Rabu, 10 Januari 2024
kematian 2
By tewasx.blogspot.com at Januari 10, 2024
kematian 2
ia mungkin berpikir bahwa seekor
kalajengking dalam keadaan yang gawat tidak akan
menggigitnya. Apapun yang mungkin terjadi, isi dari cerita
ini adalah respon spontan dar i orang yang ingin
menyelamatkan sesama makhluk hidup, walaupun itu
hanyalah seekor serangga. Hal ini juga menunjukkan
bahwa orang yang penuh cinta kasih, walaupun dia
menerima perlakuan yang tidak berterima kasih dari orang
yang telah ditolongnya, hal itu tidak berarti apa-apa
baginya. sebab sifat alaminya memang penolong, jika dia
dapat menolong, dia akan melakukannya. Dia tidak tahu
bagaimana menyimpan rasa sakit hati atau dendam!
63
Oleh sebab itu, kasih sayang adalah bahasa hati.
Pada saat kita dimotivasi oleh rasa cinta dan kasih sayang,
kita berusaha menolong tanpa diskriminasi suku, agama
atau kewarganegaraan dari orang lain. Di bawah pancaran
cahaya kasih sayang, perbedaan suku, agama, dan lainnya
menjadi hal nomor dua; mereka tidaklah penting. Lebih
jauh lagi, kasih sayang seperti itu tidak hanya berlaku bagi
manusia namun juga bagi seluruh makhluk hidup termasuk
binatang dan serangga. Sejalan dengan tema kasih sayang
sebagai bahasa hati di atas, aku ingin berbagi sebuah puisi
sebagai berikut:
BAHASA KASIH
Mahayana Theravada Vajrayana
Kristen Buddhis Muslim Hindu
Melayu Cina India Eurasia
Malaysia Jepang Amerika Af ika
orang kulit putih, hitam, kuning, coklat
dan seterusnya dan seterusnya
sesukamu.
Apa masalahnya?
Bahasa kasih
adalah bahasa hati!
saat hati sudah berbicara
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 64
seribu kuntum bunga kan bermekaran
dan cinta pun kan mengalir
bagai cahaya mentari pagi
memancar menembus kaca jendela.
Tak perlu kata-kata
suatu pandangan, sentuhan
sudahlah cukup
untuk mengatakan
apa yang tak dapat dikatakan oleh seribu kata.
Dan Kasih Sayang kan bersinar
bagaikan sebuah bintang cemerlang
dalam kelamnya langit malam.
Seluruh batasan kan runtuh
ketidakadilan kan tergoyahkan
Kemenangan kan diperoleh kembali
Cinta dan Kasih Sayang
kan mengalahkan seluruh ketakutan dan keraguan
menyembuhkan luka
dan bertahta kembali.
Menurutku, jika kita berusaha menanamkan rasa
cinta dan kasih sayang seperti ini, maka saat tiba saat
kematian kita, kita akan dapat pergi dengan damai. Bahkan
meskipun kita tidak berhasil secara sempurna (100%) untuk
mencintai, kita tetap dapat berbahagia dan berpuas hati
65
sebab setidaknya kita telah berusaha. Dan yang pasti,
kita akan dapat berhasil mencapai tahap tertentu.
KE LIMA SILA
Jika kita telah berusaha menanamkan jenis cinta
seperti ini, maka tidaklah terlalu sulit untuk melaksanakan
ke lima sila dasar. Sila pertama, seperti yang kita ketahui,
adalah tidak membunuh, tidak merampas kehidupan
siapapun bahkan kehidupan milik seekor binatang maupun
serangga. Ini adalah suatu sila yang indah. Ini berarti
kita menghormati kehidupan. Bukan saja kita
menghormati kehidupan, kita jugamemberi sebuah
hadiah yang sangat berharga. saat kita melaksanakan
sila ini kita akan menjadi orang yang lebih baik. Tidak
saja kita menahan diri dari membunuh, kita juga menahan
diri dari melukai setiap makhluk hidup.
Benar, dalam dunia yang tidak sempurna ini di mana
yang kuat mengintai yang lemah, pembunuhan adalah
suatu hal yang tidak dapat dihindari. Kita dapat melihatnya
dalam dunia binatang, bagaimana harimau memangsa
rusa, ular memangsa katak, katak memakan lalat, burung
memakan cacing, dan ikan besar memakan ikan kecil. Dan
kita manusia juga membunuh binatang dan ikan dan
bahkan saling membunuh sesama kita, manusia. namun di
sini kita tidak bermaksud untuk menghakimi atau
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 66
menuduh. Kita mengerti ketidak-sempurnaan kita sebagai
manusia dan sifat alami dari segala sesuatu yang tidak-
sempurna. Sang Buddha juga memahami hal ini. Beliau
berkata saat kita telah dapat menyucikan pikiran dan
mencapai Nibbana, maka kita akan dapat menghindari
kehidupan yang tidak sempurna ini, siklus kelahiran dan
kematian ini. Kitalah yang menentukan apakah hal ini
dapat terwujudkan atau tidak. saat kita telah berhasil
membersihkan pikiran kita dari keserakahan, kebencian
dan kebodohan, kita pasti akan mengetahui dengan
mengalami sendiri, apakah Sang Buddha mengatakan yang
sebenarnya atau tidak. Sampai saat itu, aku percaya
bahwa aku tidak dapat berbuat sesuatu yang lebih baik
daripada mengikuti jalan Sang Buddha, jalan menuju
kesucian pikiran.
Kita masing-masing harus menjalani jalur kita sendiri
dalam menuju kemajuan. Marilah kita semua berusaha
melaksanakan sila pertama ini semampu kita; kita
tidak boleh membunuh; kita harus menyelamatkan
kehidupan, bahkanmemberi kehidupan.
Sila kedua adalah tidak mencuri atau berbuat curang,
tidak mengambil apapun untuk tujuan yang tidak jujur.
Kita adalah orang–orang yang jujur dan kita akan mencari
nafkah dengan cara yang jujur. Ada sejumlah orang yang
berpendapat bahwa orang jujur tidak akan mampu
memperoleh kesuksesan atau menjadi kaya. Aku tidak
67
setuju dengan hal ini. Aku yakin ada banyak orang jujur
yang berpegang pada prinsip mereka dan sukses. Bahkan
mereka dapat menikmati kebahagiaan yang tercipta oleh
kesadaran yang jernih dan pikiran yang damai. Di lain
pihak, mereka yang berbuat curang sering diekspos dan
pada akhirnya mereka pun akan dihukum juga. Bahkan
walaupun mereka berhasil lari dari penangkapan, mereka
akan tetap menderita sebab perasaan takut akan
ketahuan dan timbulnya rasa bersalah; dan saat mereka
meninggal, penderitaan di kelahiran baru yang sangat
buruk dan menyedihkan sudah menunggu mereka. sebab
itu, kejujuran telah menjadi dan akan selalu menjadi
prinsip yang terbaik. Jangan mendengarkan mereka yang
berkata sebaliknya. Orang yang jujur dapat menjadi lebih
sukses. Walaupun kita harus menghadapi kesulitan yang
lebih besar, kita tidak akan berbuat curang untuk mencapai
keberhasilan. Kita lebih memilih menjadi jujur dan miskin,
daripada menjadi kaya tapi curang. Tidak ada yang lebih
menggembirakan daripada suatu kesadaran yang jernih,
terutama pada saat saat kita sedang menghadapi
kematian.
Sila ketiga adalah bertanggung jawab dalam hal
seksual. Jika dua orang menganggap hubungan mereka
serius, saling bertenggang rasa, mencintai dan saling setia,
maka cinta mereka telah diresmikan. Tidak ada pihak
ketiga yang dapat masuk di antara mereka. Tanggung
jawab seksual sangatlah penting. sebab tidak adanya rasa
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 68
tanggung jawab, banyak orang yang menjadi korban. Para
mucikari menghancurkan hidup gadis-gadis muda; dan
para lelaki yang dikalahkan oleh nafsu birahinya adalah
pelaku perbuatan buruk ini . Namun di sini kita tidak
ingin menghakimi, melainkan memohon demi cinta dan
kasih sayang sejati. Sungguh, jika kita dapat menyucikan
pikiran kita dan mengontrol nafsu kita, akan ada lebih
sedikit penderitaan dan eksploitasi di dunia ini. Dan
penyakit AIDS yang sangat ditakutkan dan telah menjadi
pemicu penderitaan besar bagi dunia juga dapat
ditanggulangi.
Sila keempat adalah tidak berbohong namun berkata
yang sebenarnya. Sekali lagi, jangan mendengarkan orang-
orang yang berkata bahwa seseorang tidak dapat berhasil
tanpa berbohong ataumemberi penampilan yang palsu.
Kebenaran adalah salah satu dari ke sepuluh parami
(kesempurnaan) yang dipegang kuat oleh seorang bodhisatta
(seseorang yang berjuang untuk mencapai keBuddhaan).
Seluruh pemeluk agama Buddha harus mengembangkan
parami mereka sampai pada tahap tertentu pula jika
mereka ingin mencapai tingkat arahat – pelepasan dari
lingkaran kelahiran dan kematian. Sang Buddha ingin agar
kita benar-benar jujur sehingga Beliau menekankan agar
kita juga tidak berbohong walaupun hanya dalam bercanda.
Jadi kita harus berusaha sebaik mungkin dalam memegang
sila untuk tidak berbohong ini. Terlebih lagi, walaupun
kita mungkin tidak menginginkannya, reputasi seseorang
69
yang jujur mau tidak mau akan tersebar luas. Bahkan
orang-orang yang berusaha menjelek-jelekkannya pada
akhirnya juga harus mengaku kalah danmemberi
hormat kepadanya.
Sila kelima adalah tidak mengkonsumsi alkohol dan
obat-obat terlarang sebab mereka dapat mengacaukan
pikiran, selain juga berakibat buruk pada tubuh. Beberapa
orang berpikir bahwa sila ini memperbolehkan acara
minum kecil-kecilan untuk bersosialisasi namun aku tidak
berpendapat begitu. Sang Buddha tidak menginginkan kita
untuk mempertaruhkan kesadaran kita sebab dapat
menyebabkan kita mempertaruhkan sila-sila lainnya.
Selain itu, alkohol sangat berbahaya bagi kesehatan kita.
Mengenai obat-obatan kita semua setuju bahwa obat-obat
keras seperti heroin patut disingkirkan. Namun beberapa
orang menganggap menghisap rokok mungkin tidak
termasuk dalam sila ini. (Pada masa Sang Buddha,
tembakau jelas belum ditemukan). Bagaimanapun juga,
pada masa sekarang ini di mana pihak medis sudah banyak
membuktikan bahaya yang disebabkan oleh tembakau dan
usaha-usaha pemerintah di seluruh dunia untuk melarang
atau membatasi pemakaiannya, kita dapat dengan yakin
berkata bahwa jika Sang Buddha masih hidup sekarang,
Beliau juga akan dengan keras melarang kita merokok;
sebab Beliau tidak ingin kita mempertaruhkan kesehatan
fisik kita, Beliau juga tidak ingin kita menjadi ketagihan
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 70
terhadap obat yang terbukti berbahaya walaupun kadarnya
hanya sedikit.
Ada banyak lagi yang dapat dikatakan mengenai
kerusakan hebat yang telah disebabkan oleh alkohol dan
tembakau terhadap masyarakat, namun tujuan kita di sini
bukanlah untuk membicarakan hal ini sebab akan
dapat terus berlanjut menjadi suatu diskusi yang panjang
mengenai masalah ini . Cukuplah dikatakan bahwa
sebab pandangan kita sendirilah sehingga acara minum
kecil-kecilan untuk bersosialisasi dan merokok dapat
mengurangi semangat jiwa sila kelima ini. Lebih baik
menghentikan semuanya, terutama alkohol, sesudah
memberikan pertimbangan yang cukup pada kata-kata
Sang Buddha berikut ini: “Para bhikkhu, mengkonsumsi
sesuatu yang memabukkan saat sedang berlatih,
mengembangkannya, dan melakukannya secara berulang-
ulang, akan menyebabkan seseorang dilahirkan di neraka,
di dunia binatang, dan di dunia hantu kelaparan;
setidaknya meskipun seseorang dilahirkan kembali sebagai
manusia, hal itu akan menyebabkan dia mengalami
ketidak-warasan.”
Jika kita melaksanakan ke lima sila ini , kita
akanmemberi kebahagiaan dan rasa aman pada orang
lain. Bagaimana bisa? sebab tidak ada orang yang perlu
mengkuatirkan kita. Mereka tidak perlu takut sebab kita.
Mereka dapat merasa sangat aman dan nyaman dengan
71
kita. sebab mereka yakin bahwa kita tidak akan menyakiti
mereka, mencuri dari mereka, maupun berbuat curang
pada mereka. Kita tidak akan melakukan hubungan gelap
dengan pasangan mereka. Kita tidak akan membohongi
mereka. Dan terlebih lagi, jika kita tidak minum minuman
keras maupun merokok, mereka tidak perlu kuatir anak-
anak mereka akan mengikuti kebiasaan kita untuk minum
minuman keras atau merokok, atau bahaya sebab mereka
menghisap asap rokok kita. Mereka akan dapat
mempercayai kita, sebab kita tidak minum minuman keras
sama sekali. Kita adalah orang yang religius dan berpegang
pada jalan yang lurus dan terbatas. Kita bukanlah orang
yang berbahaya. Mereka yang sangat mendambakan
kesenangan sensual mungkin berpikir bahwa kita
menjalani kehidupan yang sangat membosankan dan kita
orang yang bodoh. namun itu tidak masalah. Kita bahagia
pada dir i sendir i. Kita bahagia apa adanya. Dan
sejujurnya, kita akan dipuji oleh mereka yang bijaksana.
Jadi adalah baik saat kita dapat mempertahankan
ke lima sila dasar ini . Lebih lanjut lagi jika kita
mempraktekkan kemurahan dan kebaikan hati. Kita peduli
dan kita berbagi semampu kita. Kita juga menanamkan
kesadaran penuh seperti yang dianjurkan oleh Sang
Buddha. Kita berusaha untuk menjalani hidup dengan
penuh kesadaran. Kita bermeditasi untuk lebih mengerti
sifat alami kehidupan kita, segala karakteristiknya, yaitu
tidak-kekal, penuh penderitaan dan tanpa inti. Dengan
Kita Harus Melakukan Bagian Kita 72
demikian saat kita telah melakukan semuanya, saat
kita telah menjalani hidup dengan baik, apa lagi yang harus
kita takutkan saat kita mati? Penyesalan apa yang akan
kita miliki?
sebab itulah dikatakan bahwa untuk meninggal
dengan baik kita harus hidup dengan baik pula. Dan
bahwa saat kita telah hidup dengan baik, kita akan dapat
meninggal dengan baik. Kita dapat pergi dengan damai,
sebab merasa puas dan lega bahwa kita telah melakukan
apa yang dapat kita lakukan. Benar, kita mungkin telah
berbuat salah dalam perjalanan hidup kita. namun manusia
mana yang tidak berbuat salah? Yesus Kristus pernah
berkata: “Biarkanlah dia yang tidak pernah berdosa
mendapatkan kesempatan pertama untuk melemparkan
batu.” Jadi sebelum kita belajar dan menjadi lembut hati,
kita mungkin telah melakukan beberapa perbuatan jahat.
Hal itu dapat dimaklumi, sebab kita semua tidaklah
sempurna. namun yang penting, sesudah kita menyadari
kesalahan kita, kita harus mulai menanamkan rasa cinta
dan kasih sayang, kita harus mulai menjaga sila-sila dan
menyucikan pikiran kita. Kita patut berbahagia sebab
kita memperoleh kesempatan untuk berubah ke jalan yang
benar. Seperti ungkapan, ‘lebih baik terlambat daripada
tidak sama sekali’. Kita mungkin tiba lebih lambat dari
yang lain, namun setidaknya kita tetap sampai tujuan.
KITA ADALAH
PENYELAMAT DIRI KITA SENDIRI
Sebagai seorang bhikkhu, kadang aku diminta datang
untuk membacakan doa pada upacara kematian. Aku
merasa kasihan pada mereka yang berduka namun kadang
aku juga merasa tak berdaya sebab ada banyak kerancuan
mengenai peran seorang bhikkhu pada upacara kematian.
Suatu hari ada seorang wanita muda menghampiriku.
Ayahnya telah meninggal dunia pagi itu, umurnya baru
42 tahun. Wanita itu memohon kepadaku dalam bahasa
Hokkian: “Tolong lai liam keng, khuih lor hor wah-eh-pah.”
Artinya: “Tolong datang dan bacakan doa. Bukalah jalan
bagi ayahku.” Dengan mengumpulkan rasa kasih
sayangku, aku memandangnya. Aku dapat merasakan
kebingungan dan penderitaannya. Umurnya pasti sekitar
20-an tahun, pikirku, dan dia adalah anak perempuan yang
sah dari almarhum. Dalam hati aku berkata kepada diriku
sendiri: “Oh, bagaimana caranya aku membuka jalan bagi
74
seseorang. Jalan khayalan apa yang akan kuukirkan di
udara untuk dilalui oleh jiwa ayahnya yang juga hanya
imajinasi? Bagaimana aku dapat memberitahu wanita
muda yang sedang sedih dan kalut ini bahwa tidak ada
jalan seperti yang mungkin telah dibayangkannya.”
Sang Buddha pernah mengalami hal seperti ini dan
bagaimana Beliau menganggapinya? Nah, suatu hari
seorang lelaki muda menghampiri dan bertanya kepada
Sang Buddha: “Oh Buddha, ayahku telah meninggal.
Mohon datang dan bacakan doa untuknya. Bangkitkanlah
jiwanya sehingga dia dapat masuk surga. Para Brahmana
melakukan ritual demikian namun Kau Buddha jauh lebih
hebat daripada mereka. Jika Kau melakukannya, jiwa
ayahku pastilah akan langsung terbang menuju surga.”
Sang Buddha menjawab: “Baiklah. Pergilah ke pasar
dan bawakan aku dua buah pot yang terbuat dari tanah
liat dan sejumlah mentega.” Lelaki muda ini sangat
gembira sebab Sang Buddha bersedia melakukan
keajaiban untuk menyelamatkan jiwa ayahnya. Dia
bergegas ke kota dan mendapatkan apa yang diminta.
Kemudian Sang Buddhamemberi instruksi kepadanya:
“Masukkanlah mentega itu di satu pot dan di pot lainnya
diisi dengan batu-batuan. Kemudian lemparkanlah ke dua
pot ini ke dalam kolam.” Lelaki itu melakukan apa
yang diminta, dan ke dua pot tenggelam ke dasar kolam.
Kemudian Sang Buddha melanjutkan: “Sekarang ambillah
75
sebuah tongkat dan pukullah pot-pot di dasar kolam
ini .” Lelaki itu melakukan apa yang disuruh Sang
Buddha. Pot-pot ini pecah dan mentega di dalamnya
saking ringannya mengambang, sementara batu-batu
sebab beratnya, tetap di tempatnya di dasar kolam.
Kemudian Sang Buddha berkata: “Sekarang cepat,
pergi dan kumpulkanlah seluruh pendeta. Katakan kepada
mereka untuk datang dan berdoa sehingga mentega itu
dapat turun dan batu-batu itu dapat mengambang.” Lelaki
muda menatap Sang Buddha, terkejut. “Sang Buddha,”
katanya, “Kau main-main. Tentu saja kau tidak dapat
mengharapkan mentega yang ringan tenggelam dan batu-
batu yang berat mengambang. Itu adalah melawan hukum
alam.”
Sang Buddha tersenyum dan berkata: “Demikianlah,
anakku, tidakkah kau sadari bahwa ayahmu telah
menjalani hidup dengan baik, dan perbuatannya akan
menjadi seringan mentega itu, jadi tidak peduli apapun,
dia akan masuk surga. Tak seorang pun yang dapat
menghalanginya, bahkan tidak juga Aku. sebab tidak
seorang pun dapat melawan hukum alam kamma. Namun
jika ayahmu telah menjalani hidup yang buruk, maka
seperti batu-batu yang berat tadi, dia akan jatuh ke neraka.
Tidak peduli banyaknya doa yang dibacakan para pendeta
yang luar biasa dari seluruh dunia pun dapat menyebabkan
hal itu terjadi sebaliknya.”
76
Lelaki muda itu mengerti. Dia mengkoreksi
konsepnya yang salah dan berhenti berkeliling meminta
hal yang tidak mungkin. Contoh perumpamaan dari Sang
Buddha ini telah menyadarkan kita akan satu hal: Tidak
ada seorang pun yang dapat menyelamatkan kita, terlebih
lagi sesudah kita mati. Sesuai dengan hukum kamma, kita
adalah pemilik perbuatan kita sendiri, pewaris perbuatan
kita sendiri. Perbuatan kita adalah harta kita yang
sesungguhnya. Mereka adalah penyelamat kita yang
sesungguhnya, keluarga kita yang sesungguhnya. Mereka
adalah rahim dari mana kita timbul. saat kita meninggal,
kita tidak dapat membawa satu sen pun bersama kita atau
harta milik pribadi lainnya. Tidak juga orang yang kita
cintai dapat menemani kita. Sama seperti saat kita datang
sendiri sesuai dengan kamma kita, kita harus pergi sendiri.
Jika kita telah mengerti hukum karma dengan baik, maka
kita akan menghargai betapa pentingnya menjalani hidup
dengan baik selagi kita masih hidup. sebab jika menunggu
sampai kita mati, akan sudah terlambat. Tak banyak yang
dapat dilakukan pada saat itu.
Kelahiran kembali terjadi se saat itu juga
Bagaimanapun juga, ada suatu hal yang dapat
dilakukan seorang bhikkhu pada upacara kematian. Dan
itu adalah cara Buddhis melimpahkan jasa. Bagaimana
77
pelimpahan jasa ini dilakukan? Sebelum kita dapat
menerangkan hal ini kita harus terlebih dulu mengerti apa
yang terjadi pada saat kematian. Menurut Sang Buddha,
kelahiran kembali terjadi se saat itu juga sesudah kematian,
sebab kesadaran mempunyai sifat dasar untuk muncul
dan berlalu tanpa henti. Tidak ada interval antara
kematian dan kelahiran berikutnya*. Satu saat kita mati
dan saat berikutnya kelahiran kembali segera terjadi,
apakah itu di dunia manusia, dunia binatang, alam peta
(roh/hantu gentayangan/kelaparan), asura (makhluk
halus/setan/iblis/jin), alam neraka, atau alam dewa.
* Kepercayaan Tibet bahwa ada tahap perantara/interval sampai dengan
49 hari antara kematian dan kelahiran kembali bertentangan dengan
kepercayaan Buddhis Theravada, yang menyatakan bahwa kelahiran
kembali terjadi segera sesudah kematian. Untuk keterangan yang lebih
jelas mengenai kelahiran kembali dalam perspektif Buddhis Theravada,
bacalah artikel Narada yang berjudul “Sang Buddha dan Ajaran-
AjaranNya (The Buddha and His Teachings)”, bab ke-28.
Seseorang mengalami kelahiran kembali sesuai
dengan kammanya sendiri. Jika dia telah menjalani hidup
dengan baik maka umumnya dia akan memperoleh
kelahiran kembali yang baik pula. Saat kematian,
pikirannya biasanya akan berada pada keadaan yang baik,
dan hal ini membantu terjadinya kelahiran kembali yang
baik pula. Seseorang bisa saja dilahirkan kembali sebagai
manusia atau sebagai seorang dewa dari salah satu alam
dewa yang ada. Sang Buddha dapat melihat dengan
kekuatan magisnya berbagai macam alam/keberadaan,
dan juga bagaimana makhluk mati dan dilahirkan kembali
78
dengan segera sesuai dengan perbuatannya. Sang Buddha
dan banyak bhikkhu pada masaNya juga dapat mengingat
kehidupan lampau mereka yang tidak terhitung banyaknya.
Jika seseorang telah terbiasa menjalani hidupnya
dengan buruk, maka kelahiran kembali yang buruk
biasanya akan terjadi – ke dalam salah satu dari keempat
alam sengsara yaitu sebagai penghuni neraka, hantu
kelaparan (peta), binatang, atau makhluk halus/setan/
iblis/jin (asura). namun di mana pun seseorang dilahirkan,
dia tidak akan seterusnya berada di sana. Pada saat
kehidupannya berakhir, dia akan mati dan menjalani
kelahiran yang baru lagi. Jadi keberadaan sebagai
penghuni neraka atau hantu juga tidak berlangsung
selamanya. Ada suatu harapan: seseorang mempunyai
kesempatan untuk meuncul kembali, walaupun mungkin
diperlukan waktu yang tak terhitung lamanya untuk
mencapai hal ini . Jadi lebih baik kita tidak jatuh ke
dalam alam sengsara sama sekali, sebab sekali ada di
sana, kita tidak akan tahu berapa lama harus tinggal di
sana. Mungkin akan terasa seperti selamanya!
Sama seperti itu, kehidupan di alam dewa juga tidak
tetap/permanen. saat jangka waktu hidup di sana telah
berakhir, seseorang dapat jatuh ke alam yang lebih rendah.
Hanya seorang arahat yang telah melepaskan seluruh
keinginan untuk kelahiran kembali, yang telah
melenyapkan kekotoran batin yaitu keserakahan,
79
kebencian dan kebodohan, yang tidak akan menjalani
kelahiran baru lagi. Pada saat meninggal dia tidak akan
dilahirkan kembali ke dalam satu pun dari ke-31 alam
kehidupan. Dia tidak akan mengalami samsara lagi, yaitu
lingkaran kelahiran dan kematian. Dia mencapai
parinibbana yang mana merupakan pelenyapan (nirodha)
dari jiwa dan raga, pelenyapan seluruh bentuk penderitaan.
namun sebelum seseorang menjadi arahat, dia akan terus
mengalami kelahiran kembali.
Bagaimana pelimpahan jasa dapat bermanfaat
Sekarang, agar pelimpahan jasa dapat bermanfaat,
hal yang penting adalah bahwa orang yang akan menerima
jasa tahu apa yang terjadi. Dia harus hadir dan dapat
menyetujui perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan atas
namanya atau untuk kepentingannya. Jika dia
menyetujuinya, maka keadaan pikiran yang setuju atau
gembira ini adalah keadaan pikiran yang baik.
Dengan kata lain dia melakukan hal yang baik dengan
bergembira atas perbuatan baik yang telah dilakukan untuk
kepentingannya. Dengan demikian, sesungguhnya
bukanlah kita melimpahkan jasa kepadanya. Itu adalah
hal yang sebenarnya tidak mungkin. Apa yang sebenarnya
terjadi adalah dia bergembira dan kegembiraan itu adalah
suatu perbuatan baik dengan mana dia dapat meringankan
penderitaannya dan meningkatkan kebahagiaannya.
80
Jika sesudah kematian, kelahiran kembali terjadi di
dunia manusia atau binatang, makhluk ini akan tidak
tahu apa yang terjadi, - contohnya dia mungkin masih
berupa sebuah fetus (calon bayi) di dalam rahim ibunya.
Dalam keadaan demikian, dia tidak akan dapat bergembira
dan mengambil bagian dalam penciptaan perbuatan baik
ini .
Jika seseorang telah dilahirkan kembali sebagai
penghuni neraka, dia juga tidak dapat mengetahui apa yang
terjadi di dunia ini sebab dia sedang menderita di neraka,
yang merupakan alam kehidupan lain di mana dia tidak
mempunyai pengetahuan akan apa yang terjadi di bumi
ini. Jika dia dilahirkan kembali sebagai dewa (makhluk
surga), seper tinya tidak mungkin dia akan tetap
berhubungan dengan dunia ini. Dia pastilah akan menjadi
sangat senang dan sibuk menjelajahi kehidupan barunya
yang luar biasa itu sehingga tidak akan terlalu cepat sadar/
peduli akan apa yang terjadi di bumi/dunia ini. Waktu
adalah suatu hal yang relatif, contohnya waktu satu hari
di surga Tavatimsa, dipercaya sama dengan waktu 100
tahun di dunia kita ini! Jadi pada saat dewa itu melihat ke
bawah sini, kita semua pasti sudah mati dan lenyap!
Terlebih lagi, kita tidak dapat mengatakan secara pasti
bahwa dewa akan secara otomatis mempunyai kekuatan
gaib untuk mengingat kehidupan sebelumnya, walaupun
dalam catatan kuno telah ditemukan beberapa kejadian di
mana para dewa mengingat apa yang telah mereka lakukan
81
dalam kehidupan sebelumnya untuk mencapai kelahiran
kembali di alam dewa ini .
Dalam sutta Tirokutta, Sang Buddha memberitahu
seorang brahmana bahwa hanya makhluk peta-lah (roh
gentayangan) yang akan dapat menerima pelimpahan jasa.
Roh-roh ini, walaupun berada di alamnya sendiri, dapat
melihat dengan mata mereka sendiri alam manusia ini.
Jika mereka sadar akan perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan atau nama mereka, dan bergembira sebab nya,
maka mereka akan memperoleh jasa sebagai hasil dari
kegembiraan mereka itu. Tentu saja tidak ada seorang pun
yang ingin orang-orang yang dicintai dilahirkan sebagai roh
gentayangan. Orang pasti menginginkan orang yang
mereka dicintai itu mengalami kelahiran kembali sebagai
seorang manusia atau dewa.
Kemudian brahmana ini bertanya kepada Sang
Buddha apa yang akan terjadi jika orang yang telah
meninggal ini memperoleh kelahiran kembali yang
baik. Sang Buddha menjawab bahwa pelimpahan jasa
adalah tetap merupakan suatu hal yang baik untuk
dilakukan, sebab dalam lingkaran samsara yang tidak ada
awal-mulanya ini, pastilah ada beberapa keluarga kita yang
dalam kehidupan lampau telah mengalami kelahiran yang
tidak beruntung sebagai makhluk peta. Dan sebab jangka
waktu kehidupan sebagai makhluk peta mungkin sangatlah
panjang, mereka mungkin masih ada di sana. Jadi kita
82
melimpahkan jasa kepada para keluarga yang telah
meninggal dan juga kepada seluruh makhluk halus lainnya.
Selain itu, Sang Buddha menjelaskan bahwa orang yang
melakukan perbuatan baik atas nama orang yang sudah
meninggal dengan sendirinya akan memperoleh jasa itu
juga.
Pelimpahan jasa adalah sebuah tradisi Buddhis. Para
umat Buddha melakukan berbagai perbuatan baik seperti
memberikan persembahan makanan dan kebutuhan bagi
para bhikkhu, mendanai pencetakan artikel -artikel Dhamma
dan menyumbang untuk kebutuhan amal, seperti kepada
panti jompo, rumah sakit amal dan institusi bagi orang
cacat. Kemudian juga mengundang orang yang meninggal
dan seluruh makhluk halus lain untuk bergembira dan
berbagi jasa-jasa ini . Ini sendiri adalah suatu
perbuatan baik, pelakunya tidak kehilangan jasa ini
namun malah mendapatkan lebih banyak lagi dengan
membagi/melimpahkannya, sebab pelimpahan jasa itu
sendiri adalah salah satu dari perbuatan baik. Jadi orang
yang masih hidup ini melakukan perbuatan baik/jasa
dua kali lipat – pertama dengan melakukan perbuatan baik
dan kedua dengan melimpahkan jasa ini .
Kehadiran para bhikkhu untuk membacakan sutta
Buddhis danmemberi ceramah/khotbah Dhamma
kepada keluarga yang berduka pada saat berkabung juga
merupakan suatu dukungan moral yang sangat berharga.
83
Para bhikkhu dapat mengingatkan keluarga yang
ditinggalkan akan ajaran Buddha yaitu ketidak-kekalan,
penderitaan, dan tanpa-inti. Mereka dapat mendorong para
anggota keluarga untuk menerima penderitaan ini
dengan penuh kebijaksanaan, dan untuk berusaha lebih
keras demi mencapai Nibbana, yaitu penghentian dari
seluruh penderitaan.
Jika kita memahami dan menerima konsep ajaran
Sang Buddha mengenai kelahiran kembali, bahwa itu
adalah sesuatu yang terjadi secara langsung/se saat ,
maka kita akan mengerti bahwa yang penting adalah kita
harus melakukan perbuatan-perbuatan baik selagi kita
masih hidup. Dengan melakukan perbuatan baik, kita
memperoleh kamma yang baik pula. Kamma adalah
warisan kita yang sebenarnya, sebab hanya perbuatan
atau kamma yang baik yang dapat mengikuti kita. sesudah
meninggal dunia, uang kertas, rumah kertas, mobil kertas,
dan lain-lain yang dibakar tidak dapat memberi
keuntungan/manfaat bagi orang yang telah meninggal
ini . Itu adalah hal yang bertentangan dengan logika
kamma. Apalagi, kita dapat berpikir sendiri – bagaimana
mungkin sesuatu yang dibakar di dunia ini dapat berwujud
di dunia lain atau di mana pun sebagai benda ini .
Apa yang dibakar menjadi benda yang sudah terbakar; dan
akan tetap merupakan benda yang sudah terbakar. Dalam
pengertian hukum kamma pun,memberi persembahan
makanan kepada orang yang telah meninggal juga tidak
84
berguna. sebab dengan telah dilahirkan kembali, makhluk
hidup yang baru itu akan bertahan hidup dengan memakan
jenis makanan yang sesuai dengan dunia kehidupannya.
sebab itulah kita menemukan bahwa Sang Buddha sama
sekali tidak meminta kita untukmemberi persembahan
makanan kepada orang yang telah meninggal maupun
membakar uang-uang kertas, dan lain-lainnya.
Jelas sekali, segala kebutuhan dan ritual kematian
ini telah diturunkan dari generasi ke generasi tanpa
adanya pemikiran sama sekali mengenai dasar dan
manfaatnya. Apa yang diajarkan Sang Buddha adalah
seperti yang telah dijelaskan lebih awal, yaitu melakukan
perbuatan baik demi atau atas nama orang yang telah
meninggal dan kemudian melimpahkan jasa ini ,
dengan membacakan dalam bahasa Pali atau bahasa lain
yang dapat kita mengerti: Semoga seluruh jasa ini berlimpah
kepada … (orang yang meninggal). Semoga dia dapat turut
berbahagia dan memperoleh perbuatan baik yang telah
dilakukan ini.
Pemakaman Buddhis adalah pemakaman yang sederhana
Upacara kematian secara Buddhis adalah suatu cara
yang penuh arti dan sederhana. Jika kita dapat mengerti
dan menghargai cara Buddhis ini , maka upacara
pemakaman Buddhis dapat menjadi sesuatu yang sangat
sederhana tanpa adanya ritual atau tradisi kepercayaan,
85
rasa takut, cemas, atau bingung. Kita tidak perlu membakar
ini dan itu, melakukan hal-hal yang aneh dan menuruti
segala macam tabu, hal-hal yang sebenarnya tidak berarti
dan membingungkan kita yang masih hidup, yang
umumnya akan mengikuti/melakukannya lebih sebab
didasari oleh rasa takut, tekanan sosial, atau ketidak-
tahuan, daripada hal-hal lainnya. Kita tidak perlu
mengundang orang yang ahli/profesional untuk membaca
dan melakukan acara ritual ini dengan biaya yang
sangat besar sampai mencapai ribuan dolar! Atau
menyewa sebuah band untuk memainkan musik,
walaupun musiknya adalah yang musik sendu.
Sebagai umat Buddhis, kita hanya perlu
mengundang bhikkhu-bhikkhu Buddhis untuk
membacakan sutta Buddhis yang tidak perlu terlalu
panjang. Sebaiknya sutta ini dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris atau China atau bahasa lainnya
yang dapat dimengerti, sehingga semua yang hadir dapat
memahami, menghargai, dan merenungkan apa yang
dibacakan ini , apa yang telah diajarkan Sang Buddha
mengenai sifat-sifat dasar dari kehidupan dan kematian.
Hal yang penting adalah penegasan/penegakan ke lima
sila oleh para umat – dilakukan dengan membacakannya
dalam bahasa Pali, lebih baik lagi apabila kemudian
diterjemahkan, sesudah bhikkhu mengucapkannya.
Dalam tradisi Theravada, para bhikkhu tidak
memasang tarif apapun untuk pelayanan mereka. Mereka
melakukannya didasarkan oleh rasa cinta kasih, untuk
memberikan dukungan moral kepada pengikut/umat saat
mereka sedang membutuhkannya. sebab nya, para
bhikkhu tidak akan meminta kompensasi berupa uang
sebab hal itu bertentangan dengan semangat Dhamma.
Namun demikian, pengikut/umat biasanyamemberi
angpao sebagai sumbangan kepada para bhikkhu untuk
membeli benda-benda yang diperlukan, seperti jubah atau
obat. Jumlah ini , jika pun diberikan, hanyalah sebagai
sebuah tanda. Pada dasarnya, para bhikkhu tidak boleh
mengharapkan angpao/imbalan, dan jika mereka diberi,
itu sesungguhnya hanyalah sesuatu yang diberikan atas
inisiatif dari orang yangmemberi . Angpao ini
hanya merupakan sebuah tanda, adalah bukan suatu tarif,
melainkan sumbangan. Tarif, misalnya untuk sebuah
upacara kematian, umumnya adalah jumlah yang
dibutuhkan untuk menyokong pelaksanaan upacara
ini , dan ditentukan oleh pelaksana upacara ini
sebelum dia menyetujui melakukan pelayanan itu. Dan
hal itu, seperti yang telah kita katakan, adalah bukan
merupakan suatu hal yang patut dilakukan oleh seorang
bhikkhu.
Para relatif/anggota keluarga tentu saja dapat
memberikan persembahan makanan (dana) kepada para
bhikkhu di vihara. Mereka yang lebih mampu dapat
memberikan sumbangan untuk pencetakan artikel -artikel
Dhamma yang dibagikan secara cuma-cuma. Mereka juga
dapatmemberi sumbangan kepada institusi-institusi
amal, orang-orang yang miskin dan membutuhkan, dan hal-
hal lainnya yang berguna. Sebagai pengganti karangan
bunga, para anggota keluarga dan handai-taulan dapat
didorong untukmemberi sumbangan kepada institusi
amal yang telah ditetapkan. Seluruh jasa yang diperoleh
dapat dilimpahkan kepada orang yang meninggal. Semua
hal ini akan membuat upacaara kematian itu menjadi lebih
berarti – tanpa dilakukannya hal-hal yang tidak benar yang
disebabkan oleh kebingungan dan memicu
pengeluaran dana yang sia-sia.
Kita dapat belajar dari orang lain
Jenasah orang yang sudah meninggal dapat dikremasi
atau langsung dikuburkan – pada hari yang sama atau hari
berikutnya. Dalam hal ini aku merasa anggota keluarga
orang Cina dapat mengambil suatu pelajaran dari orang
muslim dalam hal pemakaman, yang seperti kudengar,
merupakan suatu hal yang sederhana, praktis dan tidak
mahal. Seorang teman muslim mengatakan bahwa cara
orang muslim adalah menguburkan orang yang sudah
meninggal pada hari kematian itu juga, atau paling lambat,
pada hari berikutnya. Jadi jika seorang muslim meninggal
pada jam 2 siang, dia dapat dikuburkan sebelum matahari
88
terbenam pada hari yang sama. Jika dia meninggal pada
malam hari, dia dikuburkan pada hari keesokannya.
Upacara penguburan itu sendiri tidak mahal dan
sangat terjangkau, sebab seperti yang dikatakan temanku
itu, agama Islam tidak mendukung kemewahan dan
menganjurkan kesederhanaan dan keekonomisan. Sebuah
pemakaman muslim yang mencakup peti mati, mungkin
hanya menghabiskan uang sebesar $500 – suatu jumlah
yang sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan
pemakaman orang Cina yang dapat menghabiskan biaya
sampai $30.000 atau mungkin lebih! Prosedur pemakaman
untuk orang muslim juga, dalam pengertian agama Islam,
relatif sangat sederhana namun penuh arti. Demikian juga
upacara pemakaman orang Kristen, sederhana, tidak
mahal dan penuh arti bagi mereka, dan pemakaman
ini dilaksanakan dalam waktu 48 jam.
Aku percaya bahwa dalam hidup kita tidak akan dapat
berhenti belajar. Selalu ada cara yang lebih baik dan berarti
dalam melakukan segala sesuatu. Jika kita mempunyai
pikiran yang terbuka dan adil (tidak berpihak pada satu
sisi), kita dapat belajar dari orang lain. Sang Buddha
menganjurkan kita dalam sutta Kalama bahwa kita harus
selalu berpikir dan menelaah bagi diri kita sendiri. Jika
kita menemukan bahwa suatu ajaran adalah baik dan
berarti maka kita harus mengikutinya; jika kita
menemukan bahwa hal itu jelek atau tidak berguna, maka
89
kita seharusnya tidak mengikutinya, atau jika kita selama
ini telah mengikutinya, kita harus dapat dengan berani
dan bijaksana membuangnya. Tidak ada sesuatu pun, kata
Sang Buddha, yang harus diikuti secara membabi-buta
tanpa pengertian atau pertanyaan. Sang Buddha
menganjurkan kita untuk bertanya dan memeriksa.
Bahkan kata-kataNya sendiri harus diperiksa dan hanya
saat telah terbukti kebenarannya, barulah dapat kita
ikuti. Sang Buddha tidak ingin kita mempunyai
kepercayaan yang membabi-buta, melainkan kepercayaan
yang berdasarkan pengetahuan yang dialami secara
langsung.
sebab itu, jika kita menemukan ajaran yang mudah/
sederhana dan baik dalam agama dan tradisi lain, kita dapat
mengadaptasi dan mengikutinya selama hal itu tidak
bertentangan dengan kepercayaan/agama kita. Dalam hal
ini, kita dapat belajar dari orang lain dalam hal mereka
melaksanakan upacara pemakaman yang singkat dan tidak
berbiaya mahal. Kita juga seharusnya membuang
kepercayaan/tradisi kuno yang tidak bersifat Buddhis.
Untuk kepercayaan kuno, aku mengerti ada banyak hal
dalam upacara pemakaman tradisional orang Cina, dan aku
telah melihat beberapa dari pelaksanaan itu sendiri saat
membacakan doa pada upacara kematian. Aku hanya
merasa tidak dapat berbuat banyak sebab aku hanya
dapat menyaksikan semua itu secara diam-diam. Sedikit
yang dapat kulakukan dalam hal ini. Tradisi adalah hal
90
yang paling sulit untuk diubah; dan segala usaha untuk
melakukan perubahan biasanya akan dihadapi dengan
pertahanan yang kuat dan bahkan ketidak-setujuan.
Ada saat-saat di mana aku ragu untuk datang ke
upacara pemakaman untuk pembacaan doa sebab aku
mempertimbangkan apa sebenarnya tujuan kehadiranku
di sana. namun biasanya, aku menanggapinya dan
berusaha semampuku untukmemberi khotbah
Dhamma dan menjelaskan bagaimana sebenarnya posisi
umat Buddha dengan sebaik-baiknya. Aku merasa sudah
saatnya orang Cina penganut agama Buddha
mempertimbangkan kembali tradisi pelaksanaan upacara
pemakaman Cina dan menyederhanakannya sesuai
dengan kebijaksanaan Buddhis. Aku mungkin dikritik
sebab pandanganku, namun aku merasa bahwa jika kita
tidak membicarakannya, kita akan melakukan suatu
tindakan yang tidak menguntungkan komunitas Buddhis.
Jika aku boleh menganjurkan suatu upacara
kematian secara Buddhis yang sederhana, aku akan
menganjurkan bahwa jika memungkinkan, kremasi
dilakukan pada hari yang sama dan jika tidak, pada hari
berikutnya. Bagaimana pun juga, beberapa orang boleh
saja menyemayamkan jenasah untuk beberapa hari untuk
memungkinkan keluarga dan handai-taulan yang tinggal
jauh untuk datang dan menyampaikan penghormatan
terakhir, atau untuk alasan-alasan pribadi lainnya. Jadi
91
keputusannya adalah sesuatu yang bersifat pribadi yang
diambil oleh keluarga yang bersangkutan. Aku lebih
menganjurkan kremasi daripada penguburan sebab
beberapa pemikiran yang praktis, seperti kekurangan tanah,
bertambahnya populasi manusia, dan penghematan dalam
biaya upacara kematian ini yang kemudian dapat
disalurkan untuk kebutuhan lain yang lebih penting dan
berarti seperti untuk amal.
Orang yang meninggal harus dimandikan,
dibersihkan dan dipakaikan baju, dan hal ini lebih baik
dilakukan oleh anggota keluarga daripada oleh orang asing.
Ini adalah hal yang sangat berarti sebab tubuh ini
adalah tubuh orang yang kita cintai, dan hal yang
setidaknya dapat kita lakukan adalah memperlakukannya
dengan lembut dan penuh hormat. Jenasah kemudian
dapat dipakaikan baju yang tidak perlu mewah atau formal,
namun yang suka dipakai almarhum/ah saat dia masih
hidup. Tubuh jenasah laki-laki dapat dimandikan dan
dipakaikan baju oleh anggota keluarga laki-laki, dan
jenasah perempuan oleh anggota keluarga perempuan.
Kita tidak seharusnya merasa takut terhadap jenasah
ini , terutama sebab itu adalah jenasah orang yang
kita cintai.
Juga tidak ada artinyamemberi perhiasan pada
jenasah. Suatu saat , pada pembacaan doa kematian, aku
memperhatikan orang yang mengurus upacara kematian
92
menghiasi jenasah orang yang meninggal dengan anting-
anting dan cincin yang khusus dibuat untuk orang mati.
Ini bahkan lebih ironik dan tidak berar ti, sebab
pertimbangan bahwa dalam apa pun kelahiran baru orang
yang sudah meninggal ini , dia tidak akan membawa
apa pun kecuali segala perbuatan baik dan buruknya.
saat menangani jenasah, seperti memindahkannya
dari tempat tidur dan mengaturnya di peti mati, sekali lagi
hal itu dapat dilakukan oleh anggota keluarga. Dan hal
yang harus selalu diingat adalah bahwa jenasah harus
ditangani dengan penuh rasa hormat dan lembut.
Kewajiban untuk membalikkan badan saat jenasah
dimasukkan ke dalam peti mati, atau saat peti matinya
dimasukkan ke dalam mobil jenasah, menurut saya adalah
suatu hal yang aneh. Orang mati ini adalah orang
yang kita cintai dan kita sendirilah seharusnya yang
meletakkan tubuhnya dengan lembut ke dalam peti mati,
atau setidaknya untuk memandangnya dengan penuh rasa
hormat saat hal itu dilakukan oleh orang lain.
Memalingkan muka atau membalikkan badan terhadap
jenasah menurutku adalah tanda tidak hormat! Aku tidak
habis berpikir bahwa jika aku adalah orang yang meninggal
ini , aku akan merasa tersinggung diperlakukan
seperti itu.
Kepercayaan untuk memalingkan muka adalah suatu
bentuk lain dari kepercayaan kuno. Mengapa kita harus
93
takut akan nasib buruk yang akan menimpa kita jika kita
tidak mengikuti kepercayaan ini ? Sebagai orang
Buddhis kita harus mempunyai keyakinan akan hukum
karma yang merupakan perlindungan dan pendukung kita
sebenarnya. Perbuatan baik menghasilkan kebaikan dan
perbuatan jahat menghasilkan kejahatan. Kita harus takut
akan perbuatan jahat seperti melanggar sila, sebab
perbuatan jahat ini akan memicu penderitaan.
Hal yang setidaknya harus kita takuti adalah kepercayaan
kuno dan tabu yang tidak berdasar.
Peti mati juga tidak perlu yang mahal. Peti mati harus
ditempatkan di aula ruangan dengan bunga-bunga yang
ditata apik di sekitarnya dan sebuah foto dari orang yang
meninggal. Beberapa kata Dhamma yang penuh arti, suatu
paragraph atau kalimat dapat dipajang untuk ref leksi.
Tidak perlu mengirimkan karangan bunga. Melainkan,
sebagai ganti karangan bunga, sumbangan seharusnya
diberikan untuk badan amal, yang dapat ditentukan oleh
anggota keluarga orang yang meninggal ini . Apa pun
pengeluaran yang dihemat dengan melakukan upacara
kematian yang sederhana namun penuh arti dapat juga
disalurkan untuk amal.
Makanan tidak perlu dipersembahkan di depan peti
mati, sebab seperti yang telah kita jelaskan, orang mati
tidak dapat menikmatinya. Pembakaran uang kertas,
kertas jalan, dan lain-lain juga tidak berar ti dan
94
seharusnya tidak dilakukan sama sekali. Pemasangan lilin
dan hio juga tidak perlu. Sebenarnya, kebanyakan
kepercayaan kuno dan tabu yang umumnya menyangkut
upacara tradisional orang Cina semuanya patut dibuang,
sebab mengingat kata-kata Sang Buddha bahwa
pengikutNya yang sebenarnya mempunyai 5 kualitas: “Dia
mempunyai keyakinan; dia berdisiplin secara moral; dia
tidak percaya pada hal-hal tabu dan takhyul; dia
bergantung pada kamma, bukan kepercayaan kuno; dia
tidak mencari orang spiritual lain di luar sini (yaitu di luar
pengikut Sang Buddha) dan dia menunjukkan rasa hormat di
sini dulu (yaitu dia mempunyai rasa hormat kepada Sang
Buddha dan tidak seharusnya membuat diri sendiri percaya/
melakukan hal-hal yang sangat tidak Buddhis)”.
Pemakaian baju berkabung adalah sesuatu yang tidak
perlu. Sang Buddha tidak ingin kita berkabung atau
bersedih namun menerima fakta perpisahan dan kematian
dengan kebijaksanaan dan penuh ketenangan hati. ‘Soka’
atau kesedihan adalah suatu keadaan pikiran yang tidak
sehat dan hal ini dapat diatasi melalui kesadaran penuh
dan perenungan/ref leksi yang bijaksana. sebab itu, para
anagami dan arahat (mereka yang sudah mencapai tingkat
ketiga dan keempat dari kesucian) tidak dapat berkabung
dan bersedih. saat Sang Buddha meninggal, para bhikkhu
yang telah mencapai tingkat anagami atau arahat tidak
meneteskan airmata. Dengan telah memahami sifat
ketidak-kekalan, mereka tidak bersedih walaupun Sang
Buddha meninggal dunia di depan mata mereka.
Sang Buddha juga tidak bersedih saat dua murid
utamanya, Sariputra dan Moggallana, masing-masing
meninggal dalam jangka waktu dua minggu, sekitar enam
bulan sebelum kematianNya. Sang Buddha sendiri berkata:
“Hebat, sangat bagus bukan, para bhikkhu, mereka yang
telah Sempurna ini, bahwa saat sepasang murid telah
meninggal tidak ada kesedihan, tidak ada penyesalan pada
Orang Sempurna ini.” Dan Sang Buddha menambahkan:
“sebab apa yang dilahirkan, menjadi suatu bentuk
kehidupan, menjadi satu, dan sebab itu pasti akan hancur,
bagaimana mungkin dikatakan bahwa dia tidak boleh pergi?
Itu adalah suatu hal yang tidak mungkin. sebab itu, para
bhikkhu, jadikanlah dirimu sebagai pulaumu sendiri, suatu
perlindungan bagi dirimu sendiri dan jangan mencari
perlindungan di luar; dengan Ajaran sebagai pulaumu,
Ajaran sebagai perlindunganmu, tidak mencari
perlindungan lain lagi.”
Janganlah menekan kesedihan, namun akuilah dan
lenyapkanlah dengan penuh kesadaran dan pengertian
Jika kita selalu mengingat ajaran-ajaran Sang
Buddha dalam pikiran kita, kita akan tetap tenang
menghadapi kesedihan. Di sini harus ditekankan bahwa
bukan berarti kita harus menekan kesedihan secara paksa,
96
mengacuhkannya atau menyangkal keberadaannya.
Tidak, itu adalah suatu cara yang tidak baik.
Cara kita adalah dengan mengakui dan mengawasi
keadaan pikiran kita saat sedang sedih. Dengan
kesadaran penuh dan pemikiran yang bijaksana, kita akan
mampu menahan kesedihan dan memperoleh ketenangan.
Kesadaran penuh dan pengertian adalah cara tengah dan
terbaik – sebab tidak menyangkut penindasan maupun
kekalahan atas emosi-emosi yang negatif dan bersifat
merusak. Kesadaran penuh adalah suatu pengakuan dan
obser vasi, dar i mana pengertian, pener imaan,
penyelesaian, dan kebijaksanaan dapat muncul. Kita tidak
menyangkal atau menekan emosi-emosi kita, melainkan
mengakui dan memperhatikannya.
Dalam proses pengakuan dan pengamatan ini ,
kita dapat secara lebih baik mengatasi kesulitan dan konf lik
yang mungkin muncul di pikiran. Kita dapat berlatih pada
pemikiran yang bijaksana mengenai sifat dasar ketidak-
kekalan, penderitaan dan tanpa-inti. Kita dapat mengambil
contoh kebijaksanaan orang kuno, dan sebab itu akan
dapat mengatasi kesedihan kita. Dengan kata lain,
kebijaksanaan akan timbul. Kita dapat mengerti dan
menerima kesedihan kita. Dan kesedihan itu tidak akan
menguasai pikiran kita maupun membingungkan kita.
Inilah yang dimaksud dengan penerapan kesadaran secara
lembut akan menuju ke pengertian dan penguasaan diri
sendiri.
Dengan cara ini, kita tidak akan meraung-raung
sedih. Kita dapat memperhatikan emosi kesedihan dalam
diri kita, dan kita dapat menahan kesedihan itu secara
alami tanpa harus ditunjukkan secara berlebihan. Akan
timbul ketenangan, kepasrahan, dan pengertian. Bahkan
jika pun kita sampai lepas kontrol dan menangis, kita akan
dapat melakukannya dengan cara yang sedemikian rupa
sehingga hal itu tidak tampak. Pada akhirnya kita akan
dapat memperoleh kembali kontrol diri dan menjadi tenang.
Kesadaran akan menjadi penolong kita, dan membantu kita
mengatasi kesedihan. Kita akan dapat memahami fakta
penderitaan, kebenaran yang telah diajarkan Sang Buddha
dan guru-guru bijaksana lainnya, dan kita akan dapat
tersenyum lagi.
Kembali ke soal berkabung, kita dapat melihat bahwa
dalam pengertian kebijaksanaan dan tanpa-kesedihan,
pemakaian pakaian berkabung adalah sesuatu yang tidak
penting. Bukan berarti kita tidak menganggap keluarga
kita sendiri atau kurang mencintai orang-orang yang kita
sayangi jika kita tidak memakai pakaian berkabung. Tidak,
kita tetap menghormati mereka namun kita tidak melihat
adanya manfaat dengan menunjukkan kesedihan kita
secara terang-terangan dan berlebihan. Rasa hormat dan
kesedihan di sini adalah suatu hal yang sangat pribadi,
98
yang dirasakan di dalam hati kita dan kita cenderung tidak
ingin menunjukkannya.
Daripada menunjukkan rasa berkabung secara
terang-terangan dan berlebihan, rasa hormat pada keluarga
(orang yang lebih tua) seharusnya ditunjukkan dengan
perlakuan terhadap mereka saat masih hidup.
Perbuatanlah yang berbicara. Sangatlah tidak benar
apabila orang berpikir bahwa ritual dan upacara kematian
yang berlebihan dan pemakaian pakaian berkabung dapat
dianggap sebagai pengganti pernyataan rasa cinta dan
kasih sayang yang tidak diberikan kepada orang yang
meninggal saat dia masih hidup.
Namun demikian, sesuai dengan etika/ketentuan
untuk per istiwa sakral yang khidmat, kita dapat
mengenakan pakaian yang sesuai. Kita dapat memilih
pakaian yang berwarna gelap, putih, atau polos dari lemari
kita. Itu menurut saya sudah cukup, walaupun bagi orang
yang meninggal, jika dia merupakan seorang penganut
Buddhis yang cer ia dan penuh pengertian, bahkan
mungkin tidak menginginkan kita mengenakan pakaian
berkabung melainkan untuk bergembira sebab dia telah
menjalani hidup dengan baik dan telah pergi ke kehidupan
baru yang lebih baik. Jadi sebelum meninggal, kita dapat
menyatakan bahwa kita tidak ingin ada acara berkabung
dan pelaksanaan tradisi-tradisi kepercayaan, namun hanya
sebuah pemakaman yang sederhana. Kita dapat menunjuk
seseorang yang penuh tanggung jawab untuk memastikan
bahwa seluruh keinginan kita akan dilaksanakan. Kita
dapat menyatakan seluruh pesan terakhir kita dalam
bentuk tertulis dan menanda-tanganinya di depan saksi
sehingga semua orang yang bersangkutan akan
mengetahuinya dan melaksanakan segala keinginan kita.
Secara keseluruhan, suasana di rumah dan selama
upacara pemakaman haruslah agung dan penuh
pengertian. Perbuatan-perbuatan yang tidak baik seperti
minum-minum dan berjudi sudah pasti tidak diijinkan.
Semuanya harus hormat dan bersikap sesuai ketentuan.
Beberapa kalimat yang penuh arti dari kitab-kitab Buddhis
dapat dibacakan dari waktu ke waktu dan direnungkan oleh
para anggota keluarga dan semua orang yang hadir.
Seseorang dapat memimpin perenungan ini . Jika
semua yang bersangkutan mempunyai pengertian yang baik
mengenai Dhamma, mereka akan dapat menahan
kesedihan mereka. Mereka yang lebih tenang/tabahdapat
menghibur/menenangkan sesamanya yang sangat
bersedih. Dengan demikian suasana yang damai dan penuh
penger tian akan muncul selama berlangsungnya
keseluruhan acara ini . Dan mereka yang hadir juga
dapat merasa lebih tenang dan terdorong untuk berusaha
lebih keras dalam usaha spiritualnya, dan untuk hidup
dengan lebih penuh rasa cinta dan kasih sayang.
100
Pelayanan bagi orang yang meninggal dapat
dilaksanakan di rumah. Anggota keluarga yang lebih tua
dapat memimpin upacara, di mana pada saat itu kehidupan
dan perbuatan baik orang yang meninggal ini dikenang
kembali. Anak-anak dapat mengenang kebaikan hati dan
cinta kasih orang tua mereka*, sehingga dapat
memutuskan untuk menjalankan kehidupan yang patut
dicontoh, sesuai dengan apa yang ada dalam ingatan
mereka.
* Dalam hal ini, orang tua boleh mempercayai kenyataan bahwa
perbuatan akan tetap diingat sesudah kehidupan secara fisik berakhir.
Suatu kehidupan yang telah dijalani dengan baik merupakan warisan
terbaik yang dapat ditinggalkan bagi anak-anak. Warisan yang akan
menjadi inspirasi sekaligus member ikan harga dir i bagi para
pewarisnya. Kenangan indah akan segala perbuatan dan kehidupan
baik mereka yang patut menjadi contoh akan tetap bertahan sampai
lama sesudah mereka meninggal.
Seorang bhikkhu juga dapat diundang untuk
memberikan ceramah Dhamma yang sesuai. Acara meditasi
juga dapat dilangsungkan di aula. Hal ini selain merupakan
perbuatan baik juga merupakan tanda penghormatan bagi
orang yang meninggal. Almarhum/ah, jika dia telah
menjalankan meditasi dengan tekun, pastilah akan merasa
sangat bahagia melihat semua orang duduk bermeditasi
mengelilingi peti matinya. Jika dia telah dilahirkan kembali
di surga dan dapat melihat apa yang sedang terjadi, aku
yakin dia pasti akan merasa gembira. Aku, contohnya, pasti
akan merasa sangat senang jika aku melihat ke bawah dan
mendapati semua orang bermeditasi di sekeliling peti
matiku. Kegembiraanku tidak akan ada habisnya. Dan
jika memungkinkan, aku akan turun dan dengan gembira
turut duduk bermeditasi bersama mereka, namun tentu
saja, aku harus minta maaf: aku sadar imaginasiku telah
lepas kontrol.
Pada hari kremasi, seluruh perbuatan baik yang telah
dilakukan dapat dilimpahkan sekali lagi. Daftar lembaga
sosial/amal yang telah menerima sumbangan dari dana
yang terkumpul juga dapat dibacakan. Suatu upacara yang
penuh arti dapat dilaksanakan di krematorium sesaat
sebelum peti mati dimasukkan ke dalam oven pembakar
jenasah. Bait-bait yang penuh arti dapat dibacakan dari
kitab suci, dapat mengenai ketidak-kekalan hidup,
kematian yang tidak dapat dihindari dan pentingnya
menjalani kehidupan dengan baik, untuk bermeditasi dan
melayani sesama. Bahkan akan menjadi sesuatu yang
lebih mendidik apabila pembacaan ayat suci ini
khusus disusun dan dibacakan untuk peristiwa ini .
Bagus apabila ada seorang bhikkhu yang dapat memimpin
keseluruhan upacara ini , namun jika hal itu tidak
memungkinkan, anggota keluarga, handai-taulan, atau
teman yang tertua dapat mengambil inisiatif ini .
sesudah proses kremasi, apa yang harus dilakukan
dengan abu jenasah? Di negara Birma (sekarang disebut
Myanmar) yang mayoritas penduduknya menganut agama
Buddha, aku diberitahu bahwa biasanya jenasah dikremasi
102
sampai menjadi abu, yang kemudian diserahkan kepada
petugas krematorium untuk dibuang. Anggota keluarga
tidak mengambil/menyimpan abu jenasah sebab mereka
percaya bahwa orang yang meninggal langsung dilahirkan
kembali, dan tubuh yang ditinggalkan hanyalah sebuah
cangkang kosong. Namun tradisi orang Cina di Malaysia
adalah menyimpan suatu guci yang berisi abu jenasah di
vihara atau di rumah abu dengan membayar biaya tertentu.
Menurutku pribadi, sebenarnya tidak ada gunanya
menyimpan abu jenasah sebab hal itu tidak mempunyai
tujuan yang jelas, oleh sebab itu pemberian persembahan
atau pelaksanaan segala bentuk upacara di depan abu
jenasah ini tidak perlu sama sekali. sebab , seperti
yang kita ketahui dari Dhamma, abu hanyalah suatu
elemen materi yang tidak bergerak sementara kesadaran
mengambil bentuk kehidupan baru, sebuah tubuh baru di
dunia kehidupan baru. Jadi aku setuju dengan cara orang
Buddhis di Myanmar yang membuang abu jenasah. Jika
kita ingin mengingat dan menghormati orang yang
meninggal, kita harus menjalani kehidupan dengan baik
dan melakukan perbuatan-perbuatan baik atas nama
almarhum/ah. Kemudian pada per ingatan har i
kematiannya, kita juga dapatmemberi persembahan/
dana (berupa makanan atau hadiah lainnya) di vihara-
vihara, atau menyumbangkan dana untuk amal.
Seluruh usul/saran sehubungan dengan upacara
pemakaman yang telah kuajukan di atas, aku yakin, lebih
berarti dan mengesankan dibandingkan dengan tradisi-
tradisi yang berlaku sekarang. namun tentu saja semua itu
terserah kepada pembaca untuk memutuskan sendiri. Ini
semua hanyalah perasaanku, sesuai dengan bagaimana
aku melihatnya. Aku mengerti bahwa orang lain mungkin
merasakan hal yang berbeda. Mereka mungkin tidak setuju
denganku dan mereka berhak melakukannya. sebab aku
selalu yakin dan percaya bahwa tidak seorang pun dapat
memaksakan pandangannya kepada orang lain. Kita semua
mempunyai pikiran kita sendiri dan kita berhak berpikir
dan memutuskan untuk diri kita sendiri.
sebab itu harus kujelaskan di sini bahwa aku tidak
memaksakan pandanganku pada siapa pun. Aku hanya
menyatakan dan membagi pandangan-pandanganku.
Terserah kepada masing-masing orang untuk memutuskan
apa yang ingin dipercayai atau diikuti. Setiap orang harus
merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang dirasakan
sesuai. Terlebih lagi, dalam membuat keputusan mengenai
pemakaman sesudah seseorang meninggal, haruslah ada
pembicaraan dan kemufakatan di antara para anggota
keluarga. sebab itu yang paling baik adalah jika sebelum
meninggal, dia menjelaskan jenis pemakaman seperti apa
yang diinginkannya. Hal ini pun sebaiknya dilakukan
secara tertulis, ditanda-tangani dan dibuat di depan saksi.
Dengan demikian tidak akan ada pertengkaran sesudah
kematiannya. Anggota-anggota keluarga harus
menghormati dan mengikuti keinginan-keinginannya.
104
Tentu saja, segala anjuran yang telah kuberikan
tidaklah jelas seluruhnya. Mereka belum mencakup
seluruh detil dan aspek mengenai suatu pemakaman.
Mereka hanyalah suatu kerangka kasar, bahan pikiran
semata. Mungkin dapat juga ada variasi lainnya. sebab
itu adalah hal yang baik apabila sebuah tim yang terdiri
dari para Buddhis yang berpikiran sama dan terhormat
dapat duduk dan membentuk suatu aturan pemakaman
Buddhis yang sederhana yang mencakup seluruh aspek
dan detil, dan menjawab seluruh pertanyaan yang mungkin
muncul. Pertama-tama, apa yang harus dilihat adalah
praktek-praktek kita saat ini. Apa sajakah mereka? Apa
kelebihan mereka? Apakah kita tahu dan mengerti apa
yang sedang kita lakukan? Mengapa kita
melaksanakannya? Apakah hal-hal ini masuk akal?
Apakah mereka sejalan dengan Dhamma? Atau apakah
mereka hanya merupakan tradisi kepercayaan kuno yang
tidak dapat disesuaikan dengan pengertian kita akan
Dhamma seperti yang telah dikhotbahkan Sang Buddha?
Dari apa yang dapat kulihat, saat ini banyak tradisi
keluarga orang Cina yang mengakui cara hidup Sang
Buddha, namun tidak bisa disesuaikan dengan Dhamma.
Jelas terlihat bahwa banyak orang hanya melakukan
upacara kematian tanpa mengerti apa arti sebenarnya dari
upacara itu. Mereka hanya mengikuti instruksi tanpa
bertanya atau mengerti. Mereka, pada saat pemakaman,
sebenarnya pastilah merasa bingung dan cemas. Mereka
hanya mengikuti apa yang diperintahkan sebab hal itu
adalah tradisi dan mereka tidak mungkin menentangnya
tanpa dikritik dan dituduh tidak setia dan sebagainya. Jadi
sebenarnya tidak ada artinya berpartisipasi dalam upacara
ini . Bagiku, semua hal ini sangat menyedihkan.
Orang-orang tidak tahu dan hanya pasrah melakukan apa
saja.
Jadi suatu tim yang terdiri dari beberapa umat
Buddha yang dihormati yang meneliti segala bentuk praktek
ini dapatmemberi pilihan/alternatif lain yang penuh
arti dan sesuai dengan Buddha Dhamma. Perincian
mengenai upacara pemakaman yang diajukan lengkap
dengan beberapa pilihannya dapat diambil sesudah
melakukan suatu pengamatan yang teliti terhadap situasi
setempat. Sebuah artikel yang komprehensif yang
menyediakan seluruh pilihan pemakaman yang beraneka
ragam dan informasi penting lainnya dapat kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan. Proyek ini pastilah akan
menjadi suatu hal yang hebat bagi komunitas Buddhis yang
sering kebingungan sehubungan dengan pemahaman
mengenai bagaimana pemakaman secara Buddhis yang
benar.
Bagiku
Untuk pemakamanku sendiri, aku telah memikirkan
bagaimana aku ingin tubuhku diperlakukan sesudah aku
106
meninggal. Tubuh ini sebenarnya tidak lebih dari sebuah
mayat sesudah mati, yang akan kembali menjadi tanah. Jadi
lebih baik aku sekalian melakukan suatu perbuatan baik
untuk yang terakhir kalinya, yaitu dengan
menyumbangkan tubuhku kepada pihak rumah sakit. Para
dokter dapat mengambil kornea dar i mataku dan
memberikan hadiah yang luar biasa berupa penglihatan
kepada orang yang buta. Bayangkan betapa gembiranya
seseorang yang buta saat dia dapat melihat kembali, dan
bagaimana berharganya hadiah ini baginya.
Bayangkan pula bagaimana aku pun pasti akan turut
berbahagia mengetahui bahwa aku telahmemberi
hadiah penglihatan yang sangat berharga ini . Hadiah
ini sama sekali bukan merupakan suatu pengorbanan
dari pihakku, sebab tubuh ini sudah tidak lagi berguna
bagiku sesudah mati. Jadi lebih baik aku melakukan
perbuatan baik untuk yang terakhir kalinya dengan tubuh
ini sebelum dia membusuk.
Jika memungkinkan, para dokter juga dapat
mengambil jantungku, ke dua ginjalku, paru-paruku,
hatiku, dan organ apa saja yang dapat diambil sesudah
kematianku untuk ditransplantasikan ke orang lain.
Apapun yang tertinggal dapat digunakan oleh para murid
kedokteran untuk studi mereka. Mereka dapat memotong-
motong tubuhku. Kemudian mereka dapat membuang apa
yang tertinggal dari tubuhku sesuai dengan kemauan
mereka. Mungkin tubuhku akan dapat menjadi pupuk bagi
tanah dan suatu tanaman dapat tumbuh menjadi pohon
yang kuat yangmemberi naungan dan menghasilkan
bunga-bunga yang cantik. Dengan cara ini juga, tidak ada
seorang pun yang perlu kuatir untuk melaksanakan suatu
upacara pemakaman yang baik dan benar bagiku. Orang
dapat saja menyerahkan tubuhku kepada pihak rumah
sakit untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini,
sejujurnya, akan dapat melepaskan beban pikiran mereka.
Tak ada seorang pun yang akan menjadi repot sebab
diriku.
Dan jika ada orang yang ingin melakukan suatu
pemakaman yang pantas bagiku dan member ikan
penghormatan terakhir, aku akan berkata: Mohon tidak
usah pedulikan hal itu. Upacara pemakaman bukanlah
untukku. Namun jika kau benar-benar ingin mengingatku,
maka lakukanlah perbuatan baik. Lakukan apa saja
perbuatan baik sesuai keinginanmu atas namaku.
Jalanilah hidup dengan baik. Jadilah orang yang penuh
perhatian dan berbagi pada sesama. Saling memaafkan
dan mencintai. Bermurah hati dan berbesar hati. Baik
hati dan lemah lembut. Hanya itulah yang kuminta. Hal
itu akan membuatku sangat senang – mengetahui bahwa
aku telah dapat menyebarkan pesan yang baik dan
memberikan pengaruh yang baik.
Kita Adalah Penyelamat Diri Kita Sendiri
Wahai para bhikkhu, kau seharusnya menghadapi ajalmu
dengan penuh kesadaran dan pengertian.
Itulah pesanKu kepadamu.
Buddha
Kita semua suatu hari pasti akan mati. Kematian
kita sebaiknya dipenuhi ketenangan dan kedamaian.
sebab itu saat seseorang akan meninggal kita harus
membuat suasana setenang dan seindah mungkin bagi
orang ini . Apakah kau heran bahwa kematian dapat
menjadi suatu hal yang indah? Jika ya, itu adalah sebab
pada dasarnya kita mempunyai “dosa” atau kebencian
terhadap kematian. Ada perasaan takut akan rasa sakit
dan ketidak-pastian mengenai apa yang akan datang
sesudah kematian. Selain itu juga ada rasa terikat/
kemelekatan terhadap orang-orang yang kita cintai yang
menimbulkan rasa sakit/kesedihan di hati kita sebab
harus berpisah dengan mereka.
Bagaimanapun juga, kita harus menyadari bahwa
pemicu penderitaan kita adalah pengertian dan sikap
kita yang salah. Kita belum memahami “Dhamma” dengan
dalam. Kita belum mengerti dan menembus sifat alami dari
pikiran dan tubuh sebagai sesuatu yang tidak kekal, penuh
penderitaan, dan tanpa inti. Kita belum belajar bagaimana
untuk melepaskan sesuatu dengan baik, bagaimana untuk
menerima hal-hal yang tidak dapat dihindari.
saat ibu tiri Sang Buddha, Maha Pajapati Gotami,
akan meninggal pada umur 120 tahun, Ananda dan para
bhikkhuni menangis. Maha Pajapati Gotami dengan
lembutnya menasehati mereka: “Mengapa kalian harus
menangis, putra dan putriku. Tidakkah kalian lihat
tubuhku ini telah menjadi begitu tua dan lemah? Tubuhku
ini seperti kumpulan ular-ular, tempat segala mcam
penyakit, tempat bersemayamnya umur tua dan kematian,
rumah penderitaan. Aku sudah sangat lelah hidup dengan
tubuh yang sudah seperti mayat ini. Tubuh ini hanyalah
sebuah beban yang berat bagiku. Telah lama aku ingin
mencapai pembebasan akan Nibbana. Dan hari ini
harapanku hampir terwujud. Sesungguhnya kematianku
adalah suatu hal yang membahagiakan. Inilah saatnya
bagiku untuk memukul genderang kepuasan dan
kegembiraan. Mengapa kalian harus menangis?”
Sang Buddha, saat beliau akan meninggal di bawah
dua pohon sala di dalam hutan, juga berkata kepada
Ananda untuk tidak menangisi kematianNya. Beliau
berkata bahwa seseorang harus dengan penuh
kebijaksanaan dan ketenangan hati menerima fakta bahwa
110
kematian dan perpisahan dengan semua yang kita cintai
adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sang Buddha
mengingatkan bahwa kita harus melatih meditasi dengan
penuh kesadaran untuk mencapai kebijaksanaan yang
dapat membuat kita mampu menghadapi kematian dengan
penuh ketenangan. Beliau berkata kepada para bhikkhu:
“sebab itu kalian harus melatih diri sendiri: Kita harus
menghadapi kematian dengan penuh kesadaran dan
ketenangan.” Dan kata-kata terakhir Sang Buddha adalah:
“Seluruh hal yang terkondisi akan lenyap juga pada
akhirnya. Kau harus terus berjuang dengan penuh
ketekunan.”
Orang-orang yang telah menjalani hidup dengan
penuh keindahan akan meninggal secara indah pula. Pada
suatu hari aku membaca sebuah artikel “Dalam Kenangan”
di surat kabar yang isinya sangat menyentuh hati: “Sambil
menghembuskan napasnya yang terakhir dan memasuki
kehidupan baru, wajahnya bersinar dan sebuah senyuman
manis tersungging di bibirnya. Suster F., saat melihat hal
ini, berseru: ‘Lihat, dia bertemu Tuhan…” Kebetulan aku
mengenal wanita ini, seorang penganut agama Kristen, yang
telah meninggal dengan begitu indahnya. Beliau sangat
lembut dan baik hati dan selalu penuh perhatian terhadap
kesejahteraan orang lain. Aku diberitahu bahwa sebagai
seorang guru sekolah, beliau biasa mencari murid-murid
yang sangat lemah dan memberi mereka latihan dan
dorongan mental secara khusus. Beliau sangat dicintai
dan disayangi keluarganya dan oleh mereka yang hidupnya
telah tersentuh olehnya. Aku diberitahu bahwa beliau
selalu bersikap lembut dan penuh cinta kasih kepada setiap
orang sehingga beliau sudah bagaikan seorang santa (orang
suci dalam pengertian agama Kristen).
Dengan telah menjalani hidup yang begitu indah,
tidak heran beliau meninggal dengan indah pula. Agama
boleh berbeda namun seperti yang dikatakan Dalai Lama,
pemenang hadiah Nobel Perdamaian, bahwa “Cinta kasih
adalah inti dari seluruh agama.” Aku yakin dan percaya
bahwa jika kita telah hidup dengan baik, maka kita akan
meninggal dengan baik pula tidak peduli apakah kita
pemeluk agama Buddha, Kristen, Hindu, Islam, atau
apapun pandangan dan kepercayaannya. Seperti yang
dikatakan Sang Buddha, perbuatanlah yang menentukan.
Dalam hal ini aku biasa memberitahu umat Buddha bahwa
lebih baik menjadi penganut agama Kristen atau Islam yang
baik daripada menjadi seorang Buddhis yang buruk.
sebab , umat Kristen yang baik saat meninggal akan
melihat Tuhan mereka atau suatu Sinar Suci. Para Buddhis
juga mungkin melihat bayangan Sang Buddha, para
arahat, dewa atau makhluk surga dan sinar yang
bercahaya.
Jack Kornf ield, guru meditasi Vipassana dari
Amerika, pernah menyinggung dalam tulisannya yang
berjudul “Pikiran yang Penuh Pertanyaan” (“the Inquiring
112
Mind”), bagaimana dia mengunjungi Howard Nudleman,
seorang ahli bedah dan meditator yang sangat baik hati
sehari sebelum Howard meninggal sebab kanker. Dia ingat
bagaimana memasuki kamar Howard seperti masuk ke
dalam vihara. Dan saat dia melihat Howard, Howard
tersenyum, sebuah senyuman yang begitu manisnya
sehingga dia (Kornfield) tidak akan dapat melupakannya
seumur hidupnya.
Ya, aku yakin ada banyak cer ita yang sangat
menyentuh mengenai kematian yang indah dari orang-
orang yang berhati indah. sebab itu, kematian juga dapat
menjadi suatu pengalaman yang indah. saat kita telah
menjalani hidup yang baik dan tubuh ini telah menjadi
lemah dan rusak, kita dapat menghadapi kematian dengan
baik, sebab kita tahu bahwa kita telah hidup dengan baik
dan bahwa inilah waktunya bagi kita untuk terus bergerak.
Sehingga saat seseorang yang kita cintai akan
meninggal, kita harus mengerti dan membiarkannya untuk
pergi dengan damai. Kita harus membuat kematian itu
setenang dan seindah mungkin baginya. Jelas, kita tidak
seharusnya menangis dan meraung-raung. Hal itu hanya
akan menyusahkan orang yang akan meninggal ini .
Tentu saja jika dia adalah seorang Buddhis yang penuh
pengertian dan masih ada sedikit kekuatan di dalamnya
untuk berbicara, dia mungkin seperti Sang Buddha, akan
menghibur dengan lembutnya: “Sayangku, mengapa kau
harus menangis? Bukankah Sang Buddha telah
mengajarkan kita dalam banyak cara bahwa perpisahan
adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam hidup
ini? Bagaimana mungkin sesuatu yang harus lenyap dapat
tidak lenyap? Itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.
sebab itu kita harus berpikir dalam-dalam mengenai
Dhamma. Tubuh ini, sayangku, adalah bukan milik kita.
Pikiran ini juga bukan milik kita. Mereka muncul dan pergi
sesuai dengan kondisi-kondisi tertentu. Kita harus melatih
dengan penuh kesadaran yang dalam untuk melihat hal
ini, sehingga dengan tidak lagi melekat, kita dapat
dibebaskan dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Sayangku, tegarlah. Bahkan saat aku pamit padamu aku
ingin mengingatkanmu pada kata-kata terakhir Sang
Buddha kepada kita semua: ‘Seluruh fenomena yang
terkondisi akan lenyap. sebab itu, aku mendorongmu
untuk terus berjuang dengan tekun.”
Ya, seluruh Buddhis harus mengingat bahwa pesan
terakhir Sang Buddha kepada kita adalah untuk berjuang
terus tanpa lelah demi mencapai kebijaksanaan yang dapat
membebaskan kita dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Seorang meditator harus bermeditasi sampai titik terakhir.
Dia dapat memperhatikan napas masuk atau napas keluar,
atau muncul dan tenggelamnya perut (abdomen) saat dia
menarik dan menghembuskan napas. Jika dia mengalami
kesulitan dia dapat menyadarinya, memperhatikannya
seperti adanya, tanpa adanya rasa takut atau cemas,
114
melainkan dengan penuh ketenangan dan kemantapan
pikiran. Dia dapat memperhatikan sensasi rasa sakit dan
menahannya walaupun rasa sakit itu sangat hebat. Dia
dapat mengingatkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah
suatu sensasi, walaupun merupakan sensasi yang sangat
berat/sulit. Dia juga dapat melihat bahwa sensasi ini
adalah sesuatu yang tidak kekal/permanen, dan akan
secara terus-menerus muncul dan pergi. Dia dapat
mengerti dan tidak menjadi tergantung atau terikat kepada
tubuh. Dia tahu bahwa baik tubuh dan pikiran muncul
dan pergi sesuai dengan kondisi-kondisinya. Dia dapat
berpikir: “Pikiran dan tubuh ini bukanlah milikku. Mereka
tidak pernah menjadi milikku. Mereka muncul sebab
kondisi, dan sebab kondisi pula mereka akan pergi.
Demikian pula, mata ini bukanlah milikku, telinga ini
bukanlah milikku, hidung ini bukanlah milikku… Tubuh
ini terdiri dari empat elemen yaitu tanah, api, air, dan udara
yang mewakili sifat materi, sifat keras, lembut, tekanan,
tegangan, panas, dingin, dan seterusnya. Selama masih
ada energi kamma untuk mempertahankan hidup dalam
masa kehidupan ini, tubuh ini akan bertahan hidup. saat
energi karma untuk kehidupan ini habis, maka tubuh ini
akan mati, dan sebuah pikiran baru yang terkondisi oleh
pikiran lama pada saat kematian, akan muncul dalam
sebuah tubuh baru. Jika aku telah mencapai tingkat
arahat, aku tidak akan dilahirkan kembali. Jika setidaknya
aku telah menjalani hidupku dengan baik, aku tidak akan
takut menghadapi kelahiran yang berikutnya. Aku akan
dapat menerima keberadaan baruku sebagai manusia yang
beruntung dan terpelajar atau sebagai makhluk surgawi
dan dar i sana melanjutkan jalan usaha untuk
mengembangkan diriku sampai aku mencapai tujuan
utama yaitu Nibbana, akhir dari lingkaran kelahiran dan
kematian.” Dengan berpikir seperti ini, seorang meditator
dapat memperoleh ketenangan dan kemantapan hati. Dia
dapat memperoleh kedamaian. Dia bahkan dapat
tersenyum pada rasa sakitnya dan pada orang-orang yang
berkumpul di sekelilingnya. Dengan pikiran yang penuh
kedamaian, sensasi rasa sakit pada tubuh juga akan lenyap.
Dia dapat meninggal dengan penuh ketenangan dan
kedamaian, dan dengan lembutnya menghembuskan napas
terakhirnya.
Air mata kebahagiaan
saat Anathapindika, seorang f ilantropis
(penyumbang amal) dan sponsor besar Sangha, sedang
sekarat, Sariputta, murid utama Sang Buddha,memberi
khotbah mengenai ketidak-melekatan kepadanya.
Sariputta mengingatkan Anathapindika bahwa hidup
hanyalah sebuah proses yang tergantung pada kondisi, dan
bahwa dalam pikiran dan tubuh yang hanya berlangsung
sekejap ini tidak ada hal apapun yang berharga untuk
membuat kita tergantung/melekat. Sariputta terus
116
melanjutkan daftar seluruh hal yang membentuk
kehidupan, menunjukkan bahwa mereka semua adalah
kondisi yang berlangsung untuk waktu yang sangat singkat
yang tidak dapat kita andalkan. sebab itu Anathapindika
seharusnya tidak menangkap bentuk yang terlihat mata,
suara yang didengar telinga, bau yang dicium hidung, rasa
yang dikecap lidah, sentuhan yang dirasakan tubuh, dan
kesadaran yang tergantung pada seluruh hal ini .
Anathapindika seharusnya tidak melekat sesudah melihat
kesadaran, mendengar kesadaran, mencium kesadaran,
merasakan kesadaran, menyentuh kesadaran, dan
memikirkan kesadaran. Dia harus memahami sifat alami
hal-hal ini yang tidak kekal dan memperhatikan
muncul dan perginya hal-hal ini tanpa menjadi terikat
atau benci pada hal-hal ini .
Anathapindika juga sebaiknya tidak melekat pada
kontak berdasarkan mata dan bentuk, telinga dan suara,
dan seterusnya. Dia seharusnya tidak melekat pada
perasaan, yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan, yang muncul dari kontak. Dia harus
menerima semua itu dengan penuh ketenangan hati,
memahami sifat alami hal-hal ini yang tidak kekal,
tidak memuaskan, dan tanpa inti. Tubuh ini terdiri dari
empat elemen yaitu per tumbuhan/pertambahan
(extension), ketidak-pastian/selalu berubah-ubah
(oscillation), perpaduan/persatuan (cohesion), dan suhu
(temperature). Pikiran ini terdiri dari perasaan, persepsi,
117
aktivitas mental, dan kesadaran. Semua itu adalah tidak
kekal dan selalu berubah setiap saat. Anathapindika,
Sariputra menganjurkan, seharusnya tidak terikat pada
semua ini. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat
disebut sebagai sesuatu yang kekal. Dalam pengertian
utama, tidak ada diri/inti dalam pikiran dan tubuh ini. Dan
sebab itu tidak ada yang perlu dimelekati oleh
Anathapindika.
sesudah mendengar khotbah Dhamma yang sangat
mendalam ini, suatu perasaan yang dipenuhi kedamaian
dan kegembiraan menguasai Anathapindika. Dan dia
menangis. Bhikkhu pendamping Sang Buddha, Ananda,
yang hadir di sana terkejut dan ber tanya kepada
Anathapindika mengapa dia menangis. “Apakah itu sebab
kau tidak dapat menahan rasa sakitmu?” “Tidak,”
Anathapindika menjawab. Bukanlah itu. namun lebih
sebab ajaran Dhamma yang sangat indah yang telah
menyentuh hatinya dengan sangat dalam. “Aku belum
pernah merasa begitu tersentuh seumur hidupku. sebab
itulah aku menangis,” dia memberitahu Ananda dan
Sariputta. Air matanya bukanlah air mata kesedihan,
melainkan air mata kebahagiaan – bahagia sebab
mendengarkan dan memahami ajaran Dhamma yang
sangat hebat itu.
Anathapindika bertanya mengapa Dhamma seperti
itu tidak ser ing dikhotbahkan kepada umat awam.
118
Sariputta menjawab hal ini disebab kan orang awam
umumnya sulit menghargai Dhamma yang sangat dalam
seperti itu, sebab mereka masih melekat pada kesenangan
sensual yang ada dalam hidup ini. Anathapindika
memprotes bahwa ada orang yang akan mengerti dan
menghargai ajaran Dhamma yang dalam ini dan siapa
yang tidak mendengarnya akan menjadi tersesat. Dia
mendorong Sariputta untuk sering mengkhotbahkan
kepada orang lain ajaran mengenai ketidak-melekatan yang
baru saja dikhotbahkan Sariputta kepadanya.
Sesaat kemudian Anathapindika meninggal dunia.
sebab pada akhir kehidupannya dia dipenuhi kedamaian
dan dia telah menjalani hidup dengan baik, Sang Buddha
memberitahu bahwa dia telah dilahirkan kembali di surga
Tusita. Sebagai orang yang telah mencapai tingkat
kesucian per tama (sotapatti), dikatakan bahwa
Anathapindika akan mencapai penerangan sempurna
dalam tujuh kehidupan lagi, dan sebab itu akan
terbebaskan dari kelahiran kembali.
Ada juga beberapa cerita mengenai bagaimana para
bhikkhu jaman dulu yang mencapai tingkat arahat
(penerangan sempurna) di ranjang kematiannya. Demikian
pula para yogi sekarang ini dapat bermeditasi sampai pada
titik terakhir, sebab setahu mereka, mereka mungkin akan
memperoleh pengetahuan inti, yang akan meningkatkan
pemahaman mereka akan ketidak-kekalan, penderitaan,
119
dan tanpa inti, dan bahkan dalam mencapai tingkat
kesucian pada saat kematian.
Seorang yogi dapat memancarkan metta, cinta kasih.
Bahkan saat dia sedang sekarat, dia dapat tetap
memancarkan pikiran-pikiran yang penuh cinta kasih
kepada seluruh makhluk. “Semoga seluruh makhluk
berbahagia. Semoga mereka bebas dari rasa sakit dan
bahaya. Semoga mereka bebas dar i penderitaan
mental…penderitaan fisik… Semoga mereka dapat menjaga
dir i mereka sendir i dengan penuh rasa bahagia.”
Meninggal dengan pikiran-pikiran agung yang penuh cinta
kasih terhadap seluruh makhluk seperti itu adalah suatu
cara yang agung untuk meninggal. Dalam Visuddhimagga,
sebuah artikel petunjuk meditasi Buddhis kuno, dinyatakan
bahwa seseorang yang terbiasa memancarkan metta (cinta
kasih) akan meninggal dengan penuh kedamaian, seperti
sedang tertidur dengan lelap dan menyenangkan. Jika dia
belum mencapai tingkat arahat dan sebab itu harus
dilahirkan kembali, dia mungkin dapat dilahirkan di alam
surga.
Ya, seorang yogi tidak perlu takut akan kematian. Dia
dapat melepaskan tubuh dan pikiran dengan baik, sebab
telah memahami bahwa hidup dan mati bagaikan dua sisi
dari sebuah koin yang sama, bahwa saat kita hidup
sebenarnya kita sudah mati dari waktu ke waktu dan
dilahirkan kembali ke dalam setiap momen baru. Fenomena
120
mental dan fisik selalu muncul dan pergi. Tidak ada yang
tetap sama bahkan selama sedetik pun. Hal ini telah
dibuktikan pula dalam hukum fisika mengenai quantum
di mana ditemukan partikel-partikel sub atom menghilang
sebanyak 10 buah dan hal itu dapat terjadi sebanyak 22
kali hanya dalam waktu satu detik. Sang Buddha juga
berkata bahwa fenomena mental dan fisik selalu muncul
dan tenggelam. Selama kita belum melenyapkan energi
kamma untuk lahir kembali dengan mencabut akar
kekotoran batin yaitu keserakahan (loba), kemarahan/
kebencian (dosa), dan pandangan salah/kebodohan (moha),
selama itulah kita terus dilahirkan kembali. Meninggal
pada kehidupan ini hanyalah berarti akhir dari jangka
waktu kehidupan tubuh dan pikiran di kehidupan ini.
namun segera sesudah waktu kematian berakhir, tanpa
adanya interval, sebuah pikiran baru akan muncul dan
mengambil suatu bentuk/keberadaan pada tubuh yang
baru sesuai dengan karma atau perbuatan dari makhluk
ini dalam kehidupan berikutnya. Jadi seorang yogi
yang memahami bahwa pada saat kematian pikiran
sebenarnya tidak berbeda dengan saat-saat lain, tidak akan
mempunyai rasa takut. Dia dapat menghadapi akhir
hidupnya dengan penuh kesadaran dan kemantapan sesuai
dengan instruksi Sang Buddha.
121
Bagaimana menciptakan suasana yang penuh kedamaian
Dalam usaha menciptakan suasana yang tenang bagi
orang yang sedang sekarat, kita harus mengetahui
pilihannya, kesukaan dan ketidak-sukaannya. Contohnya,
dia mungkin menyukai bunga. Maka kita harus meletakkan
bunga di dalam ruangan di sisi tempat tidurnya. Dia
mungkin ingin meninggal di kamarnya sendir i yang
nyaman, di lingkungan yang dikenalnya, dan yang penuh
kedamaian baginya. Jadi jika memungkinkan, dia
sebaiknya menemui ajalnya di rumah sendiri daripada di
rumah sakit. Namun jika hal itu tidak memungkinkan dan
perawatan rumah sakit benar-benar dibutuhkan, kita harus
berusaha membuat suasana di lingkungan di rumah sakit
itu sekhusus dan sedamai mungkin baginya. Sebuah
kamar privat (VIP) adalah yang terbaik namun mungkin tidak
semua orang mampu membayarnya. Di mana pun
tempatnya, kita harus berusaha menciptakan suasana
yang sedamai mungkin.
Dia mungkin mempunyai sebuah patung Buddha kecil
yang suka dipandangnya. Jika demikian kita dapat
meletakkan patung Buddha ini di samping bunga di
sisi tempat tidurnya. Wajah/ekspresi yang tenang dari
patung Sang Buddha dapat menjadi sesuatu yang sangat
meyakinkan. Dengan memandang patung ini , kita
diingatkan pada kebijaksanaan dan ajaran Sang Buddha.
Dan hal itu dapatmemberi rasa ketenangan dan
122
kedamaian, terutama pada saat-saat kita
membutuhkannya. Kamar ini juga harus bersih dan
nyaman. Orang yang sekarat mungkin ingin tempat
tidurnya diletakkan menghadap jendela sehingga dia dapat
melihat pepohonan dan tanaman yang dapat menghibur
hati. (Sang Buddha, contohnya, memilih untuk meninggal
dalam lingkungan alam, di bawah dua pohon sala yang
sedang berbunga di hutan Kusinara).
Jika seandainya orang yang sekarat ini
kehilangan kemantapan dan menunjukkan tanda-tanda
ketakutan, kecemasan, atau kesakitan, para sanak-
saudara harus meyakinkannya. Contohnya, orang yang
dicintai (istri) dapat memegang tangannya atau dengan
lembut mengusap dahinya, berbicara dengan cara yang
menghibur dan meyakinkan. Sang istr i dapat
mengingatkannya akan Dhamma, akan perlunya menjaga
pikiran agar selalu tenang, dan untuk bermeditasi. Sang
istr i dapat meyakinkan sang suami untuk tidak
mengkuatirkan dir inya atau anak-anak, bahwa dia
memiliki ajaran Sang Buddha dan dia akan hidup sesuai
dengan ajaran ini
