Rabu, 10 Januari 2024

kematian 3

.  
Dia akan tahu bagaimana cara
yang baik untuk menjaga diri sendiri dan anak-anak.  Dia
dapat mengingatkannya bahwa harta, orang-orang yang
dicintai, serta tubuh dan pikiran sesungguhnya bukanlah
milik kita.  Hanya perbuatan kitalah yang merupakan harta
kita sebenarnya yang akan mengikuti kita.  Sang istri dapat
mengingatkan sang suami akan hidup baik yang telah
 123
dijalaninya, bagaimana sang suami telah menjaga
keluarganya dengan baik, dan banyaknya perbuatan baik
yang telah dilakukannya.  Dengan mengingat hal itu, dan
memahami Dhamma, sang suami dapat menjadi kuat.  Dia
dapat tersenyum dan menjadi tenang/damai.  Kematian
tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan baginya.
Tentu saja, apa yang telah dinyatakan di atas
hanyalah suatu contoh dari skenario yang mungkin akan
terjadi.  Pada saat yang sebenarnya, tidak akan ada naskah
yang telah dipersiapkan.  Namun jika seseorang telah
memahami Dhamma maka dia akan tahu bagaimana untuk
bersikap, dan sesuai dengan kondisi yang berlaku, berkata
dan melakukan hal yang benar untuk membantu orang yang
dicintai meninggal dunia dengan damai.
Pada masa Sang Buddha, Nakulamata, istri dari
Nakulapita, melakukan hal ini : dia meyakinkan
suaminya  saat  suaminya pada suatu saat hampir mati.
Dia berkata kepada suaminya: “Sayangku, janganlah
meninggal dengan rasa penyesalan atau melekat pada
sesuatu pun.  Guru kita, Sang Buddha, telah berkata bahwa
tidaklah bijaksana untuk meninggal dengan cara seperti
itu.”  Memahami sifat suaminya, dia melanjutkan:
“Sayangku, kau mungkin berpikir bahwa jika kau pergi,
aku tidak akan dapat menanggung anak-anak atau
menjaga agar keluarga kita tetap bersatu.  Janganlah
berpikir demikian; sebab  aku ini orang yang ahli memintal
124         
kapas dan wol.  Aku dapat membiayai anak-anak dan
menjaga agar keluarga kita tetap bersatu.  sebab  itu,
tenanglah.”
Dan dia meyakinkan suaminya bahwa dia akan tetap
baik dan melaksanakan Dhamma sampai mencapai
penerangan sempurna.  Dan jika ada yang meragukan hal
ini, biarlah mereka pergi dan bertanya kepada Sang
Buddha, yang pasti akan mendukungnya.  Mendengar
seluruh perkataan ini, Nakulapita bukannya meninggal
malah menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya!
Kemudian,  saat  pasangan yang saling mencintai ini 
pergi menemui Sang Buddha, Beliau berkata kepada
Nakulapita bahwa dia sangat beruntung mempunyai
seorang istri seperti Nakulamata.  “Kau sangat beruntung
memperoleh Nakulamata yang memiliki cinta dan kasih
sayang sedemikian rupa bagimu, yang mengharapkan
kebahagianmu, dan yang menasehatimu di saat-saat krisis.”
Sanak-saudara juga harusmemberi  seluruh
dukungan semampunya kepada orang yang sedang sekarat.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, mereka
seharusnya tidak menangis sebab  hal itu akan membuat
orang yang akan meninggal menjadi semakin susah.  namun 
jika mereka sulit mengontrol diri, mereka juga seharusnya
ingat akan Dhamma.  Mereka dapat berpikir bahwa
kematian adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan.  Di mana ada kehidupan di sana ada
 125
kematian.  Ini adalah sesuatu yang harus kita terima
dengan baik.  Selain bila tubuh ini menjadi lemah sebab 
usia tua atau sebab  sakit keras, maka kita harus bersyukur
kita dibebaskan dar i penderitaan ini .  Dengan
memperoleh kehidupan yang baru, orang ini  akan
menjadi lebih baik.  Dengan berpikir secara bijaksana pula,
para sanak-saudara dapat memperoleh kekuatan kembali
dan membantu menciptakan kepergian yang penuh rasa
hormat dan damai bagi orang yang meninggal ini .
      
Saat-saat terakhir
Saat-saat terakhir atau detik menjelang kematian
dikatakan merupakan suatu hal yang sangat penting.  Jika
seseorang meninggal dengan dipenuhi rasa takut, marah,
melekat, atau dalam keadaan mental lainnya yang tidak
sehat, maka akan terjadi kelahiran baru yang buruk.  namun 
jika seseorang meninggal dengan damai dan penuh
pemahaman, dengan kesadaran penuh dan ketenangan
hati, akan terjadi kelahiran baru yang baik.  Biasanya jika
seseorang telah menjalani hidup dengan baik, pada saat-
saat terakhir pikirannya juga akan secara alami berada
pada keadaan yang baik.  Perbuatan-perbuatan baik yang
telah dilakukannya akan muncul kembali dalam benaknya.
Atau mungkin pula dia akan memperoleh penglihatan
mengenai nasib yang akan dihadapinya, seperti melihat
pemandangan surga yang sangat indah dan orang-orang
126         
yang agung.  Sebaliknya, jika dia telah menjalani kehidupan
yang buruk, maka perbuatan-perbuatan jahat yang telah
dilakukannya akan muncul kembali di matanya, atau
penglihatan akan api neraka dan tanda-tanda buruk
lainnya akan muncul.  Sebenarnya dalam hidup, kita tidak
sepenuhnya baik atau buruk; ada percampuran antara hal
yang baik dan buruk dalam diri kita.  Namun jika secara
keseluruhan kita telah berbuat baik, maka kita dapat
merasa yakin bahwa kita akan memperoleh kelahiran baru
yang baik pula.
Jika kita telah memahami dengan baik arti dari hidup
dan mati, kita dapat menghadapi kematian dengan mantap
dan penuh ketenangan hati.  Kita dapat, seperti yang telah
dikatakan, bermeditasi sampai titik terakhir,
mempertahankan kesadaran penuh dan ketenangan hati
kita.  Dengan telah menjalani hidup dengan baik secara
umum dan terlebih lagi apabila kita dapat mempertahankan
kesadaran penuh dalam menghadapi kematian, maka
pastilah kita akan memperoleh kelahiran baru yang baik
pula – baik sebagai seorang manusia yang bersifat baik lagi
atau sebagai seorang dewa, makhluk surgawi.  Diharapkan
pula dalam kelahiran apapun yang akan kita alami, kita
dapat segera mengakhir i samsara, yaitu lingkaran
kelahiran dan kematian, sebab  dengan tidak mengalami
kelahiran kembali, kita akan mencapai kedamaian Nibbana.
Kadangkala ditanyakan: Bagaimana jika seseorang
tidak dapat mempertahankan kesadaran penuh, apalagi
jika dia belum pernah menjalani pelatihan meditasi apa
pun?  Bagaimana jika seandainya, orang itu meninggal
dalam keadaan koma?  Atau bagaimana jika dia meninggal
mendadak dalam suatu kecelakaan?  Berdasarkan apa yang
aku mengerti dari kitab suci ajaran Sang Buddha, aku akan
berkata bahwa jika seseorang telah menjalankan hidup
yang baik, maka kemungkinannya adalah pikiran terakhir
yang baik akan muncul pada saat kematian dan sebuah
kelahiran baru yang baik akan dapat terjadi.  Kamma kita
adalah penyelamat kita yang sebenarnya (kamma-
patisarana), sehingga dengan demikian, segala perbuatan
baik yang telah kita lakukan pastilah akan membawa kita
pada kelahiran baru yang baik pula.  Itulah alasan mengapa
kita harus menjalankan hidup dengan baik selagi kita
hidup dan tidak menunggu sampai kita hampir mati, sebab 
pasti akan sudah terlambat pada saat itu.  namun  sebab 
dalam hidup kita telah melakukan perbuatan baik dan
buruk, ada kemungkinan kita secara tidak beruntung
ter ingat akan perbuatan buruk kita dan bukannya
perbuatan baik kita pada saat kematian.  sebab  itu,
mempertahankan kesadaran secara penuh adalah suatu
hal sangat penting untuk dilakukan; sebab  hal ini 
sangatlah membantu.  Dengan kesadaran yang penuh,
pikiran-pikiran yang tidak sehat tidak akan dapat memasuki
pikiran kita dan kita akan dapat meninggal dengan tenang,
damai.  Kesadaran penuh merupakan suatu kualitas yang
sangat hebat – dapat menolong kita baik dalam kehidupan
maupun kematian – sebab  itu mengapa kita tidak         
menanam dan mengembangkannya dengan sungguh-
sungguh selagi kita masih hidup?
      
Seorang bhikkhu yang selalu sadar akan saat kematian
selalu tekun berlatih.  Dia memperoleh persepsi mengenai
ketidak-melekatan pada seluruh bentuk kehidupan.  Dia
mengalahkan kemelekatan pada hidup.  Dia menentang
kejahatan.  Dia menghindari penyimpanan segala hal.  Dia
tidak memiliki setitik pun rasa serakah/kikir sehubungan
dengan berbagai macam kebutuhan hidup.  Persepsi
mengenai ketidak-kekalan tumbuh dalam dirinya, yang
mana diikuti dengan munculnya persepsi rasa sakit dan
tanpa inti.  Namun sementara makhluk hidup yang masih
belum dapat mengembangkan kesadarannya akan saat
kematian menjadi korban dari rasa takut, seram, dan
bingung pada saat kematian bagaikan secara tiba-tiba
diterkam binatang buas, roh, ular, perampok, atau
pembunuh, dia akan meninggal dengan sadar dan tidak
merasa takut, tidak terjatuh ke dalam keadaan-keadaan
ini .  Dan jika dia tidak mencapai keadaan tanpa
kematian di sini dan pada saat ini, setidaknya dia akan
memperoleh nasib yang bahagia pada saat tubuhnya mati.
Jalan Penyucian (Visuddhimagga)

Selagi kita masih hidup, sebaiknya kita selalu
merenungkan kematian.  Bahkan, hal ini baik dilakukan
setiap hari.  Sang Buddha menganjurkan kita untuk sering
merenungkan kematian sebab  ada banyak manfaat yang
dapat diperoleh dari kegiatan ini .  Mari kita lihat
bagaimana kita dapat memperoleh manfaat dengan
merenungkan kematian.
Pertama-tama harus ditekankan di sini bahwa
dengan merenungkan kematian, bukan berarti kita tidak
boleh merasa sedih, takut, ngeri, atau depresi, dan merasa
ingin bunuh diri.  Tidak, jauh dari semua itu, kami ingin
agar kau bahkan dapat hidup dengan lebih bijaksana dan
penuh kasih sayang lagi dengan melakukan perenungan
yang bijaksana mengenai kematian.
Contohnya,  saat  aku sedang merasa sebal atau
frustasi, aku akan (jika aku dapat menjaga kesadaranku)
berpikir seperti ini: Hidup ini pendek, sebentar saja kita
semua akan mati.  Jadi apa gunanya bertengkar atau
berargumentasi dengan orang lain?  Apa gunanya membuat
hati menjadi panas?  Tidak ada gunanya sama sekali.  Lebih
baik aku menjaga perasaanku agar penuh kedamaian.
Berargumentasi atau membuat hati menjadi panas tidak
akan menyelesaikan permasalahan.  Hal itu hanya akan
menyebabkan timbulnya lebih banyak kebencian dan
permasalahan.  Dengan cara berpikir seperti ini aku dapat
mendinginkan kepalaku, memeriksa diri sendiri agar tidak
terbawa oleh perasaan-perasaan yang kuat, dan bersikap
lebih lembut dan baik dengan orang lain.  Tentu saja, hal
ini tidaklah selalu mudah dilakukan dan kadang (mungkin
sering) aku benar-benar lupa dan terbawa oleh omongan
dan emosi, namun   saat  aku mengingatkan diriku sendiri
mengenai singkatnya hidup ini dan tidak ada gunanya
menjadi marah, setidaknya aku dapat lebih menenangkan
dir i dan berbicara dengan lebih lembut dan penuh
pertimbangan.
Demikian pula,  saat  aku menjadi marah atau
merasa kuatir sebab  suatu hal, aku akan berpikir apa
gunanya semua kekuatiran dan kecemasan ini.  Hidup akan
berjalan sesuai dengan aturannya dan kematian selalu
menunggu setiap orang.  Tidak ada seorang pun di dunia
ini yang dapat lari dari kematian.  Kematian adalah sesuatu
yang dapat menyamakan seluruh makhluk hidup secara
hebat, sesuatu yang membuat pemerataan dengan adil.
sebab  itu, selagi aku hidup, lebih baik bagiku untuk hidup
sebaik yang kumampu, hari demi hari.  Dengan berpikiran
bijak seperti ini, aku dapat menelaah kekuatiranku dan
menjalani hidup dengan lebih ringan dan penuh rasa
bahagia.
Lebih lanjut lagi, dapat kita pertimbangkan bahwa
dengan atau tanpa kekuatiran, kita semua tetap akan
menjadi tua dan mati.  Jadi lebih baik kita tumbuh tua tanpa
kekuatiran ini !  Itu adalah hal terbaik untuk         
dilakukan.  Tidak ada orang yang menentang kenyataan
bahwa kita akan dapat menjadi lebih baik tanpa kekuatiran.
Selain itu, seluruh kekuatiran mungkin hanya akan lebih
memperpendek hidup kita, menyebabkan kita memperoleh
penyakit dan kematian yang lebih awal.  Dengan berpikir
seperti ini juga, kita dapat menelaah kekuatiran kita dan
hidup dengan lebih bahagia.  Dengan begitu, perenungan
mengenai kematian dengan cara yang trampil ini akan
dapat membuat kita lebih bertoleransi (tenggang rasa) dan
sabar, baik hati dan lembut, baik bagi diri kita sendiri
maupun bagi orang lain.
Lalu kita juga dapat menjadi lebih tidak terikat/
melekat pada milik materi kita, menjadi lebih tidak serakah.
Ya,  saat  kita dapat memahami lebih baik mengenai
singkatnya hidup ini, dan bagaimanapun banyaknya yang
kita dapatkan kita tidak akan dapat membawa satu sen
pun juga  saat  kita meninggal, kita akan menjadi lebih
tidak pelit/kikir.  Kita dapat sedikit lebih bebas dan mulai
menikmati berbagi dan memberi, mencintai dan peduli.
Pada saat itu kita akan menyadari bahwa ada yang lebih
berharga dalam hidup ini daripada hanya mengumpulkan
dan menyimpan harta kekayaan.  Kita akan ingin menjadi
lebih murah hati, berbagi, sertamemberi  kegembiraan
dan kebahagiaan bagi hidup orang lain.  Member i
kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang lain adalah
sesuatu yang membuat hidup ini lebih berarti dan indah.
Itulah yang berarti.  Cinta dan kasih sayang dapat tumbuh
dan berkembang dalam hati kita seperti bunga-bunga yang
bermekaran di pohon.  Kita dapat menjadi orang yang benar-
benar indah dan penuh kasih sayang, yang datang dari
hati tanpa adanya diskriminasi ras, sekte, agama, status
sosial, dan lain-lain.  Kita akan memperoleh sinar baru
dalam hidup kita, dan saat itulah kita akan dapat berkata
bahwa kita benar-benar merasa bahagia dan penuh rasa
kemanusiaan.  Dan  saat  ajal datang menjemput, kita
tidak akan mempunyai penyesalan apa pun.  Kita akan
dapat meninggal dengan bahagia dan damai, diiringi
sebuah senyuman manis.
      
 saat  empat gunung datang menggulung
Suatu  saat  Sang Buddha menceritakan sebuah
perumpamaan mengenai kematian untuk lebih
menekankan kepada kita pentingnya menjalani hidup ini
dengan penuh arti.  Beliaumemberi  pertanyaan ini
kepada Raja Pasenadi: “Apa yang akan kau lakukan, Oh
Raja, jika kau diberitahu bahwa ada empat gunung yang
sangat besar, masing-masing dari utara, selatan, timur, dan
barat, sedang berpacu ke arah kerajaanmu,
menghancurkan apa saja yang terlihat, dan tidak ada jalan
keluar?”
Raja Pasenadi menjawab: “Yang Mulia, dalam bencana
yang begitu hebatnya, penghancuran hidup manusia yang         
sangat hebatnya, dan kelahiran kembali sebagai makhluk
hidup yang sulit diperoleh, apa lagi yang dapat kulakukan
selain menjalani hidupku dengan benar dan melakukan
perbuatan-perbuatan baik.”  Sang Buddha kemudian
memberikan intinya: “Aku katakan padamu, Oh Raja, aku
akan memberitahumu – umur tua dan kematian sedang
datang bergulir ke arahmu.  Apa yang akan kau lakukan?”
Raja menjawab bahwa dalam keadaan demikian, lebih
penting baginya untuk hidup dengan benar dan melakukan
perbuatan-perbuatan baik.  Dia juga mengakui bahwa
seluruh kekuatan, harga diri, kekayaan, dan kesenangan
indrawi yang dia nikmati sebagai seorang raja, pada saat
ajal, tidak akan berarti apa-apa.
Jadi jika kita merenungkan kematian dengan bijak,
kita akan menyadari bahwa kekayaan, kekuatan, harga
diri, dan kesenangan indrawi bukanlah segalanya.  Mereka
tidak dapat menjamin kebahagiaan.  Banyak orang yang
telah memiliki hal-hal ini  namun tetap hidup dalam
gejolak kekasaran dan tidak bahagia.  Beberapa orang
menyesali perbuatan mereka yang kasar, menginjak-
nginjak, dan menghancurkan orang lain, yang dilakukan
dalam usaha mengejar ambisi-ambisi duniawi mereka.
sesudah  mencapai puncak, mereka menyadari bahwa
pencapaian ini , pada dasarnya, tidak begitu
memuaskan, bahkan menjadi dangkal dan tidak berarti.
Kadang mereka berharap mereka telah meluangkan lebih
banyak waktu dengan orang-orang dan teman-teman yang
mereka cintai, bahwa mereka telah menunjukkan perhatian
dan kelembutan yang lebih baik.  Mereka menyesal sebab 
telah melupakan orang-orang yang mereka cintai.
Beberapa orang sesudah  memperoleh tingkat kesuksesan
yang hebat, merubah sikapnya di tengah jalan.  Mereka
meluangkan lebih banyak waktu bagi orang-orang tercinta,
teman-teman, dan masyarakat, ser ta siap untuk
melepaskan ambisi tertinggi mereka dan menerima yang
lebih sedikit demi mencapai keadaan yang lebih baik.
Jika kita membaca bagaimana beberapa orang kaya
dan sukses telah merusak hidup mereka sendiri, kita
mungkin dapat belajar dari kesalahan mereka.  Pada suatu
hari saya membaca sebuah artikel  berjudul “Pecundang-
Pecundang Terkaya di Dunia” (“The World’s Wealthiest
Losers”).  Saya pikir artikel  ini  cukup mendidik, selain
juga judulnya sangat mengena.  artikel  itu bercer ita
mengenai orang-orang yang menjadi pecundang dalam
kehidupan walaupun mereka merupakan orang yang kaya
raya.  Ya, saya belajar cukup banyak Dhamma dari artikel 
itu, tentang bagaimana uang dan kesuksesan tidak
menjamin kebahagiaan pemiliknya.  Malah mereka menjadi
tidak bahagia walaupun/sebab  mereka kaya dan sukses.
sesudah  membaca bagaimana orang-orang kaya dan
terkenal seperti Howard Hughes, Mario Lanza, Elvis Presley,
Mar ilyn Monroe, dan Aristotle Onassis hidup dan
meninggal, saya tidak iri terhadap mereka.
           
Orang-orang terkenal seperti Elvis dan Monroe, yang
meninggal sebab  overdosis, benar-benar seperti ungkapan
kuno : “Dari miskin menjadi kaya, dari kaya menjadi kosong”
(From rags to riches, from riches to emptiness”).  Seluruh
kekayaan dan kesuksesan mereka tidak dapatmemberi 
kebahagiaan yang mereka cari.  Kebahagiaan tetap sulit
untuk diraih.  Mereka tampaknya cukup menyedihkan,
dikuasai oleh kemarahan, kesedihan, ketakutan, dan
kekosongan.  Ambillah contoh seorang ahli waris yang kaya
raya, yang memperoleh warisan kekayaan yang sangat
besar sekali, yang telah menikah sebanyak tujuh kali
namun tetap tidak dapat menemukan kebahagiaan.  Dia
mengatakan kepada penulis biografinya: “Aku mewarisi
segalanya kecuali cinta.  Aku selalu mencarinya sebab 
aku tidak tahu apa itu cinta.”  Keenam perkawinan
pertamanya berakhir dengan perceraian dan yang terakhir
dengan perpisahan.
Pada akhirnya, walaupun memiliki kekayaan yang
sangat besar, dikatakan dia ‘hanyalah seorang wanita yang
sakit dilanda kesepian’.  Dia meninggal pada umur 66 tahun
dengan didampingi oleh beberapa teman di sisinya, namun
tanpa suami.  Cerita-cerita tragis seperti ini, aku yakin,
juga dapat ditemukan di negara-negara timur.
Tentu saja, dalammemberi  referensi kepada orang
lain, kita tidak bermaksud mengatakan sesuatu itu tidak
baik/benar dengan cara yang kita anggap benar.  Namun
kita hanya ingin menekankan pentingnya memiliki nilai-
nilai yang benar dalam hidup, untuk memahami sifat alami
cinta dan kasih sayang sejati.  Kita juga tidak bermaksud
menentang kekayaan dan kesuksesan, atau mengatakan
bahwa kita seharusnya tidak mengejar hal-hal ini .
Tidak, kita tidak bermaksud demikian.  Kita benar-benar
mengerti bahwa kita harus praktis dan realistik.  Kita
mengerti bahwa jika kita bekerja di dunia ini, adalah wajar
jika kita akan berusaha sebaik-baiknya untuk memperoleh
kekayaan sebanyak mungkin.  Namun demikian, jika kita
ingin berbuat kebajikan dan menolong orang lain, seperti
membangun institusi amal, rumah sakit, dan pusat-pusat
meditasi, sertamemberi  persembahan makanan kepada
para bhikkhu dan mereka yang membutuhkan, kita akan
membutuhkan uang.  Jadi kita tidak mengatakan bahwa
kita seharusnya tidak berusaha sebagai umat awam untuk
memperkaya diri kita sendiri.  namun  tentu saja dalam
mengumpulkan kekayaan, kita harus melakukannya
dengan cara-cara yang jujur, tanpa melukai/merugikan
pihak lain.
Dengan kata lain, apa yang ditekankan adalah
keseimbangan moral.  Kita perlu memiliki nilai-nilai
spiritual, menghargai bahwa kebahagiaan bukanlah
terletak pada pemenuhan kesenangan pribadi namun  dalam
saling berbagi dan menyayangi.   saat  kita mempunyai
nilai-nilai yang benar, kita dapat hidup dengan berarti dan
membawa kegembiraan dan kebahagiaan kepada semua
yang ada dalam lingkup hidup kita.   saat  kita telah         
mengerti Dhamma, terutama kebenaran akan ketidak-
kekalan, penderitaan, dan tanpa inti, kita tidak akan
melekat pada ketenaran atau keuntungan.  Kita dapat
hidup dengan penuh rasa kemanusiaan dan kasih sayang,
berbagi kekayaan dan kesuksesan kita, dan memperoleh
kegembiraan dengan membuat orang lain bahagia.  Namun
 saat  kita tidak memahami secara dalam mengenai apa
yang membentuk kebahagiaan – bahwa kebahagiaan yang
sebenarnya datang dari pikiran yang telah terbebaskan
dari keserakahan, kemarahan, dan kebodohan – maka
sebab  ketidak-mengertian, kita dapat melakukan hal-hal
yang bodoh dan tenggelam dalam lumpur kesenangan
sensual, menuju ke akhir yang menyedihkan.  Jadi penting
bagi kita untuk merenungkan baik-baik mengenai
kehidupan dan kematian, serta berjalan ke arah yang benar,
di jalan yang benar.
      
Perasaan yang mendesak
Merenungkan kematian dapat juga menimbulkan apa
yang disebut dengan “samvega” dalam bahasa Pali – yaitu
perasaan yang mendesak yang dapatmemberi  kita
dengan energi untuk melakukan segala kebajikan semampu
kita sebelum kita meninggal dan terutama untuk melatih
meditasi demi mencapai kebenaran dan pengertian yang
dalam.  Sang Buddha berkata bahwa kebanyakan orang
 
berlari ke sana-sini di pantai yang terdekat; mereka tidak
berusaha untuk mencari cara menyeberang ke pantai lain.
Maksud Sang Buddha adalah bahwa kita semua sangat
terikat dalam mengejar kesenangan sensual, dalam
kesenangan hidup yang membosankan.  Kita tidak
berusaha untuk pergi melampaui dan mencapai sesuatu
yang tidak umum – untuk melampaui hidup dan kematian,
untuk mencicipi suguhan madu kesenangan yang kekal,
Nibbana yang kekal.
Apakah Nibbana ini?  Sang Buddha mengatakan
bahwa hal ini  tidak dapat dijelaskan namun  harus
dialami sendiri oleh diri masing-masing.  Namun demikian
Sang Buddha berusaha untukmemberi  kita beberapa
ide mengenai seperti apa Nibbana itu.  Contohnya, Beliau
menggambarkannya sebagai sesuatu yang tidak dilahirkan,
yang tidak berasal, yang tidak berbentuk, yang tidak
berkondisi, tanpa kematian, kebahagiaan tertinggi,
kedamaian terbesar.  Nibbana mewakilkan keadaan di mana
tidak ada kemunculan dan kepergian, tidak ada kelahiran
atau kematian.  Nibbana juga dilukiskan sebagai
pemadaman api keserakahan, kebencian, dan kebodohan,
penghentian pikiran dan materi, pelenyapan penderitaan.*
Seseorang yang telah mencapai keadaan Nibbana,
yang dapat terwujud dalam latihan meditasi, dikatakan telah
tercerahkan.  Seseorang yang telah tercerahkan dapat
menjadi seorang arahat atau Buddha.  Perbedaan antara
           
arahat dan Buddha adalah arahat memperoleh pencerahan
dengan mendengarkan orang lain yang sudah tercerahkan,
sementara Buddha mencapai pencerahan dengan
usahanya sendiri.
Makhluk yang telah tercerahkan adalah seseorang
yang dapat menghadapi perubahan hidup dengan pikiran
yang stabil/mantap.  Melalui pasang-surut, seperti untung
dan rugi, kesuksesan dan kegagalan, pujian dan omelan,
sakit atau kesenangan, ketenaran atau tidak dihormati;
dia tetap tenang dan tak tergoyahkan.  Dia tetap bertahan
seperti itu bukan sebab  dia tidak tahu atau tidak
merasakan, namun sebab  dia telah tercerahkan dan
memperoleh kebijaksanaan; dia telah memahami sifat alami
kehidupan, fenomena fisik dan mental, ketidak-kekalan
mereka, rasa tidak aman dan hilangnya suatu rasa atau
nilai yang dapat disebut sebagai suatu diri dalam pengertian
yang tertinggi/terakhir.  Jika dia tidak menginginkan
kesenangan atau tidak menentang rasa sakit, hal itu
bukanlah sebab  dia tidak merasakannya.  Dia merasakan
hal-hal ini  namun  sebab  telah memahami sifat alami
mereka, dia tidak dapat dikuasai oleh hal-hal ini .  Dia
dapat menahan kesakitan dan kesenangan yang datang
dengan penuh kebijaksanaan dan ketenangan hati.
* Untuk bacaan lebih lanjut mengenai Nibbana, lihat “Sifat Alami
Nibbana” (“On the Nature of Nibbana”) karangan Mahasi Sayadaw,
diterbitkan oleh Organisasi Buddha Sasana Nuggaha, Rangoon, Birma.
 
Begitu juga dengan kondisi-kondisi duniawi lainnya
seperti pujian dan omelan, serta untung dan rugi.  Jika
dia dipuji dia tidak menjadi besar kepala atau tinggi diri.
Dia tidak merasa senang secara berlebihan.  Jika dia
disalahkan dia tidak bersedih atau depresi.  Hal itu
bukanlah merupakan masalah baginya.  Dia telah mantap
dan tidak terpengaruh sebab  dia tahu dia telah
melakukan hal yang benar – tanpa sedikit pun rasa serakah,
marah, dan bodoh.  Dia termotivasi hanya oleh rasa cinta
dan kasih sayang.  Dia tidak memiliki keinginan bahkan
untuk menyakiti seekor semut atau nyamuk pun.
Kesadarannya jernih, pikirannya ringan dan bebas.
Seorang arahat menjalani hidup terakhirnya di dunai ini
dan  saat  meninggal dia tidak lagi mengalami kelahiran
kembali.  Dia lenyap seperti lampu.  Dia telah mencapai
nirodha – penghentian.  Dia telah parinibbana – yaitu dia
telah mencapai Nibbana terakhir, penghentian atas seluruh
kehidupan, pencapaian elemen Nibbana yaitu kedamaian
abadi.  sebab  itu para arahat pada masa Sang Buddha
mempunyai ungkapan berikut:
Aku tidak bersenang-senang dalam kehidupan
Aku tidak bersenang-senang dalam kematian
Namun aku menunggu waktuku
dengan penuh kesadaran dan kemantapan.
Sebuah syair lain berbunyi seperti ini:
Seluruh hal yang terkondisi adalah tidak kekal
           
sebab  sifat alaminya untuk muncul dan lenyap
sesudah  muncul kemudian lenyap
Peredaan dan penghentian semua hal itu merupakan
kebahagiaan yang sesungguhnya
Melakukan   dapat
melepaskan kita dari genggaman godaan kesenangan
sensual.  Kita tidak akan dibodohi oleh kekayaan materi,
melainkan akan menyalurkan kekayaan kita untuk hidup
yang lebih memuaskan dan berharga, demi perkembangan
kebijaksanaan dan kasih sayang.  Kita akan terdorong
untuk berlatih meditasi, atau jika kita telah melakukannya,
untuk lebih meningkatkan usaha kita demi mencapai
tujuan utama yaitu pembebasan dari seluruh penderitaan.
      
Perenungan menuntun terciptanya pengertian dan penerimaan
Dengan sering melakukan perenungan mengenai
kematian – mengenai mengapa hal ini  perlu dan
bahwa harta kita yang sesungguhnya adalah perbuatan-
perbuatan kita – dapat mendorong kita untuk menjalani
hidup dengan baik sehingga  saat  kita sedang menghadapi
ajal, kita tidak akan dipenuhi rasa takut akan kematian.
Terlebih lagi  saat  orang yang kita sayangi meninggal
dunia, seperti kita semua juga pasti akan mati, kesedihan
tidak akan menyerang kita sebab  kita telah mengerti dan
 
menerima/berpasrah.  Bukan sebab  kita tidak
berperasaan atau tidak mempunyai hati.  Tidak, kita
memiliki sebuah hati, dan hati yang lembut pula.  Kita dapat
merasakan dengan dalam namun  kita juga mengerti sifat
alami dari kehidupan, dan dapat menerima kenyataan
bahwa kematian adalah merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan.
Menjelaskan bagaimana orang yang bijaksana dapat
menerima kematian, Sang Buddha berkata: “Melihat sifat
alami dunia ini, orang yang bijaksana tidak akan bersedih.
Menangis dan meraung hanya akan menciptakan
penderitaan dan rasa sakit yang lebih besar.  Hal ini 
tidak dapat membawa kembali orang yang sudah mati.
Orang yang bersedih menjadi pucat dan kurus.  Dia
melakukan kekerasan kepada dir inya sendir i dan
kesedihannya itu adalah sesuatu yang tidak berarti.”  Sang
Buddha berkata bahwa orang yang bijaksana yang telah
benar-benar memahami sifat alami kehidupan telah
“mencabut anak panah kesedihan dan keputus-asaan.”
“Dia tidak terikat.  sebab  telah memperoleh kedamaian
pikiran, dia telah melampaui seluruh kesedihan.  Dia telah
terbebaskan.”
Jadi kita harus berpikir mengenai aspek-aspek yang
lebih dalam mengenai ajaran Sang Buddha sehingga kita
dapat menghadapi kematian tanpa rsa sedih melainkan
dengan penuh pengertian.  Orang yang meninggal juga
           
tidak ingin kita kehilangan kontrol diri kita.  Mereka tidak
ingin kita menderita dan sakit hati namun  untuk
mengikhlaskan kepergian mereka dengan baik.  sesudah 
mendapatkan kelahiran yang baru, mereka juga tidak lagi
hadir untuk melihat kita menangis.  Tangisan dan
kesedihan kita tidak dapat menolong mereka dalam segala
hal.  Itu semua hanyalah hal yang sia-sia.  Jika kita berpikir
lebih dalam, kita mungkin dapat menyadari bahwa
kesedihan kita adalah sebab  kemelekatan kita.  Kita tidak
tahan perpisahan.  namun  jika kita dapat berpikir baik-baik
dan menjadi lebih bijak, kita akan dapat menerima hal yang
tidak dapat dihindari ini .  Bukannya bersedih, kita
bahkan dapat menjadi lebih berani.  Kita dapat menanggapi
hal itu dengan penuh arti, contohnya dengan menjalankan
hidup yang lebih berharga dan dapat menjadi contoh, demi
menghormati/mengenang orang yang kita cintai.  Orang
yang bijak pastilah tidak ingin kita bersedih sebab nya.
Melainkan dia akan berkata: “Jika kau benar-benar ingin
melakukan sesuatu untuk menghormatiku atau untuk
mengenangku, maka hiduplah dengan baik, lakukanlah
perbuatan-perbuatan baik, berbaik-hatilah kepada
sesamamu......Hanya itulah yang kuminta.”
 saat  Sang Buddha akan parinibbana, dikatakan
bahwa bunga-bungaan dan serbuk cendana surgawi
berjatuhan dari langit dan bertaburan di seluruh tubuh
Beliau untuk menghormatiNya.  Dan juga terdengar musik-
musik surgawi.  Namun Sang Buddha memberitahukan
 
bahwa penghargaan seperti itu bukanlah yang diinginkan
Beliau.  “Bukanlah demikian cara penghormatan tertinggi
kepada Sang Tathagatha,” Beliau berkata.  “namun , Ananda,
siapa pun yang menaati Dhamma, hidup sesuai dengan
Dhamma, berjalan di jalan Dhamma, demikianlah cara
penghormatan yang tertinggi kepada Sang Tathagatha.
sebab  itu, Ananda, dengan demikian kau harus melatih
dirimu sendiri: Kita akan menaati Dhamma, hidup sesuai
dengan Dhamma, berjalan di jalan Dhamma.” Dan
walaupun telah dikatakan sebelumnya, kami ingin
mengatakannya lagi: pesan terakhir Sang Buddha adalah:
“Vayadhamma sankhara.  Appamadena sampadetha”.
Seluruh hal yang berkondisi akan hancur.  Berjuanglah
terus dengan giat (demi pembebasan).
      
Tak ada tangisan yang dapat menghidupkan orang mati
Dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya, Sang
Buddha sebagai seorang Bodhisatta (yang akan menjadi
Buddha) juga tidak menunjukkan kesedihan atas kematian
orang-orang yang disayanginya.  Sang Buddha dapat
mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya dengan
kekuatan gaibnya, dan dikatakan bahwa dalam suatu
kehidupan  saat  Beliau menjadi seorang petani, Beliau
tidak bersedih  saat  kehilangan putra satu-satunya.
Melainkan, Beliau berpikir: “Apa yang akan hancur telah
           
lenyap dan apa yang akan mati telah mati.  Seluruh
kehidupan ini hanyalah sementara dan semua akan mati.”
 saat  ditanya oleh seorang Brahmana mengapa Beliau
tidak menangis - apakah Beliau orang yang berhati batu,
tidak mempunyai perasaan terhadap anakNya sendiri? –
Sang Bodhisatta menjawab bahwa putraNya sangat
disa yangiNya, namun bersedih tidak akan
menghidupkannya kembali.  “Tak ada tangisan yang dapat
menghidupkan orang mati.  Mengapa Aku harus bersedih?
Dia telah menjalankan hidup yang harus dijalaninya.”
Dalam kehidupan yang lain  saat  Beliau tidak
menangisi kematian saudara lelakiNya dan dituduh sebagai
orang yang berhati batu, Beliau menjawab bahwa mereka
semua belum memahami ke delapan kondisi duniawi yang
dihadapi seluruh makhluk, untuk menyadari keadaan
untung dan rugi, kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan,
pujian dan penyalahan/omelan, ketenaran dan kejatuhan.
“sebab  kau tidak mengerti ke delapan kondisi duniawi,
maka kau terisak dan menangis.  Seluruh makhluk hidup
adalah sementara dan harus mati pada akhirnya.  Jika
kau tidak mengerti ini, dan sebab  kebodohanmu kau
menangis dan bersedih, mengapa Aku harus bergabung
denganmu dan menangis pula?”
Dalam kehidupan yang lain lagi, Sang Bodhisatta
tidak mengeluarkan setetes air mata pun pada kematian
istr iNya yang muda dan cantik.  Melainkan Beliau
merenung: “Apa yang akan hancur telah lenyap.  Seluruh
 
kehidupan adalah tidak kekal,” kemudian mengambil kursi
di dekatNya dan makan seperti biasa, menunjukkan
kemampuan yang luar biasa untuk hidup dengan penuh
kesadaran dar i waktu ke waktu.  Orang-orang yang
berkumpul di sekitarNya menjadi heran dan bertanya
bagaimana Beliau dapat bersikap begitu tenang pada saat
seperti itu.  Tidakkah Beliau mencintai istriNya yang begitu
cantiknya sehingga bahkan mereka yang tidak
mengenalnya pun tidak dapat menahan air mata?  Sang
Bodhisatta menjawab dalam syair berikut:
Mengapa Aku harus meneteskan air mata untukmu
Putri Sammillabhasini?
Dengan telah meninggal dunia
Dengan demikianlah Aku telah kehilanganmu.
Mengapa orang yang lemah harus menangisi
Apa yang baginya hanyalah merupakan suatu pinjaman?
sebab  dia juga sedang menarik napas kematian
Sejam demi sejam menuju kematian.
Apakah sedang  berdiri, duduk,
Bergerak, beristirahat, apa saja yang dilakukannya
Dalam sekejap mata
Kematian mungkin datang setiap saat.
Hidup adalah sesuatu yang tak pasti,
Kehilangan teman adalah hal yang tak dapat dihindari
           
Bergembiralah dengan semua yang masih hidup
Jangan bersedih jika kau masih bertahan hidup.
Pengalaman-pengalaman yang mengesankan
mengenai pengontrolan diri Sang Bodhisatta merupakan
inspirasi yang sangat besar.  Hal itu juga mengajarkan kita
untuk berpikir dengan baik dan ingat akan ajaran-
ajaranNya, untuk memahami kebenaran akan ketidak-
kekalan dan untuk menerima fakta/kenyataan mengenai
kematian.  Mungkin  saat  kita menderita kehilangan
orang-orang yang kita sayangi, kita juga dapat melakukan
perenungan seperti yang dilakukan Sang Bodhisatta dan
dengan demikian mempertahankan kemantapan diri kita.
      
Kematian bukanlah hal yang asing bagi kita
Cara lain untuk melakukan perenungan mengenai
kematian sehingga rasa takut dapat diatasi, adalah dengan
menganggap bahwa itu bukanlah hal yang asing bagi kita.
Mengenai pengembaraan kita yang sangat panjang dalam
samsara, yaitu lingkaran kelahiran dan kematian yang
tanpa akhir, Sang Buddha berkata bahwa kita telah berkali-
kali meninggal dan dilahirkan kembali yang banyaknya
sudah tak terhitung lagi – saking banyaknya sehingga jika
kita mengumpulkan seluruh tulang kita menjadi satu dan
jika tulang-tulang ini  belum membusuk, setiap
 
tumpukan dari tulang kita akan menjulang lebih tinggi
daripada gunung yang tertinggi!  Demikian juga, Sang
Buddha berkata, air mata yang telah kita teteskan dalam
samsara sebab  kehilangan orang-orang yang kita cintai
telah melebihi kumpulan air dari empat samudra.
Sesungguhnya, Sang Buddha berkata, kita telah
cukup menderita dan benar-benar lelah dalam menghadapi
kehidupan dan dalam usaha mencari jalan keluar dari
jebakan penderitaan ini, jalan menuju Nibbana di mana
tidak ada kematian.  Namun sayangnya, kita mempunyai
ingatan yang pendek dan tidak dapat mengingat satu pun
dari kehidupan lampau kita.  Bagaimana tidak, kita bahkan
kadang-kadang tidak dapat mengingat apa yang kita telah
kita lakukan kemarin!  Sehingga kita terus menjalani
hidup ini dengan tenang, tanpa adanya perasaan yang
mendesak untuk menanamkan kebijaksanaan yang dapat
melepaskan kita dari seluruh penderitaan.  Namun
demikian, pada masa Sang Buddha ada banyak bhikkhu,
termasuk tentu saja Sang Buddha sendiri, yang dapat
mengingat kehidupan lampau mereka.  Pada jaman kita
sekarang ini, ada beberapa orang yang mempunyai
keahlian yang tidak umum untuk mengingat kehidupan
lampau mereka.  Francis Story dan Dr. Ian Stevenson telah
menulis beberapa artikel , serta mendokumentasikan cukup
banyak kasus mengenai hal ini.
 saat  kita merenungkan kelahiran kembali kita dapat
memperoleh manfaat dalam dua cara:
           
1. Bagaimanapun juga, kita dapat menganggap bahwa
kematian bukanlah sesuatu yang asing bagi kita.  Kita
telah banyak mengalaminya.  Jadi kita tidak perlu
menghadapinya dengan penuh ketakutan.  Kita dapat
menganggapnya hanya sebagai suatu transisi, suatu
perubahan dari satu kehidupan ke kehidupan yang
lain.
2.  Kita dapat termotivasi untuk mencari cara keluar dari
samsara, lingkaran kelahiran dan kematian.  Kita
mungkin akan mempelajari lebih dalam ajaran-ajaran
Sang Buddha.  Dan kita mungkin akan berjuang lebih
keras untuk mempraktekkannya, untuk
mengembangkan dana, sila, dan bhavana – kemurah-
hatian, moralitas, dan meditasi.
      
Kematian sementara
Dalam cara pandangan lain, kematian adalah
sesuatu yang kita alami dari waktu ke waktu.  sebab 
dalam pengertian yang pasti, kita meninggal setiap detik
dan dilahirkan kembali pada detik berikutnya.  Menurut
Sang Buddha, kesadaran muncul dan lenyap setiap saat.
Pada saat suatu kesadaran lenyap, kesadaran lain segera
muncul dan hal ini berlangsung terus-menerus, tak terbatas
(‘ad infinitum’), sampai dan kecuali kita mencapai Nibbana
yang sesungguhnya.  Fenomena secara fisik juga terus
muncul dan lenyap.  Jadi apa yang kita miliki hanyalah
pemunculan dan pelenyapan fenomena fisik dan mental

yang terus-menerus.  Ini sebenarnya merupakan suatu
proses kematian dan kelahiran kembali yang terjadi dari
waktu ke waktu.  Dalam bahasa Pali, hal ini disebut
’khanika-maranam’ – kematian sementara.  Dalam “Jalan
Penyucian” (“Path of Purif ication”) dari Visuddhimagga,
dinyatakan sebagai berikut:
“Dalam pengertian yang sesungguhnya, suatu makhluk
hanya mempunyai waktu yang sangat singkat untuk hidup,
hidup yang hanya bertahan selama satu saat di mana
suatu kesadaran berlangsung.  Bagaikan roda kereta, baik
sedang dalam keadaan berputar maupun diam, pada
setiap saat hanya beristirahat pada suatu titik di lingkaran
luarnya; begitulah kehidupan suatu makhluk hidup yang
hanya berlangsung selama satu saat di mana ada suatu
kesadaran.  Segera sesudah  saat itu habis/selesai, makhluk
ini  juga lenyap.  sebab  itulah dikatakan: “Makhluk
dari kesadaraan yang lampau telah hidup, namun  tidak
hidup sekarang, tidak juga akan hidup di masa depan.
Makhluk dari masa depan belum hidup, tidak juga sedang
hidup sekarang, melainkan akan hidup di masa depan.
Makhluk pada saat sekarang tidak telah hidup, melainkan
sedang hidup sekarang ini, namun tidak akan hidup di
masa depan.”
Diterjemahkan oleh Nyanatiloka dari
“Kamus Agama Buddha” (Buddhist Dicitonary”)
           
Dalam hal ini, makhluk hidup hanyalah suatu
sebutan nama.  Namun dalam penger tian yang
sesungguhnya, makhluk hidup hanyalah suatu seri
kesadaran yang muncul dan lenyap.  Satu kesadaran mati,
kesadaran lainnya muncul – begitulah.  Kita menyebut
proses yang terus-menerus ini sebagai suatu makhluk
hidup.  namun  dalam pengertian yang sesungguhnya, tidak
ada suatu makhluk – tidak ada perubahan roh atau pikiran,
melainkan hanyalah suatu kesadaran yang muncul dan
lenyap, suatu kesadaran yang menyebabkan munculnya
kesadaran yang lain.
Lebih lanjut lagi, kematian yang secara umum kita
alami pada akhir suatu jangka waktu kehidupan adalah
juga bukan merupakan kematian yang sesungguhnya.
Suatu kesadaran lain segera muncul namun  dalam suatu
tubuh yang baru atau alam baru sesuai dengan kelahiran
baru yang dialami seseorang.  Hanya  saat  dia telah
melenyapkan kekotoran mental/batin seperti keserakahan,
kebencian, dan kebodohan, barulah tidak akan ada
kelahiran kembali.  Dengan berpikir demikian, kita juga
dapat menghargai sifat alami ketidak-kekalan, penderitaan,
dan tanpa inti.  Dan kita dapat menjalani kehidupan dan
kematian dengan ringan dalam setiap langkah kita.
      
 
Setiap saat kau membaca surat kabar dan
menemukan kolom duka cita atau pengumuman mengenai
kematian, apakah kau berpikir mengenai kematian?
Apakah kau berhenti sejenak dan merenungkan
kematianmu sendiri?   saat  ajal datang menjemput orang
lain, kita tidak begitu merasakannya.  Orang yang
meninggal mungkin merupakan orang yang asing bagi kita.
Penderitaan itu bukan milik kita, dan lagi, kita telah menjadi
begitu kebal terhadap berita-berita kematian – yang
dilaporkan setiap hari di surat kabar.  Membaca bagaimana
orang dibunuh, terutama dalam perang, hidup sepertinya
begitu murah/tak berharga.  Sepertinya tidak ada perasaan
untuk menghargai kehidupan.  namun   saat  kematian
menyerang orang-orang yang dekat dengan kita, bagaimana
kita menanggapinya?  Dan  saat  kita menghadapi
kematian kita sendiri, apakah kita disergap rasa takut?
Ya, walaupun kita tahu bahwa kematian dan tragedi selalu
terjadi di sekeliling kita, tetap saja kita masih terkejut dan
tidak mampu menerimanya  saat  hal itu benar-benar
terjadi pada kita.
 saat  kita membaca kolom “Dalam Kenangan” di
surat kabar, kita dapat melihat bahwa walaupun seseorang
telah meninggal selama beberapa tahun, namum rasa pedih
yang diderita oleh orang-orang yang ditinggalkan masih
tetap ada, bagainya baru dialami kemarin.  Kadang dalam
pesan-pesan mereka, para pasangan atau anggota keluarga
           
secara terbuka mengungkapkan kesedihan yang masih
mereka rasakan dan air mata yang masih mereka teteskan
untuk orang-orang yang mereka cintai.  Kita mengerti
bahwa sangatlah normal untuk merasakan demikian.
namun  Sang Buddha juga mengajarkan kita bahwa sebagai
makhluk hidup, kita dapat mengisi diri kita dengan
kebijaksanaan dan ketegaran untuk menerima kehilangan
ini  dan menanggungnya dengan penuh kesabaran dan
tanpa keluh-kesah.  Bukannya Sang Buddha ingin kita
menjadi tidak berperasaan namun  Beliau menginginkan kita
untuk memiliki kebijaksanaan dalam menerima rasa
kehilangan dan memahami kesedihan kita yang sia-sia.
Pastilah Beliau tidak ingin kita terus-menerus dilanda
kesedihan, menjadi kurus dan lemah, kehilangan semangat
hidup.  Para umat Buddha khususnya, seharusnya
memahami hal ini dan sebab  itu mener ima rasa
kehilangan mereka dengan penuh kesabaran dan tanpa
berkeluh-kesah.
Jika umat Buddha perlu menulis pesan untuk
ditampilkan bersamaan dengan berita kematian atau
peringatan kematian di surat kabar, mengapa bukan pesan-
pesan Buddhis seperti: Seluruh hal yang terkondisi adalah
tidak kekal.  Berjuanglah tanpa lelah demi mencapai Nibbana
yang tidak berkondisi; atau perenungan yang penuh arti
mengenai kematian seperti: Bagai air embun di pucuk daun
pada pagi hari yang akan segera lenyap dan tidak bertahan
lama: seperti itulah hidup manusia yang bagaikan air embun,
 
sangat singkat dan sekejap.  Kita seharusnya dengan
bijaksana memahami hal ini, melakukan perbuatan-
perbuatan baik, dan menjalani hidup yang berarti; sebab 
tidak ada makhluk hidup yang dapat lari dari kematian.
Atau jika kita ingin pesan itu lebih pribadi, bagaimana
dengan sebuah pesan yang berbunyi seperti ini: “Sayangku,
jika kau dapat mengetahui hal ini, kau pastilah merasa
senang melihat bahwa anak-anak telah tumbuh dewasa
dengan baiknya.  Aku telah mengajarkan Dhamma dengan
baik kepada mereka, untuk menghargai nilai-nilai yang
berharga seper ti cinta kasih dan kebaikan hati,
kebijaksanaan dan pengertian.  Aku telah mengajarkan
mereka dengan baik untuk tidak meniru kekerasan dan
keserakahan yang sering ditemukan di berbagai media
seperti TV dan film.  Sebagai akibatnya, mereka menjadi
orang-orang yang dipenuhi kelembutan dan kasih sayang
terhadap semua orang.  Aku sendiri telah menjalani sila
dan berlatih meditasi.  Aku melatih kesadaran penuh dalam
kehidupan sehari-hari dan aku mengikuti acara retreat
sekali atau dua kali setahun.  Aku merasa cukup tenang,
dan berkembang dalam Dhamma.  Aku berusaha untuk
tidak bersedih sebab mu; sebab  kau dan aku setidaknya
telah memahami ajaran Sang Buddha – bahwa bersedih
itu adalah hal yang sia-sia, tidak ada gunanya.  Dan aku
tahu kau tidak ingin aku bersedih pula, namun hidup
dengan baik dan dapat menjadi teladan.
           
“Walau demikian ada saat-saat di mana harus
kuakui, aku merasakan rasa sakit itu,  saat  aku sangat
merindukanmu, terutama  saat  aku teringat akan masa-
masa indah yang telah kita lalui, kebahagiaan yang kita
rasakan bersama, senyum manis dan mata indahmu yang
cemerlang, caramu tertawa dan menggodaku.  Ya,  saat 
aku terperangkap dalam nostalgia seperti itu, harus kuakui
aku benar-benar merasa ingin menangis.  Namun sayangku,
aku dapat menahan diriku sendiri.  Aku dapat menjaga
kesadaranku.  Aku dapat melihat rasa sakit itu dan
mener imanya.  Aku dapat menjaga pikiran dan
semangatku.  Aku dapat merenungkan ajaran Sang Buddha
dan mengerti sia-sianya bersedih itu.  Aku dapat berbahagia
dan bersyukur – setidaknya kita telah melewati saat-saat
yang menyenangkan bersama dan sekarang ada anak-anak
yang menjadi tumpuan hidupku.  Aku tahu rasa sakitku
ini datang dari kemelekatanku dan pemahamanku yang
kurang mengenai sifat alami dari kehidupan.  Terima kasih
kepada Sang Buddha yang telah mengajarkan kita mengenai
kesadaran, yang mengajarkan kita untuk hidup pada saat
ini, untuk merasa bahagia dari waktu ke waktu, bersyukur,
menikmati kebahagiaan hidup yang dijalani dengan baik.
“Yya, aku tahu pesan ini terasa cukup panjang.  Aku
juga menyadari bahwa kau mungkin tidak akan hadir untuk
membacanya.  namun  aku merasa tenang sebab  dapat
mengungkapkan perasaanku seperti ini.  Aku berterima
kasih atas kebahagiaan yang telah kau berikan kepadaku,
dan aku melimpahkan seluruh perbuatan baik yang telah
 
kulakukan untuk mengenangmu dengan manis dan penuh
cinta.  Aku harap kau juga, dalam apapun kehidupan baik
yang mungkin telah kau alami, dapat terus melaksanakan
Dhamma sampai kau mencapai Nibbana, penghentian dari
seluruh penderitaan,” dan seterusnya, dan seterusnya.
Terus terang ini adalah suatu pesan yang cukup
panjang dan sedikit banyak aku telah terbawa.  namun  apa
yang ingin kugaris-bawahi di sini adalah tema dari pesan
ini , suatu pengertian dan penerimaan.  Pesan itu
hanyalah untuk memberi ide mengenai suatu pesan atau
ekspresi yang berbau Buddhis, dan dapat dipersingkat serta
dibuat lebih sederhana.  Atau, kecuali kita bermaksud untuk
menyampaikan suatu ajaran, mungkin tidak dibutuhkan
pesan sama sekali.  Perasaan-perasaan seperti itu bersifat
pribadi dan dapat disimpan sebagai sesuatu yang pribadi
pula.   saat  seseorang telah memahami Dhamma dengan
baik, dia dapat terus menjalani hidup dengan baik dan
berpuas diri.
      
Perenungan Mengenai Kematian
 
Membaca ber ita di surat kabar dan majalah
memberikan kita banyak bahan untuk berpikir.  Selain ada
ungkapan duka cita, ada pula berita yang menyedihkan
mengenai penderitaan yang dialami di seluruh dunia,
walaupun kita mungkin sudah kebal.  Ada pembunuhan,
perampokan, perang dan perkosaan, permasalahan agama,
suku, sosial politik, polusi, penyakit, kelaparan,
kemiskinan, penyiksaan, penjajahan, teror isme,
kecelakaan, bunuh diri, dan berbagai macam bencana alam
seperti gempa bumi, kebakaran, banjir, dan badai topan.
Suatu daftar yang panjang dan menyedihkan yang dapat
terus menerus berlanjut.
Pada saat yang sama, berdampingan dengan berita-
ber ita ini  adapula gambar dan iklan yang
menunjukkan orang sedang bersenang-senang menikmati
diri mereka sendiri, tidak peduli dengan dunia.  Mereka
tertawa dan bergaya di belakang mobil-mobil mewah,
rumah-rumah besar, kamar suite hotel yang mewah,
berbotol-botol alkohol, rokok, parfum, kosmetik, pakaian
karya designer yang glamour, dan perhiasan yang mahal.
Mereka memuaskan diri di festival-festival makanan,
kontes-kontes kecantikan, dan pameran busana yang
penuh dengan para model yang cantik dan hebat bergaya
di panggung.  Perbedaan yang menyolok ini  sangat
ironis  saat , katakanlah, kebetulan kita melihat pameran
busana kelas atas yang tepat bersebelahan dengan berita
dan foto anak-anak Afrika yang menderita kelaparan, hanya
tinggal tulang dan kulit - sangat menyedihkan dan
menyayat hati.
Kita disebut sebagai orang yang bermoral yang
menentang kekerasan dan menimbulkan penderitaan pada
sesama.  Namun kita tetap menyelenggarakan kejuaraan
tinju di mana dua lelaki yang berani akan berusaha
sekuatnya untuk menghantam otak lawannya diiringi
sorakan penonton hanya demi sejumlah uang, tidak beda
dengan masa barbarian orang Romawi di mana para
gladiator bertarung melawan singa dan sesama manusia
demi menghibur penonton yang haus darah.  Ada pula para
matador yang sengaja membuat marah, menyiksa, dan
membunuh seekor banteng hanya demi suatu kesenangan
tersendiri.  Dan setiap orang, setidaknya para penonton
yang memenuhi stadium, kelihatannya menganggap itu
adalah suatu hal yang mengasyikkan.
         
Merokok dan minum-minum merupakan perusak
utama kesehatan manusia, namun perusahaan rokok dan
alkohol masih tetap berusaha dengan segala macam cara
dan upaya untuk menyuplai produk mereka yang
mematikan ini  bahkan sampai ke dalam arena
olahraga.  Bodohnya, merokok digambarkan sebagai
“pengalaman yang penuh kelembutan!” dan minum-minum
disamakan dengan kesuksesan dan harga diri, di antara
hal-hal lainnya.  Negara-negara yang telah berkembang
membuang rokok-rokok dan produk-produk yang berbahaya
ke negara dunia ketiga sementara mereka sendir i
menghentikan konsumsi produk-produk ini  di antara
orang mereka.  Dalam keserakahan mereka demi kekayaan,
perusahaan-perusahaan akan berusaha keras, sama
sekali tidak ragu mengenai apa yang mereka katakan dan
lakukan dalam menyediakan produk mereka.  Media masa
seperti surat kabar dan majalah, yang menerima dan
menerbitkan iklan-iklan ini  sebab  adanya rasa
serakah akan sejumlah besar uang yang dihasilkan, tidak
dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pula.  Mereka
memiliki suatu hak asasi untuk melatih kesadaran sosial
dengan menolak iklan-iklan yang membahayakan, namun
mereka memilih untuk tidak melakukannya.
Melihat majalah perusahaan penerbangan yang licin
bercahaya, ada satu foto pimpinan perusahaan pembuatan
minuman keras yang sudah tua di Thailand yang menarik
pandangan saya.  Dengan jas dan dasi dan dengan rambut
yang memutih, dengan bangga dia memamerkan, di
ruangan konferensinya yang mewah, sederetan botol bir
yang telah dihasilkan pabriknya.  Tepat di belakangnya
ada sebuah altar di mana duduk sebuah patung Buddha
yang bersinar gemilang.  Orang dapat melihat bahwa altar
ini  khusus diletakkan di tengah ruangan secara
menarik.  Namun seperti yang kita ketahui, Sang Buddha
mengajarkan kita untuk tidak minum-minuman keras, dan
sila kelima yang wajib dijalankan oleh umat Buddha adalah:
“Tidak minum minuman keras/alkohol dan mengkonsumsi
obat-obat terlarang yang menyebabkan kelengahan.”
sebab  itu sangatlah sulit bagi seorang pengamat untuk
menyetujui tindakan pihak pabrik dan distributor alkohol
yang bersangkutan, sebab  selain hal itu merupakan mata
pencaharian yang salah dalam pandangan agama Buddha,
ditambah pula dengan adanya suatu patung Buddha yang
dipamerkan dengan bangganya di ruangan ini .
Sulak Sivaraksa, seorang kritikus dan aktivis sosial
dari Thailand, menulis dalam artikel nya, “Bibit-Bibit
Perdamaian” (“Seeds of Peace”), “Merupakan suatu
kenyataan yang menyedihkan bahwa Siam memiliki sekitar
250.000 bhikkhu dan pramuria yang jumlahnya dua kali
lipat lebih dari itu.  Ini menunjukkan suatu sistem yang
tidak berfungsi dan harus ditelaah kembali dari dasar.  Jika
kita dapat kembali ke akar-akar tradisi Asia kita yang indah,
kita akan dapat membantu menciptakan suatu contoh
kehidupan yang wajar dan berfungsi dengan baik.”         
Mengenai dua contoh terakhir, bukanlah keinginan kami
untuk memilih Thailand, namun  hanya untuk menunjukkan
suatu anomali (sesuatu yang tidak biasa/normal).  Pada
kenyataannya, anomali seperti itu ada di mana-mana.
Selain di Thailand, mereka dapat ditemukan di negara-
negara Buddhis lainnya seperti Birma, Sri Lanka, negara
kita sendir i atau negara lainnya.  Tidak ada yang
memonopoli hal ini.
Ya, kita dapat terus melanjutkan daftar kontradiksi
yang kita temukan di dunia ini, namun kami yakin sejauh
ini apa yang telah ditampilkan sudah cukup menjelaskan
maksud kami.  Ya, bukankah kita adalah suatu masyarakat
yang bermuka dua atau mempunyai kelainan jiwa seperti
suka mengasingkan diri?  - seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde.
Kita tahu apa yang tidak sehat, namun kita tetap
melakukannya dan bahkan mendorongnya untuk tumbuh
lebih cepat.  Jelas sekali, ktia semua mau tidak mau
terperangkap di dalamnya, dan kita turut terhempas
bersama dengan arus ombak.  Diprogram dan diatur oleh
orang-orang dari media promosi/iklan, kita menanggapi
perintah dan pesan mereka.  Beli ini, beli itu.  Makan ini,
makan itu.  Pakai ini, pakai itu.  Lakukan ini, jangan
lakukan itu.  Yang ini jelek dan yang itu feminin.  Ini yang
sedang ‘in’ dan yang itu sudah ‘out’.  Inilah cara hidup yang
hebat; inilah masyarakat jet-set tingkat tinggi, dunia
kegembiraan dan hiburan yang hebat.
Mohon maaf jika aku mungkin orang yang penuh
kritikan, orang yang tidak sportif, atau bhikkhu yang buruk
yang berdiri di kotak sabun dan berteriak sekencang-
kencangnya bahwa kiamat sudah dekat dan mengancam
masyarakat yang moralnya sudah jatuh dengan api neraka
dan hujaman bebatuan.  Namun mungkin kau setuju
dengan pendapatku, bahwa mungkin bukanlah ide yang
buruk jika setiap saat kita mundur sejenak dan melihat
keadaan dunia ini, keadaan pikiran kita, dan keadaan
hidup kita.  Sejumput kebijaksanaan mungkin akan muncul
dari perenungan seperti itu.  Kita dapat menelaah kembali
posisi kita dan arah tujuan yang kita ingin jalani.  Apakah
kita hanya mengikuti orang lain ataukah berjuang melawan
arus?  Jika saya boleh ‘meminjam’ sebait tulisan Robert
Frost: Dua jalan bercabang di dalam hutan dan aku memilih
jalan yang lebih jarang dilalui orang.  Itulah yang membuat
suatu perbedaan.  Ya,  saat  dua jalan bercabang di dalam
perjalanan hidupmu, yang mana yang akan kau ambil?
Apakah yang lebih jarang diambil/dilalui – jalan yang penuh
dengan kesadaran dan kebijaksanaan, cinta dan kasih
sayang?  Pikirkanlah baik-baik, sebab  itulah yang mungkin
akan menciptakan suatu perbedaan.
      


Perenungan mengenai bagaimana kita dapat
menghadapi kematian – dengan penuh keberanian dan
ketenangan hati.  Dengan penuh harga diri.  Dan jika Anda
suka, dengan senyuman.  Perenungan mengenai bagaimana
mengatasi penderitaan, untuk hidup dengan penuh
kebijaksanaan dan cinta kasih, atau dengan apapun yang
dapat kita kumpulkan, sampai pada saat kita meninggal.
namun  orang pada umumnya tidak suka
membicarakan kematian.  Setiap saat hal ini disinggung,
mereka akan mulai merasa tidak nyaman.  Apalagi pada
saat perayaan ulang tahun atau Tahun Baru, berbicara
tentang kematian dianggap sebagai sesuatu yang tabu.
sebab  menyebutkan kata “kematian” pada suatu
perayaan/peringatan dipercaya akan merusak acara
ini  dan membawa kesialan atau kematian yang lebih
awal!  Tentu saja, saya tidak setuju dengan anggapan
seperti itu.  Bagi saya, itu hanyalah suatu kepercayaan.
Walaupun demikian saya dapat mengerti jika orang
berpendapat bukanlah hal yang menyenangkan untuk
membicarakan kematian pada acara-acara seperti itu.
namun  menurut saya, adalah sesuatu yang baik dan bijak
untuk sering merenungkan kematian, bahkan pada acara-
acara seperti ulang tahun atau Tahun Baru, mungkin
bahkan harus lebih sering lagi pada acara-acara ini .
Mengapa?  sebab  kita akan berpikir bahwa kita tidak
tumbuh menjadi semakin muda melainkan semakin tua,
dan tiap tahun membawa kita setahun lebih dekat ke liang
kubur.  Selama perenungan ini  kita dapat mengontrol
hidup kita, menganalisa kembali posisi kita dan melihat
apakah kita berjalan di jalur yang benar – jalur
kebijaksanaan dan cinta kasih.
Sebagai seorang bhikkhu, saya selalu bermeditasi
mengenai kematian.  Hal ini mengingatkan saya untuk
menjalankan hidup dengan lebih berarti, untuk tidak
menyia-nyiakan hari-hari saya, walaupun harus diakui
saya masih menghabiskan waktu yang berharga dari waktu
ke waktu; sebab  pikiran, seperti yang kita tahu, dapat
menjadi sangat keras kepala dan malas pada saat-saat
tertentu.  Walau demikian dengan sering merenungkan
kematian, saya diingatkan bahwa saya harusmemberi 
lebih banyak waktu untuk berlatih “insight” meditasi,
sehingga saya dapat membersihkan pikiran dari kekotoran-
kekotoran batin yaitu keserakahan, kebencian, dan
kebodohan/pandangan salah.
Sang Buddha menganjurkan kita untuk sering
melakukan perenungan mengenai kematian, setiap hari
atau setiap saat.  Hal ini akan membangkitkan rasa
“samvega” (keinginan untuk berjuang lebih keras demi
mengurangi penderitaan yang datang dari pikiran yang
kotor dan salah) dalam diri kita.  Saya suka berbicara
mengenai kematian.  Ini adalah topik kesukaan saya.
(Apakah saya aneh?  Tak apa-apa, teruskan saja.  Anda
dapat berkata saya orang yang aneh atau apa saja yang
Anda suka.  Tidak masalah dengan saya.  Saya tidak
keberatan.  Setiap orang, tidak hanya saya namun  juga Anda,
harus diber ikan kebebasan/hak asasi dasar untuk
mengekspresikan pandangan dan perasaan selama hal itu
dilakukan secara legal, sensitif, tidak keterlaluan, dan tidak
menggunakan kekerasan.  Tak seorang pun harus menjadi
marah kepada orang lain sebab  caranya mengekspresikan
pandangan seperti itu, walaupun sayangnya, kadang-
kadang kita lupa dan langsung meluap dalam kemarahan).
Namun, kembali ke topik utama, saya selalu berpikir, saya
selalu membayangkan dan masih terus
mempertimbangkan: Mengapa kita hidup?  Mengapa kita
mati?  Apa artinya ini semua?  Untuk apa ini semua terjadi?
Untuk tujuan apa?  Untuk mencapai apa?
Tak diragukan lagi, banyak jawaban telah
dikemukakan.  Dan saya yakin ada banyak orang yang
bersedia dan merasa senang untuk menjawab seluruh
per tanyaan ini , yang sebenarnya sudah
dipertanyakan sejak orang mulai dapat berpikir dan
mempertimbangkan.  namun  saya tidak dapat berkata
bahwa saya telah merasa puas dengan semua jawaban yang
telah diberikan.  Saya masih terus mencari.  Sekarang ini
saya telah menjadi seorang bhikkhu Buddhis dan
melakukan meditasi.  Saya menjalankan ke lima sila yaitu
tidak membunuh atau melukai, tidak mencuri atau
menipu/curang, tidak melakukan perbuatan asusila seperti
pelecehan seksual, tidak berbohong, serta tidak meminum
alkohol dan mengkonsumsi obat-obat terlarang.  Sebagai
seorang bhikkhu, sebagai tambahan saya juga menjalani
kehidupan seorang diri (tidak menikah) dan ketentuan-
ketentuan lainnya yang merupakan keharusan bagi para
bhikkhu.
Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya telah
menemukan seluruh jawaban atas pertanyaan saya, namun 
saya telah menemukan hal-hal yang menghibur, yang
menenangkan/menyenangkan, yang diber ikan Sang
Buddha.  Saya dapat memahami ajaran Sang Buddha
mengenai kesadaran (mindfulness) dan cinta kasih (loving-
kindness).  Dan saya masih terus menjalankan meditasi.
Mungkin saya akan memperoleh seluruh jawaban ini 
suatu hari.  Akan menyenangkan sekali jika saya berhasil
memperolehnya.  namun  jika tidak pun juga tidak apa-apa.
Yang penting adalah saya sudah mencoba.  Saya akan tetap
merasa senang walaupun saya mati pada saat sedang
mencoba/berjuang.  sebab  setidaknya saya telah
mencoba.  Dengan demikian hidup saya akan tetap penuh
arti, setidaknya sampai pada titik tertentu.  Dan sepanjang
jalan, tentu saja, saya akan berusaha untuk menyebarkan
kegembiraan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya,
sesuai dengan keadaan dan kemampuan diri saya.
Dalam artikel  ini saya telah mencoba untuk berbagi
pemahaman saya yang masih terbatas mengenai kehidupan
and kematian.  Sejujurnya, saya merasa bahwa kita perlu
mendiskusikan pertanyaan mengenai kematian.  Kita
seharusnya tidak takut untuk mengangkat topik ini .
sebab  kalau tidak, bagaimana kita dapat berdiskusi dan
belajar?   saat  kita dapat berdiskusi secara terbuka dan
belajar dan mengerti, maka itu adalah suatu hal yang
bagus; sebab  kita dapat memahami apa itu kematian dan
menghadapinya.  Kita dapat mengetahui bagaimana cara
untuk menghadapinya dengan lebih baik.  Ini adalah suatu
hal yang sangat penting; sebab  satu alasan yang sederhana
yaitu bahwa kita semua harus mati.  Tidak ada pelarian
dari ini.  Dan jika kita tidak dapat memahami kematian
sekarang, bagaimana kita dapat menghadapinya  saat  kita
terbaring sekarat dan akan menghembuskan napas
terakhir kita?  Tidakkah kita akan dipenuhi rasa ketakutan
dan kebingungan pada saat itu?  Jadi, lebih baik kita
mempelajari segala hal mengenai kematian sekarang.  Hal
ini pasti akan membantu kita berdiri secara lebih mantap.
Maka kita tidak perlu merasa takut lagi.  Kita akan
mempunyai kepercayaan diri, dan  saat  kematian datang
kita dapat pergi dengan tersenyum.  Kita dapat berkata :
“Kematian, lakukanlah yang terburuk.  Aku mengetahuimu
dan sekarang aku dapat tersenyum.”
Saya telah menulis artikel  ini dengan cara yang terus
terang dan seakrab mungkin.  Saya telah berusaha untuk
tidak terlalu berteori atau kaku/resmi.  Saya ingin Anda
menikmati membaca artikel  ini, untuk tertawa pada bagian-
bagian yang mungkin lucu, dan untuk mengambil satu atau
beberapa hal yang mungkin Anda rasa dapat membantu/
berguna dalam menjalani kehidupan, mencintai, dan
meninggal (living, loving, and dying).  Juga saya tidak menulis
seperti seorang bhikkhu kepada umat awam namun  seperti
seorang manusia kepada sesamanya.  Jadi saya telah
menulis dengan cukup bebas untuk tujuan komunikasi,
untuk mencapai ke dalam hati.  Walaupun saya tidak dapat
mengatakan berapa jauh saya telah berhasil atau gagal!
Hanya Andalah yang akan menjadi juri terbaik untuk
menentukan hal ini .
sebab  saya adalah seorang bhikkhu Buddhis, para
pembaca akan menemukan bahwa isi artikel  ini
mengandung banyak nilai dan konsep Buddhis.  Tentu saja,
beberapa nilai, seperti cinta dan kasih sayang (love and
compassion), adalah hal yang umum.  Mereka bukan
merupakan hak milik suatu agama namun  milik semua
agama.  Seluruh agama mengajarkan tentang cinta dan
kasih sayang.  Mereka semua adalah agama-agama yang
baik.  namun  kitalah, para pengikutnya, yang tidak
mengikutinya.  Sehingga kita saling membunuh,
melumpuhkan, dan melukai atas nama agama.  Siapa yang
harus disalahkan kalau bukan kita sendiri!  Bukan agama
atau pendirinya yang selalu mengajarkan cinta kasih,
kebijaksanaan, keprihatinan, pengampunan, dan kasih
sayang.  Jika kita dapat bangkit dari ketidak-pedulian kita,
maka kita dapat mencintai dengan sesungguhnya.  Kita
dapat hidup berdampingan seperti bersama saudara sendiri
dengan penuh toleransi, kesabaran, dan pengertian, dengan
cinta dan kasih sayang.
Saya menulis artikel  ini terutama untuk para Buddhis.
namun  mereka yang non-Buddhis pun dapat membaca dan
mengambil beberapa manfaat dalam beberapa hal seperti
persetujuan, penghargaan, dan pengertian.  Setidaknya,
mereka akan mengetahui pandangan Buddhis, cara
pendekatan dan pemahaman secara Buddhis.  Adalah suatu
hal yang baik untuk mengetahui cara pandang masing-
masing agama; hal ini  akan menuntun kita ke rasa
saling toleransi, pengertian, dan penghargaan terhadap
cara pendekatan dan kepercayaan masing-masing agama.
Sama sekali tidak ada keinginan dari saya pribadi untuk
mengubah keyakinan/agama seseorang.  Ini harus jelas
dipahami.  Biarkanlah setiap orang melaksanakan
agamanya masing-masing dan biarkanlah mereka
melakukannya dengan baik; seperti yang telah dinyatakan
oleh pemegang penghargaan Nobel Perdamaian, Dalai Lama,
sesungguhnya kasih sayanglah yang merupakan inti dari
seluruh agama.
Saya telah mencoba untuk membagi pengertian saya
sebaik mungkin.  namun  saya yakin bahwa akan ada
beberapa kekurangan di sana-sini.  Atau beberapa bagian
di mana mungkin akan ada perbedaan pengartian/
pemahaman atau pengertian.  Anda mungkin tidak suka
atau setuju dengan beberapa hal yang saya katakan.  Atau
Anda mungkin tidak suka cara saya mengatakannya.  Anda
mungkin berpikir itu tidak benar, tidak sopan, tidak sensitif,
sentimentil, kasar, dibuat-buat, aneh, atau apa saja.  Tidak
apa-apa.  Itu adalah hal yang alami.  sebab  selama ada 2
orang, pasti akan ada sedikit ketidak-kesetujuan.  Anda
dapat saja langsung menolak hal yang tidak Anda setujui,
bahkan menepisnya.  Anda tidak harus menerima semua
hal yang saya katakan di sini.  Lagipula mengapa harus?
Tentu saja Anda mempunyai pemikiran sendiri yang baik,
dan Anda dapat (dan harus) berpikir dan memutuskan
untuk diri Anda sendiri.  Kita dapat memutuskan untuk
tidak setuju dan tetap menjadi teman baik.  Mengapa tidak?
Itu adalah hal yang paling indah, inti dari kematangan
mental.  Tergantung kita sendiri dalam memutuskan
dengan setulusnya dan sejujurnya apa yang sesuai dan
apa yang tidak sesuai dengan diri kita.  Kita tidak perlu
mempercayai setiap hal atau seluruhnya.
Sang Buddha sendiri berkata bahwa lebih baik kita
mempertimbangkan, mempelajari dan menilai sendiri
dengan baik-baik sebelum menerima apapun.  Bahkan
kata-kata Sang Buddha sendiri juga harus diteliti dengan
seksama sebelum kita terima.  Bagaimanapun juga, Sang
Buddha tidak membuat perkecualian apa pun.  Beliau tidak
pernah mempercayai keyakinan yang membabi-buta.  Beliau
tidak pernah menyuruh kita untuk dengan mudahnya








mempercayai apa yang Beliau katakan dan untuk menolak
secara langsung apa yang dikatakan orang lain.  namun 
Beliau menyuruh kita untuk memeriksa, melatih, dan
membuktikan sendiri.  Jika kita mendapati bahwa suatu
ajaran adalah baik, hal ini  sehat dan menuju kepada
pelenyapan rasa serakah, benci, dan bodoh/pandangan
salah, maka kita dapat menerimanya.  Jika tidak, kita harus
menolaknya.  Ini adalah ajaran yang luar biasa.  Oleh sebab
itu, mengambil contoh dari Sang Buddha, saya selalu suka
berkata: Jangan mempercayai apa pun.  namun  pikirkan,
lakukan, dan buktikan sendiri.  Itulah cara yang terbaik
dan teraman bagi saya.  

Mendekati akhir tulisan mengenai Cinta dan Kematian
(Loving and Dying) ini, aku harus menjelaskan bahwa aku
sama sekali tidak menyatakan diri sebagai orang yang ahli
mengenai kehidupan, cinta, atau kematian.  namun  aku
telah berusaha membagi beberapa pemikiran mengenai hal
ini  denganmu, pemikiran mengenai bagaimana untuk
hidup dan mati dengan penuh cinta kasih dan pengertian
sepanjang jalan.  Ini adalah subyek yang telah aku berikan,
dan akan terus aku berikan dan banyak aku pikirkan.  Ini
adalah sebuah hal yang kuyakini pasti menarik bagi kita
semua – pertanyaan mengenai kehidupan, cinta, dan
kematian.  Tentu saja aku tidak menyatakan diri sebagai
orang yang bijak dan aku sadar aku masih mempunyai
banyak kekurangan juga.  Sama seperti orang yang ingin
bermaksud baik namun  masih tersendat-sendat di
sepanjang jalan, aku juga tersendat dan terjatuh  saat 
aku menjalaninya.  namun  setiap saat aku selalu bangkit
lagi, membersihkan tubuhku dari debu, berusaha untuk
tidak bersedih atau menangis, menetapkan pandanganku
sekali lagi pada puncak gunung yang berdiri menjulang ke
langit, dan melanjutkan perjalanan hidupku.
Aku sungguh berharap bahwa beberapa pemikiran
yang telah kubagi di sini dapat membantumu, mungkin
telah memberi penerangan sedikit bagi jalanmu.  Jika
mereka telahmemberi  sedikit inspirasi dan keyakinan
kepadamu untuk hidup dan mati dengan lebih dipenuhi
rasa  cinta kasih dan pengertian, aku akan merasa sangat
bahagia.  Dan jika kebetulan ada bagian dari tulisanku
telah menyinggungmu dalam berbagai hal, aku juga mohon
maaf kepadamu.  Sebagai manusia kita hanya dapat
berusaha – untuk melayani dan berbagi.  Kita semua
bermaksud baik, dan walaupun jumlahnya masih sangat
terbatas, hal sekecil apa pun yang dapat kita sumbangkan
bagi masyarakat untuk menjadi lebih baik lagi, adalah suatu
hal yang sangat membahagiakan.  Setiap saat aku melihat
ke belakang/mengingat kembali, hal ini  akan
memberikanku kegembiraan dan ketenangan sebab 
mengetahui bahwa sedikitnya aku telah berhasil
melakukan sebanyak ini, walaupun pada kenyataannya
itu masih  merupakan suatu hal yang kecil.
Dan  saat  aku meninggal dunia, mungkin aku akan
dapat berkata kepada Kematian: “Oh Kematian, kau dapat
melakukan yang terburuk sekarang, sebab  aku telah
         
menjalani hidup danmemberi  cinta kasih, dan aku
telah melakukan apa yang mampu kulakukan untuk
sesamaku.”  Dan sebelum aku menyelinap ke dalam
kegelapan, mungkin kau akan sempat melihat secercah
jejak senyuman di bibirku.
Aku akan tersenyum
senyuman yang termanis
yang akan kau lihat.
Dan aku akan pergi
dengan penuh kedamaian
menuju kegelapan.
Dapatkah kau tersenyum
bersamaku juga?
Dan berkata –
‘Halo’ pada kematian
‘Selamat Tinggal’ pada kehidupan.
saat  kematian datang, sebagaimana sudah seharusnya,
bagaimana Anda menghadapinya?  Dapatkah Anda tersenyum,
memberikan senyuman termanis, dan berkata: “Halo Kematian, Selamat
Tinggal Kehidupan?”
Ya, dapatkah Anda menghadapi kematian tanpa rasa takut, namun
dengan penuh keberanian dan pengertian?  Dapatkah Anda
menyambutnya seperti menemukan seorang teman lama yang menghilang,
seseorang yang sudah lama tidak menghubungi Anda dan siapa yang
sekarang Anda lihat sedang datang dari kejauhan?  Bagaimanapun juga,
kematian bukanlah hal yang asing bagi kita; sebab  kita telah hidup dan
mati tidak terhitung banyaknya, mengalami satu kelahiran demi satu
kelahiran kembali dalam lingkaran samsara yang panjang ini, lingkaran
kelahiran dan kematian yang tidak ada habisnya.  Ya, dapat kita katakan,
kematian hanyalah suatu perubahan kehidupan yang akan terus-menerus
berlangsung.
artikel  ini melihat kehidupan dan kematian dari sudut pemahaman
Buddhis – bagaimana kita dapat hidup dan mati dengan baik, bagaimana
kita dapat memperindah hidup kita dengan nilai-nilai yang indah seperti
cinta, kebijaksanaan, dan kasih sayang, yang pastinya akan menciptakan
akhir yang indah pula, suatu kematian yang indah.
Penulis, seorang bhikkhu Buddhis dari Malaysia, menggunakan
pendekatan dan sikap-sikap Buddhis dengan nilai-nilai yang umum dan
universal dalam membahas hal-hal seputar kehidupan yang selalu
dipertanyakan.  Beliau berharap kata-kata dalam artikel  ini dapat
memberikan Anda inspirasi dalam menjalani kehidupan, mencintai, dan
meninggal