Rabu, 10 Januari 2024

kematian 1


Pengembangan Mental Visuddhacara




  
  
Suatu hari  saat  aku mati, seperti yang sudah pasti
akan terjadi, aku ingin meninggal dengan sebuah
senyuman di bibirku.  Aku ingin pergi dengan penuh
kedamaian, untuk menyambut kematian seperti seorang
teman, untuk dapat berkata dengan riangnya : “Halo
Kematian, Selamat Tinggal Kehidupan.”
Aku dapat membayangkan diriku bercakap-cakap
dengan kematian.  Mungkin akan berlangsung seperti ini :
“Halo Kematian!  Apa kabar?  Aku telah lama menunggumu.
Seluruh hidupku aku telah bersiap-siap menyambutmu.
Apakah akhirnya kau juga datang untukku?  Apakah ini
benar-benar waktu bagiku untuk pergi?
“Ya, ya, Kematian, aku datang.  Bersabarlah.  Aku
siap.  Tidakkah kau lihat aku tersenyum?  Sejak dulu aku
sudah berencana untuk menyambutmu dengan senyuman.         
Ya, kematian, aku mengerti.  Kau tak perlu minta
maaf.  Aku tahu kau harus melaksanakan tugasmu.  Aku
tidak menentangmu.  Tidak ada perasaan benci dan marah
secara pribadi.  Aku mengerti.
“Seperti yang telah kukatakan, Kematian, sepanjang
hidupku aku telah menantikan saat ini.  Untuk melihat
apakah aku dapat menyambutmu dengan senyuman.
Untuk melihat apakah aku mampu, setidaknya, terinspirasi
dalam kematian, jika tidak dalam kehidupan.  Kau telah
memberikan kesempatan itu sekarang dan aku sangat
berterima kasih sebab nya.
“Ya, aku telah banyak mendengar banyak hal
mengenaimu.  Bahwa kau tidak akan menunggu untuk
seorang pun.  Bahwa kau datang seperti seorang pencuri
di malam hari.  Bahwa kau tidak akan melakukan tawar-
menawar dengan siapa pun.  Bahwa kau tidak akan
menerima “tidak” sebagai jawaban atas pertanyaan
apapun.
“Kematian, tidak apa-apa.  Aku akan pergi denganmu
dengan senang hati.  Aku lelah.  Tubuh ini bagaikan rangka
yang telah rusak.  Tubuhku telah mengalami hari-hari
yang indah.  Tubuhku telah melampaui masa hidup dan
berfungsinya.  Seperti yang kau lihat, aku hampir mati.
Dan aku telah menahan seluruh penderitaan ini, aku
berusaha untuk tersenyum kepada seluruh pengunjung
yang datang menengokku.  Kematian, sejujurnya, kau
harus datang lebih awal.  sesudah  segala penderitaan ini,
kau adalah peristirahatan yang kuharapkan, seperti
dikirimkan khusus oleh Tuhan.  Tapi, cukuplah sudah
omonganku ini.  Kematian, marilah jangan bertele-tele.  Ayo
pergi.  Ayo, peganglah tanganku.”
Dan aku akan pergi, seperti yang selama ini telah
aku impikan, dengan sebuah senyuman di bibirku.
Alangkah indahnya meninggal seperti itu!  Semua orang
yang telah berkumpul di sekelilingku tidak perlu menangis.
Mereka dapat merasa bahagia sebab  dapat melihat bahwa
aku tersenyum.  Mereka akan tahu bahwa aku baik-baik
saja.  Kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan.
Perlakukanlah kematian seperti seorang teman.  Bersiaplah
untuk berkata halo kepada kematian dan selamat tinggal
kepada kehidupan.
      
Tentu saja tidak ada seorang pun dapat menghindari
kematian.  Kita semua harus mati.  Seperti yang dikatakan
Sang Buddha : Hidup adalah tidak pasti namun  kematian
adalah pasti.  Sewaktu kita hidup, kita menderita sebab 
perpisahan yang disebabkan oleh kematian orang yang kita
cintai.  Ke dua kakek dan nenekku telah meninggal dunia.
Aku sudah tidak ingat kakekku, beliau meninggal  saat 
aku masih sangat muda.  namun  aku benar-benar masih
ingat nenekku.  Nenek sangat baik kepadaku, namun beliau
Halo Kematian, Selamat Tinggal Kehidupan 4         
juga sangat miskin.  Nenek memilih untuk tinggal di
pinggiran kota sementara orang tuaku menetap di dalam
kota.  Aku ingat suatu  saat  nenek mengunjungi kami, aku
meminta uang sebanyak 5 sen kepadanya.  Nenek segera
mengeluarkan dompetnya, mengambil 5 sen dan
memberikannya kepadaku.  Pada saat itu, uang sebesar 5
sen sudah berarti sekali : kau dapat membeli satu porsi es
krim atau segelas minuman es hanya dengan uang 5 sen
saja.  Jika kau ingin air kelapa yang umumnya dijual oleh
orang-orang India, kau bahkan dapat memperoleh 2 gelas
hanya dengan uang 5 sen!  Dan dengan 5 sen juga kau
dapat memperoleh 5 buah permen.
Ayahku meninggal  saat  aku berumur 10 tahun.  Aku
ingat  saat  aku mengunjunginya untuk yang terakhir
kalinya suatu malam di Rumah Sakit Umum, ayah sakit
terserang TBC dan komplikasi lainnya.  Aku ingat iartikel 
berkata kepadanya : “Ah Beh, ini putramu Johny datang
menengokmu.”  Ayahku tidak dapat berbicara.  Di hidungnya
terpasang pipa oksigen.  Dia hanya mampu melihatku
dengan lemahnya.  Aku masih sangat muda pada saat itu.
Aku belum tahu apa itu kematian, namun  sekarang aku
sudah mengerti lebih baik.  Iartikel  yang malanglah yang
paling menderita.  Beliau telah mengalami begitu banyak
kematian dan telah menjalani kehidupan yang paling
menderita sejak masih kecil.  Yang pasti, hidup baginya
bukanlah sebuah ranjang yang penuh bunga mawar.
Satu dari saudara lelakiku meninggal  saat  masih
bayi.  Satunya lagi meninggal pada umur 23 tahun bersama
dengan tunangannya.  Suatu kematian yang sangat tragis.
Mereka tenggelam.  Aku masih dapat mengingat  saat  aku
melihat jenasah mereka di rumah duka.  Iartikel  menangis
dengan begitu memilukan.  Menyakitkan sekali baginya
untuk kehilangan seorang putra tercinta dengan cara yang
tragis seperti itu.  Aku hanya tertegun dan tidak tahu sama
sekali apa arti semua itu.  Saat itu aku berumur 16 tahun.
Aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, santai.  Aku
menyimpan air mataku.  Aku berbicara dan bertindak
seperti tidak terjadi apa-apa, kematian bagiku hanyalah
sebuah kejadian normal sehari-hari, dan tidak perlu
bersedih.  Aku menganggapnya suatu hal kecil, dan
berusaha untuk menunjukkan sikap yang terlihat tenang
dari luar.
namun  dalam kesendirian aku menangis.  Aku
menangis dengan pahitnya.  Dan sesudah  penguburan aku
kembali ke pemakaman.  Aku mengayuh sepedaku dengan
membawa sebuah cangkul.  Aku menggali tanah dan
menanam bunga di sekitar kuburan kakakku dan
kekasihnya.  Aku mengukir di salib kayunya tulisan sebagai
berikut: Tak seorang pun yang memiliki cinta yang lebih
besar dar ipada cinta orang ini, yang telah
menyerahkan nyawanya demi sahabatnya, sebab  dia
meninggal  saat  berusaha menyelamatkan kekasihnya.
Dan aku berbicara kepada Tuhan.  Aku bertanya
Halo Kematian, Selamat Tinggal Kehidupan 6         
kepadaNya : “Tuhan, mengapa Kau melakukan hal ini
terhadapku?  Mengapa Kau mengambil kakakku?  Apakah
ini perintahMu, keinginanMu?  Jika demikian, biarlah
keinginanMu yang terjadi.  Aku menerimanya.”  sebab 
sperti yang kau lihat, aku adalah seorang umat Kristen
yang taat pada saat itu.  Dan keinginan Tuhan harus
diutamakan daripada segalanya.  Hal ini tidak dapat
dipertanyakan lagi.  Walaupun sekarang sebagai seorang
Buddhis, aku percaya aku telah mengerti lebih baik.  Ya,
tidak ada Tuhan yang mengambil nyawa kakakku.  Jika
kita menerima kehidupan, maka kita harus menerima
kematian pula.  Kematian adalah suatu bagian dan paket
dari kehidupan.  Seperti yang dikatakan Sang Buddha,
kebodohanlah yang membuat terjadinya penderitaan di
dunia ini, dan kita terus berjalan dari suatu kehidupan ke
kehidupan lain sesuai dengan perbuatan kita.  Apa yang
baik menghasilkan hal yang baik dan yang jahat
menghasilkan hal yang jahat.  Harus kuakui bahwa aku
telah dapat memahami dengan lebih baik cara Sang Buddha
memandang segala hal.
Kemudian dalam hidup ini aku menyaksikan lebih
banyak kematian lagi.  Sebagai seorang jurnalis/wartawan,
aku telah melihat banyak jenasah – dari orang-orang yang
meninggal sebab  kecelakaan, pertarungan antar geng,
bunuh diri, keracunan “samsu” (obat bius/terlarang), dan
lain-lain.  Aku menulis cerita-cer ita yang dramatis,
menyentuh, dan tragis mengenai bagaimana mereka
meninggal.  Ada seorang lelaki yangmemberi  ciuman
selamat tinggal kepada putrinya yang masih kecil dan
kemudian menembak kepalanya sendiri.  Kemudian ada
juga sepasang kekasih muda yang ditemukan melakukan
bunuh diri bersama di sebuah ranjang hotel.  Si wanita
meninggal sebab  keracunan yang mereka minum bersama;
dan kekasihnya selamat.  Dan kemudian ada pula perampok
ganas yang ditembak polisi tepat pada hari Tahun Baru.
Dia merupakan orang yang memang nasibnya sudah seperti
itu, tidak dapat hidup bahkan untuk akhir hari pertama di
Tahun Baru itu.  namun  bagiku hal ini  hanyalah
sebuah cerita.  Aku tidak pernah berpikir secara mendalam
mengenai kematian pada saat itu.  Aku cukup kebal
terhadap itu semua.  Yang kuinginkan hanyalah
memperoleh cerita terbaik untuk halaman depan surat
kabarku.  Sedikit saja perasaan atau cinta kasih yang
kurasakan bagi para korban yang menyedihkan itu.  Aku
merupakan orang yang berhati keras dan egois saat itu,
hanya peduli pada diriku sendiri.
Namun kemudian, sebagai seorang bhikkhu, aku
menyaksikan banyak kematian lagi – kali ini dengan lebih
penuh perasaan dan kasih sayang.   saat  aku mengunjungi
orang sakit, aku dapat bersimpati bagi mereka.  Aku
berusaha semampuku untuk menghibur mereka.  Bagi
mereka yang beragama Buddha, aku membacakan sutta-
sutta Buddhis.  Aku menyampaikan kepada mereka apa
yang telah dikatakan Sang Buddha: Tubuh ini mungkin
Halo Kematian, Selamat Tinggal Kehidupan 8         
sakit namun  jangan biarkan pikiranmu sakit.  Kita
mungkin tidak dapat berbuat banyak bagi tubuh ini namun 
kita dapat berbuat sesuatu untuk pikiran kita.  Kita dapat
menjaganya agar menjadi stabil bahkan  saat  kita sedang
sakit.  Kita dapat menyadarinya.  Kita dapat menyaksikan
timbul dan tenggelamnya rasa sakit, bagaimana rasa sakit
itu datang dan pergi seperti gelombang.  Kita dapat
memahami sifat alami penderitaan.  Kita dapat
menghadapinya dan belajar darinya.  Penderitaan itu ada
sebagai suatu ujian – bagaimana kita telah memahami sifat
kehidupan ini, seberapa baik kita telah mengetahui bahwa
tidak ada suatu diri yang kekal/permanen melainkan
hanya ada perubahan yang terus-menerus datang dan
pergi, seperti aliran sungai yang tidak pernah berhenti;
seberapa baik kita telah mengerti bahwa penderitaan kita
disebabkan oleh kebodohan, keinginan, kemelekatan,
kemarahan, ketakutan kita.
Dengan memahami hal ini , kita dapat bangkit
mengatasi rasa sakit.  Kita dapat menghadapinya tanpa
kesulitan.  Kita dapat tetap tenang dan berkepala dingin,
tanpa sedikitpun rasa depresi/tertekan.  Ya, kita dapat
tersenyum, bahkan pada penderitaan kita sendiri.  Kita
dapat berkata : “Hei penderitaan, kau benar-benar mencoba
menjatuhkan saya, bukan?  Orang lain mungkin akan jatuh
ke dalam jebakanmu, tapi aku tidak.  Aku telah berlatih
dan membentengi diriku sendiri untuk menghadapimu.
Sang Buddha mengajarkan aku untuk menanggapimu
tanpa kemarahan ataupun kebencian.  Jadi aku berusaha
untuk menghadapimu sekarang tanpa kemarahan
maupun kebencian.  Aku  mengerti bahwa dengan hati
yang penuh kesadaran dan kedamaian, aku akan dapat
mengalahkanmu.  Aku dapat tersenyum kepadamu.  Kau
telah mengajarkan aku bahwa hidup ini adalah duka/
penderitaan.  namun  kau juga mengajarkan aku bahwa
aku dapat mengalahkanmu.”  Dan kau dapat tersenyum
pada penderitaan.  Kau akan segera merasa lebih baik.

Saat menulis ini, aku ingat baru kemarin ada seorang
bhikkhu yang meninggal dunia.  Bhikkhu ini  telah
menderita kanker stadium lanjut selama delapan bulan.
 saat  aku menemaninya di rumah sakit beberapa hari
sebelum kematiannya, beliau sedang dalam kesakitan.  Aku
mencoba memberinya makan bubur namun  beliau tidak
mampu untuk makan.  Beliau terlihat begitu kurus dan
murung, dan hampir tidak dapat berbicara.  Kanker telah
menghabisi tubuhnya dan bukan hal yang mudah baginya
untuk menahan semua ini.  Aku mendorongnya untuk
menyadari atau memperhatikan rasa sakitnya, seperti yang
biasa dilakukannya dalam meditasi normal, yaitu berusaha
untuk menjadi setenang dan sedamai mungkin.  Beliau
merupakan meditator yang setia dan aku yakin beliau terus
bermeditasi sampai pada akhirnya.
Aku ingat kesempatan lain  saat  aku mengunjungi
seorang lelaki tua baik hati yang menderita leukemia.  Dia
juga sangat menderita.  Hal itu terlihat jelas di wajahnya.
Ada butiran-butiran keringat di dahi dan wajahnya.  Aku
mengambil sebuah handuk dan dengan lembut menyeka
keringatnya.  Aku berbisik ke telinganya dan mencoba
untuk menghiburnya.  Orang ini juga merupakan seorang
meditator dan kembali aku mengingatkannya untuk
mempertahankan kesadaran penuh, untuk memperhatikan
rasa sakitnya dengan setenang mungkin.  Aku senang  saat 
ekspresi kesakitan menghilang dari wajahnya.  Tak lama
kemudian, keluarganya datang dan aku meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian dia meninggal.  Aku senang sebab 
sedikitnya aku dapat menolongnya sebelum dia meninggal.
Walaupun ada kebahagiaan dalam hidup, ada pula
penderitaan.  Kebahagiaan kelihatannya begitu sebentar
– hilang dalam sekejap digantikan oleh kesedihan dan
ketidak-puasan.  Hidup itu sendiri, sebab  berakhir pada
kematian, sebenarnya merupakan suatu tragedi.
Seseorang pernah berkata bahwa hidup adalah seperti
sebuah bawang: kamu menangis  saat  sedang
mengupasnya.  Sang Buddha berkata kelahiran adalah
penderitaan sebab  itu semua tak dapat dihindari lagi, pada
akhirnya menuju kepada pembusukan dan kematian.  Kita
harus memahami hal ini dengan baik.  Jika kita
memperoleh kehidupan, ktia harus menerima kematian
pula.  Jika kita ingin menangis  saat  seseorang meninggal,
            
maka kita juga harus menangis pada saat kelahirannya.
sebab  pada saat seorang bayi dilahirkan, bibit kematian
sudah ada di dalam dirinya.  namun  kita malah senang
 saat  seorang anak dilahirkan.  Kita tertawa dan kita
memberi selamat kepada orang tuanya.  Jika kita mengerti
mengenai kelahiran – yang pada akhirnya akan menuju
ke kematian – maka  saat  kematian tiba kita harus dapat
menghadapinya dengan sebuah senyuman.
Melihat bagaimana orang meninggal dalam
penderitaan, tubuh mereka dirusak oleh penyakit, dan
melihat bagaimana semua kehidupan harus berakhir dalam
kematian (sebuah fakta yang aku sadari setiap kali aku
pergi melakukan doa kematian), dua keputusan muncul
dalam benakku : Pertama,  saat  tiba saatnya bagiku untuk
meninggal, aku ingin meninggal dengan sebuah senyuman
di bibirku.  Aku ingin dapat menjadi sangat sadar dan
damai.  Dengan kata lain aku ingin tetap menjaga akal
sehatku.  Aku ingin tetap dapat tersenyum pada
penderitaanku, tak peduli betapa menyakitkan penyakitku
itu.  Aku ingin dapat tersenyum kepada seluruh orang yang
mengunjungiku.  Aku ingin bisa tersenyum kepada semua
dokter dan suster yang baik hati yang telah merawatku.
Aku ingin bisa tersenyum kepada sesama pasien di rumah
sakit dan menolong dengan semampuku di rumah sakit,
apakah untukmemberi  inspirasi ataupun untuk
menghibur.
 
Bukannya dokter dan suster yang menanyakan
bagaimana kabarku, akulah yang ingin menanyakan
kepada mereka : “Apa kabar Dok?  Bagaimana kabar adik
Anda?  Bagaimana kabarmu hari ini?  Tahukan Anda, Anda
melakukan pekerjaan yang baik.  Kami sangat beruntung
mendapatkanmu.  Teruslah bekerja dengan baik.  Terima
kasih banyak!”  Dan kepada pengunjung-pengunjungku
yang beragama Buddha, aku akan berbicara Dhamma. *
Aku akan berkata : Lihatlah aku.  Aku hampir mati.  Habis!
Kau tahu, tidaklah mudah untuk bermeditasi  saat  kau
hampir mati.  Jadi selagi kau sehat, manfaatkanlah benar-
benar.  Bermeditasilah!  Laksanakanlah Dhamma!
Janganlah menyesalinya di kemudian hari.  Jangan
menunggu sampai kau sakit gawat.  Akan terlambatlah
sudah nanti.  namun  jika kau telah melakukan latihan
meditasimu sekarang, maka  saat  kamu jatuh sakit, tidak
akan sulit bagimu untuk mengatasi penderitaan.  Kau dapat
memperhatikan dan bahkan melampainya.
Kau tahu, Sang Buddha memberitahukan kita bahwa
segala hal adalah tidak kekal.  Jika kita bermeditasi dengan
tekun, kita dapat mengerti fakta ketidak-kekalan dengan
lebih dalam lagi, sehingga kita tidak akan menjadi begitu
terikat pada pikiran dan tubuh ini.  Kita akan tahu secara
pasti bahwa tubuh ini bukanlah milik kita; pikiran ini
bukanlah milik kita.  Dengan memahaminya, kita akan
dapat melepaskan.  Kita tidak akan menjadi begitu terikat
dengan bgitu banyaknya kesenangan sensual duniawi/
            
kehidupan.  Kita dapat hidup dengan lebih bijaksana.  Kita
dapat tumbuh menjadi tua dengan indahnya.  Dan kita
tidak perlu takut akan kematian.
* Dhamma adalah seperti itu.  Ia memandang hal-hal sebagaimana
adanya.  Ini adalah ajaran Sang Buddha, yang dalam hal ini mengajarkan,
“Hidup adalah penderitaan namun Aku telah menemukan jalan keluar
dari penderitaan ini, dan Aku akan menunjukkannya kepadamu.”  Dan
Sang Buddha menganjurkan orang-orang untuk mempraktekkan
kemurah-hatian, moralitas, dan meditasi.
Sang Buddha berkata bahwa penderitaan adalah
suatu bagian dalam hidup, dan kita harus belajar
bagaimana dapat hidup dengannya dan melampauinya.
Hanya dengan menerapkan kesadaran penuh dalam
kehidupan sehari-hari dan dengan bermeditasi, barulah
kita dapat mengerti arti sebenarnya dari penderitaan.
 saat  kita telah mengerti penderitaan dengan dalam, kita
akan berjuang untuk membuang sebabnya, yaitu berupa
keinginan kita, kemelekatan kita, kesenangan indrawi
(penglihatan, suara, bau, rasa, dan sentuhan).  Kita akan
berusaha untuk menyucikan hati dan pikiran kita dari
segala kekotoran batin.
Menurut Sang Buddha,  saat  pikiran kita telah
tersucikan dari keserakahan, kebencian, dan pandangan
salah, kita akan mengatasi segala penderitaan.  Kita tidak
akan pernah lagi melekat atau membenci apapun.
Melainkan, hanya akan ada kebijaksanaan dan kasih
sayang saja di dalam kita.  Inilah akhir dari penderitaan.
 
Dengan tidak melekat lagi, kita tidak akan pernah
menderita.  Bahkan rasa sakit secara fisik tidak akan
menyebabkan penderitaan mental sebab  pikiran kita tidak
menanggapinya dengan kebencian ataupun kemarahan.
Pikiran dapat menjadi tenang dan damai.  Ada penerimaan
dan pengertiaan.  Dan  saat  kita meninggal dengan
keadaan seperti ini (dalam kebijaksanaan dan kedamaian),
Sang Buddha berkata itulah akhir dari penderitaan.  Tidak
ada lagi kelahiran kembali, tidak ada lagi siklus lahir dan
mati yang harus dialami.  Jika kita tidak dilahirkan kembali,
tidak akan ada pembusukan dan kematian, sekaligus
penderitaannya.  Selesai!  Tirai ditutup!  Gumpalan
penderitaan ini telah dilenyapkan.  Dan dengan demikian
kita dapat berkata, seperti yang telah dikatakan orang-
orang suci, Telah kulakukan semua yang harus
kulakukan.  Inilah hidup yang suci.
Tentu saja, sekarang kita mungkin masih jauh dari
tujuan ini .  namun  seperti ungkapan, perjalanan
seribu mil dimulai dari satu langkah.  Jadi aku optimis.  Ya,
aku adalah seorang Buddhis dan aku orang yang optimis.
(Siapa yang mengatakan bahwa seorang Buddhis adalah
orang yang pesimis?)  Dan aku percaya bahka setiap
langkah yang kita ambil dalam jalur kesadaran penuh akan
membawa kita lebih dekat ke tujuan – yaitu Nibbana, akhir
dari segala penderitaan.  Dan dengan menjadi orang yang
optimis, aku berpikir bahwa kita akan dapat meraihnya
secara lebih cepat.
            
Katakanlah dengan bunga
Dan saat aku terbaring di ranjang rumah sakit, aku
ingin berbicara mengenai Dhamma kepada semua orang
yang mengunjungiku, atau kepada siapapun yang sudi
mendengarkan.  Dan lebih lanjut lagi, saya akan
mengirimkan bunga kepada seluruh teman saya.  Saya
mungkin akan menyisipkan kartu dengan pesan yang
mungkin berbunyi seperti ini: “Halo!  Apa kabar?  Apa kau
menyukai bunga ini?  Sangat indah bukan?  Apa kau sempat
berhenti dan mengagumi keindahan dari bunga ini serta
mencium wanginya?  Dan saat kau memandang bunga ini,
apakah kau juga teringat akan binaran mata orang yang
kau cintai atau anakmu?  Dan apakah kau merasakan dan
mengerti keinginan dan ketakutan mereka?  Atau apakah
kau terlalu sibuk dengan rencana dan ambisi duniawimu
sendiri, usahamu untuk menjadi terkenal dan kaya?
“Sudahkah kau pertimbangkan dengan baik
mengenai ketidak-kekalan, temanku – bagaimana semua
ini akan lenyap dan mati?  Dan bagaimana, selama kita
masih hidup, kita harus hidup dengan lebih berarti
sehingga kita tidak menyesal di kemudian hari.  Bagaikan
bunga yang la yu, aku juga sekarat.  namun  aku
mengirimkan doaku bagimu.  Semoga kau baik-baik dan
bahagia selalu!  Aku harap kau benar-benar berusaha
meluangkan waktu untuk orang-orang yang kau sayangi
dan melatih meditasi.  Kau tahu, mencar i uang,
 
memperoleh segala kemewahan, menikmati kesenangan
sensual bukanlah segalanya.  Itu semua mungkin terasa
enak untuk sesaat, namun sesungguhnya lebih penting
menjadi baik hati dan penuh cinta kasih: hal ini akan
memberimu rasa kepuasan dan kebahagiaan yang lebih
besar.  Maafkan atas ceramahku ini namun  mohon cobalah
memenuhi permintaan orang yang sekarat ini.
Perkenankanlah dia menyampaikan pesannya.  Ya, selama
kau masih hidup, kau harus berusaha menyebarkan
sebanyak mungkin kegembiraan dan kebahagiaan.
Maafkanlah semua orang.  Jangan menyimpan kekesalan
atau menganggap semua orang musuhmu.  Ingatlah selalu,
hidup ini pendek dan kita semua pasti akan mati.  Dan
bahwa mencintai adalah memberi, bukan mengambil.  Cinta
member i tanpa ada persyaratan.  Cinta tidak
mengharapkan balasan.  Berusahalah untuk
menanamkan jenis cinta yang indah ini.  Berbahagialah!”
Dan aku akan menutupnya dengan sebuah pesan singkat
– “Jagalah dirimu baik-baik.  Kau tak perlu mengunjungiku,
namun kau dapat berbahagia untukku sebab  aku
tersenyum.  Aku bahagia sebab  aku dapat meninggal
dengan senyuman di bibirku.  Salam dan semoga berhasil!”
Dan jika aku tidak dapat berbicara sebab  sudah
terlalu sakit, namun aku dapat tersenyum untuk
menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa
penyakit itu hanyalah mengalahkan tubuhku dan bukan
pikiranku.  Dengan cara itu orang dapat terinspirasi
   18         
walaupun sakit.  Orang akan lebih menghargai Dhamma
dan mempraktekkannya secara lebih ketat.  Tentu saja,
jika aku menyampaikan hal ini kepada teman-temanku
yang bukan Buddhis, aku tidak boleh menekankan
pendangan keagamaanku pada mereka.  Aku dapat
menyampaikan pandangan-pandanganku namun  aku tidak
boleh memaksa mereka.  Sama seperti aku tidak ingin
mereka memaksakan keyakinannya kepadaku, aku juga
harus tidak memaksakan keyakinanku kepada mereka.
Kita harus saling menghormati pandangan agama masing-
masing dan saling mencintai.  Dengan demikian, akan
tercipta kebersamaan hidup yang penuh kedamaian.
      
SIKAP YANG TEPAT
DALAM MENGATASI PENYAKIT
Kita tidak seharusnya menganggap penyakit dan
penderitaan sebagai suatu hal yang akan menghancurkan
kita sampai benar-benar habis, dan sebab nya kita
menyerah menjadi putus-asa dan patah semangat.
Sebaliknya kita (sebagai penganut Buddhis) dapat
melihatnya sebagai suatu tes untuk mengetahui
pemahaman kita akan ajaran-ajaran Sang Buddha, dan
seberapa baik kita dapat menerapkan pengetahuan yang
telah kita pelajari ini .  Jika kita tidak dapat secara
mental mengatasinya, jika kita gagal, maka hal ini
menunjukkan bahwa pemahaman kita akan Dhamma,
pelatihan kita, masih lemah.  Dengan begitu, ini adalah tes
dan kesempatan bagi kita untuk melihat seberapa baik kita
telah menguasai latihan kita.
Selain itu, penyakit adalah suatu kesempatan bagi
kita untuk meningkatkan lebih lanjut latihan kita dalam
hal kesabaran dan toleransi.  Bagaimana kita dapat melatih
20         
dan mengembangkan “parami*” (kesempurnaan) seperti
kesabaran jika kita tidak dites, jika kita tidak mengalami
kondisi yang sulit dan sengsara?  Jadi, dengan begitu, kita
dapat menganggap penyakit sebagai sebuah kesempatan
bagi kita untuk lebih menanamkan kesabaran.
* Ke sepuluh parami adalah memberi, moralitas, pelepasan,
kebijaksanaan, semangat, kesabaran, kebenaran, tekad,
cinta kasih dan ketenangan hati.  Seluruh bodhisatta
(mereka yang ingin menjadi Buddha) harus menanamkan
parami ini.  Seluruh pemeluk agama Buddha juga harus
menanamkan parami ini sampai pada tingkat tertentu
sebelum mereka dapat memperoleh penerangan di bawah
bimbingan seorang Buddha.
Kita juga dapat memandang kesehatan bukan hanya
sebagai keadaan di mana tidak ada penyakit, melainkan
sebagai suatu kondisi di mana kita dapat mengalami
penyakit, dan kemudian belajar serta berkembang dari
pengalaman ini .  Ya, definisi baru mengenai kesehatan
datang dari beberapa ahli kedokteran, seperti Dr. Paul
Pearsall dari Rumah Sakit Sinai di Detroit, Amerika Serikat.
Melihat bagaimana penyakit tidak akan pernah dapat
benar-benar dilenyapkan dan bagaimana kita pada
akhirnya akan dikalahkan dengan berbagai cara, para
dokter ini telah membuat suatu definisi mengenai kesehatan
yang dapat membantu kita menyesuaikan diri dengan
penyakit  saat  penyakit itu datang.  Benar, bukan? – bahwa
tidak peduli sehebat apa mesin-mesin, prosedur, dan obat-
obatan yang dapat kita temukan, orang masih dikalahkan
 21
oleh kanker, AIDS, penyakit jantung dan sejumlah penyakit
lainnya.  Pada intinya, tidak ada pelarian.  Kita harus
mengerti dan menerima kenyataan ini, sehingga  saat  hal
itu benar-benar terjadi dan kita harus kalah, kita dapat
gugur dengan sebaik mungkin.  Tak perlu diragukan lagi,
kita akan berusaha mengobati penyakit sebaik mungkin,
namun jikalau kita telah berusaha melakukan yang terbaik
dan kita tetap kalah serta penyakit terus berkembang, kita
harus dapat menerima dan pasrah pada hal yang tidak
menguntungkan ini .
Dalam analisa terakhir, yang penting bukanlah
lamanya kita hidup namun  seberapa baik kita menjalani
hidup, dan ini termasuk seberapa baik kita dapat menerima
penyakit kita dan pada akhirnya seberapa baik kita
meninggal.  Sehubungan dengan hal ini, Dr. Bernie S. Siegel
dalam artikel nya “Kedamaian, Cinta & Kesembuhan” (“Peace,
Loving & Healing”), menulis:
Pasien-pasien tertentu tidak berusaha untuk tidak mati.
Mereka berusaha untuk hidup sampai mereka mati.  Dan
merekalah yang sukses, tidak peduli apapun hasil
penyakit mereka, sebab  mereka telah menyembuhkan
hidup mereka, walaupun penyakit mereka sendiri belum
tersembuhkan.
Dan dia juga mengatakan:
Hidup yang sukses bukanlah mengenai kematian,
melainkan bagaimana hidup dengan baik.  Saya
Sikap Yang Tepat Dalam Mengatasi Penyakit 22         
mengenal anak-anak berumur 2 tahun dan 9 tahun yang
telah mengubah orang dan bahkan seluruh komunitas
dengan kemampuan mereka untuk mencintai, dan hidup
mereka adalah hidup yang sukses walaupun pendek.
Sebaliknya, saya telah mengenal pula banyak orang
yang hidup lebih panjang namun hanya meninggalkan
kekosongan.
Jadi sebenarnya alangkah indahnya kenyataan
bahwa hidup kita dapat disembuhkan walaupun penyakit
kita tidak dapat disembuhkan.  Bagaimana mungkin?
sebab  penderitaan adalah bagaikan guru dan jika kita
belajar dengan baik, kita pun dapat menjadi orang-orang
yang lebih baik.  Tidakkah kita pernah mendengar kejadian
di mana orang-orang, sesudah  melalui penderitaan yang luar
biasa, berubah menjadi orang-orang yang lebih baik?  Jika
sebelumnya mereka tidak sabar, egois, sombong, dan tidak
peduli, mereka mungkin menjadi lebih sabar, baik, lembut,
dan rendah hati.  Kadang-kadang mereka mengakui bahwa
penyakit sebenarnya adalah sesuatu yang baik untuk
mereka – sebab  hal itumemberi  kesempatan kepada
mereka untuk memikirkan kembali gaya hidup mereka dan
nilai-nilai yang lebih penting dalam hidup.  Mereka menjadi
lebih menghargai keluarga dan teman, dan mereka
sekarang menghargai waktu yang mereka lalui bersama
orang-orang yang mereka cintai.  Dan jika mereka sembuh,
mereka akan meluangkan lebih banyak waktu bagi orang-
orang yang mereka cintai, serta melakukan hal-hal yang
benar-benar lebih penting dan berarti.
 23
Namun jikalau kita dikalahkan penyakit, kita tetap
dapat belajar dan berkembang dari hal ini .  Kita dapat
mengerti betapa kritisnya hidup ini dan betapa benarnya
ajaran Sang Buddha – bahwa ada ketidak-sempurnaan
yang mendasar dalam hidup.  Kita dapat menjadi lebih baik
hati dan lebih menghargai kebaikan yang kita terima dari
orang lain.  Kita dapat memaafkan mereka yang telah
melukai kita.  Kita dapat mencintai dengan lebih baik lagi,
lebih dalam lagi.  Dan  saat  kematian tiba, kita dapat
meninggal dengan pasrah dan damai.  Dengan begitu, dapat
kita katakan bahwa hidup kita telah tersembuhkan sebab 
kita telah pasrah berdamai dengan dunia dan kita dipenuhi
oleh kedamaian.
      
Kita dapat bermeditasi
 saat  kita sakit dan harus berbaring di ranjang, kita
tidak perlu berputus asa.  Kita dapat tetap bermeditasi
walaupun kita sedang terbaring sakit.  Kita dapat mengamati
pikiran dan tubuh kita.  Kita dapat memperoleh ketenangan
dan kekuatan dengan melakukan meditasi pernapasan.
Kita dapat mengamati masuk dan keluarnya napas kita,
 saat  kita mengambil dan mengeluarkan napas.  Hal ini
dapatmemberi  rasa ketenangan.  Atau kita dapat
mengamati timbul dan tenggelamnya perut (abdomen)
 saat  kita menarik dan mengeluarkan napas.  Pikiran kita
Sikap Yang Tepat Dalam Mengatasi Penyakit 24         
dapat mengikuti timbul dan tenggelamnya perut, dan
menjadi satu dengannya.  Ini juga dapat menumbulkan rasa
ketenangan.  Dan dari rasa tenang ini , muncullah
kesadaran.  Kita dapat melihat sifat alami dari seluruh
fenomena, yaitu kesementaraan (ketidak-kekalan) dan
kehancuran, sehingga dapat menerima kenyataan akan
fakta ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan tanpa diri.  Jika
kita telah mempelajari kesadaran penuh atau meditasi
Vipassana*, kita dapat melalui waktu kita dengan
mudahnya.  Ada banyak obyek
* Vipassana adalah meditasi ke dalam atau meditasi dengan kesadaran
penuh.  Dalam Vipassana, praktisi meditasi menggunakan kesadaran
penuh untuk mengamati fenomena mental dan fisik, pada akhirnya
memahami karakter ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan tanpa diri
dari segala fenomena ini .  Untuk penjelasan singkat mengenai
Vipassana serta latihan meditasi jenis lainnya yang disebut meditasi
metta atau cinta kasih, bacalah “Perkenalan kepada Vipassana”
(“Invitation to Vipassana”) dan “Menghalau Kemarahan Menyebarkan
Cinta Kasih” (“Curbing Anger Spreading Love”) yang keduanya ditulis
oleh penulis yang sama dan diterbitkan oleh Pusat Meditasi Buddhis
Malaysia di Penang.
yang dapat kita amati dalam segala postur, apakah
 saat  kita sedang berbaring, duduk, berjalan, maupun
berdiri.  Kita dapat mengetahui postur kita sebagaimana
adanya, dan merasakan sensasi yang muncul dalam tubuh
kita.  Kita dapat mengamati semua itu dengan pikiran yang
antap dan tenang.  Dan tentu saja, pikiran juga merupakah
suatu subyek pengamatan.  Jadi kita juga dapat mengamati
keadaan pikiran kita.  Semua dapat diamati – kesedihan,
depresi, ketidak-tenangan, kekuatiran, pikiran-pikiran –
dan semua itu akan lenyap, dan timbullah ketenangan hati,
 25
kedamaian, dan kebijaksanaan.  Situasi yang sehat dan
tidak sehat akan datang dan pergi.  Kita dapat menyaksikan
semua itu dengan penuh pengertian dan ketenangan hati.
Kadang kita dapat memancarkan “metta” (cinta
kasih).  Sesering mungkin kita dapat mendoakan semua
makhluk:
Semoga semua makhluk sehat dan berbahagia.
Semoga mereka bebas dari rasa sakit dan bahaya.
Semoga mereka bebas dari penderitaan mental.
Semoga mereka bebas dari penderitaan fisik.
Semoga mereka menjaga diri mereka sendiri dengan
bahagia.*
Dengan cara ini juga, kita dapat melewati waktu
dengan menyenangkan bahkan walaupun kita harus
terbaring sakit.  Kita dapat memancarkan cinta kasih
kepada para dokter, suster, dan sesama pasien.  Kita juga
dapat mengirimkan cinta kasih kita kepada orang-orang
yang kita sayangi, anggota-anggota keluarga dan teman.
Terlebih lagi, kita dapat merenungkan Dhamma setiap saat,
mengingat-ingat apa yang telah kita baca, dengar, atau
mengerti.  Dengan melakukan perenungan seperti itu, kita
dapat menganggapi penderitaan kita dengan penuh
kebijaksanaan dan ketenangan hati.
* Keterangan lebih lanjut mengenai latihan meditasi metta dapat
ditemukan dalam artikel  “Menghalau Kemarahan Menyebarkan Cinta
Sikap Yang Tepat Dalam Mengatasi Penyakit 26         
Kasih” (“Curbing Anger Spreading Love)”.  Lihat catatan kaki pada
halaman sebelumnya.
Instruksi dari Sang Buddha adalah kita harus selalu
mengelola pikiran kita, melakukan meditasi, dan tetap
melakukannya walaupun kita sedang sakit.  Malah
sesungguhnya pada saat-saat seperti itulah kita harus
lebih berusaha untuk melatih kesadaran diri kita.  Siapa
tahu, Nibbana atau kebijaksanaan tertinggi dapat tercapai
 saat  kita menghembuskan napas terakhir kita!  Dalam
catatan kuno, Sang Buddha bersabda mengenai seorang
bhikkhu yang sedang menderita sakit – didera oleh rasa
sakit secara f isik yang memilukan, tajam, menusuk,
menganggu, tidak nyaman, yang menyiksa dan memeras
hidupnya.  Namun bhikkhu ini  tidak kecil hati, malah
merasakan “samvega” – suatu semangat untuk terus
berusaha/berjuang bahkan dalam detik-detik terakhir
hidupnya.  “Dia berusaha sebaik-baiknya,” kata Sang
Buddha.  “Pikirannya sangat terpusatkan pada Nibbana,
dia menyadari dengan sendirinya kebenaran yang utama,
dia melihat dan menembusnya dengan kebijaksanaan.”
      
Adalah benar dan yang sebenar-benarnya, pemilik rumah,
bahwa kau adalah orang yang sakit; tubuhmu lemah dan
tak berguna.  sebab  orang yang membawa tubuhnya ke
mana-mana untuk memperoleh kesehatan sesaat,
sesungguhnya benar-benar bodoh.  sebab  itu, pemilik
rumah, kau harus melatih dirimu sendiri seperti ini:
“Walaupun tubuhku sakit, pikiranku tidak akan menjadi
sakit.”  Demikianlah, pemilik rumah, bagaimana kau harus
melatih dirimu sendiri.
Buddha
TRIBUT BAGI KUAI CHAN
Aku ingin bercerita mengenai seorang yogi (praktisi
yoga) gagah berani yang meninggal dunia sebab  kanker
paru-paru dengan penuh kedamaian sambil mengucapkan
kata Nibbana.  Namanya Kuai Chan dan dia meninggal
dunia pada tanggal 18 Desember 1992 di rumahnya di
Kuala Lumpur dalam umur 43 tahun.  Suaminya, fredy krueger ,
memberitahukan bagaimana Kuai Chan mengatasi
penyakitnya.  sebab  hal ini  akan sangatmemberi 
inspirasi terutama bagi para yogi (meditator), aku meminta
ijin fredy krueger  untuk mencantumkan ceritanya dalam artikel  ini,
dan aku berter ima kasih kepadanya sebab  telah
menyetujui permintaanku ini .
Kuai Chan pertama kali didiagnosa mengidap
penyakit kanker payudara pada bulan April 1989.  Pada
28         
saat itu dia telah berlatih meditasi Vipassana selama satu
tahun.  Dia menerima diagnosa ini  dengan tenangnya.
“Istriku menerima bahwa itu adalah karma*nya,” kata fredy krueger .
“Dia tidak menyalahkan siapa pun atau apa pun.  Dia sama
sekali tidak merasakan kepahitan maupun menjadi
depresi.  Dia sangat tenang dan tetap bertahan seperti itu
sampai saat kematiannya.”  Kuai Chan menjalani operasi
untuk membuang payudaranya yang telah terinfeksi
ini .  Tiga bulan kemudian dia harus dioperasi lagi
sebab  ternyata sel-sel kanker masih tumbuh di daerah
ini .  sesudah  itu dia menjalani radio dan kemoterapi
dengan efek samping yang minimal/kecil.  Sepanjang
pengobatan kanker payudaranya, dan dalam jangka waktu
enam bulan sesudah  didiagnosa terkena kanker paru-paru
yang terminal/gawat, dia menolak untuk mengkonsumsi
obat penawar rasa sakit.  “Dia tidak mau penawar sakit
apa pun,” kata fredy krueger .  “Bahkan  saat  rasa sakitnya benar-
benar sangat menyiksa, dia menolak untuk memakan obat
penawar rasa sakit, bahkan panadol pun tidak.  Dia adalah
seseorang yang penuh tekad kuat, sangat teguh dan
mengagumkan.”
Keputusannya untuk tidak menggunakan obat-
obatan penawar rasa sakit adalah sebab  dia ingin menjaga
pikirannya sejernih dan seawas mungkin.  Dia adalah
seorang yogi, dan semua yogi menghargai kesadaran
mereka.  Mereka tidak akan ingin obat-obatan
menumpulkan pikiran mereka dan mencacati meditasi
 29
mereka.  Jadi jika mereka dapat menahan rasa sakit, mereka
akan menanggungnya.  Kuai Chan siap menghadapi rasa
sakit itu, sehingga dia menolak penawar rasa sakit.  Dia
hanya setuju untuk menjalani radio dan kemoterapi untuk
kanker payudaranya sebab  mungkin hal ini  dapat
* Karma adalah hukum alam mengenai sebab dan akibat, atau aksi dan
reaksi.  Hukum ini berpegang pada prinsip bahwa apa yang baik
menghasilkan hal yang baik dan apa yang jahat menghasilkan hal yang
jahat pula.  Jadi jika kita telah melakukan sesuatu yang jahat di
kehidupan sebelumnya, hasil dari perbuatan jahat ini  mungkin
terwujud dalam hidup yang sekarang.  Sebagai contohnya, seseorang
yang banyak membunuh, jika dilahirkan sebagai seorang manusia, akan
mempunyai hidup yang pendek.  Untuk penjelasan yang lebih baik
mengenai karma, bacalah “Sang Buddha dan Ajaran-AjaranNya” (“The
Buddha and his Teachings”) yang ditulis oleh Narada, terbitan Masyarakat
Misionaris Buddhis (BMS), Malaysia; Hal.333ff.
menyembuhkannya.  namun  kemudian  saat  dia ternyata
mengidap kanker paru-paru dan dikatakan sudah tingkat
lanjut (terminal), dia menolak radio dan kemoterapi yang
direkomendasikan oleh rumah sakit untuk meringankan
penderitaannya.  Dan  saat  seorang doktermemberi 
obat penawar rasa sakit seper ti morf in, dia juga
menolaknya.
fredy krueger  berkata bahwa pada saat pertama terkena
kanker payudara, Kuai Chan tidak begitu bermasalah
dengan rasa sakit yang dideritanya sesudah  operasi.
Sebagai seorang yogi, dia dapat merasakan rasa sakit itu
dengan cukup baik dan rasa sakit itu kemudian akan
hilang.  namun  kanker paru-paru benar-benar merupakan
      30         
masalah besar baginya.  Rasa sakit benar-benar sangat
menyiksa pada saat-saat tertentu namun  dia tetap menolak
obat-obatan.  Ada saat-saat di mana Kuai Chan pingsan
dan terbaring terlentang di lantai  saat  rasa sakit itu
menyerang.  Namun dia tetap bertahan.  Dia juga
menderita batuk yang hebat yang berlangsung berhari-hari
dan bermalam-malam.  fredy krueger  berada di sampingnya dan
 saat  istrinya tidak dapat tidur selama berhari-hari, dia
mencoba meringankan rasa sakit dan batuknya dengan
menggosokkan balsam, memijatnya, dan cara-cara
tradisional lainnya.  Dia membawa Kuai Chan ke sensei-
sensei Cina yangmemberi  berbagai macam jenis
tumbuhan untuk digodok dan diminumkan ke Kuai Chan.
fredy krueger  berkata bahwa keyakinan dan meditasi Kuai
Chan-lah yang membuatnya mampu menghadapi
penderitaan ini  dengan ketenangan dan sikap yang
sangat hebat.  Mereka berdua telah berlatih meditasi dengan
Yang Agung Sujiva pada suatu retreat di Taiping pada tahun
1988.  sesudah  itu Kuai Chan terus menghadiri acara retreat
secara teratur di pondok Yang Agung Santisukharama di
Kota Tinggi, Johor.
 saat  Kuai Chan dinyatakan menderita kanker
paru-paru sesudah  mengidap batuk yang berkepanjangan
pada bulan Juli 1992, dokter memvonisnya waktu satu
bulan untuk hidup.  Sambil menunjukkan hasil X-ray
kepada Kuai Chan dan fredy krueger , dia menunjukkan bagaimana
 31
kanker ini  telah menyebar di seluruh paru-paru.  Dia
bahkan menyatakan rasa herannya sebab  Kuai Chan
masih dapat berjalan-jalan dan terlihat cukup sehat,
sementara kondisi paru-parunya telah termakan kanker.
Namun dokter ini  tidak tahu bahwa Kuai Chan
mempunyai tekad sekuat baja.  Dia bertahan selama enam
bulan.  Pada saat itu, baginya tidak ada bedanya berjuang
untuk terus bertahan hidup dan mati secara terhormat.
 saat  Kuai Chan dan fredy krueger  bertemu denganku di Pusat
Kebijaksanaan (Wisdom Center) di Petaling Jaya  saat  aku
sedang berkunjung di bulan Juli, mereka bertanya
kepadaku apa yang dapat mereka lakukan.  Aku berkata
kepada mereka: Apalagi yang dapat dilakukan seorang yogi
selain bermeditasi!  Jika aku adalah dia, aku akan terus
bermeditasi sampai detik terakhir, kataku.  Mereka merasa
terdukung dan Kuai Chan bertekad saat itu juga untuk
menghabiskan sisa harinya dengan bermeditasi di
rumahnya.  fredy krueger  berkata dia akan mendukungnya
sepanjang jalan.
namun  dia tidak menyangka bahwa rasa sakitnya
dapat menjadi begitu tak tertahankan.  Dia berkata kepada
fredy krueger  bahwa dia tidak tahu ada rasa sakit seperti itu.
Terutama di bagian punggung bawahnya, bagaikan
membakar dan menusuk-nusuknya.  Dia mengumpulkan
seluruh kekuatan mentalnya untuk mengamati rasa sakit
itu namun dia akan tetap kalah juga.  Terlalu berat baginya.
Ada saat-saat di mana dia hanya dapat terbaring tak
      32         
berdaya tanpa dapat merasakan sakit itu lagi.  Dia hanya
dapat bertahan.  namun  dia tetap tidak memakan obat
penawar sakit.  Dia bekonsultasi dengan guru meditasinya,
Yang Agung Sujiva, yang menyarankannya untuk
melakukan meditasi metta (cinta kasih) dan meditasi
pernapasan untuk meringankan rasa sakit  saat  dia sudah
tidak dapat menahannya lagi.  Hal ini memberi 
sedikit kelegaan baginya.  Terlepas dari rasa leganya dia
dapat melanjutkan meditasi vipassananya.  Sehari sesudah 
tiga minggu bertarung dengan rasa sakit yang persisten,
dia mendapatkan pengalaman yang unik.  Dia berkata
kepada fredy krueger  bahwa  saat  sedang mengamati rasa sakit
yang menusuk itu, dia menyadari bahwa rasa sakit itu
menjadi semakin baik dan baik sampai pada akhirnya
hilang.  Dia berkata bahwa dia merasa bagaikan seluruh
inderanya telah terputus, seperti tidak ada nama-rupa
(tubuh dan pikiran) pada saat itu, bahkan pikiran dan
tubuhnya telah lenyap bersamaan dengan lenyapnya rasa
sakit.  Dia berkata pada fredy krueger  bahwa dia merasa ini
bagaikan suatu pengalaman Nibbana, dan dia merasakan
suatu kegembiraan yang luar biasa muncul di dalam
dirinya.  sesudah  pengalaman ini , dia tidak pernah
mengalami rasa sakit yang sangat menyiksa lagi.
Sepuluh hari sebelum Kuai Chan meninggal, fredy krueger 
membawanya ke rumah sakit swasta sebab  dia mengalami
kesulitan bernapas.  Para dokter memasangkan oksigen.
X-ray menunjukkan bahwa sel-sel kanker telah menyebar
 33
lebih luas, sehingga mengganggu pernapasan.  Saat itulah
radio dan kemoterapi dianjurkan, bukan sebagai hal yang
mungkin dapat menyembuhkan, namun  sekedar untuk
meringankan kondisinya.  Namun Kuai Chan tidak ingin
kehilangan kejernihan pikirannya, sehingga dia menolak
anjuran ini .  Lima hari kemudian Kuai Chan meminta
fredy krueger  untuk membawanya pulang sebab  dia merasa tidak
ada alasan lagi baginya untuk tinggal di rumah sakit.  fredy krueger 
memasang tank oksigen di rumah mereka, menjemput Kuai
Chan pulang, dan memasangkan oksigen padanya untuk
meringankan kesulitan bernapasnya.  Lima hari sejak
tanggal 13 Desember sampai pada kematiannya pada
tanggal 18 Desember, Kuai Chan terlihat seperti setengah
tidur, hanya sekali-sekali saja sadar.  Namun dua hari
sebelum kematiannya, dia masih dapat mengingat ulang
tahun putrinya yang ke-17 yang jatuh pada tanggal 17
Desember.  Dia mengingatkan fredy krueger  untuk merebus dua butir
telur bagi putri mereka danmemberi  angpao, yang
dilakukan fredy krueger  dengan taat.
Pada tanggal 18 Desember Kuai Chan terbangun
sekitar jam 9 pagi sambil tersenyum.  Dia bertanya, “
Apakah aku telah tertidur?”  fredy krueger  menjawab: “Ya, sudah
lima hari.  Tidakkah kau tahu?”  Dia sangat terkejut, namun
kelihatan bahagia dan penuh senyum.  Dia berkata dia
tidak perlu memakan obat-obatan lagi.  Dia ingat kembali
akan ulang tahun putr inya, dan walaupun fredy krueger 
memberitahunya bahwa dia telahmemberi  angpao
      34         
kepada putri mereka seperti yang diinstruksikan, istrinya
mengatakan kepadanya lagi: “Berikan lagi angpao buat dia
dari aku.”
Sekitar jam 2 siang, kata fredy krueger , Kuai Chan mencoba
berkata sesuatu kepadanya namun  terlalu lemah untuk
berbicara.  Bill y mengingatkan kepadanya untuk
mempertahankan pikiran yang terbebaskan/tidak melekat,
jangan kuatir mengenai dirinya dan anak-anak, dan untuk
merasa bebas untuk pergi dalam kedamaian.  fredy krueger   berkata
bahwa mereka bedua telah sering mendiskusikan hal ini
sebelumnya, bahwa jika Kuai Chan dapat sembuh maka
itu akan merupakan hal yang sangat bagus; namun  jika hal
itu tidak mungkin, juga tidak apa-apa: Kuai Chan harus
dapat pergi dengan damai, sebab  telah memahami hukum
kamma, bahwa kita semua suatu saat pasti harus berpisah.
Pada pukul 3 siang  saat  putranya yang berumur
15 tahun kembali dari sekolah dan  memberitahunya:
“Mama, aku telah kembali,” dia mengerti walaupun dia tidak
dapat berbicara.  Dia menganggukkan kepala sebagai tanda
bahwa dia tahu.
Sekitar pukul 3.30 siang, fredy krueger  berkata bahwa Kuai
Chan, dengan segala upaya, berhasil berkata dengan jelas
dalam dialek Kanton, “Woh yap niphoon,” yang berarti “Aku
telah memasuki Nibbana,” yang maksudnya berarti dia
yakin dia telah menyadari atau mengalami Nibbana.
 
Kemudian dia menunjuk ke perutnya.  Itu adalah kata-kata
terakhirnya, dan Kuai Chan meninggal dengan penuh
kedamaian sekitar 45 menit kemudian.  fredy krueger  berkata bahwa
Kuai Chan, dalam meditasinya, biasanya memperhatikan
gerak timbul dan tenggelamnya perut yang terjadi setiap
dia menarik dan menghembuskan napas.  Dia mendapatkan
bahwa gerakan timbul dan tenggelamnya perut adalah
suatu objek yang bagus untuk berkonsentrasi, dan dia
mencoba untuk memberi semangat kepada yogi-yogi
lainnya untuk berpegang pada objek itu juga.  Apapun
fenomena dalam tubuh maupun pikiran yang diterapkan
seseorang untuk mempraktekkan kesadaran penuh dan
konsentrasinya, dia pada akhirnya akan melihat muncul
dan lenyapnya fenomena ini  dan kemudian mengerti
sifat alami  dari ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan
tanpa-diri mereka.  Pengertian seperti itu dapat mencapai
puncaknya pada pencapaian Nibbana, yaitu suatu keadaan
pelepasan dari penderitaan.  Kekotoran batin yang terdiri
dari keserakahan, kebencian, dan pandangan salah benar-
benar terlenyapkan  saat  Nibbana dialami pada tingkatan
arahat.*
fredy krueger  berkata bahwa  saat  Kuai Chan mendekati detik
terakhirnya, wajahnya memancarkan suatu sinar, dan
 saat  dia berbicara, matanya sangat cemerlang dan jernih.
Sekitar pukul 4.15 sore, fredy krueger  memperhatikan bahwa Kuai
Chan telah berhenti bernapas.  “Dia terlihat sangat damai,
sangat tenang.  Dia meninggal dunia dengan penuh
kedamaian.” ujar fredy krueger .
      36         
* Sebagai suatu pengalaman lenyapnya fenomena
yang terkondisi selama meditasi, Nibbana dapat dialami
pada 4 tahap kesucian.  Walaupun pengalaman akan
Nibbana sebagai pelenyapan segala fenomena yang
terkondisi adalah sama pada semua tahap, yaitu bahwa
Nibbana hanya mempunyai satu “rasa”, yaitu kedamaian,
namun hasilnya dalam hal penghancuran kekotoran batin
berbeda-beda pada setiap tahap.
Pada tahap per tama dari seorang sotapanna
(pemenang arus atau stream-winner), keserakahan dan
kebencian dilemahkan secara dramatis namun  tidak
sepenuhnya dilenyapkan.  Ke dua kekotoran batin ini telah
dilemahkan sampai pada taraf seorang sotapanna tidak
dapat lagi melanggar ke lima sila (tidak membunuh - bahkan
seekor serangga pun, tidak mencuri atau berbuat curang,
tidak melakukan perbuatan asusila seperti pelecehan
seksual, tidak berbohong, dan tidak meminum alkohol serta
memakan obat-obatan terlarang).
Pada tahap kedua dari seorang sakadagami (yang
masih akan kembali sekali lagi (once-returner)), kekotoran
batin secara lebih jauh dilemahkan.
Pada tahap ketiga dari seorang anagami (yang tidak
akan kembali lagi (non-returner)), keinginan akan hal-hal
sensual dan kebencian/kemarahan telah benar-benar
dilenyapkan.  namun  masih ada tersisa sedikit rasa ketidak-
 37
pedulian dan keinginan akan hal-hal alami yang non-
sensual, seperti keinginan untuk lahir di alam brahma yang
non-sensual.
Pada tahap keempat dari seorang arahat (yang telah
mencapai kesucian penuh - a full saint), seluruh keinginan/
keserakahan dan ketidak-pedulian benar-benar telah
lenyap.  Arahat menjalani hidupnya yang terakhir, sebab 
itu tidak ada lagi kelahiran baginya.
Sekitar jam 4 sore hari itu juga, seorang teman
Dhamma, Lily, yang tinggal sekitar 25 km dari Petaling Jaya,
tiba-tiba ingin memancarkan metta (cinta kasih) kepada
Kuai Chan.  Lily duduk bermeditasi, mengirimkan pikiran-
pikiran penuh cinta kasih kepada Kuai Chan.  Dan dia
berkata dia memperoleh pandangan yang sangat jelas
mengenai Kuai Chan, yang terlihat begitu agung.   saat 
dia mengakhiri meditasinya, dia melihat pada jam.  Jam
4.15 sore, sekitar waktu yang sama  saat  Kuai Chan
meninggal.
Meninggal dengan caranya seperti itu, jelaslah
bahwa Kuai Chan mengalami cara kematian yang bagus.
Cara apalagi yang lebih baik daripada ini – dengan pikiran
yang tertuju sepenuhnya pada Nibbana.  Siapa yang dapat
menebak pengalaman unik apa yang mungkin telah dialami
Kuai Chan?  Hanya dialah yang tahu.  namun  satu hal yang
pasti, pikirannya tetap mantap, sampai saat yang terakhir,
      38         
terarah ke Nibbana.  Aku berharap dia telah mencapai
Nibbana.  Jika dia belum mencapainya di kehidupan ini,
aku yakin bahwa dengan pikirannya yang begitu tegar dan
pasti, dia pasti telah dilahirkan kembali dengan baik sebagai
manusia atau dewa dan akan mencapai tujuan yang
diidam-idamkannya di kehidupan ini .
Sebagai seorang Buddhis, dia telah menginstruksikan
fredy krueger  untuk melakukan pemakaman yang sederhana
untuknya, tanpa ritual dan peraturan yang berlebihan.
Sesuai dengan keinginannya, fredy krueger  mengatur acara
kremasinya pada keesokan harinya.  Beberapa bhikkhu
Buddhis, para yogi dan teman-teman membacakan sutta-
sutta Buddha.  Kesemuanya itu sangatlah sederhana,
seperti yang telah diminta oleh Kuai Chan.  fredy krueger  mengambil
abu jenasah Kuai Chan untuk kemudian ditaburkan di
pohon bodhi yang tumbuh di pondok meditasi guru mereka
di Johor.
Mengingat kembali kehidupan mereka berdua, fredy krueger 
berkata Kuai Chan adalah istr i terbaik yang dapat
diharapkannya: “Kami menikah sudah 22 tahun lamanya
dan dia telah berada di sisi saya dalam suka maupun duka,
melalui berbagai macam percobaan dan perjuangan.  Dia
adalah orang yang ceria dan berseri-seri, selalu penuh
kasih sayang dan perhatian.  Bahkan  saat  sakit dia tetap
hebat, tidak pernah mengeluh.  Dia tidak depresi.  Tidak
ada sama sekali kemarahan maupun kepahitan dalam
dirinya.  Dia tetap tenang dan tegar.  Dia bahkan tetap dapat
 
tersenyum dan ter tawa.  Dia mener ima seluruh
penderitaannya dengan penuh keanggunan.  Dia akan
berkata bahwa tubuhnyalah yang sakit dan bukan
pikirannya.  Pikirannya masih baik dan sehat.  Dia tidak
mencemaskan dirinya sendiri melainkan mengkuatirkan
orang lain.  Dia berkata bahwa jika dia dapat hidup 10
tahun lebih lama lagi, dia akan melakukan lebih banyak
tugas/pekerjaan Dhamma.  Dia juga mengkuatirkan aku
dan anak-anak.
“Sesungguhnya, dia dapat mengatasi penderitaannya
lebih baik daripada aku.  Aku tidak tahan melihatnya begitu
menderita.  Aku berusaha memperoleh obat-obatan yang
terbaik dengan harapan akan kesembuhannya ataupun
berakhirnya penderitaannya ini .  Kadang-kadang aku
bertanya mengapa semua ini harus terjadi kepadanya.
Dan aku berpikir: Biarkanlah dia hidup sampai 10 tahun
lagi dan hidupku berkurang 10 tahun.  Biarkanlah aku
memberikan waktu 10 tahunku kepadanya.  namun  tentu
saja semua itu bukanlah kita yang menentukan.  Kammalah
yang berperan dalam hal ini.
“Dia sering berkata kepadaku: “Ini adalah kammaku,
fredy krueger .   Tidak apa.  Aku tidak tahu apa yang telah aku perbuat
dalam kehidupan-kehidupan lampauku.  Aku harus
menerima karmaku.”  Kadang dia berkata: “Aku minta maaf
sebab  telah menyusahkanmu, fredy krueger , dengan semua
penderitaan ini.  Kau tahu, fredy krueger , aku berhutang banyak
               
sekali kepadamu dalam kehidupan ini.”  Aku memintanya
untuk tidak berkata seperti itu.  Kau tidak berhutang
apapun kepadaku, kataku.  Kita adalah suami dan istri,
bukan? – dan dia telah menjadi seorang istri yang hebat
bagiku.  Kami telah melalui suka-duka bersama-sama, dan
sekarang di saat dia membutuhkan, aku akan berada di
sisinya.  Baik berenang maupun tenggelam, kita akan selalu
bersama-sama, kataku, untuk meyakinkannya.
“Di saat lain dia akan berkata kepadaku: “fredy krueger , inilah
ajaran yang sebenarnya, jalan yang benar, aku sangat yakin
akan hal ini ,” dan dia mengingatkanku untuk tidak
melupakan praktek meditasiku, untuk tidak menjadi puas
begitu saja namun  untuk berlatih dengan keras.  Selama
beberapa waktu, kami masih mencari sebuah ajaran yang
dapat kita pahami.  Dan  saat  kami menemukan ajaran
Buddha dan meditasi Vipassana pada tahun 1988, kami
sadar.  Kau tahu, kami berdua sering berdiskusi mengenai
Dhamma setiap malam sambil minum teh.  Hubungan kami
sangat luar biasa.”
Sepupu Kuai Chan, Sati, suatu saat bertanya
kepadanya apakah dia takut akan kanker, dan Kuai Chan
menjawab tidak, dia tidak takut akan penyakit ini .
Dia siap untuk menghadapi rasa sakit tanpa obat-obatan.
Dia benar-benar seorang pejuang yogi, seseorang yang
mengalami kesulitan luar biasa namun tetap tekun dalam
praktek Dhammanya.  Dia membuatku berpikir-pikir apakah

aku, sebagai seorang bhikkhu, jika berada pada kondisinya,
menderita kanker, akankah kumampu menahan semua itu,
untuk memiliki keberanian dan ketahanan yang begitu
hebatnya?  Kuai Chan benar-benar merupakan sebuah
contoh yang penuh inspirasi, contoh seorang guru bagi kita
semua.  Aku harus berterima kasih kepada fredy krueger  yang telah
bersedia membagi cerita pribadinya yang penuh inspirasi
ini kepada kita, sehingga kita juga dapat memperoleh
dukungan dalam latihan kita, serta menjadi lebih yakin
dan mantap untuk berjuang lebih keras lagi.
fredy krueger  memintaku untuk mencatat rasa bersyukur/
terima kasihnya kepada Yang Agung Sujiva dan para
bhikkhu serta para yogi lainnya atas seluruh bantuan yang
telah mereka berikan kepadanya dan Kuai Chan.  Terutama
sesama yogi dari Pusat Kebijaksanaan Buddhis (Buddhist
Wisdom Centre) di Petaling Jaya, yang telahmemberi 
banyak bantuan dan dukungan moral kepada Kuai Chan
selama masa sakitnya.  “Aku tidak tahu bagaimana
menyatakan rasa terima kasihku kepada semua orang yang
telah membantu kami.  Mohon sampaikan kepada mereka
bahwa aku berharap dapat menyatakan rasa terima
kasihku kepada mereka semua, dan mengatakan: “Terima
kasih.  Terima kasih banyak untuk semua yang telah kau
lakukan bagi Kuai Chan.”
 
Sebelumnya aku telah berkata bahwa  saat  aku
melihat orang-orang yang sakit, sekarat, dan mati, timbul
dua keputusan dalam benakku.  Satu, untuk dapat
menahan rasa sakit dan kematian sambil tersenyum, untuk
dapat tetap sadar dan terkontrol sepenuhnya sampai detik
terakhirku.  Sekarang aku ingin membahas keputusanku
yang kedua.  Ya, sesudah  melihat bagaimana kita, manusia,
dan juga bahkan seluruh makhluk hidup, adalah
merupakan subyek berbagai macam penderitaan, aku
merasa bahwa setidaknya yang dapat kita lakukan selagi
masih hidup adalah membantu meringankan penderitaan
di sekeliling kita.
Banyak orang yang berbakti bagi kemanusiaan dalam
berbagai cara yang begitu indahnya.  Ibu Theresa,
contohnya, telah membaktikan seluruh hidupnya untuk
merawat mereka yang membutuhkan dan mereka yang
 
tidak memiliki apa-apa (tidak ada makanan, uang, tempat
tinggal).  Banyak orang dan organisasi yang terlibat dalam
menyediakan pelayanan sosial bagi orang-orang sakit,
cacat, kelaparan, jompo, sekarat, dan lain-lain.  Seluruh
guru keagamaan yang baik akan menganjurkan murid-
muridnya untuk berdana.  Yesus Kristus berkata: “Cintailah
tetanggamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.”  Dan
Beliau memuji para umat yang memberi makan orang-orang
kelaparan, memberi minum kepada mereka yang kehausan,
memberi baju kepada mereka yang telanjang, memberi
tempat tinggal bagi para gelandangan, mengunjungi orang
sakit dan narapidana, dengan berkata “Apapun yang telah
kau lakukan kepada sesamamu, saudaraKu, kau telah
melakukannya kepadaKu.”
Ada pernyataan serupa dalam Al Qur‘an di mana
Nabi Muhammad berkata bahwa Tuhan mungkin berkata
kepada seseorang pada Hari Kiamat: “Aku kelaparan namun
kau tidak memberiku makan.  Aku sakit namun kau tidak
mengunjungiku.”  Dan  saat  orang itu heran dan bertanya
mengapa hal ini  demikian, Tuhan akan menjawab:
“Seperti  saat  seseorang meminta sepotong roti dan kau
tidakmemberi nya.  Seperti  saat  seseorang sakit dan
kau tidak mengunjunginya.”
Dalam agama Buddha walaupun kita tidak
mempercayai Tuhan Sang Pencipta, kita percaya akan
kebaikan dan kita dianjurkan untuk tidak melukai atau
membunuh siapapun termasuk binatang, seperti serangga.
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 44         
Kita percaya akan hukum kamma – bahwa kebaikan akan
mendapatkan kebaikan dan kejahatan akan menghasilkan
kejahatan.  Jadi kita semua disatukan untuk selalu
berpegang pada kebaikan: untuk tidak membunuh,
mencuri, berbuat curang, melakukan pelecehan seksual,
berbohong dan meminum alkohol serta mengkonsumsi obat-
obat terlarang.  Kita harus melatih diri untuk mencapai
tingkat di mana kita melakukan kebaikan hanya sebab 
untuk berbuat baik saja, dan bukan sebab  takut akan
neraka atau mengharapkan balasan.  Dengan demikian kita
akan berbuat baik sebab  kita senang melakukannya dan
secara alami akan cenderung menuju kebaikan.  Dengan
kata lain, kita tidak bisa berbuat yang lain selain menjadi
baik.  Kebaikan dan kita telah menjadi satu.
Sang Buddha mengajarkan murid-muridNya untuk
beramal dan bersikap penuh perhatian.  Dalam memberi,
Dia berkata setiap usaha kecil itu berarti.  Bahkan
melemparkan beberapa remah roti ke dalam kolam untuk
memberi makan ikan-ikan dipuji oleh Sang Buddha.  Suatu
saat,  saat  para bhikkhu gagal mengunjungi seorang
bhikkhu yang sakit, Sang Buddha sendiri membasuh
bhikkhu yang sakit ini  dan menegur secara halus
kepada bhikkhu yang lain: “Siapapun yang melayani orang
sakit, berarti melayaniKu.”  Sang Buddha mendorong para
raja untuk memimpin dengan penuh rasa cinta kasih.
Beliau menganjurkan mereka untuk menghilangkan
kemiskinan, yang merupakan salah satu faktor pemicu 
 
timbulnya pencurian dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Sebagai seseorang yang penuh kedamaian, Sang Buddha
suatu saat turun tangan  saat  ada dua Negara yang
bertikai dan akan berperang sebab  merebutkan suatu
aliran sungai.  Sang Buddha bertanya kepada mereka:
Mana yang lebih penting – air atau darah manusia yang
akan mengalir sebagai akibat dari perang.  Kedua pihak
yang bertengkar ini  menyadari kebodohan mereka
dan kemudian mundur tanpa jadi berperang.
Satu dari raja-raja yang paling baik dan suka
menolong yang terpengaruh oleh ajaran Sang Buddha
adalah Asoka, yang bertahta di India selama abad ke-3
Sebelum Masehi, sekitar 200 tahun sesudah  kematian Sang
Buddha.  Terkenal akan rasa kemanusiaannya, kemurahan
dan kebaikan hati Asoka juga diberikan kepada para
binatang.  Beliau diketahui telah menyediakan para dokter
untuk menyembuhkan para manusia dan binatang.  Beliau
membangun taman-taman umum, rumah-rumah
peristirahatan bagi para pelancong dan rumah-rumah sakit
untuk para orang miskin dan sakit.  Walaupun merupakan
penganut agama Buddha yang sangat taat, Asoka
member ikan kebebasan kepada rak yatnya untuk
menyembah dan bahkan mendukung sekte-sekte
keagamaan lainnya.  Pada salah satu perkataan
terkenalnya yang dipahat pada bebatuan, beliau berkata
bahwa beliau “mengharapkan seluruh anggota dari semua
aliran kepercayaan hidup dan tinggal di seluruh wilayah
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 46         
kerajaannya… Bahwa beliau menghargai orang-orang dari
seluruh kepercayaan, anggota pimpinan keagamaan
maupun umat awan, denganmemberi  berbagai hadiah
dan anugerah penghargaan.”  Beliau ingin semua agama
diber ikan penghargaan sebab  “dengan menghargai
mereka, seseorang menjunjung kepercayaannya sendiri
dan pada saat yang sama juga melakukan sebuah pelayanan
kepada kepercayaan orang lain… sebab  itu keharmonisan
itu sendiri sangatlah diidamkan… (dan bahwa beliau,
Asoka) mengharapkan semua orang dari berbagai aliran
kepercayaan mengetahui doktrin/ajaran sesamanya dan
memperoleh ajaran yang berarti…”
Asoka melihat peranannya sebagai bapak yang baik
hati dan beliau menganggap rakyatnya bagaikan anak-
anaknya sendiri, beliau berkata bahwa beliau ingin agar
mereka memperoleh “kemakmuran and kebahagiaan”.
Apabila Sang Buddha sempat mengalami masa
pemerintahan Asoka, pastilah Beliau akan merasa sangat
gembira melihat ajaranNya dilaksanakan dengan begitu
taatnya oleh seorang raja yang hebat.  H.G. Wells, dalam
artikel nya “Ringkasan Sejarah” (“Outline of History”),
menyatakan bahwa di antara seluruh raja yang telah
muncul dan pergi dalam dunia ini, “nama Asoka bersinar,
dan hampir bersinar sendiri, bagaikan sebuah bintang.”
Pastilah akan merupakan hal yang baik sekali apabila
seluruh pemer intahan berusaha mempelajar i dan
 47
menerapkan cara pendekatan kemanusiaan Asoka dalam
memerintah.
Dan jika kita juga ingin mengikuti ajaran Sang
Buddha, maka kita juga, seperti Asoka, berusaha dalam
cara kita sendiri untuk meringankan penderitaan dan
menyebarkan kedamaian dan kebahagiaan.  Sang Buddha
sendiri telahmemberi  contoh yang paling baik, dengan
telah mengabdikan seluruh hidupNa untuk menunjukkan
kepada orang-orang jalan keluar dari penderitaan.  Ya, Sang
Buddha tidak hanya ingin meringankan penderitaan namun 
juga benar-benar melenyapkan penderitaan itu sampai
habis.  Sehingga sesudah  mencapai penerangan sempurna,
Beliau menghabiskan seluruh sisa hidupnya selama 45
tahun mengajarkan orang-orang jalan menuju pelenyapan
penderitaan secara sepenuhnya.  Beliau mengajarkan jalan
kesadaran penuh (mindfulness).
Sang Buddha melihat bahwa hanya dengan melalui
pendekatan secara radikal seseorang dapat menghilangkan
penderitaan.  Walaupun merawat orang-orang sakit,
menyembuhkan berbagai penyakit, menyiapkan makanan
dan bahan bantuan untuk mereka yang membutuhkan
adalah bagian dan bentuh hibah dari penyembuhan
penderitaan, Sang Buddha tidak hanya ingin mengatasi
gejala-gejala penderitaan ini : Beliau mencari
kesembuhan total dari penyakit penderitaan ini .  Jadi
Beliau melakukan meditasi pada pertanyaan mengenai
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 48         
hidup dan mati.  Dan Beliau melihat bahwa untuk
mengatasi masalah ini sampai ke akarnya, kita harus
sepenuhnya memperhatikan pikiran kita.  Penderitaan
adalah sebenarnya mental.   saat  ada rasa sakit secara
fisik, seseorang biasanya bereaksi dengan menjadi sedih,
takut, dan depresi.  namun  seorang meditator (praktisi
meditasi), menurut Sang Buddha, dapat mentolerir rasa
sakit secara fisik sedemikian rupa sehingga tidak ada
penderitaan secara mental.  Dengan kata lain, dia tidak
akan bereaksi terhadap rasa sakit itu dengan menjadi
sedih, kuatir, depresi, benci, marah, dan sebagainya.
Melainkan, dia dapat menanggapinya dengan tenang.  Dia
menjadi riang gembira, dan bahkan menenangkan serta
mendorong semangat orang lain!
Sehingga kemudian Sang Buddha melihat
permasalahan ini sebenarnya adalah hal mental.  Jika kita
dapat membebaskan pikiran kita dari keserakahan,
kemarahan dan ketidak-pedulian (yang sebenarnya adalah
hal-hal alami dalam hidup), Sang Buddha berkata bahwa
kita dapat sepenuhnya mengatasi dan melenyapkan
penderitaan mental seperti kekuatiran dan kecemasan,
kesedihan dan penyesalan.  Mengenai penderitaan fisik,
kita harus mengakui bahwa itu adalah hal yang tidak dapat
dihindari selama kita masih memiliki tubuh ini.  Kita semua
tahu bahwa tidak ada orang yang dapat lepas dari umur
tua, penyakit dan kematian.  namun  Sang Buddha berkata
bahwa sekali pikiran telah dibersihkan dari seluruh
 49
kekotoran batin yaitu keserakahan, kemarahan, dan
sebagainya, maka penderitaan fisik tidak membuat kita
takut lagi.  Kita menjadi tidak tergoyahkan.  Tidak ada lagi
yang dapat membuat kita tidak senang, bahkan tidak juga
rasa sakit yang sangat hebat seperti yang ditimbulkan oleh
penyakit kanker, misalnya.  Pikiran kita dapat sepenuhnya
tetap menjadi sejuk dan damai.  Kemudian,  saat  murid
Sang Buddha, Anuruddha, suatu saat ditanya bagaimana
dia dapat tetap tenang  saat  dia sedang menderita sakit
yang sangat parah, dia menjawab bahwa itu adalah sebab 
dia telah menguasai pikirannya dengan baik melalui latihan
kesadaran penuh (mindfulness) yang diajarkan Sang
Buddha.
Pada akhirnya, Sang Buddha mengajarkan bahwa
bagi orang yang telah sepenuhnya mencapai hal ini ,
yang telah melenyapkan keserakahan, kemarahan dan
ketidak-pedulian, tidak ada lagi kelahiran kembali baginya.
 saat  dia meninggal, itu adalah hidupnya yang terakhir.
Dia telah mencapai tingkat Nibbana – kedamaian sempurna.
Dengan tidak dilahirkan kembali, dia tidak akan pernah
lagi mengalami umur tua, penyakit dan kematian.  Itulah,
kata Sang Buddha, akhir dari penderitaan.
      
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 50         
Meringankan penderitaan
Selama kita berjuang untuk mengakhiri penderitaan,
sepanjang jalan kita harus berusaha mengurangi
penderitaan semampunya.  Ya, tentu saja jelas tidak ada
yang kekurangan penderitaan di dunia ini.  Banyak orang
menderita dalam berbagai hal.  Jika kita membaca surat
kabar, kita dapat melihat penderitaan di mana-mana.
Orang bertengkar, bertikai, membunuh, merampok,
berbohong, berbuat curang, dan melukai sesamanya dengan
berbagai cara.  sebab  kebodohan, kita saling melukai.
Belum lagi bencana alam, kecelakaan, kesialan, kelaparan,
penyakit, dan lain-lain yang juga muncul setiap saat.
Penyakit, umur tua, dan kematianlah yang selalu mengikuti
setiap langkah kita.
Ya, dunia ini dipenuhi penderitaan.  Mengapa kita
harus menambahnya?  Tidakkah kita seharusnya berusaha
untuk mengurangi penderitaan ini ?  Jika kita tidak
dapat berbuat banyak, kita dapat berbuat sedikit.  Sekecil
apapun usaha, akan tetap berarti.  Seperti ungkapan: Tak
ada seorang pun yang melakukan kesalahan besar selain
tidak melakukan apa-apa sebab  berpikir dia hanya dapat
melakukan sedikit.  Setiap orang dari kita dapat melakukan
sesuatu, sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan
kita.  Sebagai langkah awal, kita dapat berusaha menjadi
lebih baik.  Contohnya, kita dapat menganalisa kemarahan
kita.  Setiap saat kita marah kita menyakiti diri kita sendiri
 51
dan juga orang lain.  namun  jika kita dapat menganalisa
kemarahan kita dan menumbuhkan rasa toleransi dan
kesabaran, cinta dan kasih, kita dapat menjadi orang yang
lebih baik, dan hal ini mungkin berlangsung cukup lama
sehingga dapat membantu menimbulkan rasa kegembiraan
dan kebahagiaan yang positif.
Dengan kata lain, kita harus memulainya dengan
membersihkan pikiran kita dari hal-hal yang tidak sehat
dan negatif seperti keserakahan, kebencian dan kebodohan
(pandangan salah).  Seiring dengan kemampuan kita untuk
menyadari keadaan yang tidak menyehatkan ini , rasa
cinta dan kasih sayang akan tumbuh bekembang dalam
diri kita.  Kita dapat menjadi lebih baik dalam berhubungan
dengan orang-orang yang dekat dengan kita dan di sekitar
kita.  Kita dapat berusaha berbicara dengan cara yang lebih
penuh kasih saying dan lembut, serta menghindari
pembicaraan yang keras dan kasar.  Kita dapat menjadi
lebih bertenggang rasa dan penuh perhatian.  Jika kita
hanya peduli dengan kesejahteraan diri sendiri, maka kita
tidak akan dapat mencintai dengan baik.  Untuk dapat
mencintai dengan baik, kita harus mampu untuk tidak
mempertimbangkan kesejahteraan kita secara berlebihan,
melainkan memikirkan kesejahteraan orang lain.  Jadi kita
harus bertanya kepada diri kita sendiri.  Apakah kita sudah
cukup mencintai?  Apakah kita sudah cukup peduli?  Jika
belum, maka kita tidak dapat meringankan penderitaan.
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 52         
sebab  dari cinta dan kasih sayang sejatilah kita dapat
melakukan hal ini .
Seorang guru meditasi pernah berkata bahwa jika
kau ingin mengetahui apakah kau telah mencintai
seseorang dengan baik, kau harus mendekati orang yang
kau cintai itu suatu hari dan dengan lembut memegang
tangannya.  Lihatlah dalam-dalam ke matanya dan
tanyakan kepadanya: “Sayangku, apakah aku telah
mencintaimu dengan baik?  Apakah aku cukup
mencintaimu?  Apakah aku membuatmu bahagia?  Jika
tidak, dapatkah kau memberitahu apa yang kurang
sehingga aku dapat berubah dan dapat mencintaimu
dengan lebih baik?”  Jika kau bertanya kepadanya dengan
lembut, penuh rasa cinta dan perhatian, dia mungkin akan
menangis.  Dan hal itu, menurut guru meditasi, adalah
suatu tanda yang baik, sebab  berar ti kau telah
menyentuh hatinya.  Dengan demikian timbullah
komunikasi di antara kalian.
Dia mungkin akan berkata di sela-sela isakannya
betapa kadang-kadang kau tidak peduli.  Contohnya, dia
mungkin berkata: “Kau tidak membukakan pintu mobil
untukku lagi.  Dulu kau melakukannya  saat  pertama kali
pacaran denganku dan bahkan selama tahun pertama
perkawinan kita.  Kau memastikan bahwa aku sudah duduk
dengan baik dan kemudian kau akan menutupkan mobil
dengan lembutnya bagiku.  Sekarang ini kau tidak
 53
melakukannya lagi.  Kau langsung masuk ke dalam mobil
dan menyalakan mesin.  Aku harus membuka pintu mobil
sendiri dan cepat-cepat masuk.  Jika tidak kau akan sudah
menjalankan mobil bahkan  saat  aku belum sempat
menutup pintu!  Rasanya aku ingin menangis  saat  kau
bertindak seperti itu.  Apa yang telah terjadi pada orang
yang lemah lembut dan penuh perhatian yang dulu
kunikahi itu?”
Dan dia mungkin melanjutkan: “Kau tidak
menggandeng tanganku lagi  saat  kita menyeberang jalan.
Kau terus saja jalan di depan dan ingin agar aku
mengikutimu.  Juga  saat  kau memasuki restoran.  Kau
tidak membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk
terlebih dulu.  Kau tidak menarikkan kursi untukku.  Kau
tidak menanyakan apa yang ingin kumakan namun  kau
hanya memesan apa yang ingin kau makan.  Kau tidak
lagi membelikan gaun-gaun cantik untukku.  Kau tidak
membelikan hadiah untuk orang tuaku, tidak juga saat
perayaan-perayaan tertentu.  Dan walaupun kau mungkin
ingat untukmemberi  hadiah pada hari ulang tahunku,
kau tidak menyertakan kartu ulang tahun yang menarik
dengan pesan-pesan yang indah dan menyentuh.
Singkatnya, kau tidak lagi melakukan hal-hal kecil yang
menyenangkan yang dulu selalu kau lakukan  saat  kau
pertama pacaran dan menikahiku.  Jika aku tahu kau akan
berubah seperti ini, aku akan berpikir dua kali untuk
menikahimu.  Selama ini aku selalu bertanya-tanya apakah
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 54         
kau sesungguhnya masih benar-benar mencintaiku dan
memperhatikan aku atau tidak!”  Dan dia mungkin akan
terus melanjutkan daftar ketidak-bahagiaannya.  Dia
bahkan akan terisak lebih keras dan kau mungkin akan
terkejut, sebab  kau tidak menyadari bahwa selama ini
dia benar-benar menderita, bahwa dia benar-benar
merindukan segala hal-hal manis yang pernah kau
lakukan untuknya, bahwa dia merindukan cara-caramu
menunjukkan rasa perhatian dan kasih sayang lewat
perbuatan-perbuatan yang kecil namun penuh arti.
Tentu saja, mungkin kau juga mempunyai beberapa
kesedihan serupa, itu adalah hal yang wajar.  Jadi mungkin
inilah saat yang tepat untuk mengeluarkan semuanya,
namun usahakan dengan cara yang selembut mungkin.
Kau bisa saja berkata: “Oh, aku sangat menyesali cara-
caraku yang kasar dan kejam yang telah kulakukan selama
ini, sayangku.  Percayalah, aku benar-benar menyesal.
Maafkanlah aku.  Aku akan memperbaikinya mulai
sekarang.  Aku berjanji aku tidak akan ceroboh lagi di
kemudian hari.  Aku akan menjagamu dengan baik.  Aku
bertekad akan melakukan seluruh hal-hal kecil yang telah
lupa kulakukan untukmu itu.  Aku tidak menyadari bahwa
kau begitu kehilangan hal-hal ini .
“namun  sayangku, mohon jangan marah terhadap apa
yang akan kukatakan kepadamu ini.  Walaupun kesalahan
yang telah kulakukan cukup banyak, kau juga harus tahu
 55
bahwa ada beberapa hal yang dulu kau lakukan kepadaku
namun sekarang tidak pernah kau lakukan lagi.
Contohnya, kau tahu bahwa aku suka sekali kangkung cah
belacan yang dulu suka kau masakkan untukku.  namun 
sekarang ini kau tidak pernah memasak itu lagi, apalagi
sup tomyam yang sedap dan beberapa masakan lainnya.
Kau tahu, pepatah kuno tentang cara mendapatkan hati
seorang lelaki adalah melalui perutnya, tetap masih
berlaku.
“Dulu kau suka membangunkan aku dengan sebuah
senyuman dan kecupan lembut di pipi namun  sekarang kau
tidak pernah melakukannya lagi.  Kadang-kadang kau
bangun kesiangan dan aku harus menyiapkan sarapanku
sendiri atau makan di kantor.  Dulu kau suka menungguku
kembali dari kantor di depan pintu dan menanyakan
bagaimana hari yang telah kulalui.  Saat itu kau benar-
benar ingin tahu dan bersimpati serta dapat menenangkan
aku  saat  aku mengalami hari-hari yang buruk.  Namun
sekarang, kau kelihatannya tidak lagi peduli akan
keadaanku, apakah aku telah mengalami hari yang
menyenangkan atau menyusahkan.  Kau selalu menonton
TV, berteriak pada anak-anak, atau di salon atau melakukan
sesuatu atau lainnya.   saat  aku panggil: ‘Halo sayang,
aku kembali,’ kau kadang-kadang menyentakku dan
mengatakan hal-hal yang tidak begitu menyenangkan.”
Dan seterusnya dan seterusnya.
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 56         
Dengan demikian maka kalian berdua dapat
melakukan pembicaraan dari hati ke hati.  Komunikasi
sangatlah penting dalam sebuah hubungan.  Bukan begitu?
Hubungan dapat rusak  saat  tidak ada lagi komunikasi,
dan ke dua belah pihak lebih memilih menyimpan
kesedihannya sendiri, menyimpannya dalam hati.  namun 
 saat  ada komunikasi, akan timbul penger tian.
Pembicaraan dari hati ke hati (curhat) antara ke dua belah
pihak dapat menimbulkan pengertian dan rasa cinta.  Jika
dua orang cukup peduli dan menghargai hubungan mereka,
maka mereka sebaiknya berkomunikasi dan mengambil
langkah-langkah perbaikan jika dibutuhkan.  Dengan
begitu, hubungan ini  dapat menjadi lebih kuat dan
indah seiring dengan berjalannya waktu.
      
Kita semua perlu member ikan kontr ibusi
(sumbangan) dengan cara kita masing-masing, semampu
kita.  Contohnya, aku sebagai seorang bhikkhu dapat
berbagi pengetahuan dan pemahaman mengenai Dhamma,
walaupun tingkatnya masih terbatas.  Aku dapat memberi
semangat kepada orang lain untuk berlatih meditasi dan
membantu menuntun mereka di sepanjang jalan.  Aku
dapat mendorong mereka untuk menjadi lebih penuh cinta
kasih dan perhatian, tenggang rasa dan sabar, dan
seterusnya.  Tentu saja kita bukanlah orang yang sempurna
dan ada saat-saat  saat  kita sendir i gagal
 57
melaksanakannya.  Pepatah ‘mudah bicara namun  sulit
untuk melakukan apa yang dikatakan’ memang sangat
benar.  Jadi aku harus per tama-tama mengakui
kekuranganku terlebih dahulu dan menerima koreksi.  Aku
juga meminta agar orang-orang, dalam menilaiku atau
menilai orang lain, mempertimbangkan hal-hal yang
membangun, seperti tujuan/itikad yang baik.  Kita
bermaksud baik dan kita tidak bermaksud untuk menyakiti.
Namun sebab  kita masih memiliki kekurangan, ketidak-
ahlian, ketidak-sabaran, tidak tenggang rasa, kebohongan,
dan lain-lain, kita mungkin secara tidak sengaja menyakiti
orang lain walaupun maksud kita baik.  namun  jika
seseorang benar-benar murah hati, dia akan dapat mengerti
dan memaafkan.  Kemampuan untuk memaafkan adalah
suatu kualitas yang sangat indah; hal inilah yang
menyebabkan munculnya pepatah “berbuat salah adalah
hal yang biasa/wajar; memaafkan adalah hal yang luar
biasa”.
Sediakanlah dirimu untuk berbagi dan kau sendirilah
akan paling mengetahui bagaimana kau dapatmemberi 
sumbangan.  Kita semua mempunyai keahlian, bakat, dan
kemampuan yang berbeda-beda.  Kondisi dan situasi kita
mungkin berlainan.  Jadi kita hanya dapatmemberi 
kontribusi dengan cara kita masing-masing, sesuai dengan
kondisi dan kecenderungan kita.  Seperti yang telah
dikatakan, setiap hal yang kecil pun berarti dan sejalan
dengan waktu, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 58         
kita sudah melakukan sesuatu.  Dan itu adalah suatu
alasan bagi kita untuk bergembira.  Tentu saja ini tidak
berarti kita harus berleha-leha atas keberhasilan kita.
Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.  Jadi kita
harus terus berusaha; kita harus terus maju berjuang.
      
Dia yang mengisi seperempat bagian pertama
kehidupannya dengan pikiran yang penuh cinta kasih,
demikian juga bagian yang kedua, ketiga, dan keempat;
sama seperti dia meliputi seluruh dunia di atas, di bawah,
di sekelilingnya, di mana-mana, dalam segala hal, dengan
suatu pikiran yang penuh cinta kasih yang menjangkau
jauh, tersebar luas, tak terukur, tanpa rasa permusuhan/
kebencian, tanpa maksud buruk.
Buddha
Memahami segalanya adalah memaafkan segalanya.
Dengan demikian baru timbullah cinta.
Anonim
CINTA ADALAH PENGERTIAN
Untuk dapat meninggal dengan baik kita harus hidup
dengan baik.  Jika kita telah hidup dengan baik kita akan
dapat meninggal dengan baik.  Kita dapat pergi dengan
damai, puas sebab  kita telah melakukan apa yang dapat
kita lakukan, bahwa sepanjang masa kita telah
menyebarkan pengertian dan kebahagiaan, bahwa kita
telah hidup sesuai dengan prinsip-prinsip dan komitmen
kita terhadap rasa cinta dan kasih sayang yang ideal.
Cinta adalah pengertian.  Cinta tidak menghakimi
maupun menuduh.  Cinta mendengarkan dan memahami.
60         
Cinta peduli dan simpati.  Cinta menerima dan memaafkan.
Cinta tidak mengenal batas.  Cinta tidak mendiskriminasi
dan berkata: Saya dari aliran Theravada dan kamu dari
Mahayana atau Tibet.  Cinta tidak berkata: Saya orang
Buddhis dan kamu orang Kristen, Muslim, Hindu.  Atau
saya orang Cina; kamu orang Melayu, India, Eurasia.  Atau
aku orang timur dan kamu orang barat; atau aku dari
Malaysia, kamu dari Jepang, Amerika, Birma, Thai dan
seterusnya.
Cinta melampaui semua batasan.  Cinta melihat dan
merasakan bahwa kita semua adalah satu suku, yaitu suku
manusia.  Air mata kita adalah sama; rasanya asin, dan
darah kita semua berwarna merah.   saat  ada cinta dan
kasih sayang semacam ini, kita dapat berempati dengan
makhluk hidup lainnya.  Kita dapat melihat bahwa kita
mengendarai kapal yang sama di atas lautan kehidupan
yang penuh ombak dan badai.  Kita adalah sesama
penderita dalam samsara, lingkaran kelahiran dan
kematian yang tidak ada habisnya.  Kita semua adalah
saudara.
 saat  kita dapat melihat dan merasakan ini, maka
semua batasan suku, agama, ideologi dan lain-lain akan
runtuh.  Kita dapat muncul dengan hati yang penuh dengan
cinta yang murni.  Kita dapat mengerti dan merasakan
pender itaan orang lain.  Rasa kasih sayang akan
berkembang dan memenuhi dada kita.  Dan dalam semua
 61
perkataan maupun perbuatan kita, cinta dan rasa prihatin
ini  akan timbul.  Hal ini sangatlah menghibur dan
menyembuhkan, dan merupakan hal yang sangat berguna
bagi kedamaian dan pengertian.
Seorang manusia dan seekor kalajengking
Cinta berjalan seiring dengan kasih sayang.  Jika kita
memiliki hati yang penuh rasa cinta, kasih sayang mudah
sekali timbul dalam diri kita.   saat  kita melihat seseorang
menderita, muncul suatu dorongan untuk membantu
meringankan penderitaan orang ini .  Kasih sayang
menimbulkan perasaan ingin meringankan penderitaan.
Ini dapat dirasakan terutama  saat  kita bertindak secara
spontan untuk menghilangkan atau meringankan
penderitaan orang lain.  Ada sebuah cerita di sini yang
dapat membantu menjelaskan hal ini: Seorang manusia
melihat seekor kalajengking tenggelam di sebuah kubangan
air.  Suatu dorongan untuk menolong muncul secara
spontan dalam hati manusia ini , dan tanpa ragu dia
mengulurkan tangannya, mengangkat kalajengking
ini  dari kubangan air, dan meletakkannya di tanah
yang kering.  Namun kalajengking itu kemudian menggigit
sang penolong.  Dan sebab  ingin menyeberang jalan,
kalajengking menghentikan langkahnya dan langsung
menuju ke kubangan air itu lagi!  Melihat kalajengking itu
menggapai-gapai dan tenggelam lagi, manusia tadi
mengangkatnya kembali untuk kedua kalinya dan lagi-lagi
Cinta Adalah Pengertian 62         
kena gigitan kalajengking ini .  Orang lain yang datang
dan melihat semua hal yang telah terjadi ini  berkata
kepada manusia itu: “Mengapa kau begitu bodoh?  Sekarang
lihatlah, kau telah digigit tidak hanya satu kali melainkan
dua kali!  Sangatlah bodoh berusaha untuk menyelamatkan
seekor kalajengking.”  Manusia tadi menjawab: “Aku tidak
berdaya.  Kau lihat, sifat alami kalajengking memang
menggigit.  namun  sifat alamiku adalah menolong.  Aku tidak
dapat berbuat apa-apa selain berusaha menyelamatkan
kalajengking itu.”
Benar, manusia dapat menggunakan kepandaiannya
untuk menggunakan tongkat atau sesuatu untuk
mengangkat kalajengking itu.  namun  kemudian dia mungkin
berpikiran lain bahwa dia dapat mengangkat kalajengking
itu dengan tangannya sedemikian rupa sehingga tidak
dig igit.  Atau d