Rabu, 10 Januari 2024
kematian dalam budha 1
By tewasx.blogspot.com at Januari 10, 2024
kematian dalam budha 1
sebagaimana yang wajar menimpa semua makhluk di dunia
ini tanpa kecuali, menjelang usia delapan puluh tahun, pelbagai penyakit yang akut mulai menyerang tubuh jasmaniah
Buddha Gotama. Namun, dengan penyadaran jeli serta pemahaman jernih, Beliau mampu menahan rasa sakit yang timbul.
“Tidaklah tepat bagi Saya untuk mencapai Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna) tanpa menyampaikan amanat kepada mereka yang telah melayani Saya, dan berpamit kepada Bhikkhu Saõgha. Saya patut menyingkirkan penyakit ini dengan kekuatan kehendak, dan bertekad
mempertahankan kehidupan agar tetap berlangsung,” pikir Beliau.
Tak lama setelah sembuh, Beliau keluar dari kediaman-Nya dan
duduk di suatu tempat berteduh di belakang padepokan. Ânanda Thera
kemudian menghadap Sang Bhagavâ dan menghaturkan penghormatan
yang layak. Setelah duduk di satu sisi, beliau berucap, “Yang Mulia, saya
melihat Sang Bhagavâ telah berada dalam kebugaran kembali. Saya telah
menyaksikan ketabahan Sang Bhagavâ. Sewaktu mengetahui gejala penyakit Sang Bhagavâ, sekujur tubuh saya seolah-olah menjadi kejur
(rigid), semua yang berada di sekeliling saya menjadi suram, dan segala
indera saya menjadi tumpul. Akan tetapi, Yang Mulia, saya menghibur diri
dengan berpikir bahwa selama Sang Bhagavâ belum menyampaikan
amanat [terakhir] kepada Bhikkhu Saõgha, selama itu pula Beliau tidak
akan mencapai Kemangkatan Mutlak.”
Sang Buddha bersabda, “Duhai Ânanda, apa gerangan yang masih diharapkan oleh Bhikkhu Saõgha dari diri Saya, Tathâgata? Kebenaran
Dhamma telah Saya babarkan tanpa membuat pembedaan antara ajaran
yang bersifat rahasia (esoteric)6 dan terbuka (exoteric). Tak ada satu
ajaran pun yang Saya sembunyikan –sebagaimana yang lazim berada dalam genggaman seorang guru. Barangsiapa mempunyai pikiran demikian, ‘Saya akan mengelola Bhikkhu Saõgha’ atau ‘Bhikkhu Saõghahendaknya menyanjung Saya’, ia tentu berwajib untuk menyampaikan
suatu amanat [terakhir] kepada Bhikkhu Saõgha. Namun, Ânanda, Saya tidak pernah berpikir demikian. Karena itu, amanat apakah yang harus
Saya sampaikan kepada Bhikkhu Saõgha? Duhai Ânanda, pada saat ini
Saya telah berusia lanjut. Waktu telah berlalu secara bertahap, dan kini
Saya sedang memasuki usia delapan puluh tahun. Ibarat kereta tua yang
dapat berjalan karena kayu pendukung, demikian pula tubuh Saya dapat
berjalan dengan bantuan kayu penopang. Ketika Saya memasuki dan
berada dalam pemusatan batin (cetosamâdhi) yang nirmarkah, karena tidak memperhatikan segala markah dan karena pemadaman perasaan tertentu, pada waktu itulah tubuh Tathâgata terasa sangat membahagiakan.
Karena itulah, Ânanda, Engkau sekalian hendaknya menjadikan diri sendiri sebagai pulau, sebagai pelindung bagi diri sendiri. Janganlah menjadikan yang lain sebagai pelindung. Jadikanlah Dhamma sebagai pulau,
sebagai pelindung. Janganlah menjadikan yang lain sebagai pelindung.”
Ketika Sang Buddha bersemayam di Jetavana dekat Kota Sâvatthi, Sâriputta Thera mengalami penderitaan jasmaniah karena dirundung
penyakit, terserang demam. Beliau berada di kota kelahirannya,
Nâlagâmaka di Negara Magadha, setelah mengetahui bahwa usia beliau
hanya tinggal tujuh hari. Karena perasaan welas-asih terhadap ibu
kandungnya, yang belum juga terbebas dari pandangan sesat, beliau berusaha untuk dapat mewejangkan Dhamma sebagai wujud balas jasa. Ibu
kandung beliau akhirnya berhasil meraih kesucian Sotâpatti, termapankan dalam keyakinan terhadap Tiga Mestika. Setelah itu, Sâriputta
Thera mencapai Kemangkatan Mutlak.
Mendapat berita kemangkatan Sâriputta Thera, Ânanda Thera segera melaporkannya kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, mendengar
berita dari Sâmaóera Cunda bahwa Sâriputta Thera telah mencapai Kemangkatan Mutlak, sekujur tubuh saya seolah-olah menjadi kejur, semua
yang berada di sekeliling saya menjadi suram, dan segala indera saya
menjadi tumpul.” Sang Buddha bertanya, “Mengapa, Ânanda, apakah
Engkau kira bahwa dengan mencapai Kemangkatan Mutlak, Sâriputta
membawa pergi kesilaan, pemusatan, kebijaksanaan, pembebasan, pengetahuan serta pandangan tentang pembebasan?” “Bukan begitu,” jawab
Ânanda Thera, “namun, saya kira betapa banyak beliau menolong sesama
penempuh kehidupan suci; menasihati, menerangkan, mengajar,
menganjurkan, membangkitkan serta mengobarkan semangat dalam dirimereka; betapa tak mengenal lelah beliau dalam mewejangkan Dhamma
kepada mereka. Kami mengenang bagaimana Sâriputta Thera membekali, memperkaya serta menyantuni kami dengan Dhamma.” Sang
Buddha kemudian bersabda: “Duhai Ânanda, bukankah sejak semula
Saya telah wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari
segala sesuatu yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana
mungkin apa yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian…”
Tak begitu lama setelah kemangkatan Sâriputta Thera, yang
disusul oleh Moggallâna Thera dua minggu kemudian, Buddha Gotama
memutuskan untuk mengakhiri kehidupan-Nya tiga bulan mendatang, tepatnya pada bulan purnama di bulan Vesâkha. Keputusan ini Beliau ambil setelah menyadari bahwa kini para siswa-siswi Beliau –bhikkhu,
bhikkhuóî, upâsaka, upâsikâ– telah bijaksana, terbina baik, matang, berpengetahuan luas, mampu mengingat Dhamma serta menerapkannya,
menempuh jalan yang benar, berprilaku sesuai dengan Dhamma; setelah
belajar dari guru pembimbing, mereka mampu menyatakan, membabarkan, menetapkan, mengungkapkan, menguraikan, dan menjelaskannya;
sanggup memberantas ajaran-ajaran lain [sesat] yang mencuat dengan
beralasan dan tuntas, dan mampu mewejangkan Dhamma dengan kemukjizatannya. Seorang Sammâsambuddha tidak akan mencapai Kemangkatan Mutlak apabila kehidupan suci belum sempurna, makmur,
tersebar-luas, termasyhur, dan dikumandangkan dengan baik oleh para
dewa dan manusia. Menyadari betapa besar andil seorang Buddha bagi
kesejahteraan serta kebahagiaan banyak orang, Ânanda Thera memohon
kepada Buddha Gotama untuk mengurungkan atau setidak-tidaknya
menunda keputusan-Nya. Walaupun dimohon sebanyak tiga kali, Beliau
tetap tidak mengabulkannya karena sangatlah mustahil bagi seorang
Sammâsambuddha untuk mengingkari apa yang telah diputuskan-Nya.
Selanjutnya Buddha Gotama mengutus Ânanda Thera agar
mengundang seluruh bhikkhu yang sedang berada di sekitar Vesâli untuk
berkumpul bersama di balai pertemuan. Di hadapan pasamuan Saõgha
inilah, Beliau mengikhtisarkan seluruh ajaran yang pernah dibabarkanNya menjadi 37 pokok ajaran yang membawa pada Pencerahan Agung
(Bodhipakkhiyadhamma), yang terdiri atas: empat landasan penyadaran
jeli (satipaööhâna), empat upaya benar (sammappadhâna), empat dasar
keberhasilan (iddhipâda), lima kemampuan batiniah (indriya), lima
kekuatan batiniah (bala), tujuh faktor pencerahan (bojjhaõga), dan delapan faktor jalan mulia (ariyamagga). Selanjutnya Beliau menguncarkan
syair berikut: “Usia Saya telah masak, kehidupan Saya bersisa sedikit.
Saya akan meninggalkan Engkau sekalian, Saya telah membuat perlindungan bagi diri Saya sendiri. Duhai Para Bhikkhu, Engkau sekalian
hendaknya senantiasa waspada, memiliki penyadaran jeli, menerapkan
kesilaan dengan baik. Hendaknya memantapkan batin serta menjaga pikiran. Barangsiapa hidup dengan waspada dalam Dhamma Vinaya ini, ia
niscaya akan terbebas dari kelahiran dalam daur Saæsara, dan dapat
mengakhiri penderitaan.”
Ketika sedang berada di Bhoganagara, Sang Buddha bersabda
kepada sejumlah besar bhikkhu, “Duhai Para Bhikkhu, Saya akan membabarkan Empat Dalih Utama (Mahâpadesa). Dengarkan dan perhatikan
dengan cermat. Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin
berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan
Sang Buddha: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran
Sang Guru.’ [Buddhâpadesa] Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini
mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan pasamuan Saõgha para sesepuh beserta ketua dalam padepokan
sana: Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’
[Saõghâpadesa] Seorang bhikkhu dalam Dhamma Vinaya ini mungkin
berkata demikian, ‘Hal ini saya dengar sendiri, langsung dari hadapan beberapa bhikkhu sesepuh dalam padepokan sana, yang berpengetahuan
luas, yang piawai dalam teori serta praktek, yang mahir dalam Dhamma,
Vinaya dan Mâtika (Induk Topik): Ini adalah Dhamma, ini adalah Vinaya,
ini adalah ajaran Sang Guru.’ [Sambahulattherâpadesa] Seorang bhikkhu
dalam Dhamma Vinaya ini mungkin berkata demikian, ‘Hal ini saya
dengar sendiri, langsung dari hadapan seorang bhikkhu sesepuh dalam
padepokan sana, yang berpengetahuan luas, yang piawai dalam teori
serta praktek, yang mahir dalam Dhamma, Vinaya dan Mâtika: Ini adalah
Dhamma, ini adalah Vinaya, ini adalah ajaran Sang Guru.’
[Ekatherâpadesa] Engkau sekalian hendaknya tidak [terburu-buru]
menyepakati ataupun menolak perkataan tersebut. Tanpa menyepakati
serta menolaknya, Engkau sekalian hendaknya menelaah dengan cermat
kalimatnya huruf demi huruf; mencocokkannya dengan Sutta dan memperbandingkannya dengan Vinaya. Apabila ternyata tidak selaras dengan
Sutta dan tidak sesuai dengan Vinaya, dapatlah disimpulkan bahwa: ‘Itu
pasti bukanlah sabda Sang Buddha; Arahanta Sammâsambuddha. Itu
tentu telah disalahpahami oleh bhikkhu, pasamuan Saõgha, beberapa
atau seorang bhikkhu sesepuh tersebut. Karena itu, Engkau sekalian hendaknya menolak perkataan itu. Sebaliknya, apabila ternyata selaras dengan Sutta dan sesuai dengan Vinaya, dapatlah disimpulkan bahwa: “Itu
adalah sabda Sang Buddha; Arahanta Sammâsambuddha. Itu tentu telah
dipahami secara benar oleh bhikkhu, pasamuan Saõgha, beberapa atau
seorang bhikkhu sesepuh tersebut. Duhai Para Bhikkhu, Engkau sekalian
hendaknya mencamkan Empat Dalih Utama ini.”
Ketika sampai di tepian sungai Hiraññavatî di hutan pohon Sâla
dekat Kota Kusinârâ, Buddha Gotama menyuruh Ânanda Thera untuk
mempersiapkan tempat peristirahatan. Suatu keajaiban terjadi. Tatkala
Beliau sedang merebahkan diri dengan penuh penyadaran jeli serta pemahaman jernih, bunga pohon Sâla yang mekar bukan pada musimnya
jatuh berguguran menaburi sekujur tubuh Beliau seolah-olah merupakan
suatu pemujaan. Sang Buddha kemudian menyabdakan bahwa ini bukanlah suatu wujud pemujaan tertinggi. Barangsiapa –bhikkhu,
bhikkhuóî, upâsaka atau upâsikâ– yang melaksanakan Dhamma sesuai
dengan Dhamma, berpraktek benar, berprilaku selaras dengan Dhamma;
mereka itulah yang sesungguhnya telah melakukan pemujaan tertinggi
kepada Sang Tathâgata.
Ketika ditanya oleh Ânanda Thera bagaimana jenazah seorang
Sammâsambuddha selayaknya dirawat, Buddha Gotama menjawab, “Duhai Ânanda, janganlah Engkau terlalu menyibukkan diri dalam pemujaan
terhadap jenazah Tathâgata. Perjuangkan manfaat bagi diri sendiri. Curahkan [perhatian] demi manfaat bagi diri sendiri. Hiduplah dengan waspada, tekun, dan terkendali demi kebaikan bagi diri sendiri. Sebab, telah
ada para bangsawan, brâhmaóa, hartawan yang bijak, yang berkeyakinan
kepada Tathâgata. Merekalah yang akan mengatur perabuan jenazah
Tathâgata.”
Mengetahui bahwa Buddha Gotama akan mencapai Kemangkatan Mutlak pada hari itu juga, pertapa Subhadda yang bertinggal di Kota
Kusinârâ segera pergi menghadap Beliau untuk mencari jawaban atas
keragu-raguan yang berkecamuk dalam benaknya. Setelah menghaturkan penghormatan yang layak, ia mengajukan pertanyaan, “Gotama Yang
Mulia, ada pertapa dan brâhmaóa yang menjadi guru bagi sejumlah besar
murid, yang memiliki banyak pengikut, yang merupakan pendiri aliran
aliran kepercayaan, yang terkenal dan termasyhur, yang dianggap oleh
masyarakat luas sebagai orang suci, misalnya Pûraóa Kassapa, Makkhali
Gosâla, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccâyana, Sañjaya Velaööhaputta,
Nigaóöha Nâöaputta. Apakah pertapa dan brâhmaóa tersebut semuanya
telah mencapai Pencerahan sebagaimana yang diyakini? Ataukah semuanya belum mencapai Pencerahan? Ataukah sebagian telah mencapai,
sebagian belum mencapai Pencerahan?”
Buddha Gotama menjawab, “Duhai Subhadda, dalam Ajaran dan
Aturan mana pun, apabila tidak terdapat Jalan Mulia Berfaktor Delapan,
di situ tidaklah dapat dijumpai pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama [Sotâpatti], kedua [Sakadâgâmî], ketiga [Anâgâmî], atau keempat
[Arahatta]. Sebaliknya, dalam Ajaran dan Aturan mana pun, apabila terdapat Jalan Mulia Berfaktor Delapan, di situ dapatlah dijumpai pertapa yang
meraih kesucian tingkat pertama, kedua, ketiga, atau keempat. Jalan Mulia Berfaktor Delapan terdapat dalam Dhamma Vinaya ini [Agama Buddha], dan hanya di sinilah pertapa yang meraih kesucian tingkat pertama,
kedua, ketiga, atau keempat dapat dijumpai. Kepercayaan [Agama] lain
hampa/kosong dari pertapa-pertapa suci (Suññâ Parappavâdâ Samaóebhi). Apabila para bhikkhu hidup dengan benar, dunia ini tidaklah
pernah kosong dari para Arahanta.
Semenjak usia 29 tahun, O Subhadda, Saya telah menanggalkan
keduniawian,
Mencari apa yang merupakan kebajikan;
Lima puluh satu tahun telah lewat,
Setelah penanggalan keduniawian itu.
Selama kurun waktu itu Saya telah mengembara,
Dalam bidang Kebajikan dan Kebenaran.
Di luar Dhamma Vinaya ini,
Tak ada pertapa suci
[tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat].
Setelah mendengarkan sabda Sang Buddha, timbulkan keyakinan dalam diri pertapa Subhadda terhadap Tiga Mestika, dan ia selanjutnya
memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Lazimnya, pertapa yang
pernah menganut aliran kepercayaan [agama] lain harus berada dalam
masa percobaan (parivâsa) selama empat bulan sebelum dapat ditahbiskan, diterima sebagai anggota Saõgha. Namun, melihat kematangan batin
pertapa Subhadda, Buddha Gotama memberikan perkenan khusus. Dalam waktu yang singkat, beliau berhasil merampungkan tugas dalam kehidupan suci, dan menjadi Arahanta.
Dalam kesempatan lain, Buddha Gotama bersabda, “Duhai
Ânanda, barangkali di antara kalian ada yang berpikir demikian, ‘Sabda
Sang Guru telah berlalu, kini kami tak lagi memiliki Guru.’ Sesungguhnya,
Engkau sekalian tidak semestinya berpikir demikian. Dhamma dan Vinaya yang telah Saya babarkan dan tetapkan kepada kalian itulah yang
akan menjadi Guru kalian setelah Saya tiada.” Beliau kemudian memberikan kesempatan kepada para bhikkhu untuk mengajukan pertanyaan
apabila mempunyai kesangsian atau keragu-raguan terhadap Sang Buddha, Dhamma, Saõgha, Jalan atau pokok-pokok pelaksanaan. Ini supaya
mereka nantinya tidak merasa menyesal bahwa sewaktu Buddha Gotama
masih hidup, mereka tidak berkesempatan untuk bertanya langsung.
Kendati diberi kesempatan sampai tiga kali, tidak ada seorang bhikkhu
pun yang mengajukan pertanyaan. Ini terjadi karena lima ratus bhikkhu
yang hadir paling tidak telah meraih kesucian tingkat Sotâpatti. Sebagai
wejangan terakhir sebelum mencapai Kemangkatan Mutlak, Buddha Gotama bersabda: “Segala perpaduan wajar mengalami keluruhan [kepudaran, kerapuhan, kehancuran, kepunahan]. Karena itu, Engkau sekalian
hendaknya merampungkan semua tugas dengan kewaspadaan.
pada suatu waktu, ketika Brahmadatta memerintah di Kota
Bârâóasî, Sang Bodhisatta terlahirkan dalam keluarga brâhmaóa di suatu perumahan dekat gerbang kota. Matapencaharian beliau ialah bertani. Beliau mempunyai seorang
putri dan seorang putra yang telah menikah. Keluarga beliau terbentuk atas enam orang, yakni beliau sendiri, istri, sepasang putraputri, menantu wanita, dan seorang pembantu.
Mereka semua hidup rukun dan bergotong-royong dengan dasar
cintakasih. Sebagai kepala keluarga, Sang Bodhisatta mewejangkan kepada mereka: “Rajin-rajinlah berbuat kebajikan dengan menyumbangkan
dâna, melaksanakan kesilaan, menjalankan aturan pada hari-hari suci,
dan mengembangkan perenungan atas kematian. Hendaknya selalu menyadari kefanaan hidup. Sebab, bagi makhluk-makhluk hidup seperti
kita, kematian adalah pasti sedangkan kehidupan itu tidaklah pasti. Segala perpaduan bersifat tidak kekal, dan cenderung mengalami kehancuran. Karena itu, hendaknya selalu mawas diri baik pada siang hari
maupun malam hari.” Wejangan Sang Bodhisatta ini dipatuhi serta
diterapkan oleh seluruh anggota keluarga.
Pada suatu hari, Sang Bodhisatta beserta putranya pergi ke sawah. Sewaktu beliau membajak sawah, putranya mengumpulkan semaksemak kering dan membakarnya. Tak jauh dari situ, hiduplah seekor ular
berbisa. Karena matanya nyeri terkena asap, binatang ini keluar dari sarangnya dan dengan ganas mematuk putra Bodhisatta. Seketika itu pula,
tewaslah ia. Melihat putranya jatuh tersungkur, Sang Bodhisatta segera
menghentikan sapinya dan mendekatinya. Mengetahui bahwa putranya
telah mati, beliau kemudian mengangkat serta membaringkannya di bawah pohon, dan menutupinya dengan selembar kain. Beliau sama sekali
tidak menangisi atau meratapinya. Sambil meneruskan pekerjaannya,
Sang Bodhisattta merenungkan ketakkekalan, “Apa yang wajar mengalami kehancuran, telah terhancurkan. Apa yang wajar mengalami kematian, telah mati. Segala perpaduan bersifat tidak kekal dan berakhir pada
kematian.” Ketika melihat seorang tetangga yang sedang berjalan di dekat
sawahnya, beliau meminta tolong agar mampir ke rumahnya dan memesankan kepada istrinya, “Hari ini cukup membawakan makanan untuk satu orang saja; bukan untuk dua orang sebagaimana biasanya. Kalau sebelumnya hanya datang sendirian, kali ini hendaknya mengajak seluruh
anggota keluarga. Hendaknya mengenakan pakaian bersih, dan membawa bunga serta wewangian.”
Pesan ini pun disampaikan kepada istri Bodhisatta. Ia bertanya
lebih lanjut, siapakah yang menitipkan pesan, suami atau anaknya.
Mengetahui bahwa ini merupakan pesan yang disampaikan oleh suaminya, tahulah ia bahwa putranya telah meninggal dunia. Meski menerima
berita duka ini, batinnya sama sekali tidak berguncang karena sudah terlatih baik dalam perenungan terhadap kematian. Anggota keluarga yang
lain pun tidak ada yang menangis atau meratap. Setelah mempersiapkan
segalanya, mereka kemudian bersama-sama pergi menuju ke sawah.
Selesai bersantap di bawah pohon tempat putranya terbaringkan, Sang Bodhisatta mengajak mereka untuk mengumpulkan kayu pembakaran. Setelah meletakkan jenazah di atas tumpukan kayu dan
memberikan persembahan bunga serta wewangian, mereka lalu menyulut api perabuan. Tak ada setetes air mata pun yang menitik dari pelupuk
mata mereka. Semuanya telah terlatih baik dalam perenungan terhadap
kematian. Berkat kekuatan ini, singgasana Sakka, Raja Dewa, memanas.
Merasa takjub atas sikap mereka dalam menghadapi kenyataan hidup,
Sakka kemudian turun dari Surga untuk menjumpai serta berbincangbincang dengan mereka. “Apa yang sedang kalian lakukan,” tanya Sakka.
“Kami sedang memperabukan seorang manusia.” “Saya kira kalian bukan
sedang memperabukan manusia,” sela Sakka, “melainkan sedang memanggang daging binatang yang telah kalian bantai.” “Bukan,” bantah
Sang Bodhisatta, “kami hanya memperabukan manusia.” “Kalau begitu, ia
pasti seorang manusia yang merupakan musuh kalian,” ujar Sakka. Sang
Bodhisatta menerangkan, “Ia bukanlah seorang musuh, melainkan putra
saya sendiri.” “Jika demikian,” tebak Sakka, “ia tentunya bukan seorang
putra yang kalian cintai.” “Ia adalah putra saya yang tercinta,” jelas Sang
Bodhisatta. “Jika memang demikian, mengapa kamu tidak menangis?”
tanya Sakka. Untuk menjawab pertanyaan ini, Sang Bodhisatta menguncarkan syair berikut: “Ibarat seekor ular yang menanggalkan kulittuanya yang terkelupas, demikian pula putra saya menanggalkan badan
jasmaniahnya. Manakala tubuhnya takdapat dipakai lagi, ia telah meninggal dunia. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan
ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih
hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Selanjutnya, Sakka mengalihkan pertanyaannya kepada istri
Bodhisatta, “Apa hubunganmu dengannya?” “Ia adalah anak yang saya
kandung selama sepuluh bulan; saya susui serta besarkan,” jawab istri
Bodhisatta. Sakka beralasan, “Karena sifat kepriaannya, seorang ayah
mungkin tidak menangis. Namun, hati seorang ibu lazimnya bersifat
peka. Dengan dasar alasan apa, Kamu tidak menangis?” Untuk menjelaskan hal ini, istri Bodhisatta menguncarkan syair berikut: “Tanpa diundang, putra saya datang sendiri dari dunia lain. Tanpa diizinkan, ia pun
pergi dari alam manusia ini. Sebagaimana ia datang, demikian pula ia
pergi. Apa manfaat yang timbul dari meratapi kepergiannya dari alam manusia ini? Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap
tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia
pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Kini giliran adik perempuan yang ditanyai oleh Sakka tentang
hubungannya dengan yang mati. Untuk menunjukkan alasannya mengapa sebagai adik perempuan yang biasanya mencintai kakaknya, ia tidak
menangis, syair berikut diuncarkannya: “Apabila berpuasa serta menangisi kakak laki-laki saya yang telah mati, saya akan menjadi kurus kering.
Apa yang diperoleh dengan menangisinya? Ini justru menimbulkan kesedihan bagi sanak keluarga. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak
merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus
bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Sakka kemudian bertanya kepada istri orang yang mati, “Dengan
kematian suamimu, kamu niscaya menjadi janda dan tidak mempunyai
pengayom. Namun, mengapa kamu tidak menangis?” Pertanyaan ini dijawab dengan syair berikut: “Ibarat bocah cilik yang merengek meminta
bulan di langit, begitu pula orang yang bersedih hati terhadap mereka
yang telah pergi ke dunia lain. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus
ditempuhnya sendiri.”
Akhirnya Sakka bertanya kepada pembantu wanita, apakah
orang yang mati itu semasa hidupnya suka menyiksa, memukul serta
menindasnya. Ia tidak menangis karena merasa telah terbebaskan darinya. Pelayan itu menjawab, “Janganlah berkata demikian. Tuduhan semacam itu tidaklah layak bagi majikan saya. Ia penuh dengan kesabaran,
cintakasih dan kasih sayang terhadap saya bagaikan anak asuh yang dibesarkannya.” “Kalau begitu,” tanya Sakka, “mengapa kamu tidak menangisi kematiannya?” Pelayan itu menjawab dengan syair berikut:
“Bagaikan kendi air yang telah pecah takdapat direkatkan kembali, begitu
pula orang yang telah mati takdapat dihidupkan kembali dengan bersedih hati. Ketika sedang diperabukan, ia niscaya tidak merasakan ratap
tangis sanak keluarga. Karena itu, mengapa saya harus bersedih hati? Ia
pergi mengikuti jalur kehidupan yang harus ditempuhnya sendiri.”
Sakka, Raja Dewa, merasa sangat terkesan dengan alasan-alasan
mereka. Ia mengakui bahwa mereka semuanya adalah orang-orang yang
senantiasa mawas diri mengembangkan perenungan terhadap kematian.
Sebelum pergi kembali ke Surga, ia menganugerahi mereka dengan
berkah duniawi.
dikisahkan bahwa di Kolitagâma dekat Kota Râjagaha lahirlah bayi laki-laki dari seorang brâhmaóî bernama Moggalî.
Ia dinamai Kolita –sesuai dengan nama tempat kelahirannya–, tetapi belakangan lebih dikenal dengan nama yang
merujuk pada ibunya, Moggallâna. Kelahirannya bertepatan dengan kelahiran Upatissa (Sâriputta) yang kelak juga menjadi
Siswa Utama Buddha Gotama. Selama tujuh keturunan, keluarga
Sâriputta dan keluarga Moggallâna menjalin hubungan yang sangat erat.
Pada suatu hari, mereka berdua pergi menonton suatu pertunjukan, dan dari sanalah mereka menyadari ketaklanggengan segala sesuatu. Mereka kemudian menanggalkan keduniawian. Pada mulanya
mereka berguru kepada Sañjaya Velaööhaputta. Karena kurang begitu
puas dengan ajarannya, mereka kemudian berkelana di seluruh Jambudîpa untuk mencari kebenaran hidup. Agar pencaharian ini lebih sangkil, mereka memisahkan diri dengan janji untuk memberitahu yang lain
apabila telah berhasil menemukan ajaran yang memuaskan.
Ketika sedang mengembara di Râjagaha, Sâriputta berjumpa dengan Assaji Thera. Beliau berhasil mencapai kesucian tingkat Sotâpatti
hanya dengan mendengarkan dua baris pertama dari sebait syair: “Segala
sesuatu muncul karena sebab. Sang Tathâgata mengungkapkan sebab
kemunculannya. Demikian pula sebab kepadamannya, diajarkan oleh
Pertapa Agung itu.” Beliau segera mencari Moggallâna, dan begitu
mengulangkan syair yang sama, kerabat kental beliau juga berhasil mencapai tingkat kesucian yang sama. Setelah gagal mengajak mantan gurunya –Sañjaya–, mereka berdua dengan diikuti oleh lima ratus siswa
Sañjaya kemudian pergi mengunjungi Buddha Gotama yang sedang bersemayam di Veïuvana. Setelah ditahbiskan dan mendapat wejangan
langsung dari Beliau, mereka semua –kecuali Sâriputta dan Moggallâna–
meraih kesucian tertinggi, Arahatta. Moggallâna baru berhasil mencapainya satu minggu kemudian, setelah menjalankan latihan meditasi yang
sangat melelahkan.
Di hadapan pasamuan bhikkhu dalam jumlah yang besar, Sang
Buddha menobatkan mereka berdua sebagai Siswa Utama (Aggasâvaka).Apabila Sâriputta Thera terkenal karena kebijaksanaannya, Moggallâna
Thera terunggul karena kesaktian yang dimilikinya. Dipercayai bahwa
beliau mampu mengunjungi beberapa alam kehidupan lain di luar dunia
ini. Bukan hanya alam surga Tâvatiæsa kediaman Sakka –Raja Dewa–
yang pernah disinggahi, bahkan alam brahma yang jauh lebih tinggi pun
pernah dikunjungi. Beliau pernah membantu Buddha Gotama dalam menaklukkan kecongkakan Brahmâ Baka. Dalam suatu pertemuan yang
khidmat di balai Sudhammâ, beliau berhasil mendesak Baka untuk mengakui pandangan-pandangan lampaunya yang sesat. Beliau juga berjasa
besar dalam mengumpulkan kesaksian para penghuni surga maupun
neraka atas perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka terlahirkan
di alam sana. Setelah pulang kembali ke bumi, beliau menceritakannya
kepada para siswanya. Di antara kebajikan-kebajikan yang membuahkan
pahala kelahiran kembali di alam-alam yang menyenangkan ialah mengikuti ajaran Sang Buddha. Di lain pihak, beberapa penganut kepercayaan
lain terlahirkan kembali di alam-alam yang menyedihkan; menderita dan
tersiksa di sana karena akibat buruk dari pandangan sesat yang mereka
anut.
Pembeberan atas kesaksian-kesaksian tersebut, yang sesungguhnya merupakan suatu kenyataan tak terbantah, membuat sejumlah
pemuka kepercayaan lain merasa tersinggung. Ada banyak di antara
pengikut mereka yang beralih masuk ke dalam Agama Buddha. Keuntungan serta penghormatan yang sebelumnya mereka peroleh kini mulai
memudar dan menipis. Setelah mengadakan pertemuan rahasia, mereka
akhirnya memutuskan bersama untuk mengupah beberapa pembunuh
bayaran untuk menghabisi Moggallâna Thera. Karena ditawari dengan
bayaran yang sangat besar, para pembunuh tersebut menyanggupi perintah pembunuhan ini.
Mereka kemudian mengepung tempat kediaman Moggallâna
Thera di Kâïasilâ. Beliau mengetahui niat jelek para pembunuh bayaran
ini. Dengan kesaktian yang dimiliki, beliau berhasil menghindar dari kepungan mereka. Ini terjadi berkali-kali, namun dengan pelbagai cara beliau selalu berhasil menghindar. Pada akhirnya, dengan kewaskitaan
beliau menyadari perbuatan jahatnya dalam kehidupan yang lampau,
yang telah masak dan siap untuk membuahkan akibat. Karena itu, beliau
tidak lagi berusaha menghindar. Para pembunuh itu segera menangkap
serta menggebuki Moggallâna Thera hingga remuk tulang-tulangnya.
Menyangka bahwa korbannya telah tewas, para pembunuh itu kemudian
melemparkan tubuh yang hancur remuk itu di balik semak-semak.5
Sesungguhnya, pada waktu itu Moggallâna Thera belum sampai pada
ajalnya. Didasari tujuan untuk menghadap Buddha Gotama yang sedang
bersemayam di Veïuvana, beliau menyatukan kembali tubuhnya yang telah hancur remuk dengan mempergunakan kesaktian yang dimiliki. Setelah memohon pamit dan memperoleh restu dari Sang Buddha, beliau
pergi ke suatu hutan di dekat Kâïasilâ dan mencapai Kemangkatan
Mutlak di sana.
Peristiwa tragis yang menimpa Moggallâna Thera kerap disalahcerap oleh beberapa pembabar Dhamma pada dewasa ini. Mereka menjadi tidak berani menyinggung serta membahas kesesatan yang dianut
oleh kepercayaan atau agama lain karena takut harus menanggung ‘nasib’
yang sama seperti beliau. Ini bukan hanya menjauhkan mereka dari misi
pembabaran Dhamma, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka kurang
begitu memahami proses kerja Dalil Kamma. Kematian Moggallâna Thera
bukanlah disebabkan karena pembeberan kesesatan yang dianut oleh kepercayaan atau agama lain. Pembeberan kesesatan adalah salah satu misi
pembabaran Dhamma. Tidaklah mungkin ini akan menimbulkan akibat
buruk (kusala-vipâka) berupa kematian. Tentu ada penyebab lain.
Sesungguhnya, Moggallâna Thera mengalami peristiwa yang
mengenaskan sebelum kemangkatannya karena akibat perbuatan jahat
yang pernah beliau lakukan dalam kehidupan lampau. Atas hasutan
istrinya, ia berencana untuk membunuh orangtuanya sendiri. Ketika
orangtuanya yang buta sedang berada di hutan yang lebat, ia mencoba
memisahkan diri dengan berdusta bahwa ada perampok yang akan
menyerang. Selanjutnya ia berpura-pura mengeluarkan suara seperti
layaknya seorang perampok. Menyangka diserang oleh perampok,
orangtua yang sangat mencintainya berteriak agar ia melarikan diri
sendirian, dan tidak perlu mengkhawatirkan bahaya yang sedang mereka
hadapi. Meskipun orangtuanya memperlihatkan kasih yang sedemikian
murni, yang lebih mengutamakan kehidupan anaknya melebihi
kehidupan mereka sendiri, ia belum juga insaf. Dengan sangat kejam, ia
memukuli mereka berdua hingga tewas. Atas kejahatan yang sangat berat
ini, ia menderita di alam neraka selama ribuan tahun. Karena akibat
kamma buruk ini masih bersisa, selama seratus kehidupan sebagai
manusia, ia mati terbunuh dengan tubuh hancur remuk.
dikisahkan bahwa di Sâvatthi hiduplah seorang wanita cantik bernama Paöâcârâ. Sebagai anak seorang hartawan, ia
dibesarkan dan dirawat dengan sangat baik. Sewaktu
menginjak usia 16 tahun, orangtuanya menempatkan
Paöâcârâ di lantai teratas istana bertingkat tujuh. Meski
mendapat pengawalan yang sedemikian ketat, ia sempat bergaul dan
mencintai seorang pembantu laki-laki. Menyadari gelagat yang [dianggap]
kurang baik ini, orangtuanya segera menjodohkannya dengan laki-laki
muda dari satu keluarga terpandang yang sederajat kedudukan sosialnya.
Menjelang hari perkawinan yang ditetapkan oleh orangtuanya,
secara sembunyi-sembunyi Paöâcârâ menghubungi pembantu laki-laki
yang dicintainya. “Saya mendapat kabar bahwa orangtua saya akan menjodohkan saya dengan seorang laki-laki muda dari keluarga sederajat.
Manakala sudah berada di rumah suami saya, Engkau tidak akan berkesempatan untuk menjumpai saya lagi walaupun datang dengan membawa persembahan untuk saya. Karena itu, apabila Engkau benar-benar
mencintai saya, jangan tunda-tunda lagi, segera bawalah saya pergi dari
rumah ini,” demikian Paöâcârâ mengajak lari kekasihnya. Pembantu lakilaki itu menyanggupi ajakan Paöâcârâ, dan mereka akhirnya memutuskan
untuk melarikan diri pada keesokan harinya.
Sejak dini hari pihak lelaki pergi menuju ke pintu gerbang kota
dan menunggu di salah satu tempat di sekitarnya. Demikian pula halnya
dengan Paöâcârâ, ia bangun pagi sekali. Setelah mendandani tubuhnya
sebagaimana alanya seorang budak wanita, Paöâcârâ menyusup di antara
para budak yang pergi ke luar rumah untuk mencari air. Ia menjumpai
kekasihnya di tempat yang disepakati. Setelah menyusuri jalan yang panjang, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk bertinggal di suatu
pedusunan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, si suami menggarap sawah dan mengumpulkan kayu bakar serta dedaunan di hutan, sedangkan
Paöâcârâ mencari air, menanak nasi, memasak kuah serta menggarap
pekerjaan rumah lainnya. Demikianlah Paöâcârâ hidup dalam kesusahan
sebagai akibat dari kamma buruknya.Beberapa waktu kemudian, Paöâcârâ hamil. Ketika kandungannya menua dan tiba waktunya untuk melahirkan anak, ia memelas kepada suaminya, “Tak ada seorang pun di sini yang dapat membantu saya.
Namun, seorang ayah dan ibu senantiasa berwelas-asih terhadap anakanak mereka. Bawalah saya pulang ke rumah orangtua saya. Saya akan
melahirkan di sana.” Permohonan ini ditolak oleh si suami karena khawatir akan mengalami pelbagai siksaan apabila berjumpa dengan orangtua
Paöâcârâ. Berkali-kali ia memohon, tetapi suaminya selalu menolak.
Ketika suaminya sedang berada di hutan, Paöâcârâ akhirnya memutuskan untuk pulang sendiri ke rumah orangtuanya dengan terlebih
dahulu menitipkan pesan kepada tetangganya –seandainya suaminya
bertanya. Mengetahui kepergian ini, si suami bergegas menyusul. Ia berhasil menjumpainya, namun gagal untuk membujuknya pulang.
Di tengah perjalanan, Paöâcârâ merasakan sakit yang amat parah
pada kandungannya. Sambil masuk ke dalam semak-semak ia memberitahukan keadaan ini kepada suaminya. Ia kemudian membaringkan tubuhnya di tanah, dan berguling-guling kesakitan. Ia melahirkan anak lakilaki. Dengan kelahiran ini, berakhir sudahlah harapannya untuk pulang
ke rumah orangtuanya. Mereka lalu pulang ke rumah mereka sendiri dan
hidup bersama-sama lagi.
Beberapa waktu kemudian, Paöâcârâ hamil lagi. Ketika kandungannya sudah menua, ia memelas kepada suaminya untuk diizinkan pulang ke rumah orangtuanya. Karena tidak dikabulkan, sambil menggendong anak laki-lakinya ia pergi tanpa pamit. Walaupun dibujuk berkalikali, ia tetap bersikeras untuk pergi ke rumah orangtuanya.
Di tengah perjalanan, badai yang dahsyat muncul walau bukan
musimnya. Langit dipenuhi oleh mendung yang pekat. Guntur menyalak
bersahut-sahutan tiada henti. Petir menyambar sana-sini di tengah-tengah
hujan yang lebat. Pada saat itu pula Paöâcârâ merasa penat pada kandungannya. Karena taksanggup menahan sakit, ia meminta kepada suaminya
untuk mencarikan tempat berteduh.
Dengan parang di tangan, si suami pergi mencari bahan berteduh, dan akhirnya menjumpai serumpunan semak-semak yang tumbuh
di atas sarang rayap. Tatkala akan menebasnya, tiba-tiba muncullah seekor ular berbisa yang langsung mematuknya. Seketika itu pula tubuhnya
membiru bagai disambar api dan terkaparlah ia di situ.
Sementara itu, Paöâcârâ mengerang-erang menahan sakit pada
kandungannya. Dengan memandangi ujung jalan arah kedatangan
suaminya yang tak kunjung tiba, ia akhirnya melahirkan anaknya. Tak tahan menghadapi kedahsyatan angin serta hujan, kedua anaknya menangis meraung-raung. Sambil memeluk kedua anaknya di dada,
Paöâcârâ duduk berlutut di sana sepanjang malam. Sekujur tubuhnya
pucat-pasi bagaikan daun kuning yang takberdarah.
Ketika fajar menyingsing, dengan menggendong bayinya yang
baru lahir –yang berwarna merah seperti segumpal daging– di pinggangnya serta menuntun anak sulungnya dengan tangannya, Paöâcârâ
beranjak pergi menyusuri jalan yang dilalui oleh suaminya. Ketika sampai
di dekat sarang rayap, ia menjumpai suaminya mati terkapar dengan tubuh membiru. Meledaklah tangisnya, dan bergetunlah ia: “Karena diri
saya, suami saya mati merana di jalanan.”
Tak seberapa lama setelah meneruskan perjalanannya, sampailah Paöâcârâ di sungai Aciravatî. Karena hujan lebat sepanjang malam, air
sungai meluap setinggi dada pada bagian tertentu. Merasa taksanggup
membawa kedua anaknya sekaligus dalam menyeberangi sungai ini, ia
memutuskan untuk meninggalkan anak sulungnya di tepi sungai. Dengan
memeluk bayinya, ia menyeberang sungai menuju tepian sana. Setelah
memilah serta membentangkan ranting pohon, ia membaringkan bayinya
di atasnya. Tiba-tiba muncul kehendak dalam benaknya untuk menyusul
anak sulungnya [yang sedang menanti di tepi sungai]. Ia kemudian meninggalkan bayinya dan menyeberang kembali. Tak tega meninggalkan
bayinya sendirian, ia berkali-kali menoleh serta memandanginya. Ketika
Paöâcârâ mencapai pertengahan sungai, seekor elang tiba-tiba menukik
serta mematuk bayinya yang dikira segumpal daging. Paöâcârâ berusaha
mengusirnya dengan berteriak-teriak sekerasnya sambil mengacungacungkan kedua belah tangannya. Tak mendengarkan usiran itu karena
jaraknya yang cukup berjauhan, si elang terbang membawa bayi itu ke
udara. Sementara itu, bayi sulungnya, yang melihat ibunya mengacungacungkan kedua belah tangannya sambil berteriak-teriak di tengah sungai, mengira dipanggil oleh ibunya. Ia dengan tergesa-gesa menceburkan dirinya ke sungai dan pergi menyeberang. Karena sedemikian deras
arusnya, anak sulung Paöâcârâ terseret arus sungai. Selanjutnya Paöâcârâ
meneruskan perjalanannya sambil meratap, “Salah seorang anak laki-laki
saya dibawa kabur oleh seekor elang, yang satunya lagi terseret air; dan
suami saya mati terkapar di pinggir jalan.”
Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang
datang dari Kota Sâvatthi. Ia menyapa serta bertanya di mana gerangan ia
bertinggal. Mengetahui bahwa orang itu bertinggal di Kota Sâvatthi,
Paöâcârâ menanyakan tentang keadaan keluarganya. “Ya, saya mengetahui keluarga tersebut, tapi janganlah bertanya tentang mereka. Bertanyalah tentang keadaan keluarga lain yang Anda kenal,” demikianlah
jawaban orang itu. Paöâcârâ segera menyahut, “Saya tidak mempunyai kepentingan untuk menanyakan keluarga lain. Merekalah satu-satunya keluarga yang ingin saya tanyakan.” “Saudari, Anda tidak memberi
kesempatan kepada saya untuk mengelak dari pertanyaan Anda,” kata
orang itu, dan selanjutnya ia bertanya balik, “tahukah Anda bahwa tadi
malam hujan turun dengan derasnya semalam suntuk?” Paöâcârâ menjelaskan bahwa ia tahu tentang hujan lebat tersebut, dan bahkan justru dirinyalah yang paling seru dalam menghadapinya. Namun, pada saat ini ia
tidak ingin bercerita tentang hal itu. Satu-satunya hal yang sangat ingin
diketahuinya ialah keadaan keluarganya di Sâvatthi. Orang itu kemudian
menceritakan, “Saudari, tadi malam badai yang dahsyat telah meruntuhkan rumah keluarga yang Anda tanyakan. Hartawan pemiliknya, beserta
istri dan anak laki-lakinya, mati semua. Jenazah mereka sekarang sedang
diperabukan oleh para tetangga.” “Lihatlah ke sana, Saudari,” lanjut orang
itu, “asap perabuan mereka masih tertampak.” Mendengar tragedi yang
menimpa keluarganya, batin Paöâcârâ sangat terguncang, dan ia mendadak menjadi orang yang takwaras batinnya. Karena berjalan berputarputar, baju yang dipakainya terlepas dari tubuhnya. Tetapi ia sama sekali
tidak menyadari dirinya sedang bugil. Dengan bertelanjang bulat, ia berjalan mondar-mandir sambil meratap: “Kedua anak laki-laki saya telah
mati, suami saya tewas di jalanan; dan kini ayah, ibu serta kakak laki-laki
saya dibakar di perabuan.”
Orang-orang yang melihat Paöâcârâ menganggapnya sebagai
orang gila. Beberapa di antara mereka ada yang melemparinya dengan
sampah. Ada yang melumuri kepalanya dengan debu, dan ada pula yang
melemparinya dengan batu.
Dikisahkan bahwa pada waktu itu Buddha Gotama sedang bersemayam di Padepokan Jetavana. Ketika sedang duduk membabarkan
Dhamma kepada empat jenis masyarakat Buddhis, dari kejauhan Beliau
melihat Paöâcârâ datang mendekat. Beliau menyadari bahwa Paöâcârâ telah memupuk Kesempurnaan (Pâramî) selama seratus ribu kappa, telah
membuat kebulatan tekad dan mencapainya.
Karena menyadari semua itu, sewaktu melihat Paöâcârâ sedang
berjalan dari kejauhan, Buddha Gotama berujar, “Tak ada seorang pun,
kecuali Saya, yang mampu menjadi pelindung bagi wanita ini.” Beliau
lalu mengarahkan Paöâcârâ masuk ke dalam padepokan. Ketika melihat
Paöâcârâ, masyarakat berteriak, “Jangan biarkan wanita sinting itu datang
kemari!” Sang Buddha justru berujar kepada mereka, “Minggirlah kalian
semua. Jangan halangi wanita itu.” Sewaktu Paöâcârâ mendekat, Beliau
bersabda: “Sadarlah kembali, O Saudari!” Seketika itu pula, dengan
kekuatan seorang Sammâsambuddha, Paöâcârâ menjadi tersadarkan kembali [waras]. Menyadari bahwa dirinya sedang bertelanjang bulat, dan
merasa malu serta takut atas akibat ketaksusilaan, ia lalu duduk berjongkok. Seorang laki-laki kemudian melemparkan kemejanya kepadanya.
Setelah memakai pakaian, Paöâcârâ menghampiri Sang Buddha. Dengan
bersujud di depan kaki Beliau, ia berkata, “Yang Mulia, mohon sudi kiranya menjadi pelindung serta pembimbing bagi saya. Salah seorang anak
laki-laki saya dibawa kabur oleh seekor elang, yang satunya lagi terseret
air, suami saya mati terkapar di pinggir jalan; ayah, ibu serta kakak lakilaki saya tewas tertimbun rumah, dan kini diperabukan.”
Setelah mendengar penuturan Paöâcârâ, Sang Buddha bersabda,
“Janganlah berpikir demikian, Paöâcârâ. Anda telah masuk ke dalam
padepokan tempat orang yang dapat menjadi pengayom, penjaga serta
pelindung bagi Anda. Memanglah benar apa yang Anda ratapi… Bahkan
sesungguhnya dalam kehidupan ini, air mata yang menetes dari orangorang seperti Anda, yang ditinggalkan mati oleh orang-orang kecintaan
seperti anak dan lain-lainnya, jauh melebihi air yang terdapat di empat
samudra.”
“Hanyalah sedikit air yang terdapat di empat samudra,
Jika dibandingkan dengan air mata yang menetes dari
Orang-orang yang diliputi derita, yang dirundung kesedihan.
Mengapa Engkau masih juga lengah [tak mawas diri]?”
Begitu mendengar wejangan tentang daur kehidupan yang awalnya takdapat diketahui tersebut (Mataggapariyâyasutta), memudarlah kesedihan dalam diri Paöâcârâ. Mengetahui bahwa kesedihannya telah
berkurang, Sang Buddha melanjutkan sabda-Nya, “Paöâcârâ, orang-orang
kecintaan seperti anak dan lain-lainnya tidaklah dapat menjadi pengayom, penjaga serta pelindung bagi mereka yang sedang dalam perjalanan menuju kematian. Apa yang dapat Anda harapkan dari keberadaan
orang-orang tersebut dalam kehidupan ini? Orang bijak yang terkendali
dalam kesilaan hendaknya segera menyucikan jalan menuju Nibbâna.”
Selanjutnya Sang Buddha melanjutkan wejangan-Nya dengan menguncarkan syair berikut:
“Anak-anak tak dapat mencegah, demikian pula ayah ataupun kerabat. Sanak keluarga tidaklah dapat melindungi seseorang yang sedang dicengkeram kematian. Dengan
menyadari kenyataan ini, orang bijak yang terkendali dalam
kesilaan hendaknya segera menyucikan jalan menuju
Nibbâna.”
Di akhir wejangan ini, Paöâcârâ berhasil melenyapkan beberapa
kekotoran batin dan meraih kesucian tingkat Sotâpatti [pemasuk-arus].
Sementara itu, orang-orang yang lain meraih pelbagai tingkat kesucian.
Paöâcârâ selanjutnya memohon kepada Buddha Gotama untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuóî. Beliau kemudian mengirimkannya ke Pasamuan
Bhikkhuóî untuk memperoleh pengabsahan.
Suatu hari ia mengisi kendi air pencuci kaki lalu mengucurkannya. Air itu mengalir sedikit dan kemudian berhenti menetes. Ia mengucurkannya lagi untuk yang kedua kalinya. Kali ini air itu mengalir lebih
banyak daripada semula. Untuk yang ketiga kalinya, air itu mengalir jauh
lebih banyak lagi. Paöâcârâ mempergunakan kucuran air itu sebagai objek
perenungan, dan mengumpamakannya dengan tiga macam usia: “Sebagaimana air yang saya kucurkan pertama kali, ada makhluk hidup yang
mati pada usia masih belia. Ada yang mati pada usia pertengahan seperti
halnya kucuran air kedua. Ada pula yang mati pada usia lanjut, sebagaimana air yang saya kucurkan untuk yang ketiga kalinya.”
Buddha Gotama, yang sedang berada di Gandhakuöi, menampakkan diri-Nya di hadapan Paöâcârâ sambil bersabda: “Paöâcârâ, memang benar demikianlah kenyataannya. Kehidupan sehari, atau bahkan
sekejab, bagi mereka yang melihat kemunculan serta kepadaman lima
kelompok kehidupan (Pañcakkhandha) jauh lebih mulia daripada kehi
dupan selama seratus tahun orang yang tidak melihat kenyataan hidup
ini.” Selanjutnya Beliau menguncarkan syair berikut:
“Orang yang tak menyadari kemunculan dan kepadaman
[perpaduan bersyarat], meski hidup sampai seratus tahun, tidaklah ada artinya. Kehidupan orang yang menyadari kemunculan dan kepadaman, meski hanya sehari, jauh lebih
mulia.”
Selesai mendengarkan wejangan tersebut, Paöâcârâ meraih kesucian tingkat Arahatta. Ia selanjutnya menjadi salah seorang guru besar,
dan banyak kaum wanita yang dirundung kesedihan, mencari petunjuk
serta bimbingan darinya. Ia dinobatkan oleh Buddha Gotama sebagai seorang siswi mulia yang paling unggul dalam bidang Vinaya.
Konon dikatakan bahwa pada zaman Buddha Padumuttara, ia
melihat Sang Buddha sedang menobatkan seorang bhikkhuóî sebagai
siswi mulia yang paling unggul dalam bidang Vinaya. Setelah menanam
kebajikan, ia bertekad untuk mendapatkan gelar keunggulan semacam
itu. Dengan kewaskitaan-Nya, Buddha Padumuttara –yang mengetahui
bahwa kehendak ini dapat tercapai– memprakirakan bahwa pada zaman
Buddha Gotama mendatang, ia akan mendapatkan penobatan sebagai
bhikkhuóî yang paling unggul dalam bidang Vinaya.
dikisahkan bahwa di Sâvatthi hiduplah seorang gadis miskin
bertubuh ramping yang bernama Kisâ Gotamî. Ia menikah
dengan putra seorang hartawan yang dijumpainya di
pasar. Tidak berapa lama ia hamil, dan sepuluh bulan kemudian melahirkan bayi laki-laki. Dengan adanya keturunan ini, Kisâ Gotamî yang sebelumnya kurang begitu dihargai oleh
sanak-keluarga suaminya, kini mulai diberi perhatian yang layak serta
diperlakukan dengan baik. Malangnya, begitu mulai dapat berjalan, anak
itu meninggal dunia secara mendadak.
Karena belum pernah melihat suatu kematian secara langsung
dan karena kurangnya pengetahuan atas keadaan orang mati, Kisâ Gotamî tidak percaya bahwa anak yang sangat dicintainya itu telah meninggal dunia. Ia menganggap anaknya hanya menderita sakit, tetapi
belum sampai mati. Ia melarang orang-orang yang akan memperabukan
anaknya. Sambil mengendong mayat anaknya di pinggang, ia kemudian
pergi ke luar dari rumah suaminya. Ia berharap: “Saya akan mencari obat
bagi anak laki-laki saya.” Dengan menyusuri jalan demi jalan, dari satu
pedusunan ke pedusunan lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya, ia
bertanya ke sana ke mari apakah ada yang tahu tentang obat yang dapat
menyembuhkan penyakit anaknya. Beberapa orang yang sempat ditanyai
menjawab dengan ketus: “Kamu mempertanyakan obat penyembuh bagi
anak yang telah mati. Apakah Kamu sudah gila?” Meskipun mendapatkan
tanggapan yang negatif, Kisâ Gotamî masih juga belum putus asa. Ia
yakin bahwa pasti ada orang pandai yang mampu menyembuhkan penyakit anaknya.
Di suatu tempat ada seorang bijaksana yang sempat melihat Kisâ
Gotamî. Ia merasa kasihan terhadap wanita malang ini, yang menjadi
kurang waras karena tidak mampu menerima kenyataan atas kematian
anak tunggalnya. Ia datang mendekati Kisâ Gotamî dan berkata: “Saudari,
saya sendiri tidak tahu obat yang Kamu butuhkan. Namun, saya kenal
orang yang mengetahui obat penyembuh bagi anakmu.” Kisâ Gotamî bertanya dengan antusias, “Siapa, siapa? Mohon sudi memberitahukannya
kepada saya.” Orang bijaksana itu menjawab serta menganjurkan: “Sang
Buddha. Cobalah pergi dan bertanya kepada BeliauSegera pergilah Kisâ Gotamî menjumpai Sang Buddha. Setelah
menghaturkan penghormatan yang layak dan berdiri di satu sisi, ia bertanya: “Benarkah apa yang dikatakan orang-orang bahwa Yang Mulia
mengetahui obat penyembuh bagi anak saya?” “Saya memang tahu,” jawab Sang Buddha. Kisâ Gotamî bertanya lebih lanjut, “Apakah obat itu,
Yang Mulia?” Sang Buddha menjawab, “Segenggam biji sawi1
, yang diperoleh dari suatu rumah milik orang yang tidak pernah ditinggal mati oleh
salah seorang dari sanak keluarganya.”
“Baiklah, Yang Mulia, saya akan berusaha untuk mencari dan
mendapatkannya,” demikian Kisâ Gotamî menyanggupi persyaratan ini.
Sambil menggendong anaknya di pinggang, pergilah ia mencari obat. Setelah sampai di rumah pertama, ia berdiri di depan pintu dan bertanya,
“Adakah biji sawi dalam rumah ini?” “Ada,” jawab pemilik rumah. “Kalau
begitu,” pinta Kisâ Gotamî, “mohon sudi kiranya memberi saya segenggam.” Ketika pemilik rumah yang berbaik-hati ini memberikannya, teringatlah Kisâ Gotami bahwa biji sawi yang dapat dijadikan sebagai obat
penyembuh bagi anaknya haruslah diperoleh dari suatu rumah yang
pemiliknya tidak pernah kehilangan seorang pun dari sanak-keluarganya.
Ia kemudian menanyakan hal ini kepada pemilik rumah. “Apa yang Kau
katakan,” jawab pemilik rumah, “orang yang masih hidup itu sedikit jumlahnya. Orang yang telah mati itulah yang jauh lebih banyak.” Mendengar
jawaban ini, Kisâ Gotamî segera mengembalikan biji sawi itu karena ini
bukanlah obat yang sedang dicari dan dibutuhkannya. Ia selanjutnya
pergi ke rumah-rumah lainnya, dari satu pedusunan ke pedusunan lainnya. Hingga malam menjelang, masih juga ia belum berhasil mendapatkan obat penyembuh bagi anaknya. Lalu timbullah perenungan dalam
dirinya, “Saya mengira hanya anak saya sendiri yang mati. Orang yang telah mati ternyata jauh lebih banyak daripada orang yang masih hidup.”
Dengan berpikir demikian, mulailah hati Kisâ Gotamî terbuka atas kenyataan hidup yang sesungguhnya. Ia kemudian memutuskan untuk
kembali ke tempat persemayaman Sang Buddha.
Ketika ditanya oleh Sang Buddha apakah berhasil mendapatkan
biji sawi yang dibutuhkan, Kisâ Gotamî menjawab: “Tidak dapat, YangMulia. Dalam setiap rumah yang saya kunjungi, orang yang telah mati lebih banyak daripada yang masih hidup.” Sang Buddha bersabda, “Engkau
mengira hanya anakmu yang mengalami kematian. Sesungguhnya, kematian adalah suatu kewajaran yang abadi bagi semua makhluk. Kematian
niscaya menyeret semua makhluk yang berprilaku belum sempurna ke
dalam samudra kemerosotan ibarat banjir besar.” Selanjutnya Beliau
menguncarkan syair berikut:
“Kematian niscaya menyeret orang yang tergila-gila pada
anak-anak serta ternak peliharaannya, yang pikirannya melekat pada berbagai hal; seperti banjir besar yang menghanyutkan penduduk desa yang terlelap.”
Begitu selesai mendengarkan syair ini, Kisâ Gotamî berhasil meraih kesucian tingkat Sotâpatti. Orang-orang lainnya, yang berada di sekitar situ,
ada yang meraih kesucian tingkat yang sama dan ada pula yang lebih
tinggi lagi.
Selanjutnya Kisâ Gotamî memohon Sang Buddha untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuóî. Beliau pun mengirimkannya ke padepokan para
bhikkhuóî. Setelah memperoleh penahbisan sebagaimana tatacara yang
layak, ia dikenal dengan sebutan “Kisâ Gotamî Therî”.
Pada suatu hari, ketika sedang menjalankan tugas menyulut penerangan di balai uposatha, ia sempat melihat pelita yang menyala terang
dan kemudian meredup kembali. Ini dipergunakannya sebagai objek
perenungan, “Ibarat nyala api pelita, demikian pula halnya dengan
makhluk hidup di dunia ini. Muncul dan padam kembali. Hanya mereka
yang telah meraih Pembebasan Sejati yang tidak tertampak demikian.”
Mengetahui pemikiran tersebut, Sang Buddha yang bersemayam
di Gandhakuöi kemudian memancarkan cahaya tubuh-Nya bagai tertampak sedang berada di hadapan Kisâ Gotamî Theri, dan bersabda: “Duhai
Gotamî, memang demikianlah makhluk-makhluk hidup, yang muncul
dan padam kembali seperti nyala api pelita. Hanya mereka yang telah
meraih Pembebasan Sejati yang tidak tertampak demikian. Kehidupan
sesaat bagi orang-orang yang telah menembus Nibbâna, lebih luhur daripada kehidupan sepanjang seratus tahun bagi orang-orang yang tak melihat Nibbâna.” Sang Buddha kemudian menguncarkan syair berikut:
Orang yang tak melihat jalan kekekalan [tanpa kematian],
meski hidup sampai seratus tahun, tidaklah ada artinya. Kehidupan orang yang melihat jalan kekekalan, meski hanya
sehari, jauh lebih mulia.”
Di akhir penguncaran syair tersebut, Kisâ Gotamî Therî berhasil
meraih kesucian tingkat Arahatta disertai dengan pengetahuan analitis.
dikisahkan bahwa di Kusinârâ hiduplah seorang putri bangsawan bernama Mallikâ 2
. Ia diperisteri oleh seorang pangeran dari suku Malla yang bernama Bandhula. Bandhula
adalah kerabat seperguruan – sewaktu menempuh pendidikan bersama di Takkasilâ– Pangeran Pasenadi dari
suku Kosala. Karena diperdayai oleh para bangsawan dari sukunya sendiri dan tidak ada seorang pun dari kerabatnya yang memberitahu, Bandhula merasa berkecil hati, dan akhirnya mengungsi ke tempat Pasenadi
yang kini telah menjadi raja. Di sini ia dianugerahi dengan kedudukan sebagai panglima perang.
Meskipun sudah lama menikah, Mallikâ belum juga beranak.
Bandhula, suaminya, berusaha mengusirnya dengan berkata, “Pulanglah
Kamu ke keluargamu sendiri.” Mallikâ menuruti kemauan suaminya yang
sewenang-wenang, namun sebelum pergi ia menghadap Sang Buddha
yang pada waktu itu sedang bersemayam di Jetavana. Ketika ditanya oleh
Beliau ke mana gerangan akan pergi, Mallikâ menceritakan bahwa suaminya mengembalikan dirinya kepada keluarganya. “Mengapa, apa alasannya?” tanya Sang Buddha. “Alasannya ialah bahwa saya tidak mampu
memberikan anak kepadanya,” jawab Mallikâ dengan tulus. “Kalau memang begitu, sesungguhnya tidak ada kewajiban bagimu untuk pergi. Pulanglah kembali ke rumah suamimu,” anjur Sang Buddha. Gembira sekali
Mallikâ mendengar nasihat Sang Buddha ini. Mengetahui kepulangan
istrinya, Bandhula bertanya, “Mengapa Engkau kembali lagi?” Dengan
singkat Mallikâ menjawab, “Sang Buddha menganjurkan saya untuk pulang kembali.” Bandhula berpikir dalam batinnya, “Sang Buddha yang
berwawasan luas tentu mengetahui sebabnya.” Karena itu, ia menerima
kembali istrinya tanpa bertanya panjang lebar lagi.
Tidak lama berselang, Mallikâ hamil dan melahirkan beberapa
putra kembar secara beruntun.3 Mallikâ adalah seorang umat Buddhayang sangat berbakti, yang senantiasa mengisi kehidupannya dengan banyak perbuatan bajik. Pada suatu hari, ia mengundang makan dua Siswa
Utama beserta sejumlah besar bhikkhu lain. Sewaktu sedang menyambut
serta melayani para bhikkhu dengan penuh keyakinan, ia menerima sepucuk surat berisi berita: “Suami serta anak-anakmu mati dengan kepala
terpenggal.” Meskipun menerima berita duka yang sangat menyedihkan
ini, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mallikâ. Ia tidak menangis, meratap atau bahkan meraung-raung sebagaimana layaknya kebanyakan orang yang ditimpa kemalangan atau ditinggal mati oleh orangorang yang sangat dikasihinya. Tanpa menyebarkan berita ini kepada
yang lainnya, ia melipat surat duka tersebut dan menyisipkannya ke dalam saku bajunya. Ia kemudian melanjutkan perlayanannya yang tulus
kepada para bhikkhu Saõgha. Seakan-akan tidak ada sesuatu yang telah
terjadi atau menimpa dirinya.
Hingga pada suatu saat, seorang pelayan wanita Mallikâ dengan
tak sengaja membuat cangkir berisi keju cair jatuh dan pecah berkepingkeping. Ini terjadi tepat di depan tempat duduk Sâriputta Thera. Dengan
tujuan agar Mallikâ tidak merasa kehilangan atau bersedih hati atas pecahnya cangkir miliknya, beliau berwejang: “Wajarlah barang-barang
yang dapat pecah menjadi pecah berkeping-keping. Tidaklah perlu terlalu dipikirkan.” Sambil mengeluarkan surat dari saku bajunya, Mallikâ
menuturkan kepada beliau, “Mereka mengirimkan surat ini kepada saya,
yang isinya memberitahukan bahwa suami saya beserta seluruh anakanak saya telah mati terbunuh dengan kepala terpenggal. Meskipun menerima berita yang sangat menyedihkan ini, saya tidak memikirkannya.
Karena itu, Yang Mulia, apa pula yang patut saya pikirkan dengan hanya
terpecahnya sebuah cangkir berisi keju cair?”
Sâriputta Thera kemudian menguncarkan syair berikut:
“Kehidupan makhluk-makhluk di dunia ini tidaklah bermarkah, tak ada seorang pun yang mengetahuinya, sukar, pendek, dan diliputi oleh derita.”
Setelah selesai membabarkan Dhamma, beliau beranjak dari tempat
duduknya dan pulang kembali ke vihâra.
Setelah para bhikkhu meninggalkan rumahnya, Mallikâ memanggil seluruh menantunya, dan memberikan nasihat, “Suamimu sekalian tidaklah bersalah. Mereka semata-mata menerima akibat kamma buruk
dalam kehidupan lampau mereka sendiri. Kamu sekalian janganlah bersedih hati. Tidaklah perlu berkeluh kesah. Janganlah menyimpan dendam kepada raja.” Mallikâ menyadari sepenuhnya bahwa suami serta
anak-anaknya mati terbunuh atas perintah Raja Pasenadi yang terhasut
oleh beberapa menteri yang kejahatan mereka pernah dibongkar oleh
suaminya, Bandhula. Dengan pelbagai cara, mereka berusaha menyingkirkan Bandhula yang setia dan jujur.
Mengetahui –dari laporan mata-mata yang disusupkannya– kebesaran hati Mallikâ, yang sama sekali tidak berniat untuk melampiaskan
dendam atas kematian suami serta anak-anaknya, Raja Pasenadi menjadi
tidak enak hati. Dengan rasa penyesalan yang dalam, ia kemudian pergi
mengunjungi rumah Mallikâ untuk meminta maaf. Mallikâ serta para menantunya memaafkan kekhilafan ini. Raja Pasenadi menganugerahi
mereka dengan sebuah berkah. Mallikâ tidak mempunyai keinginan apa
pun kecuali izin bagi mereka semua untuk diperkenankan pulang kembali ke keluarga mereka masing-masing.4
Sejak kematian suaminya, Mallikâ tidak pernah mengenakan
perhiasan berharga mahal yang dikenal dengan nama Mahâlatâ-
pasâdhana, yang hanya dimiliki oleh dirinya serta hartawan Visâkhâ dan
Devadâniyacora. Ketika jenazah Buddha Gotama hendak diperabukan, ia
mengeluarkan perhiasan yang langka ini. Setelah membasuhnya dengan
air kembang, ia meletakkannya di dekat jenazah dengan tekad: “Semoga
saya dalam kehidupan-kehidupan mendatang, sepanjang masih
terlahirkan dalam Saæsara ini, memiliki tubuh yang tidak membutuhkan
perhiasan apa pun, namun tampak seolah-olah telah mengenakannya.”
Berkat jasa kebajikan ini, setelah kematiannya, Mallikâ terlahirkan
kembali di Surga Tâvatiæsa dengan segala kemewahannya.
dalam surat-surat kabar sering tercantum berita kematian
berbunyi seperti: “Ikut Berduka-cita atas meninggalnya ...”
Itu hanyalah sebagian kecil ungkapan perasaan yang tersalurkan melalui media cetak. Di rumah almarhum/ah, dapat
dijumpai pemandangan yang jauh lebih mengenaskan.
Sanak keluarga yang ditinggalkan tampak bersedih-hati dengan menangis
dan bahkan ada yang sampai menggerung-gerung.
Kejadian semacam itu tidak hanya dapat dijumpai dalam keluarga non-Buddhis, melainkan juga sering terjadi di kalangan umat Buddha. Bagaimana sesungguhnya kejadian tersebut jika ditinjau berdasarkan Dhamma? Dapatkah perbuatan itu dibenarkan? Sesuaikah dengan semangat ajaran murni Sang Buddha?
Dalam Mahâparinibbâna Sutta, kejadian semacam itu dapatlah
dijumpai. Dikisahkan bahwa ketika Buddha Gotama akan mengakhiri
kehidupan-Nya, Ânanda Thera sangat berduka-cita. Sambil bersandar di
tiang pintu, beliau menangis. Mengetahui hal ini, Sang Buddha segera
memanggilnya dan menasihati: “Cukup, Ânanda, janganlah Engkau bersedih hati, dan janganlah meratap! Bukankah sejak semula telah Saya wejangkan bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu
yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa
yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.”
Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga
bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga. Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa
vedanâ) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini,
yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah
berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain,
berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan darirasa bakti, tulus, setia. Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan
pernyataan seperti: “Ikut Berduka-cita . . .” karena ini tidak sesuai dengan
hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan. Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti
dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus
berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk
berpura-pura menangis atas nama dirinya –sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan atas. Dengan mengembangkan perasaan
duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya
di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang
mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang
menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau berita berbunyi ‘Ikut
Berduka-cita…’ tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan yang bagaimanakah yang cocok?” Ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna Dhamma seperti “Segala perpaduan bersifat tidak
kekal” atau “Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti
menimpa semua makhluk hidup” jauh lebih baik dan cocok bagi umat
Buddha.
Dalam pada itu, bagi mereka yang mengetahui bahwa ada sahabat atau kerabat karib yang sedang bersedih hati ditinggal mati sanak keluarganya, mereka tidaklah harus turut berduka-cita atau bersedih hati.
Itu bukanlah suatu cara yang benar untuk menyatakan rasa kesetiakawanan dan keprihatinan kepadanya. Seseorang yang sedang dirundung malang kiranya dapat diumpamakan seperti orang yang sedang
terjatuh ke dalam jurang. Untuk membebaskan atau menolongnya, seseorang tidaklah harus ikut menceburkan diri bersama dengannya. Tindakan yang bijaksana ialah berusaha mengangkat sahabat atau kerabat itu
keluar dari jurang tersebut. Dengan perkataan lain, pertolongan yang
perlu diberikan kepadanya ialah dengan memberikan bimbingan
Dhamma agar dia sadar bahwa di dunia ini memang tidak ada sesuatu
yang bersifat kekal (langgeng). Ini bukanlah suatu kebenaran yang baru,
dan mungkin telah diketahui olehnya. Akan tetapi, apabila sedang dihadapkan pada keadaan sesungguhnya, kebanyakan orang sering tidak
sampai berpikir demikian. Karena itu, merupakan tugas seorang sahabat
sejati untuk mengingatkannya. Inilah sikap yang benar terhadap orangorang yang sedang berduka-cita karena kehilangan sanak keluarga yang
sangat dikasihinya.
Ada yang mengatakan bahwa seseorang menyatakan ikut
berduka-cita bukanlah berarti bahwa ia sungguh-sungguh merasa
berduka atau bersedih hati. Itu hanyalah sekadar ‘basa-basi’ dengan
maksud untuk menyatakan keprihatinan sekaligus menghibur orang yang
berpisah dengan almarhum/ah. Ada orang-orang tertentu yang merasa
seolah-olah mendapatkan kekuatan batin dengan menyadari bahwa
bukan hanya dirinya sendiri yang berduka-cita tetapi banyak orang lain
yang juga ikut berduka-cita. Sikap hidup semacam ini sesungguhnya
sangat tidak bersesuaian dengan Dhamma. Karena itu, tidak semestinya
dituruti. Ada banyak cara lain yang lebih arif untuk membebaskan
seseorang dari penderitaan, tanpa harus membuat orang-orang lainnya
ikut menderita. Selain itu, sebagai umat beragama seseorang tidak
seharusnya menyatakan sesuatu hanya sekadar untuk berbasa-basi. Hal
yang lazim dilakukan oleh orang-orang umum tidaklah selamanya dapat
dianggap baik. Perlu bersikap arif dalam memilih kebiasaan mana yang
baik dan mana yang takbaik. Kalau memang tidak berduka-cita, mengapa
seseorang harus berdusta menyatakan demikian kepada yang lain?
Ketulusan dan kejujuran adalah faktor utama persahabatan. Dalam
berbuat atau berucap apa pun, seseorang tidak selayaknya
mengesampingkan dua macam kebajikan ini.
seberapa lama suatu jenazah selayaknya disemayamkan atau
disimpan sebelum diperabukan? Di Yunani pada zaman lampau, sebelum pengetahuan di bidang medis berkembang pesat,
jenazah orang mati lazimnya disimpan selama dua tiga hari untuk memastikan bahwa telah benar-benar meninggal dunia, bukan dalam keadaan mati suri. Upaya pembuktian dalam hal ini
kadangkala dilakukan dengan mengiris atau memotong jari tangan.
Dalam Agama Buddha sama sekali tidak ada ketentuan yang
mengikat. Akan tetapi, di Muangthai ada tradisi menyimpan jenazah
bhikkhu-bhikkhu terkenal dalam waktu yang sangat lama, bahkan sampai bertahun-tahun. Ada beberapa alasan yang melatar-belakangi tradisi
tersebut. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada para siswa
serta umat awam yang bertinggal di tempat yang sangat berjauhan, untuk
datang menghaturkan penghormatan terakhir. Kedua, ada kebiasaan bagi
orang-orang Thai untuk berbuat kebajikan dalam upacara kematian dengan menjadi sponsor pembacaan kitab-kitab Abhidhamma. Karena sedemikian banyak peminatnya, acara yang berlangsung setiap malam itu
terulur-ulur hingga lama sekali. Ketiga, karena para pengikut bhikhubhikkhu terkenal itu belum bisa menghilangkan rasa kerinduan dan kemelekatan. Keempat, jenazah itu sengaja tidak segera diperabukan
karena vihâra tempat bertinggal mereka tidak mempunyai pengganti
(successor) yang dapat diharapkan menanggung kebutuhan serta biaya
pengeluaran vihâra sehari-hari. Kalau jenazah mereka segera diperabukan, umat-umat yang dahulunya sering datang ke vihâra untuk berdana
niscaya akan berpindah ke vihâra-vihâra lain.
Kalau ditanyakan apakah tradisi semacam itu sesuai dengan
ajaran murni Buddha Gotama? Jawaban singkatnya ialah: Tidak! Berikut
ini adalah argumentasi yang memperlihatkan mengapa tradisi semacam
itu tidak selayaknya tetap diselenggarakan. Jenazah Buddha Gotama sendiri, yang menjadi pendiri Agama Buddha dan menjadi Guru junjungan
utama, hanya disemayamkan selama tujuh hari. Lalu, dengan alasan
apakah kita pantas untuk menyimpan jenazah bhikkhu guru kita, betapa
pun dekat hubungan kita dengannya dan betapa pun besar jasa beliau
kepada kita, dalam jangka waktu yang melebihi penyimpanan jenazah
Sang Buddha? Dalam berbuat sesuatu, umat Buddha tidak sepantasnya
melangkahi Sang Buddha. Tradisi penyimpanan jenazah dalam waktu
yang lebih lama cenderung menciptakan ‘iklim’ yang kurang baik, yang
membuat banyak pihak berusaha untuk saling berjor-joran. Waktu
penyimpanan yang semakin lama dijadikan sebagai lambang kebesaran
Pâramî (Kesempurnaan) yang telah ditimbun oleh bhikkhu guru mereka.
Ini tidak begitu menjadi masalah apabila mereka mempunyai anggaran
yang memadai. Celakanya, jika tidak, mereka harus berpontang-panting
menghimpun dâna hanya sekadar untuk keperluan menyimpan jenazah.
Ini adalah argumentasi utama yang tidak menyetujui diselenggarakannya
upacara kematian yang terlalu lama.
Berikut ini akan ditambahkan beberapa argumentasi lain sesuai
dengan alasan yang melatar-belakanginya. Pertama, dua puluh lima abad
yang lampau, ketika sarana transportasi dan peralatan perabuan tidak sebegitu maju seperti sekarang ini, waktu tujuh hari sudah terlalu cukup untuk memperabukan jenazah Buddha Gotama. Masuk akalkah jika pada
zaman sekarang ini kita menuntut peluang waktu yang lebih lama untuk
dapat menyelenggarakan upacara perabuan? Kedua, memang tidak dapat
dibantah bahwa pembacaan kitab-kitab Abhidhamma merupakan suatu
kebajikan. Namun, alangkah lebih baik jika anggaran ini dialihkan untuk
kegiatan-kegiatan lain yang lebih bermanfaat, misalnya menarik minat
umat Buddha untuk memahami makna keagamaan yang terkandung dalam kitab-kitab Abhidhamma, bukan hanya sekadar mendengarkan
penguncarannya dalam Bahasa Pâli yang belum tentu dimengerti artinya;
mendirikan yayasan-yayasan yang ditujukan untuk menunjang perkembangan Agama Buddha; memberikan bea-siswa kepada para bhikkhu
dan sâmaóera dari pelosok untuk memperoleh pendidikan keagamaan
yang layak; dan sebagainya. Ketiga, Sang Buddha senantiasa mengajarkan umat-Nya untuk tidak terbenam dalam kerinduan serta kemelekatan
entah pada apa pun dan kepada siapa pun –termasuk kepada Beliau sendiri. Ketika Ânanda Thera menanyakan bagaimana selayaknya jenazah
Sang Buddha diperlakukan, Beliau menasihatkan agar tidak terlalu merepotkan diri dalam hal ini. Lebih baik berjuang demi kesucian dan pembebasan bagi diri sendiri. Perlu disadari bahwa meskipun jenazah guru yang
mereka cintai disimpan dalam waktu yang lama, suatu saat nanti pasti
akan terpisahkan kembali. Alih-alih mengumbar emosi kerinduan,
apakah tidak lebih tepat jika menggunakan waktu yang berharga ini untuk melaksanakan petunjuk serta nasihat mereka? Keempat, sangatlah ti
dak etis untuk memanfaatkan jenazah orang yang telah meninggal,
apalagi guru yang kita junjung tinggi, sebagai alat untuk menghimpun
dâna –kendati ini selanjutnya dipakai untuk keperluan umum. Lebih baik
mati kelaparan daripada “mencari makan dari mayat”.
Untuk dapat menghapus tradisi yang telah berlangsung puluhan
atau bahkan ratusan tahun ini, masyarakat Thai membutuhkan teladan
nyata dari para sesepuh yang berkharisma tinggi. Beberapa guru meditasi
yang terkenal telah memulai upaya ini dengan berpesan kepada para
murid mereka agar segera memperabukan jenazah mereka secepat
mungkin. Membenahi apa yang telah lama menyimpang itu tidaklah
segampang meluruskan anak panah. Dengan menyadari kenyataan ini,
umat Buddha –entah di mana pun berada– hendaknya senantiasa
bersikap tanggap dalam meluruskan apa yang tidak sesuai dengan ajaran
murni Sang Buddha sejak dari dini. Janganlah salah menyangka upaya
semacam ini didasari niat buruk untuk sengaja mencari-cari masalah atas
hal-hal yang sepele.
dalam Agama Buddha tidak ada peraturan yang mewajibkan
apakah jenazah seorang umat Buddha harus diperabukan
atau dimakamkan. Pilihan atas dua macam cara umum itu
ataupun cara-cara lainnya [misalnya disumbangkan ke rumah sakit untuk penelitian medis] dianggap sebagai hak
asasi yang bersangkutan. Apabila ada pesan yang disampaikan sebelum
meninggal dunia, pesan itulah yang layak dipenuhi sebagai suatu penghormatan terhadap orang yang mati. Seandainya tidak ada pesan yang
ditinggalkan, hal ini tergantung keputusan sanak keluarga yang bersangkutan.
Walaupun tidak ada peraturan yang bersifat wajib, perabuan menempati prioritas tertinggi dalam tradisi Buddhis. Ini bersumber pada
Mahâparinibbâna Sutta. Dalam wejangan terakhir tersebut, Buddha Gotama meninggalkan pesan kepada Ânanda Thera untuk memperabukan
jenazah-Nya. Sumber-sumber lain dalam Kitab Suci Tipiöaka menunjukkan bahwa para siswa utama Beliau juga memilih perabuan. Dengan pertimbangan ini, kiranya layak bagi umat Buddha untuk menerapkan serta
melestarikan cara ini.
Ada sementara umat Buddha yang menghindari perabuan dengan alasan kasihan yang mati akan kepanasan karena terbakar api. Ini
adalah suatu alasan dangkal yang bersifat kekanak-kanakan. Kematian
adalah perpisahan mutlak antara tubuh jasmaniah dengan unsur-unsur
batiniah. Makhluk yang sudah mati tidak lagi memiliki perasaan, ingatan,
corak batin serta kesadaran. Karena itu, ia sudah tidak akan merasa apa
pun atas jenazah yang ditinggalkannya. Lagipula, kalaupun ada perasaan
semacam itu, apakah ia tidak akan merasa kepengapan apabila
dikubur/dipendam dalam tanah? Adakah cara lain yang lebih baik?
‘Perabuan’ adalah terjemahan baku kata ‘cremation’ (kremasi).
Kata ini sesungguhnya berasal dari kata Latin ‘cremo’ yang secara harfiah
berarti ‘membakar’ –khususnya pembakaran jenazah.
Kebanyakan ahli purbakala memprakirakan bahwa perabuan
diperkenalkan sebagai suatu cara memusnahkan mayat pada Zaman Batu
–sekitar 3,000 tahun Sebelum Masehi. Cara yang agaknya pertama kali dipakai di Eropah atau Timur Dekat ini kemudian dipakai secara umum di
Yunani (800 SM) dan Roma (600 SM). Perabuan merupakan lambang kebesaran (status symbol). Ketika Kristen menjadi agama-negara Kekaisaran
Roma pada sekitar tahun 100 Masehi, tatkala banyak penganut agama lain
diasingkan dan dibinasakan, pemakaman (penguburan jenazah) merupakan satu-satunya cara yang dipakai di seluruh penjuru Eropah. Tepatnya
pada tahun 1886, Gereja Roman Katholik secara resmi melarang pelaksanaan perabuan jenazah. Jemaat gereja yang ketahuan mengatur penyelenggaraannya akan dikucilkan (excommunicated). Ini berlangsung
hingga masa Perang Dunia ke-II. Pada tahun 1961, Patriak Konstantinopel
dari Gereja Orthodoks Timur memfatwakan bahwa: “Memang tidak ada
peraturan orthodoks yang resmi terhadap perabuan, namun ada adatistiadat yang kuat serta rasa kecenderungan terhadap pemakaman ala
Kristen.”
Ada dua alasan utama yang melandasi penolakan terhadap
perabuan. Yang pertama adalah kekhawatiran yang berkaitan dengan kebangkitan tubuh dari mati serta penyatuan kembali dengan roh kekal sebagaimana yang dijanjikan. Apabila mayatnya dibakar hingga musnah tak
berbekas, dikhawatirkan akan timbul masalah dalam penyatuan
jasmaniah-rohaniah tersebut. Ini bersumberkan pada Surat Paulus yang
Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-44. Alasan kedua, dalam
masyarakat Israel kuno, pembakaran mayat lazimnya hanya diperuntukkan bagi para penyembah berhala, orang berdosa, pelaku kejahatan serta
musuh. Dalam Kitab Kejadian 38:24, misalnya, dituliskan bahwa Yehuda
memerintahkan agar menantu wanitanya yang sedang hamil anakkembar dibakar hingga mati karena dituduh telah melakukan perzinahan.
Apabila seorang laki-laki menikahi wanita sekaligus ibunya, menurut Kitab Imamat 20:14, itu merupakan suatu perzinahan. Ketiga orang itu itu
harus dibakar dalam api. Dalam bait ke 21:9, hukuman yang sama dijatuhkan kepada anak wanita seorang imam yang menjadi pelacur. Bahkan
Tuhan sendiri, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Bilangan 16:35,
memberangus Korah beserta 250 orang Israel karena menentang Nabi
Musa. Sumber-sumber lain dalam Kitab Perjanjian Lama dapat dijumpai di
Keluaran 32:20, Yosua 7:15-25, Hakim-Hakim 15:6, I Samuel 31:11-13, II
Raja-raja 10:26, Yeremia 29:22, Amos 2:1. Sementara itu, sumber dalam
Kitab Perjanjian Baru terdapat dalam Wahyu kepada Yohanes 20:15.
Para penganut Agama Kristen cenderung memilih pemakaman
karena cara inilah dikehendaki oleh Tuhan terhadap jenazah Nabi Musa
(Yosua 34:6). Surat Paulus yang Pertama kepada Jemaat di Korintus 15:35-
44 menceritakan bagaimana Tuhan membangkitkan tubuh orang-orang
yang percaya. Sumber-sumber lain bertebaran di Kitab Kejadian, Yosua,
Matius, Kisah Para Rasul.
Karena sedemikian besar manfaat serta kepraktisan perabuan
dibandingkan dengan pemakaman [dengan segala dampak negatifnya:
pencemaran lingkungan, pemborosan tempat, biaya dan sebagainya];
pada zaman modern sekarang ini banyak orang yang memilih perabuan
jenazah meskipun kurang begitu bersesuaian dengan ajaran agama yang
dipercayai. Di kebanyakan negara besar di Eropah, lebih dari separo
memakai cara perabuan. Di Jepang, perabuan –yang pernah dilarang
pada tahun 1875–, kini diterapkan secara hampir menyeluruh.1 Di
Amerika Serikat dan Kanada, telah dibangun lebih dari 30,000 tempat
perabuan (crematorium) dengan statistik lebih dari setengah juta jenazah
per tahun.
di kalangan orang-orang Cina, ada tradisi pembakaran kertas
berbentuk uang, emas, rumah beserta segala perabotnya,
boneka manusia, binatang peliharaan dan lain-lain dengan
tujuan untuk ‘dikirimkan’ kepada orang yang telah meninggal dunia. Mengikuti perkembangan teknologi, kini
kertas berbentuk barang-barang elektronik seperti radio, televisi beserta
antena parabola dan bahkan pesawat terbang banyak dijumpai. Entah,
apakah ada yang pernah mengirimkan komputer lengkap dengan modem untuk melayangkan e-mail serta menjelajahi dunia Internet.
Mereka percaya bahwa kertas-kertas yang dibakar itu secara gaib
akan dapat terwujud di alam tempat kediaman orang yang mati. Ini jelas
merupakan suatu kepercayaan yang bersifat kekanak-kanakan (childish),
yang menunjukkan betapa rendah pengetahuan serta pengertian mereka
atas keadaan alam kehidupan setelah mati. Bagaimana mungkin hanya
dengan dibakar semua itu dapat sampai di alam lain? Kalaupun telah sampai, bagaimana mungkin dapat terwujud dan terpakai sebagaimana yang
diharapkan? Apakah rumah yang terbuat dari kertas cukup kuat untuk
menahan berat badan penghuninya? Mungkinkah rumah tiruan yang terbuat dari kertas dapat berubah menjadi rumah sungguhan di alam sana?
Lembaga keuangan manakah yang mengesahkan uang-uang kertas tersebut? Adakah pemancar gelombang radio dan televisi? Siapa yang akan
mengemudikan pesawat terbang di sana? Tanpa adanya radar serta
peralatan navigasi lainnya, apakah jalurnya tidak kacau balau hingga
menyebabkan tubrukan? Andaikata terjadi kecelakaan, siapa yang akan
memberikan pertolongan? Perlukah mengirimkan rumah sakit beserta
dokter dan jururawat?
Tradisi pembakaran kertas bercikal-bakal dari kebiasaan keji, kejam dan biadab (barbarous custom) yang pernah dilakukan oleh para
pembesar serta penguasa pada zaman lampau. Tidak hanya di Yunani, di
Cina juga ada kebiasaan untuk mengurbankan binatang tunggangan dan
bahkan budak serta pelayan demi kepentingan orang-orang besar yang
mati. Ini telah dijalankan sejak abad kesepuluh Sebelum Masehi. Dalam
kasus Duke Muh, misalnya, ada 177 orang manusia dibakar hidup-hidup.
Beberapa rujukan lain dapat dijumpai pada masa kehidupan Khong Hu
Cu (551–478 SM). Menurut catatan perjalanan Marco Polo, dalam upacara
pemakaman Möngke Khan –cucu Jenghis Khan, saudara Kubilai Khan–,
ada lebih dari 20,000 orang manusia yang dikurbankan demi kaisar
Mongolia tersebut. Tak terkecuali binatang-binatang yang dijumpai di sepanjang jalan menuju makam di puncak Gunung Altai, semuanya dibantai secara keji.2
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, pembantaian binatang apalagi manusia sebagai kurban upacara kematian lambat
laun jarang dipraktekkan. Namun, mereka tampaknya masih belum begitu bisa menghapuskan tradisi itu secara tuntas sehingga kemudian dibuatlah kertas-kertas tiruan dalam pelbagai wujud sebagaimana yang
diinginkan. Meskipun tidak lagi bersifat keji dan melanggar perikemanusiaan seperti zaman dahulu, tradisi pembakaran kertas kiranya perlu segera dihapuskan karena hanya mubazir, memboroskan biaya tanpa
manfaat apa pun. Pelestarian tradisi semacam ini justru akan mempertebal ketakhayulan dan menjauhkan diri dari kebijaksanaan. Anggaran untuk ini sebaiknya dialihkan untuk hal-hal yang lebih berguna, misalnya
disumbangkan ke fakir miskin, rumah sakit, dan sebagainya.
Ada yang beralasan bahwa mereka sesungguhnya tahu bahwa
sangatlah muskil kertas-kertas yang dibakar itu dapat sampai di alam tempat kediaman sanak keluarga yang mati. Namun, tradisi ini tetap dilestarikan semata-mata untuk menunjukkan rasa bakti kepada almarhum/ah.
Mereka khawatir, jangan sampai yang mati akan merasa tidak lagi diperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Sesungguhnya, ada banyak cara yang
lebih arif untuk membuktikan rasa bakti dalam wujud perbuatanperbuatan yang berguna, misalnya dengan melakukan penyaluran jasa
dan sebagainya.
Selain tradisi pembakaran kertas, kebiasaan dalam membakar
barang-barang keperluan sehari-hari yang pernah dipakai oleh orang
mati seperti pakaian, sepatu sandal dan sebagainya perlu segera
dihapuskan. Alih-alih dibakar secara percuma, alangkah lebih bermanfaat
jika semua itu disumbangkan kepada fakir miskin atau mereka yang
membutuhkan. Kaum Neanderthal pada zaman batu kuno (Palæolithic
Period) juga mengenal tradisi mengubur barang-barang keperluan seharihari ke dalam makam orang mati; dengan kepercayaan bahwa semua itu
masih dibutuhkan oleh yang mati. Itu adalah suatu kebiasaan manusia
kuno yang hidup sekitar 30,000 sampai 100,000 tahun yang lampau, yang
masih rendah peradabannya, yang belum begitu mempunyai
pengetahuan, penalaran serta pemikiran logis atas keadaan kehidupan
setelah mati. Pada zaman modern seperti sekarang ini, kiranya tidak ada
alasan sedikit pun untuk melestarikan tradisi semacam itu –kecuali kalau
tak merasa malu disebut masih primitif. Ada sementara orang yang
berkilah bahwa tradisi pembakaran barang keperluan sehari-hari itu tetap
dijalankan karena takut kalau yang mati takrela barang-barangnya
dipakai orang lain dan akan menagih kembali serta menghantui mereka.
Kalau memang demikian alasannya, mengapa harta peninggalan orang
mati yang bernilai tinggi –misalnya uang, emas, permata dan sebagainya–
tidak juga dibakar sekalian tetapi justru sering dijadikan ajang perebutan
warisan bagi sanak keluarga yang masih hidup?
lazimnya, kalau ada orang yang akan bepergian ke tempat
yang cukup jauh, sanak keluarga yang ditinggalkan akan
menyediakan perbekalan untuk dimanfaatkan selama dalam perjalanan. Demikian pula yang diperbuat terhadap
orang yang meninggal dunia. Dengan pelbagai cara, sanak
keluarga yang ditinggalkan berusaha untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat bermanfaat bagi almarhum/ah yang sangat dicintai. Mereka
menyediakan makanan serta minuman yang disukai sewaktu masih
hidup. Pakaian serta barang-barang keperluan lainnya pun tidak lupa
disediakan secara lengkap.
Sesungguhnya, orang yang mati telah terlahirkan kembali di alam
lain. Di sana, kehidupan dan cara hidupnya mungkin tidaklah sama seperti di dunia ini. Tidak ada pertanian, peternakan atau perdagangan sebagai matapencaharian. Makanan serta minuman mereka juga berlainan.
Kebutuhan di sana tidaklah seperti kebutuhan manusia di dunia ini.
Karena itu, kiriman semacam itu hanyalah sia-sia belaka. Kalaupun seandainya orang yang mati itu terlahirkan kembali di alam manusia, ia tentu
sedang berada dalam kandungan sehingga tidak dapat memanfaatkan barang kiriman dari sanak keluarga yang ditinggalkan.
Dalam Tirokuòòa Sutta, Sang Buddha menganjurkan cara yang
lebih bijaksana bagi sanak keluarga yang ditinggal mati, yaitu dengan berdana makanan, minuman serta lain-lain kepada para bhikkhu Saõgha dan
selanjutnya menyalurkan jasa kebajikan yang timbul dari pemberian dâna
ini kepada orang yang meninggal dunia (pattidâna). Hanya kiriman
berbentuk ‘halus’ semacam ini yang mempunyai kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan oleh orang yang telah mati. Ibarat air yang mengalir dari
tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, ibarat hulu sungai yang
telah penuh niscaya membanjiri muara; demikian pula penyaluran jasa
yang dilimpahkan oleh sanak keluarga kepada orang yang telah meninggal dunia.
Nâgasena Thera menjelaskan dalam Kitab Milinda Pañhâ bahwa
penyaluran jasa tidaklah dapat diterima oleh orang mati yang telah terlahirkan kembali di alam surga, neraka atau binatang. Demikian pula yangterlahirkan kembali sebagai setan (peta) yang makan ludah, dahak dan
muntahan (vantâsikâ), yang senantiasa kelaparan, kehausan dan
kekurangan (khuppîpâsika), dan yang senantiasa terberangus
(nijjhâmataóhika). Yang dapat menerima penyaluran jasa ialah setan yang
memang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan
cara penyaluran jasa (paradattupajîvika).3 Ini mungkin merupakan suatu
jenis setan yang karena kemelekatannya hidup bergentayangan di sekitar
rumah atau tempat yang ditinggalkannya. Karena alam kehidupannya tidak berjauhan dengan alam manusia, ia mempunyai kesempatan untuk
mengetahui penyaluran jasa yang dilimpahkan kepadanya. Suatu penyaluran jasa baru sangkil apabila ditujukan langsung kepada yang bersangkutan (uddissikapatti) –sebagaimana penyaluran jasa yang pernah
dilakukan oleh Raja Bimbisâra kepada sejumlah setan yang pernah menjadi sanak keluarganya.
Boleh dikatakan bahwa tipis sekali kemungkinan suatu penyaluran jasa dapat benar-benar dimanfaatkan oleh yang bersangkutan. Halangan pertama ialah, yang bersangkutan tidak terlahirkan sebagai setan
yang hidup dari penyaluran jasa. Kedua, yang bersangkutan mungkin tidak mengetahui adanya penyaluran jasa yang ditujukan khusus kepada
dirinya sehingga tidak sempat ber-anumodanâ atas kebajikan ini. Apakah
ini berarti bahwa upaya penyaluran jasa hanyalah sia-sia belaka (wasteful) dan tidak berhasil (fruitless)? Tidak! Mengapa? Penyaluran jasa yang
tidak sampai ke tujuan –apabila persyaratannya tidak terpenuhi– akan
berbalik kembali kepada pelakunya. Manfaatnya masih dapat dipetik
oleh orang yang melakukan penyaluran jasa. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang menyediakan makanan serta minuman untuk dihidangkan kepada sanak keluarga. Apabila karena suatu hal, mereka tidak dapat
menerimanya, makanan serta minuman itu tidaklah sia-sia belaka atau tidak bermanfaat karena dapat dimakan serta diminum oleh diri sendiri.
Mengingat sedemikian tipis kemungkinan suatu penyaluran jasa
dapat diterima secara langsung oleh yang bersangkutan, kiranya lebih
tepat bagi umat Buddha untuk memasyarakatkan tradisi ini kepada sanak
keluarga yang masih hidup. Bukan baru memberi bagian atas kebajikan
yang diperbuat setelah orang yang dicintai meninggal dunia. Ketika
masih hidup, kebutuhan, kepentingan dan kebahagiaannya kurang begitu diper-hatikan, tetapi begitu mati semua itu diberikan serta
diusahakan secara berlebih-lebihan.
Tradisi penyaluran jasa sering disalahmengerti oleh sementara
orang sebagai suatu ajaran yang bertentangan dengan Dalil Kamma yang
merumuskan bahwa semua makhluk memiliki dan mewarisi perbuatannya masing-masing.5 Dalam kenyataan yang sebenarnya, penyaluran jasa
tidaklah menyimpang dari Dalil Kamma. Sebab, penyaluran jasa bukanlah seperti halnya ‘mentranfer’ sejumlah uang simpanan di bank ke dalam
rekening orang lain –yang berarti berkurangnya jumlah uang dalam
rekening sendiri dan sebaliknya bertambahnya rekening orang lain. Penyaluran jasa semata-mata merupakan suatu cara untuk ‘membuka peluang’ bagi orang lain agar berbuat kebajikan sendiri dengan merasa ikut
berbahagia atas kebajikan yang telah dilakukan oleh orang yang menyalurkan jasa kepada dirinya. Kalau tidak tahu menahu tentang adanya jasa
kebajikan yang disalurkan oleh orang lain kepada dirinya atau tidak ikut
berbahagia atas semua itu, suatu makhluk tidak akan memperoleh bagian
apa pun. Pada pihak lain, seseorang yang menyalurkan jasa kebajikan
berarti melipatkan-gandakan jasa kebajikannya sendiri –entah orang lain
yang dituju dapat menerima dan memanfaatkan jasa kebajikannya ataupun tidak. Mengapa suatu jasa kebajikan dapat berlipat-ganda dengan
disalurkan kepada orang lain? Alasannya ialah bahwa selain telah berbuat
jasa kebajikan itu sendiri, seseorang berarti melakukan suatu kebajikan
lain lagi, yaitu: berniat atau berkehendak agar makhluk lain juga berbuat
kebajikan. Penyaluran jasa kebajikan dapatlah diibaratkan seperti penyulutan api ke lentera-lentera lain yang bukanlah menyuramkan melainkan
justru memperterang cahaya itu sendiri
dalam Injil Yohanes 11:1-44 dikisahkan bahwa Yesus mampu
membangkitkan atau menghidupkan kembali orang yang
sudah mati. Kisah tentang terbangkitnya Lazarus dari kematian ini berbeda dengan kisah yang berkenaan dengan anak
perempuan kepala rumah ibadat bernama Yairus. Ada
kekaburan atas keadaan sesungguhnya dari anak perempuan itu, apakah
telah benar-benar mati ataukah hanya berada dalam keadaan tertidur pulas taksadar diri (deep coma). Menurut Matius 9:18-26, anak perempuan
itu “baru saja meninggal”, sedangkan Markus 5:21-43 dan Lukas 8:40-56
menyebutkan bahwa keadaannya ialah “sedang sakit, hampir mati.”1 Dalam kisah kebangkitan Lazarus, kekaburan semacam ini terjelaskan oleh
percakapan antara Yesus dengan murid-murid-Nya: “Lazarus, saudara
kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia
dari tidurnya.” Kemudian murid-murid-Nya berucap, “Tuhan, jika ia tertidur, ia akan tersembuhkan.” Yang dimaksud Yesus tertidur ialah mati,
tetapi mereka menyangka bahwa Ia mengatakan tentang tertidur dalam
arti biasa. Karena itu, Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa “Lazarus telah mati.” Sumber yang paling jelas atas kemampuan Yesus dalam membangkitkan orang mati terdapat dalam Kitab Lukas 1:11-
17. Di situ dikisahkan bahwa Ia menghidupkan kembali anak laki-laki seorang janda di kota Nain.2
Dalam kepercayaan Kristen, membangkitkan orang mati bukanlah suatu mukjizat yang hanya dapat dilakukan oleh Yesus sebagai Putra
Allah. Kitab Perjanjian Lama mengisahkan bahwa para nabi pada zamanlampau pun mempunyai kemampuan semacam ini. Berdasarkan kisah
dalam I Raja-raja 17:17-24 dan II Raja-raja 4:31-37, misalnya, orang yang
telah mati dapat dibangkitkan kembali melalui permohonan doa kepada
Tuhan. Ada pula yang tiba-tiba hidup kembali semata-mata karena mayatnya bersentuhan dengan tulang-tulang Nabi Elisa di kuburan yang keramat.
Para rasul murid Yesus juga dipercayai dapat membangkitkan
orang mati. Dalam Kisah Para Rasul 20:1-12, contohnya, Paulus
menghidupkan kembali anak muda bernama Eutikhus yang mati terjatuh
dari jendela karena mengantuk terlalu lama diajak bercakap-cakap.
Sesungguhnya, kepercayaan bahwa orang mati dapat dihidupkan kembali bertentangan dengan Surat Ibrani 9:27 yang menandaskan
bahwa manusia ditakdirkan untuk mati hanya satu kali saja. Kepercayaan ini sering menjadi bahan perdebatan yang seru di kalangan kritikus Kristen. Yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana mungkin
orang yang sudah mati terkubur dalam gua selama empat hari, yang badan jasmaniahnya telah membusuk, dapat dihidupkan kembali. Sebab,
sesuatu yang disebut sebagai ‘mukjizat’ itu tidak memerlukan penjelasan
secara ilmiah. Segala kemungkinan dapat terjadi, dan tidak ada alasan sedikit pun untuk dapat menggugatnya. Yang dipermasalahkan oleh para
kritikus ialah wewenang Yesus, para nabi serta rasul dalam membangkitkan orang mati. Kalau dipercayai bahwa nasib serta kematian berada di
tangan Tuhan, apakah tidak melanggar kehendak Tuhan jika mereka kemudian menghidupkan kembali orang yang nyawanya telah dicabut oleh
Tuhan? Ada sementara penganut setia yang memberikan alasan bahwa ini
dilakukan demi memperlihatkan kemuliaan Yesus, para nabi serta rasul.
Apalagi Yesus belakangan dipercayai sebagai Putra Allah. Tak ada sesuatu yang takdapat atau takboleh dilakukan oleh Pencipta yang Mahakuasa. Namun, alasan ini mencuatkan pertanyaan lebih lanjut: “Patutkah
nasib serta kematian seseorang dipermainkan hanya demi tujuan semacam itu? Layakkah manusia diperlakukan seperti ‘saklar lampu’ yang
boleh dimatikan atau dihidupkan sesuka hati tanpa mengindahkan harkat
serta martabat manusia itu sendiri?” Persoalannya niscaya akan bertambah pelik apabila orang-orang yang mati itu telah masuk Surga yang
kekal. Mau tak mau, mereka harus diungsikan terlebih dahulu dari Surga
dan nyawa mereka kemudian digiring kembali ke dunia yang fana dan
penuh penderitaan. Karena sedemikian besar rasa bakti mereka kepada
Tuhan, mungkin saja mereka sudi untuk mengorbankan kehidupan
mereka sendiri demi memperlihatkan kebesaran serta kekuasaan Tuhan
kepada khalayak ramai. Pada pihak lain, kepercayaan ini tetap menimbulkan kesangsian doktrinal: “Kalau Surga dianggap kekal, bagaimana
mungkin mereka yang telah masuk ke dalamnya dapat dikeluarkan lagi?
Apa sesungguhnya makna ‘kekekalan’ surgawi dalam dogma Kristen?”
Bertolak-belakang dengan kepercayaan tersebut, sepanjang
penyebaran Kebenaran Dhamma selama empat puluh lima tahun, Buddha Gotama tidak pernah berusaha membangkitkan orang mati. Ketika
dimintai tolong oleh Kisâ Gotamî untuk menghidupkan kembali anaknya
yang telah mati, Beliau tidak menyanggupinya. Yang diperbuat oleh Beliau ialah mengarahkan wanita malang itu agar dapat menyadari kenyataan hidup. Inilah sesungguhnya wujud Cinta Kasih yang luhur dan sejati.
Apa artinya suatu kebangkitan dari mati kalau kemudian –cepat atau lambat– ia akan mati lagi? Mengapa tidak ditunjukkan sesuatu yang jauh lebih
berharga daripada itu?
Dalam pandangan Agama Buddha, suatu makhluk yang telah
mati dari kehidupan sekarang ini akan langsung terlahirkan kembali di
alam brahma, surga, manusia, binatang, neraka atau alam-alam lainnya.
Karena itu, untuk dapat menghidupkannya kembali, makhluk tersebut
harus dibunuh terlebih dahulu dari kehidupannya yang baru, dan
kemudian ‘nyawa’-nya dibawa kembali ke dunia ini untuk disusupkan
lagi ke mayat yang telah ditinggalkannya. Dengan perkataan lain,
membangkitkan orang mati dalam pengertian Buddhis adalah suatu
upaya yang tidak terlepas dari delik pembunuhan. Seorang Buddha atau
orang-orang suci lainnya tidaklah mungkin akan melakukan hal ini.
satî [dilafalkan dengan vokal ‘i’ panjang] adalah suatu tradisi bagi
seorang janda untuk membakar diri sendiri hingga mati (bunuh
diri) dalam api perabuan suaminya, sebagai wujud rasa bakti,
tulus dan setia.3 Tidak ada bukti-bukti yang jelas, sejak kapan
Satî mulai dijalankan secara luas sepanjang 4,000 tahun sejarah
India. Karya sastra, puisi serta sandiwara pada masa pertengahan di India
sangat menyanjung pengurbanan Satî. Syair Mahâbhârata yang sarat dengan nilai-nilai kepahlawanan serta keagamaan menyebutkan adanya beberapa permaisuri raja yang menjalankan Satî. Kitab-kitab Hindu kuno
seperti Manu Saæhitâ dan Gautama Saæhitâ sangat merendahkan kedudukan istri dengan menganggapnya sebagai orang bawahan yang merupakan harta-milik si suami (subordinate property). Kedudukan sebagai
janda secara ritual dianggap mencemarkan. Perkawinan dalam adatkebiasaan Hindu melimpahkan beban serta kewajiban yang jauh lebih
berat kepada pihak istri daripada pihak suami.4 Seorang istri patut mengikuti ke mana pun si suami pergi. Kematian bukanlah suatu rintangan
bagi seorang istri untuk tetap hidup bersama suami. Namun anehnya, tidak pernah disebutkan bahwa kalau pihak istri yang mati, si suami juga
patut menyusulnya dengan membakar diri. Hanya pihak istri yang dianjurkan untuk menjalankan tradisi ini demi menguduskan leluhur ayahibunya sendiri serta pihak suami –yang kepadanya ia menyerahkan
keperawanannya. Meskipun seorang suami pernah membunuh brâhmaóa (tokoh agama) atau kerabat sendiri, kejahatan yang berat ini dapat
tertebus dengan pengurbanan Satî yang dijalankan oleh pihak istri. Selain
itu, pengurbanan Satî dianggap dapat membantu si suami dalam meraih
keselamatan spiritual. Penitisan kembali di Swarga selama 35 juta tahun
diiming-imingkan sebagai pahala.Secara teoretis, pengurbanan Satî bersifat sukarela –dijalankan oleh yang
bersangkutan atas kemauannya sendiri; bukan karena paksaan dari
pihak-pihak lain. Namun dalam kenyataan, anjuran, desakan dan bahkan
paksaan dari pihak keluarga suami yang mati kerap berpengaruh besar.
Janda yang berani mengelak dari pengurbanan Satî niscaya akan dikucilkan oleh masyarakat yang bersifat orthodoks. Setidak-tidaknya, mereka
akan dituduh tidak setia dan tidak berbakti kepada suami yang telah meninggal dunia. Patokan taktertulis semacam itu tentu merupakan beban
batiniah bagi kebanyakan janda sehingga mereka cenderung memutuskan untuk menjalankannya.
Pada tahun 1812, tradisi Satî diabsahkan secara resmi kehalalannya. Seorang janda diberi hak untuk secara sukarela membakar diri sendiri sesuai dengan tuntutan agama atau kepercayaan yang dianut
sepanjang yang bersangkutan telah berumur 16 tahun, dan tidak sedang
hamil. Menurut catatan yang tertulis sejak tahun 1815 hingga 1829, di
propinsi Bengal saja terdapat 7,941 janda yang tewas karena menjalankan
pengurbanan Satî. Di Calcutta pada kurun waktu tersebut, paling tidak
ada satu korban setiap harinya. Entah ada berapa banyak korban di seantero daratan India.
Kendati mencanangkan kebijakan untuk mengangkat harkat,
martabat dan derajat kaum wanita, Mahâtmâ Gandhî tidak begitu berandil besar dalam menghapus tradisi Satî dari muka bumi India. Sesungguhnya, ia bukanlah seorang pejuang revolusioner. Ia menentang adanya
perubahan yang radikal dalam sistem serta struktur masyarakat India
yang bercorak kekastaaan –yang mengabaikan nilai-nilai keadilan dan sebaliknya hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa serta berpengaruh. Gandhî, yang oleh beberapa kritikus dianggap sebagai ‘boneka
Barat’, sesungguhnya adalah seorang pemimpin yang bersifat kolot dan
lunak (moderate conservative), yang cenderung berpihak pada ‘statusquo’. Ia sangat menggandrungi Râma, seorang raja dongengan dalam kisah Râmâyaóa, yang sering mengabaikan istrinya, Sîtâ. Berkali-kali Râma
mempermalukan Sîtâ di depan umum dengan menuntutnya untuk membuktikan kesuciannya –setelah diculik oleh Râvanâ. Sîtâ rela menjalani
penyiksaan dengan api. Karena masih banyak orang yang tetap
menyangsikan kesuciannya, Râma dengan sewenang-wenang kemudian
membuangnya ke dalam hutan. Râma, yang dipercayai sebagai penitisan
ViŠu, lebih mempedulikan pergunjingan orang lain daripada mempercayai ketulusan istrinya. Sebagai seorang istri, Sîtâ dianggap taklebih dari
suatu ‘barang kesayangan’ yang sewaktu-waktu dapat dicampakkan dengan begitu saja apabila dirasa dapat merugikan kepentingannya sendiri.
Oleh para penganut Hindu yang kolot, Sîtâ disanjung-sanjung sebagai
‘isteri teladan’. Namun, persanjungan ini harus dibayar dengan harga
yang sangat mahal; penginjak-injakan atas harkat, martabat dan derajat
kaum wanita itu sendiri.5
Tokoh yang sangat berandil besar dalam menghapus tradisi Satî
di India ialah Rammohun Roy. Ia adalah seorang cendekiawan asal
Bengal. Pada mulanya ia sangat terkejut atas pembakaran diri yang dijalankan oleh istri kakak laki-lakinya. Dengan segenap upaya, ia berusaha
mencegahnya namun tidak berhasil. Sejak kejadian yang mengenaskan
tersebut, ia memulai perang suci (crusade) terhadap tradisi Satî. Dengan
berlandaskan pada pemikiran yang tajam dan maju, dan berbekal pada
pengetahuan mendalam atas kitab-kitab Hindu, serta bermodalkan pada
kedudukan sosial sebagai tuan-tanah (landlord) yang kayaraya, ia secara
terbuka menantang serta mengalahkan cendekiawan-cendekiawan
Hindu yang fanatik dalam suatu perdebatan ilmiah tentang tradisi sati

