Jumat, 26 Januari 2024
demensia 1
By informasi at Januari 26, 2024
demensia 1
Level of evidence
1++ MA kualitas tinggi, telaah sitematik dari RCT atau RCT dengan risiko bias
sangat rendah
1+ MA kualitas baik, telaah sistematik dari RCT, atau RCT dengan risiko bias
rendah
1 MA, telaah sistematik dari RCT, atau RCT dengan risiko bias tinggi
2++ Telaah sistematik kualitas tinggi studi kasus kelola atau kohort
Studi kasus kelola atau kohort kualtias tinggi dengan risiko bias yang
sangat rendah dan probabilitas tinggi adanya hubungan kausatif
2+ Studi kasus kelola atau kohort kualitas baik dengan risiko rendah adanya
bias dan probabilitas sedang adanya hubungan kausatif
2 Studi kasus kelola atau kohort kualitas baik dengan risiko tinggi adanya
bias dan risiko signifikan bahwa hubungan bukan kausatif
3 Studi non-analitis, seperti laporan kasus, serial kasus
4 Pendapat ahli
Keterangan : (MA) Meta analisis, RCT (randomised controlled trial)
GRADE
Tingkat disarankan : dibuat berdasar kuatnya tingkat bukti dan
tidak mencerminkan kepentingan klinis dari disarankan :
A Paling sedikit satu MA, telaah sistematik dari RCT, atau RCT setingkat 1++
dan dapat diaplikasikan langsung ke populasi target; atau sejumlah besar
bukti yang terdiri dari studi setingkat 1+, dapat diaplikasikan langsung ke
populasi target, dan keseluruhan memperlihatkan hasil konsisten
B Sejumlah besar bukti yang terdiri dari studi setingkat 2++, dapat
diaplikasikan langsung ke populasi target, dan keseluruhan
memperlihatkan hasil konsisten atau ekstrapolasi bukti dari studi
setingkat 1++ atau 1+
C Sejumlah besar bukti yang terdiri dari studi setingkat 2+, dapat
diaplikasikan langsung ke populasi target, dan keseluruhan
memperlihatkan hasil konsisten atau ekstrapolasi bukti dari studi
setingkat 2++
D Bukti tingkat 3 atau 4; atau ekstrapolasi bukti dari studi setingkat 2+
GOOD PRACTICE POINT
GPP Tindakan (praktik) terbaik yang didisarankan :kan berdasar
pengalaman klinis dari kelompok penyusun panduan
SUMBER : The Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN).
Demensia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Diperkirakan ada sebanyak orang dengan demensia di
Indonesia pada tahun 2020. Demesia Alzheimer dan demensia
vaskuler adalah dua jenis demensia tersering ditemukan. Masa
perawatan demensia yang panjang memicu beban kesehatan
dan sosioekonomi yang berat kepada pasien, keluarga, masyarakat
dan negara secara keseluruhan. diagnosa dini sangat penting karena
memungkinkan pemilihan terapi farmakologi dan non-farmakologis
yang tepat bagi orang dengan demensia dan menghindari
pemeriksaan yang tidak berguna. Disamping perawatan terhadap
pasien demensia, usaha meringankan beban pengasuh dan
penerapan aspek medikolegal harus menjadi prinsip
penatalaksanaan demensia.
Sebuah panduan praktik sangat penting untuk perawatan optimal
demensia. Saya dengan bangga mempersembahkan panduan
nasional praktik klinik demensia edisi pertama. Kelompok Studi
Neurobehavior PERDOSSI telah melakukan telaah literatur terkini
dalam medisarankan : penatalaksaan farmakologis dan non-
farmakologis untuk orang dan pengasuh demensia. Panduan ini juga
memuat medisarankan :kan penanganan stadium pre-demensia
yaitu mild cognitive impairment, demensia awitan dini.
FAKTOR RISIKO DAN PREVENSI DEMENSIA
Tes genetik tidak perlu dilakukan rutin dalam evaluasi
secara klinik pasien dementia. Pemeriksaan gen APOE tidak
didisarankan :kan dalam diagnosa demensia.
(Grade B, level 2++)
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan
kognisi perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak
untuk mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau
white matter lesion.
(Grade B, level 2++)
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak
didisarankan :kan untuk pencegahan dalam pengobatan
pasien dengan demensia yang bukan disebabkan karena
defisiensi vitamin B12.
(Grade A, level 1++)
Terapi statin tidak didisarankan :kan untuk prevensi atau
rutin diberikan pada pasien Alzheimer.
(Grade A, level 1++)
Gaya hidup sehat meliputi melakukan olah raga teratur,
konsumsi alcohol secukupnya, stop merokok,
mengkonsumsi banyak buah, sayur, kacang-kacagan,
minyak zaitun (misal : DASH - dietary Approach to Stop
hypertension). Didisarankan :kan sebagai pencegahan
primer demensia.
(Grade A Level 1+)
Penapisan rutin untuk demensia di pelayanan kesehatan
tingkat I (primer) tidak didisarankan :kan.
(Grade A)
Penapisan terhadap mereka dengan keluhan memori
subjektif didisarankan :kan.
(Grade B)
Klinisi harus mencurigai adanya demensia bila pasien
memiliki keluhan memori subjektif.
(Grade C)
AD8 dapat digunakan sebelum melanjutkan dengan
penapisan yang lebih detil.
(Grade C)
Alat yang lebih sesuai dapat digunakan untuk penapisan
yang lebih detil seperti MMSE dan GDS-4.
(Grade C)
Semua pasien yang dicurigai demensia harus dirujuk ke
spesialis (neurolog, psikiatrik, geriatrik) untuk memperoleh
penanganan yang komprehensif.
(Grade C)
Klinik memori dengan tim multidisipliner sebaiknya dibuat
pada pelayanan kesehatan tersier.
(Grade C)
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
neuropsikologi tetap merupakan komponen yang penting
dalam mendiagnosa demensia.
(Grade C)
Pada tingkat II (sekunder), tes kognisi yang lengkap dapat
dilakukan meliputi MMSE, CDT serta MoCA.
(Grade C)
Bila diagnosa demensia masih belum bisa ditegakkan maka
diperlukan tes neuropsikologis di pelayanan tingkat III
(tersier)
(Grade C)
Semua tes perlu divalidasi sesuai bahasa, budaya, dan
tingkat pendidikan yang ada di populasi.
(Grade C)
Semua pasien demensia perlu dinilai secara rutin dalam hal
aktivitas sehari-hari.
(Grade C)
Masalah perilaku pada pasien demensia harus dinilai
secara rutin dan dinilai secara kualitatif bila
memungkinkan. Instrumen yang disarankan meliputi NPI.
(Grade C)
Semua pasien demensia harus menjalani pemeriksaan
depresi.
(Grade A)
diagnosa dan beratnya depresi pada demensia dapat
dinilai dengan memakai skala seperti Geriatric
Depression.
(Grade C)
Clinical Dementia Rating Scale dan Global Deterioration
Scale dapat digunakan, dan keduanya cukup sensitif untuk
MCI dan awal demensia.
(Grade C)
Bila diagnosa definitif demensia sudah ditegakkan,
beberapa skala seperti MMSE, Global deterioration scale
dan CDR dapat dikerjakan untuk menentukan progresifitas.
(Grade C)
Tes hematologi rutin perlu dilakukan pada pasien yang
dicurigai demensia
(Grade C)
Tes darah spesifik (contoh: sifilis) hanya dilakukan atas
dasar klinis sesudah dilakukan anamnesis dan sesuai kondisi
klinis.
(Grade C)
Neuroimaging struktural seperti CT scan dan MRI kepala
harus dilakukan bila memungkinkan dalam evaluasi
demensia untuk menyingkirkan patologi intrakranial.
(Grade A)
MRI merupakan modalitas pilihan untuk membantu
diagnosa awal dan mendeteksi perubahan vaskular
subkortikal.
(Grade C)
Functional imaging dan marker neuroimaging tidak
didisarankan :kan secara rutin dalam mendiagnosa
demensia.
(Grade C)
Penggunaan EEG hanya untuk kasus-kasus tertentu di
mana ada kecurigaan kejang, Creutzfeldt-Jakob disease
atau delirium.
(Grade A)
Biomarker CSS dan marker plasma tidak didisarankan :kan
dalam mendiagnosa MCI atau demensia.
(Grade C)
Biomarker CSS tidak didisarankan :kan dalam menentukan
progresifitas MCI menjadi demensia.
(Grade C)
Penggunaan marker genetik, APOE dengan ataupun tanpa
lipid plasma, tidak didisarankan :kan untuk dilakukan
secara rutin, dan hanya dilakukan untuk percobaan klinis.
(Grade C)
INTERVENSI FARMAKOLOGIS
Hanya spesialis yang menangani demensia (neurolog,
psikiater, geriatrik) boleh memulai terapi.
(Grade C)
Keluarga harus dilibatkan dalam penanganan pasien sejak
awal.
(Grade C)
Inhibitor kolinesterase (donepezil, rivastigmin dan
galantamin) bermanfaat dalam memperbaiki fungsi kognisi
pasien AD ringan – sedang.
(Grade A)
Pasien dalam terapi penguat kognisi harus dinilai sedikitnya
1 kali dalam 6 bulan dengan memakai ukuran
psikometrik (misalnya MMSE atau pengukur serupa untuk
fungsional dan perilaku).
(Grade C)
Donepezil dan memantin cukup efektif dalam memperbaiki
fungsi kognisi pasien dengan AD sedang – berat.
(Grade A)
Galantamine merupakan alternatif pada AD berat.
(Grade B)
Pasien dalam terapi penguat kognisi harus dinilai sedikitnya
1 kali dalam 6 bulan dengan memakai ukuran
psikometrik (contoh MMSE atau pengukur serupa untuk
fungsional dan perilaku).
(Grade C)
Inhibitor Kolinesterase dapat diberikan pada pasien-pasien
dengan demensia vaskular dengan pengawasan klinisi.
(Grade A)
Pasien dengan demensia vaskular serta faktor risiko
vaskular harus diterapi dengan obat-obat yang
didisarankan :kan untuk mengobati kelainan-kelainan
ini .
(Grade C)
Rivastigmine dapat dipertimbangkan dalam memperbaiki
kognisi pada Demensia Lewy Body.
(Grade A)
Rivastigmine harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan Demensia Parkinson.
(Grade A)
Inhibitor kolinesterase tidak didisarankan :kan untuk
terapi demensia frontotemporal.
(Grade A)
Memantin tidak didisarankan :kan untuk terapi Demensia
Frontotemporal.
(Grade C)
Inhibitor kolinesterase tidak didisarankan :kan untuk
pasien mild cognitive impairment (MCI).
(Grade A)
Antipsikotik sebaiknya tidak digunakan secara rutin untuk
mengobati pasien demensia dengan agresi dan psikosis.
(Grade A)
Bila diindikasikan, sebaiknya pertimbangkan pemberian
antipsikotik atipikal.
(Grade A)
Keluarga harus diberitahu tentang efek samping yang
mungkin timbul sebelum memulai terapi.
(Grade C)
Pasien harus diperiksa berkala dan antipsikosis harus
dihentikan secepatnya sesudah gejala mereda.
(Grade C)
Inhibitor kolinesterase atau memantin dapat digunakan
dalam terapi perilaku dan gejala psikologis demensia.
(Grade B)
Rivastigmine dapat digunakan untuk terapi perilaku dan
gejala psikologis pasien Demensia Lewy Body.
(Grade A)
Antidepresan tidak efektif dalam Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) pada
Demensia Frontotemporal.
(Grade B)
Antidepresan (terutama golongan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor) dapat digunakan untuk terapi episode
depresi demensia.
(Grade A)
Mood stabilisers tidak didisarankan :kan untuk
penanganan gangguan mood pada demensia.
(Grade B)
Penambahan memantin terhadap obat golongan inhibitor
kolinesterase pada penderita demensia sedang sampai
berat, mungkin bermanfaat
(Grade A)
Pemberian kombinasi golongan inhibitor kolinesterase
dengan SSRI tidak memberi manfaat tambahan
(Grade B)
Kombinasi golongan inhibitor kolinesterase dengan vitamin
supplemen tidak memberi manfaat tambahan
(Grade B)
Kombinasi obat golongan inhibitor kolinesterase dengan
intervensi non-farmakologi pada penderita demensia,
mungkin bermanfaat
(Grade B)
Ekstrak Ginkgo Biloba EGb761 240mgr/hari dapat
dipertimbangkan sebagai opsi terapi simptomatis
demensia apabila terapi inhibitor kolinesterase atau
memantin tidak memberi efek terapi atau intoleran
terhadap efek sampingnya.
(Grade B)
Omega -3 sebaiknya tidak dipakai dalam terapi demensia.
(Grade A)
Vitamin E tidak didisarankan :kan dalam terapi demensia
dan mild cognitive impairment.
(Grade A)
INTERVENSI NON FARMAKOLOGI
Orang dengan demensia (ODD) perlu melibatkan diri dalam
kegiatan yang berarti.
(Grade C)
Kombinasi intervensi yang dapat meningkatkan
komunikasi, mobilitas, dan kognisi didisarankan :kan
untuk memfasilitasi kemandirian pasien demensia.
(Grade B)
Aktivitas harus bersifat individual dan disesuaikan dengan
memaksimalkan kemampuan yang tersisa dari pasien.
(Grade A)
Intervensi perlu diintegrasikan dengan menargetkan
kebutuhan kompleks seseorang, dengan
mempertimbangkan pengasuh dan lingkungan.
(Grade A)
Stimulasi kognitif (baik Terapi Orientasi Realitas maupun
Terapi Reminiscence) dapat digunakan untuk meningkatkan
fungsi kognitif pada pasien dengan demensia ringan hingga
sedang.
(Grade B)
Intervensi psikosial harus disesuaikan dengan kebutuhan
individu, preferensi, keterampilan, dan kemampuan orang
dengan demensia.
(Grade A)
Intervensi psikosial tertentu, seperti musik dan program
kegiatan fisik dapat bermanfaat dalam mengelola gejala
gangguan perilaku dan psikososial pada demensia.
(Grade A)
Stimulasi multisensorik tidak efektif terhadap pasien
demensia dengan gejala gangguan perilaku dan psikososial,
dan mungkin berbahaya pada pasien agitasi/gelisah.
(Grade A)
ada bukti yang cukup untuk medisarankan :kan
terapi pijat dan aromaterapi.
(Grade A)
ada bukti yang cukup untuk medisarankan :kan
terapi cahaya terang pada pasien demensia yang
mengalami gangguan tidur atau gangguan perilaku dan
psikologis.
(GradeA)
Terapi perilaku kognitif dapat digunakan untuk mengobati
depresi pada demensia dini.
(Grade B)
Terapi reminiscence dapat digunakan pada pasien dengan
depresi dan kecemasan.
(Grade B)
Modifikasi lingkungan bermanfaat namun perlu
diindividualisasi sesuai kebutuhan dan derajat gangguan.
(Grade B)
Intervensi pengasuh bersifat multikomponen dan
sebaiknya sesuai kebutuhan spesifik ODD dan
pendampingnya.
(Grade A)
Intervensi edukasi harus diberikan untuk ODD dan
pendampingnya.
(Grade A)
ISU HUKUM DAN ETIKA
Proses pengungkapan diagnosa seyogyanya dilaksanakan
dengan sepantasnya dalam situasi yang sesuai.
(GPP)
sesudah pengungkapan ke pada ODD, hendaknya diberikan
dukungan terhadap ODD dan pengasuhnya.
(GPP)
Selagi ODD masih mampu, pertimbangan untuk membuat
pernyataan/keputusan terkait pengobatan hendaknya
dipikirkan.
(GPP)
ODD yang masih memiliki kapasitas/ mampu
mengambil keputusan, dianjurkan membuat / menunjuk
perwalian.
(GPP)
. EPIDEMIOLOGI
Peningkatan pelayanan kesehatan abad sekarang yang disertai
dengan peningkatan standar hidup, telah meningkatkan umur
harapan hidup di negara maju dan negara berkembang. Perubahan
demografis ini merupakan tantangan terhadap sistem pelayanan
kesehatan yang ada, terutama menyangkut peningkatan jumlah
orang dengan demensia.
Konsensus Delphi mempublikasikan bahwa ada peningkatan
prevelansi demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi
sebelumnya.1 Diperkirakan ada 35,6 juta orang dengan
demensia pada tahun 2010 dengan peningkatan dua kali lipat setiap
20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun
2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan
meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun
2030.
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (laki-
laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015
menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun
ke depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun
2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia
65 tahun ke atas akan meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada
tahun 2035.2
Belum ada data riset nasional mengenai prevalensi demensia
di Indonesia. Namun demikian Indonesia dengan populasi lansia
yang semakin meningkat, akan ditemukan kasus demensia yang
banyak. Demensia Vaskuler (DV) diperkirakan cukup tinggi di negeri
ini, data dari Indonesia Stroke Registry 2013 dilaporkan bahwa 60,59
% pasien stroke mengalami gangguan kognisi saat pulang perawat
dari rumah sakit. Tingginya prevalensi stroke usia muda dan faktor risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler
mendukung asumsi di atas.3
. GAMBARAN KLINIS UMUM
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial
dan profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian,
biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan
oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor.
diagnosa klinis demensia ditegakkan berdasar riwayat
neurobehavior, pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan
kognisi. Pemeriksaan biomarka spesifik dari likuor serebrospinalis
untuk penyakit neurodegeneratif hanya untuk riset dan belum
disarankan dipakai secara umum di praktik klinik.
Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu
gangguan kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri
dari gangguan memori terutama kemampuan belajar materi baru
yang sering merupakan keluhan paling dini. Memori lama bisa
terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami
disorientasi di sekitar rumah atau lingkungan yang relatif baru.
Kemampuan membuat keputusan dan pengertian diri tentang
penyakit juga sering ditemukan.
Keluhan non-kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok
behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD).
Komponen perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan non-
agresif seperti wandering, disihibisi, sundowning syndrome dan
gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi, gangguan tidur dan
gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan motorik
berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya
dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus.
SUBTIPE DEMENSIA
. PENYAKIT ALZHEIMER
Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit
neurodegeneratif yang tersering ditemukan (60-80%).4 Karateristik
klinik berupa berupa penurunan progresif memori episodik dan
fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada
tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam
aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik
mendukung diagnosa penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama
lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih
muda. diagnosa klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian
besar kasus (90%) walaupun diagnosa pasti tetap membutuhkan
biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-
amiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle
(hypertphosphorylated protein tau). Saat ini ada
kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging
(MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan
protein tau) untuk menambah akurasi diagnosa .
DEMENSIA VASKULER
Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang
memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan
sampai demensia yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler.5
Penuntun praktik klinik ini hanya fokus pada demensia vaskuler
(DV).
DV adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas
termasuk infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal
iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan
hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi
vaskuler).6 Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan
kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga
memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DV.7 CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy
with subcortical infarcts and leucoensefalopathy), adalah bentuk
small vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas white matter
dan stroke lakuner yang bersifat herediter.
. DEMENSIA LEWY BODY DAN DEMENSIA PENYAKIT
PARKINSON
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering
ditemukan. Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui
kriteria demensia ini.8,9 Gejala inti demensia ini berupa demensia
dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang nyata (vivid) dan
terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism.
Gejala yang mendukung diagnosa berupa kejadian jatuh berulang
dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau
halusinasi modalitas lain yang sistematik. Juga ada tumpang
tindih temuan patologi antara DLB dan PA.10 Namun secara klinis
orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif
dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik
jika dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal.
Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang
juga sering ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat
dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit membedakan
antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism
harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan
fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15
tahun).
. DEMENSIA FRONTOTEMPORAL
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari
Demensia Lobus Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda
(early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata
usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis berupa perburukan
progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat
penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun
pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan
simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual,
hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa
gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan
neuropsikologi.
Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau
anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism
pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik
(DS) dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran
disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya.
Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing adalah
40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT.
. DEMENSIA TIPE CAMPURAN
Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan
sekitar 24-28% orang dengan PA dari klinik demensia yang
diotopsi.12 Pada umumnya pasien demensia tipe campuran ini lebih
tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi Penyakit
Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan 50% orang
dengan DLB memiliki patologi PA.13,14
. diagnosa BANDING DEMENSIA
Walaupun delirium dan demensia dapat terjadi bersamaan, dalam
praktik klinis demensia harus dibedakan dari delirium dan depresi.
. FAKTOR RISIKO DAN PREVENSI DEMENSIA
Tindakan preventif harus dikerjakan karena diperkirakan bahwa
menunda awitan demensia selama lima tahun dapat menurunkan
setengah dari inisiden demensia. Oleh sebab itu perlu pengetahuan
tentang faktor risiko dan bukti yang telah ada.
. FAKTOR RISIKO YANG TIDAK DAPAT DIMODIFIKASI
Usia, jenis kelamin, genetik dan riwayat penyakit keluarga,
disabilitas intelektual dan Sindrom Down adalah faktor risiko tidak
dapat dimodifikasi.
. USIA
Risiko terjadinya PA meningkat secara nyata dengan meningkatnya
usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas 65
tahun dan 50% individu diatas 85 tahun mengalami demensia.16,17
Dalam studi populasi, usia diatas 65 tahun risiko untuk semua
demensia adalah OR=1,1 dan untuk PA OR=1,2.18
. JENIS KELAMIN
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa PA lebih tinggi pada
wanita dibanding pria.19 Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan
tingginya prevalensi PA pada wanita yang tua dan sangat tua
dibanding pria.20 Risiko untuk semua jenis demensia dan PA untuk
wanita adalah OR=1,7 dan OR=2.0. Kejadian DV lebih tinggi pada
pria secara umum walaupun menjadi seimbang pada wanita yang
lebih tua.
. RIWAYAT KELUARGA DAN FAKTOR GENETIK
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early onset Alzheimer
Disease/EOAD) terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini
menyumbang 6-7% dari kasus PA. Sekitar 13% dari EOAD ini
memperlihatkan transmisi otosomal dominan. Tiga mutasi gen yang
teridentifkasi untuk kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor
(AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15% kasus,
presenelin 1 (PS1) pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70%
kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1 ditemukan kurang dari
5% kasus.
Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal yang teridentifikasi
untuk PA Awitan Lambat. (Level III, fair)2 Diduga faktor genetik dan
lingkungan saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen
Apolipoprotein E yang paling banyak diteliti. Telaah sistematik studi
populasi menerangkan bahwa APOE e4 signifikan meningkatkan
risiko demensia PA teruma pada wanita dan populasi antara 55-65
tahun, pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua. (Level III,
good)1
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes
genetik untuk pasien demensia atau keluarganya. Apabila dicurigai
autosomal dominan, maka tes dapat dilakukan hanya sesudah
dengan informed consent yang jelas atau untuk keperluan
riset .
disarankan : :
Tes genetik tidak perlu dilakukan rutin dalam evaluasi secara klinik
pasien dementia. Pemeriksaan gen APOE tidak didisarankan :kan
dalam diagnosa demensia
(Grade B, level 2++)
. FAKTOR RISIKO YANG DAPAT DIMODIFIKASI
FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER
Berbagi studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa
faktor resiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya resiko
DV dan PA. Secara khusus, hipertensi usia pertengahan (R.R 1,24-
2,8), hiperkolesterolemia pada usia pertengahan (R.R 1,4-3.1),
9
diabetes melitus (R.R 1.39-1.47) dan stroke semuanya telah terbukti
berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian dementia.
A. HIPERTENSI
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi,
maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk
mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau white matter
lesion.,
disarankan :
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi,
maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk
mendeteksi adanya silent infarct, microbleed atau white matter
lesion
(Grade B level 2++)
B. ASAM FOLAT DAN VITAMIN B
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak didisarankan :kan untuk
pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia yang
bukan disebabkan karena defisiensi vit B12.
disarankan : :
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak didisarankan :kan untuk
pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia yang
bukan disebabkan karena defisiensi vit B12.
(Grade A level 1++)
C. STATIN
Terapi statin tidak didisarankan :kan untuk prevensi atau rutin
diberikan pada PA.22
disarankan : :
Terapi statin tidak didisarankan :kan untuk prevensi atau rutin
diberikan pada pasien Alzheimer
(Grade A, level 1++)
PERUBAHAN GAYA HIDUP
Beberapa Nasehat untuk seseorang usia senja 1-21:
1. Menikamati makanan yang bervariasi
2. Berusaha tetap aktif untuk mempertahankan kekuatan otot dan berat badan
3. Menyediakan makanan yang sehat serta menyimpan dengan benar
4. Banyak makan sayuran dan buah2an
5. Diet rendah lemak yang bersaturasi
6. Minum air secukupnya
7. Minum alcohol dala jumlah terbatas
8. Kurangi asupan garam
9. Batasi asupan gula
10. Stop merokok
Dengan gaya hidup seperti diatas maka dapat mengurangi insidensi
stroke dan dementia.
disarankan : :
Gaya hidup sehat meliputi melakukan olah raga teratur, konsumsi
alcohol secukupnya, stop merokok, mengkonsumsi banyak buah,
sayur, kacang-kacagan, minyak zaitun (misal : DASH - dietary
Approach to Stop hypertension). Didisarankan :kan sebagai
pencegahan primer demensia
(Grade A Level 1+)
IDENTIFIKASI DINI DEMENSIA
Proses patologis demensia terjadi beberapa tahun sebelum
gambaran klinis menjadi jelas. Fase transisi gangguan kognisi antara
proses penuaan normal dan awal Demensia Alzheimer (DA) dikenal
sebagai mild cognitive impairment (MCI).
Kriteria diagnosa kondisi pra-demensia MCI meliputi adanya
keluhan memori subjektif, terutama yang dikemukakan oleh
keluarga, disertai dengan hasil pemeriksaan kognisi yang abnormal
sesuai dengan usia dan tingkat pendidikan. Defisit tidak boleh atau
hanya sedikit mempengaruhi fungsi intelektual global dan
kemampuan dalam melakukan aktivitas hidup keseharian. Pasien
tidak boleh menunjukkan bukti mengalami demensia. Klasifikasi
MCI sekarang diperluas meliputi domain kognitif lain seperti fungsi
eksekutif dan bahasa, sehingga memungkinkan adanya pembagian
MCI non amnestik atau amnestik domain tunggal dan mutipel.
Meta analisis menunjukkan sekitar 10% pasien dengan MCI
berkembang menjadi demensia per tahunnya. (Level I,good)44 MCI
amnestik domain tunggal dapat merupakan stadium pre demensia
dari Alzheimer sedangkan MCI multi domain dapat merupakan
prekursor baik untuk DA maupun DV. MCI non amnestik domain
tunggal dapat ditemukan pada fase prodromal dari DFT, DV, DLB
atau kelainan depresi.
Identifikasi dini DA telah melibatkan pemeriksaan biomarka cairan
otak dan neuroimaging untuk mempelajari stadium pre-demensia
DA (MCI) dan stadium preklinik DA. Kriteria diagnostik NINCDS-
ADRDA menggolongkan MCI sebagai berikut: MCI due to Alzheimer
disease with high likelihood bila pada subjek MCI ditemukan bukti
amiloidosis serebral berupa positif PET sken amiloid dan/atau
penurunan amiloid-ß42 dan bukti cidera neuronal berupa
peningkatan kadar protein tau in cairan otak atau hipometabolisme
pada PET sken atau atrofi pada MRI kepala. MCI due to Alzheimer
disease with intermediate likelihood bila salah satu bukti amiloidosis
serebral atau cidera neuronal tidak dilakukan. MCI possibly due to
Alzheimer disease bila kedua bukti amiloidosis serebral maupun
cidera neuronal tidak dilakukan atau hasilnya bertentangan dan MCI
unlikely due to Alzheimer disease bila kedua bukti pemeriksaan
amiloidosis serebral dan cidera neuronal memberi hasil
negatif.
Pemakaian biomarka juga telah diterapkan dalam riset
stadium preklinik DA. Kelompok peneliti Reisa Sperling
menggolongkan stadium pre-klinik DA dengan tiga tingkatan.
Tingkat 1 (asymptomatic cerebral amyloidosis/ACA) bila pada
individu asimptomatik ditemukan tanda amiloidosis serebral (positif
PET amiloid dan atau penurunan kadar amiloid ß42 cairan otak)
tanpa bukti cidera neuronal; tingkat 2 (ACA+evidence of neuronal
injury (NI): bila subjek asimptomatik ditemukan amiloidosis serebral
(+) dan cidera neuronal (peningkatan kadar protein tau cairan otak
atau hipometabolisme pada PET atau atrofi pada MRI kepala);
Tingkat 3 (ACA + NI + subtle cognitive decline): bila subjek
memperlihatkan gejala kognisi sangat dini dan ditemukan bukti
amiloidosis serebral dan atau bukti cidera neuronal (pre-MCI).
Sampai saat ini belum ada studi yang mendiskusikan keuntungan
identifikasi dini demensia. Panduan Guideline NICE menyatakan
ada beberapa bukti bahwa pengenalan dini dan terapi aktif
pada saat penurunan tajam fungsi kognisi akan menunda kebutuhan
akan perawatan di rumah perawatan dan mengurangi risiko
kesalahan diagnosa serta penanganan yang tidak tepat. (Level I,
good)7
diagnosa DAN SKRINING
. SKRINING
Individu yang harus dievaluasi untuk demensia adalah individu
dengan keluhan kognitif yang progresif atau dengan perilaku yang
sugestif suatu demensia serta pasien yang walaupun belum memiliki
keluhan subjektif, tetapi pengasuh atau dokter mencurigainya
sebagai suatu gangguan kognitif. (Grade C, Level 2+)
Saat ini sudah ada bukti yang cukup untuk skrining orang dengan
demensia pada usia lanjut. Atas dasar itu US Preventive Services
Task Force (USPSTF) dan UK National Institute for Heatlh and Clinical
and Health Excellence (NICE) medisarankan :kan untuk menskrining
demensia pada populasi.48
Evaluasi demensia terutama ditujukan pada orang dengan
kecurigaan gangguan kognitif yaitu dalam keadaan sebagi berikut:
Subjek dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik
yang dilaporkan oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang
lainnya
Gejala pikun yang progresif.49
Subjek yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan
pemeriksaan oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun
subjek tidak mengeluhkan adanya keluhan kognitif atau
memori
Subjek yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat
keluarga dengan demensia)
. PENILAIAN DEMENSIA
Penilaian demensia harus dilakukan melalui evaluasi yang
komprehensif. Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk
diagnosa dini demensia, penilaian komplikasi dan penegakan
pemicu demensia.(GPP)
diagnosa DEMENSIA
Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosa harus
dibuat berdasar kriteria DSM-IV untuk demensia dengan
anamnesis yang didapatkan dari sumber yang terpercaya. Hal ini
harus didukung oleh penilaian objektif melalui bedside cognitive
tests dan/atau penilaian neuropsikologis. (Derajat B, Tingkat 2++)
. PENDEKATAN SUBJEKTIF
Pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders- IV
(DSM-IV) sering digunakan sebagai gold standar untuk diagnosa
klinis dementia.50,51,52 Kriteria ini termasuk adanya gangguan
memori dan tidak adanya salah 1 dari gangguan kognitif seperti
afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif.
. PEMERIKSAAN DI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT I
PENAPISAN KOGNISI RUTIN
Deteksi dini gangguan kognisi pada jumlah lanjut usia yang berisiko
mengalami gangguan kognisi disertai terapi pada tahap dini
demensia adalah penting. Namun, hingga saat ini masih belum
cukup data yang mendukung penapisan rutin pada pelayanan
kesehatan tingkat I. (Level 1++) 7
Pada dua buah studi longitudinal terhadap keluhan memori
subjektif, ditemukan adanya hubungan dengan insidensi demensia
(OR= 2.2, 95% CI 1.2 - 4.0, p=0.008) pada sebuah kohort dengan
masa pemantauan rata-rata 2,4 tahun. Namun keluhan memori
subjektif memiliki nilai prediksi yang rendah (negative predictive
value (NPV) 81.6%). (Level 2)
ada kelainan patologi Alzheimer yang lebih banyak pada
mereka yang memiliki keluhan memori yang lebih tinggi (plak
amiloid, p=0.01 dan protein tau, p<0.001), yang tidak dapat
dijelaskan oleh depresi ataupun penyakit lain. (Level II-2++)
disarankan :
Penapisan rutin untuk demensia di pelayanan kesehatan tingkat I
tidak didisarankan :kan.
(Grade A)
Penapisan terhadap mereka dengan keluhan memori subjektif
didisarankan :kan.
(Grade B)
Klinisi harus mencurigai adanya demensia bila pasien memiliki
keluhan memori subjektif.
(Grade C)
INSTRUMEN PENAPISAN
Mini Mental State Examination (MMSE) telah didisarankan :kan
karena penerimaan dan penggunaannya yang luas. MMSE memiliki
cut off 23/24, dengan sensitivitas 78.7%, spesifisitas92.2%, Positive
Predictive value (PPV) 94.1% dan NPV 75%. (Level 3)55
Karena sebagian besar klinisi memiliki waktu yang terbatas, ada
banyak alat penapisan yang praktis untuk digunakan di pelayanan
kesehatan tingkat 1. (Level 2++)
AD8 adalah tes penapisan praktis berupa 8 pertanyaan yang
ditujukan kepada keluarga pasien mencakup aspek kognisi dan
fungsional dapat digunakan sebagai tes skrining sebelum dimulai
pemeriksaan status mental lainnya. Studi validasi multinasional di
Amerika, Hongkong, Taiwan, Cina, menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas yang baik. Di Indonesia AD8 adaptasi Indonesia (AD8-
INA) dengan cut off point > 2 untuk demensia memiliki sensitivitas
89,5% dan spesifisitas 94,7 %, PPV 85% dan NPV
Mengkombinasikan tes wawancara keluarga dengan tes kognisi
meningkatkan akurasi prediksi demensia dibandingkan bila masing-
masing tes dilakukan sendiri. ( Level 3, good)
Versi pendek dari geriatric depression scale (GDS) memiliki
efektifitas yang sama dengan versi panjang dalam penapisan depresi
pada lanjut usia. (Level 3)
disarankan :
AD8 dapat digunakan sebelum melanjutkan dengan penapisan yang
lebih detil.
(Grade C)
Alat yang lebih sesuai dapat digunakan untuk penapisan yang lebih
detil seperti MMSE dan GDS-4.
(Grade C)
RUJUKAN PASIEN DEMENSIA KE PELAYANAN KESEHATAN
SEKUNDER
Pasien dengan demensia perlu dirujuk ke dokter spesialis (klinik
memori) sesudah penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer.
Dua buah guideline medisarankan :kan beberapa kasus demensia
perlu dirujuk untuk keperluan diagnosa , terapi dan penanganan
khusus. (Level III, fair) 64, (Level III, fair )
disarankan :
Semua pasien yang dicurigai demensia harus dirujuk ke spesialis
(neurolog, psikiatrik, geriatrik) atau klinik memori untuk
memperoleh penanganan yang komprehensif.
(Grade C)
PEMERIKSAAN DEMENSIA PADA PELAYANAN KESEHATAN
TINGKAT II
Pemeriksaan klinis yang komprehensif meliputi ketiga domain
kognisi, perilaku dan fungsi diperlukan pada mereka yang dicurigai
demensia, dengan tujuan membuat diagnosa dini, mengakses
komplikasi dan menentukan pemicu demensia.
ANAMNESIS
Anamnesis meliputi onset gejala, perjalanan penyakit, pola
gangguan kognisi, serta keberadaan dan pola gejala non kognisi.
Riwayat penyakit dari informan yang dapat dipercaya sangat
diperlukan. (Level I, good)
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan neurologis sangat diperlukan dalam diagnosa
PEMERIKSAAN KOGNISI SEDERHANA
Pemeriksaan status mental harus terlebih dulu dilakukan sebelum
melakukan pemeriksaan fungsi kognisi. Ada banyak tes fungsi
kognitif singkat yang dapat digunakan untuk mengukur gangguan
kognisi.
a. MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) (FOLSTEIN)
Merupakan tes fungsi kognisi yang paling sering digunakan. Skor
MMSE dan nilai cut off dipengaruhi beberapa faktor seperti tingkat
pendidikan, usia dan etnis. Beberapa komponen MMSE dapat lebih
diandalkan untuk mengarahkan diagnosa daripada skor total. Nilai
cut off untuk MMSE harus disesuaikan menurut tingkat pendidikan.
Nilai cut off 27 memberi sensitivitas 0.9, spesitifitas 0.9, PPV 0.8,
NPV 0.9. Nilai cut off 28 (sensitivitas 0.78, spesifisitas 0.8, PPV 0.6,
NPV 0.9) pada subjek dengan tingkat pendidikan lebih tinggi
memberi akurasi diagnostik yang lebih tinggi, baik pada subjek
dengan kognisi intak maupun terganggu di etnis Kaukasia yang
memakai bahasa Inggris. (Level III, fair)67
Nilai area under the curve (AUC) MMSE berkisar antara 0.9 sampai
1.0, mengindikasikan akurasi yang baik dalam mengidentifikasi
demensia pada populasi dengan beragam usia dan tingkat
pendidikan. (Level III, good)
b. CLOCK DRAWING TEST
Clock drawing test (CDT) merupakan instrumen penapisan demensia
yang dapat diandalkan namun dipengaruhi usia, jenis kelamin dan
edukasi. (Level III, good)
Pada subjek usia lanjut dengan tingkat pendidikan kurang dari 4
tahun kurang valid untuk dijadikan alat penapisan demensia. (Level
III, good)
Tes ini dapat dilakukan dengan cara menggambar mengikuti
perintah atau meniru gambar yang ada. Kedua cara ini menunjukkan
AUC-Receiver Operating Characteristic (ROC) yang tinggi yaitu 84%
dan 85% secara berurutan. (Level III, good) l
Tes ini memiliki akurasi yang cukup baik dalam membedakan DFT
dari DA dan subjek normal, dapat mengidentifikasi 88,9% kasus DFT
dan 76% kasus DA dengan prediksi akurasi 83,6%. (Level III, good)
c. MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT (NASREDDIN)
Tes Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan tes
penapisan yang sederhana yang lebih baik dalam mengidentifikasi
MCI (Sn 90%, Sp 87%) dan awal DA (Sn 100%; Sp 87%) dibandingkan
dengan MMSE (MCI (Sn 18%) dan DA (Sn 78%)). (Level II-2, good)
MoCA juga cukup sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien
dengan Penyakit Parkinson (PP). (Level III, fair) 73
Nilai cut off untuk MCI adalah 26/27, pada populasi di negara Barat
dengan pendidikan minimal 12 tahun. Angka ini harus divalidasi
sesuai latar belakang pendidikan subjek, seperti yang didapatkan di
Korea bahwa akurasi yang lebih baik didapatkan pada nilai cut off
yang lebih rendah (22/23; Sn 89% dan 98% untuk MCI dan DA secara
berurutan, dengan Sp 84%). (Level III; good)
Nilai normal MoCA INA sudah pernah diteliti di Universitas
Indonesia, dan ternyata hasilnya dipengaruhi oleh usia, tingkat
pendidikan dan jenis kelamin. Sebaiknya tes ini dipakai pada mereka
dengan pendidikan > 6 tahun. Median nilai MoCA INA untuk tingkat
oendidikan >6 tahun berkisar antara 22 – 27. Maka untuk
penggunaan praktis sebaiknya dipakai cut off 24. Bila nilai kurang
dari 24 dianggap ada gangguan.
PEMERIKSAAN DEMENTIA DI PELAYANAN KESEHATAN
TINGKAT III
Klinik memori merupakan sarana yang penting dalam memperbaiki
identifikasi, investigasi dan penanganan kelainan memori, termasuk
demensia. Semua klinik memori dapat memfasilitasi rujukan dari
dokter umum, spesialis lain, pada saat awal gangguan muncul, serta
untuk menghindari stigma yang terkait dengan pelayanan psikiatrik.
(Level III, good)
NICE Guideline dan the European Dementia Consensus Network
medisarankan :kan klnik memori untuk memberi pelayanan
multi disipliner baik spesialis, perawat, staff terpadu dan pekerja
sosial untuk dapat menegakkan diagnosa serta memberi
penanganan yang cepat dan akurat. (Level I, good) 7, (Level III, fair)
Model alternatif adalah praktik berbasis pelayanan kesehatan
primer dengan input spesialis, untuk memperluas jangkauan serta
meningkatkan penerimaan masyarakat. (Level III)
Tim multidisipliner terdiri dari :
Tim inti :
Klinisi : neurolog / psikiatrik /
geriatrik
Petugas medis
Psikolog
Perawat
Terapis okupasional
Fisioterapis
Anggota tambahan :
Dokter umum
Perawat home care / komunitas
Petugas gizi
Pekerja sosial
Terapis bicara
Farmasi
Perwakilan kelompok Alzheimer
lokal
disarankan :
Klinik memori dengan tim multidisipliner sebaiknya dibuat pada
pelayanan kesehatan sekunder dan tersier.
(Grade C)
TES NEUROPSIKOLOGI
Pada kasus-kasus gangguan kognisi yang meragukan, perlu
dilakukan pemeriksaan yang komprehensif, dengan memakai
tes neuropsikologi spesifik. Tes yang dilakukan mungkin
memerlukan 2-3 jam meliputi aspek memori, intelegensi, kecepatan
psikomotor, pemrosesan informasi, atensi dan konsentrasi, serta
fungsi eksekutif.
Tes neuropsikologis juga penting dalam menentukan subtipe
demensia seperti DA, DFT, DLB dan DV. Tes ini juga dapat
membedakan subtipe demensia dengan depresi.
disarankan :
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neuropsikologi tetap
merupakan komponen yang penting dalam mendiagnosa demensia
(Grade C)
Pada tingkat sekunder / tersier, tes kognisi yang lengkap dapat
dilakukan meliputi MMSE, CDT serta MoCA.
(Grade C)
Bila diagnosa demensia masih belum bisa ditegakkan maka
diperlukan tes neuropsikologis.
(Grade C)
Semua tes perlu divalidasi sesuai bahasa, budaya, dan tingkat
pendidikan yang ada di populasi.
(Grade C)
PENILAIAN GANGGUAN FUNGSIONAL
Gangguan fungsional dapat dinilai berdasar aktivitas hidup
keseharian / activities of daily living (ADL), baik aktivitas dasar/ basic
activities of daily living (BADL), maupun instrumental ADL (IADL).
Keduanya menggambarkan kemampuan untuk hidup mandiri di
masyarakat.
Kesulitan dalam aktivitas sehari-hari bersifat progresif pada
demensia, melibatkan IADL lebih berat dibandingkan BADL.
ada banyak skala yang dapat menilai ADL secara subjektif oleh
pasien maupun secara objektif oleh keluarga pasien. Subtipe
demensia yang berbeda dapat menunjukkan gangguan yang
berbeda dalam ADL. Pasien dengan DA mengalami lebih sedikit
gangguan dalam ADL bila dibandingkan dengan DFT atau DLB.
Pasien dengan MCI menunjukkan melambatnya performa dalam
mengerjakan tugas serta gangguan fungsional secara klinis.
disarankan :
Semua pasien demensia perlu dinilai secara rutin dalam hal aktivitas
sehari-hari.
(Grade C)
PENILAIAN GEJALA GANGGUAN PERILAKU DAN PSIKOLOGIS /
BEHAVIOUR AND PSYCHOLOGICAL SYMPTOMS OF DEMENTIA
(BPSD)
Perubahan perilaku sering didapatkan pada sebagian besar pasien
demensia, semakin sering didapatkan seiring dengan progresivitas
demensia. Behaviour and Psychological Symptoms of Dementia
(BPSD) atau gejala neuropsikiatrik seperti depresi, ansietas, agitas,
paranoid, halusinasi dan gangguan tidur; didapatkan pada 90%
pasien DA.84,85,86 Agresi dan agitasi didaptkan pada 30-50% pasien demensia.
Salah satu skala yang dapat digunakan untuk menilainya adalah
Neuropsychiatric Inventory (NPI).
Guideline NICE dan SIGN menganjurkan semua pasien demensia
untuk menjalani pemeriksaan depresi karena prevalensinya yang
tinggi. (Level I, good) 7, (Level I, good)
disarankan :
Masalah perilaku pada pasien demensia harus dinilai secara rutin
dan dinilai secara kualitatif bila memungkinkan. Instrumen yang
disarankan meliputi NPI, BPRS dan BEHAVE-AD.
(Grade C)
Semua pasien demensia harus menjalani pemeriksaan depresi.
(Grade A)
diagnosa dan beratnya depresi pada demnsia dapat dinilai dengan
memakai skala seperti Geriatric Depression.
(Grade C)
. KRITERIA diagnosa DEMENSIA DAN SUBTIPE DEMENSIA
Kriteria diagnosa demensia, subtipe demensia yang
didisarankan :kan oleh EFNS-ENS Guidelines untuk diagnosa dan
penatalaksanaan demensia 2012 dirangkum dalam tabel berikut.
PROGRESI DAN DERAJAT DEMENSIA
Beberapa tes dapat digunakan sebegai penanda beratnya penyakit
juga dapat memonitor respon pasien terhadap terapi. Instrumen
yang digunakan meliputi MMSE, Global Deterioration Scale (GDS)105,
dan Clinical Dementia Rating (CDR).
disarankan :
Clinical Dementia Rating Scale dan Global Deterioration Scale dapat
digunakan, dan keduanya cukup sensitif untuk MCI dan awal
demensia.
(Grade C)
Bila diagnosa definitif demensia sudah ditegakkan, beberapa skala
seperti MMSE, Global deterioration scale, CDR, dan Functional
Assessment Staging dapat dikerjakan untuk menentukan
progresifitas.
(Grade C)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK KOMORBIDITAS
Pemeriksaan komorbiditas harus dilakukan mengingat komorbiditas
sering didapatkan pada lanjut usia. Kondisi ini dapat memicu
gangguan kognisi namun dapat membaik bila diobati, contohnya
hipertiroidisme dan defisiensi vitamin B12.
Tes dasar yang harus dilakukan saat pemeriksaan awal meliputi
Tes hematologi rutin (Hb, Hematokrit, Leukosit, Trombosit,
Hitung jenis, LED)
Tes biokimia (elektrolit, glukosa, fungsi renal dan hepar)
Tes fungsi tiroid
Kadar serum vitamin B 12 dan folat
NICE7 Level III
Guideline SIGN tidak medisarankan :kan pemeriksaan darah yang
spesifik sehingga mengindikasikan bahwa tes-tes ini harus
dipilih berdasar anamnesis dan kondisi klinis. The Royal College
of Psychiatrists di United Kingdom medisarankan :kan pemeriksaan
fungsi tiroid dilakukan pada pasien yang dicurigai demensia.
Penapisan rutin untuk sifilis tidak perlu dilakukan.7,66 Guideline
Singapura menyatakan tes untuk sifilis sebaiknya dilakukan bila
secara klinis didapatkan gejala neurosifilis.
disarankan :
Tes hematologi rutin perlu dilakukan pada paasien yang dicurigai
demensia
(Grade C)
Tes darah spesifik (contoh : sifilis) hany dilakukan atas dasar klinis
sesudah dilakukan anamnesis dan sesuai kondisi klinis.
(Grade C)
NEUROIMAGING
STRUCTURAL NEUROIMAGING
Meliputi computed tomography (CT Scan) dan magnetic resonance
imaging (MRI) yang dapat mengidentifikasi pemicu demensia non
neurodegeneratif yang berpotensi untuk diterapi. berdasar
disarankan : guideline NICE dan SIGN, peran neuroimaging
struktural adalah untuk menyingkirkan kemungkinan patologi
intraserebral dan membantu menentukan subtipe demensia. MRI
serial dapat mengidentifikasi perubahan di otak sebelum awitan
klinis demensia. Meski bukan untuk diagnostik, scan serial dapat
membantu penilaian klinis. (Level I, good) 7, (Level I, good)
Atropi lobus temporal medial yang terlihat pada MRI / CT
membantu membedakan DA dengan kontrol dan tipe lain demensia.
(Level I, good)
Pada studi potong silang, lesi pada white matter / white matter
lesion (WML) dinilai pada seluruh serebrum dan lobus frontal
meningkat secara signifikan pada DV dibandingkan pada kontrol
normal, MCI dan DA (p<0.001) meski telah melakukan koreksi untuk
usia dan performa kognisi. Kombinasi tes neuropsikologi dan
neuroimaging dapat menguntungkan dalam deteksi dini demensia
dan MCI. (Level III, good)
Perubahan di hipokampus dan / atau korteks entorhinal dapat
membedakan MCI yang berkembang menjadi DA dan yang tidak
berkembang menjadi DA. Pengukuran hipokampus pada imaging
dapat membedakan DA (termasuk tahap awal) terhadap kontrol
dengan tingkat overlap <6%. (Level I, good)
Suatu studi (n=64) menunjukkan bahwa pasien DA memiliki korteks
yang lebih tipis (p < 0.001) di daerah parietal bilateral dan regio
precuneus dibanding pada pasien DFT. Pada DA, gangguan kognisi
memiliki korelasi negatif dengan tebal korteks di lobus frontal,
parietal dan temporal; korelasi demikian tidak didapatkan pada DFT.
(level III, poor)
disarankan :
Neuroimaging struktural seperti CT scan dan MRI kepala harus
dilakukan bila memungkinkan dalam evaluasi demensia untuk
menyingkirkan patologi intrakranial.
(Grade A)
MRI merupakan modalitas pilihan untuk membantu diagnosa awal
dan mendeteksi perubahan vaskular subkortikal.
(Grade C)
FUNCTIONAL IMAGING
Functional neuroimaging meliputi functional MRI, magnetic
resonance spectroscopy (MRS), positron emission tomography (PET),
single photon emission computed tomography (SPECT).
Ligan spesifik seperti Pittsburgh Compound B (PIB) dapat digunakan
dengan PET, sebagai marker amyloid. Penggunaan marker ini
hingga saat ini masih terbatas untuk tujuan riset . Functional
imaging berguna dalam deteksi dini demensia, memprediksi
perubahan dari MCI menjadi demensia serta dalam membedakan
subtipe demensia.
a. SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY
(SPECT)
SPECT dapat digunakan untuk membedakan DA, DV dan DFT bila
diagnosa meragukan. SPECT imaging, iodine-123-radiolabelled 2ß-
carbomethoxy-3ß-(4-iodophenyl)-N-(3-fluoropropyl) nortropane (FP-
CIT) SPECT dapat berguna bila diagnosa masih meragukan antara
DPP dan DLB.
Sebuah review sistematik mempelajari akurasi perfusi
hexamethylpropyleneamineoxime (HMPAO) SPECT dan 2(18F)
fluoro-2-deoxy D-glucose PET (FDG PET) menunjukkan sensitivitas
(Sn) 77.1% dan spesifisitas (Sp) 89% dalam membedakan DA dengan
kontrol normal, Sn 71% dan Sp 76% dalam membedakan DA dari DV,
dan Sn 71% dan Sp 78% dalam membedakan DA dari DFT. Bila
membandingkan kriteria klinis (dengan konfirmasi patologi) dengan
SPECT, kriteria klinis untuk DA lebih sensitif daripada SPECT (81%
dibanding 74%). Meski demikian SPECT memberi spesifisitas
lebih tinggi terhadap tipe demensia lain lebih baik daripada kriteria
klinis(91% dibanding 70%). (Level I, good) 7
b. POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY (PET)
Fluoro-2-deoxy D-glucose (FDG-PET) memiliki sensitivitas 90% dan
spesifisitas 70% pada studi verifikasi patologi. Pemeriksaan ini
memiliki superioritas daripada SPECT dalam mendeteksi DA. (Level I,
good)
Pola PET spesifik yang sudah distandarisasi dapat mengklasifikasikan
DA (95%), DLB (92%), DFT (94%) dan normal (94%). Pada MCI bisa
didapatkan hipometabolisme di cingulate posterior dan
hipokampus. Sebuah pola DA pada PET ditemukan pada 79% pasien
MCI dengan defisit pada domain kognitif multipel dan 31% MCI
amnestik. MCI dengan defisit non memori menunjukkan pola mulai
dari hilangnya hipometabolisme hingga pola PET untuk DFT dan DLB.
(Level III, good)
Pada studi kohort selama 8 tahun terhadap populasi lanjut usia
memakai FDG-PET, tingkat metabolisme basal glukosa di
hipokampus / glucose metabolic rates (MRglc) dapat memprediksi
penurunan dari normal menjadi DA dengan akurasi 81%, dari normal
menjadi demensia tipe lain dengan akurasi 77%, dan dari normal
menjadi MCI dengan akurasi 71%. Penurunan yang lebih tinggi dari
MRglc di kortikal dan hipkkampus ditemukan pada mereka yang
mengalami progresivitas dari MCI ke DA. (Level II-2, good)
c. BIOMARKA NEUROIMAGING
PET dengan memakai radioligand yang berikatan langsung
dengan plak β-amyloid, seperti Pittsburgh Compound-B (PIB), dapat
dilakukan. Ikatan PIB ke otak berkorelasi dengan kadar total
Aβ.
Sebuah studi poting silang memakai 11-C PIB-PET,
menunjukkan korelasi antara deposisi beta amyloid dengan
gangguan memori serta dengan mereka yang didiagnosa DA.
Analisis regresi linear multipel menunjukkan peningkatan
pengikatan PIB terkait dengan diagnosa DA (β: 0.6, p < 0.001).
Didapatkan juga hubungan terbalik antara memori episodik dengan
ikatan PIB pada MCI amnestik (r -0.6, p<0.001). (Level II-2, fair)
disarankan :
Functional imaging dan marker neuroimaging tidak
didisarankan :kan secara rutin dalam mendiagnosa demensia.
(Grade C)
ELEKTROENSEFALOGRAFI
Peran Electroencephalogram (EEG) dalam mendiagnosa demensia
masih terbatas. (Level I, good) 7, (Level I, good)66
Temuan elektrofisiologis tipikal yang berhubungan dengan
mioklonus di PA serupa dengan yang ditemukan pada cortical reflex
myoclonus dengan adanya negatifitas kontralateral, fokal pada EEG
sebelum terjadinya mioklonus.
Penggunaan EEG dapat dipertimbangkan bila ada kecurigaan adanya
kejang, Creutzfeldt-Jakob disease (CJD) atau pada delirium. (Level I,
good)109 EEG pada CJD sporadik memiliki sensitivitas 65% dan
spesifisitas 86%. (Level I, good)
disarankan :
Penggunaan EEG hanya untuk kasus-kasus tertentu di mana ada
kecurigaan kejang, Creutzfeldt-Jakob disease atau delirium.
(Grade A)
BIOMARKA
Biomarka menjadi penting untuk diagnosa dini, untuk mengukur
patologi yang terjadi, penanda prognosis untuk mereka yang
berisiko serta memonitor terapi obat.117 Biomarka dapat dideteksi di
otak (cairan serebrospinal (CSS) atau neuroimaging reseptor
amyloid), darah, atau kombinasi keduanya.
Biomarka dari sistem saraf pusat (SSP) antara lain β-amyloid1-42, β-
amyloid1-40, total tau, dan hyperphosphorylated tau (p-tau) dari
CSS. Pada pasien DA didapatkan penurunan kadar β-amyloid dan
peningkatan kadar tau CSS.
BIOMARKA CSS
Biomarka CSS (Aβ, tau dan ptau) sangat sensitif dan spesifik dalam
membedakan DA dari proses penuaan normal (Sn 92%, Sp 89%),
depresi, namun menunjukkan sensitivitas yang lebih rendah dalam
membedakan subtipe demensia seperti DFT, DLB dan DV. Telah
terbukti bahwa ditemukannya protein 14-3-3 di CSS merupakan
bukti adanya CJD sporadik, dengan sensitivitas dan spesifisitas di
atas 90%. (Level I, good) 7, (Level I, good)
Rasio tau/Aβ 42 lebih baik dibandingkan dengan rasio ptau/Aβ42
(AUC tau/Aβ 42=0.8 dibanding AUC ptau/AβB42=0.7) dalam
memprediksi MCI dan awal DA. Pasien dengan DA ringan
menunjukkan biomarker CSS yang sama dengan DA yang berat.
(Level II-2, fair)
Pada studi potong silang yang membandingkan biomarker CSS
dengan profil kognisi pada pasien DA, tingkat Aβ42, tau dan ptau di
CSS ternyata mempengaruhi beratnya demensia seperti yang
ditunjukkan oleh gangguan memori, kecepatan proses mental dan
fungsi eksekutif pada pasien DA. (Level III, fair)
. BIOMARKA PLASMA
a. BIOMARKA Aβ
Individu dengan peningkatan kadar Aβ42 di plasma memiliki
peningkatan risiko terkena DA (OR 2.8, 95% CI 1.6 - 5.1). Kadar Aβ40
dan Aβ42 plasma, dan bukan rasio Aβ42/Aβ40, ternyata berkaitan
dengan usia pada mereka yang tidak demensia. (Aβ40 = r 0.2, p
<0.001; Aβ42= r 0.2, p <0.001; dan rasio Aβ 42/Aβ 40 = 0.1,p
<0.037). Oleh karena itu, rasio Aβ42/Aβ40 tidak berguna sebagai
biomarker DA. (Level II-2, good)
Pada studi kohort dengan massa follow up 10 tahun (n= 593), rasio
Aβ42/Aβ40 di plasma menunjukkan bukti adanya asosiasi dengan
konversi menjadi MCI atau DA (RR 3.1, 95%CI 1.1 - 8.3). Tingkat
konversi 5% selama 4 tahun (95%CI 3% - 8%); 11% pada 6 tahun
(95%CI 7% - 14%); 18% pada 8 tahun (95%CI 12% - 24%) dan 30%
pada 10 tahun. (Level II-2, fair)
b. BIOMARKA GENETIK DAN LIPOPROTEIN PLASMA
Pada Prospective Study of Pravastatin in the Elderly at Risk
(PROSPER) (n=5804) ditemukan bahwa subjek dengan APOE ε4
terkait dengan penurunan kognisi yang lebih cepat, yang dapat
diukur sebagai memori. Didapatkan 2.5x lipat perbedaan insidensi
demensia pada grup APOE ε4+. Grup APOE ε4+ memiliki kadar
kolesterol total plasma yang lebih tinggi (p<0.001), kadar LDL-C lebih
tinggi (p< 0.001), kadar HDL-C lebih rendah (p<0.001), dan kadar
trigliserida plasma lebih tinggi (p<0.001) dibandingkan dengan grup
APOE ε4-. Meski demikian, pengaruh kadar lipid terhadap
penurunan kognisi masih belum terbukti secara meyakinkan. (Level
II-2, fair)
Apolipoprotein E (APOE) bukan hanya faktor risiko DA, tapi juga
untuk DLB. Mereka dengan alel APOE ε4 serta kadar kolesterol yang
tinggi memiliki risiko 4x lipat untuk mengalami DA pada heterozigot
dan 16x lipat pada homozigot. Alel APOE ε4 juga menunjukkan
pengaruh pada DLB terlepas dari apakah kadar kolesterol tinggi atau
normal. (Level II-2, good)124 DPP tidak terkait dengan polimorfisme
APOE ataupun dengan profil kolesterol plasma. (Level II-2, fair)
disarankan :
Biomarka CSS dan marker plasma tidak didisarankan :kan dalam
mendiagnosa MCI atau demensia.
(Grade C)
Biomarka CSS tidak didisarankan :kan dalam menentukan
progresifitas MCI menjadi demensia.
(Grade C)
Penggunaan marker genetik, APOE dengan ataupun tanpa lipid
plasma, tidak didisarankan :kan untuk dilakukan secara rutin, dan
hanya dilakukan untuk percobaan klinis.
(Grade C)
INTERVENSI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologi harus sejalan dengan intervensi spikososial untuk
memperbaiki kognisi, fungsi dan perilaku. Hanya spesialis yang
menangani demensia (neurolog, psikiater, geriatrik) yang boleh
memulai terapi. (Level I, good)
sesudah terapi dimulai, pasien harus dinilai secara berkala setiap 6
bulan. Pemeriksaan kognisi, fungsi secara global dan perilaku harus
dilakukan berkala. Penilaian keluarga terhadap kondisi pasien baik
saat sebelum mulai terapi dan saat follow up harus diperhatikan.
(Level I, good)
disarankan :
Hanya spesialis yang menangani demensia (psikiater, neurolog,
geriatrik) boleh memulai terapi.
(Grade C)
Keluarga harus dilibatkan dalam penanganan pasien sejak awal.
(Grade C)
PENGUAT KOGNISI
Penguat kognisi bekerja melalui 2 cara yang berbeda. Kolinesterase
Inhibitor (AChEI) bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin di
otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik.
Mekanisme lain adalah dengan stimulasi terus-menerus pada
reseptor NMDA.
Kolinesterase Inhibitor didisarankan :kan untuk demensia ringan
hingga sedang. Hanya donepezil yang disetujui untuk demensia
berat. Memantin, sebuah antagonis reseptor NMDA disetujui untuk
demensia sedang hingga berat
Menurut NICE technology appraisal 2006, meski AChEI
didisarankan :kan untuk mereka dengan DA ringan hingga sedang,
sebaiknya jangan bergantung pada MMSE dalam memutuskan
memulai terapi.(Level I, good)
PENYAKIT ALZHEIMER
a. PENYAKIT ALZHEIMER RINGAN - SEDANG
DONEPEZIL
Donepezil bermanfaat dalam terapi penurunan kognisi pada pasien
DA, berdasar pada 13 RCT dan 2 buah review sistematik. (Level I,
good)
Donepezil 10 mg lebih efektif dibandingkan dengan Donepezil 5 mg
dan plasebo dalam hal perubahan dari dasar pada Alzheimer disease
Assessment Scale-Cognition (ADAS-Cog).
memakai skor MMSE, perubahan dari dasar lebih baik pada
Donepezil 10 mg dibandingkan plasebo. (Level I, good) Pada RCT
lain, Donepezil memperbaiki skor MMSE 0,8 poin dibandingkan
plasebo (95% CI 0.5 to 1.2, p < 0.0001). (Level I, good)
RIVASTIGMIN
Bukti dari 3 buah review sistematik, 4 buah RCT (n=1940),
rivastigmine bermanfaat untuk DA pada dosis lebih tinggi (6–12
mg/hari). (Level I, good)
Meta analisis dari 2 buah RCT (durasi 26 minggu) menunjukkan
perbedaan signifikan untuk rivastigmine 6-12 mg/hari dibandingkan
plasebo dengan memakai ADAS-cog. (Level I, good)
The Investigation of transderm
Related Posts:
demensia 1 Level of evidence 1++ MA kualitas tinggi, telaah sitematik dari RCT atau RCT dengan risiko bias sangat rendah 1+ MA kualitas baik, telaah sistematik dari RCT, atau RCT dengan risik… Read More