Rabu, 10 Januari 2024

farmakolivigilan



Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, 
penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau 
masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Keamanan 
penggunaan obat beredar harus secara terus-menerus dipantau 
karena keterbatasan informasi keamanan pada fase 
pengembangan obat (uji klinik). Pemantauan ini dilakukan 
melalui aktivitas farmakovigilans. Tujuan dilakukannya 
farmakovigilans adalah untuk mendeteksi masalah keamanan 
obat yang yang belum diketahui, mendeteksi peningkatan 
frekuensi kejadian efek samping, mengidentifikasi faktor risiko, 
mengkuantifikasi risiko, mengkomunikasikan informasi 
keamanan obat dan pencegahan terjadinya risiko keamanan 
obat. 
 
Badan POM bekerja sama dengan dukungan JICA (Japan 
International Cooperation Agency) dalam proyek “Ensuring Drug 
and Food Safety” untuk memperkuat sistem pengawasan 
keamanan obat dan makanan yang dilakukan Badan POM. 
Berbagai aktivitas dilakukan untuk mewujudkan tujuan dari 
proyek kerja sama ini , termasuk pengembangan modul 
pelatihan farmakovigilans. Dalam proyek kerja sama ini 
dikembangkan 4 (empat) modul pelatihan farmakovigilans yang 
terdiri dari modul farmakovigilans dasar, modul farmakovigilans 
untuk industri farmasi, modul farmakovigilans untuk tenaga 
kesehatan, dan modul farmakovigilans untuk Balai Besar/Balai 
POM untuk digunakan dalam pelatihan farmakovigilans.  
 
masyarakat di negara kita . Badan POM mengembangkan 
pedoman penggunaan obat dengan baik guna menyediakan 
dan meningkatkan sistem pelaporan farmakovigilans serta 
keselamatan pasien. Proses ini diharapkan dapat 
memberikan masukan atas kesimpulan dari analisis data. 
Seharusnya masukan ini juga dapat menjadi rekomendasi 
bagi perubahan prosedur kesehatan dan sistem kesehatan 
misalnya, melakukan analisis mendalam yang signifikan dan 
memanfaatkan temuan-temuan yang ada serta mengambil 
pelajaran dari hasil laporan. Pihak berwenang yang 
menerima laporan harus mampu mempengaruhi solusi yang 
diambil termasuk menyebarluaskan informasi dan 
memberikan rekomendasi yang tepat sesuai dengan 
permasalahan yang ada. 
 
Meningkatnya harapan masyarakat terhadap keamanan obat, 
menambah dimensi lain mengenai diperlukannya suatu 
perubahan. Permasalahan keamanan obat, tidak dapat 
diatasi hanya oleh Badan POM, namun Badan POM mampu 
untuk mendeteksi dan mengatisipasi dampak dari 
permasalahan kesehatan pasien. Melalui jejaring yang kuat 
dengan pemangku kepentingan pada sistem farmakovigilans, 
BPOM memiliki posisi untuk dapat mempengaruhi para 
pengambil keputusan yang berhubungan dengan obat dan 
kebijakan kesehatan lainnya. 
 
 

1.  Pengawasan Obat secara Internasional dan Evolusinya 
Sejak terjadinya tragedi yang disebabkan oleh 
thalidomide pada tahun 1961,  yaitu terjadinya cacat 
kongenital pada ribuan bayi yang dilahirkan oleh wanita 
yang memakai  thalidomide pada masa 
kehamilannya, maka penanganan masalah keamanan 
obat yang sistematis dan terstruktur secara internasional 
mulai dilakukan.  
 
Pada tahun 1962,  Amandemen Kefauver –  Harris disahkan 
oleh US Congress sebagai jawaban atas tragedi 
thalidomide. Peraturan ini mengharuskan adanya 
pembuktian khasiat dan keamanan obat sebelum 
diedarkan. 
 
Pada tahun 1964, menyadari akan tragedi thalidomide, 
the Yellow Card Scheme  (UK)  dikembangkan untuk 
mengumpulkan data kejadian tidak diinginkan (KTD) 
untuk memberikan peringatan dini kemungkinan adanya 
risiko obat. Deklarasi Helsinki dikenal sebagai kebijakan 
Asosiasi Kesehatan Dunia ( World’s Medical Association ) 
terbaik dan pertama yang mengadopsi prinsip etika dan 
moral berkaitan dengan uji coba pada manusia. 
 
The Sixteenth World Health Assembly  tahun 1963 telah 
mengadopsi resolusi WHA yang menegaskan kembali 
perlunya tindakan awal berkaitan dengan sosialisasi yang 
cepat tentang kejadian tidak diinginkan dan kemudian 
menjadi cikal bakal dibentuknya WHO Pilot Research 

Project for International Drug Monitoring  pada tahun 
1968. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan 
suatu sistem, yang dapat diterapkan secara 
internasional, untuk mengetahui efek samping obat. 
L aporan teknis WHO kemudian disusun berdasarkan 
rapat konsultasi yang diselenggarakan pada tahun 1971.  
 
Dari kegiatan awal inilah kemudian timbul praktek dan 
ilmu pengetahuan tentang farmakovigilans. Sistemnya 
dikembangkan di negara anggota untuk mengumpulkan 
sejarah kasus perorangan kejadian tidak diinginkan 
(KTD) dan kemudian mengevaluasinya. Pengumpulan 
laporan KTD secara internasional, akan berkontribusi 
penting terhadap kinerja otoritas regulatori obat 
nasional, dan dalam memperbaiki profil keamanan obat, 
serta membantu menghindari bencana yang lebih besar. 
 
Sejak dimulainya program internasional pada tahun 
1968, banyak yang sudah dicapai:  
1)  Proyek percontohan ini  sekarang telah 
berkembang menjadi WHO Program for International 
Drug Monitoring  yang dikoordinir oleh Uppsala 
Monitoring Center  (UMC) di Uppsala, Swedia . Dengan 
pengawasan dari badan internasional, program ini 
telah berkembang dengan mengikutsertakan lebih 
dari enam puluh negara anggota. 
2)  Pemikiran bahwa pusat farmakovigilans adalah suatu 
kemewahan, yang hanya dapat dimiliki oleh negara-
negara maju telah digantikan dengan kenyataan 
bahwa sistem farmakovigilans yang mumpuni dan 
dapat diandalkan harus dimiliki oleh semua negara 
untuk kesehatan masyarakat dan penggunaan obat 
yang rasional, aman dan hemat biaya. Bila tidak 
 ada  infrastruktur peraturan yang ditetapkan, 
3maka sistem pengawasan obat adalah suatu cara yang 
efektif, dan efisien untuk mendeteksi dan mengurangi 
kecacatan pada pasien dan mencegah potensi 
bencana. 
 
Pembentukan International Society of Pharmaco -
epidemiology  (ISPE) pada tahun 1984 dan European 
Society of Pharmacovigilance (ESOP –  yang kemudian 
menjadi ISoP– the International Society  of Pharmaco-
vigilance ) pada tahun 1992 menandai pengenalan 
farmakovigilans secara resmi ke dalam dunia penelitian 
dan akademis, dan meningkatkan integrasinya ke dalam 
kegiatan/praktek klinis. Jurnal khusus kesehatan ber-
munculan, dan beberapa negara telah menerapkan 
sistem pengawasan aktif untuk membantu sistem 
pengawasan obat konvensional.  
 
Berikut ini beberapa contoh sistem yang dimaksud:  
1)  Sistem pemantauan pemberian resep ( Prescription 
E vent Monitoring System -PEM) yang diterapkan di 
New Zealand dan Inggris  
2)  Sistem record linkage  di Amerika Serikat dan Kanada 
3)  Penelitian/studi kasus kontrol (case control study ) di 
Amerika Serikat 
 
Aktivitas farmakovigilans juga telah berubah menjadi 
aktivitas regulatori. Pada awal tahun 19 80, bekerjasama 
dengan WHO, Council for International Organizations of 
Medical Sciences (CIOMS) meluncurkan program 
pengembangan dan penggunaan obat. CIOMS 
menyediakan forum bagi pembuat kebijakan, industri 
farmasi, pemerintah dan akademisi untuk membuat 
rekomendasi mengenai komunikasi informasi keamanan 
antara regulator dan industri farmasi.  
54
Banyak rekomendasi dari CIOMS dijadikan rujukan oleh 
International Conference on Harmonization  (ICH) pada 
tahun 90 -an dan diketahui memiliki dampak yang luas 
terhadap peraturan obat internasional. 
 
Pada dekade terakhir, telah tumbuh kesadaran bahwa 
ruang lingkup farmakovigilans harus diperluas tidak 
hanya mengenai deteksi signal keamanan obat. 
Globalisasi, konsumerisme, lonjakan dalam perdagangan 
bebas dan komunikasi lintas perbatasan, serta 
meningkatnya penggunaan internet telah memicu  
perubahan dalam mendapatkan produk obat dan 
informasi tentang obat ini . Perubahan-perubahan 
ini telah memicu  timbulnya masalah keamanan 
baru, seperti:  
1)  Penjualan obat ilegal dan penyalahgunaan obat 
melalui internet 
2)  Meningkatnya praktek pengobatan sendiri (self-
medication ) 
3)  Bantuan (donasi) obat yang tidak rasional dan 
berpotensi tidak aman. Beberapa pedoman seperti 
pedoman WHO  mempersyaratkan masa kedaluarsa 
obat donasi adalah 1 tahun, dosis yang diberikan 
harus sama dengan standar yang berlaku di negara 
penerima) 
4) Banyaknya produksi dan penjualan obat palsu dan 
substandar 
5)  Meningkatnya penggunaan obat tradisional  
6)  Meningkatnya penggunaan obat tradisional dan obat 
herbal bersama obat yang berpotensi memiliki 
interaksi 
 
Untuk aktivitas farmakovigilans diperlukan batasan 
definisi yang jelas antara makanan, obat (termasuk obat 
5tradisional, obat herbal), alat kesehatan, dan kosmetik. 
 
2.  Tragedi  efek samp ing dan damp aknya terhadap  
Farmakov igilans  
a. Tragedi Thalidomide (1961 -19 62 ): Bencana Terbesar 
Penggunaan Obat 
Pada awalnya Thalidomide diperkenalkan sebagai 
obat yang aman dan memiliki efek hipnotis serta 
anti muntah yang efektif. Dengan cepat obat ini 
menjadi populer untuk mengatasi muntah dan mual 
pada wanita hamil di awal kehamilan. Tragisnya 
obat ini terbukti teratogen pada manusia yang 
memicu  bayi lahir cacat yang diperkirakan 
menyerang sekitar 10.000 bayi. Fokomelia adalah 
ciri khas dari bayi yang terkena teratogen. 
 
 
b. Tragedi Sulfanilamid (1937):    
Tragedi keracunan masal yang disebabkan peng-
gunaan eliksir Sulfanilamid di Amerika Serikat, 
dalam peristiwa ini lebih dari 100 orang meninggal 
dunia. Adanya tuntutan dan protes masyarakat atas 
kejadian ini dan tragedi serupa, memicu  
dikeluarkannya Peraturan Perundang-undangan 
tentang Makanan, Obat dan Kosmetik Tahun 193 8.  
76
B e berap a Kas us Penarikan Obat  di Dunia  karena Alas an 
Keamanan Obat  
a. Halcion (Triazolam):  
Halcion merupakan depresan s istem saraf pusat 
yang disetujui di Belanda (1977), Inggris (1979), 
Jepang (1982) dan USA (1983).  
Efek samping yang umum terjadi berupa: berjalan 
goyah / tidak terkontrol, kehilangan keseimbangan 
atau koordinasi, rasa gelisah, kebingungan, pusing, 
rasa lelah, mengantuk di siang hari. 
Tindak lanjut regulatori yang dilakukan di beberapa 
negara sebagai berikut :  
1)  Belanda (1979), Inggris (1991),  Jerman (1992) 
melakukan pembatalan iz in edar. 
2)  Amerika Serikat & Eropa melakukan pembatasan 
dosis minimum, membatasi periode penggunaan, 
membatasi besar kemasan yaitu dengan kemasan 
kecil yang berisi  10 dan 7 tablet, menyiapkan 
informasi produk  (package insert) untuk pasien. 
3)  Jepang melakukan revisi  informasi produk 
dengan menambahkan peringatan (warning) 
(1987), dan m enambahkan informasi pencegahan 
(precaution ) (1992)  
b. Seldane (Terfenadin):  
Terfenadin merupakan selektif periferal anti-
histamin yang disetujui izin edarnya di Amerika 
Serikat pada tahun 1985. Efek samping yang umum 
terjadi berupa gangguan irama jantung dikarenakan 
terjadinya interaksi obat, seperti ketokonazol yang 
merupakan anti jamur, atau antibiotik erythomicin. 
Amerika Serikat melakukan pembatalan izin edar 
pada 1997.  
 
 
7c. Vioxx (Rofecoxib):  
Rofecoxib suatu p enghambat COX -2, merupakan 
antiinflamasi non-streroid (NSAID ). Obat ini disetujui 
di Amerika Serikat pada tahun 1999. Efek samping 
yang umum terjadi berupa penyakit jantung serius 
(serangan jantung infark miokardial). Amerika 
Serikat membatalkan izin edarnya pada 2004.  
 
Rofecoxib mendapat pengakuan yang luas dari para 
dokter untuk menangani pasien yang menderita 
artitis dan kondisi lain yang menimbulkan rasa sakit 
akut dan kronis. Di seluruh dunia,  ada  80 juta 
orang yang pernah memakai  rofecoxib.  
 
Pada tanggal 30 September, 2014, Merck menarik 
rofecoxib dari pasaran disebabkan kekhawatiran 
meningkatnya risiko serangan jantung dan stroke 
yang terkait dengan lamanya penggunaan obat dan 
tingginya dosis yang digunakan. Merck menarik obat 
ini  dari peredaran setelah mengungkapkan 
adanya data yang menyebutkan risiko dari peng-
gunaan rofecoxib dari para dokter dan pa sien 
selama lebih dari lima tahun, yang memicu  
88.000 sampai dengan 140.0 0 0 kasus serius penyakit 
jantung. Rofecoxib adalah satu dari sekian banyak 
obat yang digunakan secara luas yang ditarik dari 
pasaran. Setahun sebelum penarikan, Merck telah 
mendapatkan keuntungan sebesar 2,5 Milyar Dolar 
Amerika dari penjualan Vioxx. Merck menyediakan 
970 juta Dolar Amerika untuk membayar biaya 
hukum kasus yang terkait dengan penggunaan Vioxx 
sepanjang tahun 2007, dan menyiapkan 4,85 milyar 
dolar Amerika untuk tuntutan hukum yang dilayang-
kan oleh warga negara Amerika Serikat. 
98
 
Di negara kita  Vioxx disetujui izin edarnya pada tahun 
2001 dan dibatalkan izin edarnya pada tahun 2004.  
 
d. Bextra (Valdecoxib):  
Valdecoxib merupakan anti-imflamasi non steroid, 
golongan Penghambat COX -2, o bat ini disetujui di 
Amerika Serikat pada tahun 2001.  Efek samping 
yang umum terjadi berupa serangan jantung, 
stroke, angina, Stevens - Johnso n Syndrome . 
Pembatalan iz in edar dilakukan pada tahun 200 5 di  
Amerika Serikat. 
 
Sebuah pengkajian sistematis literatur dunia, US 
National Library of Medicines  mengindentifikasi bahwa 
 ada  462 produk obat yang ditarik dari pasaran 
antara tahun 1953 sampai dengan 2013, alasan yang 
paling umum adalah karena obat ini  meng-
akibatkan terjadinya hepatotoksisitas. Hanya 43 (9,34%) 
jenis obat yang ditarik dari pasaran di seluruh dunia dan 
179 (39%) ditarik dari pasaran hanya di satu negara saja. 
Rata -rata interval antara pelaporan pertama kejadian 
tidak diinginkan dengan tahun pertama penarikan adalah 
6 tahun dan interval ini  tidak secara konsisten 
menjadi lebih singkat dengan berjalannya waktu. 
 
 ada  perbedaan pola penarikan produk obat dari 
pasaran saat  kejadian tidak diinginkan ini  sudah 
diduga, dan penarikan ini  tidak konsisten di setiap 
negara. Koordinasi yang lebih baik diantara para regu-
latori obat dan terbukanya pelaporan kejadian tidak 
diinginkan dapat memperbaiki proses penetapan 
keputusan yang sekarang sedang berjalan. 
 
9B. Definisi dan Ruang Lingkup Farmakovigilans 
1.  Definisi dan Tujuan dari PV  
a. Definisi PV  
Farmakovigilans adalah ilmu dan kegiatan yang 
berhubungan dengan deteksi, penilaian/evaluasi, 
pemahaman dan pencegahan terhadap dampak dari 
reaksi yang merugikan atau hal-hal lain yang 
mungkin terjadi terkait dengan masalah penggunaan 
obat (WHO, 2000).  
Aktivitas berupa pencegahan dampak dari reaksi 
yang merugikan pada manusia akibat penggunaan 
produk obat, baik di dalam maupun di luar otoritas 
pemasaran, atau dari paparan lingkungan kerja, 
juga mencakup promosi penggunaan obat yang aman 
dan efektif, khususnya melalui informasi tentang 
keamanan produk obat yang diberikan secara 
berkala kepada pasien, para profesional kesehatan, 
dan masyarakat umum. 
Oleh karenanya Farmakovigilans menjadi suatu 
kegiatan yang memberikan perlindungan kepada 
pasien dan kesehatan masyarakat. 
b. Tujuan PV  
1)  Meningkatkan perawatan dan keselamatan pasien 
khususnya dalam penggunaan obat dan seluruh 
intervensi pengobatan;  
2)  Meningkatkan kesehatan dan keamanan 
masyarakat khususnya dalam penggunaan obat;  
3)  Menemukan masalah terkait dengan penggunaan 
obat dan menyampaikan temuan ini  pada 
saat yang tepat;  
4) Memberikan kontribusi dalam penilaian manfaat, 
bahaya, khasiat, dan risiko obat untuk mencegah 
dampak yang merugikan dan untuk memak-
simalkan manfaat obat ini ;  
1110
5)  Mendorong penggunaan obat yang aman, rasional 
dan lebih efektif (termasuk biaya yang efisien);  
6)  Meningkatkan pemahaman, pendidikan, dan 
pelatihan klinis dalam farmakovigilans dan komu-
nikasi yang efektif dengan masyarakat. 
 
2.  Ruang Lingkup Farmakovigilans 
Pada saat ini, ruang lingkup yang menjadi perhatian 
adalah termasuk:  
1)  Obat 
2)  Produk biologi (produk darah, vaksin, produk 
rekombinan biosimilar) 
3)  Obat herbal 
4) Obat tradisional dan suplemen kesehatan 
5)  Alat kesehatan 
Ruang lingkup modul ini hanya untuk obat termasuk 
produk biologi.  
 
Permasalahan yang berkaitan dengan ilmu farmako-
vigilans meliputi:  
1)  Obat substandar dan obat palsu. 
2)  Kesalahan pengobatan ( medication error ) 
3)  L aporan tentang kurangnya khasiat obat (lack off 
efficacy) 
4) Penggunaan obat dengan indikasi yang tidak disetujui 
sehingga laporan kasus keracunan akut dan kronis 
tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat 
5)  Penilaian angka kematian akibat penggunaan obat 
6)  Penyalahgunaan obat 
7)  Interaksi dengan obat lain dan makanan 
 
3.  Mitra dalam Sistem Farmakovigilans Nasional  
Pelaksanaan farmakovigilans merupakan tanggung jawab 
bersama dengan semua mitra yang terlibat dalam 
11
penggunaan obat, seperti otoritas kesehatan, industri 
farmasi atau pemegang izin edar obat, profesional 
kesehatan, pasien, dan asosiasi farmasi, rumah sakit dan 
universitas. Diperlukan pengembangan, kolaborasi, 
koordinasi, komunikasi dan hubungan masyarakat yang 
efektif di antara para pemangku kepentingan. 
 
a.  Badan Pengawas Obat dan Makanan ( Badan  POM )  
Badan POM merupakan otoritas regulatori obat di 
negara kita  yang melaksanakan tugas dan fungsi 
pengawasan pre dan post market obat yang beredar 
di negara kita , yang bertujuan untuk mengawal aspek 
khasiat, keamanan, dan mutu obat dalam rangka 
melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan 
daya saing produk negara kita . Dalam pelaksanaan 
farmakovigilans berikut peran Badan POM:  
1)  Berfungsi sebagai Pusat Farmakovigilans 
Nasional  
2)  Mengembangkan kebijakan dan rencana kerja 
nasional dalam sistem farmakovigilans nasional 
3)  Mengelola laporan farmakovigilans (mengum-
pulkan, menilai, menyampaikan umpan balik 
kepada pelapor, dan melakukan pelaporan ke 
WHO) 
4) Mengelola sistem database farmakovigilans 
nasional dan menjamin kualitas database 
ini  
5)  Menjamin keamanan dan kerahasiaan data, 
serta integritas data selama proses transfer 
data berlangsung 
6)  Secara berkala melakukan penelusuran literatur 
ilmiah berdasarkan kejadian tidak diinginkan 
dari suatu obat 
7)  Mengembangkan metode untuk memperoleh 
1312
signal atau tanda awal serta menetapkan 
kriteria untuk mengidentifikasi dan menilai 
risiko dari signal atau tanda awal ini  
8)  Menilai rasio manfaat/risiko selama periode 
pasca pemasaran secara berkelanjutan 
9)  Mempublikasikan dan menyebarluaskan komuni-
kasi keamanan kepada pemangku kepentingan 
terkait 
10)  Mengawasi kegiatan farmakovigilans dan 
kepatuhan Industri Farmasi terhadap aturan 
farmakovigilans yang baik 
11)  Menunjuk dan mengkoordinasikan sentra 
farmakovigilans di Balai Besar/Balai POM 
12)  Memberikan informasi dan mempromosikan 
pelatihan terkait farmakovigilans kepada para 
mitra 
13)  Membangun hubungan dengan pusat farmako-
vigilans nasional di negara lain. 
 
b .  Sentra Farmakov igilans di Balai Bes ar/Balai POM  
1)  Menjalin komunikasi, berbagi informasi dan 
mengedukasi tenaga profesional kesehatan, 
industri farmasi dan masyarakat umum di 
daerahnya untuk meningkatkan pemahaman 
tentang pentingnya pelaporan kejadian tidak 
diinginkan 
2)  Mengumpulkan laporan kejadian tidak 
diinginkan dari tenaga profesional kesehatan 
dan masyarakat umum di masing-masing 
provinsi dan mendata laporan ini  ke 
website https://e -meso.pom.go.id/ 
3)  Memantau pelaksanaan tindak lanjut regulatori 
terkait keamanan obat di masing-masing 
provinsi 
13
4) Meningkatkan kecepatan tindak lanjut terkait 
keamanan obat (investigasi, pengambilan 
contoh, dan/atau pengujian sehubungan adanya 
KIPI, efek samping obat, kejadian tidak 
diinginkan yang serius atau klaster di masing-
masing provinsi) untuk mencegah risiko yang 
lebih luas 
5)  Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan lintas 
program terkait dengan farmakovigilans 
6)  Merupakan bagian dari tim pemeriksa farmako-
vigilans di masing-masing provinsi. 
 
c.  Tenaga Profes ional Keseh atan  
1)  Mendeteksi, mencatat kejadian tidak dinginkan 
dan melakukan penilaian kausalitas. 
2)  Melaporkan setiap kejadian tidak diinginkan 
serius dan tidak serius yang tidak diduga akibat 
penggunaan obat. 
3)  Menyampaikan informasi ini secepat mungkin 
kepada pusat farmakovigilans baik di provinsi 
maupun nasional memakai  formulir kuning 
dan sistem pelaporan daring/online. 
4) Menyimpan dokumen klinis kejadian tidak 
diinginkan 
5)  Mencari informasi data keamanan obat yang 
lazim diresepkan, diedarkan atau diberikan  
6)  Mengedukasi pasien agar menginformasikan 
kepada tenaga profesional kesehatan jika 
diduga mengalami kejadian tidak diinginkan 
terkait penggunaan obat 
7)  Melakukan tindakan yang dianjurkan oleh pusat 
farmakovigilans nasional. 
 
 
1514
d.  I ndus tri Farmas i atau Pemegang Izin  Edar  
1)  Membangun sistem farmakovigilans di industri 
farmasi 
2)  Melakukan penunjukan penanggung jawab dan 
back - up  penanggung jawab farmakovigilans 
yang bertanggung jawab penuh atas aktivitas 
farmakovigilans 
3)  Memastikan adanya perjanjian pelaksanaan 
farmakovigilans dengan pihak lain 
4) Melakukan pemantauan, pengumpulan, peni-
laian, dan pelaporan masalah keamanan produk 
5)  Memastikan terintegrasinya sistem farmako-
vigilans dengan sistem manajemen kualitas 
pada industri farmasi 
6)  Menjaga kerahasiaan data farmakovigilans 
dengan melakukan manajemen data yang baik 
7)  Memberikan ringkasan sistem farmakovigilans 
kepada Badan POM. 
8)  Secara berkala memantau pelaporan kepada 
otoritas yang berwenang sesuai dengan 
peraturan yang berlaku 
9)  Memberikan akses untuk pihak berwenang 
(otoritas regulasi) dalam melaksanakan 
pemeriksaan farmakovigilans 
10)  Menyampaikan informasi ke Badan POM sebelum 
inspeksi/audit pemeriksaan farmakovigilans 
dilakukan oleh otoritas regulatori negara lain 
dan melaporkan hasilnya ini  
11)  Melaksanakan pelatihan farmakovigilans untuk 
seluruh personil industri farmasi. 
 

e .  Tim  Ahli  Farmakov igilans  
1)  Penilaian kausalitas dari laporan kejadian tidak 
diinginkan 
2)  Menilai rasio manfaat/risiko obat dan mem-
berikan rekomendasi 
3)  Memberikan bantuan teknis telaah dan reko-
mendasi sesuai bidang keahlian.   
 
f.  Pas ien/M as yarakat Umum  
1)  Mematuhi pengobatan yang sudah ditentukan 
2)  Melaporkan kejadian tidak diinginkan kepada 
tenaga profesional kesehatan 
3)  Memberikan informasi selengkap-lengkapnya, 
sesuai dengan yang dibutuhkan untuk dapat 
melakukan analisis. 
 
Sebelumnya, peran utama tenaga profesional kesehatan 
hanya dilihat sebagai pemberi kontribusi bagi farmako-
vigilans melalui pelaporan spontan kejadian tidak 
dinginkan, memberikan saran mengenai minimalisasi 
risiko, sesuai informasi produk atau materi informasi 
lain. Namun otoritas regulatori Eropa (EMA) telah 
mengembangkan skema untuk pelaporan KTD oleh 
pasien melalui suatu peraturan. Peraturan yang baru 
tesebut dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan 
tenaga profesional kesehatan pada forum Pharmaco -
vigilance and Risk Assessment Committee  (PRAC).  
 
Penelitian di Belanda tentang “Partisipasi pasien pada 
Farmakovigilans” mengungkapkan bahwa informasi dari 
kedua kelompok (pasien &  tenaga profesional kese-
hatan) saling menguatkan satu sama lain, dan dapat 
menyediakan suatu gambaran yang lengkap dari 
presentasi klinis dan keadaan kejadian tidak diinginkan. 
1716
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien harus 
dianggap setara dengan para mitra, dan agar farmako-
vigilans menjadi optimal, tenaga profesional kesehatan 
dan pasien harus didorong untuk melakukan pelaporan. 
 
Hub ungan antara Pemangku Kepentingan dalam Sis tem 
Farmakov igilans di Indones ia  
 
  
WHO  
UPPSALA 
Monitoring Center 
Badan POM  
(Pusat Farmakovigilans 
Nasional) 
Sentra PV Balai 
POM / ULPK 
Tim 
Ahli 
Industri 
Farmasi 
Tenaga 
Profesional 
Kesehatan  
Pasien  


Definisi istilah “ serius” dan “ severe ”  
Istilah “ severe ” sering digunakan untuk menggambarkan 
intensitas / tingkat keparahan dari satu kejadian khusus 
(seperti dalam infark miokard sedang, ringan atau 
berat); namun kejadian ini  dari sisi medis bisa saja 
sesuatu yang tidak terlalu mengkhawatirkan (contohnya 
sakit kepala yang berat). Hal ini tidak sama dengan 
istilah “serius”, yang didasarkan pada prognosis pasien  / 
kejadian atau kriteria tindakan biasanya dikaitkan 
dengan kejadian yang mengancam jiwa pasien. Tingkat 
keseriusan digunakan sebagai panduan untuk 
merumuskan peraturan kewajiban melapor. ESO serius 
adalah suatu kejadian atau reaksi yang tidak diinginkan 
pada dosis apapun yang dapat:  
a. memicu  kematian,  
b. mengancam jiwa,  
CATATAN: Istilah "mengancam jiwa" pada definisi 
"serius" merujuk pada  suatu kejadian dimana pasien 
berisiko meninggal dunia pada saat kejadian; definisi 
ini tidak merujuk pada suatu kejadian yang secara 
hipotesis dapat memicu  kematian bila kondisi 
bertambah parah.  
c. memerlukan perawatan di rumah sakit atau 
perawatan di rumah sakit lebih lama,  
d. memicu  cacat / ketidakmampuan yang terus 
menerus (permanen) atau signifikan, 
e. memicu  kelainan bawaan / cacat lahir, 
f. kejadian medis penting lainnya 
Penilaian medis dan ilmiah harus dilakukan dalam 
menentukan apakah pelaporan yang dipercepat 
(expedited reporting ) tepat dilakukan pada situasi yang 
berbeda, seperti kejadian medis penting yang 
kemungkinan tidak langsung mengancam jiwa atau 
memicu  kematian atau harus dirawat di rumah 
21
sakit, namun kejadian medis ini  dapat 
membahayakan pasien atau memerlukan intervensi 
untuk mencegah akibat akibat yang tercantum pada 
definisi di atas.  
 
Hal -hal ini seharusnya juga dianggap serius. Sebagai 
contoh dari kejadian ini  adalah perawatan intensif 
di ruang gawat darurat atau di rumah untuk alergi 
bronchospasm ; diskrasia darah atau kejang yang tidak 
mengharuskan perawatan di rumah sakit; atau 
timbulnya kondisi ketergantungan obat atau 
penyalahgunaan obat. 
 
 

  
LAPORAN FARM AKO VI GILANS  
 
A. Pelaporan Spontan 
Pelaporan spontan merupakan pelaporan kejadian tidak 
diinginkan / efek samping obat yang bersifat sukarela 
saat  tenaga profesional kesehatan atau pasien 
memutuskan melaporkan adanya dampak buruk suatu 
obat kepada pusat farmakovigilans baik tingkat lokal 
ataupun nasional. 
 
Pelap oran spontan adalah suatu sis tem yang 
seluruh nya bergantung pada motiv as i  dari setiap 
individu untuk mencatat dan mengirimkan informasi 
tentang sesuatu yang buruk yang telah terjadi pada 
pasien kepada organisasi yang bertanggungjawab untuk 
mengumpulkan laporan atas akibat yang tidak 
diharapkan/dampak buruk (biasanya pusat 
farmakovigilans lokal maupun nasional). Penggunaan 
kertas adalah cara yang paling umum digunakan untuk 
berkomunikasi, namun pelaporan online (daring) dan 
pelaporan memakai  aplikasi selular juga tersedia di 
beberapa negara dan hal ini adalah kemajuan yang 
penting untuk masa depan. 
 
Di semua negara, sistem farmakovigilans nasional sangat 
bergantung pada pelaporan spontan (sukarela) yang 
dilakukan oleh para tenaga profesional kesehatan, 
pemegang izin edar (produsen) atau langsung oleh 
pasien. Dari semua sumber data untuk pengawasan 
keamanan obat, sistem pelaporan spontan memberikan 
informasi yang paling tinggi dengan biaya pemeliharaan 
yang paling rendah. Dan informasi ini  telah 

terbukti berharga untuk mendeteksi sejak dini 
permasalahan keamanan pasien terkait baik dengan 
produk obatnya maupun penggunaan obat ini . 
 
B. Individual Case Safety Report  (ICSR)  
ICSR  hendaknya digunakan untuk melaporkan reaksi 
merugikan yang dicurigai akibat penggunaan produk 
obat, yang muncul pada pasien tertentu pada waktu 
tertentu kepada Pusat Farmakovigilans Nasional ( Badan 
POM). 
 
Pemegang izin edar dan tenaga profesional kesehatan 
hendaknya memastikan bahwa ICSR  selengkap mungkin 
dan harus mengkomunikasikan semua pembaruan 
( update ) laporan ke Pusat Farmakovigilans Nasional 
(Badan POM) secara akurat dan dapat diandalkan. 
 
Berkenaan dengan pelaporan ini , ICSR harus 
memasukkan paling tidak 4 hal sebagai berikut:  
1)  Pelap or  yang terindentifikasi 
2)  Pas ien  yang terindentifikasi 
3)  R eaks i yang tidak dih arap kan  /  merugikan  yang 
diduga disebabkan obat 
4) Produk obat  terkait 
 
Pemegang izin Edar dan profesional kesehatan 
hendaknya mencatat secara rinci informasi yang 
diperlukan untuk mendapatkan informasi lanjutan atas 
laporan kasus keamanan individu. Informasi lanjutan 
ini  harus didokumentasikan dengan baik dan benar. 
 
saat  melaporkan reaksi yang tidak diharapkan/reaksi 
yang merugikan yang dicurigai, pemegang izin edar dan /  
tenaga profesional kesehatan hendaknya memberikan 
seluruh informasi yang ada untuk setiap kasus individu, 
termasuk hal-hal berikut ini:  
a. informasi administratif:  
1)  jenis laporan 
2)  tanggal laporan 
3)  nomor identifikasi kasus yang unik 
4) nomor identifikasi pengirim dan jenis pengirim 
5)  tanggal pertama kali laporan diterima dari sumber 
6)  tanggal penerimaan informasi yang terbaru 
(update information) 
7)  referensi dokumen tambahan (jika dapat 
dilakukan) 
b. informasi tentang sumber utama:  
informasi yang mengindentifikasi kualifikasi dari 
pelapor dan tenaga profesional kesehatan;  
c. informasi pasien (dan orang tua apabila laporan 
datang dari orang tua pasien):  
1)  usia pada saat terjadinya reaksi  
2)  kelompok umur 
3)  masa gestasi saat  reaksi / kejadian diobservasi 
pada janin 
4) berat, tinggi atau jenis kelamin 
5)  tanggal terakhir menstruasi dan / atau masa 
gestasi pada saat terpapar 
d. riwayat kesehatan (medis) yang relevan dan kondisi 
yang menyertai 
e. informasi produk obat yang dicurigai:  
1)  nama produk obat, termasuk bercampurnya produk 
obat atau, dimana nama produk tidak diketahui 
2)  zat aktif dan karakter lainnya yang dapat dipakai 
untuk mengindentifikasi produk obat 
3)  nama pemegang izin edar, Nomor Ijin Edar  
4) bentuk sediaan farmasi dan cara pemberian obat 
5)  indikasi yang digunakan pada kasus 
25
6)  dosis yang digunakan 
7)  tanggal mulai dan akhir dari pengobatan 
8)  informasi dechallenge dan rechallenge  
f. nomor batch, utamanya untuk produk biologi 
g. produk obat yang digunakan bersamaan, diidentifikasi 
sesuai dengan poin (e) 
h. informasi tentang KTD yang dicurigai:  
1)  tanggal mulai dan akhir adanya reaksi yang 
dicurigai atau lamanya 
2)  tingkat keseriusan dan keparahan KTD 
3)  waktu onset antara pemberian produk obat yang 
dicurigai dengan saat pertama munculnya reaksi 
ini  
i. hasil uji dan prosedur yang berhubungan dengan 
penyelidikan terhadap pasien 
j. tanggal dan laporan penyebab kematian, termasuk 
hasil otopsi penyebab kematian pasien 
k. narasi kasus, bila memungkinkan, memberikan semua 
informasi yang relevan untuk kasus individu dengan 
pengecualian untuk reaksi yang tidak diharapkan yang 
tidak terlalu serius/gawat. 
Informasi yang diberikan harus dipaparkan 
berdasarkan urutan waktu sesuai dengan kejadian 
sebenarnya, di dalam kronologi pengalaman pasien 
termasuk jejak klinis, langkah-langkah terapi, hasil 
dan tindak lanjut dari informasi yang didapat, seluruh 
penemuan hasil otopsi juga sebaiknya direkapitulasi 
dalam bentuk narasi.
Jika kejadian tidak diinginkan yang dicurigai 
dilaporkan dalam bentuk narasi dan tulisan 
deskripsi, maka ringkasan dalam Bahasa negara kita  
atau Inggris harus disiapkan oleh pemegang izin 
edar. 
Pemegang izin edar dan tenaga profesional  
kesehatan hendaknya memberikan ICSR  kepada 
Badan POM dengan format yang sudah ditentukan. 
 
C. Periodic Safety Update Report  (PSUR) / Periodic 
Benefit Risk Evaluation Report  (PBRER)  
1.  Apa yang dimaksud dengan PSUR dan PBRER?  
PSUR dan PBRER adalah dokumen farmakovigilans 
yang bertujuan untuk memberikan penilaian atas 
kesimbangan risiko-manfaat dari produk obat 
untuk diserahkan oleh pemegang izin edar pada 
waktu yang telah ditentukan selama fase pasca 
pemasaran. PBRER dirujuk se bagai PSUR sejak 
penerapan dari pedoman ICH E2C(R2) pada Bulan 
Mei 2013.  
 
2.  Tujuan dari PSUR / PBRER  
Untuk menyajikan analisa yang lengkap dan kritis 
terhadap informasi baru atau mulai berkembang 
berkenaan dengan risiko dan jika relevan, bukti 
baru dari manfaat sehingga memungkinkan untuk 
menilai manfaat dan risiko secara keseluruhan. 
Untuk menampung penilaian informasi baru yang 
relevan yang tersedia untuk pemegang izin edar  
selama masa jeda pelaporan, bila informasi 
menumpuk:  
1)  Periksa apakah informasi baru sesuai dengan 
pemahaman tentang profil manfaat risiko 
sebelumnya 
2)  Ringkas informasi keamanan baru yang relevan 
yang kemungkinan berdampak pada profil 
manfaat risiko 
3)  Ringkas semua informasi penting berkaitan 
dengan khasiat dan keefektifan yang baru 
4) Lakukan penilaian manfaat/risiko yang 
terintegrasi (dimana informasi penting 
keamanan baru telah berkembang) 
Evaluasi penilaian risiko-manfaat ini harus 
dilakukan sesuai dengan farmakovigilans dan 
manajemen risiko yang berlaku sekarang ini 
 
3.  Pemegang izin e dar harus menyerahkan 
PSUR/PBRER untuk:  
1 )  Obat-obatan yang mengandung zat kimia baru 
termasuk produk biosimilar 
2)  Obat sesuai dengan permintaan Badan POM 
 
4. Periode Waktu  
PSUR / PBRER  harus disiapkan pada masa interval 
berikut ini:  
1)  Setiap enam bulan selama dua tahun dan 
setahun sekali untuk tiga tahun berikutnya 
setelah produk obat mendapatkan izin edar  
2)  Segera, jika ada permintaan. 
 

  
 
RINGK ASAN  PE RENCANA AN  MANAJEM EN R I SIKO (PM R)  
 
Sebuah Perencanaan Manajemen R isiko (PMR ) / Risk 
Management Plan  (RMP)  adalah suatu dokumen yang 
menggambarkan pengetahuan / pemahaman terkini 
tentang keamanan dan khasiat produk obat. RMP 
memberikan informasi kunci berkaitan dengan rencana 
penelitian dan kegiatan lain untuk menggali lebih 
banyak lagi pengetahun tentang keamanan dan khasiat 
obat. Dokumen ini juga memaparkan tindakan yang 
akan diambil untuk mencegah atau meminimalkan 
risiko yang berkaitan dengan penggunaan produk obat 
pada pasien. 
 
Tujuan RMP  
1.  Identifikasi dini semua risiko dengan 
mempertimbangkan seluruh informasi yang ada  
2.  Identifikasi area dimana diperlukan evaluasi yang 
mendalam 
3.  Merencanakan penelitian/studi baru untuk untuk 
mengidentifikasi dan mengenali risiko berbasis 
ilmiah.  
4. Farmakovigilans dimulai sebelum adanya izin  edar 
dan terus berlangsung selama life cycle suatu 
obat. 
 
 
 

 
Be berap a Istilah yang digunakan di dalam  RMP  
1.  Sistem Manajemen Risiko  
Sekumpulan kegiatan untuk mengenali dan 
menandai, mencegah atau meminimalisasi setiap 
risiko apapun terkait dengan produk obat, 
termasuk mengevaluasi efektivitas tindakan - 
tindakan ini. 
 
2.  Tindakan untuk meminimalkan risiko 
Perangkat untuk meminimalkan risiko digunakan 
untuk meningkatkan keseimbangan manfaat/risiko 
dari produk obat. Perangkat ini dapat mencegah 
atau mengurangi terjadinya reaksi yang tidak 
diinginkan/reaksi buruk terkait dengan produk 
obat atau mengurangi kegawatan reaksi yang 
muncul. 
Jenis perangkat yang dapat meminimalkan risiko 
yang paling umum adalah program edukasi, 
program pengawasan akses. Jenis lainnya dari 
komunikasi keamanan, seperti Dear Doctor Letter, 
Direct Health Professional  Letter  kadang 
digunakan sebagai tindakan meminimalkan risiko, 
dalam rangka mengkomunikasikan satu masalah 
keamanan tertentu dengan para praktisi, pasien, 
atau pendamping/perawat pasien. 
 
3.  R isiko penting yang terindentifikasi 
KTD dimana cukup bukti untuk mengkaitkan risiko 
ini  dengan obat. 
a. Kejadian merugikan yang muncul di dalam uji 
pra klinik dan dikuatkan dengan data klinik. 
b. Kejadian merugikan yang teridentifikasi pada 
saat uji klinik atau penelitian epidemiologi 
saat  besarnya perbedaan dengan kelompok 
pembanding menunjukkan bahwa adanya 
hubungan sebab akibat. 
c. KTD yang ditunjukkan dengan adanya sejumlah 
besar reaksi spontan sebab akibat yang 
terdokumentasi didukung dengan baik oleh:  
1)  Hubungan temporal/sementara  
2)  Secara biologi dapat dipercaya 
 
4. Risiko potensial yang penting  
a. KTD yang dicurigai disebabkan oleh obat, 
namun hubungan sebab akibat ini  belum 
dapat dipastikan. 
b. Temuan toksikologi pra klinik yang belum dapat 
dipastikan dengan data klinik yang ada. 
c. Kejadian merugikan yang dikenali pada saat uji 
klinik atau penelitian epidemiologi, saat  
31
besarnya perbedaan dengan kelompok 
pembanding tidak cukup untuk menunjukkan 
adanya hubungan sebab akibat. 
d. Isyarat yang didapat dari laporan spontan.  
e. Class effect 
 
5.  Informasi yang hilang 
Informasi yang tidak diketahui tentang keamanan 
obat memperlihatkan keterbatasan pada data 
keamanan obat, yaitu data pada populasi yang 
tidak diteliti pada uji klinik antara lain  wanita 
hamil, pasien dengan gagal hati/ginjal, anak, dan 
lain sebagainya.