Selasa, 09 Januari 2024

faktor kematian














Kematian neonatus  Kabupaten Tapin merupakan kematian yang tertinggi di Kalimantan
Selatan yaitu sebanyak 56 kasus. pemicu  utama kematian neonatal ini erat kaitannya dengan
kesehatan ibu dan pemeriksaan kesehatan ibu yang diperoleh sebelum, selama dan sesudah 
melahirkan. Tujuan dari penelitian ini yaitu  menganalisis  faktor–faktor yang berkaitan  dengan
kematian neonatal  di Kabupaten Tapin di tinjau dari pemeriksaan kehamilan, penolong persalinan
dan karakteristik ibu. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu  studi analitik dengan metode
observasional dan pendekatan cross sectional, adapun sampel dari penelitian ini yaitu  seluruh
neonatus mati di Kabupaten Tapin yaitu 56 kasus. Metode analisis menggunakan uji statistik chi-
square pada tingkat kemaknaan 95%. Hasil penelitian ini yaitu  sebagian besar (57%) kematian
neonatal memiliki riwayat pemeriksaan yang tidak baik, hasil uji statistik didapatkan nilai P=0,000,
sebagian besar (62,5%) kematian neonatal memiliki riwayat penolong persalinan yang tidak baik dan
hasil uji statistik di dapatkan nilai P=0,000, sebagian besar (55,4%) kematian neonatal lahir dari ibu
yang memiliki  risiko untuk hamil dan hasil uji statistik di dapatkan nilai P=0,571, sebagian besar
(62,5%) kematian neonatal lahir dari ibu yang memiliki  paritas berisiko untuk hamil dan hasil uji
statistik didapatkan nilai P=1,000, sebagian besar (92,9%) kematian neonatal lahir dari ibu yang
memiliki  jarak kehamilan yang berisiko untuk hamil dan hasil uji statistik di dapatkan nilai P=0,359.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu  terdapat hubungan yang bermakna antara kematian neonatal
dengan pemeriksaan kehamilan dan penolong persalinan.
Kata-kata kunci: kematian neonatal, pemeriksaan kehamilan, penolong persalinan dan karakteristik
ibu

Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator sensitif untuk mengetahui
derajat kesehatan suatu negara bahkan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu bangsa (1).
AKB yang dihitung dari kematian bayi lahir hidup sebelum berusia satu tahun, masih
menjadi isu kesehatan dunia walaupun sudah mengalami penurunan (2). Setiap tahun
diperkirakan delapan juta bayi lahir mati atau meninggal pada bulan pertama kehidupannya,
sebagian besar dari kematian ini terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia (3).
Angka kematian bayi di Indonesia selama 4 tahun terakhir mengalami perlambatan
penurunan, data  survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukan penurunan
AKB dari 35/1.000 kelahiran hidup pada tahun 2003 (4). Menjadi 34/1.000 kelahiran hidup
pada tahun 2007, namun masih jauh lebih tinggi dari target AKB dalam Millenium
Development Gold (MDGs) pada tahun 2015 sebesar 23/1.000 kelahiran hidup (5). Jika
dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya, Indonesia menduduki peringkat ketiga
sesudah  Laos dan Burma (2). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi  Kalimantan Selatan
kematian neonatal  dalam 3 tahun terakhir  menunjukan kecendrungan yang meningkat  dari
tahun 2008,  sebanyak 416  menjadi 529 kasus pada tahun 2010. Kabupaten dengan
kematian bayi tertinggi yaitu   Kabupaten Tapin sebanyak 56 kasus (6). Tingginya kematian
anak di bawah 1 tahun ini sepertiganya terjadi dalam 1 bulan pertama sesudah  kelahiran
(masa neonatal) dan sekitar 80 persen terjadi kematian terjadi pada minggu pertama (5).
Masalah ini timbul sebagai akibat dari buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang
kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak  bersih serta kurangnya
perawatan bayi baru lahir (7).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, pemicu  utama kematian
neonatal  di Indonesia yaitu  karena asfiksia, berat bayi lahir rendah (BBLR)  dan sepsis
(8), sedangkan pemicu  utama kematian  neonatal di Kabupaten Tapin yaitu  asfiksia
34,3%, BBLR 26,9%, kelainan kongenital 2,9% dan lain-lain 19,5% (6). pemicu  utama
kematian neonatal ini erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan pemeriksaan kesehatan ibu
yang diperoleh sebelum, selama dan sesudah  melahirkan. Selain itu usia ibu mempengaruhi
faktor biologis yang dapat memicu  komplikasi selama masa kehamilan dan pada saat
persalinan yang pada gilirannya akan mempengaruhi peluang anak untuk bertahan hidup
(9).
Menurut BAPENAS terdapat yang korelasi positif antara jumlah dan jarak kelahiran
dengan peluang terjadinya kematian, angka kematian neonatal akan turun seiring dengan
bertambahnya interval kelahiran. Semakin tinggi persentase ibu dengan pemeriksaan
kehamilan yang adekuat dan jumlah kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan profesional
maka makin rendah angka kematian bayi dan balita (9). Di Indonesia akses ke fasilitas
kesehatan untuk pemeriksaan kehamilan sudah cukup tinggi yaitu 91,5% namun
pemeriksaan kehamilan dengan katagori K4 hanya sebesar 63,7% (9). serta 30,27%
persalinan masih ditolong oleh tenaga non kesehatan/dukun (11).
Survei pendahuluan di Dinas Kesehatan Kabupaten Tapin menunjukan  data  cakupan
masih dibawah target standar pelayanan minimal (SPM) kebidanan, seperti cakupan
kunjungan pemeriksaan kehamilan (K4) hanya 78,09%, sedangkan targetnya yaitu  90%
serta cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan hanya 75,79%  dan targetnya
90% (6). berdasar  uraian ini , maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor
yang berkaitan  dengan kematian neonatal di Kabupaten Tapin tahun 2010.

Kematian neonatal di Kabupaten Tapin menempati angka yang tertinggi di
Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 56 kasus.

Sebagian besar kematian neonatal (57,1%) sudah memiliki riwayat pemeriksaan
kehamilan yang baik yaitu 4 kali atau lebih dan sudah memenuhi standar pemeriksaan
kehamilan (1 kali pada trimester-1,1 kali pada trimester-2 dan 2 kali pada trimester-3). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haksari dan Sarjono tahun 2001 bahwa
tidak didapatkan risiko kematian perinatal dari kunjungan pemeriksaan kehamilan kurang
dari 4 kali dan penelitian yang dilakukan oleh Sambolon tahun 2006 dimana kelengkapan
komponen pemeriksaan kehamilan terlihat tidak berkaitan  secara bermakna dengan
kelangsungan hidup bayi, padahal kontak dengan dokter  seharusnya dapat
menurunkan risiko kematian bayi karena dapat mendeteksi secara dini komplikasi kehamilan
dan merujuknya ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap (12).

Hasil uji statistik chi-square terhadap kematian neonatal dengan pemeriksaan
kehamilan ini menunjukan nilai P = 0.000 lebih kecil dari 0,05,  berarti   Ho ditolak (Ha
diterima) yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kematian neonatal dengan
pemeriksaan kehamilan, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati
dan kawan-kawan di kota Bekasi tahun 2001, bahwa Ibu yang pada waktu hamilnya tidak
melakukan praktek kesehatan secara adekuat memiliki  risiko untuk terjadinya kematian
neonatal lebih besar (2,3 kali) dibandingkan dengan ibu yang waktu hamilnya melakukan
praktek kesehatan adekuat. Diketahui bahwa janin dalam rahim dan ibunya merupakan
suatu kesatuan yang saling mempengaruhi, sehingga kesehatan ibu yang optimal akan
meningkatkan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan janin (13).
Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi terhadap ibu
dan bayinya setiap saat, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati dan kawan-
kawan di kota Bekasi tahun 2003 menunjukan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang
praktek kesehatan pada waktu hamil tidak adekuat 2,6 kali memungkinkan kematian
perinatal, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin baik praktek kesehatan ibu hamil
semakin tinggi perlindungan yang diberikan terhadap ancaman kematian neonatal.

berdasar  tabel diatas terlihat gambaran bahwa sebagian besar kematian neonatal
(62,5%) ditolong oleh tenaga non kesehatan/dukun kampung. Penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Djaja dan kawan-kawan di Kabupaten Cirebon tahun
2004 bahwa kematian neonatus yang di tolong oleh dukun kampung masih tinggi yaitu 33%.
Neonatus yang dilahirkan oleh tenaga non kesehatan berisiko kematian tinggi yang
kemungkinan akibat penggunaan alat-alat yang tidak steril sehingga berisiko untuk terjadi
tetanus neonatorum, penolong persalanan bukan tenaga kesehatan ini  juga kurang
mampu mendeteksi dan mengenali kelainan/komplikasi persalinan secara dini sehingga
terlambat rujukan dan memperbesar risiko keselamatan ibu dan bayinya (12).
Tabel 4. Hubungan Kematian Neonatal Dengan Penolong Persalinan di Kabupaten Tapin
Hasil uji statistik chi-square terhadap kematian neonatal dengan penolong persalinan
ini menunjukan nilai P = 0.000 (lihat lampiran 4) lebih kecil dari 0,05, ini berarti  Ho ditolak
(Ha diterima) yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kematian neonatal
dengan penolong persalinan, ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sambolon
dimana studi ini menemukan hubungan yang bermakna antara penolong persalinan dengan
kelangsungan hidup bayi, juga penelitian yang dilakukan oleh Prabumurti dan kawan-kawan
tahun 2006 di Kabupaten Brebes bahwa ibu yang pada saat persalinannya ditolong oleh
dukun kampung memiliki risiko kematian neonatal 6,07 kali lebih besar dibanding bayi yang
lahir ditolong oleh tenaga medis. Ini menggambarkan bahwa pertolongan persalinan oleh
dukun menjadi pemicu  utama  kematian dan kesakitan  perinatal, dapat dipahami bahwa
dukun tidak mengetahui tanda-tanda bahaya perjalanan persalinan, akibatnya persalinan
tidak ditangani secara adekuat sehingga terjadi kematian janin dalam rahim,  janin (bayi)
mengalami asfiksia, infeksi dan trauma persalinan (14).
Banyak warga  yang masih memanfaatkan dukun sebagai tenaga penolong
persalinan dan menjadikan peran dukun masih dominan hingga sekarang  dalam menangani
ibu melahirkan (15). Penolong persalinan yang baik (tenaga kesehatan) bisa mendeteksi
faktor yang berisiko terhadap kematian neonatal serta memiliki  pengetahuan,
keterampilan dan alat untuk memberikan pertolongan persalinan yang aman termasuk
bersih serta memberikan pelayanan pada ibu dan bayinya (16).

berdasar  tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar kematian neonatal
(51,8%) lahir dari ibu yang berisiko untuk hamil, hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Prabumurti dan kawan-kawan  bahwa persentasi bayi yang mati pada usia
neonatal dari ibu yang berusia < 20 tahun dan > 35 tahun lebih besar (55,17%) dibanding
dengan ibu yang berusia 20–35 tahun. Usia ibu mempengaruhi faktor biologis  yang dapat
memicu  komplikasi pada masa kehamilan dan pada saat persalinan yang pada
gilirannya mempengaruhi peluang anak untuk bertahan hidup 
Hasil uji statistik chi-square terhadap kematian neonatal dengan umur ibu ini
menunjukan nilai P = 0,571 (lihat lampiran 5 ) lebih besar dari 0,05, ini berarti   Ho diterima
(Ha ditolak) yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kematian neonatal
dengan umur  ibu, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh  Haksari dan
Sujono bahwa tidak terdapat resiko kematian neonatal dengan umur  ibu, berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Prambudi dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara kematian neonatal dengan umur ibu (7,69 kali).
berdasar  proporsi dapat dilihat bahwa umur ibu yang berisiko memiliki 
proporsi yang lebih tinggi untuk terjadinya kematian neonatal (53,7%), penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Damayanti yang menemukan perbedaan proporsi
antara kematian neonatal dengan neonatal hidup menurut umur ibu,  pada ibu yang berumur
<20 tahun dan  >35 tahun memiliki risiko kematian neonatal, hal ini karena pada ibu yang <
20 tahun kondisi fisiologis ibu belum matang sedangkan umur >35 tahun karena
kemampuan ibu untuk mengedan pada saat persalinan berkurang (16). Banyak faktor yang
melatar  belakangi dan menjadi pemicu  langsung dan tidak langsung terjadinya kematian
neonatal dan faktor umur ibu hanyalah merupakan salah satu pemicu  tidak langsung dari
kematian neonatal, ada faktor lain pada determinan antara  yang turut mempengaruhi
terjadinya kematian neonatal yang meliputi faktor status kesehatan ibu  seperti status gizi
ibu (17).
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan janin
yang sedang dikandungnya, bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama
hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat
badan normal dan sebaliknya jika status ibu gizi ibu sebelum dan selama hamil kurang maka
akibatnya memiliki  risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi yang dengan BBLR.
Bayi yang dilahirkan dengan BBLR umumnya kurang mampu meredam tekanan lingkungan
yang baru sehingga dapat berakibat pada terhambatnya  pertumbuhan dan perkembangan
bahkan dapat mengganggu kelangsungan hidupnya (18). Faktor lain pada determinan
antara yang mempengaruhi terjadinya kematian neonatal yaitu  akses terhadap pelayanan
kesehatan yang menyangkut 2 aspek yaitu ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dengan jumlah dan kualitas yang memadai dan keterjangkauan terhadap pelayanan
kesehatan yang mencakup jarak, waktu dan biaya (17). Masih terbatasnya fasilitas
pelayanan kesehatan dan kualitasnya juga dinilai masih rendah, kurangnya pemanfaatan
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dimana sangat erat hubungannya dengan
kemiskinan, pendidikan wanita, faktor geografis dan pembangunan sosial, pembiayaan
pelayanan komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir yang tepat waktu dan adekuat  yang
sangat kritis untuk kelangsungan hidup ibu dan baru lahir yang masih dianggap mahal serta
kurangnya komitmen politik dan kebijakan terhadap kesehatan ibu dan bayi baru lahir
walaupun menurut hukum ibu dan bayi baru lahir berhak menperoleh pelayanan kesehatan
yang adekuat (19).
--Agustus 2015 69

berdasar  tabel diatas terlihat gambaran bahwa sebagian besar kematian
neonatal (62,5%)  yaitu  paritas yang berisiko untuk hamil yaitu paritas 1 dan peritas lebih
dari 5. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Efriza tahun 2007
dimana bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan paritas berisiko (1 dan > 5) berisiko
mengalami kematian neonatal dini 1,89 kali lebih besar  dari pada bayi yang dilahirkan oleh
ibu dengan paritas 2 – 4, risiko kematian neonatal dini yang besar pada bayi yang dilahirkan
dari ibu dengan paritas 1 disebabkan oleh kekakuan jaringan panggul  serta pengetahuan
tentang perawatan kehamilan dan persalinan yang rendah  sedangkan kematian neonatus
pada ibu dengan paritas > 5 tahun belum pulihnya organ reproduksi dalam menerima
kehamilan, apabila jumlah paritas kecil maka otot-otot uterus masih kuat, kekuatan
mengejan belum berkurang, kejadian komplikasi persalinan maupun partus lama yang dapat
membahayakan ibu maupun bayinya akan semakin kecil (16).
Tabel 8. Hubungan Kematian Neonatal Dengan Paritas Ibu Di Kabupaten Tapin
Faktor paritas ibu merupakan determinan antara yang mempengaruhi terjadinya
kematian neonatal,  faktor  determinan dekat mungkin lebih dominan berpengaruh terhadap
terjadinya kematian neonatal seperti komplikasi ibu pada saat kehamilan dan persalinan
antara lain ketuban pecah dini yang memudahkan terjadinya infeksi pada bayi, perdarahan
pervaginam yang terjadi pada kehamilan sebelum 3 dapat memicu  abortus,
perdarahan yang terjadi pada kehamilan trimester ke-3 meskipun hanya sedikit merupakan
ancaman bagi janinnya, hipertensi dalam kehamilan dapat memicu  pertumbuhan janin
terhambat sehingga bayi lahir dengan BBLR, infeksi berat dalam kehamilan akan berakibat
terjadinya kematian janin dalam kandungan, distosia, persalinan macet dan persalinan tak
maju dapat memicu  terjadinya infeksi pada bayi dan bayi lahir dengan asfiksia (20).
Ibu hamil yang memiliki risiko ini  akan meningkatkan risiko  terjadinya komplikasi pada
neonatus seperti asfiksia, BBLR dan infeksi  yang  merupakan pemicu  utama terjadinya
kematian neonatal (8).




Kesimpulan dari penelitian ini yaitu  terdapat hubungan yang bermakna antara
kematian neonatal dengan pemeriksaan kehamilan dan penolong persalinan. Untuk
mengatasi masalah kematian neonatal, maka peneliti mengusulkan beberapa saran yang
mungkin bisa dijalankan yaitu, kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tapin dapat
meningkatkan penyuluhan kepada warga  tentang kehamilan, persalinan, KB dan
reproduksi yang sehat untuk mengurangi risiko terjadinya kematian neonatal, bidan di desa
harus lebih pro aktif untuk  mencari ibu hamil yang droup out dalam pemeriksaan
kehamilannya, meningkatkan kembali kegiatan swepping untuk menemukan ibu hamil baru
(triwulan ke-1) yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, mengaktifkan kembali
penggunaan stiker program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K)
serta amanat persalinan untuk memantau ibu hamil sampai  dengan persalinan yang aman
dan persiapan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya komplikasi pada saat hamil,
persalinan dan nifas, meningkatkan pembinaan dan kemitraan terhadap dukun bayi,
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter  khususnya bidan sebagai
praktisi yang langsung berkaitan  dengan warga  mengenai peñata laksanaan pada
kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir, meningkatkan kerjasama lintas sektor
terkait seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, Dinas Sosial dan Badan
Pemberdayaan warga  dan Pemerintahan Desa (BPMPD) karena masalah kematian
neonatal merupakan masalah yang kompleks yang tidak hanya terbatas pada faktor medis
yang bias ditangani oleh dokter  namun  juga faktor non medis yang memerlukan
sektor terkait dalam penanganannya. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti
lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi terjadinya kematian
neonatal seperti pada faktor determinan dekat yaitu kejadian kehamilan dan komplikasi
kehamilan dan determinan jauh seperti status perempuan, status keluarga dan satus
warga .