Rabu, 10 Januari 2024
jelang kematian
By tewasx.blogspot.com at Januari 10, 2024
jelang kematian
Elisabeth Kuebler-Ross (EKB: 1926-2004) adalah seorang ahli psikiatri Swiss yang
kemudian pindah ke Amerika Serikat kerna alasan pernikahan. Pada tahun 1969, ia
menulis buku On Death and Dying yang langsung melambungkan namanya: ia
dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (DR. Honoris Causa) oleh 20 universitas di
pelbagai negara, bukunya laris sebagai salah satu Top Best-Seller abad ke-20 dan
telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis
dari Thanatology (ilmu tentang kematian).
Minat EKB atas masalah “sengsara, sekarat & maut” timbul saat sebagai
mahasiswi kedokteran Zurich ia bekerja sebagai relawati di Polandia guna membantu
para korban PD II, khususnya mereka yang menderita cacat, sakit dan di ambang
maut. Saat itu, ia sempat mengunjungi bekas kamp konsentrasi di kota Maidanek
dan terkejut karena melihat ada banyak gambar kupu-kupu yang dipahat di dinding
oleh anak-anak yang menghuni kamp itu saat mereka menunggu moment kematian:
“It was incomprehensible to me. Thousands of children going into the gas
chamber, and it is the message that they leave behind – a butterfly. That was
really the begnning.” (M Holland:1). Kupu-kupu adalah simbol kolektif dari harapan
akan “life after life,” artinya kehidupan yang bisa bangkit dari ancaman suatu krisis
eksistensial. Dan krisis hidup yang paling besar dan universal bagi manusia adalah
kematian. Sejak saat itu, EKB mencurahkan perhatiannya pada arus pertanyaan
reflektif berikut: Apa yang dialami dan dirasakan orang pada saat ia ada di ambang
kematian? Kemelut dan konflik batin apakah yang berkecamuk dalam jiwanya? Kekuatan apakah yang mampu membuat mereka bertahan dan bahkan berdamai
dengan nasib yang tragis itu?
Pada saat EKB bekerja di antara “dying patients” di RS Akademis Universitas
Chicago, khususnya di antara para penderita penyakit (kanker) terminal, ia mengamati
adanya gap emosional yang dalam di antara orang sehat & sakit, pihak yang akan
meninggal dan yang akan ditinggalkan, entah mereka itu para perawat atau pun para
kerabat dan sahabat pasien tersebut. Pasien merasa sepi, terlantar, tersingkir sendiri;
sebaliknya, para kerabat dan sahabat merasa takut, sedih dan bingung: takut akan
bayangan kematiannya sendiri, sedih kerna kondisi pasen yang parah dan nyeri,
bingung kerna tak tahu apa yang harus dikatakan dan tak berdaya membantu apa
pun. Buku On Death and Dying ditulis untuk menjembatani gap emosional itu hingga
ada saling pengertian dan penerimaan yang lebih baik di antara orang yang akan
meninggal dan ditinggal. Buku itu ditulis dari perspektif pasien: “We have asked the
patient to be our teacher so that we may learn more about the final stages of
life with all its anxieties, fears and hope.” (EKB: xi).
Kematian adalah suatu proses yang bisa berlangsung relatif singkat atau lama.
Para pasien yang diamati EKB dengan intensif adalah sekitar 200 orang pasien terminal,
umumnya penderita kanker, yang tinggal di rumah sakit. Jadi mereka mendapat
perawatan medis dan psikologis (konseling), serta mempunyai waktu yang relatif
lama (sekitar 6 bulanan atau kurang) untuk menyiapkan diri menempuh saat-saat akhir
hidupnya, setelah mereka diberitahu tim medis bahwa kondisinya sudah kritis. Menurut
EKB, proses kematian itu memperlihatkan tanda-tanda psikosomatis & tahaptahap emosional (psikologis) tertentu.
B.Tanda-Tanda Psikosomatis Kematian
Kematian adalah proses psiko-somatis yang melibatkan seluruh jiwa & raga pasien.
Kerna itu terdapat tanda-tanda psikis dan somatis yang menunjukkan bahwa moment
kematian itu telah makin mendekat. Berikut kita lihat beberapa dari antaranya Sekitar dua minggu menjelang kematian, pasien bisa memperlihatkan tandatanda psikis berupa disorientasi mental: kekacauan dan kekeliruan dalam daya
pemikiran, perasaan dan pengamatannya. Ia bisa mengalami tiga gejala berikut: ilusi,
halusinasi dan delusi (AB, signs: 5). Ketiga gejala itu timbul kerna kondisi mental
pasien yang makin menurun hingga ia kerap berada dalam kondisi setengah sadar,
seakan-akan setengah bermimpi. Ilusi adalah kesalahan dalam membaca/mentafsirkan
kesan atau stimulus indrawi eksternal. Misalnya: bunyi angin dipersepsi sebagai
suara orang menangis, harum parfum sebagai bau mayat, rasa gatal sebagai adanya
serangga di balik selimut, ada cacing kecil dalam gelas susu etc. Dalam kehidupan
normal, kita juga bisa mengalami ilusi indrawi semacam itu, namun pada umumnya
kita bisa segera melakukan koreksi atasnya. Dalam diri pasien yang terminal,
kemampuan untuk mengkoreksi-diri itu telah menurun/menghilang hingga ilusi itu bisa
sungguh terasa sebagai real.
Lain dari ilusi yang terjadi kerna stimulus indrawi eksternal, halusinasi adalah
produk internal imaginasi kita sendiri. Contoh dari bayangan/gambaran (image)
yang halusioner adalah gambaran-gambaran yang muncul saat kita bermimpi atau
berada dalam pengaruh narkoba. Mungkin kerna pengaruh obat penenang dan
kegalauan emosional yang dirasakannya, pasien sering nampak mendapat halusinasi
tertentu: ia seakan-akan melihat atau berbicara dengan orang-orang tertentu yang
tidak ada di sekitarnya, termasuk juga berbicara/melihat orang-orang yang sudah
meninggal dunia. Beberapa orang yang menganut faham spiritisme (komunikasi
dengan roh) mentafsirkan gejala ini sebagai tersibaknya selubung antara alam fana
dengan alam baka: “Some may see this as the veil being lifted between this life
and the next life.” (Idem). Persepsi halusioner ini bisa terungkap secara fisik juga:
pasien menjadi tegang dan gelisah (agitasi), ia menggerak-gerakan anggota badannya
secara kacau tak menentu, seakan-akan seperti hendak mengusir, menghindar atau
menjangkau sesuatu; atau ia terengah-engah mencengkram ujung seprai atau
selimutnya erat-erat etc.
Lain dari halusinasi yang merupakan produk imaginasi, delusi adalah produk dari
“wrong thinking” (false belief). Pasien bisa mendadak mempunyai “fixed ideas”
bahwa ia sudah sembuh, lalu berusaha turun dari ranjang dan menolak segala bantuan
medis; atau ia merasa ada konspirasi tersembunyi untuk meracuninya, bukan
mengobatinya; atau ia akan sembuh bila pergi ke tempat/orang/obat keramat tertentu
padahal kondisinya jelas tidak memungkinkan. Ringkasnya, pikiran dan perbuatannya
bisa nampak irasional. etc.
Selain tanda-tanda psikis di atas terdapat juga tanda-tanda somatis yang
menunjukkan bahwa saat ajal itu sudah semakin mendekat. Kita deretkan saja
beberapa di antaranya: kulit kebiruan dan pucat, mulai dari ujung jari, kaki dan bibir
lalu menjalar ke bagian tubuh yang lain // Denyut nadi tidak teratur dan lemah // Nafas
berbunyi keras dan kerap ngorok // Penglihatan dan pendengaran mulai kabur. “It is
believed that hearing is the last sense to go, so it is recommended that loved
ones sit with and talk kindly to the dying during this time.” (Signs: 6). //
Hilangnya kesadaran diri // “Eventually, breathing will cease altogether and the
heart stops. Death has occurred.” (Idem).
C.Lima Tahapan Menjelang Kematian
EKB mengamati bahwa kematian adalah suatu proses. Dalam proses itu, pasien
cenderung mengalami lima tahap pergolakan emosional tertentu, yang disingkat
menjadi DABDA: Denial, Anger, Bargaining, Depression, Acceptance. Perlu
diingat bahwa kelima tahap itu bukanlah suatu proses kronologis yang progresif kerna
bisa terjadi kasus “overlapping” (berada di dua tahap sekaligus) atau “progresi dan
regresi” (maju dan mundur) atau stagnasi (jalan di tempat). Namun bila dirawat dan
dipersiapkan dengan baik, pasien bisa mengarungi kelimanya hingga akhirnya
menghembuskan nafasnya dengan tenang (acceptance).
Tahap Pertama: Shock & Denial (Kaget & Penyangkalan)
Setiap orang tahu bahwa kematian adalah fakta yang pasti akan menimpa dirinya di
masa depan. Namun moment datangnya kematian itu terasa misterius: tiada
kepastian kapan ia datang. Akibatnya, orang cenderung menganggap kematian sebagai
“impossible possiblity: possible for others, impossible for me.” Itu sebabnya
reaksi spontan pertama orang atas informasi tentang ancaman kematiannya adalah
rasa kaget, tak percaya dan penyangkalan: “No, not me, it can not be true! I don’t
believe it!” Pasien lalu berusaha untuk membuktikan kesalahan informasi medis itu
dengan mencari diagnosis alternatif atau hiburan & dukungan dari orang lain atas
pendapatnya pribadi itu. Secara psikologis, penolakan itu berfungsi sebagai benteng
emosional atau “defence mechanism” agar pasien tidak langsung ambruk mentalnya
oleh tekanan kabar buruk atas nasibnya. Dengan kata lain, penolakan itu memberi
waktu & energi bagi pasien untuk terus berjuang menyelamatkan hidupnya;
sekurangnya, untuk tidak kehilangan semangat hidupnya.
Tahap Kedua: Anger (Marah)
Bila usaha mencari diagnosis alternatif dan dukungan itu gagal, - dan de facto
kondisinya makin memburuk - , pasien masuk dalam tahap emosional yang kedua,
yakni rasa marah, jengkel dan iri (resentment: buruk rasa & sangka) atas nasib baik
kesehatan orang lain. Pasien cenderung berkata (dalam hati): “Why me? It is not
fair! How can this happen to me? Who is to blame?” Dalam tahap ini,
“substitution mechanism” (mencari kambing hitam/kesalahan orang lain) bekerja
kuat dalam jiwa pasien. Artinya, sebetulnya pasien itu marah dan berontak terhadap
nasib malangnya sendiri, namun ia lalu mengalihkan dan melampiaskan emosi negatif
itu terhadap orang lain yang berada di sekitarnya: kepada tim medis, keluarga, kenalan
dan bahkan kepada Tuhan. Ketika ditanya apakah pantas bila orang itu marah-marah
kepada Tuhan, meragukan keberadaan & kebaikanNya, EKB menjawab: “I would help
him to express his anger toward God because God is certainly great enough
to be able to accept it.” (Q&A: 24). Bila orang yang merawatnya bisa tetap bersikap
tenang, penuh perhatian, tidak terprovokasi untuk beradu argumentasi saling
menyalahkan dan balik bersikap negatif, pasien bisa meninggalkan sikap agresifnya ini
dan beralih ke tahap selanjutnya
Tahap Ketiga: Bargaining (Barter/Tawar-Menawar)
Dalam tahap ketiga ini pasien mulai bisa mengerti dan menerima fakta bahwa ia
akan segera mati, namun ia masih berusaha untuk menunda waktu atau
memperpanjang usia hidupnya: ‘Psychologically, the individual is saying, “I
understand that I will die, but if I could just have more time …”.’ (Mod:2)
Permohonan perpanjangan waktu itu umumnya diajukan kepada Tuhan yang dipercayai
sebagai penguasa hidup & mati (untuk orang sekuler: Higher Power/Fortuna).
Permohonan semacam itu biasanya didorong oleh rasa salah (guilt) atas pola hidup di
masa lalu dan rasa sesal (regret) kerna belum melaksanakan rencana tertentu: belum
merampungkan karya tulis atau gelar akademis tertentu, belum ke tanah suci, belum
sukses menyekolahkan anak ke tingkat sarjana atau melihat cucu pertama etc. Oleh
karena itu, permohonan perpanjangan usia itu biasanya dibarengi dengan
janji/sumpah tertentu: janji untuk memperbaiki diri (bertobat) dan untuk berbuat
lebih banyak amal kasih bagi sesama sebagai ungkapan rasa syukur & trimakasih pada
Yang Mahakuasa. Ringkasnya, pasien berusaha melakukan tawar-menawar dengan
Tuhan. Pola pikirnya dipengaruhi “infantile mechanism” (pikiran kekanak-kanakan),
yakni do ut des (doing A for getting B): saya melakukan sesuatu yang terpujim agar
bisa mendapat hadiah/imbalan yang sesuai dengan kehendak saya (NB: pola pikir
dewasa lebih menekankan unsur do ketimbang des-nya
Tahap Keempat: Depression (Sedih & Murung)
Bila usaha barter di atas gagal kerna kondisinya ternyata tidak membaik, pasien
bisa jatuh dalam depressi: suasana sedih dan murung yang mencengkam: “I am so
sad, why bother with anything? I’m going to die, why go on? “ Pasien mulai
bersikap pasif dan apatis: ia lebih banyak diam, kurang kooperatif, menolak tamu
atau bantuan medis, kerap menangis meratapi nasibnya. EKB membedakan dua jenis
depressi, yakni reactive dan preparatory: “The Reactive depression is directed to
the past, preparatory depression is concerned with the future.” Depressi
reaktif adalah rasa salah dan sedih atas segala hal yang sudah/dan atau belum
dilakukan di masa lalu. Pasien seperti dibebani oleh pelbagai persoalan yang belum
selesai dari masa lalunya. Depressi preparatif adalah antisipasi pasien akan saat
ajalnya yang makin mendekat: ia makin sadar bahwa ia harus meninggalkan segala
barang dan orang yang ia cintai. Rasa dan sikap apatis yang diperlihatkanpasien adalah
suatu “decathexis mechanism,” (melakukan diskoneksi): “This mechanism allows
the dying person to disconnect oneself from things of love and affection.”
(Ibid). Ringkasnya, pasien mulai berduka dan berkabung atas resiko perpisahan
yang akan segera dialaminya.
Tahap Kelima: Acceptance (Penerimaan)
Pada tahap ini, pasien mulai bisa berdamai dengan fakta kematiannya: “Que
sera, sera. Whatever will be, will be. I can’t fight it, I may as well prepare for
it.” Penerimaan ini bukanlah berarti menyambut kematian sebagai kabar gembira
melainkan sebagai fakta yang tak terpisahkan dari hidup: pasien bisa bersikap realistik
sesuai dengan realita hidup yang memang mengandung maut, tanpa disertai rasa
marah dan depressi lagi: “This is who I am as a finite being, this is my whole
life.” Ringkasnya, bila depressi preparatif di atas adalah suatu proses perpisahan
(letting go) dengan orang-orang tercinta di sekitarnya, maka tahap penerimaan
adalah proses perpisahan dengan diri sendiri (letting go of oneself). Orang yang
beriman bisa melengkapi sikap penerimaan kematian ini dengan sikap pengharapan.
Menurut Gabriel Marcel, pengharapan itu bukanlah suatu sikap kognitif, artinya
tidak disertai dengan pengetahuan yang pasti tentang apa yang akan terjadi (Hope
does not claim to know the future). Harapan adalah perasaan bahwa masa depan
itu bisa mengandung kemungkinan-baik yang tidak terpikirkan oleh kita dan tidak
kita tentukan sendiri tapi oleh yang lain, khususnya oleh Tuhan (Hope is the will
when it is made to bear on what does not depend on itself.”) [M:21]
EKB meneliti proses kematian dari para pasien yang mengalami “natural death”
akibat usia tua dan penyakit terminal. Akibatnya, uraiannya mungkin tidak seluruhnya
berlaku bagi orang yang mengalami “violent death,” yakni para korban yang mati
mendadak sebagai korban kejahatan, kecelakaan atau serangan fatal seketika
penyakit tertentu. Tambahan lagi, para pasien yang diamati EKB itu mendapat
perawatan medis dan bimbingan psiko-spiritual saat menempuh perjalanan akhir
hidupnya. Mungkin tidak setiap orang bisa mendapoat fasilitas dan keberuntungan
semacam itu. Kendati demikian, uraian EKB trentang tanda & tahap kematian itu
tetaplah berguna sebagai bahan refleksi pribadi kita dan panduan bagi interaksi kita
dengan orang-orang yang berada di ambang maut, agar merejka bisa meninggakl
dengan tenang dan bermartabat.
EKB juga menandaskan bahwa kelima tahap itu berlaku dan berguna bukan saja
bagi orang yang dihadang oleh krisis kematian, melankan juga bagi memahami
setiap krisis kehidupan yang dialami manusia pada umumnya. Krisis adalah “lifechanging events,” saat dan peristiwa yang membawa perubahan yang besar dalam
cara hidup kita, misalnya: cacat, lumpuh, perceraian, patah hati, drop-out, PHK,
bankrut, menopause, pensiun dan pikun etc. Dinamika bertahap yang serupa, dengan
intensitas yang berbeda, mungkin bisa terjadi saat kita mencoba untuk bangkit dari
aneka krisis semacam itu.
Masa 1
lanjut usia (lansia) atau menua merupakan tahap paling akhir dari siklus
kehidupan seseorang. WHO (2009) menyatakan masa lanjut usia menjadi empat
golongan, yaitu usia pertengahan (middle
age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan
usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
Menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009)
lanjut usia (getriatric age) dibagi menjadi 3
batasan umur, yaitu young old (usia 70-75
tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old
(usia > 80 tahun). Berdasarkan berbagai
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
berbagai kemampuan yang pernah mereka
miliki dan mengalami beberapa perubahan
fisik seperti memutihnya rambut, munculnya kerutan di wajah, berkurangnya
ketajaman penglihatan dan daya ingat yang
menurun, serta beberapa masalah kesehatan
fisik lainnya (Wong, 2008). Lansia juga
kerap mengalami masalah sosial, berupa
keterasingan dari masyarakat karena
penurunan fungsi fisik yang dialami,
misalnya berkurangnya kepekaan pendengaran, maupun cara bicara yang kadang
sudah tidak dapat dimengerti. Para lansia
juga menghadapi masalah psikologis, yaitu
munculnya kecemasan dalam menghadapi
kematian pada lanjut usia (Azizah, 2011).
Kehilangan kehidupan atau kematian
merupakan penghentian secara permanen
semua fungsi tubuh yang vital atau akhir
dari kehidupan manusia (Stanley & Beare,
2007). Peningkatan kesadaran mengenai
kematian timbul saat individu beranjak tua,
yang biasanya meningkat pada masa
dewasa menengah, yang menandakan
bahwa usia paruh baya merupakan saat
orang dewasa mulai berpikir lebih jauh
mengenai berapa waktu yang tersisa dalam
hidup mereka (Irfani, 2008).
Rasa cemas terhadap kematian dapat
disebabkan oleh kematian itu sendiri dan
apa yang akan terjadi sesudah kematian,
sanak dan keluarga yang ditinggalkan, atau
merasa bahwa tempat yang akan
dikunjungi setelah kematian sangat buruk
(Hidayat, 2006). Kecemasan dalam menghadapi kematian akan semakin membuat
para lansia tidak siap dalam menghadapi
kematian. Kesiapan merupakan keseluruhan kondisi yang membuat seseorang
siap untuk memberi respon terhadap suatu
situasi (Slameto, 2010). Keadaan lansia yang
telah siap untuk menghadapi dan menerima
kematian tidak menimbulkan penyesalan
maupun ketakutan apapun ketika kematian
terjadi. Namun, lansia memiliki persepsi
yang berbeda-beda ketika menghadapi
kematian (Harapan, Sabrian, Utomo, 2014).
Kesiapan lansia saat menjelang kematian
dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu
aspek psikologis, sosial, fisik dan spiritual
(Meiner, 2006).
Spiritual merupakan aspek yang di
dalamnya mencakup aspek-aspek yang lain,
yaitu fisik, psikologi dan sosial. Spiritualitas
merupakan hubungan yang memiliki dua
dimensi, yaitu antara dirinya, orang lain
dan lingkungannya, serta dirinya dengan
Tuhannya (Hamid, 2009). Spiritualitas
merupakan hubungan yang memiliki
dimensi-dimensi yang berupaya menjaga
keharmonisan dan keselarasan dengan
dunia luar, menghadapi stres emosional,
penyakit fisik dan kematian (Hamid, 2009).
Spiritualitas lansia yang sehat dapat membantu lansia dalam menjalani kehidupan
dan mempersiapkan dirinya dalam
menghadapi kematian.
Istilah lain yang terkait erat dengan
fenomena di atas adalah kondisi sehat.
Definisi sehat adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental atau psikis, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomi (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2016). Secara khusus, kesehatan
spiritualitas adalah kemampuan seseorang
dalam menjaga keharmonisannya dalam
hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain, alam dan Tuhannya.
Kesehatan spiritual yang terbangun
dengan baik membantu lansia menghadapi
kenyataan, berpartisipasi dalam hidup,
merasa memiliki harga diri dan menerima
kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindari (Potter & Perry, 2009). Faktor
yang memengaruhi kesehatan spiritual
seseorang adalah pertimbangan tahap
perkembangan, keluarga, latar belakang
etnik dan budaya, agama dan pengalaman
hidup sebelumnya (Taylor, Lillis, LeMone P
& Lynn, 2011).
Berdasarkan hasil wawancara awal
yang dilakukan di Panti Wredha Salib Putih
Salatiga, para lansia di panti tersebut
memiliki kegiatan kerohanian, berupa
ibadah sebanyak empat kali dalam
seminggu, meskipun demikian beberapa
lansia menyatakan perasaan takutnya jika
meninggal kepada pengurus panti dan
terlihat tidak mau berkumpul bersama para
lansia yang lain. Di samping itu, peneliti
juga melakukan pengamatan pendahuluan
di Dusun Dukuh, Getasan, Kabupaten
Semarang. Dusun tersebut sudah memiliki
satu mushola dan satu gereja sehingga
lansia di Dusun Dukuh pun memiliki
kegiatan kerohanian. Para lansia yang
beragama Islam biasanya ikut dalam
kegiatan ibadah Jumat serta pengajian atau
yasinan yang ada di dusun tersebut.
Sekalipun demikian, terdapat lansia yang
menyatakan belum siap jika “dipanggil”
Tuhan, karena perasaan takut jika
meninggalkan keluarganya. Berdasarkan
fenomena tersebut maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Kesehatan spiritualitas lansia dan kesiapan
lansia dalam menghadapi kematian”.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan kesehatan spiritual dan
kesiapan lansia dalam menghadapi kematian, baik lansia yang berada di Panti
Wredha Salib Putih Salatiga, maupun lansia
yang tinggal bersama keluarganya di Dusun
Dukuh, Getasan.
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan tipe pendekatan
fenomenologi deskriptif. Penelitian ini
menelusuri dan menggali data mengenai
arti dan makna pengalaman seseorang
secara individu (Wood & Haber, 2006).
Penelitian ini menggunakan desain studi
komparasi, yaitu mendeskripsikan perbedaan dan persamaan antara dua atau lebih
fakta atau sifat objek yang diteliti
(Sugiyono, 2012). Jumlah partisipan dalam
penelitian ini enam orang, yaitu tiga orang
yang tinggal di panti dan tiga orang yang
tinggal di rumah bersama dengan keluarganya. Karakteristik riset partisipan adalah
individu lanjut usia yang berusia 60 tahun
ke atas dan dapat berkomunikasi dengan
baik. Partisipan dipilih menggunakan
teknik purposive sampling yaitu dipilih sesuai
kebutuhan dan tujuan penelitian (Poerwadi,
2005).
Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam (in depth
interview), yaitu suatu cara mengumpulkan
data dengan maksud untuk menetapkan
gambaran lengkap tentang topik yang
diteliti dan mendalam (Moleong, 2007).
Dalam pelaksanaannya proses wawancara
menggunakan pedoman wawancara yang
terstruktur, artinya pedoman wawancara
sudah dipersiapkan sesuai dengan tujuan,
sehingga mempermudah jalannya wawancara. Setelah melalui tahap pengumpulan
data, data kualitatif yang diperoleh diolah
dengan melakukan reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan (Silalahi,
2009). Peneliti membuat transkrip verbatim
dengan mendengarkan kembali hasil
rekaman dan melengkapinya dengan field
note yang dibuat saat wawancara. Transkrip
verbatim dibaca kembali berulang-ulang
sambil mendengarkan hasil rekaman untuk
menentukan tingkat saturasi data. Selain
itu, peneliti menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik untuk mengecek
keabsahan data, yaitu membandingkan
hasil wawancara terhadap partisipan
sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data
(Moleong, 2007).
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, berikut adalah
enam kategori yang mendeskripsikan
kesehatan spiritualitas lansia, baik yang
tinggal di rumah maupun yang tinggal di
panti, serta kesiapannya dalam menghadapi
kematian, yaitu kategori makna hidup,
konsep agama dan ketuhanan, konsep sehat
sakit, interaksi sosial, kesehatan dan
spiritualitas, dan kematian.
Makna Hidup
Dalam penelitian ini, baik partisipan yang
tinggal di rumah maupun di panti,
menyatakan bahwa tujuan hidupnya adalah
untuk keluarga, seperti mendoakan anak
cucunya, mengharapkan hidup yang rukun
bersama anak dan cucunya, serta
mengharapkan hidup yang berkecukupan
bagi keluarganya. Di samping itu, sebagian
memaknai hidup mereka sebagai utusan
Sang Pencipta.
Bastaman (2007) mengungkapkan
bahwa makna hidup adalah sesuatu yang
dianggap paling benar, penting dan
berharga karena mampu memberikan nilai
tersendiri bagi seseorang dan dapat
dijadikan sebagai tujuan hidup. Ia juga
menambahkan bahwa seseorang yang
mencapai kebermaknaan hidup akan merasakan hidupnya penuh makna, berharga
dan memiliki tujuan mulia.
Menurut Rahmat (Setiyono, 2004)
makna hidup seseorang dapat ditemukan
salah satunya di dalam tanggung jawab dan
mampu menentukan apa yang akan
dilakukannya dan apa yang paling baik
bagi dirinya dan orang lain. Permatasari
(2004) juga mengingatkan bahwa keluarga
merupakan tempat pemenuhan kebutuhan
sosial, yaitu sumber kasih sayang serta rasa
mencintai dan dicintai. Hal tersebut
merupakan salah satu nilai hidup yang
menjadikan hidup bermakna, sehingga
keluarga mampu menimbulkan makna
hidup terhadap seseorang. Namun, bagi
semua umat beragama, Tuhan juga
merupakan sumber makna dalam hidup.
Menurut hasil kajian Musa As’ari (dalam
Asyafah, 2009) manusia memiliki amanat
dari Tuhan, hal ini kemudian ditanggapi
oleh lansia dan kemudian dijadikan makna
dalam hidupnya.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki hidup yang
bermakna dapat membuatnya menghayati
hidupnya dengan menunjukkan semangat
dan gairah hidup, serta menjauhkan mereka
dari perasaan hampa dan tidak berguna.
Hidup yang memiliki tujuan yang jelas akan
menjadikan seseorang terarah dan mengetahui apa yang akan hendak ia lakukan. Bila
tujuan hidup terpenuhi maka kehidupan
akan dirasa berguna dan bermakna, serta
menimbulkan perasaan bahagia dan
berharga.
Konsep Agama dan Ketuhanan
Semua partisipan yang tinggal di panti
maupun yang tinggal di rumah menyatakan
percaya kepada Tuhan. Kepercayaan ini
tidak hanya tergantung pada sistem keagamaan formal saja, karena ada partisipan
yang sekalipun tidak memeluk agama
apapun (secara formal), tetap meyakini
keberadaan Tuhan. Partisipan menanggapi
keberadaan Tuhan dengan sikap bersyukur
terhadap segala sesuatu yang sudah Tuhan
berikan, baik dalam susah dan senang,
sehingga syukur yang dipanjatkan menimbulkan rasa tenang dan senang dalam diri
mereka.
Kepercayaan dan keyakinan yang
dinyatakan partisipan didukung oleh
Fowler (1981, dalam Kozier, 2004) yang
menjelaskan bahwa keimanan dapat
dimiliki pada orang yang beragama
maupun yang tidak beragama. Dengan
selalu mengingat Tuhan dalam hidup akan
membuat seseorang merasa damai dan
tentram (Al-Isawi, 2005). Menurut hasil
penelitian yang dilakukan Isnaeni (2012)
lansia merasa bahagia walaupun hidup di
panti dikarenakan adanya aktivitas seharihari dan berdoa serta melakukan kegiatan
keagamaan, sehingga rasa syukur muncul
dan membawa ketenangan pada mereka.
Semua partisipan yang tinggal di panti
menyatakan dirinya rutin melaksanakan
ibadah. Semua lansia diwajibkan mengikuti
ibadah tersebut, salah satu lansia mengatakan mereka akan ditegur atau dimarahi
jika tidak mengikuti ibadah tersebut.
Partisipan yang tinggal di rumah menyatakan dirinya rutin beribadah di masjid dan
di gereja, serta rutin mengikuti perkumpulan keagamaan. Sedangkan satu partisipan yang lain menyatakan tidak memiliki
ritual ibadah seperti yang umum dilakukan
oleh orang yang beragama.
Lansia yang tinggal di panti maupun di
rumah berdoa kapan saja dan di mana saja.
Partisipan menyatakan segala harapan
mereka kepada Tuhan, serta mendoakan
keluarga dan orang-orang yang mereka
kasihi. Mereka juga mengatakan merasakan
adanya rasa damai setelah mereka berdoa.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Benson (2000) bahwa doa yang
dilakukan berulang-ulang (repetitive prayer)
akan membawa berbagai perubahan
fisiologis, seperti berkurangnya kecepatan
detak jantung, menurunnya kecepatan
nafas, menurunnya tekanan darah, melambatnya gelombang otak dan pengurangan
menyeluruh kecepatan metabolisme.
Kondisi ini disebut sebagai respon relaksasi
(relaxation response).
Interaksi Sosial
Hubungan dengan keluarga
Semua partisipan, baik yang tinggal di
rumah maupun di panti menyatakan
memiliki hubungan yang baik dengan
keluarganya. Mereka yang tinggal di rumah
merasa senang tinggal satu rumah bersama
dengan keluarganya, sedangkan mereka
yang di panti mengaku memiliki hubungan
yang baik dengan keluarga mereka walaupun keluarganya jarang datang menjenguk
ke panti.
Hubungan yang baik tersebut
menimbulkan perasaan senang pada lansia
serta membuat mereka merasa ada yang
mengurus dan memenuhi kebutuhan di
masa tua mereka. Konteks ini sejalan
dengan yang disebutkan oleh Bandiyah
(2013) bahwa peran keluarga bagi lansia
adalah menjaga dan merawat lansia,
memberikan motivasi, mengantisipasi perubahan ekonomi, serta mempertahankan
status mental dan memfasilitasi kebutuhan
spiritualitas lansia. Pemenuhan dukungan
keluarga (family support) secara emosional
menimbulkan perasaan yang bahagia pada
lansia (Boyles, 2008).
Bagi lansia yang tinggal di panti,
mereka tidak tinggal bersama keluarganya.
Namun, sebagaimana menurut Sarafino
(1998) dukungan atau bantuan yang
dibutuhkan lansia bisa diperoleh dari
berbagai sumber, sehingga lansia yang
tinggal di panti mendapatkan dukungan
dari sesama teman di panti, pengurus panti,
dokter maupun perawat yang ada di panti.
Hubungan dengan tetangga
Selain menjalin hubungan yang baik
dengan keluarga, semua partisipan yang
tinggal di rumah menyatakan memiliki
hubungan yang baik dengan tetangga
mereka. Sedangkan, bagi lansia yang
tinggal di panti tidak semua mengatakan
memiliki relasi dengan tetangga di sekitar
panti. Hal ini terjadi karena berbagai
keterbatasan lansia, seperti tidak tahu jalan
keluar panti karena lingkungan yang baru
ataupun karena keterbatasan fisik yang
susah untuk berjalan.
Bagi lansia yang tinggal di rumah,
memiliki relasi yang baik dengan tetangga
merupakan kekhasan masyarakat yang
tinggal di daerah pedesaan. Mereka
mengenal semua tetangganya dari yang
dekat sampai yang jauh. Gotong royong
pun masih sangat terasa, tetangga saling
tolong-menolong satu sama lain. Hal ini
sama dengan yang dikemukakan Darmojo
(2004) bahwa di daerah pedesaan pergaulan
antara lansia dilakukan secara teratur,
mereka lebih sering mengunjungi atau
dikunjungi, sedangkan di daerah perkotaan
kegiatan ini jarang dilakukan.
Keseharian lansia yang dilakukan di
dalam panti dan kebutuhan lansia yang
telah disediakan di panti membuat lansia
tidak perlu keluar panti untuk mencari
kebutuhan mereka. Selain itu, keterbatasan
fisik mereka juga menghambat mereka
untuk berinteraksi dengan lingkungan luar.
Menurut Fitria (2010) derajat kesehatan dan
kemampuan fisik yang menurun akan
mengakibatkan lansia secara perlahan
menarik diri dari hubungan dengan
masyarakat sekitar.
Hubungan dengan sesama teman di panti
Dalam berhubungan dengan sesama teman
di panti, ada partisipan yang menyatakan
memiliki hubungan yang baik, ada juga
yang mengatakan tidak, bahkan ada yang
menyatakan dirinya selalu merasa jengkel
dengan orang-orang di panti. Konteks ini
sangat terkait dengan proses penyesuaian
diri. Dalam proses penyesuaian diri sebagai
akibat perpindahan tempat tinggal dari
rumah ke panti memanglah tidak mudah.
Tidak jarang situasi seperti itu akan
menyebabkan munculnya masalah dalam
hubungan interpersonal, seperti konflik.
Subekti (dalam Jafar, 2011) menyatakan
bahwa masalah yang dirasakan lansia dapat
berupa konflik dengan orang lain, tidak
menyukai perilaku lansia lain, atau merasa
dimusuhi orang. Konflik tersebut dapat
menyebabkan tidak terjalinnya hubungan
yang baik antar sesama lansia di panti. Hal
ini didukung oleh hasil penelitian yang
telah dilakukan Marwanti (1997) mengenai
kondisi kehidupan lanjut usia di Panti
Wredha Karitas dan Nazaret Bandung,
bahwa hubungan sosial yang terjalin di
panti kurang baik. Salah satu faktor yang
memengaruhi adalah latar belakang lansia
yang beragam, sehingga dalam konteks ini
dibutuhkan juga dukungan keluarga atau
orang terdekat untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Meskipun demikian,
secara ideal, menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Setiti (2007) kebutuhan
sosial merupakan kebutuhan lansia yang
dapat memengaruhi emosional lansia. Setiti
menjelaskan bahwa lansia membutuhkan
orang-orang dalam berinteraksi secara
sosial. Mereka membutuhkan teman bicara,
sering dikunjungi dan disapa serta
silaturahmi dari keluarga dekat.
Konsep Sehat Sakit
Pengertian sehat sakit
Semua partisipan, baik yang tinggal di panti
maupun di rumah mengartikan bahwa
sehat adalah keadaan dimana badan atau
fisik mereka tidak merasakan sakit atau
tidak merasakan adanya gangguan.
Demikian juga dengan sakit, mereka
mengartikan sakit adalah keadaan dimana
tubuh mengalami perubahan, seperti tidak
nafsu makan, tidur terus dan tidak bisa
melakukan aktivitas atau bekerja.
Pemahaman mengenai sehat dan sakit
yang dimiliki lansia masih sangat terbatas.
Sehat dipandang sebagai keadaan tubuh
yang kuat dan tidak lemah, sedangkan sakit
dipandang sebagai keadaan yang tidak
enak yang dirasakan tubuh. Hal ini sama
dengan yang dinyatakan Solita (2007)
bahwa sakit adalah konsep psikologis yang
menunjuk pada perasaan, persepsi, atau
pengalaman subjektif seseorang tentang
ketidaksehatannya atau keadaan tubuh
yang dirasa tidak enak.
Penurunan fungsi fisik
Semua lansia yang tinggal di panti maupun
di rumah menyatakan mengalami kemunduran fisik, misalnya dalam hal kualitas
penglihatan. Namun partisipan tetap
bersyukur dan menerima keadaan fisik
yang seperti itu. Hal ini sama dengan yang
dinyatakan Nugroho (2008) bahwa seseorang yang memasuki usia tua akan mengalami kemunduran fungsi fisik, misalnya
pendengaran dan penglihatan yang kurang
jelas, gerakan lambat dan postur tubuh
yang tidak proporsional. Respon yang
dialami lansia juga berbeda-beda. Beberapa
tidak menerima kenyataan penuaan namun,
sebagian besar mereka menerima fungsi
fisik yang menurun pada dirinya.
Kesejahteraan dan Spiritualitas
Semua partisipan dalam penelitian ini, baik
yang tinggal di panti maupun di rumah
menyatakan mereka mengetahui arti mengasihi. Mereka memahami kasih sebagai
tindakan yang dilakukan walaupun orang
lain tidak berbalik mengasihi mereka. Sikap
lansia tersebut, menggambarkan adanya
spiritualitas yang baik. Hal ini sama dengan
yang diungkapkan oleh Tischler (2002)
yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang
berhubungan dengan perilaku dari seorang
individu, menjadi seorang yang spiritual
berarti menjadi seorang yang terbuka,
memberi, dan penuh kasih.
Westburg (2003) mengingatkan bahwa
harapan adalah salah satu sumber psikososial yang digunakan orang dewasa untuk
mengatasi kesulitan hidup. Partisipan
dalam penelitian ini, baik yang tinggal di
rumah maupun di panti memiliki harapan
yang berbeda-beda di masa tuanya. Lansia
yang tinggal di panti menginginkan anaknya datang menjemputnya pulang, sedangkan lansia yang tingal di rumah mengharapkan memiliki hidup sejahtera bersama
keluarganya.
Berdasarkan kondisi di atas, dapat
dikatakan bahwa lansia memiliki harapan
untuk bisa hidup bersama keluarganya,
mendapatkan cinta dan kasih dari keluarga
untuk menghadapi kesulitan hidup di masa
akhir kehidupannya. Hal ini sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Duggleby, Hicks,
Nekolaichuk, Holtslander, Williams,
Chambers, Eby (2012) bahwa seseorang
memiliki harapan yaitu hidup bersama
keluarga dengan nyaman dan damai.
Kematian
Pengertian mengenai kematian
Partisipan dalam penelitian ini baik yang
tinggal di rumah maupun di panti, ada
yang mengatakan bahwa kematian adalah
sesuatu yang tidak bisa ditolak, ada yang
mengatakan kematian itu terpisahnya jiwa
dari raga, serta ada juga yang menyatakan
kematian adalah jalan untuk ke surga.
Pemahaman tersebut sejalan dengan yang
diungkapkan Chusairi (dalam Wijaya dan
Safitri, 2015) bahwa kematian dipandang
sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan
dapat terjadi kapan saja, sehingga dapat
menimbulkan kecemasan pada seseorang.
Selain itu, pernyataan bahwa kematian
diyakini sebagai cara untuk dekat dan
bertemu Tuhan dan orang-orang yang
dikasihi yang telah meninggal sebelumnya
juga diungkapkan oleh Ross dan Pollio
(dalam Belsky, 1997). Menurut Adelina
(2007) pandangan lansia tentang kematian
memengaruhi kesiapan lansia dan
menghadapi kematian. Lansia yang memiliki iman dan kesadaran bahwa kematian
akan membawa mereka kembali kepada
Tuhan akan membuat mereka menerima
kematian yang akan datang. Seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sneesby,
Satchel, dan Good (2011) yang menyatakan
bahwa lansia yang memiliki keyakinan
yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki
keberanian ketika berhadapan dengan
kematian dan kesakitan.
Pengalaman kehilangan
Dalam penelitian ini, lansia yang tinggal di
panti maupun di rumah menyatakan
pernah mengalami kehilangan orang yang
mereka kasihi. Walau demikian, mereka
mengalihkan rasa kehilangan tersebut
dengan cara mengikhlaskan. Ketika berhadapan dengan kematian orang yang dikasihinya, lansia mengalami depresi kesedihan
dan menggambarkannya melalui kata-kata
yang menyatakan adanya kerinduan maupun keputusasaan yang mendalam. Lubis
(2009) mengatakan bahwa depresi merupakan suatu akibat dari pengalaman yang
menyakitkan, sehingga mengakibatkan
seseorang mengalami kesedihan yang
panjang, memiliki perasaan tidak adanya
harapan dan munculnya pikiran tentang
kematian yang berulang. Sedangkan lansia
yang memiliki pandangan positif terhadap
kematian pasangannya dapat menyikapi hal
tersebut secara wajar, sehingga lansia akan
merasa tenang atas dirinya sendiri maupun
kematian pasangannya (Santrock, 2002).
Kesiapan dalam menghadapi kematian
Seluruh partisipan, baik yang tinggal di
rumah maupun di panti, ada yang
menyatakan dirinya siap, namun ada juga
yang menyatakan dirinya tidak siap. Siap
atau tidak siapnya lansia dilatarbelakangi
oleh usia yang sudah menua dan pemahaman bahwa kematian adalah sesuatu
yang tidak bisa dielakkan. Kesiapan lansia
yang dipengaruhi oleh usia juga dinyatakan
oleh Nelson dan Nelson (dalam Lahey,
2003) bahwa variabel usia berhubungan
dengan ketakutan pada kematian, lansia
memiliki sedikit rasa takut terhadap
kematian dibandingkan dengan individu
pada usia dewasa awal (Lefrancois, 1993).
Selain itu, pengertian bahwa kematian tidak
dapat ditolak membuat lansia merasa siap
jika sewaktu-waktu akan meninggal. Hal ini
sesuai dengan yang dinyatakan Chusairi
(dalam Wijaya & Safitri, 2015) bahwa
kematian dipandang sebagai sesuatu yang
tak terelakkan dan dapat terjadi kapan saja,
sehingga dapat menimbulkan kecemasan
pada seseorang.
Terkait ketidaksiapan lansia menghadapi kematian dipengaruhi oleh perbuatan
mereka di masa lalu maupun keinginan
mereka untuk terus memelihara anak dan
cucunya. Lansia yang tidak siap dikarenakan ingin terus hidup bersama keluarga
mengalami kekhawatiran bahwa mereka
tidak dapat kembali ke dunia dan berkumpul bersama dengan orang-orang yang
mereka cintai (Hasan, 2006). Menurut
Shihab (dalam Hidayat, 2006) rasa cemas
terhadap kematian juga dapat disebabkan
oleh kematian itu sendiri dan yang akan
terjadi sesudahnya merupakan suatu
misteri, adanya pemikiran tentang keluarga
yang ditinggalkan, serta perasaan bahwa
tempat yang akan dikunjungi sangat buruk.
Harapan didampingi ketika menghadapi
kematian
Semua lansia dalam penelitian ini, baik
yang tinggal di rumah maupun di panti
mengharapkan adanya dukungan keluarga
ada untuk mendukung dan menemani
mereka pada saat menghadapi kematian.
Pendampingan ketika menghadapi kematian dapat dilakukan oleh siapa saja baik
keluarga, teman ataupun oleh tenaga
kesehatan. Lansia yang ingin didampingi
oleh anggota keluarganya mengharapkan
adanya penguatan dari orang-orang yang
mereka kasihi, sehingga mereka dapat
menghadapi serta menjalani saat-saat akhir
hidupnya dengan lebih baik dan penuh
penerimaan (Wiryasaputra, 2006).
Tempat yang diharapkan ketika menghadapi
kematian
Terkait dengan tempat saat meninggal, ada
partisipan yang menyatakan keinginannya
untuk meninggal di rumah dan di panti.
Namun, ada juga yang belum menyatakan
tempat yang diinginkan. Pernyataan
tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan Lee (2009) yang mengungkapkan
bahwa lansia di Amerika berharap meninggal di rumah mereka. Sedangkan lansia
yang ingin meninggal di panti karena tidak
ingin membebani anak mereka dengan
biaya pemakaman dan lain sebagainya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hattori, Masuda,
Fetters, Uemura, Mogi, Kuzuya, Iguchi
(2005) yang menyebutkan bahwa faktor
keluarga memengaruhi tempat kematian
dan siapa yang diinginkan lansia berada
disampingnya saat menjelang kematian.
Kondisi yang diharapkan ketika menghadapi
kematian
Semua partisipan yang tinggal di panti
menyatakan ingin meninggal dalam yang
mendadak dan tanpa rasa sakit, seperti
meninggal ketika sedang makan atau tidur.
Sedangkan, partisipan yang tinggal di
rumah, tidak menginginkan kematian yang
terjadi secara tiba-tiba, karena tidak ingin
membuat keluarganya kaget atau merasa
tidak siap dengan kepergiannya yang
mendadak. Hasil penelitian ini didukung
oleh Hattori, et al. (2005) yang mengemukakan bahwa pengalaman pribadi (personal
experience) memengaruhi kondisi yang
diinginkan lansia ketika menghadapi kematian. Lansia menginginkan kematian yang
tidak menyusahkan orang lain di sekitarnya, sakit yang berlarut-larut, serta kematian yang Husnul Khatimah yang artinya
mati dalam keadaan yang terbaik. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Handsottir dan Halldorsdottir (dalam
Harapan, et al., 2014) yang menyebutkan
bahwa lansia ingin mati secara natural,
dalam kedamaian dan bermartabat.
Tempat yang diinginkan setelah kematian
Partisipan yang tinggal di panti dan yang
tinggal di rumah menyatakan bahwa
setelah meninggal, mereka ingin masuk
surga dan tidak ingin masuk ke dalam
neraka. Namun ada partisipan yang
menyatakan tidak ingin ke surga atau pun
neraka, melainkan ingin ke tempat yang
tenang. Kondisi di atas didukung oleh
penelitian Wahyuni (2007) yang menyatakan bahwa lansia mengharapkan kematian
dalam ketenangan dan diterima disisiNya
serta masuk surga. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Santoso (2010) juga diungkapkan bahwa hukuman neraka merupakan
faktor internal yang memengaruhi
kecemasan lansia menjelang kematian.
buku kematian dari tibetan
The Tibetan Book of the Dead, judul yang sebenarny a adalah "Pembebasan Besar
dengan Mendengar didalam Keadaan Antara" atau "Bardo Thodol", secara tradisional
diyakini sebagai kary a legendaris Padma Sambhava di abad ke-8 Buku ini bertindak
sebagai panduan bagi orang mati selama keadaan intervensi antara kematian dan
kelahiran kembali berikutny a. Dia dianggap sebagai salah satu orang pertama yang
membawa Budha ke Tibet. Bardo Thodol adalah panduan yang dibacakan untuk orang
mati saat mereka berada dalam keadaan antara kematian dan reinkarnasi dalam rangka
untuk mengenali sifat pikiran mereka dan mencapai pembebasan dari siklus kelahiran
kembali.
Bardo Thodol mengajarkan bahwa sekali kesadaran dibebaskan dari tubuh, pikiran
tersebut menciptakan realitasnya sendiri seperti dialami dalam mimpi. Mimpi ini terjadi
di berbagai tahapan (Bardos) dengan cara baik y ang indah maupun y ang menakutkan.
Meliputi visi rasa damai dan amarah dan kemunculan dewa, dan, karena kesadaran
almarhum adalah dalam kebingungan karena tidak lagi terhubung ke tubuh fisik, hal itu
membutuhkan bantuan dan bimbingan sehingga pencerahan dan pembebasan dapat
mungkin terjadi. Bardo Thodol mengajarkan kita bagaimana bisa mencapai Nirvana
dengan mengenal dan akan menuju alam surgawi bukan turun ke alam yang lebih rendah
di mana siklus kelahiran dan kelahiran kembali akan terus berlanjut.
Berikut ini adalah deskripsi dari alam Bardo dimana seseorang akan melalui perjalanan
ini setelah kematian.
Bardo Pertama
Bardo pertama datang pada saat kematian, ketika disana ada Cahay a Bening dari Realitas
Tertinggi (the clear light of the ultimate reality ). Ini adalah sangat pokok dan substansi dari
keadaan pembebasan, jika hanya jiwa dapat mengenaliny a dan bertindak untuk tetap di
dalam keadaan itu.
Petunjuk dimaksudkan untuk dibaca pada saat kematian seseorang adalah dirancang untuk
membantu dia melakukan hal ini. Dia diberitahukan, pertama-tama, untuk merangkul
pengalaman tertinggi ini tidak dalam cara y ang mementingkan diri sendiri dan egois
melainkan dengan cinta dan kasih say ang untuk semua makhluk hidup.
Hal ini akan membantu dia dalam langkah kedua, y aitu untuk menyadari bahwa pikiran
dan diri sendiri identik dengan Cahaya Bening, meny iratkan bahwa ia sendiri Iadalah
Realitas tertinggi, "semua adalah Buddha", melampaui waktu, keabadian, dan semua
penciptaan. Jika ia dapat mengenali saat ini dalam keadaan tertinggi pada saat kematian,
ia akan mencapai pembebasan - yaitu, ia akan tetap berada di dalam Cahaya Bening
selamanya. Kondisi ini disebut "Dharmakaya", tubuh spiritual tertinggi dari Buddha.
Kebany akan dari jiwa bagaimanapun akangagal untuk melakukan hal ini. Mereka akan
ditarik ke bawah oleh berat karma mereka ke tahap kedua dari Bardo pertama, yang
disebut cahaya bening kedua yang terlihat segera setelah kematian. Pada titik ini, ada
petunjuk y ang terpisah untuk dibaca sesuai dengan kondisi spiritual dari orang tersebut
selagi hidup.
Bagi seorang individu y ang maju dalam meditasi dan praktik spiritual lainnya, disana ada
petunjuk berulang-ulang yang sama seperti pada saat kematian, memerintahkan dia
untuk mengakui diriny a sebagai Dharmakaya. Untuk orang y ang masih di tingkat siswa
pada jalan spiritual, ada perintah baginya untuk merenungkan "dewa y g mengawasi",
y aitu, dewa tertentu dimana ia melakukan praktekkebaktian selagi hidup.
Akhirny a, "jika almarhum dari orang biasa", tidak mahir dalam disiplin spiritual, instruksiini adalah untuk "merenungkan Kasih Say ang Allah", y ang berarti sebuah "Avatar" y ang
disembah oleh orang bany ak, setara dengan Yesus sebagai dipahami oleh rata-rata orang
Kristen.
Bardo Kedua
Jika jiwa masih belum dibebaskan pada tahapan ini, akan turun ke Bardo kedua, y ang
dikatakan berlangsung selama dua minggu. Bardo kedua juga dibagi menjadi dua bagian;
dibagian pertama, jiwa almarhum bertemu dengan apa y ang disebut sebagai "Dewa
Damai."(the peaceful deities)
Pada masing-masing dari tujuh hari, khususny a wujud Buddha-akan muncul dalam
cahaya dan kemuliaan, dengan sebuah rombongan malaikat pembantu. Pada saat y ang
sama, pada setiap hari pada giliranny a akan meny inari dari salah satu dari enam dunia
dari alam semesta Buddha, yang disebut "Lokas" (arti dasar ny a adalah "tempat"; katakata bahasa Inggris "lokasi" dan "locale" adalah berasal dari akar bahasa Sansekerta y ang
sama).
Pada hari pertama dari Bardo kedua, tampakny a jiwa ilahi Bapa-Ibu -yaitu, dewa
tertinggi alam semesta, melampaui semua dualitas, termasuk pembagian ke dalam jenis
kelamin. Langkah berikutny a nasib dari jiwa ini ditentukan oleh reaksiny a terhadap Allah
ini. Jika selama hidupny a di Bumi hidup dengan baik, dia sekarang akan berada dalam
keadaan suci dan kasih karunia, dan ia akan masuk ke dalam sukacita dari Allah dan
mencapai pembebasan.
Jika di sisi lain ia telah menjalani hidupny a denagn tercela dan jahat , efek dari karma
burukny a akan meny ebabkan adany a radiasi intens dari Allah y ang meny ebabkan rasa
takut dan teror di dalam hatiny a, dan ia akan ditarik bukan oleh cahay a lembut dari DevaLoka, y ang telah terbit bersama dengan dewa ini. Ini masih merupakan nasib y ang cukup
menarik, karena para dewa adalah Gods (atau malaikat), dan Loka mereka setara dengan
surgany a pemelukKristen;
Namun, didalam ajaran Buddha adalah bahwa bahkan surga bukanlah tujuan spiritual
tertinggi, karena masih hanya merupakan alam sementara di alam semesta berwujud.Pembebasan diy akini menjadi satu-satunya tempat istirahat terakhir dan permanen bagi
jiwa, alam tanpa wujud y ang melampaui semua eksistensi.
Pada hari kedua, disana muncul Dewa tertinggi kedua di jajaran Buddhisme - pada
keny ataanny a, ia sebenarny a merupakan Pribadi Kedua dari Tritunggal Kudus di literal
Buddhisme Pada saat y ang sama, disana muncul cahaya berasap dari neraka; dan di sini
kita perhatikan bahwa, seperti surga Buddhisme bukanlah alam permanen, kekal,
tdemikian juga dengan nerakany a. Bahkan jiwa-jiwa y ang paling celakapun akhirnya
mereka akan keluar bahkan lubang terdalam dari neraka sekalipun, seperti jiwa tertinggi
dan paling murnipun akhirny a akan kehilangan pijakan mereka di surga dan turun lagi ke
dalam siklus kematian dan kelahiran kembali. Pembebasan adalah satu-satuny a jalan
keluar.
Sekali lagi, jika jiwa merespon "cahay a putih menyilaukan" Allah kedua dengan sukacita
hati y ang murni, dengan demikian ia akan dibebaskan ; tetapi jika ia secara khusus
bereaksi dengan KEMARAHAN dari setelah terlibat dalam perwakilannya di Bumi ini, ia
akan mundur dari cahay a dalam ketakutan dan ditarik ke dalam neraka.
Pola ini diulang pada hari ketiga; kali ini adalah kesalahan jika egoisme yang akan
meny ebabkan jiwa untuk bereaksi terhadap Allah dengan rasa takut, dan dia akan ditarik
ke dunia manusia, di mana inkarnasi berikutnya akan terjadi. Pada hari keempat baru
muncul Allah dari Hidup Kekal; jika jiwa memiliki reaksi negatif kepadanya karena kikir
dan melekat, dia akan ditarik ke arah kelahiran kembali di Preta-Loka, sebuah dunia "hantu
lapar" y ang memiliki perut besar dan tenggorokan dengan ukuran lubang kecil, dan
sehingga mereka berkelana dalam keadaan konstan akan keinginan rakus yang tak
terpuaskan.
Pada hari kelima datang Allah dalam bentuk Penakluk y ang Mahakuasa; kali ini
keemburuan y ang akan menggeser jiwa, dan dia akan terlahir kealam Asura-Loka,sebuah
dunia y ang terdiri dari prajurit-dewa (atau setan) y ang ganas. Pada hari keenam semua
dewa kembali dan muncul bersama-sama, bersama dengan cahay a dari semua keenam
Lokas. Pada hari ketujuh muncul Dewa Pemegang Pengetahuan, y ang lebih galak dan
bertampang Iblis daripada y ang sebelumny a telah muncul; dan pada keny ataannya
mereka adalah semacam elemen transisi ke tahap berikutny a dari Bardo kedua, di mana
jiwa bertemu dengan para dewa murka.Sementara itu, jika karena kebodohan jiwa tidak dapat menghadapi Dewa, Pemeganga
Pengetahuan ia akan ditarik ke arah Brute-Loka - y aitu, ia akan terlahir kembali di bumi
sebagai seekor binatang.
Pada minggu kedua Bardo kedua, jiwa bertemu dengan tujuh legiun Dewa: murka y ang
mengerikan, setan menakutkan yang menjulurkan dengan api dan pedang kepadanya,
meminum darah dari tengkorak manusia, mengancam untuk melampiaskan penyiksaan
kejam kepadany a, untuk melukai, mengeluarkan isi perut, memenggal dan
membunuhny a.Tentu saja kecenderungan alami, ,bagi jiwa adalah mencoba untuk
melarikan diri dari makhluk-makhluk ini dalam ketakutan, teriakan, dan teror tetapi ketika
dia melakukanny a, semuany a akan hilang.
Petunjuk dari Bardo pada tahapan ini bagi jiwa adalah untuk tidak takut,melainkan untuk
mengenali bahwa Dewa murka sebenarny a adalah merupakan Dewa damai y ang
meny amar, sisi gelap mereka mengejawantah sebagai akibat dari karma buruknya
sendiri. Jiwa disuruh agar tenang dalam menghadapi setiap setan dan memvisualisasikan
sebagai dewa itu sebagai dewa y ang sebenarny a, atau y ang lain sebagai dewa pengawas
itu sendiri; jika ia dapat melakukan hal ini, ia akan bergabung dengan makhluk dewa ini
dan mencapai tingkat Pembebasan y ang kedua ,aspek y ang lebih rendah daripada itu
adalah sekarang menjadi y ang terbaik yang bisa diharapkan pada Bardo kedua.
Selanjutny a, ia diberitahukan untuk membangkitkan fakta bahwa semua makhluk y ang
menakutkan ini adalah tidak ny ata, tetapi hany a ilusi yang berasal dari pikiranny a sendiri.
Jika ia bisa meny adari hal ini, mereka akan leny ap dan dia akan dibebaskan. Jika ia tidak
bisa, ia akhirny a akan mengembara sampai ke Bardo ketiga.
Bardo Ketiga
Dalam Bardo ketiga jiwa bertemu dengan Dewa Kematian, sesosok dewa setan
menakutkan y ang muncul dalam asap dan api, dan mengenakan jiwa pada sebuah
Penghakiman Jika orang y ang meninggal protes bahwa ia tidak pernah melakukan
perbuatan y ang jahat, Dewa Kematian memegang dihadapanny a Cermin Karma,
"dimana setiap tindakan y ang baik dan jahat jelas tercermin." Sekarang setan mendekati
dan mulai menimbulkan siksaan dan hukuman atas jiwa untukperbuatan jahatny a.
Petunjuk di Bardo Thodol baginy a adalah untuk berusaha mengenali bahwa semua
makhluk ini adalah kosong, termasuk Dewa Kematianny a sendiri; orang yang meninggal
diceritakan bahwa seluruh adegan ini berlangsung di sekelilingny a adalah proy eksi dari
pikiranny a sendiri. Bahkan di sini ia dapat mencapai pembebasan dengan mengakui akan
hal ni.
Jiwa y ang masih belum dibebaskan setelah penghakiman sekarang akan ditarik tanpa
belas kasihan terhadap kelahiran kembali. Cahaya dari enam Lokas akan meny ingsing
lagi; menjadi salah satu dunia dimana jiwa harus dilahirkan, dan cahay a dari seseorang
dimana dia ditakdirkan akan bersinar lebih terang dari y ang lain.
Jiwa masih mengalami penampakan menakutkan dan penderitaan dari Bardo ketiga, dan
ia merasa bahwa ia akan melakukan apa saja untuk melarikan diri dari kondisi ini. Dia
akan mencari perlindungan dalam apa y ang tampakny a gua atau tempat persembunyian,
tetapi y ang sebenarny a pintu masuk kedalam rahim. Dia diperingatkan akan hal ini dari
teks Bardo Thodol, dan mendesak untuk tidak masuk pada tempat tersebut, tetapi dengan
hany a merenungkan pada Cahaya bening untuk itu masih mungkin baginy a untuk
mencapai derajat ketiga pembebasan dan menghindari kelahiran kembali.
Akhirny a ada suatu titik di mana tidak mungkin lagi untuk mencapai pembebasan, dan
setelah hal ini jiwa diberikan petunjuk tentang cara untuk memilih rahim terbaik bagi
inkarnasi y ang menguntungkan. Metode dasar adalah non-attachment: (tidak melekat)
Dan mencoba untuk naik keatas dari kedua atraksi baik bagi kesenangan duniawi maupun
penolakan dari keburukan duniawi.
Akhir dari Bardo Thodol adalah:
"Biarlah kebajikan dan kebaikan akan disempurnakan dalam segala hal."

