Rabu, 10 Januari 2024

cerita horror 2

di teras depan saja. Tiba-tiba sang bapak 
berkata lagi, “Wah, ramai juga ya rumahnya.” Kepalanya menoleh ke kanan dan 
ke kiri, serta sesekali ke atas juga ke bawah. Bulu kuduk-ku langsung berdiri 
sebab  aku tahu apa yang sebenarnya ia maksud. Rupanya pasangan itu bukan 
tetangga dekat kami. Rumah mereka di gang belakang blok rumahku. Kebetulan 
mereka sedang melintas untuk pulang ke rumahnya saat para tetangga 
berkumpul di depan rumah kami tadi. sesudah  memberitahukan nama dan 
posisi rumahnya, bapak dan ibu tua itu pun pamit pulang. “Jangan ragu-ragu 
kalau nanti mau mampir,” kata sang isteri. Kami pun mengangguk dan 
mengucapkan terimakasih. 
 
Sore itu hingga malam, kami berdua duduk di kursi yang berada di teras rumah. 
Tak satu pun dari kami yang berani kembali masuk ke dalam dan berharap agar 
ada orang rumah lainnya yang segera pulang. Hati kami sedikit lega saat  
melihat-lihat  adik pulang. Namun sesudah  mendengar cerita itu, ia pun takut untuk 
masuk dan menemani kami berdua untuk duduk-duduk di teras pada akhirnya. 
Kemudian ibuku pulang bersama adik laki-lakiku yang masih SD. Walaupun 
nampaknya beliau juga takut, akhirnya kami semua berhasil diyakinkan untuk 
kembali masuk ke dalam rumah. Malam itu, aku langsung masuk ke dalam 
kamar dan bunyi ketukan pintu langsung menyambut. Aku tak lagi takut, aku 
sudah hampir terbiasa. Esok harinya, kipas itu hilang tak berbekas. Dan ke 
depannya kami pun membeli kipas yang baru. 
 
Ini kisah yang lain lagi, terjadi beberapa minggu sesudah  kejadian pada cerita di 
atas. Tengah malam itu aku masih belajar menghapal untuk Test salah satu 
mata kuliah nanti siang. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku pun 
keluar kamar dan berencana untuk menumpang di kamar mandi di dalam 
kamar mandi orang tuaku. Itu yaitu  kamar mandi yang terdekat dari kamar 
tidurku. saat  pintu coba kubuka, ternyata dikunci. Ya, memang harus untung-
untungan. Terkadang memang orang tuaku mengunci pintu kamar saat  tidur, 
namun ada kalanya juga tidak saat  mereka lupa. Terpaksa aku pun harus 
menggunakan kamar mandi luar yang berada di dekat ruang tamu. Sebenarnya 
aku paling malas kalau harus ke kamar mandi selarut itu, apalagi jika harus ke 
kamar mandi luar. Biasanya aku sudah sibuk bolak-balik ke kamar mandi 
menjelang tidur supaya tidak tiba-tiba ingin buang air kecil pada saat tengah 
malam seperti saat itu. Mau tidak mau, aku pun harus menyusuri ruang makan 
dan dapur. Entah kenapa, bulu kudukku berdiri saat  melintasi area dapur 
pada saat itu. Aku pun terus berjalan perlahan-lahan sebab  ruangan yang 
sedikit remang akibat ada beberapa lampu yang memang sengaja dimatikan 
tiap malam sebelum keluarga tidur guna menghemat listrik. Terutama di ruang 
tamu, terkadang kedua lampu di sana malah tidak dinyalakan sama sekali, 
namun biasanya lampu kamar mandi di dekat sana selalu dinyalakan sepanjang 
hari. Malam itu, hanya satu lampu yang dinyalakan di ruang tamu. Walau agak 
gelap, aku masih dapat melihat-lihat  dengan jelas segala sesuatunya. Sesaat saat  
mendekati area parkir motor di dalam rumah yang harus aku lewati untuk 
dapat sampai ke kamar mandi, aku berhenti mematung. 
 
Keluargaku memang terbiasa memarkir motor di dalam rumah. Ayahku suka 
was-was tiap kali mendengar di kompleks itu ada berita tetangga yang 
kehilangan motor yang sedang diparkir di luar. Saat itu, kami memiliki 3 buah 
motor yang selalu diparkir di dalam rumah pada tiap malamnya. Namun bukan 
motor yang sedang di parkir itu yang membuatku berhenti mematung. 
Melainkan sesosok makhluk ghaib berwujud bayi yang sedang tertelungkup di 
atas salah satu jok motor kami. Bayi itu sedang menatap ke arahku. Kepalanya 
botak, matanya bulat, tak berpakaian, persis seperti bayi manusia normal pada 
umumnya. Yang membuatnya tidak normal yaitu  saat  ia sedang terus 
melihat-lihat  ke arahku, senyum lebarnya tak pernah lepas dari wajahnya. Aku yang 
masih bingung dengan penglihatanku saat itu tetap terdiam saja di tempat, 
masih belum yakin benar apakah itu bayi sungguhan atau bayi jadi-jadian. Aku 
baru yakin saat  bayi ini  tertawa, “HE! HE! HE!” Suaranya bukan suara 
seorang bayi melainkan suara laki-laki dewasa. Ia menggoyangkan kepalanya ke 
kanan dan ke kiri secara berirama sambil terus tertawa pelan. Aku yang sudah 
benar-benar ketakutan langsung kembali ke dalam kamar. Niatku untuk buang 
air kecil tak dapat kusalurkan. sebab  rasa sakit ingin buang air kecil yang 
harus aku tahan hingga pagi itu dan juga pikiranku yang sudah tidak bisa 
konsentrasi gara-gara penampakan tadi, aku memutuskan untuk menyudahi 
belajar dan pergi tidur dengan tanggungan rasa yang sangat tidak nyaman 
harus kurasakan. 
 
Paginya, aku menceritakan hal ini  pada orang tua dan mereka hanya 
merespon sekenanya. Entah mereka percaya atau tidak. Namun yang pasti, 
mereka sudah percaya bahwa rumahku saat itu memang tidaklah beres. Sekitar 
dua bulan sesudah  kejadian itu merupakan masa Lebaran. Keluargaku berencana 
untuk mudik selama sepekan di Purwokerto. Sebuah rutinitas yang keluarga 
kami lakukan tiap tahunnya. Namun tahun itu berbeda. sebab  saat  
keluargaku mudik akan ada dua acara yang diadakan oleh teman dekatku dan 
kehadiranku sangat diharapkan di sana, akhirnya aku memilih untuk tidak ikut 
mudik. Ya, aku lebih memilih untuk menunggu rumah yang sudah banyak 
„penunggu‟-nya itu seorang diri selama keluargaku pergi ke kampung halaman. 
Aku mungkin tergolong nekat namun saat itu aku juga memang sedang malas 
bepergian jauh. Keluargaku yang khawatir sempat tak mengizinkan. Namun 
sebab  aku bersikeras, akhirnya mereka memenuhi keinginanku sesudah  
berpesan agar aku harus dapat menjaga diri dan seisi rumah dengan sebaik-
baiknya. Namun keputusanku di kala itu ternyata harus dibayar cukup mahal 
dengan beberapa  pengalaman mistis yang tak pernah terlupakan. 
 
 
Siapapun yang tahu bahwa rumahku angker dan mendengar keputusanku 
untuk menjaga rumah selama 1 minggu seorang diri mungkin akan 
menganggapku gila. Namun itulah kenyataannya yang terjadi saat itu. Sudah 
kubilang sejak awal, kalau aku ini mungkin tergolong anak yang paling 
pemberani di keluargaku. Sesungguhnya, tidak seberani yang kalian pikirkan. 
 
Ayah memberiku Rp250.000 untuk uang pegangan selama ditinggal seminggu 
di rumah. Sekardus mie instan dan 1 kilo telur ayam juga sudah tersedia di 
dapur untuk bahan persediaan makanan jika aku sedang malas membeli 
makanan di luar. sebab  di kamarku hanya ada  kipas angin (ceiling fan), 
ayah menyarankan agar aku tidur di kamarnya saja selama keluarga pergi 
mudik. Kamar tidurku yaitu  satu-satunya kamar yang tidak menggunakan 
pendingin ruangan (AC) di rumah itu. Boleh juga, pikirku. 
 
Mereka berangkat pagi-pagi buta. sesudah  berpamitan, aku pun kembali masuk 
ke dalam rumah. Kupindahkan semua buku pelajaran dan perlengkapan lainnya 
yang biasa kugunakan sehari-hari dari kamarku ke kamar orang tuaku. Subuh 
itu tak nampak ada yang aneh. Mungkin sebab  sebenarnya mataku juga masih 
setengah mengantuk saat itu. Sesudahnya, aku kembali melanjutkan tidur di 
kamar orang tua. Hari itu, aku bangun siang. Belum ada kabar bahwa 
keluargaku telah sampai di tujuannya. Aku membuka pintu depan agar bagian 
dalam rumah mendapat penerangan tambahan dari sinar matahari lalu pergi 
mandi di kamar mandi di dalam kamar tidur orang tuaku. 
sesudah nya, aku pun pergi ke dapur untuk memasak mie instan sebab  perut 
mulai merasa lapar. Masih belum ada yang aneh. Walau dalam hati sebenarnya 
ada perasaan takut, aku bertingkah pura-pura santai dan berani agar „mereka‟ 
tidak berniat mengusiliku. Oh iya, di dapur ini ada sebuah lorong yang 
ujungnya berbatasan dengan tembok kamar tidur orang tuaku. Lorong itu 
cukup panjang dan begitu gelap sebab  tidak ada penerangan di sana. Di bagian 
tengah lorong ada tempat mencuci piring yang dilengkapi kran (kitchen sink) 
tapi sebab  rusak jadi tidak pernah dipakai . Sedangkan di ujung lorong tidak 
ada apapun. 
 
Aku kembali ke kamar orang tuaku untuk menikmati mie instan sambil 
menonton TV. Saat itu, aku juga sedang libur kuliah panjang sehingga bisa 
sepanjang hari di dalam rumah setiap harinya. Dari siang hingga malam, aku 
hanya berbaring di atas kasur sambil nonton TV dan sesekali berselancar ke 
dunia maya dengan HP-ku. Tentu aku juga tak melupakan mandi di sore hari. 
saat  ada tukang mie tek-tek yang melintas di depan rumah, aku langsung 
keluar untuk membelinya sebagai lauk makan malam. Sama sekali tidak ada 
yang aneh di rumah sepanjang hari itu. Dan aku berharap semoga keadaan 
seperti itu terus berlangsung hingga keluargaku kembali ke rumah lagi pada 
minggu depan. Sesaat sebelum tidur, aku berdoa selama 1 jam seperti biasa. 
Malam itu, aku dapat tidur dengan cepat dan nyenyak. 
 
Hari kedua menjaga rumah seorang diri. Aku bangun lebih pagi dan segera 
mandi sebab  hari ini aku dan teman-teman dekatku berencana untuk pergi 
berwisata ke Taman Buah Mekarsari. Jam 9 pagi kami sudah harus berkumpul 
di rumah seorang teman untuk berangkat beriringan dari sana. sesudah  
kupastikan seluruh keadaan rumah dalam keadaan aman, aku pun mengunci 
pintu dan pergi ke rumah temanku pada pukul setengah 9 pagi. Kami berangkat 
bersama dalam rombongan beberapa buah motor dan menghabiskan waktu 
hingga sore di tempat wisata itu. Sekembalinya aku ke rumah, hari mulai 
menjelang malam. Bodohnya, pagi tadi sebelum berangkat, aku lupa 
membiarkan seluruh lampu-lampu di rumahku menyala. Jadilah aku harus 
masuk ke dalam rumah yang gelap gulita ini  untuk menyalakan lampu di 
seluruh bagian rumah. 
 
Lampu pertama yang harus aku nyalakan yaitu  lampu teras. Ini tak sulit 
sebab  letak tombolnya tepat di bagian tembok sebelah kanan begitu aku mulai 
membuka pintu depan dan masuk ke dalamnya. Berbekal sedikit penerangan 
dari teras, aku juga berhasil menyalakan lampu ruang tamu yang tombolnya 
berada di dekat TV dan juga lampu kamar mandi di dekat ruang tamu ini . 
Aku kembali ke depan ruang tamu dan masuk ke dalam kamar tidur orang 
tuaku. Belum sempat lampu kunyalakan, tiba-tiba TV yang berada di atas 
lemari itu menyala sendiri. Anehnya, ia menyala dengan volume yang amat 
keras dan tampilan layarnya hanya berupa bintik hitam dan putih (gambar 
„semut‟). “BZZZZZT!” Kira-kira seperti itulah bunyi yang sangat mengagetkan 
itu kudengar. Aku langsung buru-buru menyalakan lampu kamar dan 
bersamaan dengan itu, TVpun kembali mati dengan sendirinya. Saat itu aku 
menganggap kalau itu hanyalah gangguan arus listrik yang menyebabkan TVku 
menyala sendiri. 
 
Kemudian kunyalakan lampu kamar mandi di dalam kamar tidur orang tuaku 
lalu juga lampu kamar tidurku yang tombolnya berada di tembok luar kamar. 
sesudah nya, aku kembali berjalan menuju ruang makan dan dapur untuk 
menyalakan lampu di sana. Tidak ada lampu dari ruang lainnya manapun yang 
membantu memberikan penerangan ke area di bagian belakang rumah ini. 
Gelap, benar-benar gelap. Tombol lampu ada di tembok bagian tengah di antara 
ruang makan dan dapur. Pelan-pelan aku menyusuri ruangan itu sambil 
tanganku meraba ke sana-ke mari agar tidak menubruk apapun. Di saat 
jantungku juga sedang berdesir sebab  takut, tiba-tiba kurasakan ada sebuah 
tangan yang menepuk punggungku. Begitu nyata hingga dapat kurasakan 
beberapa jarinya. Tubuhku langsung kaku ketakutan. Ingin kutolehkan kepala 
pun saat itu sedang gelap gulita. Ingin kutanya “Siapa?” pun, sebenarnya aku 
tak mau mendengar jawaban apapun di saat aku merasa memang sedang 
sendirian di dalam rumah itu. 
 
 
Akhirnya kuputuskan untuk kembali melangkah walaupun saat itu kaki terasa 
amat berat. Lampu ruang makan pun berhasil kunyalakan dan aku segera 
menoleh ke tempat di mana aku merasakan tepukan tadi. Namun tidak ada 
seorang pun di atas sana. sebab  nyaliku sudah terlanjur ciut, aku memutuskan 
untuk tidak menyalakan lampu-lampu di lantai atas. Aku kembali ke kamar 
tidur orang tuaku dengan melewati ruang tamu sesudah  sebelumnya 
menggembok pintu pagar dan mengunci pintu depan rumah. Aku mengunci 
kedua pintu di dalam kamar tidur itu sebab  ketakutan. Kuputuskan untuk 
segera tidur tanpa mandi, namun kusempatkan untuk mengganti pakaian. Di 
saat aku berdoa menjelang tidur, samar-samar aku mendengar suara tangisan 
perempuan lesbian dari jendela di kamar itu. Sama seperti suara tangisan yang biasa 
kudengar dari jendela di kamarku yang mengarah ke teras. Saat itu padahal jam 
masih menunjukkan pukul 10 kurang. Namun sebab  sudah terlalu letih, aku 
mengabaikannya dan memaksakan tubuhku untuk segera beristirahat. 
 
Hari ketiga, aku kembali bangun siang sebab  tubuhku sangat lemas pada hari 
sebelumnya. Pegal-pegal kurasakan saat  berusaha beranjak dari tempat tidur 
untuk mandi. Namun sesudah  mandi, pegalnya sedikit berkurang. Aku ke dapur 
untuk memasak mie instan. Kulihat beberapa buah telur telah jatuh dan pecah 
di lantai. Telur lainnya masih utuh di dalam kantong plastik yang tergeletak 
aman di atas meja makan. Mungkin ulah tikus, pikirku positif. Walau aku tahu 
kalau tidak mungkin itu ulah tikus. Kantong plastiknya masih tergeletak dengan 
rapi, kalau memang tikus yang menjatuhkan telur-telur ini , tentunya 
kantong plastiknya sudah berantakan. Tak apalah, aku tak mau ambil pusing 
saat itu. sesudah  kubersihkan, aku pun menggoreng telur dan membuat mie 
instan untuk makan siang. 
 
Siang hingga sore, aku hanya bermalas-malasan di atas kasur sambil membaca 
buku pelajaran sebab  akan ada serangkaian Test saat  aku kembali masuk 
kuliah nanti. saat  hari makin gelap, aku menyalakan semua lampu di rumah 
seperti biasa. Tidak ada gangguan saat itu. Aku kembali ke kamar dan pergi 
mandi. sesudah nya, aku kembali melanjutkan bacaan. Saking seriusnya belajar, 
aku tak menyadari kalau malam semakin larut. “CTAK!” Jendela kamar orang 
tuaku ditimpuk kerikil. Kusibakan gorden untuk mengintip, namun kosong di 
luar sana. Aku kembali belajar walau konsentrasiku terganggu dengan kejadian 
barusan. Di saat aku sedang kembali fokus, tiba-tiba TV kembali menyala 
sendiri dengan volume yang sangat keras dan gambar „semut‟. Jika volume 10-
12 yaitu  standar normal untuk volume TV di ruangan itu, mungkin yang 
kudengar saat itu yaitu  volume 20-30. Sangat keras hingga aku pun langsung 
terperanjat dan refleks melempar buku yang sedang kubaca. Tak sampai 5 detik, 
TV itu kembali mati dengan sendirinya. Aku mencoba untuk mengecek TV 
dengan kembali menyalakannya. sebab  remote tidak kunjung kutemukan, 
kunyalakan TV dengan menekan tombol yang ada pada bagian bawahnya 
dengan agak ketakutan. TV menyala dengan volume normal dan gambar siaran 
TV yang juga tidak ada masalah. Aku coba untuk mengganti siaran dari satu 
saluran ke saluran lainnya, juga tidak ada masalah. Akhirnya TV kembali 
kumatikan dan aku mengirim SMS pada ibuku untuk menanyakan perihal TV 
ini . Ibu memberitahu kalau ia tidak pernah mengalami kejadian seperti 
itu. 
 
Tiba-tiba lagi, aku mendengar ada seseorang yang sedang mandi di dalam 
kamar mandi di dalam kamar itu yang pintunya tengah tertutup. Suara gayung 
yang beradu dengan keramik, juga suara siraman air langsung memompa 
jantungku. Aku langsung mengadukan hal itu pada ibuku lagi, dan beliau 
menyuruhku untuk mengecek ke dalam kamar mandi. Aku tak punya cukup 
nyali untuk melakukannya. sesudah  saling terus mengirimkan SMS, ibu bilang 
bahwa mereka akan kembali ke rumah lebih cepat dari jadwal semula. Aku pun 
berusaha sekuat tenaga untuk dapat tidur malam itu namun amat sulit. saat  
kudengar jendela kamar kembali ditimpuk dengan kerikil, entah oleh siapa, 
akhirnya aku memutuskan untuk kembali tidur di kamar tidurku sendiri saja. 
sesudah  menelungkupkan badan dan menutup kepalaku rapat-rapat dengan 
bantal di atas kasurku seperti biasanya, aku pun akhirnya tertidur. Selama di 
rumah itu, aku memang tidak pernah menggunakan bantal sebagai alas saat  
tidur, melainkan kujadikan sebagai penutup kepala untuk menutupi 
penglihatanku bilamana terbangun di tengah malam. 
 
Hari keempat, aku bangun siang seperti biasanya. Sore nanti akan ada acara 
yang hendak diadakan oleh seorang teman dekatku. Acara ini  juga 
merupakan acara perpisahan sebelum keluarganya pindah ke Palembang. Itulah 
sebabnya aku memilih untuk tidak ikut keluarga mudik daripada harus 
melewatkan acara penting ini . Siang sampai sore, aku hanya 
membersihkan rumah. Merapikan segala sesuatunya agar ibu tidak mengomel 
saat  pulang nanti sebab  melihat-lihat  rumah berantakan. „Mereka‟ tidak berulah 
saat itu dan aku bersyukur sebab nya. Pukul 4 sore, aku menyalakan seluruh 
lampu di rumah dan berangkat menuju rumah temanku dengan berjalan kaki. 
Letaknya tidak terlalu jauh, cukup 10-15 menit dengan berjalan kaki. Di sana 
sudah berkumpul teman-teman dekatku yang lain dan kami berpesta kecil-
kecilan sampai malam. 
 
Usai acara, aku kembali pulang ke rumah dan langsung masuk kamar untuk 
tidur. Keluargaku akan pulang esok hari. Berangkat sore dari Purwokerto dan 
akan sampai trowulan mojokerto  sekitar subuh lusa harinya. Aku sangat lega sebab  akan 
segera kembali berkumpul dengan keluarga. Mungkin sebab  terlalu banyak 
minuman bersoda, kini aku merasakan ingin buang air kecil. Sudah malam, 
sendirian pula. Hatiku agak galau antara ingin buang air kecil atau menahannya 
saja hingga pagi. Kalau menumpang buang air kecil di kamar orang tuaku, aku 
takut sebab  teringat ada yang „mandi‟ di sana pada malam sebelumnya. Kalau 
kamar mandi luar di dekat ruang tamu, aku takut kalau bertemu dengan bayi 
jadi-jadian waktu itu lagi. Tapi sebab  sudah benar-benar tak dapat aku tahan 
lagi, aku pun memberanikan diri untuk menumpang buang air kecil di kamar 
orang tuaku. Baru kubuka pintu kamarku dan berjalan sedikit, sebuah 
penampakan menyambut. 
 
Sekelebatan bayangan yang biasa kulihat berlompatan mirip monyet itu 
nampaknya memang benar berwujud monyet. Jauh di ujung sana, di bawah 
meja makan, ada seekor makhluk mirip monyet kecil berwarna hitam sedang 
duduk di lantai sambil tubuhnya mengarah kepadaku. Bagian wajahnya sangat 
hitam dan nyaris tak dapat kulihat dengan jelas mukanya. Tak lama kemudian, 
ia melompat ke atas meja dan menghilang. Niatku untuk ingin buang air kecil 
pun langsung hilang sesaat . Dengan cepat, aku kembali masuk ke kamar dan 
mengunci pintunya, berusaha tidur sambil tak henti-hentinya berdoa dalam 
hati. 
 
Tak satu pun teman perempuan lesbianku yang bersedia menginap di rumahku saat  
kuajak saat  sedang berkumpul tadi. Mereka semua sudah tahu kalau rumahku 
angker dan tak satupun dari mereka yang berani ambil resiko. Namun saat  
mereka menawarkanku untuk menginap di rumahnya, gantian aku yang 
menolak. Aku tak mau merepotkan keluarga orang lain. Dan juga ada amanat 
yang harus aku jalani yaitu menjaga rumah dengan baik. Namun saat itu, aku 
menyesal telah menolak tawaran temanku tadi. 
 
Hari ini yaitu  hari terakhir bagiku menjaga rumah seorang diri sebab  esok 
subuh keluargaku akan kembali sampai di rumah jika tidak ada halangan 
berarti. Aku begitu bersemangat dan hampir melupakan semua perjuanganku 
menjaga rumah seorang diri selama sepekan itu. Pagi itu aku beli makan di luar, 
membersihkan rumah, kembali belajar hingga sore, makan malam dengan mie 
instan dan semuanya berlangsung tanpa ada keanehan apapun. saat  malam 
menjelang, aku menyalakan seluruh lampu di rumah dan berencana untuk tidur 
lebih awal supaya dapat terbangun untuk membukakan pintu bagi keluargaku 
esok subuh. Tengah malam menjelang subuh, aku terbangun sebab  di teras ada 
suara yang cukup gaduh. “Ah, keluargaku sudah pulang!” pikirku girang dalam 
hati. Untuk memastikannya, aku membuka gorden jendela kamar dan berniat 
untuk mengintip ke arah teras. Namun aku kaget sewaktu jendela bagian luar 
ternyata ditutupi oleh kain panjang berwarna putih. Aku tidak pernah ingat 
kalau ada kain apapun yang dipakai untuk menutupi jendela kamarku. Ingin 
kubuka jendela kamar saat itu untuk memeriksanya, tapi aku takut. Akhirnya 
aku langsung beranjak ke kamar orang tuaku. Dari sana, aku berusaha 
mengintip dari jendela kamar orang tuaku ke jendela kamar tidurku yang 
letaknya di sebelah barat laut dari pandangan saat itu. Tidak ada kain apapun 
yang menutupi jendela kamar tidurku saat kali ini kulihat. Aku jadi mungkin 
bingung. Mungkin salah lihat sebab  mata masih mengantuk, pikirku untuk 
menenangkan diri. 
 
Aku bergegas ke ruang tamu. Sesampainya di sana, aku langsung menyibakkan 
gorden untuk mengintip ada siapa di luar. Kosong. Keluargaku ternyata belum 
pulang. Kutengok jam dinding saat itu ternyata baru menunjukkan pukul 2 
pagi. sebab  merasa haus dan botol air minum yang kusimpan di dalam kamar 
pun sudah habis airnya, aku pun pergi menuju kulkas yang ada di dapur. Letak 
kulkas ini tepat di depan lorong kosong. Aku mengambil gelas dari rak piring 
lalu membuka kulkas untuk menuangkan air minum ke dalam gelas kosong 
tadi. Sewaktu aku sedang menuangkan air, tiba-tiba tengkuk-ku merasa 
merinding. Aku merasa seperti ada yang sedang mengawasiku dari belakang. 
Aku menoleh ke ujung lorong yang gelap di belakangku namun tidak melihat-lihat  
apapun di sana. Aku meneguk air minum dan meletakan kembali botol ke 
dalam kulkas lalu menutupnya. Tetap saja aku merasa seperti sedang 
diperhatikan. 
 
sesudah  puas minum, aku membalikkan sedikit tubuhku dan berniat untuk 
kembali ke kamar. Sesaat sebelum melangkahkan kaki, aku kembali menoleh ke 
ujung lorong itu dan melihat-lihat  penampakan paling mengerikan yang pernah aku 
lihat selama ini. Sebuah sosok hitam mirip bayangan setinggi orang dewasa 
namun sedikit lebih tinggi lagi, sedang berdiri di pojok lorong yang gelap itu. 
Yang membuatku sangat ketakutan yaitu  sebab  makhluk itu sedang 
melambai-lambaikan tangannya ke arahku, seakan ingin menyapa. 
 
Gelas terjatuh dari genggamanku dan menggelinding ke lantai. Tidak pecah 
sebab  yang aku ambil saat itu yaitu  gelas plastik. Aku berlari sekencang 
mungkin ke dalam kamar. Kaki kananku sempat terantuk anak tangga dan 
berdarah sebab  tepian kuku jempolnya menancap ke dalam daging. Di dalam 
kamar, aku terus berdoa sambil meringis kesakitan. Tak henti-hentinya aku 
berdoa sampai akhirnya keluargaku benar-benar pulang. Aku hampir menangis 
saat  menyambut kedatangan mereka sebab  begitu senangnya. Saat itu 
sekitar jam 4 kurang. Tanpa peduli mereka masih lelah sebab  perjalanan jauh 
atau tidak, aku menceritakan semua pengalaman aneh yang kualami selama 
menunggu rumah, terutama kejadian mistis terakhir yang aku alami tadi. Aku 
menceritakan sosok makhluk yang kulihat tadi dan mati-matian berusaha 
membuat mereka percaya. Ibu percaya dan berkata kalau nanti sore akan 
mencari „orang pintar‟ lainnya untuk menyudahi semua keanehan ini sementara 
komentar ayah hanya singkat, “Jadi makhluk di lorong itu masih berani muncul 
lagi, ya.” “Lagi?” aku kebingungan. 

 
sebab  lelah sedari perjalanan jauh, keluarga kami pun langsung tidur di kamar 
masing-masing dengan begitu nyenyaknya. Di dalam kamar, aku masih bingung 
dengan perkataan ayah tadi. Meskipun begitu, aku juga harus segera ikut tidur 
sebab  waktu istirahatku masih sangat kurang. Kini keluargaku sudah kembali 
berada di rumah, aku berharap dapat tidur dengan lebih tenang saat itu. Dari 
luar teras, terdengar suara cekikikan perempuan lesbian, lalu berganti dengan 
senandung seperti yang terkadang kudengar. sebab  sudah cukup terbiasa 
mendengar suara ini , aku pun mengabaikannya dan tertidur nyenyak 
subuh itu. 
 
Aku bangun menjelang siang. Ibu dan kakak sudah tidak ada di rumah sebab  
sedang mencari rumah ba bhre wijaya (nama telah disamarkan), bapak tua yang 
menemani aku dan kakakku bersama isterinya dulu saat  ada insiden kipas 
sate terbang di rumah. Aku mencari ayah yang masih libur kerja hari itu. 
Kutemuinya di ruang tamu, ia sedang menonton TV. “Yah, aku mau tanya,” 
ujarku membuka percakapan. Kusinggung lagi makhluk mistis yang kulihat di 
lorong tengah malam tadi, juga maksud dari komentarnya yang membuatku 
bingung. 
 
“Bagaimana sosok yang kamu lihat waktu itu?” tanya ayah. Aku menjelaskannya 
sesuai dengan apa yang aku lihat waktu itu. “Ayah pernah melihat-lihat nya juga?” 
tanyaku. Beliau mengangguk. Ayah bercerita bahwa pada suatu tengah malam 
di bulan lalu, ia belum juga bisa tidur sementara ibu dan adik laki-lakiku sudah 
lama terlelap. sebab  acara TV sudah tidak ada yang menarik, ia pun 
mematikannya lalu rebahan sambil menatap langit-langit kamar dengan pikiran 
kosong. Dialihkannya pandangan ke dalam kamar mandi yang pintunya sedang 
terbuka saat itu. Tidak ada yang menarik sampai pandangan matanya tertahan 
pada lubang ventilasi di dalam kamar mandi ini . 
 
Bagian belakang dari kamar mandi yaitu  ruang makan. Dari lubang ventilasi 
ini , dapat diketahui bahwa lampu di ruang makan sedang menyala. 
Sebenarnya tidak ada yang aneh, bila saja cahaya lampu yang sedang dilihatnya 
dari lubang ventilasi itu tidak tiba-tiba padam. Ayah pikir, mungkin lampunya 
rusak dan memang sudah harus diganti sebab  cahayanya pun kini sudah tak 
seterang waktu ia pertama kali memasangnya. Namun tiba-tiba, cahaya lampu 
kembali terlihat dari lubang ventilasi di dalam kamar mandi dan kembali 
padam tak lama kemudian. Ayah yang kebingungan, terus memperhatikan 
lubang itu. Lubang-lubang itu cukup besar dengan kawat nyamuk tipis yang 
melapisinya. saat  lampu di ruang makan kembali menyala, ayah yang sedang 
memperhatikan lubang itu pun terperanjat sebab  pasalnya saat itu terlihat 
sosok bayangan hitam berupa kepala yang sedang mengintip ke dalam kamar 
lalu pergi dari balik lubang ventilasi ini . 
 
Ayah yang sebenarnya sangat penakut ini memutuskan untuk mengecek ke 
dapur sambil membawa sapu ijuk dari dalam kamar. Dibukanya perlahan pintu 
kamar dan didapatinya lampu ruang makan masih dalam keadaan menyala. 
Dengan mengendap-endap, ayah berjalan menuju tembok dengan lubang 
ventilasi kamar mandi yang berada di ruang makan. Ditengokkan kepalanya ke 
segala penjuru, namun ayah tidak menemukan sosok yang ia lihat dari dalam 
kamarnya tadi. Ia terus berjalan ke arah dapur, menuju ke area tempat parkir 
motor. Namun begitu tepat melintas di depan lorong yang ada  di area 
dapur, ayah mendengar suara seperti orang yang sedang memanggilnya dengan 
bisikan. 
 
“PSSST!” Ia berhenti sesaat . saat  ia menoleh ke arah sumber suara di pojok 
lorong, ayah melihat-lihat  juga sosok bayangan hitam sama seperti yang aku lihat 
tengah malam itu, sedang melambai-lambaikan tangannya ke arah ayah. Ia 
yang ketakutan langsung melemparkan sapu yang dipegangnya ke arah 
makhluk itu dan sosok misterius itu pun menghilang. Ayah mengancam, jika 
makhluk ghaib itu masih berani mengganggu ia dan keluarganya, ayah takkan 
segan-segan untuk meminta bantuan „orang pintar‟ untuk membinasakannya. 
Ancaman ayah tengah malam itu hanya dibalas dengan bunyi gayung yang jatuh 
di dalam kamar mandi. Sekembalinya ayah ke dalam kamar tidur, ia masuk ke 
dalam kamar mandi untuk mengembalikan gayung ke tempatnya semula lalu 
menutup pintu kamar mandi ini  dan berusaha keras untuk dapat segera 
tertidur. Paginya, ayah memberitahukan hal ini pada ibu dan mereka setuju 
untuk merahasiakan hal ini  dari anak-anaknya agar kami tidak ketakutan. 
 
Sore itu, akhirnya ibu pulang bersama kakak. “Tidak bisa hari ini,” kata ibu 
kepada ayah. Rupanya ibu telah menceritakan semua fenomena ghaib yang 
terjadi di keluarga kami pada bhre wijaya . Beliau berjanji akan membantu keluarga 
kami namun meminta waktu paling tidak 2 atau 3 hari untuk mengumpulkan 
beberapa personil yang akan membantunya di ritual pengusiran makhluk ghaib 
nantinya. Esok malamnya, seorang teman datang ke rumah untuk meminta 
copy mp3 dari komputerku. Kupersilahkan ia masuk dan menuju kamarku 
melalui ruang makan. 
 
Oh iya, walau ada 3 pintu depan di rumahku yang mengarah ke teras, salah 
satunya termasuk pintu di kamarku, namun hanya 1 saja yang sebenarnya 
difungsikan, yaitu pintu di tengah rumah yang menuju ke ruang tamu. Pintu 
depan di bagian paling kiri rumahku yang bersebelahan dengan tangga luar 
yang menuju ke area jemuran tidak pernah dibuka sejak awal kami pindah 
sebab  lubang kuncinya rusak sehingga pintu amat susah dibuka. Begitu pula 
pintu di kamarku yang menuju teras hanya pernah dibuka 2 atau 3 kali sebelum 
akhirnya kunci tersangkut di dalam lubang kunci dan tidak bisa digerakkan 
sama sekali. 
 
Temanku berjalan di depan, sementara aku mengikutinya dari belakang. Begitu 
memasuki area ruang makan, “DUGG!” Tiba-tiba aku terjatuh sebab  
tersandung sesuatu. Kuperhatikan lantai dan sekitarnya, tak kulihat ada benda 
apapun di sana. Aku bingung sebab  tadi jelas-jelas kakiku merasa menubruk 
sesuatu hingga terjatuh. “Lah, kenapa jatuh?” tanya temanku keheranan. Ingin 
jawab “tersandung” tapi takut dikira mengada-ada sebab  aku berjalan 
melewati rute yang sama dengannya, akhirnya aku bilang kalau tadi kakiku 
terkilir. 
 
 
Sesampainya di kamar, aku kembali dibingungkan sewaktu melihat-lihat  pintu 
kamarku yang menuju teras rumah kini sudah dalam keadaan terbuka, walau 
tidak begitu lebar. Kunci masih menggantung di lubangnya. “Ini bisa masuk 
dari sini, kenapa tadi muter lewat belakang?” tanya temanku saat itu. sebab  
enggan membuatnya takut dan aku juga bingung menjawabnya saat itu, aku 
hanya berkata, “Oh iya, maaf. Aku lupa.” Padahal, pintu itu sudah tidak pernah 
aku buka selama berminggu-minggu sebab  kuncinya tersangkut di dalam 
lubang. Selesai mendapatkan apa yang diinginkannya, temanku pulang dengan 
keluar melalui pintu yang langsung menuju teras rumah. Aku mengantarkannya 
sampai pintu pagar lalu kembali masuk ke dalam kamar melalui pintu yang 
sama. saat  kembali berada di dalam kamar, kemudian aku menutup pintu 
dan menguncinya dengan begitu mudah. saat  aku mencoba untuk kembali 
membukanya, kunci pintu kamar itu tidak mau bergerak sedikit pun seperti 
biasanya. Aku merinding. Orang rumah pun kebingungan sewaktu aku 
menceritakan hal ini. 
 
Esok sore harinya selepas Maghrib, bhre wijaya  bersama 2 orang rekannya yang 
terlihat lebih muda, datang ke rumah kami. Ketiganya hanya mengenakan 
pakaian biasa, kemeja putih dengan celana panjang hitam, di tangan salah 
seorang di antaranya membawa botol mineral berisi air putih setengah penuh. 
Hari itu mereka berniat untuk melakukan pengusiran makhluk halus yang 
mengganggu di rumah kami. Aku mempersilakannya untuk masuk dan duduk 
di kursi, namun mereka semua lebih memilih untuk duduk bersila di lantai. 
Kusuguhkan makanan kecil dan air putih. Sedangkan anggota keluargaku 
terlihat sedang duduk di atas kursi yang menghadap ke arah bhre wijaya  dan 
kawanannya dengan perasaan cemas. 
 
Malam itu, ayah belum pulang dari tempat kerjanya. Di rumah hanya ada ibu 
dan para anaknya. bhre wijaya  meminta agar pintu depan ditutup, kakak-ku pun 
segera menutupnya. “Selama saya di sini, harap semuanya terus membaca doa 
di dalam hati dan jangan pernah mengosongkan pikiran. Jangan bengong!” 
suruh bapak tua itu pada keluarga kami. Degup jantungku pun memacu lebih 
cepat mendengar perkataannya itu. Sebelum ritual dimulai, bhre wijaya  meminta 
kami untuk menunjukkan di lokasi mana saja kejadian mistis pernah muncul. 
Kami mengantarnya ke beberapa bagian rumah sambil menjelaskan dalam 
kengerian. Sepanjang melihat-lihat  isi rumah, bapak itu hanya terus mengangguk-
anggukan kepalanya sambil pandangan matanya merayap ke berbagai sudut 
lain yang tidak sedang kami jelaskan. Sesekali, ia memberi salam dan 
mencipratkan air yang telah didoakan dari botol mineral yang dibawanya ke 
berbagai sudut ruangan. Di ruang makan dekat tangga, sesuatu di lantai 
menarik perhatian bhre wijaya . Ia membungkukkan badan, membaca doa, 
memunguti sesuatu lalu memasukannya ke dalam kantong celana. Sesuatu itu 
tak dapat kami lihat dengan mata telanjang. 
 
Usai hal ini , kami semua kembali ke ruang tamu dan duduk di tempat 
semula. Sebenarnya aku khawatir pada adik laki-lakiku yang masih SD saat itu. 
Ia duduk tepat di antara ibu dan kakak-ku sambil terlihat begitu ketakutan. Pak 
Adi melafalkan doa-doa. Kedua rekannya juga melakukan hal yang sama. 
sesudah  mereka selesai, bhre wijaya  bertanya kepada kami semua, “Ada yang berani 
mencoba agar mata bathinnya dibuka?” 
 
Kami semua langsung menolak, kecuali adik laki-lakiku. Kelihatannya ia masih 
terlalu kecil untuk tahu apa itu mata bathin. saat  mata bathin dibuka berarti 
seseorang ini  akan memiliki mata ketiga. Ini bukan arti mata secara 
harafiah. Dengan mata ketiga, orang akan mampu melihat-lihat  berbagai sosok 
makhluk halus di sekitarnya yang tidak dapat dilihat menggunakan mata biasa. 
Jika tidak memiliki keberanian yang cukup tinggi, maka orang itu dapat histeris 
dan jatuh pingsan. Bukan tidak mungkin akan meninggalkan trauma dan teror 
walau mata bathin sudah kembali ditutup sekalipun. Tiba-tiba ibuku berkata, 
“Boleh deh, pak.” Namun sesudah  diyakinkan kembali oleh bhre wijaya  bahwa 
pembukaan mata bathin ini bukanlah hanya untuk sekedar iseng-iseng, ibu 
kembali mengurungkan niatnya. 
 
Ritual pun dimulai, bhre wijaya  kembali melafalkan doa dan memberi salam pada 
para makhluk halus di rumah itu. Ia terlibat pembicaraan yang terlihat seperti 
percakapan satu arah oleh kami. Tiba-tiba, salah seorang rekannya kesurupan. 
Ia menggelepar di lantai, rekan lainnya memegangi tubuh pemuda itu. Kami 
semua ketakutan, terutama adikku yang nampaknya sudah mulai ingin 
menangis. Pemuda yang kesurupan itu diposisikan untuk kembali duduk, 
kepalanya menunduk lesu. Badannya bergerak pelan ke depan dan belakang. 
Sesaat kemudian, ia menengadahkan kepalanya untuk menatap kami secara 
acak sambil meringis. “Siapa yang suruh kamu masuk?! Panggil raja kalian!” 
hardik bhre wijaya  pada pemuda yang tengah kesurupan itu. “Keluar kamu!” 
katanya lagi sambil menekan bahu pemuda itu dan membacakan doa 
terhadapnya. Pemuda tadi langsung terkulai lemas dan kembali sadar perlahan-
lahan sesudah  didoakan. “Yang tadi itu siluman monyet yang suka ambil barang 
di rumah ini, saya akan panggil pemimpinnya.” 
 
Aku menelan ludah. Nampaknya anggota keluargaku yang lain juga melakukan 
hal yang sama. Tiba-tiba pemuda yang sama tadi kembali kesurupan. Sewaktu 
pemuda yang lain memegangi tubuhnya, ia memberontak sehingga susah untuk 
dikontrol. “Biarkan saja,” suruh bhre wijaya . Pemuda kesurupan itu pun duduk 
tanpa ada seorang pun yang memeganginya, kepalanya mendongak ke arah 
langit-langit. “Siapa nama kamu?” Makhluk ghaib di dalam tubuh pemuda itu 
tak menjawab. “Siapa yang kirim kamu ke sini?” tanya bhre wijaya  lagi dengan nada 
tegas. Badan pemuda itu bergerak ke depan dan ke belakang, sementara tangan 
kanannya mengepal dan dipukul-pukulkannya perlahan ke bagian paha. “Kamu 
dengar pertanyaan saya?! Sekarang jawab!” Pemuda itu hanya menggeram 
dalam posisi tubuh yang sama. “Kamu mau main-main sama saya?!” bhre wijaya  
membacakan doa dan pemuda tadi menggeram lebih keras, namun kali ini 
kepalanya perlahan menunduk. 
 
saat  doa terus dibacakan, akhirnya makhluk ini  bersuara. Suaranya 
besar dan terdengar serak, ia menyebutkan nama sang pengirim juga meminta 
 bhre wijaya untuk segera menghentikan doanya. Keluarga kami kebingungan 
sebab  nama ini  terdengar begitu asing di telinga. “Bawa semua anak 
buahmu dan pergi dari rumah ini! Kalau tidak, saya tidak segan-segan untuk 
membinasakan kamu!” ancamnya. “Tidak, saya cuma kiriman,” jawab sang 
pemuda yang kerasukan sambil bertingkah setengah kebingungan. sebab  
makhluk ghaib itu keras kepala, bhre wijaya  kembali membacakan doa. “Panas! 
Panasss! Hentikan atau orang ini mati!” Tanpa mempedulikan ancaman 
makhluk ghaib ini , bhre wijaya  terus melanjutkan bacaan doanya. Pemuda itu 
terus mengerang kesakitan sambil menggelepar-gelepar hebat, rekannya yang 
lain langsung memegangi tubuhnya. Tak lama kemudian, pemuda ini  
kembali terkulai lemas. Adik laki-lakiku langsung menangis menyaksikan 
peristiwa yang menakutkan baginya itu. 
 
Namun ternyata, tak butuh waktu lama untuk menghentikan tangisannya. 
Sesaat  itu juga, makhluk ghaib yang lain kembali merasuki tubuh pemuda itu. 
Ia kembali bangkit duduk dan tertawa cekikikan dengan suara mirip 
perempuan lesbian. Walau rambut pemuda itu pendek, namun gerakan tangannya 
seperti sedang menyisir rambut panjang yang lurus terjuntai hingga ke 
dadanya. Tangan kanannya seolah tengah memegang sebuah sisir yang terus 
disapukan ke rambut panjangnya yang tak terlihat. Sementara tangan kirinya 
sibuk mengelus rambut tiap kali baru disisir. Kepalanya sedikit miring ke kanan 
namun terus menunduk sambil tak hentinya menyisir rambut. Makhluk ghaib 
itu menggoyang-goyangkan tubuh pemuda ini  ke kiri dan ke kanan penuh 
manja, dan saat itu aku melihat-lihat  kalau tingkahnya benar-benar gemulai bak 
perempuan lesbian sejati. bhre wijaya  memberi salam dan menanyakan nama makhluk 
ini . Ia memberitahukan namanya, “Ayu.” 
 
“Kuntilanak ini sedang malu-malu. Ada yang dia suka dari antara kalian,”  bhre wijaya memberitahu kami, yang tentunya hal itu langsung membuat kami semua 
bergidik. “Silakan tunjuk siapa yang sebenarnya kamu suka di rumah ini,” suruh 
bhre wijaya . Makhluk ghaib bisa menyukai manusia? Aku baru tahu saat itu. 
Dengan penuh harap bercampur cemas, aku berdoa supaya ia tidak 
menunjukku. Perlahan namun pasti, tangan kanan pemuda itu terangkat dan 
jari telunjuknya mengarah tepat ke arah adik laki-lakiku. Hal itulah yang 
membuat adikku langsung berhenti menangis dan diam seribu bahasa. Padahal 
kukira hal ini  justru akan membuat tangisannya bertambah besar. 
 
“Aku cantik, tidak?” tanya Kuntilanak ini  dengan genit sambil tetap 
menunduk dan kembali menyisir rambutnya yang sepertinya sangat panjang. 
Tiba-tiba kepala pemuda itu terangkat dan melotot ke arahku, “Tapi aku tidak 
suka dia!” Jantungku terasa langsung ingin copot saat itu. Di dalam hati aku 
terus berdoa dengan perasaan yang campur aduk. “Kenapa kamu 
membencinya?” tanya bhre wijaya . “Pokoknya tidak suka! Suatu saat akan aku 
celakai dia!” ancam makhluk itu terhadapku. “Kalau kamu berani, berarti kamu 
mencari masalah dengan saya,” bhre wijaya  mengancam balik. Dengan sigap, ia 
langsung melafalkan bacaan doa untuk menghukum makhluk ghaib ini . 
Namun bukannya ketakutan, pemuda yang sedang dirasuki Kuntilanak ini  
malah melafalkan balik bacaan doa bhre wijaya  lalu tertawa cekikikan. Kami jadi 
makin ketakutan. Aku sudah terlanjur menaruh banyak harapan pada bapak tua 
yang sedang ditertawakan oleh makhluk ghaib ini . Dicipratkannya air 
yang telah didoakan ke muka pemuda ini  lalu bhre wijaya  berdiri dan 
memegangi kening sang pemuda. Sementara rekannya yang lain memegangi 
tubuh pemuda kerasukan yang mulai memberontak ke sana – ke mari. 
Dibacakannya doa yang lain dan pemuda itu kini mulai meronta-ronta. 
“Ampuun, ampuuun. Aku akan pergii.., ampuuun..” makhluk ghaib ini  
memelas. 
 
 
 bhre wijaya tidak percaya begitu saja. Ia meminta Kuntilanak itu untuk bersumpah 
dan mengancam akan membinasakannya jika makhluk ini  ingkar. 
Sesudahnya, pemuda itu terkulai lemas dan doa dilafalkan untuk membuatnya 
kembali tersadar. Pemuda ini  disuruh minum banyak air putih untuk 
mengembalikan kondisi tubuhnya yang sudah cukup lemah saat itu. “Sudah 
aman,” kata bhre wijaya  kepada kami sambil membenahi diri. Sepertinya prosesi 
telah selesai. 
 
Anggota keluarga kami saling berpandangan satu sama lain, antara percaya atau 
tidak dengan perkataan bapak tua itu barusan. “Hanya dua makhluk tadi?” 
tanyaku dalam hati. Namun sepertinya bhre wijaya  dapat membaca kegelisahan 
hati kami kala itu. “Sebenarnya masih ada beberapa makhluk ghaib lagi di 
rumah ini. Tapi sebaiknya mereka tidak diusir sebab  mereka juga sebenarnya 
tidak mengganggu,” bhre wijaya  memberitahu kami. “Di dekat pojokan sana, ada 1. 
Wujudnya kakek-kakek, tapi „dia‟ tidak pernah mengganggu. Malah suka 
menasehati makhluk ghaib lainnya agar tidak mengganggu keluarga kalian. 
„Dia‟ memang sengaja ditempatkan di sana oleh penghuni rumah terdahulu 
untuk menjaga rumah”, jelas bhre wijaya  sambil menunjuk ke arah tumpukan 
kardus di depan kamar mandi luar. “Dia kagum sama keberanian mbak ini dan 
suka menyapanya,” tambahnya sambil mengarahkan tangannya ke arahku. 
DEG!! Entah kenapa, aku langsung teringat insiden kipas sate terbang dan 
hantu bayi di atas jok motor yang lokasi kejadiannya persis di dekat spot yang 
ditunjuk oleh bhre wijaya  itu. Atau mungkin ketukan di pintu selama ini juga 
merupakan salah satu bentuk sapaan-„nya‟ kepadaku? Oh, sosok yang kujumpai 
di lorong dapur, kemungkinan besar juga makhluk ghaib yang dimaksud. 
Namun bisa saja semua perkiraanku itu salah. Ingin bertanya, tapi aku terlalu 
takut saat itu. 
 
“Ada lagi, di dekat tempat jemuran di lantai atas. Genderuwo. Tapi tidak 
mengganggu kalau tidak diganggu.” Aku dan ibu langsung saling berpandangan. 
Nampaknya beliau juga masih ingat kejadian aneh sewaktu aku menemaninya 
menjemur pakaian pada malam hari. “Kuntilanak yang tadi saya usir, sukanya 
menyisir rambut sambil menyanyi di depan teras tiap malam untuk membuat 
adik kecil ini tertarik sama „dia‟. Tapi sebab  kayaknya mbak ini suka berdoa 
tiap malam, Kuntilanak tadi merasa terganggu” Aku mulai bisa mengambil 
benang merah dari perkataan Kuntilanak tadi yang tidak menyukaiku. 
 
“Yang siluman monyet tadi?” tanya ibuku. “Rajanya sudah saya bakar, 
pasukannya juga sudah kembali pada pengirimnya. Ada saudara yang benci 
sama keluarga kalian, itu mereka yang kirim pakai jasa nyi dyah prameswari ,” jawab bhre wijaya . 
“Kalau sering ada barang yang hilang, ya itu ulah para siluman monyet itu,” 
tambahnya lagi. Kami berbincang-bincang perihal berbagai kejadian mistis di 
rumah itu dan bagaimana seharusnya kami bertindak agar dijauhkan dari 
gangguan ghaib. bhre wijaya  menyarankan agar lampu di setiap kamar mandi dan 
dapur jangan dimatikan sepanjang malam sebab  biasanya di sanalah tempat 
favorit para makhluk ghaib berkumpul tiap malam. Juga jangan sampai 
terbujuk tipu muslihat sebab  „mereka‟ sangat licik. 
 
Akhirnya sesudah  bercakap-cakap cukup lama, bhre wijaya  dan kawanannya pamit 
pulang. Ibu menyelipkan beberapa  uang ke genggaman tangan bapak tua itu 
saat  bersalaman sebagai bentuk rasa terimakasih. bhre wijaya  juga berpesan agar 
kami jangan pernah sungkan jika sewaktu-waktu membutuhkan bantuannya 
lagi. Kami pun mengantar mereka hingga pintu pagar sambil tak henti-hentinya 
berterimakasih. Sesaat sebelum mereka beranjak pergi, bhre wijaya  berkata pelan 
kepada ibu, “Oh iya, bu. Di dalam sana masih ada 1 makhluk lagi yang tidak 
saya sebut dan tidak akan saya bahas. „Dia‟ tidak membahayakan, tapi saya 
sarankan keluarga ibu untuk mencari tempat tinggal lain yang lebih baik dari 
rumah ini.” 
 
Mendengar pernyataannya itu, aku kembali bertanya-tanya. Tapi berulang kali 
 bhre wijaya meyakinkan kami bahwa rumah itu sudah aman. Sepulangnya mereka, 
kami semua kembali masuk ke dalam rumah dan duduk bersama di ruang 
tamu. Semua wajah nampak begitu lega, berharap bahwa semua cobaan 
keluarga kami kini sudah benar-benar berakhir. Beberapa lama kemudian, ayah 
pulang. Kami menceritakan semuanya dan ayah nampak begitu puas dengan 
berita yang baru saja ia dengar ini . Malam itu, aku tertidur dengan sangat 
pulas. 
 
Selama beberapa hari ke depan sesudah  ritual ini , tidak ada lagi hal aneh 
yang kujumpai di rumah. Semua tampak begitu normal dan wajar. Bahkan 
sampai aku pun merasa aneh dengan segala kewajaran ini . Tak pernah lagi 
kudengar senandung suara perempuan lesbian pada malam hari yang tiba-tiba berubah 
menjadi tangisan di depan teras ataupun munculnya kelebatan bayangan hitam 
yang mengganggu pandangan. Sepertinya perkataan bhre wijaya  benar, rumahku 
kini sudah „bersih‟. Paling tidak kepercayaanku ini  bertahan hingga malam 
itu, tatkala ketukan di pintu kini mulai kembali terdengar. Tak hanya di pintu 
kamar tidurku, melainkan kini juga pintu kamar tidur orang tuaku menjadi 
lebih sering diketuk dari sebelumnya. Memang tidak membahayakan, namun 
cukup mengganggu, paling tidak menurutku. Mungkin makhluk ghaib inilah 
yang dimaksud oleh bhre wijaya  sesaat sebelum ia pulang ke rumahnya malam itu. 
Aku juga sebenarnya tidak yakin, hanya menduga-duga. Namun secara 
keseluruhan, para makhluk ghaib penunggu asli di rumah itu sudah tidak lagi 
terlalu berusaha untuk menunjukkan eksistensinya. 
 
Beberapa bulan kemudian, adikku lulus SMU dari sekolahnya. Mengingat kini 
ibuku pun tengah hamil muda, akhirnya keluargaku memutuskan untuk pindah 
dari rumah yang kami kontrak ini  dan meninggalkan segala pengalaman 
pahit di dalamnya. Adikku yang masih SD pun terpaksa harus pindah sekolah 
sebab nya. Kami pindah lumayan jauh dari kompleks sebelumnya untuk 
mencoba menikmati hidup baru nan tentram seperti yang selama ini kami 
idam-idamkan walau baru saat itu dapat segera diwujudkan. Ya, kami juga 
berhak hidup nyaman seperti orang-orang lain. Segala kejadian mistis yang 
pernah kami alami di rumah ini , memberikan pengalaman menarik untuk 
diceritakan ke banyak orang. Walau memang ada harga yang harus dibayar 
untuk itu semua. 
 

 
Pindah dari rumah angker sebelumnya, kami menempati sebuah rumah baru milik 
seorang dokter. Awalnya kami berniat untuk membeli rumah ini namun sesudah  tahu 
bahwa rumah ini  yaitu  bekas rumah praktek bidan yang telah dipakai  selama 
bertahun-tahun lalu dibiarkan kosong selama beberapa saat, kami memutuskan untuk 
kontrak selama 1 tahun terlebih dahulu. 
 
Memasuki ruang tamu, nuansa bekas tempat praktek rumah bersalin jelas terlihat. 
Ruang tamu di rumahku dulunya yaitu  ruang tunggu pasien sedangkan kamar tidur 
orang tuaku yang cukup luas itu dulunya yaitu  ruang praktek bersalin dengan sebuah 
wastafel pada salah satu sudut ruangannya. Pemandangan yang cukup aneh untuk 
sebuah kamar tidur. Jika dilihat lebih seksama, bagian rumah lainnya juga tidak seperti 
bagian rumah pada umumnya. Misalnya saja, 2 buah kamar mandi yang saling 
membelakangi namun dengan 1 bak air berbagi. Tapi itu semua tidaklah terlalu menjadi 
masalah bagi kami. Di luar kenyataan, bahwa kami sesungguhnya menyadari jika tidak 
setiap proses persalinan itu akan melahirkan manusia baru, mungkin saja sebaliknya. 
 
Aku mendapatkan sebuah kamar di dekat dapur, berseberangan dengan kamar tidur 
orang tuaku yang baru. Sementara kakak dan adik perempuan lesbianku menempati kedua 
kamar di lantai 2, sama seperti saat  masih di rumah kami yang sebelumnya. Adik laki-
lakiku kembali tidur bersama kedua orang tuaku. Kamar orang tuaku yaitu  ruangan 
terluas di dalam rumah itu. 
 
Bulan pertama kami menempati rumah ini, tak pernah ada satu pun keganjilan yang 
terjadi. Kecuali saat  aku mengajak seorang teman perempuan lesbianku untuk menginap di 
rumah. Menjelang tidur, aku memadamkan lampu agar kami dapat tertidur dengan lebih 
lelap. Beberapa saat saat  aku hampir tertidur, tiba-tiba temanku melompat bangun 
dari tidurnya kemudian duduk terdiam dengan nafas tersengal-sengal. Aku yang ikut 
kaget pun langsung terperanjat bangun. Kutanyai ada apa, katanya dia mendengar ada 
sebuah teriakan sangat kencang tepat di samping telinganya. Jika memang teriakan itu 
kencang, tentu aku juga mendengarnya saat itu. Aku berusaha menenangkannya dan 
meyakinkan kalau itu hanyalah perasaan dia saja. Akhirnya ia pun mau kembali 
mencoba tidur. 
 
Dan saat  aku hendak kembali tertidur untuk kedua kalinya, tiba-tiba kini gantian aku 
yang melompat bangun dari tidur. Sungguh, ada suara teriakan seorang laki-laki dewasa 
yang begitu kencang tepat di samping telinga, seolah sedang meneriaki-ku untuk 
bangun. “HOOII!!” Kira-kira begitu suaranya. Keringat dingin langsung mengucur dari 
seluruh tubuhku. Aku kembali menyalakan lampu dan melihat-lihat  temanku ternyata juga 
masih belum tidur, ia menatapku dan berkata, “Kenapa? Dengar juga?” Aku 
mengangguk. “Mungkin salam perkenalan dari „mereka‟ untuk kamu,” katanya lagi 
dengan nada mengejek. Akhirnya malam itu kami tertidur dengan lampu yang dibiarkan 
terus menyala hingga pagi. Itulah pengalaman mistis pertamaku di rumah ini. 
 
Kisah berikutnya bukan aku yang mengalami. Pada suatu hari menjelang subuh, adik 
laki-lakiku pergi ke kamar mandi sebab  ingin buang air kecil. saat  hendak masuk ke 
dalam salah satu kamar mandinya yang berada di depan, ia melihat-lihat  ada sebuah kepala 
seorang perempuan lesbian sedang menunduk yang muncul dari kamar mandi bagian belakang. 
Dilihatnya, rambut hitam perempuan lesbian itu panjang terurai ke bawah dan menutupi 
wajahnya yang terus tertunduk. Lalu kepala ini  kembali ditarik ke dalam kamar 
mandi. Adikku mengira kalau itu yaitu  ibu yang sedang keramas di kamar mandi 
bagian belakang sebab  tercium juga aroma harum yang katanya mirip shampoo. saat  
sedang buang air kecil, dipanggil-panggilnyalah sosok perempuan lesbian tadi yang dikiranya 
sebagai ibu namun tidak pernah ada balasan dari kamar mandi bagian belakang. Selesai 
buang air kecil, ia segera mengecek kamar mandi bagian belakang namun tidak ada 
seorang pun di sana. Sesaat kemudian, ia mendengar ada suara tepuk tangan dan suara 
tawa terkikih-kikih. sebab  ketakutan, ia pun langsung berlari ke dalam kamar dan 
ternyata ibuku sedang tertidur lelap. Sampai saat ini, adik laki-lakiku ini  menjadi 
orang yang sangat penakut di rumah sebab  kejadian ini . Bahkan ia akan langsung 
lari ketakutan jika aku mengerjainya dengan menepuk tangan secara sembunyi-
sembunyi. 
 
Di rumah ini pula, ibu melahirkan adik laki-laki keduaku. Sewaktu ia masih batita (bayi 
di bawah tiga tahun) dulu, pernah pada suatu malam, suhu tubuhnya tiba-tiba memanas 
tinggi dan ia menjadi sangat rewel sebab nya. Diberi susu, ia menolak. Diberi mainan, 
dijatuhkannya. Yang terus dilakukannya hanyalah menangis berjam-jam sambil berkata, 
“Ne.. nee.. nee” Digendong di dalam kamar, ia terus saja menangis keras dan membuat 
frustasi kedua orang tuaku. Akhirnya ibu dan ayah hendak membawa adikku ke klinik 
24 jam pada malam itu. Begitu baru sampai teras depan rumah, adik kecilku itu berhenti 
menangis. Raut wajahnya kini malah berubah ceria sambil terus menyimpulkan senyum 
bahagia. 
 
Orang tuaku mengira bahwa keadaan telah membaik dan memutuskan untuk membawa 
masuk adik kembali ke dalam rumah. Namun sekembalinya di dalam rumah, ia kembali 
rewel dan menangis keras tanpa henti. Bingung, orang tuaku pun kembali membawa 
adikku keluar untuk mengantarkannya ke klinik. Namun lagi-lagi begitu sampai teras, 
tangisannya berhenti. Ia terus menggeliat di dalam gendongan dan berusaha untuk 
turun. Ibu yang kebingungan pun menurunkannya ke lantai dan ia terlihat begitu 
bahagia. Walau jalannya masih belum lancar, kaki kecilnya melangkah dengan begitu 
riang sambil tangannya terus dituntun oleh ibuku hingga mendekat ke sebuah pohon 
jambu yang tinggi besar di dalam teras rumahku. “Ne.. nee.. neee..” ucapnya riang 
sambil menengadahkan kepalanya ke atas pohon dengan penuh senyum. Kami semua 
yang berada di teras saat itu pun ikut menengadahkan kepala ke atas pohon dan 
alangkah terkejutnya kami malam itu. 
 
“Bawa masuk! Cepat, bawa Rian (nama telah disamarkan) masuk ke dalam!” suruh 
ayah cepat sambil sibuk mencari sesuatu. Ibu langsung menarik tubuh adikku dan 
membawanya ke dalam rumah, mungkin sebab  kaget, ia kembali menangis saat  
digendong secara paksa saat itu. Kakakku berteriak sewaktu melihat-lihat  apa yang sedang 
berada di atas pohon jambu malam itu sehingga beberapa petugas ronda yang sedang 
berkumpul di warung depan mulai berdatangan. Ayahku menyambitkan sendal berulang 
kali ke atas pohon saat  dilihatnya sosok nenek-nenek sedang tersenyum lebar dan 
bersandar pada salah satu dahan. Aku juga melihat-lihat  penampakan itu, sesaat sebelum „ia‟ 
menghilang pada sambitan sendal yang kesekian kalinya. Pakaian yang dikenakan 
yaitu  baju tradisional seperti seorang mbok Jamu, lengkap dengan sanggulnya. Sesaat 
sesudah  sosok itu menghilang, seorang petugas ronda di depan rumah berteriak, “Oi, 
kuntilanak, tuh!” Makhluk itu terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Meski sudah 
dikejar, namun makhluk itu berhasil lenyap bersama gelapnya malam. Di dalam rumah, 
adikku juga sudah berhenti menangis dan suhu tubuhnya kembali normal. Keesokan 
paginya, pohon jambu itu dipangkas habis-habisan sebab  takut dijadikan tempat 
„bertengger‟ makhluk ghaib itu lagi. Namun kini, pohon ini  sudah kembali tumbuh 
tinggi lebat di dalam teras rumahku. 
 
Demikianlah beberapa kisah mistis yang pernah kualami di rumah yang saat ini masih 
kutinggali. Sebenarnya masih ada beberapa kejadian mistis lagi yang ingin kuceritakan 
namun sepertinya tidak akan pernah ada habisnya jika semuanya harus kutulis di sini. 
Walaupun pernah terjadi beberapa kejadian mistis, nyatanya aku beserta keluarga masih 
tinggal di rumah ini selama bertahun-tahun dengan cukup nyaman dan status rumah pun 
kini sudah menjadi milik keluarga kami. 
 
Intinya, di rumah manapun itu pasti ada „penunggu‟-nya, entah itu di kamar tidur kalian, 
di dapur kalian, ataupun di gudang rumah kalian. Terlepas dari „mereka‟ usil atau tidak, 
sebaiknya kita tidak perlu takut atau mereka justru akan semakin berani pada kita. Dan 
jika mereka tidak usil, janganlah pula kita mencari masalah dengan mereka. Kita dan 
mereka hidup dalam dunia yang berbeda namun berdampingan. Walau tak dapat dilihat, 
mereka sebenarnya tetap ada di sekitar kita. Keselarasan itulah yang harus kita jaga. 
Perkuat iman, niscaya mereka takkan pernah mengganggu kita. Amin.