimmitavasavattî.Alam Câtumahârâjikâ
Alam Câtumahârâjikâ adalah suatu alam surgawi paling rendah
yang berada dalam kekuasaan empat raja dewa, yakni: Dhataraööha, Vi￾ruïhaka, Virûpakkha, dan Kuvera. Empat raja dewa ini juga dipercayai se￾bagai pelindung alam manusia, dan karenanya dikenal dengan sebutan
‘Catulokapâla’. Dalam Kitab Lokîyapakaraóa, empat dewa pelindung
dunia ini dipanggil sebagai Inda, Yama, Varuóa dan Kuvera. Berdasarkan
tempat tinggalnya, para dewa-dewi tingkat Câtumahârâjikâ terbagi atas
tiga, yaitu: 1. yang berada di daratan (bhumaööha), 2. yang berada di po￾hon (rukkha)18, 3. yang berada di angkasa (âkâsaööha). Empat raja dewa
serta beberapa dewa lainnya mempunyai ‘istana’ (vimâna) khusus bagi
diri mereka masing-masing. Bagi yang tak mempunyai istana secara
khusus, gunung, sungai, lautan, pohon yang ditinggali itulah istana bagi
mereka. Kehidupan di Câtumaharâjikâ berlangsung selama 500 tahun
dewa atau kira-kira sembilan juta tahun manusia.19 Para dewa-dewi di
tingkat Câtumahârâjikâ ada yang cenderung berhati jahat, yaitu 1. Gan￾dhabbo/Gandhabbî: yang berada di pohon-pohon berbau harum, yang
belakangan mungkin dikenali oleh orang-orang Jawa sebagai ‘gondo￾ruwo’. Makhluk halus ini sangat melekati tempat tinggalnya. Walaupun
pohon tempat tinggalnya ditebang, ia masih tetap mengikuti ke mana po￾hon itu dipindahkan –tidak seperti rukkhadeva lainnya, yang akan meng￾ungsi ke pohon lain yang masih hidup, 2. Kumbhaóòo/Kumbhaóòî: pen￾jaga harta pusaka, hutan, dan sebagainya, 3. Nâgo/Nâgî: naga yang memi￾liki kesaktian, yang mampu menyalin rupa dalam wujud makhluk lain
seperti manusia, binatang dan sebagainya, 4. Yakkho/Yakkhióî: raksasa
yang gemar menganiaya para penghuni neraka.
Alam Tâvatiæsa
‘Tâvatiæsa’ adalah alam surgawi tingkat kedua. Alam ini sebe￾lumnya merupakan tempat tinggal para asurakâya. Nama ‘Tâvatiæsa’
baru dipakai setelah 33 pemuda di bawah pimpinan Mâgha, yang terla￾hirkan kembali di sini akibat kebajikan yang dilakukan bersama-sama,
berhasil menyingkirkan para asurakâya. Para dewa-dewi di Tâvatiæsa
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 1. Bhummaööha: Sakka beserta 32
dewa pembesar, 2. Âkâsaööha: yang bertinggal dalam istana di angkasa.
Ibukota Tâvatiæsa ialah Masakkasâra. Balai Sudhamma menjadi tempat
bagi para dewa-dewi untuk memperbincangkan Kebenaran Dhamma di
bawah asuhan Sakka20. Brahmâ Sanaõkumâra kerap menjadi tamu pem￾babar Dhamma di sini. Buddha Gotama pernah berkunjung ke alam ini,
dan bertinggal selama tiga bulan untuk mewejangkan Abhidhamma ke￾pada ibunda-Nya, yang terlahirkan kembali sebagai putra dewa di alam
Tusita. Moggallâna Thera juga pernah beberapa kali pergi ke alam ini,
dan dari sejumlah penghuninya, beliau memperoleh kesaksian atas
perbuatan-perbuatan bajik yang membawa mereka terlahirkan kembali di
sini. Kebajikan ini antara lain ialah merawat ayah-ibu, menghormat sese￾puh dalam keluarga, berbicara lemah lembut, menghindari penghasutan,
mengikis kekikiran, bersifat jujur, menahan marah. Usia rata-rata para
dewa-dewi yang terlahirkan di alam Tâvatiæsa ialah 1,000 tahun dewa
atau kira-kira 36 juta tahun manusia.
Yâmâbhûmi
Yâmâbhûmi adalah alam surgawi tingkat ketiga, menjadi tempat
bagi para dewa-dewi yang terbebas dari segala kesukaran, yang ter￾berkahi dengan kebahagiaan surgawi. Pemegang kekuasaan dalam alam
ini ialah Suyâma. Alam ini berada di angkasa. Dalam alam ini dan tingkat
yang lebih tinggi, tidak ada dewa-dewi yang tergolong sebagai bhum￾maööha –yang bertinggal di daratan. Istana, harta serta tubuh para dewa￾dewi di alam ini jauh lebih indah dan halus daripada yang bertinggal di
Tâvatiæsa. Rentang hidup mereka ialah 2,000 tahun dewa atau kira-kira
142 juta tahun manusia.
Tusitabhûmi
Tusitabhûmi adalah alam surgawi tingkat keempat. Para dewa￾dewi yang hidup di alam ini senantiasa berceria atas keberadaan yang di￾miliki. Semua Bodhisatta, sebelum turun ke dunia dan meraih Pencerah-an Agung, terlahirkan di alam ini untuk menanti waktu yang tepat bagi
kemunculan seorang Buddha. Demikian pula mereka yang akan menjadi
orangtua serta Siswa Utama (Aggasâvaka). Sekarang ini, Bodhisatta Met￾teyya –yang akan menjadi Sammâsambuddha setelah ajaran Buddha Go￾tama punah dari muka bumi ini– sedang berada di alam ini. Usia rata-rata
di alam ini ialah 4,000 tahun dewa atau kira-kira 567 juta tahun manusia.
Nimmânaratîbhûmi
Nimmânaratîbhûmi adalah alam surgawi tingkat kelima. Para
dewa-dewi di alam ini menikmati kepuasan inderawi sebagaimana yang
diciptakan sendiri sesuka hati mereka. Rentang hidup para dewa-dewi di
alam ini ialah 8,000 tahun dewa atau kira-kira 2,304 juta tahun manusia.
Paranimmittavasavattî
Paranimmittavasavattî adalah alam surgawi tingkat terakhir. Apa￾bila para dewa-dewi di alam Nimmânaratî menikmati kepuasan inderawi
sebagaimana yang diciptakan sendiri sesuka hati mereka, para dewa￾dewi di alam ini menikmatinya dari apa yang diciptakan atau disediakan
oleh yang lain, yang tahu kebutuhan serta keinginan mereka. Usia rata￾rata di alam ini ialah 16,000 tahun dewa atau kira-kira 9,216 juta tahun
manusia.
Rûpabhûmi
Rûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan ‘rûpâv￾acaravipâkacitta’ atau kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam
brahma berbentuk. Dengan perkataan lain, rûpabhûmi adalah suatu alam
tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang
dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan
khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jhâna yang luhur. Jhâna di￾hasilkan dari pengembangan Samatha-Kammaööhâna –meditasi pemu￾satan batin pada satu objek demi tercapainya ketenangan. Alam brahma
terdiri atas 16 alam, yakni: tiga alam bagi peraih Jhâna pertama
(paöhama), tiga alam bagi peraih Jhâna kedua (dutiya), tiga alam bagi
peraih Jhâna ketiga (tatiya), dua alam bagi peraih Jhâna keempat (catut￾tha), dan lima alam Suddhâvâsa.
Paöhamajhânabhûmi
Tiga alam bagi peraih Jhâna pertama ialah 1. Pârisajjâ: alam ke￾hidupan bagi brahma pengikut, yang tidak memiliki kekuasaan khusus, 2.
Purohitâ: alam kehidupan bagi brahma penasihat, yang berkedudukan
tinggi sebagai pemimpin dalam kegiatan-kegiatan, 3. Mahâbrahmâ: alam
kehidupan bagi brahma yang memiliki kebajikan khusus yang besar.
Dutiyajhânabhûmi
Tiga alam kehidupan bagi peraih Jhâna kedua atau Jhâna ketiga
ialah 1. Parittâbhâ: alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya lebih
sedikit daripada brahma yang berada di atasnya, 2. Appamâóâ: alam ke￾hidupan bagi brahma yang bercahaya cemerlang nirbatas, 3. Âbhassarâ:
alam kehidupan bagi brahma yang bercahaya menyebar-luas dari tu￾buhnya.
Tatiyajhânabhûmi
Tiga alam bagi peraih Jhâna keempat ialah 1. Parittasubhâ: alam
kehidupan bagi brahma yang bercahaya indah tapi lebih sedikit daripada
brahma yang berada di atasnya, 2. Appamâóasubhâ: alam kehidupan
bagi brahma yang bercahaya indah nirbatas, 3. Subhakióhâ: alam kehi￾dupan bagi brahma yang bercahaya indah di sekujur tubuhnya.
Catutthajhânabhûmi
Dua alam bagi peraih Jhâna kelima ialah: 1. Vehapphalâ: alam
kehidupan bagi brahma yang berpahala sempurna, yang terbebas dari se￾gala bahaya, 2. Asaññasatta: alam kehidupan bagi brahma yang bertu￾mimbal lahir dalam wujud materi berasal dari perbuatan saja
(kammajarûpa). Dalam alam ini sama sekali tidak ada unsur batiniah. Ke￾lahiran di alam brahma ini terjadi karena pengembangan perenungan
yang memacak terhadap unsur batiniah yang menjijikkan sehingga tak
menghasratinya (saññâvirâgabhâvanâ). Karena tidak dilengkapi dengan
unsur-unsur batiniah, di alam ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk
mengembangkan kebajikan. Makhluk-makhluk yang terlahirkan secara
jasmaniah hanya sekadar menghabiskan akibat perbuatan lampaunya.
Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan dalam alam ini.
Suddhâvâsabhûmi
Suddhâvâsabhûmi adalah suatu alam kehidupan bagi mereka
yang telah terbebas dari nafsu birahi (kâmarâga) dan sebagainya, yaitu
para Anâgâmî yang berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima. Makhluk￾makhluk lain yang belum mencapai kesucian tingkat Anâgâmî, meskipun
berhasil meraih pencerapan Jhâna kelima, tidak akan terlahirkan di alam
ini. Di sinilah para Anâgâmî akan meraih kesucian tingkat Arahatta. Para
Bodhisatta tidaklah pernah terlahirkan di alam ini sebab makhluk￾makhluk yang terlahirkan di alam ini tidak akan terlahirkan kembali di
alam-alam lain yang lebih rendah. Kadangkala, ketika tidak ada Buddha
yang muncul dalam kurun waktu yang lama, alam ini kosong melompong
tanpa penghuni. Alam ini terbagi menjadi lima tingkat, yaitu: 1. Avihâ:
alam kehidupan bagi brahma yang tidak meninggalkan tempat tinggalnya
hingga habisnya usia, 2. Atappâ: alam kehidupan bagi brahma yang se￾nantiasa berada dalam ketenangan yang menyejukkan, 3. Sudassâ: alam
kehidupan bagi brahma yang tubuhnya bercahaya sangat indah mena￾wan hati, 4. Sudassî: alam kehidupan yang lebih sempurna dalam pengli￾hatan daripada alam Sudassâ, 5. Akaniööhâ: alam kehidupan bagi brahma
yang terlengkapi dengan harta surgawi serta kebahagiaan yang tak ter￾tandingi oleh alam mana pun. Ini merupakan alam tertinggi bagi para su￾ciwan.
Para Anâgâmî yang berkemampuan menonjol dalam bidang ke￾yakinan (saddhindrîya) niscaya terlahirkan kembali di alam Avihâ; se￾mangat (viriyindrîya) di alam Atappâ; penyadaran jeli (satindrîya) di alam
Sudassâ; pemusatan (samâdhindrîya) di alam Sudassî; kebijaksanaan
(paññindrîya) di alam Akaniööhâ.
Arûpabhûmi
Arûpabhûmi merupakan suatu alam tempat kemunculan empat
unsur batiniah yakni kesadaran akibat yang lazim berkelana dalam alam
brahma nirbentuk (arûpâvacaravipâkacitta). Dengan perkataan lain,
arûpabhûmi adalah suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma
nirbentuk. Meskipun disebut sebagai suatu ‘alam’ yang mengacu pada
tempat atau bentuk, di sini sesungguhnya sama sekali tidak ada unsur
jasmaniah sehalus apa pun dan dalam wujud apa pun. Sebutan ini
terpaksa dipakai untuk dapat mengacu pada kemunculan serta
keberadaan unsur-unsur batiniah tersebut. Kelahiran di alam brahma
nirbentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang memacak
terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tak menghasratinya
(rûpavirâgabhâvanâ). Arûpabhûmi terbagi menjadi empat alam, yakni:
1. Âkâsânañcâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk
yang berhasil meraih meditasi tingkat paöhama-arûpajhâna yang berobjek
pada angkasa yang nirbatas, 2. Viññâóañcâyatanabhûmi: alam
kehidupan bagi brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat
dutiya-arûpajhâna yang berobjek pada kesadaran yang nirbatas, 3.
Âkiñcaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi brahma nirbentuk yang
berhasil meraih meditasi tingkat tatiya-arûpajhâna yang berobjek pada
kehampaan, 3. Nevasaññânasaññâyatanabhûmi: alam kehidupan bagi
brahma nirbentuk yang berhasil meraih meditasi tingkat catuttha￾arûpajhâna yang berobjek pada bukan ingatan bukan pula tanpa-ingatan.


ada kepercayaan di kalangan Cina dan Jepang bahwa se￾orang manusia yang meninggal dunia tidak langsung
terlahirkan kembali di alam berikutnya, melainkan ma￾sih “gentayangan” –dengan perkataan lain berada dalam
“alam antara” atau lebih tepatnya “perwujudan persing￾gahan” (antarâbhava)– selama tujuh hari. Apabila karena alasan tertentu
gagal menemukan alam yang cocok, ia akan mati dan langsung muncul
bergentayangan selama jangka waktu tujuh hari lagi. Penundaan ini dapat
berlangsung terus hingga batas waktu 49 hari (tujuh minggu).21
Dengan dasar kepercayaan tersebut, pihak keluarga lazimnya
memperlakukan jenazah orang yang mati sebagaimana layaknya masih
hidup. Kebutuhan hidupnya sehari-hari, seperti air untuk sikat gigi,
mandi dan sebagainya, dipersiapkan di depan peti. Makanan kegemaran￾nya tidak lupa dihidangkan pula tiga kali sehari. Bahkan, kalau hujan tu￾run, peti mati yang sesungguhnya terletak di rumah yang beratap baik itu
dipayungi.
Kepercayaan tentang keadaan pertengahan (intermediate state)
antara kematian dengan kelahiran kembali tersebut berakar kuat pada
“teori-roh” Brahmanisme awal yang berciri animistik. Suatu roh kekal
yang takberubah (âtman) dipakai oleh kaum Upani ad untuk menjelas￾kan proses penitisan dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Mereka
percaya bahwa roh-kekal bertolak dari tubuh jasmaniah saat kematian,
dan dalam penitisan kembali (incarnation), roh ini memperoleh tempat
bercokol di tubuh yang baru. Âtman menjadi jembatan (setu) di antara
dua kehidupan. Kepercayaan tentang adanya jenjang sementara (tempo￾ral gap) ini disebutkan dalam Kau…tak… Upani ad: “Semua makhluk yang
meninggal dunia pergi menuju bulan. Dalam belahan yang terang, bulan
menyambut jiwa mereka; dalam belahan gelap lainnya, bulan mengirim￾kan mereka untuk lahir kembali. Sesungguhnya, bulan adalah pintu
dunia surgawi. Sekarang, apabila suatu makhluk tidak puas dengan kehi-
dupan di sana, bulan akan membebaskannya. Apabila ia tidak menolak,
bulan kemudian akan menurunkannya sebagai hujan di bumi.”
Alam antara diacu beberapa kali dalam mitologi ¬g Veda. Keper￾cayaan bahwa orang yang mati, sebelum menitis kembali sebagai manu￾sia atau binatang, terus berada dalam dunia roh, makan bebauan dan
sebagainya, termasuk sebagai pemujaan umum Atharvaveda.
Para penganut Zoroastrianisme di Persia mempercayai Chinvat,
suatu jembatan yang harus diseberangi setelah kematian. Bagi orang yang
menunaikan kebajikan, jembatan ini sangat lebar sehingga me￾mungkinkan baginya untuk berjalan menuju Surga; sedangkan bagi pe￾laku kejahatan, jembatan ini amat sempit sehingga menyebabkannya
terjerembab jatuh ke dalam neraka.
Kendati tidak ada rujukan yang telak dan jelas dalam Alkitab,
Gereja Roman Katholik mempercayai adanya alam atau keadaan di mana
roh orang mati –yang masih memiliki dosa terampunkan [pelanggaran
serta pembangkangan terhadap perintah Tuhan, ketaksempurnaan, dan
kebiasaan-kebiasaan buruk]– akan disiksa demi penyucian sebelum
masuk ke Surga. Ini berlangsung segera setelah seseorang meninggal
dunia, melalui penghakiman perorangan (individual judgment). Baru
pada konsili Lyon dan Florence di Zaman Pertengahan, dogma tentang
“alam penyiksaan sementara” (purgatory) ini dianggap sebagai suatu ke￾percayaan wajib (required belief); dan pada konsili Trent di Zaman Refor￾masi, pendefinisiannya diabsahkan. Ada beberapa sumber yang
membentuk kepercayaan tentang alam penyiksaan sementara ini. Kitab
Makabe Pertama bercerita tentang umat Kristen yang berdoa untuk orang
mati. Doa semacam ini melahirkan pemikiran kritis: jika orang mati itu te￾lah masuk Surga Kekal, ia berarti telah menerima pahala yang semestinya
dan tidak membutuhkan suatu doa lagi. Sebaliknya, apabila orang mati
itu telah masuk Neraka Abadi, suatu doa yang ditujukan kepadanya tentu
sia-sia belaka (percuma) karena ia sudah tidak mungkin dapat ditolong
lagi. Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Korintus menyinggung
tentang api yang menguji mutu perbuatan manusia. Ini tidak mungkin
merujuk pada Neraka Abadi karena tidak ada orang yang mampu menye￾lamatkan diri dari sana; dan ini tidak mungkin mengacu pada Surga Kekal
karena di sana sama sekali tidak ada kesakitan. Ini tentu mengarah pada
suatu keadaan, tempat atau alam antara yang bersifat sementara. Kata
kuncinya, dalam bahasa asal Yunani, ialah ‘zemiothesetai’ yang diterje￾mahkan dalam banyak versi Alkitab sebagai “mengalami kerugian”. Le￾tak, masa berlaku serta keadaan penyiksaan alam sementara ini masih
merupakan teka-teki yang takterpecahkan. St. Augustine 22 agaknya mem￾percayai bahwa api yang sama –yang dipakai untuk menyiksa orang￾orang berdosa di Neraka Abadi– juga digunakan untuk menyucikan
orang terpilih dan terselamatkan di alam penyiksaan sementara. Bebe￾rapa pihak menafsirkan bahwa kedua alam itu kalau bukan berada di
tempat yang sama, tentu sangat berdekatan. St. Thomas Aquinas menulis￾kan bahwa barangkali ada dua lokasi alam penyiksaan sementara: yang
satu berada di dalam bumi dan berdekatan dengan Neraka Abadi se￾hingga dapat membagi api yang sama, sedangkan yang satunya lagi
berada di atas bumi di antara manusia dan Tuhan. Masa penyiksaan da￾lam alam sementara itu mungkin berakhir hingga pada hari Penghakiman
Akhir (Last Judgment). Keberadaan di alam penyiksaan sementara ini da￾pat dipersingkat melalui pemanjatan doa, amal sedekah, puasa serta upa￾cara kurban dari sanak keluarga atau kerabat yang masih hidup.
Dalam masa reformasi Protestan, Martin Luther pada awalnya
menerima kepercayaan tentang “alam penyiksaan sementara” ini. Pada
tahun 1519, ia menandaskan bahwa keberadaannya tidak dapat ditolak.
Namun, sebelas tahun kemudian, ia berubah pikiran dengan menyatakan
bahwa keberadaannya ternyata tidak dapat dibuktikan. Dalam tahun
1530 itu pula, selanjutnya ia secara tegas menolak gagasan tersebut. Sejak
saat itu hingga sekarang, kaum Protestan tidak mempercayai keberadaan￾nya. Demikian pula para pemeluk Gereja Orthodoks Timur, meskipun
mereka memanjatkan doa untuk orang mati (intercession). Sikap peno￾lakan yang keras diperlihatkan oleh umat Kristen liberal. Argumentasi
mereka ialah: apabila nasib roh di alam sementara dapat dipengaruhi
oleh mereka yang masih hidup melalui pemanjatan doa, dua orang indi￾vidu yang sedang dihukum karena kejahatan yang sama akan mengalami
penyiksaan yang berbeda –tergantung pada seberapa banyak sanak ke￾
luarga atau kerabat yang dimiliki. Ini sangat tidak adil; dan ketakadilan
semacam ini tentu tidak dapat dikaitkan dengan karya agung Tuhan yang
Maha-Adil. Bagaimanapun, penolakan terhadap keberadaan alam pe￾nyiksaan sementara tidaklah berarti bahwa persoalannya akan menjadi
beres. Kesenjangan waktu setelah kematian dan sebelum Penghakiman
Akhir pada hari Kiamat nanti [yang hingga kini belum dapat dipastikan]
membuka cela kesangsian baru. Di manakah roh-roh itu berada? Bebe￾rapa pihak mencuatkan gagasan tentang adanya “roh yang tertidur”
(sleeping soul). Roh orang yang mati akan terus berada dalam keadaan
penantian yang pasif ini hingga tibanya hari Penghakiman Akhir. Baru
pada waktu itulah, nasib seseorang akan diputuskan, apakah dikaruniahi
Surga Kekal atau diganjar dengan Neraka Abadi. Gagasan tentang “roh
yang tertidur” ini agaknya dianut oleh banyak gereja kendati mengan￾dung banyak ketakselarasan –dengan ajaran mendasar tentang kesinam￾bungan kehidupan pribadi, salah satu contohnya.
Dogma Kristen tentang alam penyiksaan sementara sesung￾guhnya dipungut dari Agama Yahudi, yang telah berkembang luas jauh
sebelum kelahiran Yesus. Disebutkan bahwa Judas Maccabæus pernah
berdoa dan mempersembahkan kurban untuk menebus dosa para praju￾ritnya yang tewas di medan laga. Apabila terbebaskan dari dosa, orang￾orang yang mati itu diharapkan dapat hidup dengan damai. Sementara
para pelaku dosa berat (desperate sinners) dihukum sepanjang waktu,
orang-orang yang lain jatuh ke Gohenna, mengerang kesakitan, dan ke￾mudian bangkit kembali.
Di lain pihak, Agama Buddha menolak adanya suatu jeda yang
menyambungkan keberlangsungan proses tumimbal-lahir; apakah itu
merupakan suatu alam sementara maupun hanya sebagai suatu keadaan
batiniah sesaat. Dalam filsafat Buddhis, kehidupan adalah suatu arus
(sota), suatu rangkaian (paöipâöi) yang tak terputuskan (abbhocchinna)
dari lima kelompok kehidupan (khandha). Tidak mungkin ada jeda, se￾lang, cela atau perhentian dalam kesinambungan hidup (bhava-santati)
karena ini bertentangan dengan dalil samanantara dan anantara-paccaya
(keadaan berjujuh dan tanpa-antara), yang merupakan dua sebab keter￾gantungan dari 24 Paccaya. Dalam pengertian Abhidhamma, begitu kesa￾daran ajal (cuti-citta) padam [dalam diri makhluk yang mati], kesadaran
bertumimbal-lahir (paöisandhi-citta) langsung muncul mengikutinya [da￾lam diri makhluk yang baru]. Tidak ada alam antara ataupun perwujudan
persinggahan. Begitu suatu makhluk mati dari satu alam kehidupan, ia
langsung terlahirkan kembali di salah satu dari 31 Alam Kehidupan.
Proses kelangsungan hidup ini akan berlanjut terus secara berjujuh
hingga suatu makhluk meraih Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna), yang
merupakan akhir dari segala penderitaan.
Menyimpang dari ajaran murni Buddha Gotama, beberapa sekte
sempalan dalam Agama Buddha belakangan menyusupkan kepercayaan
tentang antarâbhava. Menurut sekte Vijñanavâda, materi adalah kha￾yalan pikiran. Makhluk yang lahir dari rahim, dari telur, melalui kelem￾baban, dan pelbagai tubuh makhluk hidup terlahirkan dalam keberadaan
pertengahan, dan kemudian turun menuju jalan kehidupan. Apabila tidak
ada keberadaan pertengahan, tidak ada pula Vijñâóa yang berevolusi.
Dalam Abhidharmako a- âstra karangan Vasubandhu, seorang
bhik u aliran Sarvâstivâda, terkandung berbagai julukan-penjabaran bagi
antarâbhava. Ia dianggap sebagai suatu produk pikiran (manomaya). Ia
bergentayangan mencari alam kehidupan yang tertakdirkan baginya
(sambhavai in). Ia makan bebauan (gandharva), dan kehidupannya
hanya berlangsung pada satu saat (abhinirv tti). Makhluk yang akan terla￾hirkan di alam inderawi (kâma-bhava) dan alam berbentuk (rûpa-bhava)
mengambil bentuk antarâbhava untuk beberapa waktu, namun makhluk
yang akan terlahirkan di alam nirbentuk (arûpa-bhava) tidak akan meng￾ambil bentuk antarâbhava. Makhluk yang sedang dalam antarâbhava da￾pat saling melihat satu sama lainnya. Sementara itu, makhluk hidup di
alam inderawi yang memiliki matadewa, yang benar-benar tersucikan,
dapat melihat mereka yang sedang dalam antarâbhava. Makhluk yang
sedang dalam antarâbhava dapat bergerak dengan cepat dan bebas di
udara (âkâsa), dan pergerakan mereka tidak dapat terhalangi meski oleh
berlian yang sekeras apa pun. Antarâbhava yang tertakdirkan untuk lahir
kembali di alam tertentu, pasti akan terlahirkan di sana. Tak ada yang bisa
mengubah nasibnya. Apabila suatu antarâbhava melihat pasangan yang
saling bersanggama, ia akan membayangkan gagasan ketaksucian dan
masuk ke dalam rahim wanita itu. Antarâbhava mempunyai lima organ
tubuh. Yang akan terlahirkan di alam surga berkelana ke atas dengan ke￾pala mendongak. Yang akan terlahirkan di alam manusia dan alam bina￾tang bertingkah-laku sebagaimana layaknya manusia. Yang akan
terlahirkan di alam neraka bergentayangan dengan kepala menukik ke
bawah sedangkan kakinya menjulur ke atas.
Antarâbhava dipercayai oleh kaum Mahâyâna sebagai salah-satu
dari empat tahap kehidupan (catvâro bhavâƒ); tiga lainnya ialah kebera￾daan atau keberlangsungan tumimbal-lahir (upapatti-bhava), keberadaan
asal (pûrvakâla-bhava), dan keberadaan semasa kematian (maraóa￾bhava). Namun, keberadaan atau ketakberadaan antarâbhava tidak
ditetapkan secara telak. Kehidupan mendatang terjadi begitu cepatnya
bagi makhluk hidup yang melakukan kebajikan atau kejahatan yang sa￾ngat besar, sehingga seseorang yang melanggar salah satu dari lima pan￾tangan berat, misalnya, tidak akan mengambil tubuh antarâbhava. Semua
makhluk hidup selain itu berada dalam alam antara sebelum terlahirkan
kembali.
Bka’-brgyud-pa, salah satu sempalan sekte Vajrayâna di Tibet,
yang bergaris keturunan dari Tilopa, sering mengacu pada Enam Ajaran
Naropa dalam meraih pencerahan, yang salah satunya ialah keberadaan
dalam perwujudan antara kematian dan tumimbal lahir (bardo). Ini
digambarkan dalam lukisan Thang-ka, yang sangat terkenal dengan lu￾kisan Bhava-cakra (Lingkaran Kehidupan) dan Maóòala (Alam Semesta).
Dalam bukunya berjudul “The Tibetan Book of Living and Dying”, Sogyal
Rimpoche menjelaskan bahwa bardo dalam alam antara mempunyai tu￾buh kedewaan yang berciri mirip dengan kehidupan yang baru terlewat￾kan tetapi tanpa cacat sama sekali. Ukurannya seperti anak berusia antara
delapan sampai sepuluh tahun. Ia dapat bergerak tanpa batas, bahkan da￾pat menembus benda-benda padat seperti tembok atau gunung. Perg￾erakannya hanya diatur oleh karma lampau. Landasan inderanya
lengkap, amat ringan dan tembus pandang. Karena terbentuk dari lima
unsur dasar materi, ia dapat merasa kelaparan atau kehausan. Ia hidup
dari bebauan serta barang-barang yang dibakar sebagai persembahan
–yang khusus ditujukan kepadanya. Pada minggu-minggu awal, ia masih
mempunyai anggapan sebagai laki-laki atau perempuan sebagaimana ke￾hidupan yang lalu. Karena tidak merasa sudah mati, ia mungkin pulang
ke rumah untuk menjumpai sanak-keluarga. Mencoba berbicara dengan
mereka, memegang pundak mereka dan sebagainya, namun mereka ti￾dak menjawab atau menunjukkan ekspresi apa pun. Apabila sangat me￾lekati kehidupannya yang lampau, ia mungkin mencoba untuk merasuk
kembali ke dalam tubuh yang telah ditinggalkannya. Baru setelah melihat
bahwa ia tidak mempunyai bayangan, tidak terpantul di cermin, tidak
berjejak kaki; tahulah ia bahwa dirinya sesungguhnya telah mati. Ke￾nyataan ini mungkin dapat membuatnya taksadar diri.
Pandangan sesat tentang antarâbhava yang mengimbas beberapa
sekte sempalan dalam Agama Buddha, selain aliran Theravâda yang
berpegang-teguh pada ajaran murni Buddha Gotama, mencuatkan pelba￾gai pertanyaan filsafat yang sulit dicarikan jawabannya. Apakah Dalil
Kamma masih berlaku bagi suatu makhluk yang sedang berada dalam
antarâbhava? Dengan pertanyaan lain, apakah ia dapat melakukan keja￾hatan atau kebajikan? Ataukah semua perbuatannya di sana bersifat pasif
atau netral, tidak termasuk kejahatan maupun kebajikan?23 Apakah ia
mengalami perasaan suka-duka-netral sebagai akibat dari perbuatannya
di masa lampau? Apakah keadaan suatu makhluk yang akan terlahirkan
kembali di alam menyenangkan berbeda dengan yang akan terlahirkan di
alam menyedihkan? Apakah antarâbhava merupakan suatu “alam kehi￾dupan”? Termasuk salah satu dari 31 Alam Kehidupan? Kalau memang
masih termasuk di dalamnya, lalu apa perlunya antarâbhava? Sebagai su￾atu tempat persinggahan supaya tidak ‘kecapaian’ dalam berkelana dari
satu alam kehidupan ke kehidupan lainnya?
Sang Buddha memang pernah menyebut sambhavesî yang se￾cara harfiah berarti makhluk yang masih mencari tempat kelahiran. Na￾mun, ini bukanlah berarti bahwa Beliau menerima keberadaan alam
antara.24 Ungkapan “masih mencari tempat kelahiran” janganlah disalah￾tafsirkan bahwa makhluk itu “bergentayangan” karena belum berhasil
menemukan alam kehidupan yang baru bagi dirinya. Dalam mengulas
istilah-istilah yang terkandung dalam Wejangan tentang Cinta Kasih (Met￾tasutta), Buddhaghosa Thera secara jelas menunjukkan perbedaan antara
bhûta dan sambhavesî dalam konteks ini (Kitab Paramatthajotikâ). Yang
dimaksud dengan bhûta ialah makhluk yang telah lahir [secara sem￾purna], yang tidak akan terlahirkan kembali, yakni para Arahanta yang te￾
lah menanggalkan seluruh kekotoran batin (khîóâsâva). Sementara itu,
sambhavesî adalah sebutan bagi orang-orang suci yang masih harus bela￾jar lagi (sekhapuggala) dan orang-orang biasa yang masih harus bertu￾mimbal lahir kembali –dalam arti masih mencari tempat kelahiran lagi.25
Jadi, yang dirujuk sebagai sambhavesî dalam pengertian Theravâda ialah
semua makhluk yang belum meraih kesucian tingkat Arahatta, yang ma￾sih harus berkelana di salah satu dari 31 Alam Kehidupan. Sambhavesî
bukanlah suatu makhluk yang berada dalam alam antara yang takjelas ke￾beradaannya. Kecuali dalam alam nirbentuk (arûpabhûmi), suatu kesa￾daran tidaklah mungkin muncul tanpa sama sekali bergantung pada
badan jasmaniah –ibarat arus listrik yang tak mungkin timbul dengan sen￾dirinya tanpa bergantung pada materi penghantar listrik. Badan jasma￾niah adalah gua atau tempat tinggal kesadaran (gûhasayaæ).
Proses tumimbal lahir itu berlangsung sangat cepat sekali, bagai￾kan orang yang terbangun dari tidur (suttappabuddho viya). Tidak harus
menunggu serta mencari-cari alam kehidupan yang baru. Suatu ‘terminal’
atau tempat persinggahan sementara sama sekali tidak diperlukan. Dalam
Kitab Milinda Pañhâ, Nâgasena Thera menjelaskan bahwa proses tumim￾bal lahir itu berlangsung selaju kecepatan kesadaran. Penjelasan ini be￾liau berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Raja Milinda, “Seandainya
seseorang mati di sini dan terlahirkan kembali di alam brahma; dan satu
orang lainnya lagi juga mati di sini tetapi terlahirkan kembali di Kashmir;
siapakah di antara kedua orang itu yang sampai lebih duluan?” Nâgasena
Thera menjawab dengan tegas dan pasti: “Keduanya sampai berba￾rengan, O Raja.” “Bagaimana bisa begitu,” tanya Raja Milinda, “coba jelas￾kan!” Dengan tujuan untuk membuat suatu perumpamaan yang gampang
dipahami, beliau bertanya, “O Raja, di kota manakah Baginda lahir?” Raja
menjawab: “Di suatu pedusunan bernama Kâlasira.” “Seberapa jauh dari
sini?” tanya Nâgasena Thera lebih lanjut. “Sekitar 200 yojana26,” jawab Raja
Milinda, “sedangkan Kashmir berjarak hanya sekitar 12 yojana dari sini.”
Secara beruntun Nâgasena Thera kemudian menyuruh Raja Milinda untuk
‘memikirkan’ pedusunan Kâlasira dan Kashmir. Setelah itu beliau me￾nanyakan, “Manakah yang lebih cepat Baginda pikirkan?” “Keduanya me￾makan waktu yang sama,” jawab Raja Milinda. Nâgasena menjelaskan,
Demikian pula, O Raja, tidak dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
dapat terlahirkan kembali di alam brahma dibandingkan dengan terla￾hirkan di Kashmir. Tidak ada yang sampai lebih duluan atau belakangan.”
Beliau juga membuat perumpamaan tentang terpaan bayang-bayang [ca￾haya yang terhalang] dari dua benda yang berada di ketinggian berbeda.27
Seseorang mungkin bertanya, “Kalau tidak dipercayai adanya
suatu alam antara bagi makhluk-makhluk hidup untuk menunggu waktu
yang tepat dalam bertumimbal lahir, apakah setiap saat terdapat keadaan
yang cocok –dalam arti ada sperma serta telur yang masak sebagai syarat
pembuahan yang membawa pada kelahiran kembali?” Dalam pandangan
Agama Buddha, makhluk hidup itu tidak terhitung jumlahnya. Kehidupan
juga bukan hanya ada di dunia ini. Di Alam Semesta terdapat banyak ta￾tasurya yang dapat dihuni oleh makhluk hidup. Lagipula, alam manusia
bukanlah satu-satunya alam kehidupan. Kelahiran di alam lain tidak
harus dilengkapi dengan adanya sperma dan telur yang masak. Karena
itu, proses tumimbal lahir dapat terjadi setiap saat tanpa harus ‘mengada￾adakan’ suatu alam penantian.
ia yang berpura-pura tidak merasa takut terhadap kematian
telah berdusta. Semua orang takut mengalami kematian. Ini
adalah suatu hukum tertinggi bagi semua makhluk hidup,
dan tanpa adanya ini semua umat manusia akan segera terbi￾nasakan. Demikianlah yang dinyatakan oleh Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778), seorang filosof serta penulis terkenal pada Zaman
Pencerahan (Age of Enlightenment).
Benarkah bahwa ‘semua’ makhluk tanpa kecuali takut terhadap
kematian? Masalah ini sesungguhnya pernah diperdebatkan oleh Raja
Milinda pada sekitar awal penanggalan Masehi. Nâgasena Thera menje￾laskan bahwa ketika Sang Buddha menyabdakan bahwa “Semua orang
takut terhadap hukuman, semua makhluk gentar menghadapi kematian”
[Dhammapada syair ke 129]; ini tidaklah mencakup mereka yang telah
meraih kesucian tingkat Arahatta. Para Arahanta adalah suatu perkecuali￾an dalam sabda tersebut. Mengapa? Alasannya ialah bahwa semua sebab
bagi timbulnya rasa takut (all cause for fear) telah dicabut secara tuntas
oleh mereka. Tak ada ketakutan apa pun bagi orang yang pikirannya ti￾dak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah menanggalkan keja￾hatan maupun kebajikan, yang senantiasa terjaga [syair ke 39]. Sabda
tersebut hanyalah merujuk kepada mereka yang masih terliputi oleh noda
batin, yang masih menggandrungi diri, yang masih terombang￾ambingkan oleh suka dan duka. Kematian adalah suatu keadaan yang di￾takuti oleh mereka yang belum berhasil menembus Kebenaran.
Dalam Aõguttara Nikâya, Catukkanipâta dikisahkan bahwa pada
suatu ketika seorang brâhmaóa bernama Jânussoóî menghadap Buddha
Gotama dan kemudian mengungkapkan pandangannya, “Tidak ada satu
makhluk pun, yang wajar mengalami kematian, tidak merasa takut dan
gentar terhadap kematian.” Sang Buddha menolak pandangan ini, dan
menyatakan bahwa memang ada makhluk yang merasa takut dan gentar
terhadap kematian, namun ada pula yang tidak. Beberapa orang di dunia
ini, yang belum terbebas dari nafsu, kepuasan, kecintaan, ketagihan, ge￾jolak, hasrat terhadap kesenangan inderawi, manakala diserang oleh pe￾nyakit parah, niscaya akan mencemasi, “Kesenangan inderawi yang
tercinta niscaya akan meninggalkan saya, dan saya pun harus meninggal￾kannya.” Ia niscaya bersedih, bersusah hati, berkeluh-kesah, memukuli
dadanya sambil meratapi keterpikatan. Orang-orang inilah yang merasa
takut dan gentar terhadap kematian. Mereka yang belum terbebas dari
nafsu, kepuasan, kecintaan, ketagihan, gejolak, hasrat terhadap tubuh jas￾maniah niscaya juga merasa takut dan gentar terhadap kematian. De￾mikian pula orang-orang yang tidak melakukan kebajikan dan perbuatan￾perbuatan bermanfaat, yang tidak membuat perlindungan terhadap keta￾kutan, yang hanya melakukan kejahatan dan perbuatan-perbuatan kejam
dan kotor; dan orang-orang yang penuh keragu-raguan serta kebi￾ngungan, yang belum sampai pada keputusan dalam Kebenaran Sejati.
Sebaliknya, mereka yang telah terbebas dari nafsu… [kebalikan dari em￾pat jenis makhluk di atas] tidak akan merasa takut dan gentar terhadap
kematian.
Orang-orang yang telah meraih kesucian tertinggi memang tidak
lagi gentar terhadap kematian. Akan tetapi, bagaimana pula dengan umat
Buddha yang masih belum meraih kesucian? Layakkah merasa takut ter￾hadap kematian? Kematian sesungguhnya bukanlah suatu peristiwa yang
layak ditakuti oleh setiap umat Buddha. Kematian adalah suatu kenyataan
hidup yang perlu dihadapi secara arif. Mengapa? Alasannya ialah bahwa
sebagai umat Buddha, seseorang semestinya mempercayai adanya kehi￾dupan lain setelah kematian (hereafter) –sepanjang benih kehidupan ma￾sih belum terputuskan. Hanya orang-orang yang menyangkal adanya
kehidupan setelah mati; yang menganut pandangan Materialisme, wajar
merasa takut terhadap kematian karena kematian merupakan akhir
segala-galanya. Kematian, bagi mereka, adalah kehancuran total –suatu
kenyataan yang tidak mereka kehendaki karena masih melekati kehi￾dupan. Di lain pihak, bagi umat Buddha, berangkat menuju kematian ti￾daklah ubahnya seperti pergi tidur, dengan keyakinan bahwa suatu saat
kemudian akan bangun kembali. Lagipula, dipandang dengan pengertian
Abhidhamma, setiap saat semua makhluk sesungguhnya mengalami kela￾hiran serta kematian yang berulang-ulang (khaóa-maraóa). Dalam kehi￾dupan sekarang ini pula, kematian telah terjadi dalam jumlah tak
terhitung. Dengan begitu, tidak ada alasan sama sekali untuk merasa ta￾kut dan gentar terhadapnya.
Seperti anak kecil yang kebanyakan takut pada kegelapan, de￾mikian pula hampir semua orang takut pada kematian. Anak kecil takut
pada kegelapan karena dalam kegelapan ia kehilangan kejelasan serta
pengetahuan atas keadaan sekeliling. Dengan alasan serupa, orang takut
pada kematian karena ketakjelasan serta ketaktahuan atas misteri atau
seluk-beluk kematian.
Sang Buddha bersabda, “Kehidupan tidaklah pasti. Kematian itu￾lah yang pasti.” Sesuatu yang tak pasti, tak menentu –kehidupan– itulah
yang sesungguhnya lebih patut ditakuti daripada kematian –sesuatu yang
cepat atau lambat pasti terjadi dan menimpa semua makhluk. Hampir se￾mua orang mati dengan tenang. Namun, hampir semua bayi lahir dengan
dibarengi tangisan.
Apakah dengan merasa takut, seseorang dapat terhindar dari
cengkeraman kematian? Tidak bukan? Karena itu, apa manfaat yang dapat
diperoleh dengan merasa takut terhadapnya? Ini justru menambah pen￾deritaan batiniah. Seseorang merasa takut terhadap kematian karena telah
mengabaikan sifat ketakterelakkannya, telah melupakan kepastiannya.
Seberapa besar kemelekatan seseorang terhadap kehidupan sekarang, se￾besar itu pula ketakutannya terhadap kematian.
Bagaimana cara mengikis rasa takut terhadap kematian? Latihlah
penyadaran atas kematian sebagaimana yang akan dijabarkan pada
halaman selanjutnya. Ini adalah suatu pokok meditasi yang khusus
ditujukan untuk mengatasi rasa takut terhadap kematian, untuk
mempersiapkan diri dalam menyongsong kematian, untuk menyadari
kematian sebagai suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan, untuk
menembus kebenaran atas kefanaan hidup, dan untuk meraih
Pembebasan Sejati. Sang Buddha bersabda, “Duhai Para Bhikkhu,
penyadaran atas kematian –apabila dijalankan dan dikembangkan–
niscaya memberikan buah serta manfaat yang besar. Ini menembus ke
dalam Keadaan Tanpa Kematian (Deathless), dan menjadikannya
sebagai akhir yang mutlak.”




Kala memakan makhluk hidup beserta dirinya sendiri. Siang ma￾lam bergeser, usia pun kian lama kian bersisa sedikit. Usia habis berlalu
mengikuti siang dan malam. Usia senantiasa berkurang terus setiap keja￾pan mata.
Ibarat benang pintalan, sepanjang mana yang telah dipintal,
bagian yang akan dipintal niscaya menjadi sedikit; demikian pula usia
makhluk hidup menyusut dan berkurang.
Sebagaimana air sungai yang tidak balik mengalir ke hulu, de￾mikian pula usia umat manusia tidaklah balik menuju usia muda.
Seiring dengan berlalunya waktu, kehidupan seseorang pun
berkurang dari manfaat yang akan dilakukan.
Bagaikan gembala menghalau dengan tongkat kumpulan sapi
menuju padang rumput, demikian pula usia tua dan kematian menggiring
kehidupan setiap makhluk.
Lihatlah tubuh yang dikatakan indah ini, yang penuh luka,
terbentuk dari rangkaian tulang, berpenyakitan, penuh pemikiran, yang
takdapat dicari keabadian dan kekekalannya.
Tubuh ini jika sudah menua akan menjadi sarang penyakit dan
lemah. Tubuh yang membusuk ini akan hancur berkeping-keping karena
sesungguhnya kehidupan berakhir pada kematian.
Tubuh yang terbentuk dari tumpukan tulang, terbungkus oleh
daging dan darah ini merupakan tempat bercokolnya ketuaan, kematian,
keangkuhan dan penglecehan.
Tak lama lagi tubuh ini tidak berkesadaran lagi, digeletakkan di
tanah bagaikan sebatang kayu yang takberguna.
Tulang-belulang ini berwarna putih pucat seperti warna burung
dara. Tak seorang pun yang menghendakinya, ibarat labu di musim ron￾tok. Kenikmatan apakah yang dapat diperoleh dengan memandanginya?
Sama seperti orang yang sehabis bangun tidur tidak melihat apa
yang dijumpai dalam mimpi, demikian pula, orang yang dicintai, setelah
meninggal, tidaklah dapat dijumpai lagi.
Banyak orang masih terlihat pada pagi hari, tetapi pada sore hari
beberapa di antaranya tak tertampak lagi. Banyak orang masih terlihatpada sore hari, tetapi pada pagi hari beberapa di antaranya tak tertampak
lagi.
Sebagaimana buah yang telah masak yang sepanjang waktu di￾khawatirkan akan jatuh, demikian pula makhluk yang telah lahir; yang
dikhawatirkan sepanjang waktu ialah akan mati.
Tidak di langit, di tengah samudra, di cela-cela bukit; tidak di
mana pun di dunia ini dapat ditemukan suatu tempat tinggal di mana se￾seorang dapat menghindarkan diri dari kematian.
Baik anak-anak, orang dewasa, orang dungu, orang bijak, orang
kaya maupun orang miskin; semuanya berjalan menuju kematian.
Lihatlah! Meskipun dikerumuni serta diratapi oleh sanak ke￾luarga, orang yang akan mati direnggut Raja Kematian seorang diri; ibarat
sapi yang akan dijagal, digiring seekor.
Dengan [pelbagai] cara makhluk yang terlahirkan berusaha
menghindar dari kematian namun takberhasil. Kalaupun dapat bertahan
hidup hingga tua, pada akhirnya juga akan mati karena memang demiki￾anlah sifat alamiah makhluk hidup di dunia ini.
Pemain sulap mampu mengelabui banyak penonton dan mem￾buat mereka percaya, namun ia takdapat berbuat demikian terhadap Raja
Kematian.
Para ahli waris membawa pergi harta milik orang mati, sedang￾kan yang mati pergi menuju jalannya sendiri. Tatkala meninggal dunia, ti￾dak ada harta kekayaan apa pun, anak isteri, emas perak atau tanah, yang
dapat dibawa serta.
“Saya akan bertinggal di sini selama musim hujan; musim dingin
dan kemarau,” demikianlah orang dungu berpikir tanpa menyadari an￾caman bahaya [kematian].
Kematian niscaya menyeret orang yang mengumpulkan bunga
kenikmatan inderawi, yang pikirannya terpacak pada kenikmatan indera￾wi; bagaikan banjir besar yang menghanyutkan penduduk yang terlelap.
Orang yang mengumpulkan bunga kenikmatan nafsu inderawi,
yang pikirannya terpacak padanya tanpa mengenal puas; niscaya berada
dalam kekuasaan Sang Penghancur (Kematian)
Mengapa bersukaria dan bergembira manakala dunia sedang
membara terus? Terliputi oleh kegelapan yang pekat seperti ini, mengapa
Engkau tak juga mencari penerangan?
Apabila usia terus berkurang seperti ini, perpisahan pasti terjadi
tanpa diragukan. Kelompok makhluk yang masih tertinggal hendaknya
saling mencintai dan mengasihi; dan tidak seharusnya bersedih hati terha￾dap mereka yang telah mati.
Tangisan, kesedihan, gerungan, ratapan; tidaklah membawa
manfaat terhadap orang yang telah meninggal. Mereka yang telah mati
masih tetap seperti semula.
Tangisan atau kesedihan bukannya akan membantu pikiran
menjadi tenang atau tentram, melainkan justru melipatgandakan pen￾deritaan. Kesehatan jasmaniah pun ikut melemah.
Bersedih hati samalah dengan melukai diri sendiri. Tubuh akan
menjadi kurus kering; kulit akan menjadi pucat pasi, sedangkan orang
yang telah mati tidak dapat mempergunakan kesedihan itu untuk me￾nolong dirinya. Ratap tangis tidaklah bermanfaat apa pun.
Orang yang tidak dapat menyingkirkan kesedihan, hanya
memikiri orang yang telah meninggal, jatuh dalam kekuasaan kesedihan;
niscaya menderita duka yang lebih berat.
Karena itu, Saudara, setelah mendengarkan ajaran mereka yang
telah terjauhkan dari noda batin, hendaknya melenyapkan ratap tangis.
Ketika melihat orang meninggal, tabahkan hati [dengan berpikir] bahwa
tidaklah mungkin bagi kita untuk menghidupkannya kembali.
Kalau orang yang telah meninggal dunia dapat dibangkitkan
kembali dengan ditangisi, kami sekalian niscaya akan berkumpul ber￾sama untuk saling meratapi sanak keluarga kami.
Engkau tak mengetahui jalan orang yang datang [lahir] maupun
yang pergi [mati]. Manakala tidak melihat kedua ujungnya, meskipun di￾ratapi, percuma sajalah.
Demikianlah makhluk hidup di dunia ini berada dalam kekua￾saan kematian dan ketuaan. Dengan menyadari sifat alamiah makhluk
hidup, orang bijak tidaklah bersedih hati
Alih-alih bersedih hati terhadap orang yang telah tiada, yaitu
mereka yang telah meninggal dunia, sesungguhnya seseorang lebih patut
bersedih hati terhadap dirinya sendiri yang jatuh dalam kekuasaan Raja
Kematian sepanjang waktu.
Lahir sendirian; mati pun sendirian. Hubungan antara makhluk￾makhluk hidup sesungguhnya hanyalah saling bertemu dan berkaitan.
Lihatlah! Orang lain pun sedang mempersiapkan diri menempuh
jalan Kamma-nya. Di dunia ini semua makhluk sedang bergulat mengha￾dapi kekuasaan Raja Kematian.
Sekarang ini Engkau tua bagaikan daun layu. Raja Kematian
sedang menantimu. Engkau sedang berdiri di ambang pintu keberang￾katan, namun Engkau belum memiliki bekal perjalanan.
Sekarang ini usia kehidupanmu telah mendekati akhir. Engkau
telah melangkah mendekati Raja Kematian. Tak ada tempat peristirahatan
di antara perjalananmu, namun Engkau tidak mencari bekal perjalanan.
Menyadari bahwa tubuh ini mudah pecah serta melompong se￾perti busa, dan menyadari sifat mayanya; seseorang hendaknya mematah￾kan panah bunga asmara dan menghindar dari pandangan Raja Kematian.
Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan, seseorang
hendaknya memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota, dan selan￾jutnya menyerang Mâra dengan senjata kebijaksanaan. Jika telah meraih
kemenangan, hendaknya menjaganya dengan baik jangan sampai jatuh
dalam kekuasaannya lagi, tetapi tidak melekatinya.
Lepaskan [kerinduan terhadap kelompok kehidupan] masa lam￾pau, mendatang dan sekarang. Capailah akhir kehidupan (Nibbâna). Se￾telah terbebas dari segalanya, Engkau tak akan lagi mengalami kelahiran
dan ketuaan.
Barangsiapa memandang dunia ini seperti halnya melihat busa
dan fatamorgana [fana dan khayalan] niscaya tidak akan dapat dijumpai
oleh Raja Kematian.
Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kecerobohan ada￾lah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak mengenal kema￾tian, tetapi orang yang ceroboh tak ubahnya seperti orang yang sudah
mati.Apabila seseorang melihat dengan kebijaksanaan bahwa “Segala
perpaduan yang bersyarat adalah tidak kekal”, ia niscaya merasa jenuh
pada penderitaan. Inilah jalan menuju kesucian.
Tak ada kejahatan yang saya lakukan di mana pun. Karena itu,
saya tidak gentar terhadap kematian yang akan tiba. Apabila teguh dalam
Dhamma, tidaklah perlu takut dunia mendatang.
Mereka yang berprilaku selaras dengan Dhamma yang telah
dibabarkan dengan baik niscaya melampaui kerajaan kematian yang amat
sulit dilewati; dan mencapai Pantai Seberang (Nibbâna).