Rabu, 10 Januari 2024
cerita horror 2
By tewasx.blogspot.com at Januari 10, 2024
cerita horror 2
berkata lagi, “Wah, ramai juga ya rumahnya.” Kepalanya menoleh ke kanan dan
ke kiri, serta sesekali ke atas juga ke bawah. Bulu kuduk-ku langsung berdiri
sebab aku tahu apa yang sebenarnya ia maksud. Rupanya pasangan itu bukan
tetangga dekat kami. Rumah mereka di gang belakang blok rumahku. Kebetulan
mereka sedang melintas untuk pulang ke rumahnya saat para tetangga
berkumpul di depan rumah kami tadi. sesudah memberitahukan nama dan
posisi rumahnya, bapak dan ibu tua itu pun pamit pulang. “Jangan ragu-ragu
kalau nanti mau mampir,” kata sang isteri. Kami pun mengangguk dan
mengucapkan terimakasih.
Sore itu hingga malam, kami berdua duduk di kursi yang berada di teras rumah.
Tak satu pun dari kami yang berani kembali masuk ke dalam dan berharap agar
ada orang rumah lainnya yang segera pulang. Hati kami sedikit lega saat
melihat-lihat adik pulang. Namun sesudah mendengar cerita itu, ia pun takut untuk
masuk dan menemani kami berdua untuk duduk-duduk di teras pada akhirnya.
Kemudian ibuku pulang bersama adik laki-lakiku yang masih SD. Walaupun
nampaknya beliau juga takut, akhirnya kami semua berhasil diyakinkan untuk
kembali masuk ke dalam rumah. Malam itu, aku langsung masuk ke dalam
kamar dan bunyi ketukan pintu langsung menyambut. Aku tak lagi takut, aku
sudah hampir terbiasa. Esok harinya, kipas itu hilang tak berbekas. Dan ke
depannya kami pun membeli kipas yang baru.
Ini kisah yang lain lagi, terjadi beberapa minggu sesudah kejadian pada cerita di
atas. Tengah malam itu aku masih belajar menghapal untuk Test salah satu
mata kuliah nanti siang. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku pun
keluar kamar dan berencana untuk menumpang di kamar mandi di dalam
kamar mandi orang tuaku. Itu yaitu kamar mandi yang terdekat dari kamar
tidurku. saat pintu coba kubuka, ternyata dikunci. Ya, memang harus untung-
untungan. Terkadang memang orang tuaku mengunci pintu kamar saat tidur,
namun ada kalanya juga tidak saat mereka lupa. Terpaksa aku pun harus
menggunakan kamar mandi luar yang berada di dekat ruang tamu. Sebenarnya
aku paling malas kalau harus ke kamar mandi selarut itu, apalagi jika harus ke
kamar mandi luar. Biasanya aku sudah sibuk bolak-balik ke kamar mandi
menjelang tidur supaya tidak tiba-tiba ingin buang air kecil pada saat tengah
malam seperti saat itu. Mau tidak mau, aku pun harus menyusuri ruang makan
dan dapur. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri saat melintasi area dapur
pada saat itu. Aku pun terus berjalan perlahan-lahan sebab ruangan yang
sedikit remang akibat ada beberapa lampu yang memang sengaja dimatikan
tiap malam sebelum keluarga tidur guna menghemat listrik. Terutama di ruang
tamu, terkadang kedua lampu di sana malah tidak dinyalakan sama sekali,
namun biasanya lampu kamar mandi di dekat sana selalu dinyalakan sepanjang
hari. Malam itu, hanya satu lampu yang dinyalakan di ruang tamu. Walau agak
gelap, aku masih dapat melihat-lihat dengan jelas segala sesuatunya. Sesaat saat
mendekati area parkir motor di dalam rumah yang harus aku lewati untuk
dapat sampai ke kamar mandi, aku berhenti mematung.
Keluargaku memang terbiasa memarkir motor di dalam rumah. Ayahku suka
was-was tiap kali mendengar di kompleks itu ada berita tetangga yang
kehilangan motor yang sedang diparkir di luar. Saat itu, kami memiliki 3 buah
motor yang selalu diparkir di dalam rumah pada tiap malamnya. Namun bukan
motor yang sedang di parkir itu yang membuatku berhenti mematung.
Melainkan sesosok makhluk ghaib berwujud bayi yang sedang tertelungkup di
atas salah satu jok motor kami. Bayi itu sedang menatap ke arahku. Kepalanya
botak, matanya bulat, tak berpakaian, persis seperti bayi manusia normal pada
umumnya. Yang membuatnya tidak normal yaitu saat ia sedang terus
melihat-lihat ke arahku, senyum lebarnya tak pernah lepas dari wajahnya. Aku yang
masih bingung dengan penglihatanku saat itu tetap terdiam saja di tempat,
masih belum yakin benar apakah itu bayi sungguhan atau bayi jadi-jadian. Aku
baru yakin saat bayi ini tertawa, “HE! HE! HE!” Suaranya bukan suara
seorang bayi melainkan suara laki-laki dewasa. Ia menggoyangkan kepalanya ke
kanan dan ke kiri secara berirama sambil terus tertawa pelan. Aku yang sudah
benar-benar ketakutan langsung kembali ke dalam kamar. Niatku untuk buang
air kecil tak dapat kusalurkan. sebab rasa sakit ingin buang air kecil yang
harus aku tahan hingga pagi itu dan juga pikiranku yang sudah tidak bisa
konsentrasi gara-gara penampakan tadi, aku memutuskan untuk menyudahi
belajar dan pergi tidur dengan tanggungan rasa yang sangat tidak nyaman
harus kurasakan.
Paginya, aku menceritakan hal ini pada orang tua dan mereka hanya
merespon sekenanya. Entah mereka percaya atau tidak. Namun yang pasti,
mereka sudah percaya bahwa rumahku saat itu memang tidaklah beres. Sekitar
dua bulan sesudah kejadian itu merupakan masa Lebaran. Keluargaku berencana
untuk mudik selama sepekan di Purwokerto. Sebuah rutinitas yang keluarga
kami lakukan tiap tahunnya. Namun tahun itu berbeda. sebab saat
keluargaku mudik akan ada dua acara yang diadakan oleh teman dekatku dan
kehadiranku sangat diharapkan di sana, akhirnya aku memilih untuk tidak ikut
mudik. Ya, aku lebih memilih untuk menunggu rumah yang sudah banyak
„penunggu‟-nya itu seorang diri selama keluargaku pergi ke kampung halaman.
Aku mungkin tergolong nekat namun saat itu aku juga memang sedang malas
bepergian jauh. Keluargaku yang khawatir sempat tak mengizinkan. Namun
sebab aku bersikeras, akhirnya mereka memenuhi keinginanku sesudah
berpesan agar aku harus dapat menjaga diri dan seisi rumah dengan sebaik-
baiknya. Namun keputusanku di kala itu ternyata harus dibayar cukup mahal
dengan beberapa pengalaman mistis yang tak pernah terlupakan.
Siapapun yang tahu bahwa rumahku angker dan mendengar keputusanku
untuk menjaga rumah selama 1 minggu seorang diri mungkin akan
menganggapku gila. Namun itulah kenyataannya yang terjadi saat itu. Sudah
kubilang sejak awal, kalau aku ini mungkin tergolong anak yang paling
pemberani di keluargaku. Sesungguhnya, tidak seberani yang kalian pikirkan.
Ayah memberiku Rp250.000 untuk uang pegangan selama ditinggal seminggu
di rumah. Sekardus mie instan dan 1 kilo telur ayam juga sudah tersedia di
dapur untuk bahan persediaan makanan jika aku sedang malas membeli
makanan di luar. sebab di kamarku hanya ada kipas angin (ceiling fan),
ayah menyarankan agar aku tidur di kamarnya saja selama keluarga pergi
mudik. Kamar tidurku yaitu satu-satunya kamar yang tidak menggunakan
pendingin ruangan (AC) di rumah itu. Boleh juga, pikirku.
Mereka berangkat pagi-pagi buta. sesudah berpamitan, aku pun kembali masuk
ke dalam rumah. Kupindahkan semua buku pelajaran dan perlengkapan lainnya
yang biasa kugunakan sehari-hari dari kamarku ke kamar orang tuaku. Subuh
itu tak nampak ada yang aneh. Mungkin sebab sebenarnya mataku juga masih
setengah mengantuk saat itu. Sesudahnya, aku kembali melanjutkan tidur di
kamar orang tua. Hari itu, aku bangun siang. Belum ada kabar bahwa
keluargaku telah sampai di tujuannya. Aku membuka pintu depan agar bagian
dalam rumah mendapat penerangan tambahan dari sinar matahari lalu pergi
mandi di kamar mandi di dalam kamar tidur orang tuaku.
sesudah nya, aku pun pergi ke dapur untuk memasak mie instan sebab perut
mulai merasa lapar. Masih belum ada yang aneh. Walau dalam hati sebenarnya
ada perasaan takut, aku bertingkah pura-pura santai dan berani agar „mereka‟
tidak berniat mengusiliku. Oh iya, di dapur ini ada sebuah lorong yang
ujungnya berbatasan dengan tembok kamar tidur orang tuaku. Lorong itu
cukup panjang dan begitu gelap sebab tidak ada penerangan di sana. Di bagian
tengah lorong ada tempat mencuci piring yang dilengkapi kran (kitchen sink)
tapi sebab rusak jadi tidak pernah dipakai . Sedangkan di ujung lorong tidak
ada apapun.
Aku kembali ke kamar orang tuaku untuk menikmati mie instan sambil
menonton TV. Saat itu, aku juga sedang libur kuliah panjang sehingga bisa
sepanjang hari di dalam rumah setiap harinya. Dari siang hingga malam, aku
hanya berbaring di atas kasur sambil nonton TV dan sesekali berselancar ke
dunia maya dengan HP-ku. Tentu aku juga tak melupakan mandi di sore hari.
saat ada tukang mie tek-tek yang melintas di depan rumah, aku langsung
keluar untuk membelinya sebagai lauk makan malam. Sama sekali tidak ada
yang aneh di rumah sepanjang hari itu. Dan aku berharap semoga keadaan
seperti itu terus berlangsung hingga keluargaku kembali ke rumah lagi pada
minggu depan. Sesaat sebelum tidur, aku berdoa selama 1 jam seperti biasa.
Malam itu, aku dapat tidur dengan cepat dan nyenyak.
Hari kedua menjaga rumah seorang diri. Aku bangun lebih pagi dan segera
mandi sebab hari ini aku dan teman-teman dekatku berencana untuk pergi
berwisata ke Taman Buah Mekarsari. Jam 9 pagi kami sudah harus berkumpul
di rumah seorang teman untuk berangkat beriringan dari sana. sesudah
kupastikan seluruh keadaan rumah dalam keadaan aman, aku pun mengunci
pintu dan pergi ke rumah temanku pada pukul setengah 9 pagi. Kami berangkat
bersama dalam rombongan beberapa buah motor dan menghabiskan waktu
hingga sore di tempat wisata itu. Sekembalinya aku ke rumah, hari mulai
menjelang malam. Bodohnya, pagi tadi sebelum berangkat, aku lupa
membiarkan seluruh lampu-lampu di rumahku menyala. Jadilah aku harus
masuk ke dalam rumah yang gelap gulita ini untuk menyalakan lampu di
seluruh bagian rumah.
Lampu pertama yang harus aku nyalakan yaitu lampu teras. Ini tak sulit
sebab letak tombolnya tepat di bagian tembok sebelah kanan begitu aku mulai
membuka pintu depan dan masuk ke dalamnya. Berbekal sedikit penerangan
dari teras, aku juga berhasil menyalakan lampu ruang tamu yang tombolnya
berada di dekat TV dan juga lampu kamar mandi di dekat ruang tamu ini .
Aku kembali ke depan ruang tamu dan masuk ke dalam kamar tidur orang
tuaku. Belum sempat lampu kunyalakan, tiba-tiba TV yang berada di atas
lemari itu menyala sendiri. Anehnya, ia menyala dengan volume yang amat
keras dan tampilan layarnya hanya berupa bintik hitam dan putih (gambar
„semut‟). “BZZZZZT!” Kira-kira seperti itulah bunyi yang sangat mengagetkan
itu kudengar. Aku langsung buru-buru menyalakan lampu kamar dan
bersamaan dengan itu, TVpun kembali mati dengan sendirinya. Saat itu aku
menganggap kalau itu hanyalah gangguan arus listrik yang menyebabkan TVku
menyala sendiri.
Kemudian kunyalakan lampu kamar mandi di dalam kamar tidur orang tuaku
lalu juga lampu kamar tidurku yang tombolnya berada di tembok luar kamar.
sesudah nya, aku kembali berjalan menuju ruang makan dan dapur untuk
menyalakan lampu di sana. Tidak ada lampu dari ruang lainnya manapun yang
membantu memberikan penerangan ke area di bagian belakang rumah ini.
Gelap, benar-benar gelap. Tombol lampu ada di tembok bagian tengah di antara
ruang makan dan dapur. Pelan-pelan aku menyusuri ruangan itu sambil
tanganku meraba ke sana-ke mari agar tidak menubruk apapun. Di saat
jantungku juga sedang berdesir sebab takut, tiba-tiba kurasakan ada sebuah
tangan yang menepuk punggungku. Begitu nyata hingga dapat kurasakan
beberapa jarinya. Tubuhku langsung kaku ketakutan. Ingin kutolehkan kepala
pun saat itu sedang gelap gulita. Ingin kutanya “Siapa?” pun, sebenarnya aku
tak mau mendengar jawaban apapun di saat aku merasa memang sedang
sendirian di dalam rumah itu.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali melangkah walaupun saat itu kaki terasa
amat berat. Lampu ruang makan pun berhasil kunyalakan dan aku segera
menoleh ke tempat di mana aku merasakan tepukan tadi. Namun tidak ada
seorang pun di atas sana. sebab nyaliku sudah terlanjur ciut, aku memutuskan
untuk tidak menyalakan lampu-lampu di lantai atas. Aku kembali ke kamar
tidur orang tuaku dengan melewati ruang tamu sesudah sebelumnya
menggembok pintu pagar dan mengunci pintu depan rumah. Aku mengunci
kedua pintu di dalam kamar tidur itu sebab ketakutan. Kuputuskan untuk
segera tidur tanpa mandi, namun kusempatkan untuk mengganti pakaian. Di
saat aku berdoa menjelang tidur, samar-samar aku mendengar suara tangisan
perempuan lesbian dari jendela di kamar itu. Sama seperti suara tangisan yang biasa
kudengar dari jendela di kamarku yang mengarah ke teras. Saat itu padahal jam
masih menunjukkan pukul 10 kurang. Namun sebab sudah terlalu letih, aku
mengabaikannya dan memaksakan tubuhku untuk segera beristirahat.
Hari ketiga, aku kembali bangun siang sebab tubuhku sangat lemas pada hari
sebelumnya. Pegal-pegal kurasakan saat berusaha beranjak dari tempat tidur
untuk mandi. Namun sesudah mandi, pegalnya sedikit berkurang. Aku ke dapur
untuk memasak mie instan. Kulihat beberapa buah telur telah jatuh dan pecah
di lantai. Telur lainnya masih utuh di dalam kantong plastik yang tergeletak
aman di atas meja makan. Mungkin ulah tikus, pikirku positif. Walau aku tahu
kalau tidak mungkin itu ulah tikus. Kantong plastiknya masih tergeletak dengan
rapi, kalau memang tikus yang menjatuhkan telur-telur ini , tentunya
kantong plastiknya sudah berantakan. Tak apalah, aku tak mau ambil pusing
saat itu. sesudah kubersihkan, aku pun menggoreng telur dan membuat mie
instan untuk makan siang.
Siang hingga sore, aku hanya bermalas-malasan di atas kasur sambil membaca
buku pelajaran sebab akan ada serangkaian Test saat aku kembali masuk
kuliah nanti. saat hari makin gelap, aku menyalakan semua lampu di rumah
seperti biasa. Tidak ada gangguan saat itu. Aku kembali ke kamar dan pergi
mandi. sesudah nya, aku kembali melanjutkan bacaan. Saking seriusnya belajar,
aku tak menyadari kalau malam semakin larut. “CTAK!” Jendela kamar orang
tuaku ditimpuk kerikil. Kusibakan gorden untuk mengintip, namun kosong di
luar sana. Aku kembali belajar walau konsentrasiku terganggu dengan kejadian
barusan. Di saat aku sedang kembali fokus, tiba-tiba TV kembali menyala
sendiri dengan volume yang sangat keras dan gambar „semut‟. Jika volume 10-
12 yaitu standar normal untuk volume TV di ruangan itu, mungkin yang
kudengar saat itu yaitu volume 20-30. Sangat keras hingga aku pun langsung
terperanjat dan refleks melempar buku yang sedang kubaca. Tak sampai 5 detik,
TV itu kembali mati dengan sendirinya. Aku mencoba untuk mengecek TV
dengan kembali menyalakannya. sebab remote tidak kunjung kutemukan,
kunyalakan TV dengan menekan tombol yang ada pada bagian bawahnya
dengan agak ketakutan. TV menyala dengan volume normal dan gambar siaran
TV yang juga tidak ada masalah. Aku coba untuk mengganti siaran dari satu
saluran ke saluran lainnya, juga tidak ada masalah. Akhirnya TV kembali
kumatikan dan aku mengirim SMS pada ibuku untuk menanyakan perihal TV
ini . Ibu memberitahu kalau ia tidak pernah mengalami kejadian seperti
itu.
Tiba-tiba lagi, aku mendengar ada seseorang yang sedang mandi di dalam
kamar mandi di dalam kamar itu yang pintunya tengah tertutup. Suara gayung
yang beradu dengan keramik, juga suara siraman air langsung memompa
jantungku. Aku langsung mengadukan hal itu pada ibuku lagi, dan beliau
menyuruhku untuk mengecek ke dalam kamar mandi. Aku tak punya cukup
nyali untuk melakukannya. sesudah saling terus mengirimkan SMS, ibu bilang
bahwa mereka akan kembali ke rumah lebih cepat dari jadwal semula. Aku pun
berusaha sekuat tenaga untuk dapat tidur malam itu namun amat sulit. saat
kudengar jendela kamar kembali ditimpuk dengan kerikil, entah oleh siapa,
akhirnya aku memutuskan untuk kembali tidur di kamar tidurku sendiri saja.
sesudah menelungkupkan badan dan menutup kepalaku rapat-rapat dengan
bantal di atas kasurku seperti biasanya, aku pun akhirnya tertidur. Selama di
rumah itu, aku memang tidak pernah menggunakan bantal sebagai alas saat
tidur, melainkan kujadikan sebagai penutup kepala untuk menutupi
penglihatanku bilamana terbangun di tengah malam.
Hari keempat, aku bangun siang seperti biasanya. Sore nanti akan ada acara
yang hendak diadakan oleh seorang teman dekatku. Acara ini juga
merupakan acara perpisahan sebelum keluarganya pindah ke Palembang. Itulah
sebabnya aku memilih untuk tidak ikut keluarga mudik daripada harus
melewatkan acara penting ini . Siang sampai sore, aku hanya
membersihkan rumah. Merapikan segala sesuatunya agar ibu tidak mengomel
saat pulang nanti sebab melihat-lihat rumah berantakan. „Mereka‟ tidak berulah
saat itu dan aku bersyukur sebab nya. Pukul 4 sore, aku menyalakan seluruh
lampu di rumah dan berangkat menuju rumah temanku dengan berjalan kaki.
Letaknya tidak terlalu jauh, cukup 10-15 menit dengan berjalan kaki. Di sana
sudah berkumpul teman-teman dekatku yang lain dan kami berpesta kecil-
kecilan sampai malam.
Usai acara, aku kembali pulang ke rumah dan langsung masuk kamar untuk
tidur. Keluargaku akan pulang esok hari. Berangkat sore dari Purwokerto dan
akan sampai trowulan mojokerto sekitar subuh lusa harinya. Aku sangat lega sebab akan
segera kembali berkumpul dengan keluarga. Mungkin sebab terlalu banyak
minuman bersoda, kini aku merasakan ingin buang air kecil. Sudah malam,
sendirian pula. Hatiku agak galau antara ingin buang air kecil atau menahannya
saja hingga pagi. Kalau menumpang buang air kecil di kamar orang tuaku, aku
takut sebab teringat ada yang „mandi‟ di sana pada malam sebelumnya. Kalau
kamar mandi luar di dekat ruang tamu, aku takut kalau bertemu dengan bayi
jadi-jadian waktu itu lagi. Tapi sebab sudah benar-benar tak dapat aku tahan
lagi, aku pun memberanikan diri untuk menumpang buang air kecil di kamar
orang tuaku. Baru kubuka pintu kamarku dan berjalan sedikit, sebuah
penampakan menyambut.
Sekelebatan bayangan yang biasa kulihat berlompatan mirip monyet itu
nampaknya memang benar berwujud monyet. Jauh di ujung sana, di bawah
meja makan, ada seekor makhluk mirip monyet kecil berwarna hitam sedang
duduk di lantai sambil tubuhnya mengarah kepadaku. Bagian wajahnya sangat
hitam dan nyaris tak dapat kulihat dengan jelas mukanya. Tak lama kemudian,
ia melompat ke atas meja dan menghilang. Niatku untuk ingin buang air kecil
pun langsung hilang sesaat . Dengan cepat, aku kembali masuk ke kamar dan
mengunci pintunya, berusaha tidur sambil tak henti-hentinya berdoa dalam
hati.
Tak satu pun teman perempuan lesbianku yang bersedia menginap di rumahku saat
kuajak saat sedang berkumpul tadi. Mereka semua sudah tahu kalau rumahku
angker dan tak satupun dari mereka yang berani ambil resiko. Namun saat
mereka menawarkanku untuk menginap di rumahnya, gantian aku yang
menolak. Aku tak mau merepotkan keluarga orang lain. Dan juga ada amanat
yang harus aku jalani yaitu menjaga rumah dengan baik. Namun saat itu, aku
menyesal telah menolak tawaran temanku tadi.
Hari ini yaitu hari terakhir bagiku menjaga rumah seorang diri sebab esok
subuh keluargaku akan kembali sampai di rumah jika tidak ada halangan
berarti. Aku begitu bersemangat dan hampir melupakan semua perjuanganku
menjaga rumah seorang diri selama sepekan itu. Pagi itu aku beli makan di luar,
membersihkan rumah, kembali belajar hingga sore, makan malam dengan mie
instan dan semuanya berlangsung tanpa ada keanehan apapun. saat malam
menjelang, aku menyalakan seluruh lampu di rumah dan berencana untuk tidur
lebih awal supaya dapat terbangun untuk membukakan pintu bagi keluargaku
esok subuh. Tengah malam menjelang subuh, aku terbangun sebab di teras ada
suara yang cukup gaduh. “Ah, keluargaku sudah pulang!” pikirku girang dalam
hati. Untuk memastikannya, aku membuka gorden jendela kamar dan berniat
untuk mengintip ke arah teras. Namun aku kaget sewaktu jendela bagian luar
ternyata ditutupi oleh kain panjang berwarna putih. Aku tidak pernah ingat
kalau ada kain apapun yang dipakai untuk menutupi jendela kamarku. Ingin
kubuka jendela kamar saat itu untuk memeriksanya, tapi aku takut. Akhirnya
aku langsung beranjak ke kamar orang tuaku. Dari sana, aku berusaha
mengintip dari jendela kamar orang tuaku ke jendela kamar tidurku yang
letaknya di sebelah barat laut dari pandangan saat itu. Tidak ada kain apapun
yang menutupi jendela kamar tidurku saat kali ini kulihat. Aku jadi mungkin
bingung. Mungkin salah lihat sebab mata masih mengantuk, pikirku untuk
menenangkan diri.
Aku bergegas ke ruang tamu. Sesampainya di sana, aku langsung menyibakkan
gorden untuk mengintip ada siapa di luar. Kosong. Keluargaku ternyata belum
pulang. Kutengok jam dinding saat itu ternyata baru menunjukkan pukul 2
pagi. sebab merasa haus dan botol air minum yang kusimpan di dalam kamar
pun sudah habis airnya, aku pun pergi menuju kulkas yang ada di dapur. Letak
kulkas ini tepat di depan lorong kosong. Aku mengambil gelas dari rak piring
lalu membuka kulkas untuk menuangkan air minum ke dalam gelas kosong
tadi. Sewaktu aku sedang menuangkan air, tiba-tiba tengkuk-ku merasa
merinding. Aku merasa seperti ada yang sedang mengawasiku dari belakang.
Aku menoleh ke ujung lorong yang gelap di belakangku namun tidak melihat-lihat
apapun di sana. Aku meneguk air minum dan meletakan kembali botol ke
dalam kulkas lalu menutupnya. Tetap saja aku merasa seperti sedang
diperhatikan.
sesudah puas minum, aku membalikkan sedikit tubuhku dan berniat untuk
kembali ke kamar. Sesaat sebelum melangkahkan kaki, aku kembali menoleh ke
ujung lorong itu dan melihat-lihat penampakan paling mengerikan yang pernah aku
lihat selama ini. Sebuah sosok hitam mirip bayangan setinggi orang dewasa
namun sedikit lebih tinggi lagi, sedang berdiri di pojok lorong yang gelap itu.
Yang membuatku sangat ketakutan yaitu sebab makhluk itu sedang
melambai-lambaikan tangannya ke arahku, seakan ingin menyapa.
Gelas terjatuh dari genggamanku dan menggelinding ke lantai. Tidak pecah
sebab yang aku ambil saat itu yaitu gelas plastik. Aku berlari sekencang
mungkin ke dalam kamar. Kaki kananku sempat terantuk anak tangga dan
berdarah sebab tepian kuku jempolnya menancap ke dalam daging. Di dalam
kamar, aku terus berdoa sambil meringis kesakitan. Tak henti-hentinya aku
berdoa sampai akhirnya keluargaku benar-benar pulang. Aku hampir menangis
saat menyambut kedatangan mereka sebab begitu senangnya. Saat itu
sekitar jam 4 kurang. Tanpa peduli mereka masih lelah sebab perjalanan jauh
atau tidak, aku menceritakan semua pengalaman aneh yang kualami selama
menunggu rumah, terutama kejadian mistis terakhir yang aku alami tadi. Aku
menceritakan sosok makhluk yang kulihat tadi dan mati-matian berusaha
membuat mereka percaya. Ibu percaya dan berkata kalau nanti sore akan
mencari „orang pintar‟ lainnya untuk menyudahi semua keanehan ini sementara
komentar ayah hanya singkat, “Jadi makhluk di lorong itu masih berani muncul
lagi, ya.” “Lagi?” aku kebingungan.
sebab lelah sedari perjalanan jauh, keluarga kami pun langsung tidur di kamar
masing-masing dengan begitu nyenyaknya. Di dalam kamar, aku masih bingung
dengan perkataan ayah tadi. Meskipun begitu, aku juga harus segera ikut tidur
sebab waktu istirahatku masih sangat kurang. Kini keluargaku sudah kembali
berada di rumah, aku berharap dapat tidur dengan lebih tenang saat itu. Dari
luar teras, terdengar suara cekikikan perempuan lesbian, lalu berganti dengan
senandung seperti yang terkadang kudengar. sebab sudah cukup terbiasa
mendengar suara ini , aku pun mengabaikannya dan tertidur nyenyak
subuh itu.
Aku bangun menjelang siang. Ibu dan kakak sudah tidak ada di rumah sebab
sedang mencari rumah ba bhre wijaya (nama telah disamarkan), bapak tua yang
menemani aku dan kakakku bersama isterinya dulu saat ada insiden kipas
sate terbang di rumah. Aku mencari ayah yang masih libur kerja hari itu.
Kutemuinya di ruang tamu, ia sedang menonton TV. “Yah, aku mau tanya,”
ujarku membuka percakapan. Kusinggung lagi makhluk mistis yang kulihat di
lorong tengah malam tadi, juga maksud dari komentarnya yang membuatku
bingung.
“Bagaimana sosok yang kamu lihat waktu itu?” tanya ayah. Aku menjelaskannya
sesuai dengan apa yang aku lihat waktu itu. “Ayah pernah melihat-lihat nya juga?”
tanyaku. Beliau mengangguk. Ayah bercerita bahwa pada suatu tengah malam
di bulan lalu, ia belum juga bisa tidur sementara ibu dan adik laki-lakiku sudah
lama terlelap. sebab acara TV sudah tidak ada yang menarik, ia pun
mematikannya lalu rebahan sambil menatap langit-langit kamar dengan pikiran
kosong. Dialihkannya pandangan ke dalam kamar mandi yang pintunya sedang
terbuka saat itu. Tidak ada yang menarik sampai pandangan matanya tertahan
pada lubang ventilasi di dalam kamar mandi ini .
Bagian belakang dari kamar mandi yaitu ruang makan. Dari lubang ventilasi
ini , dapat diketahui bahwa lampu di ruang makan sedang menyala.
Sebenarnya tidak ada yang aneh, bila saja cahaya lampu yang sedang dilihatnya
dari lubang ventilasi itu tidak tiba-tiba padam. Ayah pikir, mungkin lampunya
rusak dan memang sudah harus diganti sebab cahayanya pun kini sudah tak
seterang waktu ia pertama kali memasangnya. Namun tiba-tiba, cahaya lampu
kembali terlihat dari lubang ventilasi di dalam kamar mandi dan kembali
padam tak lama kemudian. Ayah yang kebingungan, terus memperhatikan
lubang itu. Lubang-lubang itu cukup besar dengan kawat nyamuk tipis yang
melapisinya. saat lampu di ruang makan kembali menyala, ayah yang sedang
memperhatikan lubang itu pun terperanjat sebab pasalnya saat itu terlihat
sosok bayangan hitam berupa kepala yang sedang mengintip ke dalam kamar
lalu pergi dari balik lubang ventilasi ini .
Ayah yang sebenarnya sangat penakut ini memutuskan untuk mengecek ke
dapur sambil membawa sapu ijuk dari dalam kamar. Dibukanya perlahan pintu
kamar dan didapatinya lampu ruang makan masih dalam keadaan menyala.
Dengan mengendap-endap, ayah berjalan menuju tembok dengan lubang
ventilasi kamar mandi yang berada di ruang makan. Ditengokkan kepalanya ke
segala penjuru, namun ayah tidak menemukan sosok yang ia lihat dari dalam
kamarnya tadi. Ia terus berjalan ke arah dapur, menuju ke area tempat parkir
motor. Namun begitu tepat melintas di depan lorong yang ada di area
dapur, ayah mendengar suara seperti orang yang sedang memanggilnya dengan
bisikan.
“PSSST!” Ia berhenti sesaat . saat ia menoleh ke arah sumber suara di pojok
lorong, ayah melihat-lihat juga sosok bayangan hitam sama seperti yang aku lihat
tengah malam itu, sedang melambai-lambaikan tangannya ke arah ayah. Ia
yang ketakutan langsung melemparkan sapu yang dipegangnya ke arah
makhluk itu dan sosok misterius itu pun menghilang. Ayah mengancam, jika
makhluk ghaib itu masih berani mengganggu ia dan keluarganya, ayah takkan
segan-segan untuk meminta bantuan „orang pintar‟ untuk membinasakannya.
Ancaman ayah tengah malam itu hanya dibalas dengan bunyi gayung yang jatuh
di dalam kamar mandi. Sekembalinya ayah ke dalam kamar tidur, ia masuk ke
dalam kamar mandi untuk mengembalikan gayung ke tempatnya semula lalu
menutup pintu kamar mandi ini dan berusaha keras untuk dapat segera
tertidur. Paginya, ayah memberitahukan hal ini pada ibu dan mereka setuju
untuk merahasiakan hal ini dari anak-anaknya agar kami tidak ketakutan.
Sore itu, akhirnya ibu pulang bersama kakak. “Tidak bisa hari ini,” kata ibu
kepada ayah. Rupanya ibu telah menceritakan semua fenomena ghaib yang
terjadi di keluarga kami pada bhre wijaya . Beliau berjanji akan membantu keluarga
kami namun meminta waktu paling tidak 2 atau 3 hari untuk mengumpulkan
beberapa personil yang akan membantunya di ritual pengusiran makhluk ghaib
nantinya. Esok malamnya, seorang teman datang ke rumah untuk meminta
copy mp3 dari komputerku. Kupersilahkan ia masuk dan menuju kamarku
melalui ruang makan.
Oh iya, walau ada 3 pintu depan di rumahku yang mengarah ke teras, salah
satunya termasuk pintu di kamarku, namun hanya 1 saja yang sebenarnya
difungsikan, yaitu pintu di tengah rumah yang menuju ke ruang tamu. Pintu
depan di bagian paling kiri rumahku yang bersebelahan dengan tangga luar
yang menuju ke area jemuran tidak pernah dibuka sejak awal kami pindah
sebab lubang kuncinya rusak sehingga pintu amat susah dibuka. Begitu pula
pintu di kamarku yang menuju teras hanya pernah dibuka 2 atau 3 kali sebelum
akhirnya kunci tersangkut di dalam lubang kunci dan tidak bisa digerakkan
sama sekali.
Temanku berjalan di depan, sementara aku mengikutinya dari belakang. Begitu
memasuki area ruang makan, “DUGG!” Tiba-tiba aku terjatuh sebab
tersandung sesuatu. Kuperhatikan lantai dan sekitarnya, tak kulihat ada benda
apapun di sana. Aku bingung sebab tadi jelas-jelas kakiku merasa menubruk
sesuatu hingga terjatuh. “Lah, kenapa jatuh?” tanya temanku keheranan. Ingin
jawab “tersandung” tapi takut dikira mengada-ada sebab aku berjalan
melewati rute yang sama dengannya, akhirnya aku bilang kalau tadi kakiku
terkilir.
Sesampainya di kamar, aku kembali dibingungkan sewaktu melihat-lihat pintu
kamarku yang menuju teras rumah kini sudah dalam keadaan terbuka, walau
tidak begitu lebar. Kunci masih menggantung di lubangnya. “Ini bisa masuk
dari sini, kenapa tadi muter lewat belakang?” tanya temanku saat itu. sebab
enggan membuatnya takut dan aku juga bingung menjawabnya saat itu, aku
hanya berkata, “Oh iya, maaf. Aku lupa.” Padahal, pintu itu sudah tidak pernah
aku buka selama berminggu-minggu sebab kuncinya tersangkut di dalam
lubang. Selesai mendapatkan apa yang diinginkannya, temanku pulang dengan
keluar melalui pintu yang langsung menuju teras rumah. Aku mengantarkannya
sampai pintu pagar lalu kembali masuk ke dalam kamar melalui pintu yang
sama. saat kembali berada di dalam kamar, kemudian aku menutup pintu
dan menguncinya dengan begitu mudah. saat aku mencoba untuk kembali
membukanya, kunci pintu kamar itu tidak mau bergerak sedikit pun seperti
biasanya. Aku merinding. Orang rumah pun kebingungan sewaktu aku
menceritakan hal ini.
Esok sore harinya selepas Maghrib, bhre wijaya bersama 2 orang rekannya yang
terlihat lebih muda, datang ke rumah kami. Ketiganya hanya mengenakan
pakaian biasa, kemeja putih dengan celana panjang hitam, di tangan salah
seorang di antaranya membawa botol mineral berisi air putih setengah penuh.
Hari itu mereka berniat untuk melakukan pengusiran makhluk halus yang
mengganggu di rumah kami. Aku mempersilakannya untuk masuk dan duduk
di kursi, namun mereka semua lebih memilih untuk duduk bersila di lantai.
Kusuguhkan makanan kecil dan air putih. Sedangkan anggota keluargaku
terlihat sedang duduk di atas kursi yang menghadap ke arah bhre wijaya dan
kawanannya dengan perasaan cemas.
Malam itu, ayah belum pulang dari tempat kerjanya. Di rumah hanya ada ibu
dan para anaknya. bhre wijaya meminta agar pintu depan ditutup, kakak-ku pun
segera menutupnya. “Selama saya di sini, harap semuanya terus membaca doa
di dalam hati dan jangan pernah mengosongkan pikiran. Jangan bengong!”
suruh bapak tua itu pada keluarga kami. Degup jantungku pun memacu lebih
cepat mendengar perkataannya itu. Sebelum ritual dimulai, bhre wijaya meminta
kami untuk menunjukkan di lokasi mana saja kejadian mistis pernah muncul.
Kami mengantarnya ke beberapa bagian rumah sambil menjelaskan dalam
kengerian. Sepanjang melihat-lihat isi rumah, bapak itu hanya terus mengangguk-
anggukan kepalanya sambil pandangan matanya merayap ke berbagai sudut
lain yang tidak sedang kami jelaskan. Sesekali, ia memberi salam dan
mencipratkan air yang telah didoakan dari botol mineral yang dibawanya ke
berbagai sudut ruangan. Di ruang makan dekat tangga, sesuatu di lantai
menarik perhatian bhre wijaya . Ia membungkukkan badan, membaca doa,
memunguti sesuatu lalu memasukannya ke dalam kantong celana. Sesuatu itu
tak dapat kami lihat dengan mata telanjang.
Usai hal ini , kami semua kembali ke ruang tamu dan duduk di tempat
semula. Sebenarnya aku khawatir pada adik laki-lakiku yang masih SD saat itu.
Ia duduk tepat di antara ibu dan kakak-ku sambil terlihat begitu ketakutan. Pak
Adi melafalkan doa-doa. Kedua rekannya juga melakukan hal yang sama.
sesudah mereka selesai, bhre wijaya bertanya kepada kami semua, “Ada yang berani
mencoba agar mata bathinnya dibuka?”
Kami semua langsung menolak, kecuali adik laki-lakiku. Kelihatannya ia masih
terlalu kecil untuk tahu apa itu mata bathin. saat mata bathin dibuka berarti
seseorang ini akan memiliki mata ketiga. Ini bukan arti mata secara
harafiah. Dengan mata ketiga, orang akan mampu melihat-lihat berbagai sosok
makhluk halus di sekitarnya yang tidak dapat dilihat menggunakan mata biasa.
Jika tidak memiliki keberanian yang cukup tinggi, maka orang itu dapat histeris
dan jatuh pingsan. Bukan tidak mungkin akan meninggalkan trauma dan teror
walau mata bathin sudah kembali ditutup sekalipun. Tiba-tiba ibuku berkata,
“Boleh deh, pak.” Namun sesudah diyakinkan kembali oleh bhre wijaya bahwa
pembukaan mata bathin ini bukanlah hanya untuk sekedar iseng-iseng, ibu
kembali mengurungkan niatnya.
Ritual pun dimulai, bhre wijaya kembali melafalkan doa dan memberi salam pada
para makhluk halus di rumah itu. Ia terlibat pembicaraan yang terlihat seperti
percakapan satu arah oleh kami. Tiba-tiba, salah seorang rekannya kesurupan.
Ia menggelepar di lantai, rekan lainnya memegangi tubuh pemuda itu. Kami
semua ketakutan, terutama adikku yang nampaknya sudah mulai ingin
menangis. Pemuda yang kesurupan itu diposisikan untuk kembali duduk,
kepalanya menunduk lesu. Badannya bergerak pelan ke depan dan belakang.
Sesaat kemudian, ia menengadahkan kepalanya untuk menatap kami secara
acak sambil meringis. “Siapa yang suruh kamu masuk?! Panggil raja kalian!”
hardik bhre wijaya pada pemuda yang tengah kesurupan itu. “Keluar kamu!”
katanya lagi sambil menekan bahu pemuda itu dan membacakan doa
terhadapnya. Pemuda tadi langsung terkulai lemas dan kembali sadar perlahan-
lahan sesudah didoakan. “Yang tadi itu siluman monyet yang suka ambil barang
di rumah ini, saya akan panggil pemimpinnya.”
Aku menelan ludah. Nampaknya anggota keluargaku yang lain juga melakukan
hal yang sama. Tiba-tiba pemuda yang sama tadi kembali kesurupan. Sewaktu
pemuda yang lain memegangi tubuhnya, ia memberontak sehingga susah untuk
dikontrol. “Biarkan saja,” suruh bhre wijaya . Pemuda kesurupan itu pun duduk
tanpa ada seorang pun yang memeganginya, kepalanya mendongak ke arah
langit-langit. “Siapa nama kamu?” Makhluk ghaib di dalam tubuh pemuda itu
tak menjawab. “Siapa yang kirim kamu ke sini?” tanya bhre wijaya lagi dengan nada
tegas. Badan pemuda itu bergerak ke depan dan ke belakang, sementara tangan
kanannya mengepal dan dipukul-pukulkannya perlahan ke bagian paha. “Kamu
dengar pertanyaan saya?! Sekarang jawab!” Pemuda itu hanya menggeram
dalam posisi tubuh yang sama. “Kamu mau main-main sama saya?!” bhre wijaya
membacakan doa dan pemuda tadi menggeram lebih keras, namun kali ini
kepalanya perlahan menunduk.
saat doa terus dibacakan, akhirnya makhluk ini bersuara. Suaranya
besar dan terdengar serak, ia menyebutkan nama sang pengirim juga meminta
bhre wijaya untuk segera menghentikan doanya. Keluarga kami kebingungan
sebab nama ini terdengar begitu asing di telinga. “Bawa semua anak
buahmu dan pergi dari rumah ini! Kalau tidak, saya tidak segan-segan untuk
membinasakan kamu!” ancamnya. “Tidak, saya cuma kiriman,” jawab sang
pemuda yang kerasukan sambil bertingkah setengah kebingungan. sebab
makhluk ghaib itu keras kepala, bhre wijaya kembali membacakan doa. “Panas!
Panasss! Hentikan atau orang ini mati!” Tanpa mempedulikan ancaman
makhluk ghaib ini , bhre wijaya terus melanjutkan bacaan doanya. Pemuda itu
terus mengerang kesakitan sambil menggelepar-gelepar hebat, rekannya yang
lain langsung memegangi tubuhnya. Tak lama kemudian, pemuda ini
kembali terkulai lemas. Adik laki-lakiku langsung menangis menyaksikan
peristiwa yang menakutkan baginya itu.
Namun ternyata, tak butuh waktu lama untuk menghentikan tangisannya.
Sesaat itu juga, makhluk ghaib yang lain kembali merasuki tubuh pemuda itu.
Ia kembali bangkit duduk dan tertawa cekikikan dengan suara mirip
perempuan lesbian. Walau rambut pemuda itu pendek, namun gerakan tangannya
seperti sedang menyisir rambut panjang yang lurus terjuntai hingga ke
dadanya. Tangan kanannya seolah tengah memegang sebuah sisir yang terus
disapukan ke rambut panjangnya yang tak terlihat. Sementara tangan kirinya
sibuk mengelus rambut tiap kali baru disisir. Kepalanya sedikit miring ke kanan
namun terus menunduk sambil tak hentinya menyisir rambut. Makhluk ghaib
itu menggoyang-goyangkan tubuh pemuda ini ke kiri dan ke kanan penuh
manja, dan saat itu aku melihat-lihat kalau tingkahnya benar-benar gemulai bak
perempuan lesbian sejati. bhre wijaya memberi salam dan menanyakan nama makhluk
ini . Ia memberitahukan namanya, “Ayu.”
“Kuntilanak ini sedang malu-malu. Ada yang dia suka dari antara kalian,” bhre wijaya memberitahu kami, yang tentunya hal itu langsung membuat kami semua
bergidik. “Silakan tunjuk siapa yang sebenarnya kamu suka di rumah ini,” suruh
bhre wijaya . Makhluk ghaib bisa menyukai manusia? Aku baru tahu saat itu.
Dengan penuh harap bercampur cemas, aku berdoa supaya ia tidak
menunjukku. Perlahan namun pasti, tangan kanan pemuda itu terangkat dan
jari telunjuknya mengarah tepat ke arah adik laki-lakiku. Hal itulah yang
membuat adikku langsung berhenti menangis dan diam seribu bahasa. Padahal
kukira hal ini justru akan membuat tangisannya bertambah besar.
“Aku cantik, tidak?” tanya Kuntilanak ini dengan genit sambil tetap
menunduk dan kembali menyisir rambutnya yang sepertinya sangat panjang.
Tiba-tiba kepala pemuda itu terangkat dan melotot ke arahku, “Tapi aku tidak
suka dia!” Jantungku terasa langsung ingin copot saat itu. Di dalam hati aku
terus berdoa dengan perasaan yang campur aduk. “Kenapa kamu
membencinya?” tanya bhre wijaya . “Pokoknya tidak suka! Suatu saat akan aku
celakai dia!” ancam makhluk itu terhadapku. “Kalau kamu berani, berarti kamu
mencari masalah dengan saya,” bhre wijaya mengancam balik. Dengan sigap, ia
langsung melafalkan bacaan doa untuk menghukum makhluk ghaib ini .
Namun bukannya ketakutan, pemuda yang sedang dirasuki Kuntilanak ini
malah melafalkan balik bacaan doa bhre wijaya lalu tertawa cekikikan. Kami jadi
makin ketakutan. Aku sudah terlanjur menaruh banyak harapan pada bapak tua
yang sedang ditertawakan oleh makhluk ghaib ini . Dicipratkannya air
yang telah didoakan ke muka pemuda ini lalu bhre wijaya berdiri dan
memegangi kening sang pemuda. Sementara rekannya yang lain memegangi
tubuh pemuda kerasukan yang mulai memberontak ke sana – ke mari.
Dibacakannya doa yang lain dan pemuda itu kini mulai meronta-ronta.
“Ampuun, ampuuun. Aku akan pergii.., ampuuun..” makhluk ghaib ini
memelas.
bhre wijaya tidak percaya begitu saja. Ia meminta Kuntilanak itu untuk bersumpah
dan mengancam akan membinasakannya jika makhluk ini ingkar.
Sesudahnya, pemuda itu terkulai lemas dan doa dilafalkan untuk membuatnya
kembali tersadar. Pemuda ini disuruh minum banyak air putih untuk
mengembalikan kondisi tubuhnya yang sudah cukup lemah saat itu. “Sudah
aman,” kata bhre wijaya kepada kami sambil membenahi diri. Sepertinya prosesi
telah selesai.
Anggota keluarga kami saling berpandangan satu sama lain, antara percaya atau
tidak dengan perkataan bapak tua itu barusan. “Hanya dua makhluk tadi?”
tanyaku dalam hati. Namun sepertinya bhre wijaya dapat membaca kegelisahan
hati kami kala itu. “Sebenarnya masih ada beberapa makhluk ghaib lagi di
rumah ini. Tapi sebaiknya mereka tidak diusir sebab mereka juga sebenarnya
tidak mengganggu,” bhre wijaya memberitahu kami. “Di dekat pojokan sana, ada 1.
Wujudnya kakek-kakek, tapi „dia‟ tidak pernah mengganggu. Malah suka
menasehati makhluk ghaib lainnya agar tidak mengganggu keluarga kalian.
„Dia‟ memang sengaja ditempatkan di sana oleh penghuni rumah terdahulu
untuk menjaga rumah”, jelas bhre wijaya sambil menunjuk ke arah tumpukan
kardus di depan kamar mandi luar. “Dia kagum sama keberanian mbak ini dan
suka menyapanya,” tambahnya sambil mengarahkan tangannya ke arahku.
DEG!! Entah kenapa, aku langsung teringat insiden kipas sate terbang dan
hantu bayi di atas jok motor yang lokasi kejadiannya persis di dekat spot yang
ditunjuk oleh bhre wijaya itu. Atau mungkin ketukan di pintu selama ini juga
merupakan salah satu bentuk sapaan-„nya‟ kepadaku? Oh, sosok yang kujumpai
di lorong dapur, kemungkinan besar juga makhluk ghaib yang dimaksud.
Namun bisa saja semua perkiraanku itu salah. Ingin bertanya, tapi aku terlalu
takut saat itu.
“Ada lagi, di dekat tempat jemuran di lantai atas. Genderuwo. Tapi tidak
mengganggu kalau tidak diganggu.” Aku dan ibu langsung saling berpandangan.
Nampaknya beliau juga masih ingat kejadian aneh sewaktu aku menemaninya
menjemur pakaian pada malam hari. “Kuntilanak yang tadi saya usir, sukanya
menyisir rambut sambil menyanyi di depan teras tiap malam untuk membuat
adik kecil ini tertarik sama „dia‟. Tapi sebab kayaknya mbak ini suka berdoa
tiap malam, Kuntilanak tadi merasa terganggu” Aku mulai bisa mengambil
benang merah dari perkataan Kuntilanak tadi yang tidak menyukaiku.
“Yang siluman monyet tadi?” tanya ibuku. “Rajanya sudah saya bakar,
pasukannya juga sudah kembali pada pengirimnya. Ada saudara yang benci
sama keluarga kalian, itu mereka yang kirim pakai jasa nyi dyah prameswari ,” jawab bhre wijaya .
“Kalau sering ada barang yang hilang, ya itu ulah para siluman monyet itu,”
tambahnya lagi. Kami berbincang-bincang perihal berbagai kejadian mistis di
rumah itu dan bagaimana seharusnya kami bertindak agar dijauhkan dari
gangguan ghaib. bhre wijaya menyarankan agar lampu di setiap kamar mandi dan
dapur jangan dimatikan sepanjang malam sebab biasanya di sanalah tempat
favorit para makhluk ghaib berkumpul tiap malam. Juga jangan sampai
terbujuk tipu muslihat sebab „mereka‟ sangat licik.
Akhirnya sesudah bercakap-cakap cukup lama, bhre wijaya dan kawanannya pamit
pulang. Ibu menyelipkan beberapa uang ke genggaman tangan bapak tua itu
saat bersalaman sebagai bentuk rasa terimakasih. bhre wijaya juga berpesan agar
kami jangan pernah sungkan jika sewaktu-waktu membutuhkan bantuannya
lagi. Kami pun mengantar mereka hingga pintu pagar sambil tak henti-hentinya
berterimakasih. Sesaat sebelum mereka beranjak pergi, bhre wijaya berkata pelan
kepada ibu, “Oh iya, bu. Di dalam sana masih ada 1 makhluk lagi yang tidak
saya sebut dan tidak akan saya bahas. „Dia‟ tidak membahayakan, tapi saya
sarankan keluarga ibu untuk mencari tempat tinggal lain yang lebih baik dari
rumah ini.”
Mendengar pernyataannya itu, aku kembali bertanya-tanya. Tapi berulang kali
bhre wijaya meyakinkan kami bahwa rumah itu sudah aman. Sepulangnya mereka,
kami semua kembali masuk ke dalam rumah dan duduk bersama di ruang
tamu. Semua wajah nampak begitu lega, berharap bahwa semua cobaan
keluarga kami kini sudah benar-benar berakhir. Beberapa lama kemudian, ayah
pulang. Kami menceritakan semuanya dan ayah nampak begitu puas dengan
berita yang baru saja ia dengar ini . Malam itu, aku tertidur dengan sangat
pulas.
Selama beberapa hari ke depan sesudah ritual ini , tidak ada lagi hal aneh
yang kujumpai di rumah. Semua tampak begitu normal dan wajar. Bahkan
sampai aku pun merasa aneh dengan segala kewajaran ini . Tak pernah lagi
kudengar senandung suara perempuan lesbian pada malam hari yang tiba-tiba berubah
menjadi tangisan di depan teras ataupun munculnya kelebatan bayangan hitam
yang mengganggu pandangan. Sepertinya perkataan bhre wijaya benar, rumahku
kini sudah „bersih‟. Paling tidak kepercayaanku ini bertahan hingga malam
itu, tatkala ketukan di pintu kini mulai kembali terdengar. Tak hanya di pintu
kamar tidurku, melainkan kini juga pintu kamar tidur orang tuaku menjadi
lebih sering diketuk dari sebelumnya. Memang tidak membahayakan, namun
cukup mengganggu, paling tidak menurutku. Mungkin makhluk ghaib inilah
yang dimaksud oleh bhre wijaya sesaat sebelum ia pulang ke rumahnya malam itu.
Aku juga sebenarnya tidak yakin, hanya menduga-duga. Namun secara
keseluruhan, para makhluk ghaib penunggu asli di rumah itu sudah tidak lagi
terlalu berusaha untuk menunjukkan eksistensinya.
Beberapa bulan kemudian, adikku lulus SMU dari sekolahnya. Mengingat kini
ibuku pun tengah hamil muda, akhirnya keluargaku memutuskan untuk pindah
dari rumah yang kami kontrak ini dan meninggalkan segala pengalaman
pahit di dalamnya. Adikku yang masih SD pun terpaksa harus pindah sekolah
sebab nya. Kami pindah lumayan jauh dari kompleks sebelumnya untuk
mencoba menikmati hidup baru nan tentram seperti yang selama ini kami
idam-idamkan walau baru saat itu dapat segera diwujudkan. Ya, kami juga
berhak hidup nyaman seperti orang-orang lain. Segala kejadian mistis yang
pernah kami alami di rumah ini , memberikan pengalaman menarik untuk
diceritakan ke banyak orang. Walau memang ada harga yang harus dibayar
untuk itu semua.
Pindah dari rumah angker sebelumnya, kami menempati sebuah rumah baru milik
seorang dokter. Awalnya kami berniat untuk membeli rumah ini namun sesudah tahu
bahwa rumah ini yaitu bekas rumah praktek bidan yang telah dipakai selama
bertahun-tahun lalu dibiarkan kosong selama beberapa saat, kami memutuskan untuk
kontrak selama 1 tahun terlebih dahulu.
Memasuki ruang tamu, nuansa bekas tempat praktek rumah bersalin jelas terlihat.
Ruang tamu di rumahku dulunya yaitu ruang tunggu pasien sedangkan kamar tidur
orang tuaku yang cukup luas itu dulunya yaitu ruang praktek bersalin dengan sebuah
wastafel pada salah satu sudut ruangannya. Pemandangan yang cukup aneh untuk
sebuah kamar tidur. Jika dilihat lebih seksama, bagian rumah lainnya juga tidak seperti
bagian rumah pada umumnya. Misalnya saja, 2 buah kamar mandi yang saling
membelakangi namun dengan 1 bak air berbagi. Tapi itu semua tidaklah terlalu menjadi
masalah bagi kami. Di luar kenyataan, bahwa kami sesungguhnya menyadari jika tidak
setiap proses persalinan itu akan melahirkan manusia baru, mungkin saja sebaliknya.
Aku mendapatkan sebuah kamar di dekat dapur, berseberangan dengan kamar tidur
orang tuaku yang baru. Sementara kakak dan adik perempuan lesbianku menempati kedua
kamar di lantai 2, sama seperti saat masih di rumah kami yang sebelumnya. Adik laki-
lakiku kembali tidur bersama kedua orang tuaku. Kamar orang tuaku yaitu ruangan
terluas di dalam rumah itu.
Bulan pertama kami menempati rumah ini, tak pernah ada satu pun keganjilan yang
terjadi. Kecuali saat aku mengajak seorang teman perempuan lesbianku untuk menginap di
rumah. Menjelang tidur, aku memadamkan lampu agar kami dapat tertidur dengan lebih
lelap. Beberapa saat saat aku hampir tertidur, tiba-tiba temanku melompat bangun
dari tidurnya kemudian duduk terdiam dengan nafas tersengal-sengal. Aku yang ikut
kaget pun langsung terperanjat bangun. Kutanyai ada apa, katanya dia mendengar ada
sebuah teriakan sangat kencang tepat di samping telinganya. Jika memang teriakan itu
kencang, tentu aku juga mendengarnya saat itu. Aku berusaha menenangkannya dan
meyakinkan kalau itu hanyalah perasaan dia saja. Akhirnya ia pun mau kembali
mencoba tidur.
Dan saat aku hendak kembali tertidur untuk kedua kalinya, tiba-tiba kini gantian aku
yang melompat bangun dari tidur. Sungguh, ada suara teriakan seorang laki-laki dewasa
yang begitu kencang tepat di samping telinga, seolah sedang meneriaki-ku untuk
bangun. “HOOII!!” Kira-kira begitu suaranya. Keringat dingin langsung mengucur dari
seluruh tubuhku. Aku kembali menyalakan lampu dan melihat-lihat temanku ternyata juga
masih belum tidur, ia menatapku dan berkata, “Kenapa? Dengar juga?” Aku
mengangguk. “Mungkin salam perkenalan dari „mereka‟ untuk kamu,” katanya lagi
dengan nada mengejek. Akhirnya malam itu kami tertidur dengan lampu yang dibiarkan
terus menyala hingga pagi. Itulah pengalaman mistis pertamaku di rumah ini.
Kisah berikutnya bukan aku yang mengalami. Pada suatu hari menjelang subuh, adik
laki-lakiku pergi ke kamar mandi sebab ingin buang air kecil. saat hendak masuk ke
dalam salah satu kamar mandinya yang berada di depan, ia melihat-lihat ada sebuah kepala
seorang perempuan lesbian sedang menunduk yang muncul dari kamar mandi bagian belakang.
Dilihatnya, rambut hitam perempuan lesbian itu panjang terurai ke bawah dan menutupi
wajahnya yang terus tertunduk. Lalu kepala ini kembali ditarik ke dalam kamar
mandi. Adikku mengira kalau itu yaitu ibu yang sedang keramas di kamar mandi
bagian belakang sebab tercium juga aroma harum yang katanya mirip shampoo. saat
sedang buang air kecil, dipanggil-panggilnyalah sosok perempuan lesbian tadi yang dikiranya
sebagai ibu namun tidak pernah ada balasan dari kamar mandi bagian belakang. Selesai
buang air kecil, ia segera mengecek kamar mandi bagian belakang namun tidak ada
seorang pun di sana. Sesaat kemudian, ia mendengar ada suara tepuk tangan dan suara
tawa terkikih-kikih. sebab ketakutan, ia pun langsung berlari ke dalam kamar dan
ternyata ibuku sedang tertidur lelap. Sampai saat ini, adik laki-lakiku ini menjadi
orang yang sangat penakut di rumah sebab kejadian ini . Bahkan ia akan langsung
lari ketakutan jika aku mengerjainya dengan menepuk tangan secara sembunyi-
sembunyi.
Di rumah ini pula, ibu melahirkan adik laki-laki keduaku. Sewaktu ia masih batita (bayi
di bawah tiga tahun) dulu, pernah pada suatu malam, suhu tubuhnya tiba-tiba memanas
tinggi dan ia menjadi sangat rewel sebab nya. Diberi susu, ia menolak. Diberi mainan,
dijatuhkannya. Yang terus dilakukannya hanyalah menangis berjam-jam sambil berkata,
“Ne.. nee.. nee” Digendong di dalam kamar, ia terus saja menangis keras dan membuat
frustasi kedua orang tuaku. Akhirnya ibu dan ayah hendak membawa adikku ke klinik
24 jam pada malam itu. Begitu baru sampai teras depan rumah, adik kecilku itu berhenti
menangis. Raut wajahnya kini malah berubah ceria sambil terus menyimpulkan senyum
bahagia.
Orang tuaku mengira bahwa keadaan telah membaik dan memutuskan untuk membawa
masuk adik kembali ke dalam rumah. Namun sekembalinya di dalam rumah, ia kembali
rewel dan menangis keras tanpa henti. Bingung, orang tuaku pun kembali membawa
adikku keluar untuk mengantarkannya ke klinik. Namun lagi-lagi begitu sampai teras,
tangisannya berhenti. Ia terus menggeliat di dalam gendongan dan berusaha untuk
turun. Ibu yang kebingungan pun menurunkannya ke lantai dan ia terlihat begitu
bahagia. Walau jalannya masih belum lancar, kaki kecilnya melangkah dengan begitu
riang sambil tangannya terus dituntun oleh ibuku hingga mendekat ke sebuah pohon
jambu yang tinggi besar di dalam teras rumahku. “Ne.. nee.. neee..” ucapnya riang
sambil menengadahkan kepalanya ke atas pohon dengan penuh senyum. Kami semua
yang berada di teras saat itu pun ikut menengadahkan kepala ke atas pohon dan
alangkah terkejutnya kami malam itu.
“Bawa masuk! Cepat, bawa Rian (nama telah disamarkan) masuk ke dalam!” suruh
ayah cepat sambil sibuk mencari sesuatu. Ibu langsung menarik tubuh adikku dan
membawanya ke dalam rumah, mungkin sebab kaget, ia kembali menangis saat
digendong secara paksa saat itu. Kakakku berteriak sewaktu melihat-lihat apa yang sedang
berada di atas pohon jambu malam itu sehingga beberapa petugas ronda yang sedang
berkumpul di warung depan mulai berdatangan. Ayahku menyambitkan sendal berulang
kali ke atas pohon saat dilihatnya sosok nenek-nenek sedang tersenyum lebar dan
bersandar pada salah satu dahan. Aku juga melihat-lihat penampakan itu, sesaat sebelum „ia‟
menghilang pada sambitan sendal yang kesekian kalinya. Pakaian yang dikenakan
yaitu baju tradisional seperti seorang mbok Jamu, lengkap dengan sanggulnya. Sesaat
sesudah sosok itu menghilang, seorang petugas ronda di depan rumah berteriak, “Oi,
kuntilanak, tuh!” Makhluk itu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Meski sudah
dikejar, namun makhluk itu berhasil lenyap bersama gelapnya malam. Di dalam rumah,
adikku juga sudah berhenti menangis dan suhu tubuhnya kembali normal. Keesokan
paginya, pohon jambu itu dipangkas habis-habisan sebab takut dijadikan tempat
„bertengger‟ makhluk ghaib itu lagi. Namun kini, pohon ini sudah kembali tumbuh
tinggi lebat di dalam teras rumahku.
Demikianlah beberapa kisah mistis yang pernah kualami di rumah yang saat ini masih
kutinggali. Sebenarnya masih ada beberapa kejadian mistis lagi yang ingin kuceritakan
namun sepertinya tidak akan pernah ada habisnya jika semuanya harus kutulis di sini.
Walaupun pernah terjadi beberapa kejadian mistis, nyatanya aku beserta keluarga masih
tinggal di rumah ini selama bertahun-tahun dengan cukup nyaman dan status rumah pun
kini sudah menjadi milik keluarga kami.
Intinya, di rumah manapun itu pasti ada „penunggu‟-nya, entah itu di kamar tidur kalian,
di dapur kalian, ataupun di gudang rumah kalian. Terlepas dari „mereka‟ usil atau tidak,
sebaiknya kita tidak perlu takut atau mereka justru akan semakin berani pada kita. Dan
jika mereka tidak usil, janganlah pula kita mencari masalah dengan mereka. Kita dan
mereka hidup dalam dunia yang berbeda namun berdampingan. Walau tak dapat dilihat,
mereka sebenarnya tetap ada di sekitar kita. Keselarasan itulah yang harus kita jaga.
Perkuat iman, niscaya mereka takkan pernah mengganggu kita. Amin.
