Rabu, 10 Januari 2024

jelang kematian




Elisabeth Kuebler-Ross (EKB: 1926-2004) adalah seorang ahli psikiatri Swiss yang 
kemudian pindah ke Amerika Serikat kerna alasan pernikahan. Pada tahun 1969, ia 
menulis buku On Death and Dying yang langsung melambungkan namanya: ia 
dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (DR. Honoris Causa) oleh 20 universitas di 
pelbagai negara, bukunya laris sebagai salah satu Top Best-Seller abad ke-20 dan 
telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis 
dari Thanatology (ilmu tentang kematian).
 Minat EKB atas masalah “sengsara, sekarat & maut” timbul saat sebagai 
mahasiswi kedokteran Zurich ia bekerja sebagai relawati di Polandia guna membantu 
para korban PD II, khususnya mereka yang menderita cacat, sakit dan di ambang 
maut. Saat itu, ia sempat mengunjungi bekas kamp konsentrasi di kota Maidanek
dan terkejut karena melihat ada banyak gambar kupu-kupu yang dipahat di dinding 
oleh anak-anak yang menghuni kamp itu saat mereka menunggu moment kematian: 
“It was incomprehensible to me. Thousands of children going into the gas 
chamber, and it is the message that they leave behind – a butterfly. That was 
really the begnning.” (M Holland:1). Kupu-kupu adalah simbol kolektif dari harapan 
akan “life after life,” artinya kehidupan yang bisa bangkit dari ancaman suatu krisis 
eksistensial. Dan krisis hidup yang paling besar dan universal bagi manusia adalah 
kematian. Sejak saat itu, EKB mencurahkan perhatiannya pada arus pertanyaan 
reflektif berikut: Apa yang dialami dan dirasakan orang pada saat ia ada di ambang 
kematian? Kemelut dan konflik batin apakah yang berkecamuk dalam jiwanya? Kekuatan apakah yang mampu membuat mereka bertahan dan bahkan berdamai 
dengan nasib yang tragis itu?
 Pada saat EKB bekerja di antara “dying patients” di RS Akademis Universitas 
Chicago, khususnya di antara para penderita penyakit (kanker) terminal, ia mengamati 
adanya gap emosional yang dalam di antara orang sehat & sakit, pihak yang akan 
meninggal dan yang akan ditinggalkan, entah mereka itu para perawat atau pun para 
kerabat dan sahabat pasien tersebut. Pasien merasa sepi, terlantar, tersingkir sendiri; 
sebaliknya, para kerabat dan sahabat merasa takut, sedih dan bingung: takut akan 
bayangan kematiannya sendiri, sedih kerna kondisi pasen yang parah dan nyeri, 
bingung kerna tak tahu apa yang harus dikatakan dan tak berdaya membantu apa 
pun. Buku On Death and Dying ditulis untuk menjembatani gap emosional itu hingga 
ada saling pengertian dan penerimaan yang lebih baik di antara orang yang akan 
meninggal dan ditinggal. Buku itu ditulis dari perspektif pasien: “We have asked the 
patient to be our teacher so that we may learn more about the final stages of 
life with all its anxieties, fears and hope.” (EKB: xi).
 Kematian adalah suatu proses yang bisa berlangsung relatif singkat atau lama. 
Para pasien yang diamati EKB dengan intensif adalah sekitar 200 orang pasien terminal, 
umumnya penderita kanker, yang tinggal di rumah sakit. Jadi mereka mendapat 
perawatan medis dan psikologis (konseling), serta mempunyai waktu yang relatif 
lama (sekitar 6 bulanan atau kurang) untuk menyiapkan diri menempuh saat-saat akhir 
hidupnya, setelah mereka diberitahu tim medis bahwa kondisinya sudah kritis. Menurut 
EKB, proses kematian itu memperlihatkan tanda-tanda psikosomatis & tahap￾tahap emosional (psikologis) tertentu.
B.Tanda-Tanda Psikosomatis Kematian
 Kematian adalah proses psiko-somatis yang melibatkan seluruh jiwa & raga pasien. 
Kerna itu terdapat tanda-tanda psikis dan somatis yang menunjukkan bahwa moment 
kematian itu telah makin mendekat. Berikut kita lihat beberapa dari antaranya  Sekitar dua minggu menjelang kematian, pasien bisa memperlihatkan tanda￾tanda psikis berupa disorientasi mental: kekacauan dan kekeliruan dalam daya 
pemikiran, perasaan dan pengamatannya. Ia bisa mengalami tiga gejala berikut: ilusi, 
halusinasi dan delusi (AB, signs: 5). Ketiga gejala itu timbul kerna kondisi mental 
pasien yang makin menurun hingga ia kerap berada dalam kondisi setengah sadar,
seakan-akan setengah bermimpi. Ilusi adalah kesalahan dalam membaca/mentafsirkan 
kesan atau stimulus indrawi eksternal. Misalnya: bunyi angin dipersepsi sebagai 
suara orang menangis, harum parfum sebagai bau mayat, rasa gatal sebagai adanya 
serangga di balik selimut, ada cacing kecil dalam gelas susu etc. Dalam kehidupan 
normal, kita juga bisa mengalami ilusi indrawi semacam itu, namun pada umumnya 
kita bisa segera melakukan koreksi atasnya. Dalam diri pasien yang terminal, 
kemampuan untuk mengkoreksi-diri itu telah menurun/menghilang hingga ilusi itu bisa 
sungguh terasa sebagai real.
 Lain dari ilusi yang terjadi kerna stimulus indrawi eksternal, halusinasi adalah 
produk internal imaginasi kita sendiri. Contoh dari bayangan/gambaran (image) 
yang halusioner adalah gambaran-gambaran yang muncul saat kita bermimpi atau 
berada dalam pengaruh narkoba. Mungkin kerna pengaruh obat penenang dan 
kegalauan emosional yang dirasakannya, pasien sering nampak mendapat halusinasi 
tertentu: ia seakan-akan melihat atau berbicara dengan orang-orang tertentu yang 
tidak ada di sekitarnya, termasuk juga berbicara/melihat orang-orang yang sudah 
meninggal dunia. Beberapa orang yang menganut faham spiritisme (komunikasi 
dengan roh) mentafsirkan gejala ini sebagai tersibaknya selubung antara alam fana 
dengan alam baka: “Some may see this as the veil being lifted between this life 
and the next life.” (Idem). Persepsi halusioner ini bisa terungkap secara fisik juga: 
pasien menjadi tegang dan gelisah (agitasi), ia menggerak-gerakan anggota badannya 
secara kacau tak menentu, seakan-akan seperti hendak mengusir, menghindar atau 
menjangkau sesuatu; atau ia terengah-engah mencengkram ujung seprai atau 
selimutnya erat-erat etc.
Lain dari halusinasi yang merupakan produk imaginasi, delusi adalah produk dari 
“wrong thinking” (false belief). Pasien bisa mendadak mempunyai “fixed ideas” 
bahwa ia sudah sembuh, lalu berusaha turun dari ranjang dan menolak segala bantuan 
medis; atau ia merasa ada konspirasi tersembunyi untuk meracuninya, bukan 
mengobatinya; atau ia akan sembuh bila pergi ke tempat/orang/obat keramat tertentu 
padahal kondisinya jelas tidak memungkinkan. Ringkasnya, pikiran dan perbuatannya 
bisa nampak irasional. etc.
 Selain tanda-tanda psikis di atas terdapat juga tanda-tanda somatis yang 
menunjukkan bahwa saat ajal itu sudah semakin mendekat. Kita deretkan saja 
beberapa di antaranya: kulit kebiruan dan pucat, mulai dari ujung jari, kaki dan bibir 
lalu menjalar ke bagian tubuh yang lain // Denyut nadi tidak teratur dan lemah // Nafas 
berbunyi keras dan kerap ngorok // Penglihatan dan pendengaran mulai kabur. “It is 
believed that hearing is the last sense to go, so it is recommended that loved 
ones sit with and talk kindly to the dying during this time.” (Signs: 6). //
Hilangnya kesadaran diri // “Eventually, breathing will cease altogether and the 
heart stops. Death has occurred.” (Idem). 
C.Lima Tahapan Menjelang Kematian
 EKB mengamati bahwa kematian adalah suatu proses. Dalam proses itu, pasien 
cenderung mengalami lima tahap pergolakan emosional tertentu, yang disingkat 
menjadi DABDA: Denial, Anger, Bargaining, Depression, Acceptance. Perlu 
diingat bahwa kelima tahap itu bukanlah suatu proses kronologis yang progresif kerna 
bisa terjadi kasus “overlapping” (berada di dua tahap sekaligus) atau “progresi dan 
regresi” (maju dan mundur) atau stagnasi (jalan di tempat). Namun bila dirawat dan 
dipersiapkan dengan baik, pasien bisa mengarungi kelimanya hingga akhirnya 
menghembuskan nafasnya dengan tenang (acceptance). 
 Tahap Pertama: Shock & Denial (Kaget & Penyangkalan)
Setiap orang tahu bahwa kematian adalah fakta yang pasti akan menimpa dirinya di 
masa depan. Namun moment datangnya kematian itu terasa misterius: tiada 
kepastian kapan ia datang. Akibatnya, orang cenderung menganggap kematian sebagai 
“impossible possiblity: possible for others, impossible for me.” Itu sebabnya
reaksi spontan pertama orang atas informasi tentang ancaman kematiannya adalah 
rasa kaget, tak percaya dan penyangkalan: “No, not me, it can not be true! I don’t 
believe it!” Pasien lalu berusaha untuk membuktikan kesalahan informasi medis itu 
dengan mencari diagnosis alternatif atau hiburan & dukungan dari orang lain atas 
pendapatnya pribadi itu. Secara psikologis, penolakan itu berfungsi sebagai benteng 
emosional atau “defence mechanism” agar pasien tidak langsung ambruk mentalnya 
oleh tekanan kabar buruk atas nasibnya. Dengan kata lain, penolakan itu memberi 
waktu & energi bagi pasien untuk terus berjuang menyelamatkan hidupnya; 
sekurangnya, untuk tidak kehilangan semangat hidupnya.
 Tahap Kedua: Anger (Marah)
 Bila usaha mencari diagnosis alternatif dan dukungan itu gagal, - dan de facto 
kondisinya makin memburuk - , pasien masuk dalam tahap emosional yang kedua, 
yakni rasa marah, jengkel dan iri (resentment: buruk rasa & sangka) atas nasib baik 
kesehatan orang lain. Pasien cenderung berkata (dalam hati): “Why me? It is not 
fair! How can this happen to me? Who is to blame?” Dalam tahap ini, 
“substitution mechanism” (mencari kambing hitam/kesalahan orang lain) bekerja 
kuat dalam jiwa pasien. Artinya, sebetulnya pasien itu marah dan berontak terhadap 
nasib malangnya sendiri, namun ia lalu mengalihkan dan melampiaskan emosi negatif 
itu terhadap orang lain yang berada di sekitarnya: kepada tim medis, keluarga, kenalan 
dan bahkan kepada Tuhan. Ketika ditanya apakah pantas bila orang itu marah-marah 
kepada Tuhan, meragukan keberadaan & kebaikanNya, EKB menjawab: “I would help 
him to express his anger toward God because God is certainly great enough 
to be able to accept it.” (Q&A: 24). Bila orang yang merawatnya bisa tetap bersikap 
tenang, penuh perhatian, tidak terprovokasi untuk beradu argumentasi saling 
menyalahkan dan balik bersikap negatif, pasien bisa meninggalkan sikap agresifnya ini 
dan beralih ke tahap selanjutnya
 Tahap Ketiga: Bargaining (Barter/Tawar-Menawar)
 Dalam tahap ketiga ini pasien mulai bisa mengerti dan menerima fakta bahwa ia 
akan segera mati, namun ia masih berusaha untuk menunda waktu atau
memperpanjang usia hidupnya: ‘Psychologically, the individual is saying, “I 
understand that I will die, but if I could just have more time …”.’ (Mod:2) 
Permohonan perpanjangan waktu itu umumnya diajukan kepada Tuhan yang dipercayai 
sebagai penguasa hidup & mati (untuk orang sekuler: Higher Power/Fortuna). 
Permohonan semacam itu biasanya didorong oleh rasa salah (guilt) atas pola hidup di 
masa lalu dan rasa sesal (regret) kerna belum melaksanakan rencana tertentu: belum 
merampungkan karya tulis atau gelar akademis tertentu, belum ke tanah suci, belum 
sukses menyekolahkan anak ke tingkat sarjana atau melihat cucu pertama etc. Oleh 
karena itu, permohonan perpanjangan usia itu biasanya dibarengi dengan 
janji/sumpah tertentu: janji untuk memperbaiki diri (bertobat) dan untuk berbuat 
lebih banyak amal kasih bagi sesama sebagai ungkapan rasa syukur & trimakasih pada 
Yang Mahakuasa. Ringkasnya, pasien berusaha melakukan tawar-menawar dengan 
Tuhan. Pola pikirnya dipengaruhi “infantile mechanism” (pikiran kekanak-kanakan), 
yakni do ut des (doing A for getting B): saya melakukan sesuatu yang terpujim agar 
bisa mendapat hadiah/imbalan yang sesuai dengan kehendak saya (NB: pola pikir 
dewasa lebih menekankan unsur do ketimbang des-nya
 Tahap Keempat: Depression (Sedih & Murung)
 Bila usaha barter di atas gagal kerna kondisinya ternyata tidak membaik, pasien 
bisa jatuh dalam depressi: suasana sedih dan murung yang mencengkam: “I am so 
sad, why bother with anything? I’m going to die, why go on? “ Pasien mulai 
bersikap pasif dan apatis: ia lebih banyak diam, kurang kooperatif, menolak tamu 
atau bantuan medis, kerap menangis meratapi nasibnya. EKB membedakan dua jenis 
depressi, yakni reactive dan preparatory: “The Reactive depression is directed to 
the past, preparatory depression is concerned with the future.” Depressi 
reaktif adalah rasa salah dan sedih atas segala hal yang sudah/dan atau belum
dilakukan di masa lalu. Pasien seperti dibebani oleh pelbagai persoalan yang belum 
selesai dari masa lalunya. Depressi preparatif adalah antisipasi pasien akan saat 
ajalnya yang makin mendekat: ia makin sadar bahwa ia harus meninggalkan segala 
barang dan orang yang ia cintai. Rasa dan sikap apatis yang diperlihatkanpasien adalah 
suatu “decathexis mechanism,” (melakukan diskoneksi): “This mechanism allows 
the dying person to disconnect oneself from things of love and affection.”
(Ibid). Ringkasnya, pasien mulai berduka dan berkabung atas resiko perpisahan 
yang akan segera dialaminya.
 Tahap Kelima: Acceptance (Penerimaan)
 Pada tahap ini, pasien mulai bisa berdamai dengan fakta kematiannya: “Que 
sera, sera. Whatever will be, will be. I can’t fight it, I may as well prepare for 
it.” Penerimaan ini bukanlah berarti menyambut kematian sebagai kabar gembira
melainkan sebagai fakta yang tak terpisahkan dari hidup: pasien bisa bersikap realistik
sesuai dengan realita hidup yang memang mengandung maut, tanpa disertai rasa 
marah dan depressi lagi: “This is who I am as a finite being, this is my whole 
life.” Ringkasnya, bila depressi preparatif di atas adalah suatu proses perpisahan 
(letting go) dengan orang-orang tercinta di sekitarnya, maka tahap penerimaan
adalah proses perpisahan dengan diri sendiri (letting go of oneself). Orang yang 
beriman bisa melengkapi sikap penerimaan kematian ini dengan sikap pengharapan. 
Menurut Gabriel Marcel, pengharapan itu bukanlah suatu sikap kognitif, artinya 
tidak disertai dengan pengetahuan yang pasti tentang apa yang akan terjadi (Hope 
does not claim to know the future). Harapan adalah perasaan bahwa masa depan 
itu bisa mengandung kemungkinan-baik yang tidak terpikirkan oleh kita dan tidak 
kita tentukan sendiri tapi oleh yang lain, khususnya oleh Tuhan (Hope is the will 
when it is made to bear on what does not depend on itself.”) [M:21]
EKB meneliti proses kematian dari para pasien yang mengalami “natural death”
akibat usia tua dan penyakit terminal. Akibatnya, uraiannya mungkin tidak seluruhnya 
berlaku bagi orang yang mengalami “violent death,” yakni para korban yang mati 
mendadak sebagai korban kejahatan, kecelakaan atau serangan fatal seketika 
penyakit tertentu. Tambahan lagi, para pasien yang diamati EKB itu mendapat 
perawatan medis dan bimbingan psiko-spiritual saat menempuh perjalanan akhir 
hidupnya. Mungkin tidak setiap orang bisa mendapoat fasilitas dan keberuntungan 
semacam itu. Kendati demikian, uraian EKB trentang tanda & tahap kematian itu 
tetaplah berguna sebagai bahan refleksi pribadi kita dan panduan bagi interaksi kita 
dengan orang-orang yang berada di ambang maut, agar merejka bisa meninggakl 
dengan tenang dan bermartabat.
 EKB juga menandaskan bahwa kelima tahap itu berlaku dan berguna bukan saja 
bagi orang yang dihadang oleh krisis kematian, melankan juga bagi memahami 
setiap krisis kehidupan yang dialami manusia pada umumnya. Krisis adalah “life￾changing events,” saat dan peristiwa yang membawa perubahan yang besar dalam 
cara hidup kita, misalnya: cacat, lumpuh, perceraian, patah hati, drop-out, PHK, 
bankrut, menopause, pensiun dan pikun etc. Dinamika bertahap yang serupa, dengan 
intensitas yang berbeda, mungkin bisa terjadi saat kita mencoba untuk bangkit dari 
aneka krisis semacam itu.


Masa 1

lanjut usia (lansia) atau menua meru￾pakan tahap paling akhir dari siklus 

kehidupan seseorang. WHO (2009) menya￾takan masa lanjut usia menjadi empat 

golongan, yaitu usia pertengahan (middle 

age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 

tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan 

usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

Menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009) 

lanjut usia (getriatric age) dibagi menjadi 3 

batasan umur, yaitu young old (usia 70-75 

tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old

(usia > 80 tahun). Berdasarkan berbagai 

pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

berbagai kemampuan yang pernah mereka 

miliki dan mengalami beberapa perubahan 

fisik seperti memutihnya rambut, muncul￾nya kerutan di wajah, berkurangnya 

ketajaman penglihatan dan daya ingat yang 

menurun, serta beberapa masalah kesehatan 

fisik lainnya (Wong, 2008). Lansia juga 

kerap mengalami masalah sosial, berupa 

keterasingan dari masyarakat karena 

penurunan fungsi fisik yang dialami, 

misalnya berkurangnya kepekaan pende￾ngaran, maupun cara bicara yang kadang 

sudah tidak dapat dimengerti. Para lansia 

juga menghadapi masalah psikologis, yaitu 

munculnya kecemasan dalam menghadapi 

kematian pada lanjut usia (Azizah, 2011).

Kehilangan kehidupan atau kematian 

merupakan penghentian secara permanen 

semua fungsi tubuh yang vital atau akhir 

dari kehidupan manusia (Stanley & Beare, 

2007). Peningkatan kesadaran mengenai 

kematian timbul saat individu beranjak tua, 

yang biasanya meningkat pada masa 

dewasa menengah, yang menandakan 

bahwa usia paruh baya merupakan saat 

orang dewasa mulai berpikir lebih jauh 

mengenai berapa waktu yang tersisa dalam 

hidup mereka (Irfani, 2008). 

Rasa cemas terhadap kematian dapat 

disebabkan oleh kematian itu sendiri dan 

apa yang akan terjadi sesudah kematian, 

sanak dan keluarga yang ditinggalkan, atau 

merasa bahwa tempat yang akan 

dikunjungi setelah kematian sangat buruk 

(Hidayat, 2006). Kecemasan dalam meng￾hadapi kematian akan semakin membuat 

para lansia tidak siap dalam menghadapi 

kematian. Kesiapan merupakan keselu￾ruhan kondisi yang membuat seseorang 

siap untuk memberi respon terhadap suatu 

situasi (Slameto, 2010). Keadaan lansia yang 

telah siap untuk menghadapi dan menerima 

kematian tidak menimbulkan penyesalan 

maupun ketakutan apapun ketika kematian 

terjadi. Namun, lansia memiliki persepsi 

yang berbeda-beda ketika menghadapi 

kematian (Harapan, Sabrian, Utomo, 2014). 

Kesiapan lansia saat menjelang kematian 

dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu 

aspek psikologis, sosial, fisik dan spiritual 

(Meiner, 2006).

Spiritual merupakan aspek yang di

dalamnya mencakup aspek-aspek yang lain, 

yaitu fisik, psikologi dan sosial. Spiritualitas 

merupakan hubungan yang memiliki dua 

dimensi, yaitu antara dirinya, orang lain 

dan lingkungannya, serta dirinya dengan 

Tuhannya (Hamid, 2009). Spiritualitas 

merupakan hubungan yang memiliki 

dimensi-dimensi yang berupaya menjaga 

keharmonisan dan keselarasan dengan 

dunia luar, menghadapi stres emosional, 

penyakit fisik dan kematian (Hamid, 2009). 

Spiritualitas lansia yang sehat dapat mem￾bantu lansia dalam menjalani kehidupan 

dan mempersiapkan dirinya dalam 

menghadapi kematian. 

Istilah lain yang terkait erat dengan 

fenomena di atas adalah kondisi sehat. 

Definisi sehat adalah keadaan sehat, baik 

secara fisik, mental atau psikis, spiritual 

maupun sosial yang memungkinkan setiap 

orang untuk hidup produktif secara sosial 

dan ekonomi (Menteri Kesehatan Republik 

Indonesia, 2016). Secara khusus, kesehatan 

spiritualitas adalah kemampuan seseorang 

dalam menjaga keharmonisannya dalam 

hubungannya dengan diri sendiri, orang 

lain, alam dan Tuhannya.

Kesehatan spiritual yang terbangun 

dengan baik membantu lansia menghadapi 

kenyataan, berpartisipasi dalam hidup, 

merasa memiliki harga diri dan menerima 

kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat 

dihindari (Potter & Perry, 2009). Faktor 

yang memengaruhi kesehatan spiritual 

seseorang adalah pertimbangan tahap 

perkembangan, keluarga, latar belakang 

etnik dan budaya, agama dan pengalaman
hidup sebelumnya (Taylor, Lillis, LeMone P 

& Lynn, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara awal 

yang dilakukan di Panti Wredha Salib Putih 

Salatiga, para lansia di panti tersebut 

memiliki kegiatan kerohanian, berupa 

ibadah sebanyak empat kali dalam 

seminggu, meskipun demikian beberapa 

lansia menyatakan perasaan takutnya jika 

meninggal kepada pengurus panti dan 

terlihat tidak mau berkumpul bersama para 

lansia yang lain. Di samping itu, peneliti

juga melakukan pengamatan pendahuluan 

di Dusun Dukuh, Getasan, Kabupaten 

Semarang. Dusun tersebut sudah memiliki 

satu mushola dan satu gereja sehingga 

lansia di Dusun Dukuh pun memiliki 

kegiatan kerohanian. Para lansia yang 

beragama Islam biasanya ikut dalam 

kegiatan ibadah Jumat serta pengajian atau 

yasinan yang ada di dusun tersebut. 

Sekalipun demikian, terdapat lansia yang 

menyatakan belum siap jika “dipanggil” 

Tuhan, karena perasaan takut jika 

meninggalkan keluarganya. Berdasarkan 

fenomena tersebut maka peneliti tertarik 

untuk melakukan penelitian yang berjudul 

“Kesehatan spiritualitas lansia dan kesiapan 

lansia dalam menghadapi kematian”.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah 

mendeskripsikan kesehatan spiritual dan 

kesiapan lansia dalam menghadapi kema￾tian, baik lansia yang berada di Panti 

Wredha Salib Putih Salatiga, maupun lansia 

yang tinggal bersama keluarganya di Dusun 

Dukuh, Getasan.

Penelitian ini menggunakan metode 

penelitian kualitatif dengan tipe pendekatan 

fenomenologi deskriptif. Penelitian ini 

menelusuri dan menggali data mengenai 

arti dan makna pengalaman seseorang 

secara individu (Wood & Haber, 2006). 

Penelitian ini menggunakan desain studi 

komparasi, yaitu mendeskripsikan perbeda￾an dan persamaan antara dua atau lebih 

fakta atau sifat objek yang diteliti 

(Sugiyono, 2012). Jumlah partisipan dalam 

penelitian ini enam orang, yaitu tiga orang 

yang tinggal di panti dan tiga orang yang 

tinggal di rumah bersama dengan keluar￾ganya. Karakteristik riset partisipan adalah 

individu lanjut usia yang berusia 60 tahun 

ke atas dan dapat berkomunikasi dengan 

baik. Partisipan dipilih menggunakan 

teknik purposive sampling yaitu dipilih sesuai 

kebutuhan dan tujuan penelitian (Poerwadi, 

2005).

Data dikumpulkan dengan mengguna￾kan wawancara mendalam (in depth 

interview), yaitu suatu cara mengumpulkan 

data dengan maksud untuk menetapkan 

gambaran lengkap tentang topik yang 

diteliti dan mendalam (Moleong, 2007). 

Dalam pelaksanaannya proses wawancara 

menggunakan pedoman wawancara yang 

terstruktur, artinya pedoman wawancara 

sudah dipersiapkan sesuai dengan tujuan, 

sehingga mempermudah jalannya wawan￾cara. Setelah melalui tahap pengumpulan 

data, data kualitatif yang diperoleh diolah 

dengan melakukan reduksi data, penyajian 

data dan penarikan kesimpulan (Silalahi, 

2009). Peneliti membuat transkrip verbatim 

dengan mendengarkan kembali hasil 

rekaman dan melengkapinya dengan field 

note yang dibuat saat wawancara. Transkrip 

verbatim dibaca kembali berulang-ulang 

sambil mendengarkan hasil rekaman untuk 

menentukan tingkat saturasi data. Selain 

itu, peneliti menggunakan teknik triangu￾lasi sebagai teknik untuk mengecek 

keabsahan data, yaitu membandingkan 

hasil wawancara terhadap partisipan 

sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data 

(Moleong, 2007).

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, berikut adalah 

enam kategori yang mendeskripsikan 
kesehatan spiritualitas lansia, baik yang 

tinggal di rumah maupun yang tinggal di 

panti, serta kesiapannya dalam menghadapi 

kematian, yaitu kategori makna hidup, 

konsep agama dan ketuhanan, konsep sehat 

sakit, interaksi sosial, kesehatan dan 

spiritualitas, dan kematian.

Makna Hidup

Dalam penelitian ini, baik partisipan yang 

tinggal di rumah maupun di panti, 

menyatakan bahwa tujuan hidupnya adalah 

untuk keluarga, seperti mendoakan anak 

cucunya, mengharapkan hidup yang rukun 

bersama anak dan cucunya, serta 

mengharapkan hidup yang berkecukupan 

bagi keluarganya. Di samping itu, sebagian

memaknai hidup mereka sebagai utusan 

Sang Pencipta.

Bastaman (2007) mengungkapkan 

bahwa makna hidup adalah sesuatu yang 

dianggap paling benar, penting dan 

berharga karena mampu memberikan nilai 

tersendiri bagi seseorang dan dapat 

dijadikan sebagai tujuan hidup. Ia juga 

menambahkan bahwa seseorang yang 

mencapai kebermaknaan hidup akan mera￾sakan hidupnya penuh makna, berharga 

dan memiliki tujuan mulia.

Menurut Rahmat (Setiyono, 2004) 

makna hidup seseorang dapat ditemukan 

salah satunya di dalam tanggung jawab dan 

mampu menentukan apa yang akan 

dilakukannya dan apa yang paling baik 

bagi dirinya dan orang lain. Permatasari 

(2004) juga mengingatkan bahwa keluarga 

merupakan tempat pemenuhan kebutuhan 

sosial, yaitu sumber kasih sayang serta rasa 

mencintai dan dicintai. Hal tersebut 

merupakan salah satu nilai hidup yang 

menjadikan hidup bermakna, sehingga 

keluarga mampu menimbulkan makna 

hidup terhadap seseorang. Namun, bagi 

semua umat beragama, Tuhan juga 

merupakan sumber makna dalam hidup. 

Menurut hasil kajian Musa As’ari (dalam 

Asyafah, 2009) manusia memiliki amanat 

dari Tuhan, hal ini kemudian ditanggapi 

oleh lansia dan kemudian dijadikan makna 

dalam hidupnya.

Bastaman (2007) menyatakan bahwa 

seseorang yang memiliki hidup yang 

bermakna dapat membuatnya menghayati 

hidupnya dengan menunjukkan semangat 

dan gairah hidup, serta menjauhkan mereka 

dari perasaan hampa dan tidak berguna. 

Hidup yang memiliki tujuan yang jelas akan 

menjadikan seseorang terarah dan menge￾tahui apa yang akan hendak ia lakukan. Bila 

tujuan hidup terpenuhi maka kehidupan 

akan dirasa berguna dan bermakna, serta 

menimbulkan perasaan bahagia dan 

berharga.

Konsep Agama dan Ketuhanan

Semua partisipan yang tinggal di panti 

maupun yang tinggal di rumah menyatakan 

percaya kepada Tuhan. Kepercayaan ini 

tidak hanya tergantung pada sistem keaga￾maan formal saja, karena ada partisipan 

yang sekalipun tidak memeluk agama 

apapun (secara formal), tetap meyakini 

keberadaan Tuhan. Partisipan menanggapi 

keberadaan Tuhan dengan sikap bersyukur 

terhadap segala sesuatu yang sudah Tuhan 

berikan, baik dalam susah dan senang,

sehingga syukur yang dipanjatkan menim￾bulkan rasa tenang dan senang dalam diri 

mereka.

Kepercayaan dan keyakinan yang 

dinyatakan partisipan didukung oleh 

Fowler (1981, dalam Kozier, 2004) yang 

menjelaskan bahwa keimanan dapat 

dimiliki pada orang yang beragama 

maupun yang tidak beragama. Dengan 

selalu mengingat Tuhan dalam hidup akan 

membuat seseorang merasa damai dan 

tentram (Al-Isawi, 2005). Menurut hasil 

penelitian yang dilakukan Isnaeni (2012) 

lansia merasa bahagia walaupun hidup di 
panti dikarenakan adanya aktivitas sehari￾hari dan berdoa serta melakukan kegiatan 

keagamaan, sehingga rasa syukur muncul 

dan membawa ketenangan pada mereka.

Semua partisipan yang tinggal di panti 

menyatakan dirinya rutin melaksanakan 

ibadah. Semua lansia diwajibkan mengikuti 

ibadah tersebut, salah satu lansia menga￾takan mereka akan ditegur atau dimarahi 

jika tidak mengikuti ibadah tersebut.

Partisipan yang tinggal di rumah menya￾takan dirinya rutin beribadah di masjid dan 

di gereja, serta rutin mengikuti perkum￾pulan keagamaan. Sedangkan satu partisi￾pan yang lain menyatakan tidak memiliki 

ritual ibadah seperti yang umum dilakukan 

oleh orang yang beragama.

Lansia yang tinggal di panti maupun di 

rumah berdoa kapan saja dan di mana saja. 

Partisipan menyatakan segala harapan 

mereka kepada Tuhan, serta mendoakan 

keluarga dan orang-orang yang mereka 

kasihi. Mereka juga mengatakan merasakan 

adanya rasa damai setelah mereka berdoa.

Hal ini sama dengan yang diungkap￾kan oleh Benson (2000) bahwa doa yang 

dilakukan berulang-ulang (repetitive prayer) 

akan membawa berbagai perubahan 

fisiologis, seperti berkurangnya kecepatan 

detak jantung, menurunnya kecepatan 

nafas, menurunnya tekanan darah, melam￾batnya gelombang otak dan pengurangan 

menyeluruh kecepatan metabolisme. 

Kondisi ini disebut sebagai respon relaksasi 

(relaxation response).

Interaksi Sosial

Hubungan dengan keluarga

Semua partisipan, baik yang tinggal di 

rumah maupun di panti menyatakan 

memiliki hubungan yang baik dengan 

keluarganya. Mereka yang tinggal di rumah 

merasa senang tinggal satu rumah bersama 

dengan keluarganya, sedangkan mereka 

yang di panti mengaku memiliki hubungan 

yang baik dengan keluarga mereka walau￾pun keluarganya jarang datang menjenguk 

ke panti.

Hubungan yang baik tersebut 

menimbulkan perasaan senang pada lansia 

serta membuat mereka merasa ada yang 

mengurus dan memenuhi kebutuhan di

masa tua mereka. Konteks ini sejalan 

dengan yang disebutkan oleh Bandiyah 

(2013) bahwa peran keluarga bagi lansia 

adalah menjaga dan merawat lansia, 

memberikan motivasi, mengantisipasi peru￾bahan ekonomi, serta mempertahankan 

status mental dan memfasilitasi kebutuhan 

spiritualitas lansia. Pemenuhan dukungan 

keluarga (family support) secara emosional 

menimbulkan perasaan yang bahagia pada 

lansia (Boyles, 2008).

Bagi lansia yang tinggal di panti, 

mereka tidak tinggal bersama keluarganya. 

Namun, sebagaimana menurut Sarafino 

(1998) dukungan atau bantuan yang 

dibutuhkan lansia bisa diperoleh dari 

berbagai sumber, sehingga lansia yang 

tinggal di panti mendapatkan dukungan 

dari sesama teman di panti, pengurus panti, 

dokter maupun perawat yang ada di panti. 

Hubungan dengan tetangga

Selain menjalin hubungan yang baik 

dengan keluarga, semua partisipan yang 

tinggal di rumah menyatakan memiliki 

hubungan yang baik dengan tetangga 

mereka. Sedangkan, bagi lansia yang 

tinggal di panti tidak semua mengatakan 

memiliki relasi dengan tetangga di sekitar 

panti. Hal ini terjadi karena berbagai 

keterbatasan lansia, seperti tidak tahu jalan 

keluar panti karena lingkungan yang baru 

ataupun karena keterbatasan fisik yang 

susah untuk berjalan.

Bagi lansia yang tinggal di rumah, 

memiliki relasi yang baik dengan tetangga 
merupakan kekhasan masyarakat yang 

tinggal di daerah pedesaan. Mereka 

mengenal semua tetangganya dari yang 

dekat sampai yang jauh. Gotong royong 

pun masih sangat terasa, tetangga saling 

tolong-menolong satu sama lain. Hal ini 

sama dengan yang dikemukakan Darmojo 

(2004) bahwa di daerah pedesaan pergaulan 

antara lansia dilakukan secara teratur, 

mereka lebih sering mengunjungi atau 

dikunjungi, sedangkan di daerah perkotaan 

kegiatan ini jarang dilakukan.

Keseharian lansia yang dilakukan di 

dalam panti dan kebutuhan lansia yang 

telah disediakan di panti membuat lansia 

tidak perlu keluar panti untuk mencari 

kebutuhan mereka. Selain itu, keterbatasan 

fisik mereka juga menghambat mereka 

untuk berinteraksi dengan lingkungan luar. 

Menurut Fitria (2010) derajat kesehatan dan 

kemampuan fisik yang menurun akan 

mengakibatkan lansia secara perlahan 

menarik diri dari hubungan dengan 

masyarakat sekitar.

Hubungan dengan sesama teman di panti

Dalam berhubungan dengan sesama teman 

di panti, ada partisipan yang menyatakan 

memiliki hubungan yang baik, ada juga 

yang mengatakan tidak, bahkan ada yang 

menyatakan dirinya selalu merasa jengkel 

dengan orang-orang di panti. Konteks ini 

sangat terkait dengan proses penyesuaian 

diri. Dalam proses penyesuaian diri sebagai 

akibat perpindahan tempat tinggal dari 

rumah ke panti memanglah tidak mudah. 

Tidak jarang situasi seperti itu akan 

menyebabkan munculnya masalah dalam 

hubungan interpersonal, seperti konflik. 

Subekti (dalam Jafar, 2011) menyatakan 

bahwa masalah yang dirasakan lansia dapat 

berupa konflik dengan orang lain, tidak 

menyukai perilaku lansia lain, atau merasa 

dimusuhi orang. Konflik tersebut dapat 

menyebabkan tidak terjalinnya hubungan 

yang baik antar sesama lansia di panti. Hal 

ini didukung oleh hasil penelitian yang 

telah dilakukan Marwanti (1997) mengenai 

kondisi kehidupan lanjut usia di Panti 

Wredha Karitas dan Nazaret Bandung, 

bahwa hubungan sosial yang terjalin di 

panti kurang baik. Salah satu faktor yang 

memengaruhi adalah latar belakang lansia 

yang beragam, sehingga dalam konteks ini 

dibutuhkan juga dukungan keluarga atau 

orang terdekat untuk menyelesaikan 

masalah tersebut. Meskipun demikian, 

secara ideal, menurut hasil penelitian yang 

dilakukan oleh Setiti (2007) kebutuhan 

sosial merupakan kebutuhan lansia yang 

dapat memengaruhi emosional lansia. Setiti 

menjelaskan bahwa lansia membutuhkan 

orang-orang dalam berinteraksi secara 

sosial. Mereka membutuhkan teman bicara, 

sering dikunjungi dan disapa serta 

silaturahmi dari keluarga dekat. 

Konsep Sehat Sakit

Pengertian sehat sakit

Semua partisipan, baik yang tinggal di panti 

maupun di rumah mengartikan bahwa 

sehat adalah keadaan dimana badan atau 

fisik mereka tidak merasakan sakit atau 

tidak merasakan adanya gangguan. 

Demikian juga dengan sakit, mereka 

mengartikan sakit adalah keadaan dimana 

tubuh mengalami perubahan, seperti tidak 

nafsu makan, tidur terus dan tidak bisa 

melakukan aktivitas atau bekerja. 

Pemahaman mengenai sehat dan sakit 

yang dimiliki lansia masih sangat terbatas. 

Sehat dipandang sebagai keadaan tubuh 

yang kuat dan tidak lemah, sedangkan sakit 

dipandang sebagai keadaan yang tidak 

enak yang dirasakan tubuh. Hal ini sama 

dengan yang dinyatakan Solita (2007) 

bahwa sakit adalah konsep psikologis yang 

menunjuk pada perasaan, persepsi, atau 

pengalaman subjektif seseorang tentang 
ketidaksehatannya atau keadaan tubuh 

yang dirasa tidak enak.

Penurunan fungsi fisik

Semua lansia yang tinggal di panti maupun 

di rumah menyatakan mengalami kemun￾duran fisik, misalnya dalam hal kualitas 

penglihatan. Namun partisipan tetap 

bersyukur dan menerima keadaan fisik 

yang seperti itu. Hal ini sama dengan yang 

dinyatakan Nugroho (2008) bahwa seseo￾rang yang memasuki usia tua akan menga￾lami kemunduran fungsi fisik, misalnya 

pendengaran dan penglihatan yang kurang 

jelas, gerakan lambat dan postur tubuh 

yang tidak proporsional. Respon yang 

dialami lansia juga berbeda-beda. Beberapa 

tidak menerima kenyataan penuaan namun, 

sebagian besar mereka menerima fungsi 

fisik yang menurun pada dirinya. 

Kesejahteraan dan Spiritualitas 

Semua partisipan dalam penelitian ini, baik 

yang tinggal di panti maupun di rumah 

menyatakan mereka mengetahui arti me￾ngasihi. Mereka memahami kasih sebagai 

tindakan yang dilakukan walaupun orang 

lain tidak berbalik mengasihi mereka. Sikap 

lansia tersebut, menggambarkan adanya 

spiritualitas yang baik. Hal ini sama dengan 

yang diungkapkan oleh Tischler (2002) 

yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang 

berhubungan dengan perilaku dari seorang 

individu, menjadi seorang yang spiritual 

berarti menjadi seorang yang terbuka, 

memberi, dan penuh kasih. 

Westburg (2003) mengingatkan bahwa 

harapan adalah salah satu sumber psiko￾sosial yang digunakan orang dewasa untuk 

mengatasi kesulitan hidup. Partisipan 

dalam penelitian ini, baik yang tinggal di 

rumah maupun di panti memiliki harapan 

yang berbeda-beda di masa tuanya. Lansia 

yang tinggal di panti menginginkan anak￾nya datang menjemputnya pulang, sedang￾kan lansia yang tingal di rumah mengha￾rapkan memiliki hidup sejahtera bersama 

keluarganya. 

Berdasarkan kondisi di atas, dapat 

dikatakan bahwa lansia memiliki harapan 

untuk bisa hidup bersama keluarganya, 

mendapatkan cinta dan kasih dari keluarga 

untuk menghadapi kesulitan hidup di masa 

akhir kehidupannya. Hal ini sesuai dengan 

yang diungkapkan oleh Duggleby, Hicks, 

Nekolaichuk, Holtslander, Williams, 

Chambers, Eby (2012) bahwa seseorang 

memiliki harapan yaitu hidup bersama 

keluarga dengan nyaman dan damai.

Kematian

Pengertian mengenai kematian

Partisipan dalam penelitian ini baik yang 

tinggal di rumah maupun di panti, ada 

yang mengatakan bahwa kematian adalah 

sesuatu yang tidak bisa ditolak, ada yang 

mengatakan kematian itu terpisahnya jiwa 

dari raga, serta ada juga yang menyatakan 

kematian adalah jalan untuk ke surga. 

Pemahaman tersebut sejalan dengan yang 

diungkapkan Chusairi (dalam Wijaya dan

Safitri, 2015) bahwa kematian dipandang 

sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan 

dapat terjadi kapan saja, sehingga dapat 

menimbulkan kecemasan pada seseorang. 

Selain itu, pernyataan bahwa kematian 

diyakini sebagai cara untuk dekat dan 

bertemu Tuhan dan orang-orang yang 

dikasihi yang telah meninggal sebelumnya 

juga diungkapkan oleh Ross dan Pollio 

(dalam Belsky, 1997). Menurut Adelina 

(2007) pandangan lansia tentang kematian 

memengaruhi kesiapan lansia dan 

menghadapi kematian. Lansia yang memi￾liki iman dan kesadaran bahwa kematian 

akan membawa mereka kembali kepada 

Tuhan akan membuat mereka menerima 

kematian yang akan datang. Seperti hasil 

penelitian yang dilakukan oleh Sneesby, 

Satchel, dan Good (2011) yang menyatakan 
bahwa lansia yang memiliki keyakinan 

yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki 

keberanian ketika berhadapan dengan 

kematian dan kesakitan.

Pengalaman kehilangan

Dalam penelitian ini, lansia yang tinggal di 

panti maupun di rumah menyatakan 

pernah mengalami kehilangan orang yang 

mereka kasihi. Walau demikian, mereka 

mengalihkan rasa kehilangan tersebut 

dengan cara mengikhlaskan. Ketika berha￾dapan dengan kematian orang yang dikasi￾hinya, lansia mengalami depresi kesedihan 

dan menggambarkannya melalui kata-kata 

yang menyatakan adanya kerinduan mau￾pun keputusasaan yang mendalam. Lubis 

(2009) mengatakan bahwa depresi meru￾pakan suatu akibat dari pengalaman yang 

menyakitkan, sehingga mengakibatkan 

seseorang mengalami kesedihan yang 

panjang, memiliki perasaan tidak adanya 

harapan dan munculnya pikiran tentang 

kematian yang berulang. Sedangkan lansia 

yang memiliki pandangan positif terhadap 

kematian pasangannya dapat menyikapi hal 

tersebut secara wajar, sehingga lansia akan 

merasa tenang atas dirinya sendiri maupun 

kematian pasangannya (Santrock, 2002).

Kesiapan dalam menghadapi kematian

Seluruh partisipan, baik yang tinggal di 

rumah maupun di panti, ada yang 

menyatakan dirinya siap, namun ada juga 

yang menyatakan dirinya tidak siap. Siap 

atau tidak siapnya lansia dilatarbelakangi 

oleh usia yang sudah menua dan pema￾haman bahwa kematian adalah sesuatu 

yang tidak bisa dielakkan. Kesiapan lansia 

yang dipengaruhi oleh usia juga dinyatakan 

oleh Nelson dan Nelson (dalam Lahey, 

2003) bahwa variabel usia berhubungan 

dengan ketakutan pada kematian, lansia 

memiliki sedikit rasa takut terhadap 

kematian dibandingkan dengan individu 

pada usia dewasa awal (Lefrancois, 1993). 

Selain itu, pengertian bahwa kematian tidak 

dapat ditolak membuat lansia merasa siap 

jika sewaktu-waktu akan meninggal. Hal ini 

sesuai dengan yang dinyatakan Chusairi 

(dalam Wijaya & Safitri, 2015) bahwa 

kematian dipandang sebagai sesuatu yang 

tak terelakkan dan dapat terjadi kapan saja, 

sehingga dapat menimbulkan kecemasan 

pada seseorang.

Terkait ketidaksiapan lansia mengha￾dapi kematian dipengaruhi oleh perbuatan 

mereka di masa lalu maupun keinginan 

mereka untuk terus memelihara anak dan 

cucunya. Lansia yang tidak siap dikarena￾kan ingin terus hidup bersama keluarga 

mengalami kekhawatiran bahwa mereka 

tidak dapat kembali ke dunia dan berkum￾pul bersama dengan orang-orang yang 

mereka cintai (Hasan, 2006). Menurut 

Shihab (dalam Hidayat, 2006) rasa cemas 

terhadap kematian juga dapat disebabkan 

oleh kematian itu sendiri dan yang akan 

terjadi sesudahnya merupakan suatu 

misteri, adanya pemikiran tentang keluarga 

yang ditinggalkan, serta perasaan bahwa 

tempat yang akan dikunjungi sangat buruk. 

Harapan didampingi ketika menghadapi 

kematian 

Semua lansia dalam penelitian ini, baik 

yang tinggal di rumah maupun di panti 

mengharapkan adanya dukungan keluarga 

ada untuk mendukung dan menemani 

mereka pada saat menghadapi kematian.

Pendampingan ketika menghadapi kema￾tian dapat dilakukan oleh siapa saja baik 

keluarga, teman ataupun oleh tenaga 

kesehatan. Lansia yang ingin didampingi 

oleh anggota keluarganya mengharapkan 

adanya penguatan dari orang-orang yang 

mereka kasihi, sehingga mereka dapat 

menghadapi serta menjalani saat-saat akhir 

hidupnya dengan lebih baik dan penuh 

penerimaan (Wiryasaputra, 2006).
Tempat yang diharapkan ketika menghadapi 

kematian

Terkait dengan tempat saat meninggal, ada 

partisipan yang menyatakan keinginannya 

untuk meninggal di rumah dan di panti. 

Namun, ada juga yang belum menyatakan 

tempat yang diinginkan. Pernyataan 

tersebut didukung oleh penelitian yang 

dilakukan Lee (2009) yang mengungkapkan 

bahwa lansia di Amerika berharap mening￾gal di rumah mereka. Sedangkan lansia 

yang ingin meninggal di panti karena tidak 

ingin membebani anak mereka dengan 

biaya pemakaman dan lain sebagainya. 

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian 

yang dilakukan oleh Hattori, Masuda, 

Fetters, Uemura, Mogi, Kuzuya, Iguchi

(2005) yang menyebutkan bahwa faktor 

keluarga memengaruhi tempat kematian 

dan siapa yang diinginkan lansia berada 

disampingnya saat menjelang kematian.

Kondisi yang diharapkan ketika menghadapi 

kematian

Semua partisipan yang tinggal di panti 

menyatakan ingin meninggal dalam yang 

mendadak dan tanpa rasa sakit, seperti 

meninggal ketika sedang makan atau tidur. 

Sedangkan, partisipan yang tinggal di 

rumah, tidak menginginkan kematian yang 

terjadi secara tiba-tiba, karena tidak ingin 

membuat keluarganya kaget atau merasa 

tidak siap dengan kepergiannya yang 

mendadak. Hasil penelitian ini didukung 

oleh Hattori, et al. (2005) yang mengemu￾kakan bahwa pengalaman pribadi (personal 

experience) memengaruhi kondisi yang 

diinginkan lansia ketika menghadapi kema￾tian. Lansia menginginkan kematian yang 

tidak menyusahkan orang lain di sekitar￾nya, sakit yang berlarut-larut, serta kema￾tian yang Husnul Khatimah yang artinya 

mati dalam keadaan yang terbaik. Hal ini 

sejalan dengan penelitian yang dilakukan 

oleh Handsottir dan Halldorsdottir (dalam 

Harapan, et al., 2014) yang menyebutkan 

bahwa lansia ingin mati secara natural, 

dalam kedamaian dan bermartabat. 

Tempat yang diinginkan setelah kematian 

Partisipan yang tinggal di panti dan yang 

tinggal di rumah menyatakan bahwa 

setelah meninggal, mereka ingin masuk 

surga dan tidak ingin masuk ke dalam 

neraka. Namun ada partisipan yang 

menyatakan tidak ingin ke surga atau pun 

neraka, melainkan ingin ke tempat yang 

tenang. Kondisi di atas didukung oleh 

penelitian Wahyuni (2007) yang menyata￾kan bahwa lansia mengharapkan kematian 

dalam ketenangan dan diterima disisiNya 

serta masuk surga. Dalam penelitian yang 

dilakukan oleh Santoso (2010) juga diung￾kapkan bahwa hukuman neraka merupakan 

faktor internal yang memengaruhi

kecemasan lansia menjelang kematian. 






buku kematian dari tibetan

The Tibetan Book of the Dead, judul yang sebenarny a adalah "Pembebasan Besar

dengan Mendengar didalam Keadaan Antara" atau "Bardo Thodol", secara tradisional

diyakini sebagai kary a legendaris Padma Sambhava di abad ke-8 Buku ini bertindak

sebagai panduan bagi orang mati selama keadaan intervensi antara kematian dan

kelahiran kembali berikutny a. Dia dianggap sebagai salah satu orang pertama yang

membawa Budha ke Tibet. Bardo Thodol adalah panduan yang dibacakan untuk orang

mati saat mereka berada dalam keadaan antara kematian dan reinkarnasi dalam rangka

untuk mengenali sifat pikiran mereka dan mencapai pembebasan dari siklus kelahiran

kembali.

Bardo Thodol mengajarkan bahwa sekali kesadaran dibebaskan dari tubuh, pikiran

tersebut menciptakan realitasnya sendiri seperti dialami dalam mimpi. Mimpi ini terjadi

di berbagai tahapan (Bardos) dengan cara baik y ang indah maupun y ang menakutkan.

Meliputi visi rasa damai dan amarah dan kemunculan dewa, dan, karena kesadaran

almarhum adalah dalam kebingungan karena tidak lagi terhubung ke tubuh fisik, hal itu

membutuhkan bantuan dan bimbingan sehingga pencerahan dan pembebasan dapat

mungkin terjadi. Bardo Thodol mengajarkan kita bagaimana bisa mencapai Nirvana

dengan mengenal dan akan menuju alam surgawi bukan turun ke alam yang lebih rendah

di mana siklus kelahiran dan kelahiran kembali akan terus berlanjut.

Berikut ini adalah deskripsi dari alam Bardo dimana seseorang akan melalui perjalanan
ini setelah kematian.

Bardo Pertama

Bardo pertama datang pada saat kematian, ketika disana ada Cahay a Bening dari Realitas

Tertinggi (the clear light of the ultimate reality ). Ini adalah sangat pokok dan substansi dari

keadaan pembebasan, jika hanya jiwa dapat mengenaliny a dan bertindak untuk tetap di

dalam keadaan itu.

Petunjuk dimaksudkan untuk dibaca pada saat kematian seseorang adalah dirancang untuk

membantu dia melakukan hal ini. Dia diberitahukan, pertama-tama, untuk merangkul

pengalaman tertinggi ini tidak dalam cara y ang mementingkan diri sendiri dan egois

melainkan dengan cinta dan kasih say ang untuk semua makhluk hidup.

Hal ini akan membantu dia dalam langkah kedua, y aitu untuk menyadari bahwa pikiran

dan diri sendiri identik dengan Cahaya Bening, meny iratkan bahwa ia sendiri Iadalah

Realitas tertinggi, "semua adalah Buddha", melampaui waktu, keabadian, dan semua

penciptaan. Jika ia dapat mengenali saat ini dalam keadaan tertinggi pada saat kematian,

ia akan mencapai pembebasan - yaitu, ia akan tetap berada di dalam Cahaya Bening

selamanya. Kondisi ini disebut "Dharmakaya", tubuh spiritual tertinggi dari Buddha.

Kebany akan dari jiwa bagaimanapun akangagal untuk melakukan hal ini. Mereka akan

ditarik ke bawah oleh berat karma mereka ke tahap kedua dari Bardo pertama, yang

disebut cahaya bening kedua yang terlihat segera setelah kematian. Pada titik ini, ada

petunjuk y ang terpisah untuk dibaca sesuai dengan kondisi spiritual dari orang tersebut

selagi hidup.

Bagi seorang individu y ang maju dalam meditasi dan praktik spiritual lainnya, disana ada

petunjuk berulang-ulang yang sama seperti pada saat kematian, memerintahkan dia

untuk mengakui diriny a sebagai Dharmakaya. Untuk orang y ang masih di tingkat siswa

pada jalan spiritual, ada perintah baginya untuk merenungkan "dewa y g mengawasi",

y aitu, dewa tertentu dimana ia melakukan praktekkebaktian selagi hidup.

Akhirny a, "jika almarhum dari orang biasa", tidak mahir dalam disiplin spiritual, instruksiini adalah untuk "merenungkan Kasih Say ang Allah", y ang berarti sebuah "Avatar" y ang

disembah oleh orang bany ak, setara dengan Yesus sebagai dipahami oleh rata-rata orang

Kristen.

Bardo Kedua

Jika jiwa masih belum dibebaskan pada tahapan ini, akan turun ke Bardo kedua, y ang

dikatakan berlangsung selama dua minggu. Bardo kedua juga dibagi menjadi dua bagian;

dibagian pertama, jiwa almarhum bertemu dengan apa y ang disebut sebagai "Dewa

Damai."(the peaceful deities)

Pada masing-masing dari tujuh hari, khususny a wujud Buddha-akan muncul dalam

cahaya dan kemuliaan, dengan sebuah rombongan malaikat pembantu. Pada saat y ang

sama, pada setiap hari pada giliranny a akan meny inari dari salah satu dari enam dunia

dari alam semesta Buddha, yang disebut "Lokas" (arti dasar ny a adalah "tempat"; kata￾kata bahasa Inggris "lokasi" dan "locale" adalah berasal dari akar bahasa Sansekerta y ang

sama).

Pada hari pertama dari Bardo kedua, tampakny a jiwa ilahi Bapa-Ibu -yaitu, dewa

tertinggi alam semesta, melampaui semua dualitas, termasuk pembagian ke dalam jenis

kelamin. Langkah berikutny a nasib dari jiwa ini ditentukan oleh reaksiny a terhadap Allah

ini. Jika selama hidupny a di Bumi hidup dengan baik, dia sekarang akan berada dalam

keadaan suci dan kasih karunia, dan ia akan masuk ke dalam sukacita dari Allah dan

mencapai pembebasan.

Jika di sisi lain ia telah menjalani hidupny a denagn tercela dan jahat , efek dari karma

burukny a akan meny ebabkan adany a radiasi intens dari Allah y ang meny ebabkan rasa

takut dan teror di dalam hatiny a, dan ia akan ditarik bukan oleh cahay a lembut dari Deva￾Loka, y ang telah terbit bersama dengan dewa ini. Ini masih merupakan nasib y ang cukup

menarik, karena para dewa adalah Gods (atau malaikat), dan Loka mereka setara dengan

surgany a pemelukKristen;

Namun, didalam ajaran Buddha adalah bahwa bahkan surga bukanlah tujuan spiritual

tertinggi, karena masih hanya merupakan alam sementara di alam semesta berwujud.Pembebasan diy akini menjadi satu-satunya tempat istirahat terakhir dan permanen bagi

jiwa, alam tanpa wujud y ang melampaui semua eksistensi.

Pada hari kedua, disana muncul Dewa tertinggi kedua di jajaran Buddhisme - pada

keny ataanny a, ia sebenarny a merupakan Pribadi Kedua dari Tritunggal Kudus di literal

Buddhisme Pada saat y ang sama, disana muncul cahaya berasap dari neraka; dan di sini

kita perhatikan bahwa, seperti surga Buddhisme bukanlah alam permanen, kekal,

tdemikian juga dengan nerakany a. Bahkan jiwa-jiwa y ang paling celakapun akhirnya

mereka akan keluar bahkan lubang terdalam dari neraka sekalipun, seperti jiwa tertinggi

dan paling murnipun akhirny a akan kehilangan pijakan mereka di surga dan turun lagi ke

dalam siklus kematian dan kelahiran kembali. Pembebasan adalah satu-satuny a jalan

keluar.

Sekali lagi, jika jiwa merespon "cahay a putih menyilaukan" Allah kedua dengan sukacita

hati y ang murni, dengan demikian ia akan dibebaskan ; tetapi jika ia secara khusus

bereaksi dengan KEMARAHAN dari setelah terlibat dalam perwakilannya di Bumi ini, ia

akan mundur dari cahay a dalam ketakutan dan ditarik ke dalam neraka.

Pola ini diulang pada hari ketiga; kali ini adalah kesalahan jika egoisme yang akan

meny ebabkan jiwa untuk bereaksi terhadap Allah dengan rasa takut, dan dia akan ditarik

ke dunia manusia, di mana inkarnasi berikutnya akan terjadi. Pada hari keempat baru

muncul Allah dari Hidup Kekal; jika jiwa memiliki reaksi negatif kepadanya karena kikir

dan melekat, dia akan ditarik ke arah kelahiran kembali di Preta-Loka, sebuah dunia "hantu

lapar" y ang memiliki perut besar dan tenggorokan dengan ukuran lubang kecil, dan

sehingga mereka berkelana dalam keadaan konstan akan keinginan rakus yang tak

terpuaskan.

Pada hari kelima datang Allah dalam bentuk Penakluk y ang Mahakuasa; kali ini

keemburuan y ang akan menggeser jiwa, dan dia akan terlahir kealam Asura-Loka,sebuah

dunia y ang terdiri dari prajurit-dewa (atau setan) y ang ganas. Pada hari keenam semua

dewa kembali dan muncul bersama-sama, bersama dengan cahay a dari semua keenam

Lokas. Pada hari ketujuh muncul Dewa Pemegang Pengetahuan, y ang lebih galak dan

bertampang Iblis daripada y ang sebelumny a telah muncul; dan pada keny ataannya

mereka adalah semacam elemen transisi ke tahap berikutny a dari Bardo kedua, di mana

jiwa bertemu dengan para dewa murka.Sementara itu, jika karena kebodohan jiwa tidak dapat menghadapi Dewa, Pemeganga

Pengetahuan ia akan ditarik ke arah Brute-Loka - y aitu, ia akan terlahir kembali di bumi

sebagai seekor binatang.

Pada minggu kedua Bardo kedua, jiwa bertemu dengan tujuh legiun Dewa: murka y ang

mengerikan, setan menakutkan yang menjulurkan dengan api dan pedang kepadanya,

meminum darah dari tengkorak manusia, mengancam untuk melampiaskan penyiksaan

kejam kepadany a, untuk melukai, mengeluarkan isi perut, memenggal dan

membunuhny a.Tentu saja kecenderungan alami, ,bagi jiwa adalah mencoba untuk

melarikan diri dari makhluk-makhluk ini dalam ketakutan, teriakan, dan teror tetapi ketika

dia melakukanny a, semuany a akan hilang.

Petunjuk dari Bardo pada tahapan ini bagi jiwa adalah untuk tidak takut,melainkan untuk

mengenali bahwa Dewa murka sebenarny a adalah merupakan Dewa damai y ang

meny amar, sisi gelap mereka mengejawantah sebagai akibat dari karma buruknya

sendiri. Jiwa disuruh agar tenang dalam menghadapi setiap setan dan memvisualisasikan

sebagai dewa itu sebagai dewa y ang sebenarny a, atau y ang lain sebagai dewa pengawas

itu sendiri; jika ia dapat melakukan hal ini, ia akan bergabung dengan makhluk dewa ini

dan mencapai tingkat Pembebasan y ang kedua ,aspek y ang lebih rendah daripada itu

adalah sekarang menjadi y ang terbaik yang bisa diharapkan pada Bardo kedua.

Selanjutny a, ia diberitahukan untuk membangkitkan fakta bahwa semua makhluk y ang

menakutkan ini adalah tidak ny ata, tetapi hany a ilusi yang berasal dari pikiranny a sendiri.

Jika ia bisa meny adari hal ini, mereka akan leny ap dan dia akan dibebaskan. Jika ia tidak

bisa, ia akhirny a akan mengembara sampai ke Bardo ketiga.

Bardo Ketiga

Dalam Bardo ketiga jiwa bertemu dengan Dewa Kematian, sesosok dewa setan

menakutkan y ang muncul dalam asap dan api, dan mengenakan jiwa pada sebuah

Penghakiman Jika orang y ang meninggal protes bahwa ia tidak pernah melakukan

perbuatan y ang jahat, Dewa Kematian memegang dihadapanny a Cermin Karma,

"dimana setiap tindakan y ang baik dan jahat jelas tercermin." Sekarang setan mendekati

dan mulai menimbulkan siksaan dan hukuman atas jiwa untukperbuatan jahatny a.
Petunjuk di Bardo Thodol baginy a adalah untuk berusaha mengenali bahwa semua

makhluk ini adalah kosong, termasuk Dewa Kematianny a sendiri; orang yang meninggal

diceritakan bahwa seluruh adegan ini berlangsung di sekelilingny a adalah proy eksi dari

pikiranny a sendiri. Bahkan di sini ia dapat mencapai pembebasan dengan mengakui akan

hal ni.

Jiwa y ang masih belum dibebaskan setelah penghakiman sekarang akan ditarik tanpa

belas kasihan terhadap kelahiran kembali. Cahaya dari enam Lokas akan meny ingsing

lagi; menjadi salah satu dunia dimana jiwa harus dilahirkan, dan cahay a dari seseorang

dimana dia ditakdirkan akan bersinar lebih terang dari y ang lain.

Jiwa masih mengalami penampakan menakutkan dan penderitaan dari Bardo ketiga, dan

ia merasa bahwa ia akan melakukan apa saja untuk melarikan diri dari kondisi ini. Dia

akan mencari perlindungan dalam apa y ang tampakny a gua atau tempat persembunyian,

tetapi y ang sebenarny a pintu masuk kedalam rahim. Dia diperingatkan akan hal ini dari

teks Bardo Thodol, dan mendesak untuk tidak masuk pada tempat tersebut, tetapi dengan

hany a merenungkan pada Cahaya bening untuk itu masih mungkin baginy a untuk

mencapai derajat ketiga pembebasan dan menghindari kelahiran kembali.

Akhirny a ada suatu titik di mana tidak mungkin lagi untuk mencapai pembebasan, dan

setelah hal ini jiwa diberikan petunjuk tentang cara untuk memilih rahim terbaik bagi

inkarnasi y ang menguntungkan. Metode dasar adalah non-attachment: (tidak melekat)

Dan mencoba untuk naik keatas dari kedua atraksi baik bagi kesenangan duniawi maupun

penolakan dari keburukan duniawi.

Akhir dari Bardo Thodol adalah:

"Biarlah kebajikan dan kebaikan akan disempurnakan dalam segala hal."