Jumat, 26 Januari 2024

demensia 1

  
 
 
 







Level of evidence 
1++ MA kualitas tinggi, telaah sitematik dari RCT atau RCT dengan risiko bias 
sangat rendah 
1+ MA kualitas baik, telaah sistematik dari RCT, atau RCT dengan risiko bias 
rendah 
1 MA, telaah sistematik dari RCT, atau RCT dengan risiko bias tinggi  
2++ Telaah sistematik kualitas tinggi studi kasus kelola atau kohort 
Studi kasus kelola atau kohort kualtias tinggi dengan risiko  bias yang 
sangat rendah dan probabilitas tinggi adanya hubungan kausatif  
2+ Studi kasus kelola atau kohort kualitas baik dengan risiko rendah adanya 
bias dan probabilitas sedang adanya hubungan kausatif  
2 Studi kasus kelola atau kohort kualitas baik dengan risiko tinggi adanya 
bias dan risiko signifikan bahwa hubungan bukan kausatif  
3 Studi non-analitis, seperti laporan kasus, serial kasus 
4 Pendapat ahli 
Keterangan : (MA) Meta analisis, RCT (randomised controlled trial) 
 
GRADE 
Tingkat disarankan : dibuat  berdasar  kuatnya tingkat bukti dan 
tidak mencerminkan kepentingan klinis dari disarankan : 
A Paling sedikit satu MA, telaah sistematik dari RCT, atau RCT setingkat 1++ 
dan dapat diaplikasikan langsung ke populasi target; atau sejumlah besar 
bukti yang terdiri dari studi setingkat 1+, dapat diaplikasikan langsung ke 
populasi target, dan keseluruhan memperlihatkan hasil konsisten  
B Sejumlah besar bukti yang terdiri dari studi setingkat 2++, dapat 
diaplikasikan langsung ke populasi target, dan keseluruhan 
memperlihatkan hasil konsisten atau ekstrapolasi bukti dari studi 
setingkat 1++ atau 1+ 
C Sejumlah besar bukti yang terdiri dari studi setingkat 2+, dapat 
diaplikasikan langsung ke populasi target, dan keseluruhan 
memperlihatkan hasil konsisten atau ekstrapolasi bukti dari studi 
setingkat 2++  
D Bukti tingkat 3 atau 4; atau ekstrapolasi bukti dari studi setingkat 2+  
 
GOOD PRACTICE POINT  
GPP Tindakan (praktik) terbaik yang didisarankan :kan berdasar  
pengalaman klinis dari kelompok penyusun panduan 
SUMBER : The Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). 

Demensia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. 
Diperkirakan ada  sebanyak orang dengan demensia di 
Indonesia pada tahun 2020.  Demesia Alzheimer dan  demensia 
vaskuler adalah dua jenis demensia tersering ditemukan. Masa 
perawatan demensia yang panjang memicu  beban kesehatan 
dan sosioekonomi yang berat kepada pasien, keluarga, masyarakat 
dan negara secara keseluruhan. diagnosa  dini sangat penting karena 
memungkinkan pemilihan terapi farmakologi dan non-farmakologis 
yang tepat bagi orang dengan demensia dan menghindari 
pemeriksaan yang tidak berguna.  Disamping perawatan terhadap 
pasien demensia, usaha  meringankan beban pengasuh dan 
penerapan aspek medikolegal harus menjadi prinsip 
penatalaksanaan demensia.  
 
Sebuah panduan praktik sangat penting untuk perawatan optimal 
demensia. Saya dengan bangga mempersembahkan panduan 
nasional praktik klinik demensia edisi pertama. Kelompok Studi 
Neurobehavior PERDOSSI telah melakukan telaah literatur terkini 
dalam medisarankan : penatalaksaan farmakologis dan non-
farmakologis untuk orang dan pengasuh demensia.  Panduan ini juga 
memuat medisarankan :kan penanganan stadium pre-demensia 
yaitu mild cognitive impairment, demensia awitan dini.  



FAKTOR RISIKO DAN PREVENSI DEMENSIA 
 
Tes genetik tidak perlu dilakukan rutin dalam evaluasi 
secara klinik pasien dementia. Pemeriksaan gen APOE tidak 
didisarankan :kan dalam diagnosa  demensia. 
(Grade B, level 2++) 
 
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan 
kognisi perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak 
untuk mendeteksi  adanya silent infarct, microbleed atau 
white matter lesion. 
(Grade B, level 2++) 
 
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak 
didisarankan :kan untuk pencegahan dalam pengobatan 
pasien dengan demensia yang bukan disebabkan karena 
defisiensi vitamin B12. 
(Grade A, level 1++) 
 
Terapi statin tidak didisarankan :kan untuk prevensi atau 
rutin diberikan pada pasien Alzheimer. 
(Grade A, level 1++) 
 
Gaya hidup sehat meliputi melakukan olah raga teratur, 
konsumsi alcohol secukupnya, stop merokok, 
mengkonsumsi banyak buah, sayur, kacang-kacagan, 
minyak zaitun (misal : DASH - dietary Approach to Stop 
hypertension). Didisarankan :kan sebagai pencegahan 
primer demensia. 
(Grade A Level 1+) 
 
 
Penapisan rutin untuk demensia di pelayanan kesehatan 
tingkat I (primer) tidak didisarankan :kan. 
(Grade A) 
 
Penapisan terhadap mereka dengan keluhan memori 
subjektif didisarankan :kan. 
(Grade B) 
 
Klinisi harus mencurigai adanya demensia bila pasien 
memiliki keluhan memori subjektif. 
(Grade C) 
 
AD8 dapat digunakan sebelum melanjutkan dengan 
penapisan yang lebih detil. 
(Grade C) 
 
Alat yang lebih sesuai dapat digunakan untuk penapisan 
yang lebih detil seperti MMSE dan GDS-4. 
(Grade C) 
 
Semua pasien yang dicurigai demensia harus dirujuk ke 
spesialis (neurolog, psikiatrik, geriatrik) untuk memperoleh 
penanganan yang komprehensif. 
(Grade C) 
 
Klinik memori dengan tim multidisipliner sebaiknya dibuat 
pada pelayanan kesehatan tersier. 
(Grade C) 
 
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan 
neuropsikologi tetap merupakan komponen yang penting 
dalam mendiagnosa  demensia. 
(Grade C) 
 
 
Pada tingkat II (sekunder), tes kognisi yang lengkap dapat 
dilakukan meliputi MMSE, CDT serta MoCA. 
(Grade C) 
  
Bila diagnosa  demensia masih belum bisa ditegakkan maka 
diperlukan tes neuropsikologis di pelayanan tingkat III 
(tersier) 
 (Grade C) 
 
Semua tes perlu divalidasi sesuai bahasa, budaya, dan 
tingkat pendidikan yang ada di populasi. 
 (Grade C) 
 
Semua pasien demensia perlu dinilai secara rutin dalam hal 
aktivitas sehari-hari.
 (Grade C) 
 
Masalah perilaku pada pasien demensia harus dinilai 
secara rutin dan dinilai secara kualitatif bila 
memungkinkan. Instrumen yang disarankan meliputi NPI. 
(Grade C) 
 
Semua pasien demensia harus menjalani pemeriksaan 
depresi. 
(Grade A) 
 
diagnosa  dan beratnya depresi pada demensia dapat 
dinilai dengan memakai  skala seperti Geriatric 
Depression. 
 
(Grade C) 
 
 
Clinical Dementia Rating Scale dan Global Deterioration 
Scale dapat digunakan, dan keduanya cukup sensitif untuk 
MCI dan awal demensia.
(Grade C) 
 
Bila diagnosa  definitif demensia sudah ditegakkan, 
beberapa skala seperti MMSE, Global deterioration scale 
dan CDR dapat dikerjakan untuk menentukan progresifitas. 
(Grade C) 
 
Tes hematologi rutin perlu dilakukan pada pasien yang 
dicurigai demensia 
(Grade C) 
 
Tes darah spesifik (contoh: sifilis) hanya dilakukan atas 
dasar klinis sesudah  dilakukan anamnesis dan sesuai kondisi 
klinis. 
(Grade C) 
 
Neuroimaging struktural seperti CT scan dan MRI kepala 
harus dilakukan bila memungkinkan dalam evaluasi 
demensia untuk menyingkirkan patologi intrakranial. 
(Grade A) 
 
MRI merupakan modalitas pilihan untuk membantu 
diagnosa  awal dan mendeteksi perubahan vaskular 
subkortikal. 
(Grade C) 
 
Functional imaging dan marker neuroimaging tidak 
didisarankan :kan secara rutin dalam mendiagnosa  
demensia. 
(Grade C) 
 
Penggunaan EEG hanya untuk kasus-kasus tertentu di 
mana ada kecurigaan kejang, Creutzfeldt-Jakob disease 
atau delirium. 
(Grade A) 
 
Biomarker CSS dan marker plasma tidak didisarankan :kan 
dalam mendiagnosa  MCI atau demensia. 
(Grade C) 
 
Biomarker CSS tidak didisarankan :kan dalam menentukan 
progresifitas MCI menjadi demensia. 
(Grade C) 
 
Penggunaan marker genetik, APOE dengan ataupun tanpa 
lipid plasma, tidak didisarankan :kan untuk dilakukan 
secara rutin, dan hanya dilakukan untuk percobaan klinis. 
(Grade C) 
 
INTERVENSI FARMAKOLOGIS 
 
Hanya spesialis yang menangani demensia (neurolog, 
psikiater, geriatrik) boleh memulai terapi. 
(Grade C) 
 
Keluarga harus dilibatkan dalam penanganan pasien sejak 
awal. 
(Grade C) 
 
Inhibitor kolinesterase  (donepezil, rivastigmin dan 
galantamin) bermanfaat dalam memperbaiki fungsi kognisi 
pasien AD ringan – sedang. 
(Grade A) 
 
Pasien dalam terapi penguat kognisi harus dinilai sedikitnya 
1 kali dalam 6 bulan dengan memakai  ukuran 
psikometrik (misalnya MMSE atau pengukur serupa untuk 
fungsional dan perilaku). 
(Grade C) 
 
Donepezil dan memantin cukup efektif dalam memperbaiki 
fungsi kognisi pasien dengan AD sedang – berat.  
(Grade A) 
 
Galantamine merupakan alternatif pada AD berat. 
(Grade B) 
 
Pasien dalam terapi penguat kognisi harus dinilai sedikitnya 
1 kali dalam 6 bulan dengan memakai  ukuran 
psikometrik (contoh MMSE atau pengukur serupa untuk 
fungsional dan perilaku).  
(Grade C)  
 
Inhibitor Kolinesterase dapat diberikan pada pasien-pasien 
dengan demensia vaskular dengan pengawasan klinisi. 
(Grade A) 
 
Pasien dengan demensia vaskular serta faktor risiko 
vaskular harus diterapi dengan obat-obat yang 
didisarankan :kan untuk mengobati kelainan-kelainan 
ini . 
(Grade C) 
 
Rivastigmine dapat dipertimbangkan dalam memperbaiki 
kognisi pada Demensia Lewy Body. 
(Grade A) 
 
Rivastigmine harus digunakan dengan hati-hati pada pasien 
dengan Demensia Parkinson. 
(Grade A) 

 
Inhibitor kolinesterase tidak didisarankan :kan untuk 
terapi demensia frontotemporal.  
(Grade A) 
 
Memantin tidak didisarankan :kan untuk terapi Demensia 
Frontotemporal. 
(Grade C) 
 
Inhibitor kolinesterase tidak didisarankan :kan untuk 
pasien mild cognitive impairment (MCI). 
 (Grade A) 
 
Antipsikotik sebaiknya tidak digunakan secara rutin untuk 
mengobati pasien demensia dengan agresi dan psikosis. 
(Grade A) 
 
Bila diindikasikan, sebaiknya pertimbangkan pemberian 
antipsikotik atipikal. 
(Grade A) 
 
Keluarga harus diberitahu tentang efek samping yang 
mungkin timbul sebelum memulai terapi. 
(Grade C) 
 
Pasien harus diperiksa berkala dan antipsikosis harus 
dihentikan secepatnya sesudah  gejala mereda. 
(Grade C) 
 
Inhibitor kolinesterase  atau memantin dapat digunakan 
dalam terapi perilaku dan gejala psikologis demensia. 
(Grade B) 
 

Rivastigmine dapat digunakan untuk terapi perilaku dan 
gejala psikologis pasien Demensia Lewy Body.
 (Grade A) 
 
Antidepresan tidak efektif dalam Behavioural and 
Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) pada 
Demensia Frontotemporal. 
(Grade B) 
 
Antidepresan (terutama golongan Selective Serotonin 
Reuptake Inhibitor) dapat digunakan untuk terapi episode 
depresi demensia. 
 (Grade A) 
 
Mood stabilisers tidak didisarankan :kan untuk 
penanganan gangguan mood pada demensia. 
(Grade B) 
 
Penambahan memantin terhadap obat golongan inhibitor 
kolinesterase pada penderita demensia sedang sampai 
berat, mungkin bermanfaat 
 (Grade A) 
 
Pemberian kombinasi golongan inhibitor kolinesterase 
dengan SSRI tidak memberi  manfaat tambahan  
(Grade B) 
 
Kombinasi golongan inhibitor kolinesterase dengan vitamin 
supplemen tidak memberi  manfaat tambahan 
(Grade B) 
 
Kombinasi obat golongan inhibitor kolinesterase dengan 
intervensi non-farmakologi pada penderita demensia, 
mungkin bermanfaat 
 (Grade B) 
 

Ekstrak Ginkgo Biloba EGb761 240mgr/hari dapat 
dipertimbangkan sebagai opsi terapi simptomatis 
demensia apabila terapi  inhibitor kolinesterase atau 
memantin tidak memberi  efek terapi atau  intoleran 
terhadap efek sampingnya. 
(Grade B) 
 
Omega -3 sebaiknya tidak dipakai dalam terapi demensia. 
(Grade A) 
 
 
Vitamin E tidak didisarankan :kan dalam terapi demensia 
dan mild cognitive impairment. 
(Grade A) 
 
INTERVENSI NON FARMAKOLOGI 
 
Orang dengan demensia (ODD) perlu melibatkan diri dalam 
kegiatan yang berarti. 
(Grade C) 
 
Kombinasi intervensi yang dapat meningkatkan 
komunikasi, mobilitas, dan kognisi didisarankan :kan 
untuk memfasilitasi kemandirian pasien demensia.  
(Grade  B) 
 
Aktivitas harus bersifat individual dan disesuaikan dengan 
memaksimalkan kemampuan yang tersisa dari pasien. 
(Grade  A) 
 
Intervensi perlu diintegrasikan dengan menargetkan 
kebutuhan kompleks seseorang, dengan 
mempertimbangkan pengasuh dan lingkungan. 
 (Grade A) 
 
Stimulasi kognitif (baik Terapi Orientasi Realitas maupun 
Terapi Reminiscence) dapat digunakan untuk meningkatkan 
fungsi kognitif pada pasien dengan demensia ringan hingga 
sedang. 
 (Grade B) 
 
Intervensi psikosial harus disesuaikan dengan kebutuhan 
individu, preferensi, keterampilan, dan kemampuan orang 
dengan demensia. 
 (Grade A) 
 
Intervensi psikosial tertentu, seperti musik dan program 
kegiatan fisik dapat bermanfaat dalam mengelola gejala 
gangguan perilaku dan psikososial pada demensia.  
(Grade A) 
 
Stimulasi multisensorik tidak efektif terhadap pasien 
demensia dengan gejala gangguan perilaku dan psikososial, 
dan mungkin berbahaya pada pasien agitasi/gelisah. 
(Grade A) 
 
ada  bukti yang cukup untuk medisarankan :kan 
terapi pijat dan aromaterapi. 
(Grade A) 
 
ada  bukti yang cukup untuk medisarankan :kan 
terapi cahaya terang pada pasien demensia yang 
mengalami gangguan tidur atau gangguan perilaku dan 
psikologis. 
 (GradeA) 
 
Terapi perilaku kognitif dapat digunakan untuk mengobati 
depresi pada demensia dini. 
(Grade B) 
 

 
Terapi reminiscence dapat digunakan pada pasien dengan 
depresi dan kecemasan. 
(Grade B) 
 
Modifikasi lingkungan bermanfaat namun perlu 
diindividualisasi sesuai kebutuhan  dan derajat gangguan. 
(Grade B) 
 
Intervensi pengasuh bersifat multikomponen dan 
sebaiknya sesuai kebutuhan spesifik ODD  dan 
pendampingnya. 
(Grade A) 
 
Intervensi edukasi harus diberikan untuk ODD dan 
pendampingnya.
(Grade A) 
 
ISU HUKUM DAN ETIKA 
 
Proses pengungkapan diagnosa  seyogyanya dilaksanakan 
dengan sepantasnya dalam situasi yang sesuai. 
(GPP) 
 
sesudah  pengungkapan ke pada ODD, hendaknya diberikan 
dukungan terhadap ODD dan pengasuhnya. 
(GPP) 
 
Selagi ODD masih mampu, pertimbangan untuk membuat  
pernyataan/keputusan terkait pengobatan hendaknya 
dipikirkan. 
(GPP) 
 
ODD yang masih memiliki  kapasitas/ mampu 
mengambil keputusan, dianjurkan membuat / menunjuk 
perwalian. 
(GPP) 



. EPIDEMIOLOGI 
 
Peningkatan pelayanan kesehatan abad sekarang yang disertai 
dengan peningkatan standar hidup, telah meningkatkan umur 
harapan hidup  di negara maju dan negara berkembang. Perubahan 
demografis ini merupakan tantangan terhadap sistem pelayanan 
kesehatan yang ada, terutama menyangkut peningkatan jumlah 
orang dengan demensia.  
 
Konsensus Delphi mempublikasikan bahwa ada  peningkatan 
prevelansi demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi 
sebelumnya.1 Diperkirakan ada  35,6 juta orang dengan 
demensia pada tahun 2010 dengan peningkatan dua kali lipat setiap 
20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan 115,4 juta di tahun 
2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia diperkirakan 
meningkat dari 2,48 juta di tahun 2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 
2030.  
 
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (laki-
laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 
menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga 
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun 
ke depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 
2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 
65 tahun ke atas akan meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada 
tahun 2035.2  
 
Belum ada data riset  nasional mengenai prevalensi demensia 
di Indonesia. Namun demikian Indonesia dengan populasi lansia 
yang semakin meningkat, akan ditemukan  kasus demensia yang 
banyak. Demensia Vaskuler (DV) diperkirakan cukup tinggi di negeri 
ini, data dari Indonesia Stroke Registry 2013 dilaporkan bahwa 60,59 
% pasien stroke mengalami gangguan kognisi saat pulang perawat 
dari rumah sakit.  Tingginya prevalensi stroke usia muda dan faktor risiko stroke seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskuler 
mendukung asumsi di atas.3  
 
.  GAMBARAN KLINIS UMUM  
 
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding 
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial 
dan profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, 
biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan 
oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor.  
 
diagnosa  klinis demensia ditegakkan berdasar  riwayat 
neurobehavior, pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan 
kognisi.  Pemeriksaan biomarka spesifik dari likuor serebrospinalis 
untuk penyakit neurodegeneratif hanya untuk riset  dan belum 
disarankan dipakai secara umum di praktik klinik.  
 
Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu 
gangguan kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri 
dari gangguan memori terutama kemampuan belajar materi baru 
yang sering merupakan keluhan paling dini. Memori lama bisa 
terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami 
disorientasi di sekitar rumah atau lingkungan yang relatif baru. 
Kemampuan membuat keputusan dan pengertian diri tentang 
penyakit juga sering ditemukan.  
 
Keluhan non-kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok 
behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD).  
Komponen perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan non-
agresif seperti wandering, disihibisi, sundowning syndrome dan 
gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi, gangguan tidur dan 
gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan motorik 
berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya 
dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus. 
 
 
 
SUBTIPE DEMENSIA 
 .  PENYAKIT ALZHEIMER  
 
Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit 
neurodegeneratif yang tersering ditemukan (60-80%).4 Karateristik 
klinik berupa berupa penurunan progresif memori episodik dan 
fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada 
tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam 
aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik 
mendukung diagnosa  penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama 
lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih 
muda. diagnosa  klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian 
besar kasus (90%) walaupun diagnosa  pasti tetap membutuhkan 
biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-
amiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle 
(hypertphosphorylated protein tau). Saat ini ada  
kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging 
(MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan 
protein tau) untuk menambah akurasi diagnosa .   
 
DEMENSIA VASKULER   
Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang 
memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan 
sampai demensia yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler.5 
Penuntun praktik klinik ini hanya fokus pada demensia vaskuler 
(DV).   
 
DV adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas 
termasuk infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal 
iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan 
hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi 
vaskuler).6 Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan 
kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga 
memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor risiko untuk 
terjadinya DV.7 CADASIL (cerebral autosomal dominant arteriopathy 

 
with subcortical infarcts and leucoensefalopathy), adalah bentuk 
small vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas white matter 
dan stroke lakuner yang bersifat herediter.  
  
. DEMENSIA LEWY BODY  DAN DEMENSIA PENYAKIT 
PARKINSON 
 
Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering 
ditemukan.  Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui 
kriteria demensia ini.8,9 Gejala inti demensia ini berupa demensia 
dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang nyata (vivid) dan 
terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. 
Gejala yang mendukung diagnosa  berupa kejadian jatuh berulang 
dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau 
halusinasi modalitas lain yang sistematik. Juga ada  tumpang 
tindih temuan patologi antara DLB dan PA.10 Namun secara klinis 
orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif 
dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik 
jika dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal. 
 
Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang 
juga sering ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat 
dibanding populasi umum (3-4%). Secara klinis, sulit membedakan 
antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan demensia dan Parkinsonism 
harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan 
fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 
tahun).
 
. DEMENSIA FRONTOTEMPORAL  
 
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari 
Demensia Lobus Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda 
(early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata 
usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis berupa perburukan 
progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat 
penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun 
pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan 
simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual, 
hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa 
gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan 
neuropsikologi. 
 
Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau 
anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism 
pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik 
(DS) dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran 
disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya. 
Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing adalah 
40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT. 
 
. DEMENSIA TIPE CAMPURAN 
 
Koeksistensi patologi vaskuler pada PA sering terjadi. Dilaporkan 
sekitar 24-28% orang dengan PA dari klinik demensia yang 
diotopsi.12 Pada umumnya pasien demensia tipe campuran ini lebih 
tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi Penyakit 
Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan PA dan 50% orang 
dengan DLB memiliki patologi PA.13,14 
 
. diagnosa  BANDING DEMENSIA 
 
Walaupun delirium dan demensia dapat terjadi bersamaan, dalam 
praktik klinis demensia harus dibedakan dari delirium dan depresi. 
 

 
. FAKTOR RISIKO DAN PREVENSI DEMENSIA 
 
Tindakan preventif harus dikerjakan karena diperkirakan bahwa 
menunda awitan demensia selama lima tahun dapat menurunkan 
setengah dari inisiden demensia. Oleh sebab itu perlu pengetahuan 
tentang faktor risiko dan bukti yang telah ada.  
 
. FAKTOR RISIKO YANG TIDAK DAPAT DIMODIFIKASI 
 
Usia, jenis kelamin, genetik dan riwayat penyakit keluarga, 
disabilitas intelektual dan Sindrom Down adalah faktor risiko tidak 
dapat dimodifikasi.  
 
. USIA 
 
Risiko terjadinya PA meningkat secara nyata dengan meningkatnya 
usia, meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun pada individu diatas 65 
tahun dan 50% individu diatas 85 tahun mengalami demensia.16,17  
Dalam studi populasi, usia diatas 65 tahun risiko untuk semua 
demensia adalah OR=1,1 dan untuk PA OR=1,2.18 
 
.  JENIS KELAMIN  
 
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa PA lebih tinggi pada 
wanita dibanding pria.19 Angka harapan hidup yang lebih tinggi dan 
tingginya prevalensi PA pada wanita yang tua dan sangat tua 
dibanding pria.20 Risiko untuk semua jenis demensia dan PA untuk 
wanita adalah OR=1,7 dan OR=2.0. Kejadian DV lebih tinggi pada 
pria secara umum walaupun menjadi seimbang pada wanita yang 
lebih tua. 
 
.  RIWAYAT KELUARGA DAN FAKTOR GENETIK  
 
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early onset Alzheimer 
Disease/EOAD) terjadi sebelum usia 60 tahun, kelompok ini 
menyumbang 6-7% dari kasus PA. Sekitar 13% dari EOAD ini 
memperlihatkan transmisi otosomal dominan. Tiga mutasi gen yang 
teridentifkasi untuk kelompok ini adalah amiloid ß protein precursor 
(AßPP) pada kromosom 21 ditemukan pada 10-15% kasus, 
presenelin 1 (PS1)  pada kromosom 14 ditemukan pada 30-70% 
kasus dan presenilin 2 (PS) pada kromosom 1 ditemukan kurang dari 
5% kasus.
Sampai saat ini tidak ada mutasi genetik tunggal yang teridentifikasi 
untuk PA Awitan Lambat. (Level III, fair)2 Diduga faktor genetik dan 
lingkungan saling berpengaruh. Di antara semua faktor genetik, gen 
Apolipoprotein E yang paling banyak diteliti. Telaah sistematik studi 
populasi menerangkan bahwa APOE e4 signifikan meningkatkan 
risiko demensia PA teruma pada wanita dan populasi antara 55-65 
tahun, pengaruh ini berkurang pada usia yang lebih tua. (Level III, 
good)1  
 
Sampai saat ini tidak ada studi yang menyebutkan perlunya tes 
genetik untuk pasien demensia atau keluarganya.  Apabila dicurigai 
autosomal dominan, maka tes dapat dilakukan hanya sesudah  
dengan informed consent yang jelas atau untuk keperluan 
riset . 
 
disarankan : : 
 
Tes genetik tidak perlu dilakukan rutin dalam evaluasi secara klinik 
pasien dementia. Pemeriksaan gen APOE tidak didisarankan :kan 
dalam diagnosa  demensia  
(Grade B, level 2++) 
 
 
.  FAKTOR RISIKO YANG  DAPAT DIMODIFIKASI 
 
 FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER 
 
Berbagi studi kohort dan tinjauan sistematis menunjukkan bahwa 
faktor resiko vaskular berkontribusi terhadap meningkatnya resiko 
DV dan PA. Secara khusus, hipertensi usia pertengahan (R.R 1,24-
2,8), hiperkolesterolemia pada usia pertengahan (R.R 1,4-3.1), 
 
diabetes melitus (R.R 1.39-1.47) dan stroke semuanya telah terbukti 
berhubungan dengan peningkatan resiko kejadian dementia. 
 
A. HIPERTENSI 
 
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi, 
maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk 
mendeteksi  adanya silent infarct, microbleed atau white matter 
lesion., 
 
disarankan :  
 
Pasien dengan hipertensi yang disertai dengan penurunan kognisi, 
maka perlu dilakukan pemeriksaan CT scan/MRI otak untuk 
mendeteksi  adanya silent infarct, microbleed atau white matter 
lesion 
(Grade B level 2++) 
 
 
B. ASAM FOLAT DAN VITAMIN B 
 
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak didisarankan :kan untuk 
pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia yang 
bukan disebabkan karena defisiensi vit B12. 
 
disarankan : : 
 
Suplemen asam Folat dan vitamin B tidak didisarankan :kan untuk 
pencegahan dalam pengobatan pasien dengan demensia yang 
bukan disebabkan karena defisiensi vit B12. 
(Grade A level 1++) 
 
 
 
 
C. STATIN 
 
Terapi statin tidak didisarankan :kan untuk prevensi atau rutin 
diberikan pada PA.22 
 
disarankan : : 
 
Terapi statin tidak didisarankan :kan untuk prevensi atau rutin 
diberikan pada pasien Alzheimer  
(Grade A, level 1++) 
 
 
  PERUBAHAN GAYA HIDUP 
 
Beberapa Nasehat untuk seseorang usia senja 1-21: 
1. Menikamati makanan yang bervariasi  
2. Berusaha tetap aktif untuk mempertahankan kekuatan otot dan berat badan  
3. Menyediakan makanan yang sehat serta menyimpan dengan benar 
4. Banyak makan sayuran dan buah2an  
5. Diet rendah lemak yang bersaturasi 
6. Minum air secukupnya 
7. Minum alcohol dala jumlah terbatas 
8. Kurangi asupan garam 
9. Batasi asupan gula 
10. Stop merokok 
 
 
Dengan gaya hidup seperti diatas maka dapat mengurangi insidensi 
stroke dan dementia.
 
disarankan : : 
 
Gaya hidup sehat meliputi melakukan olah raga teratur, konsumsi 
alcohol secukupnya, stop merokok, mengkonsumsi banyak buah, 
sayur, kacang-kacagan, minyak zaitun (misal : DASH - dietary 
Approach to Stop hypertension). Didisarankan :kan sebagai 
pencegahan primer demensia  
(Grade A Level 1+) 
 
 IDENTIFIKASI DINI DEMENSIA 
 
Proses patologis demensia terjadi beberapa tahun sebelum 
gambaran klinis menjadi jelas. Fase transisi gangguan kognisi antara 
proses penuaan normal dan awal Demensia Alzheimer (DA) dikenal 
sebagai  mild cognitive impairment (MCI). 
 
Kriteria diagnosa  kondisi pra-demensia MCI meliputi adanya 
keluhan memori subjektif, terutama yang dikemukakan oleh 
keluarga, disertai dengan hasil pemeriksaan kognisi yang abnormal 
sesuai dengan usia dan tingkat pendidikan.  Defisit tidak boleh atau 
hanya sedikit mempengaruhi fungsi intelektual global dan 
kemampuan dalam melakukan aktivitas hidup keseharian. Pasien 
tidak boleh menunjukkan bukti mengalami demensia. Klasifikasi 
MCI sekarang diperluas meliputi domain kognitif lain seperti fungsi 
eksekutif dan bahasa, sehingga memungkinkan adanya pembagian 
MCI non amnestik atau amnestik domain tunggal dan mutipel.  
 
Meta analisis menunjukkan sekitar 10% pasien dengan MCI 
berkembang menjadi demensia per tahunnya. (Level I,good)44 MCI 
amnestik domain tunggal dapat merupakan stadium pre demensia 
dari Alzheimer sedangkan MCI multi domain dapat merupakan 
prekursor baik untuk DA maupun DV. MCI non amnestik domain 
tunggal dapat ditemukan pada fase prodromal dari DFT, DV, DLB 
atau kelainan depresi.
 
Identifikasi dini DA telah melibatkan pemeriksaan  biomarka cairan 
otak dan neuroimaging untuk mempelajari stadium pre-demensia 
DA (MCI) dan stadium preklinik DA. Kriteria diagnostik NINCDS-
ADRDA menggolongkan MCI sebagai berikut: MCI due to Alzheimer 
disease with high likelihood bila pada subjek MCI ditemukan bukti 
amiloidosis serebral berupa positif PET sken amiloid dan/atau 
penurunan amiloid-ß42 dan bukti cidera neuronal berupa 
peningkatan kadar protein tau in cairan otak atau hipometabolisme 
pada PET sken atau atrofi  pada MRI kepala. MCI due to Alzheimer 
disease with intermediate likelihood bila salah satu bukti amiloidosis 
serebral atau cidera neuronal tidak dilakukan. MCI possibly due to 
Alzheimer disease bila kedua bukti amiloidosis serebral maupun 
cidera neuronal tidak dilakukan atau hasilnya bertentangan dan MCI 
unlikely due to Alzheimer disease bila kedua bukti pemeriksaan 
amiloidosis serebral dan cidera neuronal  memberi  hasil 
negatif.
Pemakaian biomarka juga telah diterapkan dalam riset  
stadium preklinik DA.  Kelompok peneliti  Reisa Sperling 
menggolongkan stadium pre-klinik DA dengan tiga tingkatan. 
Tingkat 1 (asymptomatic cerebral amyloidosis/ACA) bila pada 
individu asimptomatik ditemukan tanda amiloidosis serebral (positif 
PET amiloid dan atau penurunan kadar amiloid ß42 cairan otak) 
tanpa bukti cidera neuronal; tingkat 2 (ACA+evidence of neuronal 
injury (NI): bila subjek asimptomatik ditemukan amiloidosis serebral 
(+) dan cidera neuronal (peningkatan kadar protein tau cairan otak 
atau hipometabolisme pada PET atau atrofi pada MRI kepala); 
Tingkat 3 (ACA + NI + subtle cognitive decline): bila subjek 
memperlihatkan gejala kognisi sangat dini dan  ditemukan bukti 
amiloidosis serebral dan atau bukti cidera neuronal (pre-MCI).
Sampai saat ini belum ada studi yang mendiskusikan keuntungan 
identifikasi dini demensia. Panduan Guideline NICE menyatakan 
ada  beberapa bukti bahwa pengenalan dini dan terapi aktif 
pada saat penurunan tajam fungsi kognisi akan menunda kebutuhan 
akan perawatan di rumah perawatan dan mengurangi risiko 
kesalahan diagnosa  serta penanganan yang tidak tepat. (Level I, 
good)7 
 
diagnosa  DAN SKRINING 
 
. SKRINING 
 
Individu yang harus dievaluasi untuk demensia adalah individu 
dengan keluhan kognitif yang progresif atau dengan perilaku yang 
sugestif suatu demensia serta pasien yang walaupun belum memiliki 
keluhan subjektif, tetapi pengasuh atau dokter mencurigainya 
sebagai suatu gangguan kognitif. (Grade C, Level 2+) 
 
Saat ini sudah ada bukti yang cukup untuk skrining orang dengan 
demensia pada usia lanjut. Atas dasar itu US Preventive Services 
Task Force (USPSTF) dan UK National Institute for Heatlh and Clinical 
and Health Excellence (NICE) medisarankan :kan untuk menskrining 
demensia pada populasi.48 
 
Evaluasi demensia terutama ditujukan pada orang dengan 
kecurigaan gangguan kognitif yaitu dalam keadaan sebagi berikut: 
  Subjek dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik 
yang dilaporkan oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang 
lainnya 
  Gejala pikun yang progresif.49 
  Subjek yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan 
pemeriksaan oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun 
subjek tidak mengeluhkan adanya keluhan kognitif atau 
memori 
  Subjek yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat 
keluarga dengan demensia) 
 
. PENILAIAN DEMENSIA 
 
Penilaian demensia harus dilakukan melalui evaluasi yang 
komprehensif. Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk 
diagnosa  dini demensia, penilaian komplikasi dan penegakan 
pemicu  demensia.(GPP) 
 
 diagnosa  DEMENSIA  
 
Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosa  harus 
dibuat berdasar  kriteria DSM-IV untuk demensia dengan 
anamnesis yang didapatkan dari sumber yang terpercaya. Hal ini 
harus didukung oleh penilaian objektif melalui bedside cognitive 
tests dan/atau penilaian neuropsikologis. (Derajat B, Tingkat 2++) 
 
. PENDEKATAN SUBJEKTIF 
 
Pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders- IV 
(DSM-IV) sering digunakan sebagai gold standar untuk diagnosa  
klinis dementia.50,51,52 Kriteria ini termasuk adanya gangguan 
memori dan tidak adanya salah 1 dari gangguan kognitif seperti  
afasia, apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif. 
 

. PEMERIKSAAN DI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT I 
 
 PENAPISAN KOGNISI RUTIN 
 
Deteksi dini gangguan kognisi pada jumlah lanjut usia yang berisiko 
mengalami gangguan kognisi disertai terapi pada tahap dini 
demensia adalah penting. Namun, hingga saat ini masih belum 
cukup data yang mendukung penapisan rutin pada pelayanan 
kesehatan tingkat I. (Level 1++) 7 
Pada dua buah studi longitudinal terhadap keluhan memori 
subjektif, ditemukan adanya hubungan dengan insidensi demensia  
(OR= 2.2, 95% CI 1.2 - 4.0, p=0.008) pada sebuah kohort dengan 
masa pemantauan rata-rata 2,4 tahun. Namun keluhan memori 
subjektif memiliki nilai prediksi yang rendah (negative predictive 
value (NPV) 81.6%). (Level 2)  
ada  kelainan patologi Alzheimer yang lebih banyak pada 
mereka yang memiliki keluhan memori yang lebih tinggi (plak 
amiloid, p=0.01 dan protein tau, p<0.001), yang tidak dapat 
dijelaskan oleh depresi ataupun penyakit lain. (Level II-2++)
 
 
disarankan : 
 
Penapisan rutin untuk demensia di pelayanan kesehatan tingkat I 
tidak didisarankan :kan.  
(Grade A) 
 
Penapisan terhadap mereka dengan keluhan memori subjektif 
didisarankan :kan.  
(Grade B) 
 
Klinisi harus mencurigai adanya demensia bila pasien memiliki 
keluhan memori subjektif.  
(Grade C) 
 
 
 INSTRUMEN PENAPISAN 
 
Mini Mental State Examination (MMSE) telah didisarankan :kan 
karena penerimaan dan penggunaannya yang luas. MMSE memiliki 
cut off 23/24, dengan sensitivitas 78.7%, spesifisitas92.2%, Positive 
Predictive value (PPV) 94.1% dan NPV 75%. (Level 3)55 
 
Karena sebagian besar klinisi memiliki waktu yang terbatas, ada 
banyak alat penapisan yang praktis untuk digunakan di pelayanan 
 
 
kesehatan tingkat 1. (Level 2++)   
 
AD8 adalah tes penapisan praktis berupa 8 pertanyaan yang 
ditujukan kepada keluarga pasien mencakup aspek kognisi dan 
fungsional dapat digunakan sebagai tes skrining sebelum dimulai 
pemeriksaan status mental lainnya. Studi validasi multinasional di 
Amerika, Hongkong, Taiwan, Cina, menunjukkan sensitivitas dan 
spesifisitas yang baik. Di Indonesia AD8 adaptasi Indonesia (AD8-
INA) dengan cut off point > 2 untuk demensia memiliki sensitivitas 
89,5% dan spesifisitas 94,7 %, PPV 85% dan NPV 
Mengkombinasikan tes wawancara keluarga dengan tes kognisi 
meningkatkan akurasi prediksi demensia dibandingkan bila masing-
masing tes dilakukan sendiri. ( Level 3, good)  
 
Versi pendek dari geriatric depression scale (GDS) memiliki 
efektifitas yang sama dengan versi panjang dalam penapisan depresi 
pada lanjut usia. (Level 3) 
 
disarankan : 
 
AD8 dapat digunakan sebelum melanjutkan dengan penapisan yang 
lebih detil.  
(Grade C) 
 
Alat yang lebih sesuai dapat digunakan untuk penapisan yang lebih 
detil seperti MMSE dan GDS-4.  
(Grade C) 
 
 
 RUJUKAN PASIEN DEMENSIA KE PELAYANAN KESEHATAN 
SEKUNDER 
 
Pasien dengan demensia perlu dirujuk ke dokter spesialis (klinik 
memori) sesudah  penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer. 
Dua buah guideline medisarankan :kan beberapa kasus demensia 
perlu dirujuk untuk keperluan diagnosa , terapi dan penanganan 
 
 
khusus. (Level III, fair) 64, (Level III, fair )
disarankan : 
 
Semua pasien yang dicurigai demensia harus dirujuk ke spesialis 
(neurolog, psikiatrik, geriatrik) atau klinik memori untuk 
memperoleh penanganan yang komprehensif.  
(Grade C) 
 
 
 PEMERIKSAAN DEMENSIA PADA PELAYANAN KESEHATAN 
TINGKAT II 
 
Pemeriksaan klinis yang komprehensif meliputi ketiga domain 
kognisi, perilaku dan fungsi diperlukan pada mereka yang dicurigai 
demensia, dengan tujuan membuat diagnosa  dini, mengakses 
komplikasi dan menentukan pemicu  demensia.  
 
 
 ANAMNESIS 
 
Anamnesis meliputi onset gejala, perjalanan penyakit,  pola 
gangguan kognisi, serta keberadaan dan pola gejala non kognisi. 
Riwayat penyakit dari informan yang dapat dipercaya sangat 
diperlukan. (Level I, good) 
 
 PEMERIKSAAN FISIK 
 
Pemeriksaan neurologis sangat diperlukan dalam diagnosa  
 
 PEMERIKSAAN KOGNISI SEDERHANA 
 
Pemeriksaan status mental harus terlebih dulu dilakukan sebelum 
melakukan pemeriksaan fungsi kognisi. Ada banyak tes fungsi 
kognitif singkat yang dapat digunakan untuk mengukur gangguan 
kognisi.  
 
a. MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) (FOLSTEIN) 
 
Merupakan tes fungsi kognisi yang paling sering digunakan. Skor 
MMSE dan nilai cut off dipengaruhi beberapa faktor seperti tingkat 
pendidikan, usia dan etnis. Beberapa komponen MMSE dapat lebih 
diandalkan untuk mengarahkan diagnosa  daripada skor total. Nilai 
cut off untuk MMSE harus disesuaikan menurut tingkat pendidikan. 
Nilai cut off 27 memberi  sensitivitas 0.9, spesitifitas 0.9, PPV 0.8, 
NPV 0.9. Nilai cut off 28 (sensitivitas 0.78, spesifisitas 0.8, PPV 0.6, 
NPV 0.9) pada subjek dengan tingkat pendidikan lebih tinggi 
memberi  akurasi diagnostik yang lebih tinggi, baik pada subjek 
dengan kognisi intak maupun terganggu di etnis Kaukasia yang 
memakai  bahasa Inggris. (Level III, fair)67 
 
Nilai area under the curve (AUC) MMSE berkisar antara 0.9 sampai 
1.0, mengindikasikan akurasi yang baik dalam mengidentifikasi 
demensia pada populasi dengan beragam usia dan tingkat 
pendidikan. (Level III, good) 
 
 
 
 
b. CLOCK DRAWING TEST 
 
Clock drawing test (CDT) merupakan instrumen penapisan demensia  
yang dapat diandalkan namun dipengaruhi usia, jenis kelamin dan 
edukasi. (Level III, good)   
 
Pada subjek usia lanjut dengan tingkat pendidikan kurang dari 4 
tahun kurang valid untuk dijadikan alat penapisan demensia. (Level 
III, good)  
 
Tes ini dapat dilakukan dengan cara menggambar mengikuti 
perintah atau meniru gambar yang ada. Kedua cara ini menunjukkan 
AUC-Receiver Operating Characteristic (ROC) yang tinggi yaitu 84% 
dan 85% secara berurutan. (Level III, good) l 
 
Tes ini memiliki akurasi yang cukup baik dalam membedakan DFT 
dari DA dan subjek normal, dapat mengidentifikasi 88,9% kasus DFT 
dan 76% kasus DA dengan prediksi akurasi 83,6%. (Level III, good) 
 
c. MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT (NASREDDIN) 
 
Tes Montreal Cognitive Assessment (MoCA) merupakan tes 
penapisan yang sederhana yang lebih baik dalam mengidentifikasi 
MCI (Sn 90%, Sp 87%) dan awal DA (Sn 100%; Sp 87%) dibandingkan 
dengan MMSE (MCI (Sn 18%) dan DA (Sn 78%)). (Level II-2, good) 
 
MoCA juga cukup sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien 
dengan Penyakit Parkinson (PP). (Level III, fair) 73 
 
Nilai cut off untuk MCI adalah 26/27, pada populasi di negara Barat 
dengan pendidikan minimal 12 tahun. Angka ini harus divalidasi 
sesuai latar belakang pendidikan subjek, seperti yang didapatkan di 
Korea bahwa akurasi yang lebih baik didapatkan pada nilai cut off 
yang lebih rendah (22/23; Sn 89% dan 98% untuk MCI dan DA secara 
berurutan, dengan Sp 84%). (Level III; good)  
 
Nilai normal MoCA INA sudah pernah diteliti di Universitas 
Indonesia, dan ternyata hasilnya dipengaruhi oleh usia, tingkat 
pendidikan dan jenis kelamin. Sebaiknya tes ini dipakai pada mereka 
dengan pendidikan > 6 tahun. Median nilai MoCA INA untuk tingkat 
oendidikan >6 tahun berkisar antara 22 – 27. Maka untuk 
penggunaan praktis sebaiknya dipakai cut off 24. Bila nilai kurang 
dari 24 dianggap ada gangguan.  
 
 PEMERIKSAAN DEMENTIA DI  PELAYANAN KESEHATAN 
TINGKAT III 
 
Klinik memori merupakan sarana yang penting dalam memperbaiki 
identifikasi, investigasi dan penanganan kelainan memori, termasuk 
demensia. Semua klinik memori dapat memfasilitasi rujukan dari 
dokter umum, spesialis lain, pada saat awal gangguan muncul, serta 
untuk menghindari stigma yang terkait dengan pelayanan psikiatrik. 
(Level III, good)  
 
NICE Guideline dan the European Dementia Consensus Network 
medisarankan :kan klnik memori untuk memberi  pelayanan 
multi disipliner baik spesialis, perawat, staff terpadu dan pekerja 
sosial untuk dapat menegakkan diagnosa  serta memberi  
penanganan yang cepat dan akurat. (Level I, good) 7, (Level III, fair) 
 
 
Model alternatif adalah praktik berbasis pelayanan kesehatan 
primer dengan input spesialis, untuk memperluas jangkauan serta 
meningkatkan penerimaan masyarakat. (Level III)  
 
Tim multidisipliner terdiri dari : 
Tim inti : 
  Klinisi : neurolog / psikiatrik / 
geriatrik 
  Petugas medis 
  Psikolog 
  Perawat 
  Terapis okupasional 
  Fisioterapis 
 
 
Anggota tambahan : 
  Dokter umum 
  Perawat home care / komunitas 
  Petugas gizi 
  Pekerja sosial 
  Terapis bicara 
  Farmasi 
  Perwakilan kelompok Alzheimer 
lokal

 
 
disarankan : 
 
Klinik memori dengan tim multidisipliner sebaiknya dibuat pada 
pelayanan kesehatan sekunder dan tersier. 
 (Grade C) 
 
 
 TES NEUROPSIKOLOGI 
 
Pada kasus-kasus gangguan kognisi yang meragukan, perlu 
dilakukan pemeriksaan yang komprehensif, dengan memakai  
tes neuropsikologi spesifik. Tes yang dilakukan mungkin 
memerlukan 2-3 jam meliputi aspek memori, intelegensi, kecepatan 
psikomotor, pemrosesan informasi, atensi dan konsentrasi, serta 
fungsi eksekutif.  
 
Tes neuropsikologis juga penting dalam menentukan subtipe 
demensia seperti DA, DFT, DLB dan DV. Tes ini juga dapat 
membedakan subtipe demensia dengan depresi.  
 
disarankan : 
 
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neuropsikologi tetap 
merupakan komponen yang penting dalam mendiagnosa  demensia  
(Grade C) 
 
Pada tingkat sekunder / tersier, tes kognisi yang lengkap dapat 
dilakukan meliputi MMSE, CDT serta MoCA.  
(Grade C) 
 
Bila diagnosa  demensia masih belum bisa ditegakkan maka 
diperlukan tes neuropsikologis. 
 (Grade C) 
 
Semua tes perlu divalidasi sesuai bahasa, budaya, dan tingkat 
pendidikan yang ada di populasi.  
 (Grade C) 
 
 
 PENILAIAN GANGGUAN FUNGSIONAL 
 
Gangguan fungsional dapat dinilai berdasar  aktivitas hidup 
keseharian / activities of daily living (ADL), baik aktivitas dasar/ basic 
activities of daily living (BADL), maupun instrumental ADL (IADL). 
Keduanya menggambarkan kemampuan untuk hidup mandiri di 
masyarakat. 
 
Kesulitan dalam aktivitas sehari-hari bersifat progresif pada 
demensia, melibatkan IADL lebih berat dibandingkan BADL.  
 
ada  banyak skala yang dapat menilai ADL secara subjektif oleh 
pasien maupun secara objektif oleh keluarga pasien. Subtipe 
demensia yang berbeda dapat menunjukkan gangguan yang 
berbeda dalam ADL. Pasien dengan DA mengalami lebih sedikit 
gangguan dalam ADL bila dibandingkan dengan DFT atau DLB.
Pasien dengan MCI menunjukkan melambatnya performa dalam 
mengerjakan tugas serta gangguan fungsional secara klinis. 
 
disarankan : 
 
Semua pasien demensia perlu dinilai secara rutin dalam hal aktivitas 
sehari-hari.  
(Grade C) 
 
 
 PENILAIAN GEJALA GANGGUAN PERILAKU DAN PSIKOLOGIS / 
BEHAVIOUR AND PSYCHOLOGICAL SYMPTOMS OF DEMENTIA 
(BPSD) 
 
Perubahan perilaku sering didapatkan pada sebagian besar pasien 
demensia, semakin sering didapatkan seiring dengan progresivitas 
demensia. Behaviour and Psychological Symptoms of Dementia 
(BPSD) atau gejala neuropsikiatrik seperti depresi, ansietas, agitas, 
paranoid, halusinasi dan gangguan tidur; didapatkan pada 90% 
pasien DA.84,85,86 Agresi dan agitasi didaptkan pada 30-50% pasien demensia.
 
Salah satu skala yang dapat digunakan untuk menilainya adalah 
Neuropsychiatric Inventory (NPI). 
 
Guideline NICE dan SIGN menganjurkan semua pasien demensia 
untuk menjalani pemeriksaan depresi karena prevalensinya yang 
tinggi. (Level I, good) 7, (Level I, good)
 
disarankan : 
 
Masalah perilaku pada pasien demensia harus dinilai secara rutin 
dan dinilai secara kualitatif bila memungkinkan. Instrumen yang 
disarankan meliputi NPI, BPRS dan BEHAVE-AD.  
(Grade C) 
 
Semua pasien demensia harus menjalani pemeriksaan depresi.   
(Grade A) 
 
diagnosa  dan beratnya depresi pada demnsia dapat dinilai dengan 
memakai  skala seperti Geriatric Depression.  
(Grade C) 
 
 
. KRITERIA diagnosa  DEMENSIA DAN SUBTIPE DEMENSIA 
 
Kriteria diagnosa  demensia, subtipe demensia yang 
didisarankan :kan oleh EFNS-ENS  Guidelines untuk diagnosa  dan 
penatalaksanaan demensia 2012 dirangkum dalam tabel berikut.  
 
 PROGRESI DAN DERAJAT DEMENSIA 
   
Beberapa tes dapat digunakan sebegai penanda beratnya penyakit 
juga dapat memonitor respon pasien terhadap terapi. Instrumen 
yang digunakan meliputi MMSE, Global Deterioration Scale (GDS)105, 
dan Clinical Dementia Rating (CDR). 
 
 

 
disarankan : 
 
Clinical Dementia Rating Scale dan Global Deterioration Scale dapat 
digunakan, dan keduanya cukup sensitif untuk MCI dan awal 
demensia.  
(Grade C) 
 
Bila diagnosa  definitif demensia sudah ditegakkan, beberapa skala 
seperti MMSE, Global deterioration scale, CDR, dan Functional 
Assessment Staging dapat dikerjakan untuk menentukan 
progresifitas. 
 (Grade C) 
 
 
 PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK KOMORBIDITAS 
 
Pemeriksaan komorbiditas harus dilakukan mengingat komorbiditas 
sering didapatkan pada lanjut usia. Kondisi ini dapat memicu  
gangguan kognisi namun dapat membaik bila diobati, contohnya 
hipertiroidisme dan defisiensi vitamin B12.  
 

 
Tes dasar yang harus dilakukan saat pemeriksaan awal meliputi 
  Tes hematologi rutin (Hb, Hematokrit, Leukosit, Trombosit, 
Hitung jenis, LED) 
  Tes biokimia (elektrolit, glukosa, fungsi renal dan hepar) 
  Tes fungsi tiroid 
  Kadar serum vitamin B 12 dan folat 
NICE7 Level III 
 
 
Guideline SIGN tidak medisarankan :kan pemeriksaan darah yang 
spesifik sehingga mengindikasikan bahwa tes-tes ini  harus 
dipilih berdasar  anamnesis dan kondisi klinis. The Royal College 
of Psychiatrists di United Kingdom medisarankan :kan pemeriksaan 
fungsi tiroid dilakukan pada pasien yang dicurigai demensia. 
Penapisan rutin untuk sifilis tidak perlu dilakukan.7,66 Guideline 
Singapura menyatakan tes untuk sifilis sebaiknya dilakukan bila 
secara klinis didapatkan gejala neurosifilis.  
 
 
disarankan : 
 
Tes hematologi rutin perlu dilakukan pada paasien yang dicurigai 
demensia  
(Grade C) 
 
Tes darah spesifik (contoh : sifilis) hany dilakukan atas dasar klinis 
sesudah  dilakukan anamnesis dan sesuai kondisi klinis.  
(Grade C) 
 
 
 NEUROIMAGING 
 
 STRUCTURAL NEUROIMAGING 
 
Meliputi computed tomography (CT Scan) dan magnetic resonance 
imaging (MRI) yang dapat mengidentifikasi pemicu  demensia non 
neurodegeneratif yang berpotensi untuk diterapi. berdasar  
disarankan : guideline NICE dan SIGN, peran neuroimaging 
struktural adalah untuk menyingkirkan kemungkinan patologi 
intraserebral dan membantu menentukan subtipe demensia. MRI 
serial dapat mengidentifikasi perubahan di otak sebelum awitan 
klinis demensia. Meski bukan untuk diagnostik, scan serial dapat 
membantu penilaian klinis. (Level I, good) 7, (Level I, good)  
 
Atropi lobus temporal medial yang terlihat pada MRI / CT 
membantu membedakan DA dengan kontrol dan tipe lain demensia. 
(Level I, good)  
 
Pada studi potong silang, lesi pada white matter / white matter 
lesion (WML) dinilai pada seluruh serebrum dan lobus frontal 
meningkat secara signifikan pada DV dibandingkan pada kontrol 
normal, MCI dan DA  (p<0.001) meski telah melakukan koreksi untuk 
usia dan performa kognisi. Kombinasi tes neuropsikologi dan 
neuroimaging dapat menguntungkan dalam deteksi dini demensia 
dan MCI. (Level III, good)  
 
Perubahan di hipokampus dan / atau korteks entorhinal dapat 
membedakan MCI yang berkembang menjadi DA dan yang tidak 
berkembang menjadi DA. Pengukuran hipokampus pada imaging 
dapat membedakan DA (termasuk tahap awal) terhadap kontrol 
dengan tingkat overlap <6%. (Level I, good)  
 
Suatu studi (n=64) menunjukkan bahwa pasien DA memiliki korteks 
yang lebih tipis (p < 0.001) di daerah parietal bilateral dan regio 
precuneus dibanding pada pasien DFT. Pada DA, gangguan kognisi 
memiliki korelasi negatif dengan tebal korteks di lobus frontal, 
parietal dan temporal; korelasi demikian tidak didapatkan pada DFT. 
(level III, poor) 
disarankan : 
 
Neuroimaging struktural seperti CT scan dan MRI kepala harus 
dilakukan bila memungkinkan dalam evaluasi demensia untuk 
menyingkirkan patologi intrakranial.  
(Grade A) 
 
MRI merupakan modalitas pilihan untuk membantu diagnosa  awal 
dan mendeteksi perubahan vaskular subkortikal.  
(Grade C) 
 
 
 FUNCTIONAL IMAGING 
 
Functional neuroimaging meliputi functional MRI, magnetic 
resonance spectroscopy (MRS), positron emission tomography (PET), 
single photon emission computed tomography (SPECT). 
 
Ligan spesifik seperti Pittsburgh Compound B (PIB) dapat digunakan 
dengan PET, sebagai marker amyloid. Penggunaan marker ini  
hingga saat ini masih terbatas untuk tujuan riset . Functional 
imaging berguna dalam deteksi dini demensia, memprediksi 
perubahan dari MCI menjadi demensia serta dalam membedakan 
subtipe demensia.  
 
a. SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY 
(SPECT) 
 
SPECT dapat digunakan untuk membedakan DA, DV dan DFT bila 
diagnosa  meragukan. SPECT imaging, iodine-123-radiolabelled 2ß-
carbomethoxy-3ß-(4-iodophenyl)-N-(3-fluoropropyl) nortropane (FP-
CIT) SPECT dapat berguna bila diagnosa  masih meragukan antara 
DPP dan DLB.  
 
Sebuah review sistematik mempelajari akurasi perfusi 
hexamethylpropyleneamineoxime (HMPAO) SPECT dan 2(18F) 
fluoro-2-deoxy D-glucose PET (FDG PET) menunjukkan sensitivitas 
(Sn) 77.1% dan spesifisitas (Sp) 89% dalam membedakan DA dengan 
kontrol normal, Sn 71% dan Sp 76% dalam membedakan DA dari DV, 
dan Sn 71% dan Sp 78% dalam membedakan DA dari DFT. Bila 
membandingkan kriteria klinis (dengan konfirmasi patologi) dengan 
SPECT, kriteria klinis untuk DA lebih sensitif daripada SPECT (81% 
dibanding 74%). Meski demikian SPECT memberi  spesifisitas 
lebih tinggi terhadap tipe demensia lain lebih baik daripada kriteria 
klinis(91% dibanding 70%). (Level I, good) 7  
 
b. POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY (PET) 
 
Fluoro-2-deoxy D-glucose (FDG-PET) memiliki sensitivitas 90% dan 
spesifisitas 70% pada studi verifikasi patologi. Pemeriksaan ini 
memiliki superioritas daripada SPECT dalam mendeteksi DA. (Level I, 
good)  
 
Pola PET spesifik yang sudah distandarisasi dapat mengklasifikasikan 
DA (95%), DLB (92%), DFT (94%) dan normal (94%). Pada MCI bisa 
didapatkan hipometabolisme di cingulate posterior dan 
hipokampus. Sebuah pola DA pada PET ditemukan pada 79% pasien 
MCI dengan defisit pada domain kognitif multipel dan 31% MCI 
amnestik. MCI dengan defisit non memori menunjukkan pola mulai 
dari hilangnya hipometabolisme hingga pola PET untuk DFT dan DLB. 
(Level III, good)  
 
Pada studi kohort selama 8 tahun terhadap populasi lanjut usia 
memakai  FDG-PET, tingkat metabolisme basal glukosa di 
hipokampus / glucose metabolic rates (MRglc) dapat memprediksi 
penurunan dari normal menjadi DA dengan akurasi 81%, dari normal 
menjadi demensia tipe lain dengan akurasi 77%, dan dari normal 
menjadi MCI dengan akurasi 71%. Penurunan yang lebih tinggi dari 
MRglc di kortikal dan hipkkampus ditemukan pada mereka yang 
mengalami progresivitas dari MCI ke DA. (Level II-2, good) 

c. BIOMARKA NEUROIMAGING  
 
PET dengan memakai  radioligand yang berikatan langsung 
dengan plak β-amyloid, seperti Pittsburgh Compound-B (PIB), dapat 
dilakukan. Ikatan PIB ke otak berkorelasi dengan kadar total 
Aβ. 
 
Sebuah studi poting silang memakai  11-C PIB-PET, 
menunjukkan korelasi antara deposisi beta amyloid dengan 
gangguan memori serta dengan mereka yang didiagnosa  DA. 
Analisis regresi linear multipel menunjukkan peningkatan 
pengikatan PIB terkait dengan diagnosa  DA (β: 0.6, p < 0.001). 
Didapatkan juga hubungan terbalik antara memori episodik dengan 
ikatan PIB pada MCI amnestik  (r -0.6, p<0.001). (Level II-2, fair)  
 
disarankan : 
 
Functional imaging dan marker neuroimaging tidak 
didisarankan :kan secara rutin dalam mendiagnosa  demensia.   
(Grade C) 
 
 
 ELEKTROENSEFALOGRAFI 
 
Peran Electroencephalogram (EEG) dalam mendiagnosa  demensia 
masih terbatas. (Level I, good) 7, (Level I, good)66 
 
Temuan elektrofisiologis tipikal yang berhubungan dengan 
mioklonus di PA serupa dengan yang ditemukan pada cortical reflex 
myoclonus dengan adanya negatifitas kontralateral, fokal pada EEG 
sebelum terjadinya mioklonus.  
 
Penggunaan EEG dapat dipertimbangkan bila ada kecurigaan adanya 
kejang, Creutzfeldt-Jakob disease (CJD) atau pada delirium. (Level I, 
good)109 EEG pada CJD sporadik memiliki sensitivitas 65% dan 
spesifisitas 86%. (Level I, good) 
 
disarankan : 
 
Penggunaan EEG hanya untuk kasus-kasus tertentu di mana ada 
kecurigaan kejang, Creutzfeldt-Jakob disease atau delirium.  
(Grade A) 
 
 
 BIOMARKA 
 
Biomarka menjadi penting untuk diagnosa  dini, untuk mengukur 
patologi yang terjadi, penanda prognosis untuk mereka yang 
berisiko serta memonitor terapi obat.117 Biomarka dapat dideteksi di 
otak (cairan serebrospinal (CSS) atau neuroimaging reseptor 
amyloid), darah, atau kombinasi keduanya.  
 
Biomarka dari sistem saraf pusat (SSP) antara lain β-amyloid1-42, β-
amyloid1-40, total tau, dan hyperphosphorylated tau (p-tau) dari 
CSS. Pada pasien DA didapatkan penurunan kadar β-amyloid dan 
peningkatan kadar tau CSS. 
 
 BIOMARKA CSS 
 
Biomarka CSS (Aβ, tau dan ptau) sangat sensitif dan spesifik dalam 
membedakan DA dari proses penuaan normal (Sn 92%, Sp 89%), 
depresi, namun menunjukkan sensitivitas yang lebih rendah dalam 
membedakan subtipe demensia seperti DFT, DLB dan DV. Telah 
terbukti bahwa ditemukannya protein 14-3-3 di CSS merupakan 
bukti adanya CJD sporadik, dengan sensitivitas dan spesifisitas di 
atas 90%. (Level I, good) 7, (Level I, good)  
 
Rasio tau/Aβ 42 lebih baik dibandingkan dengan rasio ptau/Aβ42 
(AUC tau/Aβ 42=0.8 dibanding  AUC ptau/AβB42=0.7) dalam 
memprediksi MCI dan awal DA. Pasien dengan DA ringan 
menunjukkan biomarker CSS yang sama dengan DA yang berat. 
(Level II-2, fair)  
 
Pada studi potong silang yang membandingkan biomarker CSS 
 
 
dengan profil kognisi pada pasien DA, tingkat Aβ42, tau dan ptau di 
CSS ternyata mempengaruhi beratnya demensia seperti yang 
ditunjukkan oleh gangguan memori, kecepatan proses mental dan 
fungsi eksekutif pada pasien DA. (Level III, fair)   
 
. BIOMARKA PLASMA 
 
a. BIOMARKA Aβ 
 
Individu dengan peningkatan kadar Aβ42 di plasma memiliki 
peningkatan risiko terkena DA  (OR 2.8, 95% CI 1.6 - 5.1). Kadar Aβ40 
dan Aβ42 plasma, dan bukan rasio Aβ42/Aβ40, ternyata berkaitan 
dengan usia pada mereka yang tidak demensia. (Aβ40 = r 0.2, p 
<0.001; Aβ42= r 0.2, p <0.001; dan rasio Aβ 42/Aβ 40 = 0.1,p 
<0.037). Oleh karena itu, rasio Aβ42/Aβ40 tidak berguna sebagai 
biomarker DA. (Level II-2, good)  
 
Pada studi kohort dengan massa follow up 10 tahun (n= 593), rasio 
Aβ42/Aβ40 di plasma menunjukkan bukti adanya asosiasi dengan 
konversi menjadi MCI atau DA (RR 3.1, 95%CI 1.1 - 8.3). Tingkat 
konversi 5% selama 4 tahun (95%CI 3% - 8%); 11% pada 6 tahun 
(95%CI 7% - 14%); 18% pada 8 tahun (95%CI 12% - 24%) dan 30% 
pada 10 tahun. (Level II-2, fair)  
 
b. BIOMARKA GENETIK DAN LIPOPROTEIN PLASMA 
 
Pada Prospective Study of Pravastatin in the Elderly at Risk 
(PROSPER) (n=5804) ditemukan bahwa subjek dengan APOE ε4 
terkait dengan penurunan kognisi yang lebih cepat, yang dapat 
diukur sebagai memori. Didapatkan 2.5x lipat perbedaan insidensi 
demensia pada grup APOE ε4+. Grup APOE ε4+ memiliki kadar 
kolesterol total plasma yang lebih tinggi (p<0.001), kadar LDL-C lebih 
tinggi (p< 0.001), kadar HDL-C lebih rendah (p<0.001), dan kadar 
trigliserida plasma lebih tinggi (p<0.001) dibandingkan dengan grup 
APOE ε4-. Meski demikian, pengaruh kadar lipid terhadap 
penurunan kognisi masih belum terbukti secara meyakinkan. (Level 
II-2, fair)
 
Apolipoprotein E (APOE) bukan hanya faktor risiko DA, tapi juga 
untuk DLB. Mereka dengan alel APOE ε4 serta kadar kolesterol yang 
tinggi  memiliki risiko 4x lipat untuk mengalami DA pada heterozigot 
dan 16x lipat pada homozigot. Alel APOE ε4 juga menunjukkan 
pengaruh pada DLB terlepas dari apakah kadar kolesterol tinggi atau 
normal. (Level II-2, good)124 DPP tidak terkait dengan polimorfisme 
APOE ataupun dengan profil kolesterol plasma. (Level II-2, fair)  
 
disarankan : 
 
Biomarka CSS dan marker plasma tidak didisarankan :kan dalam 
mendiagnosa  MCI atau demensia.  
(Grade C) 
Biomarka CSS tidak didisarankan :kan dalam menentukan 
progresifitas MCI menjadi demensia.  
(Grade C) 
 
Penggunaan marker genetik, APOE dengan ataupun tanpa lipid 
plasma, tidak didisarankan :kan untuk dilakukan secara rutin, dan 
hanya dilakukan untuk percobaan klinis.   
(Grade C) 
 
 
 
INTERVENSI FARMAKOLOGI 
 
 
Terapi farmakologi harus sejalan dengan intervensi spikososial untuk 
memperbaiki kognisi, fungsi dan perilaku. Hanya spesialis yang 
menangani demensia (neurolog, psikiater, geriatrik) yang boleh 
memulai terapi. (Level I, good) 
sesudah  terapi dimulai, pasien harus dinilai secara berkala setiap 6 
bulan. Pemeriksaan kognisi, fungsi secara global dan perilaku harus 
dilakukan berkala. Penilaian keluarga terhadap kondisi pasien baik 
saat sebelum mulai terapi dan saat follow up harus diperhatikan. 
(Level I, good)  
 
disarankan : 
 
Hanya spesialis yang menangani demensia (psikiater, neurolog, 
geriatrik) boleh memulai terapi.   
 (Grade C) 
 
Keluarga harus dilibatkan dalam penanganan pasien sejak awal.   
(Grade C) 
 
 
 PENGUAT KOGNISI 
 
Penguat kognisi bekerja melalui 2 cara yang berbeda. Kolinesterase  
Inhibitor (AChEI) bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin di 
otak untuk mengkompensasi hilangnya fungsi kolinergik. 
Mekanisme lain adalah dengan stimulasi terus-menerus pada 
reseptor NMDA.  
 
Kolinesterase  Inhibitor didisarankan :kan untuk demensia ringan 
hingga sedang. Hanya donepezil yang disetujui untuk demensia 
berat. Memantin, sebuah antagonis reseptor NMDA disetujui untuk 
demensia sedang hingga berat 
 
 
Menurut NICE technology appraisal 2006, meski AChEI 
didisarankan :kan untuk mereka dengan DA ringan hingga sedang, 
sebaiknya jangan bergantung pada MMSE dalam memutuskan 
memulai terapi.(Level I, good) 
 
 PENYAKIT ALZHEIMER  
 
a. PENYAKIT ALZHEIMER RINGAN - SEDANG 
 
DONEPEZIL 
 
Donepezil bermanfaat dalam terapi penurunan kognisi pada pasien 
DA, berdasar pada 13 RCT dan 2 buah review sistematik. (Level I, 
good) 
 
Donepezil 10 mg lebih efektif dibandingkan dengan Donepezil 5 mg 
dan plasebo dalam hal perubahan dari dasar pada Alzheimer disease 
Assessment Scale-Cognition (ADAS-Cog). 
 
memakai  skor MMSE, perubahan dari dasar lebih baik pada 
Donepezil 10 mg dibandingkan plasebo. (Level I, good) Pada RCT 
lain, Donepezil memperbaiki skor MMSE 0,8 poin dibandingkan 
plasebo (95% CI 0.5 to 1.2, p < 0.0001). (Level I, good) 
 
RIVASTIGMIN 
 
Bukti dari 3 buah review sistematik, 4 buah RCT (n=1940), 
rivastigmine bermanfaat untuk DA pada dosis lebih tinggi (6–12 
mg/hari). (Level I, good) 
 
Meta analisis dari 2 buah RCT (durasi 26 minggu) menunjukkan 
perbedaan signifikan untuk rivastigmine 6-12 mg/hari dibandingkan 
plasebo dengan memakai  ADAS-cog. (Level I, good)   
 
The Investigation of transderm

Related Posts:

  • demensia 1     Level of evidence 1++ MA kualitas tinggi, telaah sitematik dari RCT atau RCT dengan risiko bias sangat rendah 1+ MA kualitas baik, telaah sistematik dari RCT, atau RCT dengan risik… Read More