Rabu, 10 Januari 2024

kematian dalam budha 2



tradisi Satî.6
Pada tahun 1818, ia menyebarkan pamplet berisi himbauan untuk
menghapus serta melarang pelaksanaan tradisi Satî.
Setelah melalui suatu pertarungan sosial, agama serta politik
yang seru dan meletihkan, tepatnya pada tahun 1829, tradisi Satî secara
resmi dilarang dan diabsahkan sebagai suatu tindakan kriminal. Hukum
ini ditanda-tangani oleh gubernur jenderal Lord William Bentinck di Cal￾cutta –karena India pada waktu itu masih berada dalam masa penjajahan
Inggris. Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan tradisi Satî dapat
dituduh melakukan delik pembunuhan terhadap manusia, yang dapat di￾ganjar dengan hukuman denda maupun penjara. Kaum Hindu orthodoks,
yang fanatik terhadap keunggulan kaum pria (male supremacy) dan se￾cara membuta terpacak pada nilai-nilai kepahlawanan yang terlalu
muluk-muluk (Chauvinism), merasa tidak puas dengan diberlakukannya
hukum tersebut. Mereka mengajukan petisi ke Ratu Inggris untuk mem￾
batalkannya. Menghadapi tantangan ini, Rammohan segera berangkat ke
London untuk melobi para pembuat undang-undang di parlemen Inggris
agar tetap memberlakukan larangan tersebut.7
Walaupun secara resmi dilarang dan diancam dengan hukuman
yang berat, pengurbanan Satî bukanlah berarti telah lenyap secara
menyeluruh dari seluruh daratan India –terutama di negara-negara bagian
yang berada di luar kekuasaan Inggris. Di Punjab pada tahun 1839,
misalnya, empat istri beserta tujuh budak wanita dibakar hingga mati
dalam api perabuan Mahârâja Ranjit Singh. Tradisi Satî masih tetap
berlangsung meskipun India telah merdeka pada tahun 1947. Pada awal
tahun ’80an, mencuat suatu pergerakan untuk menghidupkan kembali
Satî dengan dalih hak-asasi wanita. Unjuk-rasa digelar di pelbagai kota
sekitar India Utara, termasuk ibukota Delhi. Suatu tragedi yang sangat
mengenaskan terjadi pada tanggal 4 September 1987 di mana seorang
janda bernama Roop Kanwar, yang baru berusia 18 tahun, mati terbakar
dalam sorotan paling tidak 4,000 orang penonton. Menurut beberapa
saksi mata, pengurbanan Satî ini dijalankan bukanlah atas kemauannya
sendiri, melainkan atas paksaan keluarga pihak suami, Maal Singh. Janda
malang ini gagal melarikan diri dari api perabuan meskipun telah
berusaha sampai tiga kali. Pengurbanan Satî ini agaknya berlatar￾belakang niat-buruk dari pihak keluarga suami untuk mengeruk
sumbangan dari khalayak ramai yang tergugah oleh ketulusan serta
kesetiaan Roop Kanwar. Belum lama ini, Press Trust of India melaporkan
bahwa pada tanggal 22 September 1997, polisi di bagian utara India
berhasil mencegah pengurbanan Satî yang dijalankan oleh seorang janda
berusia 28 tahun. Ini menunjukkan bahwa selama akar dari pandangan
sesat belum dicabut secara tuntas, selama masyarakat belum terbebaskan
dari kepercayaan serta tradisi yang menyimpang, kemungkinan semacam
itu masih tetap dapat terjadi.
dituliskan dalam buku “The Tibetan Book of Living and
Dying” bahwa Dilgo Khyentse Rinpoche menuturkan cerita
tentang seorang guru penyepi di suatu biara di Kham, yang
sangat akrab dengan kakak laki-lakinya. Guru itu telah
menyempurnakan latihan yoga saluran halus (nadî; tsa),
angin atau udara dalam (prâóa; lung), dan intisari (bindu; tiklé). Suatu
hari ia menyuruh pembantunya, “Saya akan meninggal dunia sekarang.
Tolong lihat kalendar (penanggalan), dan carikan hari yang baik.” Pem￾bantunya terkejut tetapi tidak berani membantah perintah majikannya. Ia
melihat kalendar, dan mengatakan bahwa hari Senin mendatang adalah
suatu hari pada saat semua bintang (stars) sedang mujur (auspicious).
Guru itu kemudian menjawab, “Tiga hari lagi akan tiba pada hari Senin.
Baiklah, saya kira saya mampu melakukannya.” Ketika si pembantu kem￾bali ke kamarnya beberapa waktu kemudian, ia menjumpai si guru
sedang duduk tegak dalam sikap meditasi yoga. Diam tak bergeming,
seolah-olah telah mati. Tanpa pernafasan sama sekali. Namun, peredaran
darah masih berjalan dengan sangat lembut tetapi kentara. Ia memutus￾kan tidak berbuat apa-apa kecuali menanti. Pada siang hari, ia tiba-tiba
mendengarkan hembusan nafas keluar yang panjang. Si guru kembali ke
keadaan normal, dan bercakap-cakap dengan ceria. Setelah itu, ia
menyuruh menyiapkan makanan siang. Ia menyantap makanan dengan
bergairah. Ia menahan nafas sepanjang waktu meditasi pagi. Ia berbuat
demikian karena alasan bahwa rentang usia kehidupan itu terhitung da￾lam jumlah nafas yang pasti. Guru itu menyadari bahwa nafasnya telah
hampir habis. Karena itu, ia menahan nafas supaya tidak mencapai angka
terakhir hingga sampai pada hari yang mujur. Begitu selesai makan siang,
ia menghirup nafas dalam-dalam sekali lagi dan menahannya hingga sore
hari. Ia berbuat begitu lagi pada keesokan harinya, dan pada hari selan￾jutnya. Ketika tiba pada hari Senin, ia bertanya, “Apakah hari ini merupa￾kan hari mujur?” “Ya” jawab pembantunya. “Baiklah, saya akan pergi hari
ini.” Pada hari itu, tanpa tanda-tanda kesakitan atau kesukaran yang ter￾tampak, ia mati dalam meditasinya.
Cerita di atas mengandung beberapa pandangan sesat yang
menyimpang dari ajaran Sang Buddha. Dalam Agama Buddha tidak dike￾nal adanya hari kelahiran serta hari kematian yang ‘mujur’ ataupun ‘tak
mujur’. Hari hanyalah suatu bagian dari penanggalan yang dirumuskan
berdasarkan peredaran bumi dalam sistem tatasuriya (suriyagati) atau ta￾tawulan (candagati). Letak, susunan serta peredaran bintang-bintang di
langit tidak mempunyai kaitan langsung dengan kehidupan suatu
makhluk. Sang Buddha tidak pernah meramalkan bahwa hari Senin atau
hari lainnya sebagai suatu hari kematian yang mujur. Tidak dapat dipasti￾kan apakah suatu makhluk yang mati pada hari Senin akan masuk ke
surga sedangkan yang mati pada hari lainnya akan masuk ke neraka.
Apakah suatu makhluk akan masuk ke surga atau neraka, itu ditentukan
oleh perbuatan-perbuatan yang ditimbunnya dalam kehidupan sekarang
maupun kehidupan-kehidupan lampau (Dalil Kamma). Nasib manusia
bukan digariskan berdasarkan ilmu perbintangan (astrology). Karena ti￾dak dikenal adanya hari-hari mujur, tidak ada alasan bagi umat Buddha
untuk menunda kematiannya berdasarkan alasan pernujuman.
Agama Buddha juga tidak pernah menyatakan bahwa rentang
usia kehidupan suatu makhluk itu dihitung berdasarkan jumlah nafas
yang dihirup serta dihembuskan. Kalau dipercayai bahwa usia dapat
diperpanjang dengan menahan nafas, para pencari mutiara [dalam
kerang] di dasar laut –yang harus menyelam ke dalam air dalam waktu
lama– tentu akan berumur panjang! Dalam kenyataan, mereka
kebanyakannya memiliki usia rata-rata lebih pendek daripada orang￾orang yang bermata-pencaharian lain. Terutama sewaktu berusia lanjut,
kesehatan mereka kurang begitu baik karena pengaruh tekanan air laut.
Kekurangan oksigen karena menahan nafas dalam waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan fatal pada bagian otak, organ yang sangat
penting dalam tubuh manusia. Orang-orang yang terlatih baik pun
biasanya hanya dapat menahan nafas dalam waktu puluhan menit.
Agaknya terlalu berlebihan (superfluous) apabila diakui bahwa para guru
yoga di Tibet sepanjang satu hari penuh bernafas hanya dua tiga kali.
Selain menyesatkan dalam segi keagamaan, kepercayaan ini kiranya
cukup berbahaya bagi kesehatan –apalagi kalau dianut serta dijalankan
tanpa petunjuk serta bimbingan yang memadai.
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi di bidang medis
memang dapat mengatasi kematian dalam tahap-tahap ter￾tentu. Beberapa jenis penyakit yang sebelumnya pasti
berakhir pada kematian, kini dapat ditanggulangi dengan
mudah. Namun, secanggih mana pun kemajuan yang telah
dicapai, semua itu ada batas-batasnya. Tidak semua penyakit dapat dile￾nyapkan secara tuntas, dan tidak semua pesakit (pasien) dapat disembuh￾kan secara mutlak. Pada kasus-kasus tertentu, kemajuan di bidang medis
hanya mampu ‘mempertahankan kehidupan’ seorang pesakit, tetapi ga￾gal mengembalikan keadaan kesehatannya seperti sediakala atau setidak￾tidaknya mampu menjalani kehidupan secara wajar. Beberapa pesakit ha￾rus mendekam terus di rumah sakit selama bertahun-tahun. Hidup dari
sari-sari makanan yang diinfuskan langsung ke darah. Secara berkala da￾rahnya harus dicuci (diganti). Untuk menahan rasa sakit yang amat parah,
ia kadangkala harus disuntik morfin. Pernafasannya diatur secara
mekanis. Tahi serta air kencingnya dikeluarkan melalui perut. Kaki
tangannya takdapat digerakkan, bahkan untuk mengedipkan kelopak
mata saja sangatlah susah. Ia hidup bukan dengan pengharapan untuk
dapat sembuh, melainkan semata-mata untuk menanti tanda-tanda kema￾tian yang lebih jelas. Ia sesungguhnya tak lebih daripada suatu ‘bangkai
hidup’ (zombie).
Pertanyaan yang perlu diajukan sekarang ialah: haruskah ‘kehi￾dupan’ semacam itu dipertahankan terus? Apa makna dan arti kehidupan
seperti itu bagi yang bersangkutan serta sanak keluarganya? Tentu, apa￾bila pesakit itu masih merasa puas dengan keadaan kehidupannya
–separah apa pun–, dokter yang merawat serta sanak keluarganya patut
untuk mempertahankan kehidupannya dengan segenap kemampuan.
Bahkan, kalau pesakit itu serta keluarganya tidak mampu menanggung
biaya pengobatan atau perawatan yang mahal, lembaga asuransi atau de￾partemen sosial perlu mengulurkan tangan.
Bagaimana kalau pesakit itu sendiri yang menghendaki agar ke￾hidupannya diakhiri? Apakah ini termasuk upaya bunuh diri? Berhakkah
ia memutuskan demikian? Jika hak hidup setiap orang diakui serta dija￾min secara nyata, kiranya tidak ada alasan untuk menghalangi kehendak seseorang dalam menentukan kehidupannya sendiri –dalam arti memilih
tetap hidup atau mati. Hak untuk mati adalah suatu bagian yang tak terpi￾sahkan dari hak untuk hidup. Kalau kehidupan seseorang sepanjang hari￾nya dipenuhi dengan penderitaan, tanpa kebahagiaan sedikit pun, dan
sama sekali tidak ada harapan untuk sembuh dan menjalani kehidupan
secara wajar; layakkah sanak keluarga atau orang-orang lain memaksanya
untuk terus hidup dalam keadaan yang mengenaskan seperti itu? Bagai￾manapun keadaannya, seseorang memang tidak patut membenci tubuh
jasmaninya. Namun, kita juga tidak seharusnya menganjurkannya untuk
melekati jasmaninya. Tubuh ini sesungguhnya tak ubahnya seperti
pakaian. Kalau itu memang sudah koyak-koyak dan tidak bisa dipakai
lagi, mengapa tidak dibuang dan dicarikan pengganti yang baru, yang le￾bih baik? Mengapa hak bagi seseorang untuk mati secara bermartabat [to
die in dignity] dirampas begitu saja? Manusia serta makhluk lainnya bu￾kanlah sekadar “anak-anak wayang” yang terikat kontrak dengan Sutra￾dara Agung untuk melakonkan adegan penderitaan di atas panggung
sandiwara dunia hingga menggenapi waktu yang ditentukan secara
sewenang-wenang dan sepihak. Agama Buddha menolak adanya suatu
Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan nasib suatu
makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan pen￾deritaan. Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya
masing-masing. Namun, ini bukanlah berarti bahwa Agama Buddha
merestui upaya bunuh diri. Upaya bunuh diri –dengan dasar alasan apa
pun– jelas tidak selaras dengan pandangan Buddhis. Tetapi masalahnya
sekarang ialah: seberapa jauh hak seseorang dalam memutuskan jalan
hidupnya sendiri diakui serta dijamin terapannya?
Ada beberapa tokoh Buddhis di Muangthai yang ketika di￾rundung penyakit mematikan, menolak pembedahan yang berlebih￾lebihan –misalnya dicoblos tenggorokannya sebagai jalan keluar lendir
serta dahak. Pertolongan medis modern dianggap telah jauh melangkahi
batas-batas kewajaran –terutama apabila dilakukan pada waktu telah be￾rusia lanjut; pada saat memang telah layak dijemput kematian. Mereka
menghendaki suatu kehidupan yang bersifat alamiah, yang berakhir de￾ngan tetap mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur; bukan de￾ngan memperlakukan badan jasmaniah sebagai robot yang boleh
dipreteli serta diedel-edel sedemikian rupa. Ini jelas merupakan suatu tin￾dakan euthanasia pasif. Namun, apakah ini termasuk suatu upaya bunuh
diri? Entahlah!Dalam pada itu, mungkin dipertanyakan apakah seorang umat
Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti ‘memungkiri’ Dalil
Kamma? Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang
kamma-nya lagi –dalam arti menderita lagi seperti yang dialami dalam ke￾hidupan sebelumnya? Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan
kematian? Memang, amatlah sukar untuk dapat melihat dan memastikan
bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang pelik. Namun, Sang Buddha
pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu da￾lam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada
masa kehidupan sekarang (diööhadhammavedanîya-kamma), dan ada
pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktu untuk
menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma). Agama Buddha memang
mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah meng￾ajarkan umat-Nya untuk ‘tunduk’ pada akibat kamma. Sikap inilah yang
membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang ha￾rus diterima dengan pasrah –sebagaimana yang dipercayai oleh agama￾agama lainnya. Contoh yang gamblang dalam hal ini: seandainya seorang
umat Buddha digigit nyamuk, ia tidak seharusnya membiarkannya begitu
saja dengan berpikir, “Biarlah nyamuk itu menggigit sepuas-puasnya, su￾paya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau terlunasi se￾muanya!” Pemikiran semacam ini jelas merupakan suatu sikap yang salah
dalam menerima kamma lampau, yang tidak sesuai dengan Agama Bud￾dha. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap
sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang umat Buddha boleh meng￾usirnya [tanpa harus membunuhnya], atau melakukan tindakan-tindakan
pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb. Dengan me￾yakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri
dari segala macam penderitaan atau kesakitan yang dialami; tanpa ada se￾dikit usaha pun untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus
diterima semuanya. Ingat! Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma
perlu dibedakan dari doktrin Jainisme tentang Hukum Karma –yang
mempercayai bahwa Keselamatan/Pembebasan hanya bisa diperoleh
apabila semua hutang karma terlunasi. Kehidupan suatu makhluk tidak￾lah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak terhitung jum￾lahnya. Jika harus melunasi setiap akibat karma yang pernah diperbuat
dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil bagi suatu
makhluk untuk dapat meraih Pembebasan.Pelaku bunuh diri mungkin dapat dibebaskan dari segala tun￾tutan hukum, tetapi bagaimana pula dengan dokter yang memberikan
bantuan? Bersalahkah ia? Layakkah ia digugat ke pengadilan dengan delik
pembunuhan? Ini adalah suatu permasalahan yang kontroversial. Tugas
utama seorang dokter ialah menyembuhkan pesakit. Karena itu, tidak se￾dikit orang yang berpendapat bahwa membantu upaya bunuh diri sangat
bertentangan dengan jiwa kedokteran. Biasanya, betapa pun parah pe￾nyakit yang diderita oleh pesakit, bahkan dalam keadaan hampir sekarat
pun, dokter akan menghiburnya dengan pelbagai harapan kesembuhan.
Itu secara resmi telah dianggap sebagai ‘etika kedokteran’ meskipun tak￾dapat dipungkiri bahwa ini termasuk kebohongan. Sudah lazim bahwa
penyakit parah yang diderita pesakit akan dirahasiakan –dalam arti pe￾sakit tidak diberi tahu atas jenis penyakit yang diderita. Ia tidak ingin pe￾sakit itu putus asa, pasrah, dan menyerah. Dengan pelbagai cara ia
berusaha keras untuk menyelamatkan pesakit. Tidak perlu disangsikan
bahwa kebanyakan dokter mempunyai “jiwa menolong” semacam itu.
Akan tetapi, banyak sekali pertanyaan yang perlu dijawab dalam hal ini:
apakah menghibur pesakit yang sesungguhnya tidak mempunyai
harapan untuk sembuh tidak menyalahi hukum moral? Apakah meraha￾siakan keadaan kesehatan yang sebenarnya tidak berarti melanggar hak
asasi manusia dalam memperoleh informasi yang benar? Apakah etis un￾tuk membiarkan pesakit berkhayal tentang kesembuhannya yang takkun￾jung tiba? Apakah tidak mungkin ada dokter tertentu yang berniat takbaik
dengan sengaja ‘mengulur-ulur’ kehidupan pesakit yang ditanganinya
agar ia mempunyai kesempatan untuk melakukan pelbagai eksperimen
atau mencari pengalaman serta keuntungan tertentu bagi kepentingannya
sendiri? Apakah tidak melanggar etika jika seorang dokter menjadikan pe￾sakit tertentu sebagai ‘kelinci percobaan’ tanpa kerelaan yang bersang￾kutan –walaupun ini mungkin bermanfaat bagi orang banyak?
Memang, seorang dokter tidak patut menganjurkan pesakit untuk
bunuh diri, misalnya dengan ungkapan, “Penyakitmu takbisa diobati lagi.
Lebih baik kamu bunuh diri saja!” Ini jelas melanggar etika, dan juga ter￾masuk delik pembunuhan. Seorang dokter cukup menyatakan apa
adanya, dan selanjutnya terserah kepada pesakit untuk menentukan ke￾hidupannya sendiri: apakah memilih mati atau tetap hidup dalam kea￾daan menderita. Si pesakit perlu diberi waktu yang cukup lama untuk
memutuskan masalah besar ini. Hanya apabila pesakit itu benar-benar
bersikeras untuk memilih bunuh diri, seorang dokter kiranya boleh mem￾berikan bantuan selayaknya. Perlu dipertimbangkan bahwa apabila se￾orang dokter menolak permintaan pesakit untuk bunuh diri –dengan
alasan tidak sesuai dengan misi kedokteran atau bisa digugat di Peng￾adilan–, bukanlah takmungkin pesakit itu nekad bunuh diri dengan cara￾nya sendiri. Keadaannya justru menjadi lebih runyam karena kebanyakan
pesakit tidak tahu cara yang baik dan tepat untuk mengakhiri hidupnya.
Seorang dokter lebih berpengalaman dalam mencarikan jalan mati yang
tenang dan tak begitu menyakitkan. Pula, jika upaya bunuh diri direnca￾nakan secara matang, pesakit mempunyai kesempatan untuk mengun￾dang pemuka agama yang diyakininya agar mendampinginya;
memberikan petunjuk spiritual, menenangkan batinnya, dan sebagainya.
Ini tentu membawa keuntungan bagi diri pesakit itu sendiri. Apalagi jika
ia menganut Agama Buddha, yang meyakini bahwa keadaan batin saat
menjelang ajal sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan men￾datang: apakah terlahirkan kembali di alam menyenangkan atau alam
menyedihkan. Bukanlah tidak mungkin jika ia nekad bunuh diri dengan
usaha sendiri, tanpa petunjuk dokter dan tanpa didampingi oleh pemuka
agama yang diyakini, batinnya akan menjadi kacau, tak terkendali, dili￾puti kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Sayangnya,
menurut Jack Kevorkian yang sering dijuluki sebagai “Dr. Death”, meski￾pun pesakit yang ditangani merupakan orang-orang beragama, tak satu
pun yang mau mengkonsultasikan soal ini kepada pemuka agamanya. Ia
mengatakan bahwa agama [yang dianut di Barat] tidak relavan. Mereka
sangat anti-bunuh diri, tanpa mau memperdulikan pertimbangan￾pertimbangan lain sama sekali.
The World Book Encyclopedia menuliskan, dalam lema ‘Suicide’,
bahwa Agama Kristen menganggap bunuh diri sebagai suatu dosa, dan
banyak pengikutnya yang mempercayai bahwa seseorang yang melaku￾kannya berarti membuang harapannya dalam mencapai Surga. Dengan
ungkapan lain dapatlah dikatakan bahwa pelaku bunuh diri tidak mem￾punyai kesempatan untuk masuk Surga, betapa pun banyak kebajikan
yang telah dilakukan sepanjang hidupnya. Semua kebajikannya akan
sirna tak bersisa begitu upaya bunuh diri dilakukan. Bunuh diri adalah su￾atu dosa yang tak terampunkan. Kalaupun seseorang telah membunuh
beratus-ratus orang lain [tidak termasuk binatang karena ini dianggap bu￾kan dosa], ia masih diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya,
bertobat, dan mempunyai kemungkinan untuk diampuni serta diangkat
ke Surga.
Dalam menjenguk umat yang sedang sakit, seorang bhikkhu
perlu bersikap waspada. Betapa pun berat penyakit yang dideritanya, ja￾nganlah sampai menganjurkannya untuk bunuh diri karena ini merupa￾kan pelanggaran pârâjika. Namun, ia kiranya juga tidak perlu
membangkitkan semangat umat yang sakit itu secara berlebihan hingga
sangat bergairah dan melekat pada kehidupannya. Tugas utamanya ialah
untuk menenangkan batin umat yang sakit itu, membuatnya sadar akan
hakikat kehidupan yang fana ini. Tubuh ini hendaknya dipandang se￾bagai suatu perpaduan pelbagai unsur, yang bersifat tidak kekal, yang se￾nantiasa berubah, pudar, dan hancur secara alamiah. Setelah menjelaskan
kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian sebagai penderitaan, ia hen￾daknya menunjukkan jalan mulia menuju lenyapnya penderitaan. Selan￾jutnya, apakah umat yang sakit itu berniat untuk mengakhiri ataupun
mempertahankan kehidupannya, itu adalah urusannya sendiri. Tidak se￾perti Yesus yang didongengkan sering menyembuhkan orang sakit kusta,
dsb., Sang Buddha tidak menganggap pengobatan medis sebagai bagian
utama dalam misi keagamaan-Nya. Tersembuhkan dari penyakit bukan￾lah suatu jaminan bahwa penyakit itu [atau lainnya] tidak akan kambuh
lagi. Cara yang Beliau pakai ialah penyembuhan secara total, dengan
mencabut benih-benih penyebab kehidupan yang penuh penderitaan. Ti￾dak ada Keselamatan Mutlak selama belum mencapai Kesucian. Penyem￾buhan medis adalah peranan kaum awam, sedangkan penyembuhan
batin adalah tugas kaum agamawan. Ada larangan bagi bhikkhu untuk
bertindak selaku tabib yang mengobati –dengan cara medis atau mistis–
orang biasa yang sakit. Kecuali jika orang itu mendadak sakit ketika
sedang berada di vihâra, misalnya jatuh tersandung dsb., seorang
bhikkhu boleh memberikan pertolongan pertama. Khusus kepada kera￾bat sepenghidupan suci, bhikkhu boleh memberikan perawatan secara
penuh. Alasannya ialah bahwa seseorang yang telah menanggalkan
hidup keduniawian terjauhkan dari sanak keluarganya. Menjadi tugas
sesama bhikkhu untuk merawatnya ketika sedang sakit. Bahkan Sang
Buddha memuji dan menganjurkan kepada siswa-Nya: “Ia yang merawat
bhikkhu sakit, tak ubahnya seperti merawat Saya sendiri.”
Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha se￾nantiasa berpegang pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak
ada dogma-dogma tak beralasan yang mencemarinya. Demikian pula
halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha memberikan penilaian
yang adil. Bagi seorang bhikkhu, membunuh sesama manusia atau men￾
ganjurkan orang lain untuk bunuh diri adalah pelanggaran Pârâjika; suatu
kesalahan paling berat (garukâpatti) yang membuatnya terlepas dari
Pasamuan Saõgha. Ini adalah suatu kesalahan yang tak terobati (atekic￾châ), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi un￾tuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam
upaya meraih Pembebasan Sejati. Dengan perkataan lain, dalam kehi￾dupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apa pun. Na￾mun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan
baginya. Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apa pun dan
seberat apa pun, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak [tak
berbatas dan tak berakhir] untuk meningkatkan taraf kehidupannya da￾lam pengembaraan hidup yang panjang ini. Sementara itu, pembunuhan
terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai hukuman yang lebih
ringan; yaitu pâcittiya –suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu
diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang
dibunuh adalah dirinya sendiri [bunuh diri], seorang bhikkhu hanya
terkena pelanggaran dukkaöa; suatu kesalahan yang paling ringan. Bagi
umat awam, menurut Kitab Tafsiran Sâratthadîpanî dan Vimativinodanî,
bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sîla karena faktor pembunuhan￾nya tidak terlengkapi. Pelanggaran sîla dalam hal pembunuhan ini harus
berobjekkan makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri. Bunuh diri juga
bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat
menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah. Di sini terli￾hatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu
kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang
lebih berat terhadap pelaku bunuh diri daripada pembunuh orang lain.
Bagaimanapun haruslah diakui bahwa setiap orang berhak atas ke￾hidupannya sendiri. Bunuh diri sama sekali tidak merugikan orang lain.
Dengan begitu, bagaimana mungkin kita memvonisnya dengan ‘dosa’
yang tak terampunkan; melebihi ‘dosa’ yang dilakukan oleh mereka yang
membunuh orang lain [melanggar hak orang lain]? Seperti halnya orang
yang merusak barang [kekayaan] milik orang lain, patut dijatuhi hu￾kuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum be￾rat orang yang merusak barang miliknya sendiri.
Mungkin dipertanyakan apakah bunuh diri melanggar Dhamma?
Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh
diri, bahkan ‘berpikir’ untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pe￾langgaran Dhamma. Perbuatan apa pun –melalui tindakan, ucapan mau￾
pun pikiran– yang membangkitkan kelobaan (lobha), kebencian (dosa)
dan kedunguan (moha); semuanya melanggar Dhamma. Ingin makan
enak, ingin punya istri cantik, ingin punya banyak anak, ingin dapat gaji
besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh
pelanggaran Dhamma dalam segi lobha. Tidak puas dengan apa yang di￾miliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah
contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa. Pertanyaan selan￾jutnya ialah, haruskah kita memaksakan nilai-nilai Dhamma yang sangat
luhur itu dalam menyelesaikan masalah bunuh diri dalam taraf bawah?
Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak,
tetapi kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak da￾lam segi hukum duniawi. Sepanjang tidak mengganggu kehidupan
makhluk lain; tidak melanggar hak asasi makhluk lain, kiranya tidak ada
alasan untuk memberlakukan larangan apalagi menjatuhkan hukuman
kepada pelakunya.
Hingga dewasa ini, Agama Kristen belum bisa menerima pelak￾sanaan bunuh diri, dan dengan pelbagai cara berusaha untuk mengha￾langi pengesahan undang-undang yang bertujuan untuk
mengizinkannya. Dalam sidang parlemen di Belanda belum lama ini,
yang mendukung hak bunuh diri berasal dari Partai Buruh. Yang tidak se￾tuju kebanyakannya dari penganut agama yang fanatik, yang suaranya
terwakili oleh Partai Demokrasi Kristen. Bagaimanapun, angket-angket
pendapat yang dibuat dalam tahun-tahun ini menunjukkan bahwa paling
sedikit tiga-per-empat penduduk Belanda cenderung memilih hak indi￾vidu untuk mati. Prosentasi ini tentu mengecewekan kaum rohaniwan di
sana, yang selama ini berusaha dengan kukuh dan sengit memerangi
upaya bunuh diri. Sebenarnya, euthanasia telah lama ditenggang di
Belanda. Setiap tahun ada lebih dari 10,000 orang pesakit yang men￾jalankan euthanasia. Sejak tahun 1970-an, penerapannya telah diperbin￾cangkan secara terbuka, dan hukum yang berlaku cenderung merupakan
suatu pengendalian alih-alih larangan mutlak. Perdebatan yang bertahun￾tahun menghasilkan kompromi pembuatan garis-garis panduan (guide￾lines) sementara itu tetap tidak mengesahkan penerapannya secara resmi.
Pengadilan hampir selalu menghindari pendakwaan terhadap dokter￾dokter yang telah mematuhi panduan tersebut, yang diterbitkan oleh
Royal Dutch Medical Association. Ditetapkan bahwa permohonan bunuh
diri harus diajukan sendiri oleh pesakit, bukan sanak keluarga atau kera￾batnya. Si pesakit harus benar-benar mengalami penderitaan yang tak ter￾
tahan, dan penyakitnya tak terobati. Permohonan bunuh diri harus
disampaikan tatkala ia sedang dalam keadaan sadar dan waras.
Di seluruh dunia masih hanya ada sedikit negara yang secara
resmi menghalalkan upaya bunuh diri demi alasan kesehatan. Namun,
dalam kenyataan yang terjadi tanpa dukungan undang-undang yang sah,
euthanasia telah diterapkan di banyak negara. Menurut Kartono
Mohamad, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, meskipun belum diakui secara
resmi di Indonesia, euthanasia telah diterapkan secara pasif.






kematian adalah terputusnya kemampuan hidup (jîvitin￾driya) yang terdapat pada satu perwujudan. Kematian
mutlak (samuccheda-maraóa) yang merupakan keterpu￾tusan daur penderitaan para Arahanta; kematian sesaat
(khaóika-maraóa) yang merupakan kepadaman semua
perpaduan pada setiap saat; dan kematian persepakatan (sammuti￾maraóa) sebagaimana yang dipakai oleh masyarakat dunia dalam ung￾kapan “pohon mati”, “logam mati” dan sebagainya; bukanlah yang di￾maksudkan di sini.
Yang dimaksudkan di sini ialah dua macam kematian, yakni: ke￾matian yang tepat pada waktunya (kâla-maraóa), dan yang belum pada
waktu semestinya (akâla-maraóa). Kematian yang tepat pada waktunya
terjadi karena habisnya kebajikan, habisnya usia, atau keduanya. Kema￾tian yang belum pada waktu semestinya terjadi karena kekuatan kamma
yang memutuskan kamma pembentuk kehidupan [janaka-kamma].
Kematian karena habisnya kebajikan ialah suatu kematian yang
terjadi karena kamma yang mengakibatkan kelahiran kembali (paöisan￾dhi) telah berbuah masak kendati masih ada faktor pemerlanjut usia. Ke￾matian karena habisnya usia ialah suatu kematian yang terjadi karena
habisnya usia, misalnya usia rata-rata sekitar 100 tahun untuk manusia
pada zaman sekarang ini, yang diakibatkan oleh ketidakadaan tujuan
(gati), waktu (kâla), makanan (âhâra) dan sebagainya. Kematian yang ti￾dak tepat pada waktunya ialah kematian yang menimpa makhluk￾makhluk yang faktor pemerlanjut usia mereka terputuskan oleh kamma
yang dapat menyebabkan mereka segera terjatuh dari keberadaan
mereka, seperti kejadian pada Dûsi-Mâra, Kalâburâjâ, dan lain-lain; ataumakhluk-makhluk yang faktor pemerlanjut usia mereka terputuskan
karena pencelakaan (upakkama) misalnya dengan serangan senjata dan
sebagainya, yang merupakan akibat kamma lampau mereka. Semua itu
termasuk keterputusan kemampuan hidup sebagaimana yang telah di￾nyatakan. Maraóasati ialah perenungan terhadap kematian, dalam perka￾taan lain, terputusnya kemampuan hidup.
[Pengembangan]
Orang yang berminat untuk mengembangkan Maraóasati hen￾daknya pergi ke tempat yang sepi, hidup menyendiri, dan mengarahkan
perhatian dengan arif (manasikâra) bahwa: “Kematian akan terjadi; ke￾mampuan hidup akan terputus,” atau boleh juga menguncarkan “Kema￾tian, Kematian.”
Apabila tidak mengarahkan perhatian dengan arif, misalnya de￾ngan membayangkan kematian orang yang disukai (iööha), kesedihan nis￾caya akan timbul –ibarat kesedihan yang timbul dalam diri seorang ibu
kandung yang mengenang kematian putra tercinta. Kegembiraan niscaya
akan timbul karena merenungkan kematian orang yang tak disukai
(aniööha), ibarat seteru yang mengenang kematian orang yang dimusuhi
(verî). Sementara itu, keprihatinan tidak akan timbul karena merenung￾kan orang yang netral (majjhatta) –seperti halnya keprihatinan tidak akan
timbul dalam diri juru-kunci yang melihat sosok jenazah. Kecemasan nis￾caya akan timbul apabila merenungkan kematian diri sendiri, sebagai￾mana kecemasan yang timbul dalam diri seorang pengecut karena
melihat pembunuh yang sedang menghunus goloknya.
Kesedihan dan sebagainya itu niscaya akan timbul dalam diri
orang yang tidak memiliki penyadaran jeli (sati), keprihatinan (saævega),
dan pengetahuan (ñâóa). Karena itu, seseorang hendaknya melihat
makhluk yang terbunuh atau telah mati sendiri di sana-sini, lalu mere￾nungkan kematian makhluk yang sebelumnya pernah diketahui memiliki
segala kelengkapan; melengkapinya dengan penyadaran jeli, kepri￾hatinan, dan pengetahuan, dan selanjutnya secara arif mengarahkan per￾hatian dengan penghayatan: “Kematian akan terjadi.” Dengan begitu, ia
dapat dianggap telah mengarahkan perhatian dengan arif –dalam arti
menjalankannya dengan cara yang benar.
Bagi sementara orang [yang memiliki kemampuan besar], pere￾nungan semacam itu saja dapat mengatasi kendala batin (nîvaraóa), me￾mantapkan penyadaran jeli yang berobjek kematian, dan meraih tingkat
meditasi penghampiran (upacâra).
[Delapan Cara Perenungan]
Sementara itu, mereka yang tidak mendapatkan kemajuan [de￾ngan perenungan semacam itu saja] hendaknya merenungkan kematian
dengan menggunakan delapan cara sebagai berikut: [1.] Dengan mem￾bayangkan kemunculan seorang pembunuh (vadhakapaccupaööhânato),
[2.] Dengan merenungkan sirnanya keberhasilan (sampattivipattito), [3.]
Dengan mengadakan perbandingan (upasaæharaóato), [4.] Dengan me￾nyadari bahwa tubuh ini terbagi oleh umum (kâyabahusâdhâraóato), [5.]
Dengan merenungkan kerapuhan usia (âyudubbalato), 6. Dengan mere￾nungkan kehidupan yang nirmarkah (animittato), 7. Dengan merenung￾kan kehidupan yang berbatas waktu (addhânaparicchedato), 8. Dengan
merenungkan pendeknya tempo kehidupan (khaóaparittato).
1. Dengan Membayangkan Kemunculan Seorang Pembunuh
Seseorang hendaknya merenungkan, “Ibarat seorang pembunuh
yang muncul dengan sebilah golok, yang berdiri mendekat sambil
menghunuskan golok di leher dengan itikad ‘Aku akan menebas kepala
orang ini’; demikian pula kematian menampakkan kemunculannya.”
Mengapa? Sebab ia datang bersama kelahiran dan merampas kehidupan.
Bagaikan jamur payung yang senantiasa muncul dengan menyembulkan
tanah di atasnya, demikian pula makhluk hidup terlahirkan bersama de￾ngan ketuaan dan kematian. Memang begini adanya, kesadaran
bertumimbal-lahir makhluk itu mencapai ketuaan segera setelah kemun￾culannya dan kemudian padam bersamaan dengan perpaduan kelom￾poknya; ibarat batu yang hancur terjatuh dari puncak bukit. Kematian
sesaat (khaóika-maraóa) muncul bersama dengan kelahiran. Bahkan ke￾matian yang dimaksudkan dalam Maraóasati ini juga muncul bersama de￾ngan kelahiran; sebab makhluk hidup yang terlahirkan pasti mengalami
kematian. Ibarat terbitnya matahari yang bergeser menuju ufuk keterbe￾naman dan tidak pernah berbalik haluan walau sedikit pun; atau ibarat
arus sungai yang mengalir dari gunung, yang dengan deras membawa
hanyut tanpa kembali; demikian pula makhluk hidup berkelana menuju
kematian semenjak kelahirannya dan tidak pernah berbalik meski hanya
sedikit pun. Karena itulah, Bodhisatta Ayogharakumâra berwejang
Sejak saat pertama masuk ke dalam kandungan, manusia yang terla￾hirkan hanya dapat bertolak dan bertolak tanpa berbalik kembali.”
Sewaktu ia bertolak begitu, kematian niscaya datang mendekat
setiap saat ibarat mata air yang mengering karena terbakar matahari di
musim kemarau; ibarat jatuhnya buah-buahan bertangkai kering di pagi
hari; ibarat pecahnya belanga yang tertumbuk palu; ibarat menguapnya
embun yang tertimpa terik matahari. Karena itulah, Sang Buddha
bersabda [tiga syair pertama, sedangkan Sang Bodhisatta mewejangkan
syair keempat]:
Siang dan malam berlalu,
Kehidupan mendekati kepadaman,
Usia makhluk hidup berkurang dan berkurang,
Ibarat mata air yang mengering.
Sebagaimana buah yang telah masak
Yang terjatuh di pagi hari,
Bahaya kematian niscaya menimpa
Makhluk yang telah terlahirkan.
Ibarat belanga tanah yang dibuat oleh tukang belanga,
Yang besar maupun kecil, yang masak atau masih mentah,
Semuanya berakhir pada kehancuran,
Demikian pula kehidupan semua makhluk, berarkhir pada ke￾matian.
Bagaikan embun di ujung rerumputan,
Yang menguap karena terbitnya matahari,
Begitu pula usia manusia;
Karena itu, Ibunda, jangan rintangi saya [dalam menanggalkan
keduniawian].
Kematian datang bersama kelahiran, ibarat seorang pembunuh
dengan golok terhunus. Seperti pembunuh yang menghunuskan golok di
leher, demikian pula kematian merampas kehidupan tanpa pernah mem￾bawanya kembali. Kematian diumpamakan seperti kemunculan seorang
pembunuh bergolok terhunus karena datang bersama dengan kelahiran,
dan karena merampas kehidupan. Demikianlah seseorang hendaknya
merenungkan kematian ibarat kemunculan seorang pembunuh.
2. Dengan Merenungkan Sirnanya Keberhasilan
Keberhasilan tampak bergemilang sepanjang kesirnaan belum
menguasainya, dan sesungguhnya tidak ada suatu keberhasilan yang lu￾put dari jangkauannya. Memang demikian adanya.
Bahkan Raja Asoka yang [bergelar] Tanpa Kesedihan pun,
Yang berhasil memerintah seluruh daratan [Jambudîpa],
Yang membelanjakan [anggaran] seratus koöi [setiap harinya],
Di akhir masa kehidupannya,
Hanya berkuasa atas separoh biji asam,
Beserta sekujur tubuhnya,
Tatkala kebajikannya telah terhabiskan,
Ia menghadapi kematian; tiba pada keadaan yang menyedihkan.
Lebih lanjut, segala kesehatan berakhir pada kesakitan; segala
kebeliaan berakhir pada keuzuran; segala kehidupan berakhir pada ke￾matian; segala perwujudan duniawi dikuntiti kelahiran, diburu ketuaan,
dirundung penyakit, dan dibasmi kematian. Karena itu, Sang Buddha
bersabda:
Bagaikan gunung padas yang besar,
Tinggi menjulang ke langit,
Menggilas semua makhluk hidup di bawahnya,
Yang datang dari empat penjuru sekeliling;
Begitu pula ketuaan dan kematian menindas semuanya,
Meluluh-lantakkan semua makhluk, tanpa kecuali,
Ningrat, agamawan, pedagang, pakar,
Orang tercampakkan ataupun tukang sampah.
Di sini tak ada tempat berpijak bagi serdadu bertunggangan ga￾jah, kuda,
Serdadu berkereta atau berjalan kaki,
Tak seorang pun mampu mengalahkannya,
Dengan rapalan aji-aji mantra ataupun suapan harta.
Demikianlah kesirnaan yakni kematian sebagai akhir dari keber￾hasilan yakni kehidupan. Seseorang hendaknya memahami bahwa kehi￾dupan berakhir pada kematian, merenungkan kematian sebagai
kesirnaan keberhasilan.
3. Dengan Perbandingan
Seseorang hendaknya merenungkan kematian dengan memper￾bandingkan dirinya dengan orang-orang lain [yang telah mati] dalam tu￾juh jenis, yakni: 1. Mereka yang memiliki kemasyhuran yang luas
(yasamahattato), 2. Mereka yang mempunyai kebajikan yang banyak
(puññamahattato), 3. Mereka yang memiliki kekuatan yang besar (thâma￾mahattato), 4. Mereka yang mempunyai kesaktian adiinsani yang hebat
(iddhimahattato), 5. Mereka yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi
(paññâmahattato), 6. Para Pacceka Buddha (Paccekabuddhato), 7. Para
Sammâsambuddha (Sammâsambuddhato). Bagaimana [harus direnung￾kan]?
Bahkan Mahâsammata, Mandhâtu, Mahâsudassana, Daïhanemi,
Nimi, dan lain-lain, yang sangat termashyur, yang memiliki banyak peng￾ikut dan kekayaan melimpah, tidak terelakkan dari cengkeraman kema￾tian. Bagaimana mungkin kematian tidak mencengkeram saya?
Raja-raja besar seperti Mahâsammata,
Yang kemashyurannya tersebar luas,
Semuanya jatuh ke dalam kekuasaan kematian;
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti
saya?
Demikianlah yang pertama-tama harus direnungkan.
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang mem￾punyai kebajikan yang banyak?
Para hartawan ini: Jotiya, Jaöila, Ugga, Meóòaka, Puóóaka, dan
lain-lain
Yang mempunyai banyak kebajikan di dunia,
Mereka semuanya masih mengalami kematian;
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti
saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang memi￾liki kekuatan yang besar?
Bahkan Vâsudeva, Baladeva,
Bhîmasena, Yuddhiööhila,
Dan pegulat Câóura,
Masih berada dalam kekuasaan kematian.
Apabila yang terkenal di dunia
Sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan besar pun,
Masih mengalami kematian,
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti
saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang mem￾punyai kesaktian adiinsani yang hebat?
Siswa Utama yang kedua,
Yang terunggul di antara mereka yang mempunyai kesaktian adi￾insani yang hebat,
Yang hanya dengan menggunakan jari kaki
Mampu menggoyahkan gedung istana Vejayanta,
Beliau pun, ibarat seekor kijang dalam mulut singa,
Kendati memiliki kesaktian adiinsani,
Masih terjatuh dalam cengkeraman kematian3 yang menakutkan.
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti
saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap mereka yang memi￾liki kebijaksanaan yang tinggi?
Tidak ada satu makhluk lain pun,
Kecuali Pendukung Dunia [Sang Buddha],
Yang bernilai seperenam-belas dari
Kebijaksanaan yang dimiliki oleh Sâriputta,
Siswa Utama yang pertama,
Yang terunggul dalam kebijaksanaan ini pun,
Masih berada dalam kekuasaan kematian.
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti
saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap para Pacceka Bud￾dha? Kendati telah menghancurkan semua musuh berupa kekotoran ba￾tin dengan kekuatan pengetahuan serta upaya mereka sendiri, dan telah
meraih pencerahan bagi diri mereka sendiri, seperti tanduk badak [yang
berdiri sendiri], mereka tersucikan oleh diri sendiri; semuanya masih juga
belum terlepas dari kematian. Lalu bagaimana mungkin saya terbebas
darinya?
Untuk menunjang pencarian kebenaran,
Para pertapa merenungkan pelbagai markah,
Meraih pembebasan dari kekotoran batin,
Dengan pengetahuan [mereka sendiri] yang mapan.
Berkelana dan hidup sendirian,
Ibarat tanduk badak,
Mereka pun tidak terhindar dari kematian.
Apa pula yang dapat dikatakan terhadap orang-orang seperti
saya?
Bagaimana dengan perbandingan terhadap para Sammâsambud￾dha? Bahkan para Sammâsambuddha, yang tubuh jasmaniah mereka ter￾lengkapi dengan 32 markah orang besar dan 80 tanda-tanda khusus lain,
yang tubuh kedhammaan mereka terbentuk dari mustika kebajikan yang
terdiri atas kesilaan yang murni dalam segala sisinya dan sebagainya,
yang terluas kemashyuran mereka, yang berkebajikan terbanyak, yang
mempunyai kekuatan terbesar, yang berkesaktian adiinsani terhebat,
yang berkebijaksaan tertinggi, yang tak terbandingkan, yang setara de￾ngan mereka yang tak terbandingkan, yang tidak ada duanya, yang secara
benar meraih Pencerahan Agung oleh diri sendiri; mereka pun terpadam￾kan oleh hujan kematian, ibarat api unggun besar yang padam tersiram
hujan lebat.
Kematian menyebarkan kekuatannya,
Tanpa takut dan malu,
Meski terhadap Pertapa Agung
Yang memiliki kekuatan terhebat;
Bagaimana mungkin kematian
Yang tak mengenal takut dan malu ini,
Yang menindas semua makhluk secara menyeluruh,
Tak akan menguasai orang-orang seperti saya?
Tatkala melakukan perenungan dengan cara demikian, dengan
memperbandingkan dirinya dengan orang-orang lain yang memiliki ke￾masyhuran yang luas dan sebagainya, dalam makna kematian yang
menyeluruh, dengan berpikir “Kematian akan menimpa diri saya sebagai￾mana terhadap orang-orang khusus itu,” –seseorang niscaya meraih ting￾kat meditasi penghampiran.
Demikianlah kematian seharusnya direnungkan dengan meng￾adakan perbandingan.
4. Dengan Menyadari bahwa Tubuh ini Terbagi oleh Umum
Tubuh jasmaniah ini terbagi oleh banyak jenis makhluk. Pertama,
terbagi oleh 80 jenis binatang kecil [bernga, belatung, kuman, dan se￾bagainya]. Yang berada di permukaan kulit menggigit serta memakan
permukaan kulit; yang berada di kulit jangat menggigit serta memakan
kulit jangat; yang berada di daging menggigit serta memakan daging;
yang berada di otot menggigit serta memakan otot; yang berada di tulang
menggigit serta memakan tulang; yang berada di sumsum menggigit serta
memakan sumsum. Mereka lahir, menua, mati dan membuang kotoran
besar kecil di sana. Dapat dikatakan bahwa tubuh ini merupakan tempat
bersalin, rumah sakit, jamban, dan kuburan bagi mereka. Tubuh ini dapat
tergiring menuju kematian dari gangguan binatang kecil tersebut. Selain
terbagi oleh 80 jenis binatan kecil, tubuh ini juga terbagi oleh beberapa
ratus penyakit dalam (internal diseases) di samping penyebab luar (exter￾nal causes) kematian seperti ular, kalajengking dan sebagainya.
Ibarat senjata-senjata seperti panah, tombak, lembing, batu dan
sebagainya –yang dilemparkan dari segala penjuru–, jatuh mengenai
sasaran yang terletak di tengah persimpangan; begitu pula segala celaka
jatuh menimpa tubuh ini, dan karenanya pula ia tiba pada kematian.
Karena itu, Sang Buddha bersabda: “Duhai Para Bhikkhu, tatkala siang
berlalu dan malam datang menjelang, para bhikkhu dalam Dhamma Vi￾naya ini merenungkan ‘Ada banyak hal yang dapat membuat saya mati.
Ular mungkin memagut saya, kalajengking mungkin menyengat saya, li￾pan mungkin menggigit saya. Saya mungkin mati karenanya, dan itu ber￾bahaya bagi saya. Saya mungkin terpeleset dan jatuh ke jurang. Makanan
yang saya santap mungkin mengandung racun. Empedu saya mungkin
terganggu. Dahak saya mungkin terganggu. Angin dalam tubuh saya
mungkin terganggu, dan memutuskan kesinambungan hidup. Saya
mungkin mati karenanya, dan itu berbahaya bagi saya.”
Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan menya￾dari bahwa tubuh ini terbagi oleh umum.
5. Dengan Merenungkan Kerapuhan Usia
Usia kehidupan itu lemah dan rapuh. Kehidupan suatu makhluk
bergantung pada pernafasan, sikap tubuh, hawa panas dingin, empat un￾sur pokok, dan sari makanan.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan nafas
masuk dan nafas keluar. Apabila udara yang keluar dari saluran perna￾fasan tidak masuk kembali, atau yang telah masuk tidak keluar lagi; se￾seorang niscaya akan mati.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan empat si￾kap tubuh. Apabila berada dalam satu sikap secara berlebihan, usia kehi￾dupan niscaya akan terputuskan.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan hawa
panas dan dingin. Apabila terkena hawa panas atau dingin yang berle￾bihan, seseorang niscaya akan mati.
Kehidupan berlangsung hanya apabila ada keteraturan empat
unsur pokok. Apabila ada ganguan unsur tanah, unsur air atau unsur lain￾nya, orang yang kuat sekali pun niscaya akan menjadi orang yang bertu￾buh mengeras, membusuk karena penyakit dan sebagainya, bergejala
panas menanjak, persendian tulang dan ototnya terputus, dan bahkan
sampai pada kematian.
Kehidupan berlangsung hanya apabila seseorang memperoleh
sari makanan yang tepat pada waktunya. Apabila tidak ada makanan, ke￾hidupannya niscaya akan berakhir.
Seseorang hendaknya merenungkan kematian, dengan mere￾nungkan usia kehidupan sebagai sesuatu yang rapuh.
6. Dengan Merenungkan Kehidupan yang Nirmarkah
Makna kehidupan yang nirmarkah ialah bahwa kehidupan itu ti￾daklah dapat ditentukan dan dibayangkan batasnya. Lima hal yakni usia
kehidupan, penyakit, waktu, tempat tubuh ini terkapar, dan jalur tujuan;
dari semua makhluk di dunia ini tidaklah bermarkah, tidak dapat diketa￾hui.
Dalam lima hal ini, kehidupan tidak bermarkah karena tidak ada
kepastian bahwa akan hidup sebatas ini, tak lebih daripada ini. Ada
makhluk yang mati dalam pelbagai tahap janin, yakni pada waktu masih
berupa tetesan air bening kekuning-kuningan (kalala), gelembung air
warna daging (abbuda), cairan daging merah (pesi), gumpalan daging
berbentuk seperti telur ayam (ghana), dalam kandungan selama satu bu￾lan, dua bulan, tiga bulan, empat, lima bulan, … sepuluh bulan, dan pada
waktu terlahirkan dari kandungan. Kalau pun melewati tahap itu, mung￾kin mati dalam waktu kurang lebih 100 tahun.
Penyakit tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa
makhluk akan mati hanya oleh penyakit ini, bukan karena penyakit yang
lain. Ada makhluk yang mati karena penyakit mata, ada pula yang mati
karena penyakit-penyakit lain seperti penyakit telinga.
Waktu tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa
makhluk akan mati hanya pada waktu ini, bukan pada waktu lain. Ada
makhluk yang mati pada pagi hari, ada pula yang mati pada waktu-waktu
lain seperti siang hari.
Tempat tubuh ini terkapar tidak bermarkah karena tidak ada ke￾pastian bahwa ketika makhluk mati, tubuh mereka hanya terkapar di sini,
bukan di tempat lain. Ada makhluk yang terlahirkan dalam rumah, mati
dengan tubuh terkapar di luar rumah; ada pula makhluk yang terlahirkan
di luar rumah, mati dengan tubuh terkapar di dalam rumah. Dalam makna
yang sama, orang bijak hendaknya memperluas pengertian ini dalam pel￾bagai pengandaian seperti: ada makhluk yang terlahirkan di darat, mati
terkapar di air; ada pula makhluk yang terlahirkan di air, mati terkapar di
darat.
Tujuan pun tidak bermarkah karena tidak ada kepastian bahwa
makhluk yang mati dari sini akan terlahirkan kembali di sini. Ada
makhluk yang mati dari Alam Surga, terlahirkan kembali di Alam Manu￾sia; ada pula makhluk yang mati dari Alam Manusia, terlahirkan kembali
di alam-alam lain seperti Alam Surga dan sebagainya. Dengan cara de￾mikianlah [makhluk di] dunia ini berputar-putar dalam lima jenis tujuan
ibarat sapi yang terikat pada kereta berjalan berputar-putar.
Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, dengan mere￾nungkan kehidupan yang nirmarkah.
7. Dengan Merenungkan Kehidupan yang Berbatas Waktu
Rentang waktu kehidupan manusia pada zaman ini sangatlah
singkat. Ada orang yang hidup selama 100 tahun, ada pula yang lebih
lama namun hanya sebagian kecil. Karena itu, Sang Buddha bersabda:
“Duhai Para Bhikkhu, usia manusia itu sangatlah singkat. Ada kehidupan
lain yang harus dijalani. Hendaknya berbuat kebajikan serta menempuh
kehidupan suci. Tak ada makhluk yang terlahirkan tidak mengalami ke￾matian. Memang ada makhluk yang hidup selama 100 tahun atau lebih,
namun itu hanyalah sebagian kecil.”
Usia manusia itu sangatlah pendek,
Orang bijak hendaknya meremehkannya,
Hendaknya berprilaku sebagaimana orang yang kepalanya ter￾bakar,
Tak mungkin kematian tidak datang menjenguk.
Beliau bersabda lebih lanjut: “Duhai Para Bhikkhu, pernah ada
seorang guru bernama Araka…” dan seterusnya. Orang bijak hendaknya
menguraikan sutta yang terhiasi oleh tujuh perumpamaan. Dalam sutta
lain lagi Beliau berwejang: “Duhai Para Bhikkhu, bhikkhu yang mengem￾bangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal
selama satu hari dan satu malam. Karena itu, saya patut segera
menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini
‘Oh saya baru bertinggal selama satu siang. Karena itu, saya patut segera
menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’
Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap kematian begini
‘Oh saya baru bertinggal selama satu waktu bersantap. Karena itu, saya
patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat men￾dukung saya.’ Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap ke￾matian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama empat lima kunyahan serta
telanan [makanan]. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran Sang
Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Para bhikkhu semacam
itu saya nilai masih lalai, dan terlalu lamban dalam merenungkan kema￾tian demi penghancuran kekotoran batin. Sementara itu, bhikkhu yang
mengembangkan perenungan terhadap kematian begini ‘Oh saya baru
bertinggal selama satu kunyahan serta telanan [makanan]. Karena itu,
saya patut segera menghayati ajaran Sang Buddha. Ini tentu akan sangat
mendukung saya.’ Bhikkhu yang mengembangkan perenungan terhadap
kematian begini ‘Oh saya baru bertinggal selama satu tarikan nafas masuk
dan satu hembusan nafas keluar, atau satu hembusan nafas keluar dan
satu tarikan nafas masuk. Karena itu, saya patut segera menghayati ajaran
Sang Buddha. Ini tentu akan sangat mendukung saya.’ Bhikkhu semacam
ini saya nilai tidak lalai, dan cergas dalam merenungkan kematian demi
penghancuran kekotoran batin.”
Sedemikian singkatnya usia kehidupan sehingga tidak patut di￾abaikan meski hanya sewaktu mengunyah serta menelan empat atau lima
suapan [makanan]. Demikianlah kematian hendaknya direnungkan, de￾ngan merenungkan kehidupan yang berbatas waktu.
8. Dengan Merenungkan Pendeknya Tempo Kehidupan
Berdasarkan pengertian mutlak (paramattha), waktu hidup
makhluk-makhluk itu sangatlah pendek, hanya berlangsung selama ke￾munculan satu kesadaran. Ibarat roda kereta, sewaktu berputar, ia berpu￾tar dengan bagian pelek yang sama; ketika berhenti, ia berhenti dengan
bagian pelek yang sama. Demikian pula kehidupan makhluk, hanya ber￾langsung pada satu saat kesadaran. Begitu kesadarannya lenyap kembali,
makhluk itu dapat dikatakan telah mati (padam), sebagaimana yang
disabdakan: “Pada saat kesadaran lampau, ia dikatakan telah hidup, tidak
sedang hidup ataupun akan hidup. Pada saat kesadaran mendatang, ia ti￾dak dikatakan telah hidup ataupun sedang hidup melainkan akan hidup.
Pada saat kesadaran sekarang, ia bukan telah hidup ataupun akan hidup
tetapi sedang hidup.
Kehidupan, kepribadian, dan segala suka duka; terpadu oleh
satu kesadaran,
Waktu [kehidupan] itu berlalu sangat cepat,
Kelompok kehidupan yang telah padam
Milik mereka yang telah mati atau masih hidup,
Semuanya sama, padam tak kembali.
Dunia [makhluk] dikatakan tak timbul karena kesadaran tak
muncul,
Dikatakan hidup karena munculnya kesadaran,
Dikatakan mati karena padamnya kesadaran,
Inilah ketetapan dalam pengertian mutlak.
Demikianlah kematian seharusnya direnungkan, dengan mere￾nungkan pendeknya tempo kehidupan.
[Simpulan]
Dengan merenungkan salah satu dari delapan macam cara ini,
berkat kekuatan perhatian yang tekun, pikiran niscaya akan lancar,
penyadaran jeli yang berobjekkan kematian niscaya akan termantapkan,
segala kendala batin niscaya tertekan, dan faktor-faktor pencerapan
(jhâna) niscaya akan muncul. Namun, karena objeknya merupakan kea￾daan alamiah (sabhâvadhamma) dan karena menimbulkan perasaan
keprihatinan, pencerapan ini tidak sampai pada tahap pencapaian (ap￾panâ); hanya sampai pada tahap penghampiran (upacâra). Sementara itu,
pencerapan adiduniawi (lokuttara-jhâna) dan pencerapan nirbentuk
(arûpa-jhâna) yang kedua dan keempat sampai pada pencapaian kendati
merupakan keadaan alamiah. Sebab, [ini] merupakan pengembangan
khusus. Pencerapan adiduniawi dapat sampai pada tahap pencapaian
karena kekuatan pengembangan kesucian yang progresif. Pencerapan
nirbentuk dapat sampai pada tahap pencapaian karena merupakan
pengembangan yang melampaui objek. Sebab, dalam pencerapan
nirbentuk hanya ada pelampauan objek jhâna yang telah sampai pada
pencapaian. Namun, dalam perenungan atas kematian ini, keduanya ti￾dak terdapat. Karena itu, [ini] merupakan pencerapan yang hanya sampai
pada tahap penghampiran. Pencerapan ini disebut penyadaran jeli atas
kematian karena muncul berkat perenungan atas kematian.
Bhikkhu yang senantiasa mengembangkan Maraóasati ini nis￾caya akan menjadi orang yang tidak lalai. Ia akan memperoleh pema￾haman ketakterpikatan terhadap segala perwujudan; dapat menang￾galkan kemelekatan terhadap kehidupan, mencela kejahatan, tidak ba￾nyak menimbun [barang], terbersihkan dari noda kekikiran atas segala
harta milik, dan bahkan pemahaman atas ketaklanggengan niscaya akan
tumbuh. Pemahaman atas penderitaan dan ketanpa-dirian niscaya akan
muncul mengikutinya. Makhluk hidup yang tidak melatih [perenungan
terhadap] kematian niscaya mengalami ketakutan, kengerian dan keka￾cauan tatkala ajal menjelang ibarat orang yang tiba-tiba diserang oleh bi￾natang buas, raksasa, ular, penjahat atau pembunuh. Sebaliknya, ia [yang
melatih perenungan terhadap kematian] tidaklah mengalami ketakutan,
tidak terjatuh dalam keadaan semacam itu. Apabila tidak meraih Ke￾kekalan (Nibbâna) dalam kehidupan sekarang ini juga, ia setidak￾tidaknya akan terlahirkan kembali di Alam Bahagia setelah kehancuran
tubuh jasmaniah (kematian).
Karena alasan itulah, orang yang memiliki kebijaksanaan
Hendaknya senantiasa tidak lalai
Dalam perenungan atas kematian
Yang berkekuatan besar ini.
Ini merupakan bagian berkenaan dengan perenungan atas
kematian dalam penjelasan terinci.







kematian adalah suatu tragedi kehidupan yang paling
mengenaskan bagi umat manusia. Diperkirakan, dalam
tiap-tiap hari ada sekitar dua ratus ribu orang yang mati di
dunia ini. Kematian tidak hanya mencengkeram mereka
yang lanjut usia. Bahkan bayi yang belum lahir pun, yang
masih dalam kandungan ibunya, tidak luput dari sorotannya. Kematian ti￾dak pernah pandang bulu; tua muda, besar kecil, kaya miskin, kuasa le￾mah, mulia hina, pandai bodoh, terpandang ternista, dlsb.
Karena sedemikian kuat hasrat hidup, kecintaan serta keme￾lekatan pada kehidupan dan karena naluri perjuangan untuk memperta￾hankan kehidupan (struggle for survival) –sebagaimana makhluk￾makhluk hidup lainnya–; manusia tidak pernah menyerah pasrah pada
kenyataan hidup yang pahit ini. Segala cara dipakai; segala terobosan di￾coba; segala upaya dilakukan untuk mengatasi kematian. Keadaan Tanpa
Kematian (Deathless) sesungguhnya adalah Kekekalan (Immortality) itu
sendiri, yang menjadi tujuan akhir bagi semua makhluk.
Kekekalan tidak hanya merupakan idaman umat manusia. Diki￾sahkan dalam mitologi Hindu bahwa para dewa (gods) berperang mati￾matian dengan para iblis (demons) untuk memperebutkan belanga berisi
air kekekalan (am ta, elixir). Konon pada awalnya kedua jenis makhluk
itu saling bekerja-sama. Gunung Mandara dicukil untuk dijadikan sebagai
tongkat pengaduk. Seekor naga bernama Vasuki mempersembahkan diri￾nya untuk dipakai sebagai tali pengikat. Setelah dililitkan pada tongkat
pengaduk, salah satu ujung dari tali itu dipegang oleh para dewa sedang￾kan ujung lainnya dipegang oleh para iblis. Suatu landasan yang mapan
dibutuhkan untuk menopang tongkat pengaduk. ViŠu kemudian menjel￾makan diri sebagai kura-kura (kûrma), dan menjadikan punggungnya se￾bagai landasan penopang. Setelah semuanya beres, mulailah para dewa
dan iblis bergotong-royong mengaduk samudra susu. Akhirnya, Matahari
serta Bulan muncul dari tengah samudra, yang diiringi oleh Dhanvantari
–tabib para dewa– yang menjinjing sebuah belanga berisi air kekekalan.
Timbullah persengketaan di antara para dewa dan iblis atas hak
pemilikan air kekekalan itu. Ini kemudian menjadi sumber peperangan. Bukannya kekekalan yang mereka dapatkan, melainkan permusuhan
yang berkepanjangan.
Sebuah mitos Hindu lainnya menceritakan tentang para naga
(serpents) yang memperbudak induk burung Garuòa, dan hanya mau
membebaskannya apabila diberi tebusan berupa air kekekalan. Dengan
sejumlah kesukaran, Garuda memperlihatkan prestasinya. Dalam per￾jalanan pulang dari Surga, ia berjumpa dengan ViŠu dan bersedia untuk
mengabdikan diri sebagai kendaraannya.
Seluruh bagian dari alam semesta ini dipandang oleh para peng￾anut Agama Hindu sebagai suatu pengejawantahan dari kedewaan yang
hakiki. Waktu (time) dipahami sebagai suatu pengulangan yang nirbatas
dari lingkaran panjang yang sama di mana para dewa, iblis, dan pahlawan
mengulangi tindakan-tindakan legendaris mereka. Dalam mitologi
Hindu, Soma mewakili dewa Bulan (Moon). Ia digambarkan sedang me￾layang di langit dengan kendaraan yang dihela oleh kuda-kuda putih.
Soma juga merupakan nama dari air kekekalan yang hanya dapat diteguk
oleh para dewa. Bulan dianggap sebagai gudang penyimpanan air ke￾kekalan. Karena air kekekalan ini merupakan minuman yang memabuk￾kan, dewa Soma juga sering dikaitkan dengan kemabukan. Ketika para
dewa meminum Soma, bulan akan meredup karena para dewa sedang
menghabiskan sifat kekekalan mereka.
Dalam kepercayaan Yunani juga dikenal adanya ‘ambrosia’, su￾atu makanan surgawi. Walaupun tidak selamanya dianggap sebagai
penyebab utama bagi kekekalan para dewa, makanan ini dipercayai da￾pat membuat mereka yang tak kekal (mortal) menjadi kekal.
Kepercayaan tentang kekekalan jasmaniah, di kalangan orang￾orang Cina, dapat ditelusuri hingga abad kedelapan Sebelum Masehi. Be￾berapa abad kemudian, mencuatlah gagasan atas kemungkinan tercapai￾nya kekekalan jasmaniah melalui ramuan obat mujarab. Upaya peracikan
obat yang diharapkan dapat membuat seseorang terbebas dari segala pe￾nyakit serta memperpanjang kehidupan dan bahkan memperoleh ke￾kekalan hidup ini dikenal dengan sebutan alkimia (alchemy).
6 Alkimia sebenarnya terbagi menjadi dua, yakni alkimia bagian dalam (nei-tan)7
,
dan alkimia bagian luar (wai-tan). Ini bercikal-bakal pada beberapa aspek
ajaran Taoisme yang bersifat mistik, yang berkembang pesat sejak abad
keenam Sebelum Masehi. Dalam Taoisme dipercayai adanya Hsien atau
orang-orang yang memperoleh kekekalan hidup dan kekuatan kedewaan
melalui upacara ritual serta penerapan alkimia. Ada tiga tingkatan ke￾kekalan, yakni: Tianshen (surgawi), yang dapat terbang; Dishen
(duniawi), yang hidup di gunung-gunung atau hutan-hutan; Shijieshen
(nirbadan), yang secara sederhana menanggalkan tubuhnya setelah ke￾matian. Delapan orang kekal yang utama dan terkenal diperlakukan se￾bagaimana layaknya para dewa. Rujukan tentang penyempurnaan diri
(self-perfection) serta kekekalan para Hsien dicerap secara harfiah oleh
sementara penganut Taoisme belakangan, yang membawa mereka pada
percobaan alkimia. Sebagaimana orang-orang Mesir, orang-orang Cina
memperoleh pengetahuan alkimia praktis dari teori-teori yang salah. Ko
Hung, ahli alkimia yang sangat terkenal dengan karya tulisnya berjudul
Pao-p’u-tzu, bahkan mengakui bahwa ia sendiri tidak pernah berhasil
meracik obat kekekalan hidup. Ramuan obat kekekalan hidup ini pada
dasarnya terdiri atas emas (gold), air raksa (mercury), belerang (sulfur),
warangan (arsenic) dan unsur-unsur lain yang sesungguhnya merupakan
racun (poison). Sudah tentu, bukannya kekekalan hidup yang diperoleh
oleh orang-orang yang memakannya, melainkan justru kematian yang
menyakitkan. Dalam catatan sejarah Cina, ada tidak sedikit raja serta kai￾sar Cina yang tergila-gila pada upaya pencaharian obat kekekalan hidup.
Shih Huang Ti (259-210/209 SM) adalah kaisar pertama dalam Di￾nasti Ch’in, yang didirikannya sendiri setelah berhasil mempersatukan se￾luruh daratan Cina. Ia secara terbuka memerangi kepercayaan Khong Hu
Cu (Confucianism) yang dinilai mengandung falsafah hidup ber￾masyarakat yang bersifat feodal. Pada akhirnya ia berhasil menghancur￾kan sistem feodalisme secara menyeluruh, namun tidak mampu
menghapus secara total kepercayaan Khong Hu Cu yang dianut oleh para
bangsawan. Shih Huang Ti adalah seorang kaisar yang amat takut pada
kematian. Dengan pelbagai cara ia berusaha menghindari kematian yang
senantiasa menghantui kehidupannya. Ia sering berkhayal bahwa dinasti
kekaisaran yang didirikannya itu paling tidak dapat bertahan hingga
10,000 generasi.8 Walaupun memiliki wawasan yang luas serta kecakapan
yang luar biasa dalam menjalankan pemerintahan9
, ia gampang percaya
pada hal-hal yang berbau mistik serta ketakhayulan. Ia dengan penuh
hormat mendengarkan anjuran semua orang yang mewakili ajaran Lao
Tse (Taoisme) meskipun sesungguhnya mereka adalah dukun-dukun
klenik (charlatans). Kecenderungannya pada ajaran Taoisme dilandasi
oleh hasrat besar untuk memperoleh obat kekekalan hidup. Konon dika￾takan bahwa dalam salah satu perjalanannya, ia berjumpa dengan se￾orang penjual obat di pantai Laut Kuning (Yellow Sea). Sepanjang tiga
hari tiga malam, ia bercakap-cakap dengannya tentang hal-hal yang ber￾bau mistik, khususnya tentang obat kekekalan hidup. Tukang obat itu ke￾mudian menghilang secara misterius –setelah meninggalkan sepucuk
surat berisi petunjuk agar kaisar mencarinya di Pulau Kekekalan yang
mengarah pada jurusan timur Laut Kuning [mungkin Jepang yang dimak￾sud]. Shih Huang Ti segera memerintahkan Jofuku (Xu Fu) untuk berang￾kat ke sana dengan ratusan kapal, ribuan awak. Selama bertahun-tahun,
rombongan ini tidak juga kunjung kembali. Meski demikian, ia belum ke￾hilangan kepercayaan terhadap para dukun klenik. Bahkan untuk
urusan-urusan kenegaraan, ia tidak segan-segan untuk berkonsultasi ke￾pada mereka. Ini menjadi sumber kritikan serta kecaman dari para peng￾anut Khong Hu Cu. Konon dikatakan bahwa Shih Huang Ti dengan
sewenang-wenang menghukum mati 460 orang di antara mereka. Per￾selisihan yang berlarut-larut antara kaisar dengan para pemeluk keper￾cayaan Khong Hu Cu, yang secara gigih berusaha menghidupkan
kembali tatanan feodal, membawa pada tindakan pembredelan, penyi￾taan serta pembakaran karya-karya tulis yang dianggap mengancam ke￾langsungan kekuasaannya. Tahun-tahun terakhir masa kehidupan Shih
Huang Ti diwarnai dengan semakin maraknya usaha pembunuhan (as￾sassination) terhadap dirinya. Paling tidak ada tiga kali yang hampir
merenggut nyawanya. Ancaman semacam ini membuatnya semakin ber￾gegas dalam mencari obat kekekalan hidup. Setelah memerintah selama
sebelas tahun, ia akhirnya wafat pada tahun 210/209 SM di Propinsi Shan￾dong, yang terletak jauh dari ibukota Xianyang, dalam suatu perjalanan
yang panjang untuk memperoleh obat kekekalan hidup. Ada yang
mengira bahwa penyebab kematiannya ialah tekanan jiwa (depression).
Namun, sesungguhnya, sedikit banyak ini merupakan komplikasi dari
obat kekekalan hidup yang dimakannya, yang dipercayai dapat menge￾kalkan kehidupannya tetapi dalam kenyataan justru merupakan racun
yang menggerogoti kesehatannya.
Seperti halnya Shih Huang Ti, kaisar dalam dinasti Han yang ber￾gelar Wu Ti (157-87 SM) juga terpikat dengan obat kekekalan hidup. Per￾bedaannya, meskipun menjalankan kebijakan pemerintahan yang
bersifat agresif, kaisar yang belakangan ini tidak memusuhi kepercayaan
Khong Hu Cu. Bahkan, kepercayaan ini dijadikan sebagai falsafah negara
–suatu tindakan yang membawa pada pengaruh yang kuat serta langgeng
sepanjang sejarah Cina. Ia tidak ingin keberhasilan yang telah diraihnya,
perluasan daerah kekuasaannya sampai ke negara-negara tetangga, akan
musnah begitu saja tatkala kematian menjemput dirinya. Hasratnya untuk
memperoleh kekekalan hidup tidaklah pernah reda. Ia menghabiskan
anggaran negara yang sangat besar untuk tujuan ini, termasuk mengirim￾kan beberapa utusan untuk pergi ke Pulai Kekekalan serta membangun
sarana-sarana pemujaan ritual yang mewah. Ia rela untuk memberikan
hadiah yang besar bagi siapa saja yang dapat memberikan informasi yang
menuju pada perolehan obat kekekalan hidup. Empat tahun terakhir
masa kehidupannya dipenuhi dengan pengasingan diri serta penyesalan.
Kaisar yang penuh kecurigaan terhadap orang-orang sekeliling ini
menderita penyakit jiwa [kehilangan kepribadian yang akut] tatkala ahli
warisnya dituduh telah mempergunakan ilmu hitam (black-magic) terha￾dap dirinya. Dengan perasaan putus asa, putra kaisar menggalang unjuk￾rasa yang menelan korban ribuan jiwa. Sementara itu, ahli waris kaisar
melakukan bunuh-diri. Menjelang kematiannya, kaisar sempat menobat￾kan putranya yang berumur delapan tahun sebagai pengganti ahli waris
tahta kerajaan. Kaisar Wu Ti adalah salah seorang dari sejumlah besar
orang Cina yang sangat berhasrat untuk memperoleh kekekalan hidup,
namun justru harus mengakhiri kehidupannya secara menyedihkan. Ini
tidak lain karena ia telah melangkah pada jalan yang sesat.
Upaya mencari obat kekekalan hidup tetap berlanjut hingga
berabad-abad. Chia-Ching adalah seorang kaisar dalam Dinasti Ming
[didirikan pada tahun 1368 Masehi] yang dengan memboroskan anggaran
negara dalam jumlah besar berusaha melindungi serta mendukung para
ahli alkimia penganut kepercayaan Taoisme –dengan harapan untuk
memperoleh obat kekekalan hidup. Joseph Needham (1900-1995) adalah
pakar biokimia serta sinologi Inggris yang berhasil membuat daftar kaisar￾kaisar Cina yang kemungkinan mati karena keracunan obat kekekalan
hidup. Hasrat orang-orang Cina untuk memperoleh kekekalan hidup de￾ngan cara meracik ramuan obat-obatan mulai berkurang seiring dengan
masuknya Agama Buddha ke negara Cina. Agama Buddha mengajarkan
paham Kekekalan atau Keadaan Tanpa Kematian yang unik, yang tiada
duanya di dunia ini.
Walaupun tidak didukung oleh bukti-bukti yang telak, alkimia
memang dapat dianggap sebagai cikal-bakal ilmu pengetahuan modern
di bidang kimia medis atau farmasi (pharmacy) yang sangat bermanfaat
bagi umat manusia. Hingga dewasa ini telah ada lebih dari 10,000 jenis
obat-obatan yang diproduksi serta dipergunakan secara luas. Namun,
semua ini hanya mampu menyembuhkan seseorang dari suatu penyakit
tertentu pada waktu yang terbatas. Tak ada satu obat pun yang dapat
membuat seseorang terbebas dari kematian. Pengobatan medis hanya
mampu menunda kematian pada batas-batas waktu tertentu: satu hari,
satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau paling lama seratus tahun. Pada
akhirnya, cepat atau lambat, kematian tidaklah dapat dihindari lagi. Ilmu
pengetahuan modern –secanggih apa pun– tidaklah mungkin dapat
dijadikan sandaran bagi umat manusia dalam upaya mengatasi kematian
serta memperoleh Kekekalan. Perlu dicari suatu jalan lain yang benar￾benar dapat mewujudkan harapan ini. Jalan ini kiranya hanya dapat
dijumpai dalam Agama Buddha.
kematian adalah suatu kenyataan hidup yang secara drastis
mengubah alur kehidupan Pangeran Siddhattha. Selama
dua puluh sembilan tahun, Beliau dibesarkan oleh Raja
Suddhodana dengan segala kenikmatan inderawi. Tiga is￾tana yang megah dibangun sebagai tempat peristirahatan
yang nyaman sepanjang tiga musim. Pola hidup yang mengutamakan ke￾bahagiaan duniawi semacam ini membuat Beliau kurang begitu berke￾sempatan untuk mengetahui serta merenungkan kenyataan hidup yang
sesungguhnya.
Rangkaian peristiwa yang dialami oleh Beliau dalam suatu per￾jalanan ke luar istana dengan didampingi oleh seorang kusir bernama
Channa tersebut dapat dikisahkan sebagai berikut:
Tatkala melihat orang berusia lanjut yang sedang berdiri di
pinggir jalan, Pangeran Siddhattha merasa heran dan bertanya: “Apakah
itu? Ia tampak seperti manusia, tetapi rambutnya beruban, giginya om￾pong, dagunya menurun, kulitnya kering serta berkeriput, matanya re￾dup, punggungnya bungkuk, liku-liku tulang rusuknya kentara,
badannya kurus, dan ia takmampu menegakkan tubuhnya sehingga ha￾rus bergantung pada tongkat penyanggah.”
Dengan jujur Channa menjelaskan: “Pangeran, itu adalah orang
tua. Orang yang telah berusia lanjut; enam puluh, tujuh puluh, delapan
puluh tahun atau lebih. Keuzuran tubuhnya tertampak jelas. Ini bukanlah
suatu hal yang perlu diresahi. Ini sangat wajar. Kita semua niscaya akan
menjadi tua.”
Pangeran bertanya lebih lanjut: “Kamu bermaksud untuk menga￾takan bahwa kita semua pasti akan menjadi seperti itu? Pasti menjadi tua?
Yasodharâ, Saya, Kamu dan seluruh kerabat-kerabat belia Saya suatu saat
pasti akan menjadi seperti itu?” “Ya, Pangeran,” jawab Channa, “itu adalah
suatu hal yang wajar bagi kita semua.”
Peristiwa kedua yang dilihat oleh Pangeran Siddhattha ialah
orang sakit. “Apa, apa yang saya lihat ini?” tanya Beliau, “orang ini terlalu
lemah untuk dapat berdiri. Ia muntah-muntah serta mengejang kesakitan.Matanya yang merah melotot keluar mencerminkan ketakutan sedangkan
mulutnya mengeluarkan busa. Ia bahkan takbisa duduk dengan tenang.
Dadanya dipukuli, dan sambil berguling-guling ia mengerang-erang de￾ngan menyedihkan. O apa yang dimaksud dengan semua ini?”
“Itu adalah orang yang sedang sakit parah,” jawab Channa. “Tu￾buhnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Suhu badannya meninggi,
dan karena inilah ia mengerang-erang kesakitan.”
“Apakah ini merupakan suatu hal yang jarang terjadi? Apakah ini
wajar bagi semua makhluk? Apakah kita semua dapat ditimpa penyakit?”
Inilah rentetan pertanyaan penuh kegelisahan yang diuncarkan oleh
Pangeran Siddhattha.
“Ya Pangeran, kita semua dapat ditimpa penyakit,” jawab
Channa. “Namun,” lanjutnya, “dengan merawat kesehatan dan sebagai￾nya, kita mungkin dapat terjauhkan dari penyakit. Karena itu, tidaklah
perlu mengkhawatirinya.” Jawaban Channa ini tidak berhasil mem￾bendung arus pemikiran yang sedang berkecamuk dalam diri Pangeran
Siddhattha.
Selanjutnya Pangeran Siddhattha menjumpai iring-iringan orang
mati yang akan diperabukan. “Channa, Channa, apakah ini?” tanya
Pangeran. “Mengapa orang-orang ini menangis menggerung-gerung sam￾bil mencabik-cabik pakaian mereka? Mengapa air mata mereka bercu￾curan? Mengapa wajah mereka tergoresi kesedihan? Apa pula yang
sedang mereka gotong itu? Yang tampak sangat berbeda dengan orang￾orang di sekelilingnya? Yang membisu, yang wajahnya tak berekspresi,
yang berdiam mematung?”
“Pangeran,” jawab Channa, “Yang berada dalam iring-iringan ter￾sebut adalah jenazah. Orang-orang lainnya adalah sanak-keluarga yang
ditinggal mati. Mereka berkabung serta meratapinya karena mereka tidak
dapat berjumpa lagi dengan orang yang sudah mati. Ia telah pergi untuk
selamanya.
“Apakah kematian itu?” tanya Pangeran lebih lanjut, “Mengapa
dan bagaimana seseorang mengalami kematian? Apakah semua orang
pada suatu saat pasti mati?”







k ematian adalah suatu misteri kehidupan yang telah menye￾limuti umat manusia sejak dahulu kala. Namun, bukti nyata
atas asal-mula kehadirannya hingga kini masih belum
tersingkap. Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti
sejak kapan manusia mengalami kematian, dan mengapa
harus mati. Yang ada dan berkembang di masyarakat hanyalah ‘mitos’
yang sukar [kalau bukan muskil] dibuktikan kebenarannya. Mitos bukan￾lah suatu kenyataan bersejarah (historical evidence). Mitos adalah cerita
suatu bangsa tentang Makhluk Adiinsani [pencipta, dewa dan sebagainya]
yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, binatang,
manusia, atau bangsa itu sendiri, yang kebanyakannya berbumbu ke￾gaiban. Mitos merupakan hasil khayalan, perenungan, pemikiran, pena￾laran atau spekulasi atas suatu kenyataan yang berada di sekeliling
manusia; yang mungkin bernada sangat naif serta kekanak-kanakan atau￾pun sebaliknya mengandung ajaran-ajaran etika serta filsafat yang amat
pelik; yang mungkin berupa dongeng ringan yang tak begitu menuntut
kepercayaan ataupun sebaliknya berupa kisah dogmatis yang menjadi
pusat keyakinan. Ini semua tergantung pada tingkat peradaban manusia
dari mana mitos itu berasal.
Menurut mitos yang dipercayai oleh orang-orang Zulu di Afrika,
pada awalnya Tuhan Pencipta yang dikenal sebagai Unkulunkulu se￾pakat untuk menganugerahi manusia dengan kekekalan (immortality).
Kemudian diutus-Nyalah seekor bunglon untuk mengabarkan berita ini
kepada manusia: bahwa manusia tidak akan mengenal segala bentuk
penderitaan: penyakit, ketuaan, dan kematian. Mereka akan hidup dalam
kebahagiaan yang abadi. Bunglon itu berjalan sangat lamban, dan sering
berhenti untuk mencari makanan sehingga berita ini belum juga sampai
ke manusia. Entah karena alasan apa, Unkulunkulu kemudian berganti
pikiran. Diutus-Nyalah seekor kadal untuk mengabarkan kepada manusia
bahwa mereka akan mengalami kematian. Walaupun berangkat bela￾kangan, kadal ini sampai ke tempat tujuan lebih dahulu. Berita tentang
kematian diterima dengan pasrah oleh manusia. Bunglon yang lamban
akhirnya sampai juga, namun beritanya (tentang kekekalan) yang
bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan oleh kadal tidak diper￾cayai oleh manusia. Sejak saat itulah, manusia mengalami kematian. Ke￾gagalan manusia dalam menikmati kehidupan yang kekal bukanlah
disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri, melainkan semata-mata
karena kelalaian seekor binatang yang menyampaikan berita Tuhan.
Mitos yang bernada sedikit berbeda disajikan oleh suku Gudji
dan Darasa di Afrika. Pada awalnya tidak ada satu makhluk pun yang
mengalami kematian. Semuanya hidup dalam kekekalan. Kemudian pada
suatu hari timbullah kemelitan (curiosity) dalam benak Tuhan untuk
menguji siapakah gerangan yang lebih patut menikmati kekekalan, laki￾laki ataukah ular. Sang Pencipta selanjutnya mengadakan perlombaan di
antara kedua makhluk itu. Di tengah lomba balap ini, laki-laki bertemu
dengan wanita. Karena terpikat oleh kecantikannya, ia berhenti untuk
bercakap-cakap. Sedemikian lama percakapan ini berlangsung sehingga
ia tertinggal jauh dan si ular sampai lebih duluan. Tuhan kemudian
berkata kepada laki-laki: “Kamu telah terkalahkan. Ular ternyata lebih
berharga daripada kamu. Binatang ini akan Kuberkahi kehidupan yang
kekal, sedangkan kamu akan mengalami kematian. Demikian pula semua
keturunanmu.” Mitos ini menempatkan wanita sebagai penggoda yang
menghalangi upaya manusia dalam meraih kekekalan, suatu tema utama
yang lazim terdapat dalam masyarakat yang kurang begitu menghargai
harkat serta martabat kaum wanita. Sementara itu, ular dianggap memiliki
kekekalan mungkin karena kemampuannya dalam berganti kulit [Jawa:
mlungsungi], yang seolah-olah dapat terus memperpanjang atau mem￾perbaharui kehidupan. Padahal, dalam kenyataan yang dapat dibuktikan
sekarang ini, ular pun sebenarnya tidak luput dari kematian.
Sesungguhnya masih ada banyak mitos lain yang mengisahkan
asal-mula kematian yang dialami oleh umat manusia, misalnya mitos yang
dipercayai oleh suku Indian, Shawnee, Maori, Ningpo, dll. Kiranya tidak
mungkin untuk dapat menuturkan semuanya dalam buku ini. Di sini
hanya akan disebutkan satu mitos lagi, yang paling dikenal banyak orang,
yakni mitos yang terkisahkan dalam Alkitab. Kejatuhan manusia dalam
dosa dianggap sebagai penyebab awal mengapa manusia harus meng￾alami kematian. Karena dipercayai sebagai pencipta yang Maha￾Pengasih, tidaklah mungkin bagi Tuhan untuk menakdirkan kematian se￾jak pertama kalinya. Tuhan pada awalnya menciptakan manusia bukan￾lah untuk kematian melainkan untuk kekekalan. Adam (laki-laki
pertama) diciptakan sesuai dengan citra-Nya. Ia ditempatkan di TamanEden, yang merupakan suatu bagian dari kediaman Tuhan. Supaya tidak
kesepian, kemudian dari tulang rusuk laki-laki ini dibentuk-Nyalah se￾orang perempuan (Hawa) sebagai pasangan hidup. Meski berada dalam
keadaan telanjang bulat, mereka tidak merasa malu karena Tuhan tidak
memberi pengetahuan tentang hal ini. Tuhan mengizinkan mereka untuk
memakan buah dari segala pohon yang ada di taman kecuali “pohon pe￾ngetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dan “pohon kehidupan”.
Apabila larangan ini dilanggar, mereka niscaya akan mengalami kema￾tian pada hari itu pula. Tuhan menghendaki mereka selamanya tetap
berada dalam keadaan seperti layaknya anak kecil yang lugu (childlike
innocence) –dalam arti hanya memiliki pengetahuan sebatas yang layak￾nya diketahui oleh anak-anak kecil. Hingga kini istilah “anak-anak Allah”
masih lazim dipakai untuk merujuk pada orang-orang yang rajin ke gereja
dan menaati perintah Tuhan. Entah dengan tujuan apa, Tuhan juga mele￾takkan ular (serpent)1 di dalam taman itu. Dituturkan bahwa ular adalah
binatang yang paling cerdik di antara segala binatang di darat yang dijadi￾kan oleh Tuhan. Namun, tidak dijelaskan bagaimana mungkin pikiran ja￾hat timbul dalam binatang ini untuk membujuk Hawa agar memakan
buah pohon pengetahuan. Tertarik oleh bujukan ini, Hawa mengambil
buah itu dan membaginya kepada suaminya. Sehabis memakannya, ter￾bukalah mata mereka berdua. Karena tahu dan malu berada dalam kea￾daan bertelanjang bulat, mereka lalu menyematkan daun pohon ara dan
membuat cawat. Ketika mendengar bunyi langkah Tuhan yang sedang
berjalan-jalan2 di taman pada hari yang sejuk, bersembunyilah mereka
dari kehadiran Tuhan di antara pepohonan dalam taman. Mereka tidak
dapat bersembunyi selamanya. Ketika dipanggil-panggil oleh Tuhan,
mereka terpaksa harus menyahut dan menjelaskan semua yang terjadi.
Mengetahui bahwa perintah-Nya telah dilanggar, murkahlah Tuhan. Ular
yang telah bersalah membujuk Hawa dikutuk menjadi binatang yang
menjalar dengan perut. Itu saja tidak cukup, Tuhan bahkan juga mencip￾takan permusuhan abadi antara ular dengan seluruh keturunan manusia.
Dengan begitu, seandainya ada manusia yang tewas karena tergigit ular
berbisa atau sebaliknya ada ular yang mati terbunuh oleh manusia, ke￾duanya bukanlah atas kehendak yang bersangkutan sendiri; sebagai su￾atu pelampiasan kebencian ataupun merupakan risiko dari pembelaan
diri atas bahaya yang mengancam jiwa masing-masing, melainkan
semata-mata karena akibat kutukan Tuhan. Adam dan Hawa pun tidak lu￾put dari kutukan Tuhan; mereka diganjar dengan kehidupan yang penuh
dengan pelbagai kesengsaraan, kesusahan, kesakitan, dan penderitaan.
Dalam pada itu, Tuhan merasa bahwa kedaulatan-Nya kini terancam oleh
sifat keingintahuan manusia. Manusia hendak menjadi Tuhan, yang tahu
atas segala hal. Manusia telah melampaui apa yang sebelumnya secara
eksklusif hanya boleh dimiliki oleh Tuhan.3 Tuhan tidak rela membagi ke￾lebihan ini kepada yang lain. Sebab, apabila ada pihak lain –entah manu￾sia, malaikat, iblis atau binatang– berhasil memilikinya, keberadaan
Tuhan dalam Alam Semesta yang diciptakan-Nya niscaya menjadi tidak
berbena (insignificance). Ini diakui sendiri oleh Tuhan sebagaimana yang
tersurat dalam firman-Nya: “Sesungguhnya manusia telah menjadi seperti
salah satu dari Kita, mengetahui kebaikan dan kejahatan; maka sekarang
janganlah sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula buah
pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama￾lamanya.” Takut kalau manusia berbuat lebih jauh, dengan mengambil
buah pohon kehidupan yang dapat membuat kekal (hidup selama￾lamanya), Tuhan segera mengusir mereka dari Taman Eden. Merasa kha￾watir bahwa tindakan pencegahan ini masih belum cukup aman, Tuhan
kemudian memagari pohon kehidupan itu dengan pedang yang menyala￾nyala dan menyambar-nyambar. Demikianlah ringkasan kisah yang
menceritakan kejatuhan manusia ke dalam dosa [melanggar perintah Tu￾han], yang membuat seluruh umat manusia keturunan Adam mewarisi ke￾matian. “Sebagaimana dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu
orang, dan kematian melalui dosa, begitulah kematian tersebar luas ke se￾luruh umat manusia.”
Berbeda dengan para pendiri agama lain yang dogmatis serta il￾muwan yang melit, Buddha Gotama tidak begitu tertarik untuk melibat￾kan diri dalam spekulasi atas asal-usul Alam Semesta ini: apakah berbatas
(finite) atau nirbatas (infinite), adakah titik awal (alpha) serta titik akhir
(omega), apakah pada mulanya kehidupan itu bersifat kekal atau tidak,
bagaimana kematian serta penderitaan muncul pertama kalinya. Speku￾lasi atas Alam Semesta (lokacintâ) semacam itu merupakan salah satu dari
empat hal yang tidak selayaknya dipikirkan (acinteyyâni) karena dapat
membuat seseorang menjadi sinting. Melacak asal-usul Alam Semesta sa￾malah sia-sianya dengan memperdebatkan manakah yang ada lebih da￾hulu antara ‘ayam’ dan ‘telur ayam’ –suatu lingkaran setan yang tidak
mungkin dapat ditemukan ujung-pangkalnya. Dalam Saæyutta Nikâya4
,
Beliau bersabda, “Awal serta akhir daur Saæsara [kelahiran dan kema￾tian] ini tidaklah dapat ditentukan [diprakirakan, diperhitungkan, di￾bayangkan, dipahami]. Permulaan pengembaraan makhluk-makhluk
yang terselubungi oleh ketaktahuan (avijjâ) dan terbelenggu oleh ke￾inginan (taóhâ) tidaklah tertampak.” Seandainya semua batang rumput,
kayu, pohon, ranting dan daun di Jambudîpa dikumpulkan dan dihitung,
jumlahnya tidaklah cukup untuk dipakai dalam menelusuri ibu, nenek,
buyut hingga sampai pada nenek-moyang yang pertama. Selama pe￾ngembaraan yang panjang ini, air mata yang mengalir serta menggenang
dari makhluk hidup yang menangis serta meratap karena mengalami se￾suatu yang tak memuaskan dan karena terpisahkan dari sesuatu yang di￾cintai, jauh melebihi banyaknya air di empat samudra.
Dalam buku berjudul “Why I Am Not a Christian?”, Bertrand
Russell 5 menuliskan: “Sama sekali tidak ada alasan untuk mengira bahwa
dunia ini berawal. Gagasan bahwa segala sesuatu harus mempunyai per￾mulaan timbul karena miskinnya daya-khayal (imagination).”






Kematian adalah akhir kehidupan,” jawab Channa. “Semua
makhluk hidup, cepat atau lambat, pasti akan mengalami kematian. Tidak
ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”10
Ketiga kenyataan hidup tersebut menjadi bahan perenungan
yang mendalam bagi Pangeran Siddhattha. Berikut ini adalah beberapa
kutipan yang Beliau ceritakan sendiri kepada para bhikkhu:
Walaupun hidup bergelimpangan dengan kekuasaan serta kemewahan,
Saya sempat berpikir: “Tatkala orang awam yang tak terpelajar –yang tun￾duk pada ketuaan, kesakitan dan kematian– melihat orang lain yang tua,
sakit dan mati; ia niscaya akan terkejut, jijik dan takut; karena ia lupa bah￾wa dirinya sendiri tidaklah terkecuali. Namun, Saya pun mengalami ke￾tuaan, kesakitan dan kematian; tidak terbebas dari ketuaan, kesakitan dan
kematian. Oleh sebab itu, sesungguhnya tidaklah layak bagi Saya untuk
terkejut, jijik dan takut sewaktu melihat orang lain mengalami ketuaan,
kesakitan dan kematian. Ketika menyadari hal ini, hilanglah kebanggaan
terhadap kebeliaan, kesehatan dan kehidupan dalam diri Saya.”
Sewaktu masih belum meraih Pencerahan Agung; sewaktu masih menjadi
Bodhisatta (calon Buddha), Saya masih mengalami [tunduk pada] kelahi￾ran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin.
Namun, Saya masih juga mencari sesuatu yang dipengaruhi oleh hal-hal
ini. Kemudian Saya berpikir: “Mengapa Saya –yang masih mengalami ke￾lahiran, ketuaan, kesakitan, kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran
batin–, masih juga mencari sesuatu yang dipengaruhi oleh hal-hal ini? An￾daikata, Saya yang masih mengalami hal-hal semacam ini, menyadari ba￾haya dari semua itu dan kemudian mencari Pembebasan Sejati (Nibbâna)
yang tiada taranya; yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan,
kematian, kesedihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin?”
“Dunia ini dipenuhi oleh penderitaan: lahir, tua, sakit, mati dan
lahir kembali. Kendati demikian, masih juga belum diketahui adanya ja￾
lan keluar dari penderitaan. Kapankah jalan keluar dari penderitaan ini
akan terungkapkan?”
Setelah berjumpa dengan seorang pertapa yang mengaku sedang
mencari jalan keluar dari penderitaan, Pangeran Siddhattha akhirnya me￾mutuskan diri untuk menanggalkan keduniawian. Pada mulanya pertapa
Gotama berguru kepada Âïâra Kâlâma. Tak berapa lama, Beliau berhasil
mencapai meditasi tingkat Âkiñcaññâyatana [berobjek Kehampaaan].
Takpuas dengan pencapaian ini, Beliau pun pergi berguru kepada Ud￾daka Râmaputta. Pertapa ini hanya mampu menghantarkan Beliau pada
pencapaian meditasi tingkat Nevasaññânâsaññâyatana [berobjek Bukan
Ingatan Bukan pula Tanpa Ingatan]. Karena semua petunjuk yang
diperoleh dari guru-guru lain tidak mampu membawa pada pembebasan
mutlak dari penderitaan, Beliau selanjutnya pergi dan bertinggal di Hutan
Uruvelâ. Di sinilah, dengan ditemani oleh lima orang pertapa lainnya
(pañcavaggiya), Beliau melakukan praktek penyiksaan diri (attakila￾mathânuyoga) selama bertahun-tahun. Ini bukan saja tidak dapat mem￾buahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, melainkan justru hampir
merenggut jiwa Beliau. Akhirnya Beliau menempuh Jalan Tengah
(Majjhimâ Paöipadâ) yang terbebas dari dua pinggiran berlebih-lebihan.
Berikut ini adalah kutipan peristiwa saat-saat menjelang Pencerahan
Agung:
Saya berpikir: “Apa yang ada ketika ketuaan dan kematian mun￾cul? Apa yang menjadi kondisi atau sebab ketergantungan (paccaya)?”
Dengan pengarahan batin yang benar, Beliau memahami secara arif bah￾wa: “Manakala ada kelahiran (jâti), ketuaan dan kematian muncul. Ke￾tuaan dan kematian muncul karena adanya kelahiran sebagai sebab
ketergantungan.”
Selanjutnya Beliau merenungkan Sebab Musabab yang Saling
Bergantungan (Paöiccasamuppâda) dalam rangkaian teringkas berikut:
“Manakala ada perwujudan (bhava), kelahiran muncul. Kelahiran muncul
karena adanya perwujudan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada
kemelekatan (upâdâna), perwujudan muncul. Perwujudan muncul
karena adanya kemelekatan sebagai sebab ketergantungan. Manakala
ada keinginan (taóhâ), kemelekatan muncul. Kemelekatan muncul
karena adanya keinginan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada
perasaan (vedanâ), keinginan muncul. Keinginan muncul karena adanya
perasaan sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada sentuhan
phassa), perasaan muncul. Perasaan muncul karena adanya sentuhan se￾bagai sebab ketergantungan. Manakala ada enam landasan indera
(saïâyatana), sentuhan muncul. Sentuhan muncul karena adanya enam
landasan indera sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada batin dan
jasmani (nâma-rûpa), enam landasan indera muncul. Enam landasan in￾dera muncul karena adanya batin dan jasmani sebagai sebab ketergan￾tungan. Manakala ada kesadaran [bertumimbal lahir] (viññâóa), batin
dan jasmani muncul. Batin dan jasmani muncul karena adanya kesadaran
[bertumimbal lahir] sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada per￾paduan berkehendak (saõkhâra), kesadaran [bertumimbal lahir] muncul.
Kesadaran [bertumimbal lahir] muncul karena adanya perpaduan berke￾hendak sebagai sebab ketergantungan. Manakala ada ketaktahuan
(avijjâ), perpaduan berkehendak muncul. Perpaduan berkehendak mun￾cul karena adanya ketaktahuan sebagai sebab ketergantungan.”
“Jika tidak ada ketaktahuan, tak ada pula perpaduan berkehen￾dak. Jika tidak ada perpaduan berkehendak, tak ada pula kesadaran ber￾tumimbal lahir. Jika tidak ada kesadaran bertumimbal lahir, tak ada pula
batin dan jasmani. Jika tidak ada batin dan jasmani, tak ada pula enam
landasan indera. Jika tidak ada enam landasan indera, tak ada pula sen￾tuhan. Jika tidak ada sentuhan, tak ada pula perasaan. Jika tidak ada
perasaan, tak ada pula keinginan. Jika tidak ada keinginan, tak ada pula
kemelekatan. Jika tidak ada kemelekatan, tak ada pula perwujudan. Jika
tidak ada perwujudan, tak ada pula kelahiran. Jika tidak ada kelahiran,
tak ada pula ketuaan dan kematian; tak ada pula kesedihan (soka), keluh￾kesah (parideva), penderitaan (dukkha), kekecewaan (domanassa),
keputus-asaan (upâyâsa).”
“Timbullah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, ketahuan
dan penerangan yang belum pernah Saya dengar sebelumnya… Saya ber￾pikir: ‘Inilah jalan menuju Pencerahan yang telah Saya raih…’ Apakah ja￾lan itu? Yakni Jalan Mulia Berfaktor Delapan: 1. Pandangan Benar
(Sammâdiööhi), 2. Pikiran Benar (Sammâsaõkappa), 3. Ucapan Benar
(Sammâvâcâ), 4. Tindakan Benar (Sammakammanta), 5. Penghidupan
Benar (Sammââjiva), 6. Upaya Benar (Sammâvâyâma), 7. Penyadaran Be￾nar (Sammâsati), 8. Pemusatan Benar (Sammâsamâdhi).”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, suci, cemerlang, tanpa keko￾toran, bebas dari noda-noda halus, lunak [cocok untuk dipergunakan],
mantap, takbergeming; Saya mengarahkan batin Saya demi pengetahuandalam menelusuri kehidupan-kehidupan lampau (pubbenivâsânusati-
ñâóa). Saya mengingat banyak kehidupan lampau, yakni satu kelahiran,
dua, tiga, … seratus, seribu, seratus ribu, banyak masa penyusutan dunia,
pengembangan dunia, penyusutan dan pengembangan dunia: ‘Pada ke￾hidupan itu Saya mempunyai nama, keturunan, penampilan, makanan,
pengalaman suka duka, rentang usia; dan setelah meninggal dari sana,
Saya terlahirkan kembali di tempat lain, dan di situ Saya mempunyai
nama, … ; –demikianlah secara terinci dan khusus Saya menelusuri ba￾nyak kehidupan lampau Saya. Inilah pengetahuan pertama yang Saya
raih pada waktu permulaan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin
Saya demi pengetahuan atas kematian dan kelahiran kembali makhluk
hidup (cutûpapâtañâóa). Dengan mata kedewaan yang suci dan melam￾paui mata manusia biasa, Saya melihat makhluk-makhluk hidup yang
sedang mati, lahir kembali, yang hina, yang luhur, yang cantik, yang bu￾ruk, yang sejahtera, yang sengsara. Saya memahami secara jelas bahwa
kehidupan semua makhluk berlangsung sesuai dengan perbuatan
(kamma) masing-masing: ‘Makhluk-makhluk yang jahat dalam tindakan,
ucapan, pikiran, yang melecehkan orang-orang suci, yang berpandangan
sesat, yang melakukan perbuatan berdasarkan pandangan sesat itu, sete￾lah kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di
alam kemerosotan, alam kesengsaraan, alam kejatuhan, atau alam neraka.
Sementara itu, makhluk-makhluk yang baik dalam tindakan, … , setelah
kehancuran tubuh jasmaniah, setelah kematian; terlahirkan kembali di
alam bahagia, alam surga.’ Inilah pengetahuan kedua yang Saya raih pada
waktu pertengahan malam hari.”
“Tatkala batin Saya terpusatkan, … ; Saya mengarahkan batin
Saya demi pengetahuan atas lenyapnya kekotoran batin (âsavak￾khayañâóa). Saya memahami berdasarkan kenyataan sesungguhnya
bahwa: ‘Ini adalah penderitaan, ini adalah sebab penderitaan, ini adalah
lenyapnya penderitaan, ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan;
ini adalah noda batin, ini adalah sebab noda batin, ini adalah lenyapnya
noda batin, ini adalah jalan menuju lenyapnya noda batin.’ Dengan pema￾haman demikian, batin Saya terbebaskan dari noda batin berupa nafsu in￾derawi, perwujudan, ketaktahuan. Tatkala batin terbebaskan, timbullah
pengetahuan bahwa: ‘Saya telah terbebaskan. Saya memahami bahwa ke￾lahiran telah terputuskan, kehidupan suci telah tertamatkan, tugas yang
layak dikerjakan telah tertunaikan, tidak ada tugas lain lagi demi penca￾paian ini. Inilah pengetahuan ketiga yang Saya raih pada waktu
pengakhiran malam hari. Ketaktahuan telah tersingkirkan, pengetahuan
telah terbangkitkan; kegelapan telah tersingkirkan, pencerahan telah ter￾bangkitkan; ini terjadi tatkala Saya berada dalam kewaspadaan, berse￾mangat, dan penuh pengendalian diri. Namun Saya tidak membiarkan
perasaan bahagia yang timbul dalam diri Saya menguasai batin Saya.’”
“Meski Saya sendiri mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan,
kesedihan, dan [masih memiliki] kekotoran batin, [setelah] menyadari ba￾haya dari semua itu dan kemudian mencari Nibbâna yang tiada taranya,
yang tidak mengalami kelahiran, ketuaan, kesakitan, kematian, kese￾dihan, dan yang terbebas dari segala kekotoran batin; Saya [akhirnya ber￾hasil] meraihnya. Timbullah pengetahuan serta pandangan terang
(ñâóadassana) dalam diri Saya: ‘Tercapailah Pembebasan (Vimutti) bagi
diri Saya. Inilah kelahiran Saya yang terakhir; tidak ada lagi kelahiran bagi
Saya.’”
“Karena belum menemukan Pencipta rumah [tubuh] ini, Saya
mengembara dalam daur Saæsara [kelahiran dan kematian] yang tak ter￾hitung jumlahnya. Kelahiran yang berulang-ulang adalah suatu penderita￾an. O Pencipta rumah, Engkau sekarang telah Saya temukan. Engkau tak
akan dapat menciptakan rumah lagi. Seluruh kerangkamu [noda batin] te￾lah Saya patahkan, dan atapmu [ketaktahuan] telah Saya bongkar. Batin
Saya telah menembus Nibbâna, dan mencapai akhir dari semua keingin￾an.”
Sewaktu sendirian dalam penyepian, timbullah pikiran dalam diri
Buddha Gotama: “Kebenaran (Dhamma) yang telah Saya raih ini bersifat
mendalam, sukar ditembus serta dipahami, penuh kedamaian dan me￾rupakan tujuan terluhur bagi semua [makhluk], tak terjangkau oleh
pemikiran biasa (spekulasi), halus, hanya dapat dimengerti oleh orang bi￾jak. Namun, masyarakat umumnya bergembira serta terpukau dalam
kerinduan. Sukar bagi mereka untuk dapat melihat Sebab Musabab yang
Saling Bergantungan dari semua ini. Amatlah sulit untuk dapat mema￾hami kebenaran yang merupakan kepadaman dari segala perpaduan,
penanggalan dari sifat-sifat pokok kehidupan, yang merupakan akhir dari
keinginan; kejenuhan, pelenyapan dan pembebasan dari nafsu, Nibbâna.
Apabila Saya mengajarkan Kebenaran tetapi orang-orang lain tidak me￾mahami sesuai dengannya; ini niscaya menimbulkan kesukaran serta ke￾
lelahan pada diri Saya semata. Duhai Para Bhikkhu, syair menakjubkan
yang tidak pernah Saya dengar sebelumnya menjadi jelas bagi Saya se￾bagai berikut: ‘Kebenaran yang sulit Saya tembus ini tidaklah layak untuk
dibabarkan. Sebab, ini bukanlah suatu kebenaran yang dapat dipahami
oleh orang-orang yang dipenuhi oleh nafsu dan kebencian. Orang yang
bernafsu besar, yang diliputi oleh kegelapan batin, niscaya tidak dapat
menembus kebenaran yang menghantarkan makhluk hidup pada tujuan
yang melawan arus dunia, yang halus, yang mendalam, yang pelik (ab￾struse).’”
Mengetahui keengganan Buddha Gotama dalam membabarkan
Dhamma yang sulit dipahami, Brahmâ Sahampati segera pergi mengun￾jungi Beliau untuk mengundang Beliau membabarkan Kebenaran demi
kebahagiaan banyak orang:
“Sejak dahulu kala hingga sekarang ini, di daerah Magadha terda￾pat ajaran yang tidak murni, yang digagasi oleh orang-orang yang masih
terliputi oleh noda. Bukalah pintu gerbang Kekekalan. Berilah makhluk￾makhluk hidup kesempatan untuk mendengarkan Kebenaran yang
ditembus oleh orang yang terbebas dari segala noda. Ibarat orang yang
berada di puncak bukit, yang dapat melihat orang-orang yang berada di
sekeliling; demikian pula Yang Mulia, yang memiliki pengetahuan serta
mata kebijaksanaan yang menyeluruh, hendaknya sudi menaiki istana ke￾bijaksanaan yang terbentuk dari Kebenaran. Jelajahilah masyarakat yang
diliputi oleh kesedihan, yang dicengkeram oleh kelahiran dan ketuaan. O
Sang Penakluk yang penuh semangat, yang memimpin para makhluk
hidup, yang terbebas dari kekotoran batin; mohon sudi kiranya pergi ber￾kelana mengasihani orang-orang di dunia ini. Babarkanlah Kebenaran
Dhamma, O Sang Bhagavâ, karena akan ada yang memahaminya.”
Setelah mempertimbangkan permohonan Brahmâ Sahampati
dan karena perasaan Welas Asih terhadap makhluk-makhluk hidup, Sang
Buddha kemudian menjelajahi dunia ini dengan kewaskitaan-Nya. Beliau
menyadari bahwa ada makhluk yang diliputi oleh banyak debu keko￾toran batin tetapi ada pula yang hanya sedikit; ada yang lemah kemampu￾annya tetapi ada pula yang kuat; ada yang memiliki kecenderungan jahat
tetapi ada pula yang baik; ada yang sulit dibina tetapi ada pula yang mu￾dah; ada yang tidak melihat noda serta bahaya dari dunia mendatang
tetapi ada pula yang melihatnya –ibarat dalam rumpun teratai ada bunga
yang muncul dalam air, berkembang dalam air, berada dan masih tengge￾
lam dalam air, yang dihidupi oleh air; ada pula bunga yang berada di per￾mukaan air, dan ada pula yang tegak menjulang di atas permukaan air
sehingga tidak terbasahi oleh air. Karena alasan-alasan inilah, Saya
menyanggupi permohonan Brahmâ Sahampati:
“Terbuka-lebarlah pintu gerbang [menuju] Kekekalan.
Bagi mereka yang mau mendengar, yang memperlihatkan
keyakinan.”
Ketika mengetahui bahwa dua pertapa yang pernah menjadi
guru-Nya telah meninggal dunia dan berada di alam nirbentuk, Beliau
berniat untuk membabarkan Dhamma kepada lima pertapa yang pernah
bersama-sama melakukan praktek penyiksaan diri. Di tengah perjalanan
menuju Bârâóasî, Sang Buddha berjumpa dengan pertapa telanjang
Upaka Âjîvaka. Menjawab pertanyaan Upaka, Beliau menguncarkan syair
berikut:
“Saya adalah penguasa segala Dhamma, penembus segala
Dhamma, yang tidak melekat pada keinginan atas segala sesuatu, yang
telah menanggalkan segala sesuatu, yang terbebas, yang telah sampai
pada kepadaman keinginan. Karena menembus dengan kebijaksanaan
sendiri, siapa pula yang patut Saya akui sebagai guru? Tidak ada guru bagi
diri Saya. Tidak ada orang baik yang menyamai Saya. Tidak ada orang
yang menyetarai Saya di seluruh dunia, termasuk dunia kedewaan.
Sebab, Saya adalah Arahanta Sammâsambuddha –yang Mahasuci, yang
telah meraih Pencerahan Agung secara mandiri–, guru yang paling
unggul, yang telah memadamkan seluruh kekotoran batin. Saya akan
berangkat menuju Kota Kâsî untuk memutar roda Dhamma, untuk
menabuh genderang Kekekalan dalam dunia yang diliputi oleh
kegelapan ini.”



apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhana
yang