Rabu, 10 Januari 2024

cerita horror 1


 


Ini yaitu  rumah pertamaku di trowulan mojokerto  sesudah  pindah dari Jakarta. Lokasinya 
menurutku cukup strategis, di tengah kompleks, dekat dengan danau yang 
selalu ramai tiap sorenya. Saat itu aku masih duduk di kelas VI SD. Tidak 
banyak keanehan yang terjadi di sana sebab  fokus ceritaku sebenarnya yaitu  
pada rumahku berikutnya yang sangat angker. Tapi aku mau share sedikit kisah 
mistis di rumahku yang satu ini sebagai pembukaan. 
 
Aku mungkin dapat dikatakan sebagai orang yang paling sensitif dan berani di 
keluargaku. Hawa ataupun wewangian aneh yang tidak dirasakan oleh orang 
lain, aku dapat merasakannya dengan amat jelas. Tapi hal ghaib yang terjadi di 
rumah ini ternyata dapat dirasakan oleh semua orang di rumah, kecuali orang 
tuaku, sebab  mereka baru akan berada di rumah saat  malam sudah tiba 
sebab  pekerjaannya. 
 
Lokasi rumahku di dalam suatu kompleks perumahan di trowulan mojokerto  Utara, letak 
rumahku di paling pojok (hook) yang sebelah kirinya yaitu  tanah kosong, dan 
di sebelah kirinya lagi yaitu  tembok tinggi pembatas kompleks perumahanku 
dengan perumahan yang lain 
Singkat cerita, bertahun-tahun aku tinggal di sana, nyaman dan aman saja 
tanpa ada masalah ataupun kejadian aneh yang berarti. Hingga saat aku sudah 
duduk di kelas 1 SMU, nampaknya penghuni di sana baru mulai berniat untuk 
iseng. Konon kudengar, kompleks perumahanku dibangun di atas lahan 
pembuangan mayat pada zaman penjajahan Belanda dulu. Dari desas-desus 
yang kudengar dari banyak tetangga, sudah banyak kisah penampakan tentara 
Belanda ataupun wanita Belanda dengan gaunnya yang mengembang itu. 
 
Cukup dengan rumor, kini fokus kembali ke rumahku. Pada saat itu, rumahku 
memiliki 2 lantai. Sedangkan rumah di sekelilingku sama sekali tidak ada yang 
bertingkat 2. Aku tidak bermaksud sombong, sebab  kisah mistis yang akan 
kuceritakan akan berhubungan dengan lantai atas rumahku. 
 
Jadi sebenarnya, selama bertahun-tahun itu kamar-kamar di lantai 2 rumahku 
tidak ada yang menempati. Di sana hanya ada  balkon, ruang keluarga yang 
sangat luas, 2 buah kamar, satu yaitu  kamar tidur utama orang tuaku yang 
cukup luas, dan satu lagi yaitu  kamar pembantu yang lebih kecil. Kamar 
pembantu ini akhirnya dijadikan gudang sebab  ibuku tidak pernah betah jika 
memiliki pembantu Rumah Tangga (PRT), terutama sebab  kasus yang terjadi 
pada PRT terakhir kami yang ternyata menyukai ayahku sehingga membuat 
ibuku sangat berang dan tak mau lagi memiliki PRT sejak saat itu. 
 
Kamar orang tuaku juga dibiarkan kosong sebab  mereka berdua ternyata tidak 
cukup berani untuk menempati kamar ini . Akhirnya mereka tinggal dalam 
satu kamar di lantai 1 bersama adik laki-laki pertamaku yang paling kecil, saat 
itu ia masih balita. Jadilah lantai 2 rumahku selalu dan selalu kosong setiap 
harinya selama bertahun-tahun walau masih sering dijaga juga kebersihannya. 
Lampu juga terkadang tidak dinyalakan sama sekali saat  malam tiba. Lantai 
ini  paling hanya dipakai  saat  sedang banyak saudara yang datang 
berkunjung. 
 
Nah, yang aneh yaitu  sebab  tiap malam, dari lantai 2 selalu terdengar bunyi 
yang sangat aneh. Bunyi aneh ini dapat didengar baik olehku, kakak-ku maupun 
adik-ku dari lantai 1. Bunyinya terdengar seperti sofa yang sedang digeser. Sofa-
sofa di lantai 2 sangatlah besar dan berat, aku jamin, satu orang takkan kuat 
untuk mengangkatnya. Paling hanya dapat memindahkannya dengan cara 
menarik ataupun mendorong. Geseran ini  akan menimbulkan getaran ke 
lantai bawah dan bunyi yang cukup terdengar jelas seperti “KRIEEETTT...” 
sebab  gesekan antara kayu pada sofa dengan lantai keramik. 
 
Masalahnya, bunyi ini  hanya muncul saat  malam sudah tiba (terutama 
saat  lampu sedang tidak dinyalakan) dan tidak ada seorang pun di atas sana. 
Aku pernah mencoba untuk memastikannya pada suatu siang. Kakak dan adik 
kusuruh untuk menggeser salah satu sofa di lantai atas, sementara aku mencoba 
untuk mendengarkan bunyi yang dihasilkannya dari lantai bawah. Dan, bunyi 
itu benar-benar persis sama seperti yang selalu kami dengar tiap malam. Berapa 
kali kami memberitahukan hal ini pada orang tua pun, mereka tidak pernah 
percaya. 
 
Akhirnya bunyi itu sudah menjadi hal biasa yang sudah tidak pernah kami 
hiraukan lagi. Namun ternyata tak lama sesudah  dimulainya bunyi aneh itu, kini 
tiap malam juga terdengar bunyi aneh yang lain lagi. Kali ini bunyinya yaitu  
seperti banyak orang yang sedang berlarian di lantai 2. Sangat jelas. “DUK! 
DUK! DUK! DUK!” Suara langkah kaki beberapa orang yang sedang berlari 
dengan kencang, sehingga dentumannya amat terasa hingga ke lantai bawah. 
Terkadang saat  bunyi itu muncul, kami semua hanya bisa menatap langit-
langit lantai 1 sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
 
Sempat aku berpikir, apa mungkin bunyi-bunyi ini  berasal dari rumah 
tetanggaku yang merambat hingga ke rumahku? Tapi anggapan ini begitu dapat 
dengan mudah ditepis. Bunyi ini  jelas berasal dari lantai atas sedangkan 
tetangga di sekelilingku tidak ada yang rumahnya bertingkat. Lagipula, 
getarannya sangat dapat dirasakan dari lantai bawah. Terlebih lagi sesudah  
kejadian selanjutnya. 
 
OK, aku pikir misteri ini harus dipecahkan. Suatu malam, saat  kedua bunyi 
ini  sedang terdengar dengan jelas. Bermodalkan nekat, kami bertiga 
memutuskan untuk mengecek ke lantai atas pada saat itu juga. Kami berjalan 
mengendap-endap menyusuri tangga, berharap saat  sampai di lantai atas, 
kami akan menangkap basah orang ataupun makhluk yang menimbulkan bunyi 
aneh itu tiap malamnya. Setiap anak tangga yang kami naiki akan menambah 
jelas bunyi-bunyian ini  di telinga kami. 
 
Hampir sampai ke lantai atas, baru kami sadari kalau ternyata lampu sedang 
tidak dinyalakan. Suasana di sana sangat gelap (pitch black), tak nampak 
apapun yang dapat kami lihat saking gelapnya. Untungnya, tombol untuk 
menyalakan lampu ada di dekat situ. Bunyi ini  kini terdengar sangat jelas 
di depan kami. Bunyi sofa yang sedang diseret-seret sehingga lantainya 
bergetar, juga bunyi orang yang sesekali terdengar sedang berlari menjauh 
ataupun mendekati kami lalu menghilang begitu saja. Peluhku mulai menetes 
dan degup jantungku sudah tidak dapat diatur. Apapun yang akan kami lihat 
malam itu, maling ataupun hantu, aku sudah siap mental. 
 
“BLAR!” Aku berhasil menyalakan lampu dan saat itu juga bunyi-bunyian 
ini  lenyap. Dari apa yang aku lihat, semua posisi sofa masih pada 
tempatnya semula. Bukan hanya itu, semua posisi benda lainnya pun tidak ada 
yang berubah. Aku bingung, lantas bunyi seretan ini  berasal dari mana? 
Dan ke mana bunyi orang-orang yang berlarian tadi? Belum habis rasa 
bingungku, tiba-tiba kami dikejutkan oleh bunyi gayung jatuh dari dalam kamar 
mandi di dalam ruang tidur orang tuaku yang berada di lantai ini . Kamar 
ini  sudah bertahun-tahun tidak ditempati walaupun di dalamnya sudah 
dilengkapi berbagai perabot. 
 
Kepalang tanggung, kami memutuskan untuk mengeceknya juga untuk 
menuntaskan rasa penasaran kami. Saat itu pintu kamar masih tertutup walau 
tidak dikunci. sesudah  kami buka dan lampu dinyalakan, tidak ada hal aneh 
yang kami lihat. Perhatian kami kembali tertuju pada kamar mandi asal bunyi 
yang sempat mengagetkan kami tadi. Perlahan kami mendekati kamar mandi 
yang masih gelap itu. Maling? “Tidak mungkin ada manusia yang dapat 
menembus pintu ataupun tembok kamar tidur lalu bersembunyi di dalam 
kamar mandi,” pikirku saat itu. 
 
Dan benar saja, saat  lampu dinyalakan, kami hanya mendapati gayung yang 
tergeletak di lantai kamar mandi tanpa ada seorang atau apapun di sana. 
sebab  misteri belum dapat dipecahkan, kami memutuskan untuk kembali 
turun ke lantai bawah dengan membiarkan semua lampu menyala di lantai atas. 
Dan begitu kami kembali ke ruang tamu di bawah, bunyi-bunyian aneh di lantai 
atas ini  kembali terdengar seperti biasa. Pikirku, mungkin itu hantu anak-
anak yang sedang bermain bersama teman-temannya sebab  ruang keluarga di 
atas sangat lapang sehingga bisa dijadikan tempat bermain kejar-kejaran untuk 
anak-anak. 
 
Berulang kali kami berusaha untuk menangkap basah, hal nihil-lah yang selalu 
kami dapatkan hingga terkadang kami bosan dan berusaha untuk tidak 
menghiraukannya walau bunyi-bunyian ini  sebenarnya cukup 
mengganggu, apalagi saat  aku sedang belajar di dalam kamar. Dan berkali-
kali kami mengadukannya ke orang tua pun, mereka tidak pernah percaya. 
 
Hingga akhirnya, pada suatu malam, saat  aku pulang ke rumah bersama ibu, 
kakak dan adikku dari rumah saudara, kami mendapati ayah yang sedang 
duduk tertegun sendirian di ruang tamu dengan tatapan kosong. Begitu ditanya, 
ia tidak mau menjawab dan megajak ibu untuk masuk ke kamar serta menyuruh 
kami, para anak-anak, untuk segera tidur sebab  hari sudah mulai larut malam. 
Esok harinya pun kami masih belum tahu mengapa ayah berperilaku aneh 
kemarin malam. Beberapa hari kemudian, ibu kami baru memberitahukan 
kejadian sebenarnya yang dialami ayah pada malam itu. 
 
Katanya, pada malam itu, saat ayah sedang menonton TV sendirian di ruang 
tamu, ia mendengar bunyi-bunyian yang selama ini kami dengar. Ayahku ini 
sebenarnya penakut, namun ia ingin membuktikan perkataan anak-anaknya 
selama ini yang tidak pernah ia percaya. Akhirnya ia pun menyusuri tangga, 
naik perlahan menuju lantai 2. Saat itu juga katanya lampu sedang tidak 
dinyalakan. Ayahku terus mendengar bunyi sofa yang diseret-seret dan orang-
orang berlarian ke sana-kemari. Tiba-tiba ayahku berteriak saat  ada 
seseorang yang berteriak sangat keras tepat di depan kupingnya, “HAAAAGG!” 
begitu kira-kira suara yang ia dengar saat itu. 
 
Panik, ayahku langsung segera menyalakan lampu dan sama seperti kami, ia 
pun tidak mendapati apapun di sana saat itu. Bunyi-bunyian tadi juga sesaat  
itu menghilang. sebab  ketakutan, ayahku segera turun ke lantai bawah. 
sesudah  berada di lantai 1, ayahku merasa seperti ada orang yang mengikutinya. 
sebab nya, saat  sudah berada di samping tangga, ayahku menoleh ke arah 
tangga dan memastikan bahwa tidak ada apapun di sana. Namun akhirnya 
pandangan matanya tertahan pada anak tangga paling atas menuju lantai 2. 
Cukup lama ia pandangi anak tangga itu dari samping seolah akan ada 
seseorang yang akan turun dari sana. 
 
Dan benar saja, kata ayahku, saat cukup lama memperhatikan dan berniat 
untuk meninggalkan tempat itu, tiba-tiba muncul sebuah kaki berwarna pucat 
dari lantai atas dan berhenti menapak di anak tangga paling atas. Dalam 
keterkejutannya, ayahku hendak memeriksa siapa pemilik kaki itu. Dan saat  
ia baru melangkahkan kakinya satu langkah kembali menuju tangga, nyalinya 
kembali diciutkan dengan munculnya kaki-kaki lain yang juga turun dari lantai 
atas dan berhenti menapak di anak tangga paling atas. Semuanya berwarna 
pucat. Dan akhirnya ayahku mengurungkan niatnya, ia segera meninggalkan 
dapur tempat tangga itu berada. Sesaat sebelum meninggalkan area dapur, 
ayahku kembali menoleh ke anak tangga paling atas dan dilihatnya semua kaki 
ini  kembali ditarik naik ke lantai atas dengan serentak. 
 
Nah, „berkat‟ kejadian ini , akhirnya orang tua kami (paling tidak, ayah 
kami), akhirnya bisa percaya pada perkataan kami selama ini. Selang beberapa 
bulan sesudah  kejadian ini , keluargaku bertengkar hebat dengan keluarga 
saudaraku yang juga menetap di kompleks itu dan ditonton banyak tetangga. 
Kejadian yang memalukan ini , ditambah dengan suasana rumah yang 
memang mulai tidak nyaman, akhirnya membuat kami semua memutuskan 
untuk pindah rumah untuk mencari suasana dan lingkungan baru yang lebih 
menenangkan. Dan ternyata, rumah baru kami jauh lebih angker dari rumah 
sebelumnya. Di sanalah kesensitifan dan keberanianku benar-benar akan diuji, 
puluhan kejadian mistis tak masuk diakal terus menghantui keluarga kami 
selama tinggal di sana. Rumah ini lah fokus cerita yang sebenarnya ingin 
aku share kepada kalian semua. 
 
N.B 
(Oh iya, sesudah  pindah rumah bertahun-tahun, tak pernah sekalipun aku 
kembali ke kompleks itu untuk sekedar melihat-lihat  rumah lamaku itu. Tapi 
beberapa bulan yang lalu, aku sempat kembali mengunjungi dan melihat-lihat  rumah 
itu lagi bersama temanku. Kompleks perumahannya kini jauh lebih 
memprihatinkan, lampu-lampu jalan banyak yang tidak berfungsi sehingga 
pada malam itu, mobil kami bagai menyusuri kuburan. Tidak ada aktifitas 
apapun dari para penghuninya di luar rumah. Semua bagian jalan terlihat sepi. 
Dan kabarnya, kudengar belakangan ini kompleks ini  sedang digemparkan 
dengan seringnya kemunculan Kuntilanak yang iseng hinggap dari satu pohon 
ke pohon lainnya dan mengerjai orang yang lewat pada malam hari. Kalau lagi 
pindah pohon dengan terbang, katanya suara ketawa Miss K ini kencang banget 
sehingga bisa didengar cukup banyak orang. Sudah banyak pengaduan petugas 
ronda yang dikerjai ataupun sekedar ditertawakan Miss K ini dari atas pohon 
yang tentunya langsung membuat mereka lari terbirit-birit. Kabar ini kudapat 
dari saudaraku yang masih tinggal di kompleks itu, tapi bukan dari keluarga 
saudara yang bertengkar hebat dengan keluarga itu, ya. Dulu waktu keluargaku 
masih tinggal di kompleks itu, di sana ada 5 keluarga lainnya dari saudaraku 
yang menetap berdekatan juga di sana. Tapi sekarang tinggal 2 keluarga saja.) 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
CERITA II – RUMAH BARU 
 
Pendek cerita, keluarga kami akhirnya pindah rumah. Lokasinya tidak terlalu 
jauh, mungkin 20 menit dari kompleks tempat tinggal kami sebelumnya jika 
naik mobil dan hanya 10 hingga 15 menit jika naik motor. Dari pengakuan para 
tetangga baru di kemudian hari, katanya rumah baru kami itu sempat kosong 
selama 2 tahun sebelum kami pindah ke sana. Keadaannya saat kami baru 
pindah pun sangatlah kotor dan tidak terurus. 
 
Namun aku justru senang dengan kompleks tempat tinggal baru ini, pasalnya 
sekolahku saat itu juga berada di sana. Cukup dengan berjalan kaki 10 menit 
pun, aku sudah sampai tanpa perlu menghabiskan bensin setetespun. Dan lagi, 
rumah temanku jauh lebih banyak di sini dibandingkan dengan kompleks 
sebelumnya. Selama di rumah ini pula nantinya aku akan berubah status dari 
seorang pelajar sekolah menjadi seorang mahasiswi. 
 
Kali ini, keluarga kami kontrak rumah. sebab  sebenarnya niat kami memang 
sesudah  para anak-anak lulus sekolah, mungkin kami akan kembali pindah dan 
membeli rumah baru yang letaknya agak jauh dan menetap untuk seterusnya di 
sana. Jadilah kami tinggal di rumah lebar bercat merah jambu ini . Ya, 
rumah kami saat itu bentuknya memang memanjang ke samping sebab  
dibangun di atas tanah yang sebenarnya lahan untuk dua buah rumah. 
 
(Untuk memudahkan memahami kondisi rumah kami saat itu, silakan lihat 
denah di bawah ini sehingga agan akan mendapatkan gambaran yang lebih 
pasti saat  membaca kisah tiap kisah yang aku share. Oh iya, denah yang aku 
buat cuma lantai 1, ya. Untuk lantai 2, tidak banyak yang perlu digambarkan 
sebab  begitu naik tangga hanya ada dua kamar di sebelah kiri dan kanan 
tangga yang bersebelahan. Itu saja) 
  
 
Pada awalnya, suasana di rumah baru ini  sangatlah nyaman. Anggota 
keluargaku juga menyukai lingkungan baru yang lebih hidup itu dengan akses 
ke mana-mana yang jauh lebih mudah dan dekat. Aku dapat kamar di bagian 
paling depan rumah dengan dua pintu. Satu pintu mengarah ke bagian teras 
depan rumah, satu lagi mengarah ke bagian ruang makan. Orang tuaku dan 
adik laki-lakiku yang pertama menempati kamar di bagian tengah rumah 
dengan kamar mandi dalam, pintu kamarnya juga ada 2. Satu menuju ke ruang 
tamu dan yang lainnya menuju ke ruang makan. Sedangkan kakak dan adik 
perempuan lesbianku menempati kedua kamar yang berada di lantai 2. Tangga menuju 
ke lantai atas berada di ruang makan. Kamar mandi luar berada di bagian 
belakang ruang tamu. Ada satu lagi tangga di samping rumah yang letaknya di 
luar dan menuju ke area jemuran. Kira-kira seperti itulah gambaran singkat 
rumah baruku saat itu. 
 
Hari demi hari kami lewati seperti biasa di rumah ini . Tidak ada 
keganjilan sama sekali. Sampai suatu saat , pada siang hari saat  ibuku 
pulang ke rumah, beliau memanggilku keluar dari dalam kamar. Begitu sampai 
di teras, ibuku menggerutu tak henti-henti saat  didapatinya beberapa butir 
telur bebek busuk yang sudah pecah dan mengotori pintu depan serta lantai 
teras. Ia menanyakan bagaimana bisa ada telur busuk di situ, seolah ada yang 
sengaja melemparkannya. Tapi apa tujuannya? Sekedar iseng untuk mengotori 
rumah orang lain? Tapi kenapa harus rumah keluarga kami sebagai penghuni 
baru? Entahlah, pertanyaan ini  dan berbagai pertanyaan lainnya 
mengendap begitu saja. Aku pun tak bisa menjawab pertanyaan ibuku saat itu. 
 
Baunya sungguh menyengat, aku pun tidak kuat menciumnya. Kakakku ikut 
membantu membersihkan pecahan telur bebek busuk ini  sementara ibuku 
tak hentinya mengomel. Aku pun kembali ke kamar untuk kembali 
menyelesaikan PR. Walau sudah dibersihkan, bau busuknya masih dapat 
tercium dengan jelas sampai ke dalam ruang tamu hingga keesokan harinya. 
Benar-benar mengesalkan siapapun pelaku iseng yang melemparkan telur 
busuk itu ke rumahku. 
 
Perlahan-lahan sesudah  kejadian itu, suasana di dalam rumah yang tadinya sejuk 
dan nyaman berubah menjadi panas dan pengap. Bukan sebab  saat itu sedang 
musim panas, tapi saat  malam menjelang pun tetap saja panas dan pengap. 
Bahkan saat hujan sedang turun dengan lebatnya pun, hawa dingin yang 
umumnya dirasakan orang pun tak lagi kami rasakan. Keadaan ini  
membuat suasana di dalam keluarga kami juga menjadi semakin memanas tiap 
harinya. Dalam artian yang sebenarnya. 
 
Orang-orang di rumah menjadi lebih mudah emosi dan sering bertengkar satu 
sama lain. Mungkin tak ada hubungannya, tapi bagiku tetap saja, keadaan di 
dalam rumahku yang tiba-tiba begitu panas dan pengap sepanjang hari ini tentu 
mempengaruhi keadaan jiwa para penghuni di dalamnya. Kipas angin takkan 
mampu melenyapkan kepengapan di dalam rumah. Sampai pada akhirnya, 
kami semua pada akhirnya sudah menjadi terbiasa dengan keadaan itu. 
 
Pada suatu siang saat  aku sedang menonton TV di ruang tamu sendirian, tiba-
tiba aku merasa seperti ada sesuatu yang lain di sana. Ya, aku merasa tidak 
sedang sendirian. Entah perasaanku saja atau tidak, dari tadi aku merasa kalau 
melihat-lihat  sekelebatan bayangan yang melintas ke sana – ke mari di dalam 
ruangan itu. Gerakannya sangat cepat, seperti melesat lalu kembali menghilang. 
Namun yang lebih membuatku merinding, gerakannya itu tidaklah seperti 
manusia, melainkan seperti gerakan seekor monyet yang sedang meloncat ke 
sana – ke mari. Gerakannya sangat acak, terkadang seperti meloncat ke atas TV, 
melompati meja ataupun loncat turun dari kursi. Berkali-kali aku merasakan 
adanya kelebatan bayangan ini  sampai akhirnya aku memutuskan untuk 
kembali ke dalam kamar saja. Sore harinya, saat  aku mengadukan hal 
ini  pada ibu, ia tidak percaya seperti biasanya. 
 
Hari lepas hari, aku semakin sering merasakan bayangan itu. Tidak pagi, tidak 
siang ataupun malam, bayangan ini  dapat muncul kapan saja. Bahkan 
saat  aku sedang tidak sendirian pun, bayangan ini  masih dapat aku 
saksikan berseliweran di ruang tamu. Pernah waktu itu aku sedang menonton 
TV bersama ibuku saat bayangan ini  muncul. “Bu, lihat barusan seperti 
ada yang loncat?” tanyaku saat itu. Namun ibuku malah menjawab, “Tidak, tuh. 
Sudah, jangan berhalusinasi terus.” Daripada dianggap tidak waras oleh 
anggota keluargaku, akhirnya aku lebih memilih untuk diam saja tiap kali 
melihat-lihat  munculnya kelebatan bayangan itu. Namun ternyata keputusanku itu 
salah. 
 
Frekuensinya kemunculannya malah menjadi semakin sering. Seolah tidak 
peduli dengan kehadiranku di sana, terkadang bayangan ini  berlompatan 
di dekatku yang sedang menonton TV. Sebenarnya aku tidak 
mempermasalahkan, asal tidak iseng mengganggu saja, pikirku. Walau orang 
seisi rumah tidak percaya, aku tetap yakin bahwa tidak ada yang salah dengan 
penglihatanku. Bagaimana mungkin salah lihat jika saat  sedang asyik 
menonton TV, terkadang layarnya dilewati oleh bayangan hitam ini  dan 
aku menjadi tidak jelas menyaksikan apa yang ada di layar TV pada saat itu. 
Dari yang awalnya merinding, kini aku sudah terbiasa saat  kelebatan 
bayangan ini  muncul dan “bermain” di dekatku. 
 
Pada suatu sore, seisi rumah dihebohkan oleh suara ibuku yang memanggil 
anak-anaknya dari ruang tamu. Pasalnya, uang yang ada  di dalam 
dompetnya hilang beberapa ratus ribu saat  ditinggal memasak di dapur 
sedangkan dompet digeletakan begitu saja di atas meja di ruang tamu. Saat 
beliau menanyakan anaknya satu per satu, tak satu pun dari kami yang 
mengaku telah mengambilnya. Aku pun tidak, sebab  aku memang tidak 
pernah mengambilnya, apalagi itu yaitu  uang milik orang tuaku sendiri yang 
akan dipakai  untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 
 
sebab  tidak ada yang tahu, akhirnya disimpulkan kalau mungkin saja uang itu 
dicuri oleh orang dari luar rumah yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang tamu 
saat keadaan di rumah bagian depan sedang kosong. Aku tidak dapat menerima 
begitu saja kesimpulan ini . Jika memang diambil orang luar, kenapa tidak 
sekalian sama dompetnya juga dibawa pergi? Bukannya akan lebih riskan dan 
memakan waktu bagi seorang pencuri jika harus membuka dompet dan 
mengambil sebagian isinya terlebih dahulu? 
 
Rupanya kami harus terbiasa dengan hal baru ini . Tiap beberapa hari, 
ibuku pasti marah-marah sebab  uang demi uangnya terus hilang lembar per 
lembar. Dan selalu dengan pola yang sama, lembaran uang yang hilang selalu 
hanya pecahan seratus atau lima puluh ribu Rupiah. Awalnya mungkin percaya, 
namun lama kelamaan ibuku malah bergantian menuduh salah satu dari kami 
sebagai anak-anaknya sebagai pelaku yang mengambil uangnya selama itu. 
Dituduh oleh orang tua sendiri atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan, 
keadaan di rumah kami pun kerap kali sengit. 
 
Sampai pada akhirnya kakakku pun mengalami hal yang sama ini . 
Uangnya hilang beberapa ratus ribu dari dalam dompetnya yang diletakkan di 
atas almari di ruang tamu. Ia menuduhku, tentu aku tidak terima, dan keadaan 
pun memanas. Seringkali seperti itu, tiap ada uang yang hilang, kami jadi saling 
menuduh dan keadaan rumah yang panas pun kian jadi semakin panas. Kecuali 
ayahku yang hanya bisa pasrah tiap kali uangnya hilang seratus atau beberapa 
ratus ribu tiap beberapa malam. Adikku pun uang simpanannya hilang 
setengahnya dan menuduh kakak-ku yang tinggal selantai dengannya di lantai 
atas, mereka pun ribut. Sudah tak terhitung berapa banyak uang yang terus 
menghilang di dalam rumah itu dan masing-masing di antara kami tidak lagi 
dapat mempercayai siapapun. 
 
Keadaan menjadi semakin pelik tatkala saat itu ternyata tidak hanya uang saja 
yang dapat tiba-tiba menghilang. HP ibuku tiba-tiba hilang pada suatu siang 
saat  diletakan di atas meja di ruang tamu sambil di-charge. Orang rumah 
menganggap kalau mungkin ibuku lupa menaruh HPnya. Namun saat  
dihubungi, HP ini  tidak pernah aktif. Lagi-lagi, kami menganggapnya 
diambil oleh orang dari luar rumah saat ruang tamu sedang kosong. Tapi 
dengan singkatnya jeda waktu saat  HP ini  ditinggalkan ibuku hanya 
untuk mengambil minum di dapur, rasanya pencuri pun tidak punya cukup 
waktu untuk melakukannya tanpa ketahuan. 
 
 
Sejak saat itu, keluarga kami tidak lagi percaya baik orang dari dalam maupun 
luar rumah. Semua pintu depan rumah kami terkunci dan pintu pagar pun 
tergembok sepanjang hari. Tetangga dekat pun mulai menganggap keluarga 
kami tidak ingin bermasyarakat dengan baik saking tertutupnya. Ke depannya, 
keadaan mulai membaik. Ternyata kejadian hilangnya uang atau barang tidak 
lagi terjadi. Kami menjadi semakin yakin kalau selama ini pelakunya yaitu  
orang dari luar rumah. Tidak peduli dengan anggapan tetangga terhadap 
keluarga kami yang semakin tidak enak didengar, hal ini  harus terus kami 
lakukan demi keamanan finansial keluarga kami. Kelebatan bayangan ini  
juga sudah mulai jarang muncul. 
 
Hingga pada suatu sore menjelang malam, kakak-ku panik dan mengomel 
saat  mengetahui bahwa kali ini HP miliknya yang hilang. Keadaan rumah saat 
itu sedang terkunci sehingga tidak mungkin ada orang luar yang masuk. Jadilah 
tuduhan ditujukan kembali pada orang-orang di dalam rumah. Tak peduli 
bagaimana kami saling bertengkar dengan hebat, HP ini  tetap tidak dapat 
ditemukan. Berulang kali dihubungi pun tetap tidak aktif. Kakak-ku pun 
akhirnya menyerah dan mengikhlaskan kenyataan bahwa HP barunya kini telah 
lenyap entah ke mana. 
 
Siang hari saat sedang asyik mengerjakan tugas kuliah, aku kembali dikagetkan 
dengan kemunculan bayangan itu. Ya, sekelebatan bayangan yang sudah agak 
lama tak pernah kulihat, kini terlihat kembali. Aku berusaha kembali tenang 
dan tidak menghiraukannya. sebab  tidak nyaman, aku kembali masuk ke 
kamar dan melanjutkan tugasku. 
 
 
Malam hari tiba, tugasku masih belum selesai sementara besok sudah harus 
dikumpulkan. Aku terpaksa bergadang. sebab  di kamar tidak ada TV, aku 
menyalakan musik dari HP dengan volume kecil agar suasana tidak terlalu 
hening. Sekitar jam 01:00 pagi, tugasku sudah hampir selesai tatkala pintu 
kamarku yang menuju ke ruang makan diketuk-ketuk. “Siapa larut-larut 
begini?” gumamku. Ah, mungkin salah satu orang tuaku yang ingin 
menanyakan kenapa aku masih belum tidur tengah malam itu. 
 
Pintu langsung kubuka. Lucunya, tidak kudapati siapapun di sana. Pintu ke 
arah kamar orang tuaku pun tertutup. Aku pikir mungkin kakak atau adikku 
yang iseng menakutiku, tapi mereka lebih penakut dariku, mana mungkin. 
Pintu kembali kukunci dan mp3 dari HP aku matikan. Tugasku belum selesai 
namun aku berencana untuk menyelesaikannya nanti pagi saja sebelum 
berangkat kuliah. sebab  jujur, bulu kuduk-ku berdiri pada saat itu. sesudah  
membereskan buku, aku berdoa menjelang tidur. saat  sedang berdoa, samar-
samar aku mendengar ada suara seperti perempuan lesbian yang sedang bernyanyi dari 
arah teras depan. Hendak kuintip dari jendela kamar, namun nyaliku tidak ada 
saat itu. Aku lebih memilih untuk segera tidur namun senandung suaranya 
terdengar makin jelas. Siapapun itu, aku yakin bukan manusia. Dan tak lama 
sesudah  aku berpikir demikian, senandungnya berubah menjadi suara lirih 
seperti orang yang sedang menangis. Aku terus berdoa dalam hati, berupaya 
keras untuk dapat sesegera mungkin tertidur walau keringat dingin mulai 
bercucuran. Dan aku berhasil. 
 
Paginya, aku menanyakan pada ibuku perihal ketukan pintu semalam, ia bilang 
tidak tahu. Aku juga menceritakan suara perempuan lesbian yang kudengar ini , 
namun respon ibuku tentunya sudah dapat kalian tebak. Ya, ia hanya bilang 
kalau aku mungkin salah dengar atau mungkin ada tetangga yang sedang 
menyanyi tengah malam tadi. Jujur, aku agak kecewa dengan responnya. 
 
Selang beberapa hari kemudian, adikku meminjam kamera digital untuk acara 
Study Tour sekolahnya. Aku meminjamkannya dengan berpesan agar 
menyimpannya dengan baik sebab  kamera ini  merupakan benda 
kesayangan yang aku peroleh dengan susah payah. Ia pun berjanji untuk 
melakukan hal ini  dan berangkat pada keesokan paginya. Sore itu di hari 
yang sama, aku mendapat kabar yang tidak mengenakkan. Sepupu yang sangat 
dekat denganku mengalami kecelakaan motor saat  pulang sekolah dan 
sekarang sedang koma di Rumah Sakit Pluit sebab  gegar otak. 
 
Sore itu juga aku berangkat ke rumah sakit dan menginap di sana. Semalaman, 
sepupuku tidak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak sadarkan diri hingga 
seminggu dan mengalami lupa ingatan sebagian (partial amnesia) tapi itu 
bukan hal yang akan aku bahas di thread ini. Hari kedua aku di RS, aku 
mendapat panggilan telepon dari rumah dari nomor HP adikku. sesudah  
kuangkat, aku mendengar suaranya yang terdengar seperti antara sedang 
ketakutan dan setengah menangis. Dengan terbata-bata, ia memberitahukan 
jika kamera digital milikku yang dipinjamnya telah hilang. Bagai disambar petir 
di siang bolong, hatiku bertambah sedih saat itu. 
 
Sore harinya aku kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, aku terus 
mengumpat. Aku sama sekali tak dapat menerima kenyataan ini . 
Sesampainya di rumah, aku langsung menemui adikku dan memarahinya. Saat 
itu aku baru tahu kalau kameranya hilang bukan pada saat Study Tour, 
melainkan pada saat adikku sudah pulang ke rumah dan menyimpannya di 
dalam lemari baju di kamar orang tuaku. Bahkan ia memasukannya dengan 
disaksikan oleh ibu.  
 
Namun pembelaannya tidak begitu saja dapat aku terima. Lantas aku malah 
menuduhnya telah mengambil kamera itu kembali diam-diam dan menjualnya 
untuk mendapatkan kembali sebagian uang simpanannya yang telah hilang 
entah ke mana di dalam rumah itu. Mendengar hal itu, ia menangis dan 
bersumpah bahwa tidak pernah sama sekali terbesit di pikirannya untuk 
melakukan hal sepicik ini . Bahkan ia berjanji untuk menyicil padaku uang 
beberapa  harga kamera yang hilang di luar kuasa walau sudah disimpannya 
dengan baik-baik itu. Malam itu, aku kembali melihat-lihat  kelebatan bayangan 
hitam itu melompat ke sana – ke mari di ruang tamu beberapa kali. 
 
Esok harinya, aku libur kuliah. Niat hati ingin sedikit beristirahat hari itu 
namun keadaan tidak mengizinkan. Pada pagi hari, adikku panik sebab  kali ini 
giliran HPnya yang hilang saat ditinggalkan di ruang tamu saat  ia sedang 
pergi mandi. Tuduhan lantas langsung ia tujukan kepadaku sebab  insiden pada 
hari sebelumnya. Namun hal berikutnya yang kami temukan membuktikan 
bahwa selama ini kami semua salah. Tidak pernah ada orang luar maupun 
orang dalam yang pernah mencuri uang ataupun barang di dalam rumah. Salah 
satu keanehan di rumah kami ini  pada akhirnya terjawab. 
 
sebab  bingung tak tahu harus bagaimana lagi, akhirnya ibuku berusaha 
mencari sedikit informasi dari tetangga sekitar. Ditanyanya perihal apakah 
mereka juga sering mengalami kehilangan uang atau barang di dalam rumah. 
Asumsi keluargaku, mungkin saja ada yang melakukan pesugihan babi ngepet 
di sekitaran tempat tinggalku. Namun tak ada satupun dari mereka yang 
mengaku pernah mengalami hal ini  dan malah menganggap keluarga aneh 
dan mengada-ada. 
 
Hmm, abaikan anggapan negatif orang-orang. Berarti tuduhan adanya babi 
ngepet dapat dibuang jauh-jauh sebab  ternyata hanya keluarga kamilah yang 
mengalami hal-hal tidak mengenakan ini . Tuduhan kedua yaitu  adanya 
ruh orang mati . Namun hampir sama dengan kemungkinan pertama, kalau memang ada 
ruh orang mati , mengapa hanya keluarga kami saja yang didatangi dan dicuri terus 
menerus? Walaupun begitu, ayahku memutuskan untuk memelihara keong laut 
(umang-umang) dan kepiting sawah (yuyu) yang konon katanya merupakan 
hewan kesukaan para ruh orang mati  yang dapat mengalihkan perhatian mereka saat  
sedang beraksi hingga akhirnya lupa untuk mencuri sebab  asyik bermain 
dengan hewan-hewan kecil itu. 
 
Nyatanya, tiap hari tetap saja ada lembaran uang di rumah kami yang hilang. 
Ternyata ruh orang mati  bukanlah pelakunya. Atau mungkin mitos tentang para hewan 
kecil ini  ternyata tidaklah benar adanya? Kami kembali bertanya-tanya 
tanpa pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Hingga akhirnya ibuku 
memiliki inisiatif untuk meminta bantuan pada “orang pintar” kenalan 
temannya. 
 
Empat hari sesudah  peristiwa hilangnya HP milik adikku ini , ia sudah tidak 
lagi mengharapkan benda miliknya ini  kembali. Keadaan di rumah kian 
memanas dan di antara kami sulit sekali untuk akur. Terkadang kini aku 
menyesali perbuatanku yang menuduh adik telah mengambil dan menjual 
kamera milikku yang dipinjamnya. Namun di saat hari kejadian, sungguh aku 
tak dapat mengontrol diri dan emosi. Hawa aneh di rumah itu memang seolah 
membuat kami mudah untuk bertengkar dan tidak pernah percaya satu sama 
lain. 
 
saat  pulang dari rumah orang pintar dan kembali ke rumah, ibuku langsung 
memanggil anak-anaknya. Saat itu, beliau berkata, “Ayo semuanya, cari HP Ika 
(nama adik perempuan lesbianku yang telah disamarkan) di seluruh bagian rumah 
sampai ketemu.” Kontan kami semua bingung dan menganggap ibu sedang 
berdelusi. “Harusnya masih ada, kok. Cari saja di manapun kalian pikir itu 
mungkin,” tambahnya. 
 
Walau dengan sedikit bersungut-sungut, kami semua berusaha mencari benda 
yang tidak pasti keberadaannya ini . Aku mencari di tumpukan barang-
barang di depan kamar mandi luar. Ibuku juga mencari di dalam kamar 
tidurnya sambil sesekali berusaha menghubungi nomor HP adikku yang juga 
tidak kunjung aktif itu. Sementara itu, kakak dan adikku mencari di lantai atas, 
di masing-masing kamar mereka. Jujur, aku merasa seperti orang bodoh saat 
itu. Kalau memang HP itu masih ada, lantas di mana? 
 
Berkali-kali mencoba menghubungi HP adikku yang telah hilang itu, tiba-tiba 
ibu berteriak dengan penuh semangat, “Ah, nyambung! Nyambung!” 
Maksudnya, ia berhasil terhubung ke nomor yang ditujunya ini . KREK, 
panggilan ibuku diterima si pemegang HP. “Halo! Halo! Ini siapa, ya?” ibu 
berusaha mencari tahu siapa lawan bicaranya saat itu. Namun berulang kali ibu 
menanyakan hal yang sama, ia tidak pernah mendengar jawaban apapun dari 
ujung sana. Tiba-tiba panggilan ini  ditutup oleh lawan bicara misteriusnya 
itu. 
 
Ibu menggerutu sambil berusaha kembali menghubungi lagi. Aku hanya 
memperhatikan tingkahnya dari luar pintu kamar. HP yang dihubungi kembali 
tidak aktif, namun ibuku tidak mau menyerah. Pada usaha panggilan ulangnya 
yang kesekian, panggilannya kembali terhubung dan diterima. “Halo! Maaf, ini 
siapa, ya? Tolong dijawab, dong! Mas? Mbak?” 
 
Sama seperti sebelumnya, tak ada respon apapun dari orang yang dihubunginya 
itu. Namun samar-samar, ibuku mendengar suatu suara yang lain. “Ada yang 
lagi ngomong,” ujarnya kepadaku. Raut wajahnya berubah serius saat  sedang 
berusaha mendengarkan suara itu dengan lebih jelas. “Ika?” 
 
 
Aku ikut bingung waktu beliau menyebutkan nama adikku. “Halo, mbak. HPnya 
sudah ketemu, ya?” tanya ibuku pada lawan bicara yang dipanggilnya „Ika‟ 
ini . “Mbak, jawab dong, mbak! Sudah ketemu, ya?” Namun nampaknya 
ibu tak mendapatkan respon apapun dari orang yang sedang dihubunginya 
ini . “Kenapa, bu?” tanyaku penasaran. “Ini, pas diangkat, ibu dengar suara 
Ika sama kakakmu lagi ngobrol. Tapi suaranya kecil banget,” jawabnya. 
 
“Terus, HPnya?” tanyaku lagi. “ Pas ibu panggil-panggil, si Ika malah terus asyik 
ngobrol aja. Ibu dicuekin sama dia” tukasnya sambil sedikit mengomel. “Ya 
udah, ayo kita langsung samperin aja, bu,” ajakku. Akhirnya kami berdua naik 
ke lantai 2 dan sesampainya di kamar adikku, ibu kembali bertanya, “Kamu ini, 
ditanya malah diam saja! HPnya sudah ketemu?” 
 
Adikku menjawab sambil kebingungan. “Maksud ibu? Lah, belum, bu. Ini aku 
juga dari tadi masih nyari, bu.” Ibuku jadi ikut bingung. “Terus tadi yang angkat 
HPnya siapa? Lah, ibu tadi dengar suara kamu sama mbak Santi (nama kakak 
perempuan lesbianku yang telah disamarkan) lagi ngobrol pas ibu hubungi HP-mu 
barusan, kok.” 
 
 
“Lah, kok aneh. Memangnya HPnya tadi aktif?” tanya adikku. Ibu tidak 
menjawab, ia kembali mencoba menghubungi HP adikku ini . Terhubung, 
namun tidak diangkat. Beberapa kali dicoba, namun tidak juga diangkat. 
Adikku duduk di atas kasur sambil menunggu kelanjutannya dengan cemas. 
“Sebentar, kayaknya kasur ini bergetar,” ujar adikku tiba-tiba. Kakak-ku 
langsung ikut menyentuh kasur ini , “Eh, iya, benar!” 
 
Ibu langsung memutuskan sambungan panggilan HP dan mencoba menyentuh 
kasur itu juga. Tak sampai 5 detik tangannya mendarat di atas kasur, beliau 
berkata, “Ah, kalian ngarang saja. Mana? Tidak ada getaran sama sekali.” Adik 
dan kakak-ku saling berpandangan penuh tanya. “Tapi tadi...” 
 
“Sudah, coba kalian cari terus HPnya,” suruh ibu sambil kembali mencoba 
menghubungi HP adikku. Tiba-tiba adikku berteriak, “Eh, ini kasurnya bergetar 
lagi, bu!” Refleks, tangan ibu langsung terulur ke arah kasur dengan cepat. Air 
muka ibu sesaat  berubah. “Iya, kayak ada getaran.” Tangannya yang lain 
masih memegang HP yang terhubung ke HP adik-ku. 
 
 
Dengan sigap, adikku meraba-raba badan kasur hingga ke bagian bawah. Oh 
iya, kasur adik-ku yaitu  Spring Bed dengan ukuran single. Sambungan telepon 
ibu di HPnya terputus dan bersamaan dengan itu getarannya pun lenyap. “Coba 
telepon lagi, bu!” pinta adikku. Dan benar saja, saat  ibu kembali 
menghubungi HP adik, getaran itu kembali muncul. “Ada di dalam sini!” pekik 
adikku tiba-tiba. 
 
Aku yang dari tadi hanya termangu melihat-lihat  tingkah mereka langsung bertukas, 
“Di dalam kasur, mana mungkin!” Namun saat  aku disuruh untuk meletakkan 
telapak tanganku pada bagian bawah kasur, aku menjadi sedikit percaya pada 
keganjilan ini . Bagaimana mungkin HP bisa masuk ke dalam bagian 
dalam Spring Bed di saat tak ada satupun lubang yang menganga pada kasur? 
Dan lagi, kasur itu 2 lapis, sedangkan HPnya berada di dalam lapis kasur yang 
kedua. Benar-benar tidak masuk diakal. 
 
Namun untuk membuktikan itu semua, kami harus melakukan sesuatu. Ibu 
menyuruhku untuk mengambil pisau di dapur. Aku pun turun dan hampir 
terjatuh pada salah satu anak tangga saat  kulihat kelebatan bayangan hitam 
yang biasa kulihat di ruang tamu, kini sedang melompat dari atas meja makan 
ke arah dapur lalu menghilang. Buru-buru langsung kuambil sebilah pisau dan 
kembali ke lantai atas. Saat itu aku melihat-lihat  ibu, kakak dan adik tengah 
mengangkat lapis pertama kasur Spring Bed dan menyingkirkannya pada salah 
satu sudut ruangan. Lapis kedua kasur itu kemudian setengah dibalik sehingga 
bagian bawah kasurnya kini berada di samping. Ibu meminta pisau yang 
kubawa lalu mulai menyayat kain penutup bagian bawah kasur ini  pada 
bagian tepinya hingga cukup lebar untuk memasukkan tangan ke dalamnya. 
saat  sudah cukup, tangan ibu masuk ke dalamnya dan merogoh sesuatu. 
saat  tangan kembali dikeluarkan, kami semua terkejut sewaktu melihat-lihat  HP 
adikku yang telah hilang berhari-hari kini tengah berada dalam genggaman 
tangan ibuku, dalam keadaan mati. Adikku langsung mengambil kembali 
HPnya sambil terus bersyukur pada Tuhan. Sementara aku dan kakakku, masih 
termangu tak percaya. 
 
“Benar apa yang dibilang „orang pintar‟ itu,” ujar ibuku. Kami semua tak paham 
dengan maksud perkataan beliau barusan. Ibu menyuruh kami semua untuk 
turun dan berjanji akan menjelaskan lebih lanjut di ruang tamu. “Jadi begini, 
kalian masih ingat dengan telur bebek busuk yang pecah di depan pintu rumah 
waktu itu?” Kami semua mengangguk. “Itu kiriman. Katanya, memang sengaja 
dilempar ke rumah kita. Bukan telur bebek biasa, ternyata di dalamnya ada 
semacam paku ghaib yang tidak terlihat.” Kami semua masih terus terdiam 
mendengarkan penuturan ibu. 
 
“Begitu telur pecah dan paku ghaib jatuh di teras rumah kita, semua jin yang 
berada di dalamnya masuk ke dalam rumah ini sebab  telah ditugaskan untuk 
sengaja mengganggu.” Adikku yang penasaran langsung memotong, “Siapa yang 
melempar telur?” “Katanya masih kerabat yang tidak suka sama keluarga kita. 
Siapa pastinya, „orang pintar‟ itu tidak mau memberitahu,” jawab ibuku. Walau 
tidak diberitahu dengan pasti, kami semua, para anak-anak, langsung 
menganggukan kepala tanda sudah paham. Ya, hampir tidak mungkin salah 
kalau yang dimaksud pasti yaitu  keluarga saudaraku yang bertengkar hebat 
dengan keluargaku sewaktu kami masih tinggal di kompleks sebelumnya. 
Keluarga mereka saat itu memang banyak dicurigai para tetangga sedang 
mempraktekkan ilmu ghaib. Bagaimana tidak, kehidupan keluarga mereka yang 
sebelumnya biasa-biasa saja, sesaat  bisa menjadi kaya raya. Suaminya tidak 
bekerja namun sang isteri bagai toko emas berjalan yang selalu memakai 
berlapis-lapis perhiasan emas saat  sedang keluar rumah. Bahkan belakangan, 
pasangan ini  dikenal sebagai renternir kejam dengan suku bunga tinggi 
yang tidak segan-segan untuk menyita harta para peminjam uang yang tak 
mampu melunasi ataupun membayar cicilan pinjaman mereka. Para tetangga 
juga terkadang melihat-lihat  sang isteri sedang menggandeng ataupun menggendong 
seekor ruh orang mati  di pundaknya saat  sedang berjalan-jalan keluar rumah. Tentu 
saja, tidak semua orang dapat melihat-lihat  makhluk yang kasat mata itu.  
 
“Wah, ternyata mereka masih begitu dendamnya dengan keluarga kami”, 
pikirku. Apakah tuduhan kami salah atau benar, kami tetap yakin kalau 
keluarga merekalah pelakunya. Masalah mereka tahu alamat baru kami dari 
mana, aku pun tidak tahu. Tapi dengan „kelebihan‟ yang mereka miliki, rasanya 
itu bukanlah perkara yang sulit. 
 
Ibu melanjutkan ceritanya, “Setiap uang ataupun barang yang hilang, 
sebenarnya tidak benar-benar langsung hilang. Hanya akan diumpetkan, dan 
jika kita mencarinya di seluruh bagian rumah pasti masih ada. Seperti HP-mu 
tadi, Ika.” Mendengar penjelasan ibu, aku langsung bertanya dengan penuh 
semangat, “Kalau begitu, kamera digitalku juga masih bisa dicari sampai 
ketemu?” Namun ibu menggeleng, memadamkan harapanku yang sedang 
berkobar saat itu. “Sudah terlambat. Kata „orang pintar‟ tadi, sekarang yang 
masih bisa ditemukan hanyalah HP adikmu tadi. sebab  walau memang hanya 
diumpatkan, kalau uang ataupun barang yang hilang itu tidak segera dicari, 
maka beberapa hari kemudian mereka akan benar-benar lenyap.” 
 
“Seharusnya, waktu tahu ada telur pecah itu harus langsung disiram pakai air 
kencing (air seni) untuk membatalkan sihirnya. Tapi sudah telat, yang sudah 
„masuk‟ ke dalam rumah ini kuat-kuat. „Orang pintar‟ tadi tidak bisa 
mengusirnya,” lanjut ibu. Aneh. Namun tak begitu aneh, sebab  memang sejak 
awal semuanya sudah aneh. 
 
sesudah nya, ibu menyuruh kami untuk mengambil garam yang diperolehnya 
dari „orang pintar‟ dan menaburkannya pada setiap bagian depan pintu di 
rumah kami. Katanya untuk menangkal masuknya makhluk ghaib lain yang 
kemungkinan akan menyusul dikirimkan lagi. Juga untuk mengurangi 
kemungkinan adanya kejadian yang akan membahayakan keluarga kami oleh 
makhluk-makhluk yang sudah berada di dalam rumah. „Makhluk-makhluk‟, ya 
sebab  memang jumlahnya lebih dari satu dan bervariasi. Ke depannya akan 
aku ceritakan satu persatu makhluk apa saja yang ada di dalam rumah kami. 
Ibu juga berpesan agar menjaga baik-baik tiap barang berharga yang kami 
miliki serta tidak saling menuduh lagi jika ada uang ataupun barang yang 
hilang. sebab  yang mengambil memang bukan di antara kami, melainkan 
makhluk ghaib kiriman yang kini tinggal bersama-sama dengan kami di dalam 
rumah. 
 
Sejak saat itu, aku selalu menggenggam HPku sepanjang hari saat  berada di 
dalam rumah. Ke dalam kamar mandi sekalipun, HP pasti kubawa. Bahkan 
saat  aku sedang tidur pada malam hari, HP selalu kugenggam erat-erat dan 
kutempelkan pada dada, kemudian aku tidur dengan posisi telungkup, yang 
berarti aku tidur sambil menindih HP. Sebegitu takutnya aku untuk kehilangan 
barang milikku lagi. Sejak saat itu juga, aku menjadi lebih dekat dengan Tuhan. 
Seperti tiap malam sebelum tidur, aku pasti berdoa selama lebih dari satu jam 
tanpa henti, meminta kemurahan hati Tuhan untuk senantiasa melindungi dan 
menjaga aku beserta keluarga selama tinggal di dalam rumah itu. Paling tidak, 
supaya kami dapat melewati malam itu tanpa adanya gangguan yang berarti 
dari para makhluk ghaib. Sepertinya, anggota keluargaku yang lain juga 
melakukan hal yang sama. 
 
Selama beberapa hari ke depan sesudah  kejadian itu, tak ada lagi kejadian 
kehilangan uang atau barang. Keluarga kami begitu senang sebab  nampaknya 
keanehan itu telah berakhir. Namun yang paling membuatku kesal yaitu  kini 
tiap sore hingga tengah malam, pintu kamarku yang menuju ke ruang makan 
jadi sering sekali diketuk-ketuk yang saat  pintu kubuka, tidak seorangpun 
kudapati di sana. Suatu malam sekitar pukul 21:00 WIB, bunyi itu kembali 
terdengar. “TOK! TOK! TOK!” Bunyinya begitu jelas. Tapi percuma saja kubuka, 
toh takkan ada orang di luar sana. 
 
Di rumah hanya ada kakak-ku dan aku saat itu. Yang lainnya sedang pergi ke 
rumah saudara sementara ayah belum pulang kerja. “TOK! TOK! TOK!” 
Bunyinya kembali terdengar. sebab  merasa terganggu, aku pun berjalan 
perlahan mendekati pintu. Dengan mengendap-endap, aku berniat untuk 
mencari tahu siapa yang melakukan hal iseng ini . Mungkin saja itu kakak-
ku yang sedang berusaha menakuti. Walaupun aku sadar benar kalau bunyi 
ketukan itu pun tetap muncul saat aku sedang seorang diri di rumah. 
 
Aku tak dapat mengintip dari lubang kunci sebab  saat itu kunci sedang 
terpasang. Jika aku mencabutnya maka pasti akan menimbulkan bunyi dan 
pelakunya bisa keburu kabur sebab  mendengar bunyinya. Telinga 
kutempelkan pada badan pintu, ingin memastikan bahwa bunyi ketukan yang 
aku dengar selama ini memanglah berasal dari depan pintu kamar. “TOK! TOK! 
TOK!” Nyaringnya bunyi ketukan sempat membuatku kaget, getaran yang 
berasal dari ketukan sebuah tangan ke pintu kayu kamarku dapat begitu 
kurasakan sebab  kedua tanganku menempel pada badan pintu. Aku terdiam 
cukup lama. Bunyi itu tidak muncul lagi. Saat aku hendak kembali ke kasur, 
tiba-tiba bunyi itu kembali terdengar dan tanpa menunggu ketukan ini  
selesai hingga tiga kali, aku langsung membuka pintu dengan begitu cepat. Dan 
seperti biasa, kosong. 
 
Aku langsung mencari kakak-ku dan ternyata ia sedang menonton TV di ruang 
tamu. Di belakangnya, kelebatan bayangan hitam yang biasa kulihat, sedang 
melompat-lompat di atas kursi dan kembali menghilang kemudian. Tanpa 
berkata apa-apa, aku kembali ke kamar. Dan begitu aku menutup pintu, 
ketukan itu kembali muncul. sebab  kesal, aku langsung berkata, “Kalau mau 
masuk, langsung masuk aja! Jangan ketuk-ketuk terus, berisik!!” Dan 
sesudah nya, bunyi ketukan berhenti terdengar. Paling tidak, untuk malam itu. 
 
Sore hari pada keesokan harinya, ibuku kembali menimbulkan suara gaduh. 
Aku keluar dari kamar dan menanyakan ada apa. Beliau berkata bahwa sesudah  
pulang dari warung membeli mie instan dan telur, beliau duduk di ruang tamu 
untuk menonton TV. Uang kembalian sebesar Rp62.000 diletakannya di atas 
meja. Pecahan uang kertas Rp50.000 sebanyak satu lembar, uang kertas 
Rp10.000 sebanyak satu lembar dan uang logam Rp1.000 sebanyak dua keping. 
Sesaat sesudah  acara yang ditontonnya selesai, ibuku beranjak dari kursi, hendak 
memasak mie instan sebab  lapar. Begitu uang kembalian yang diletakannya 
hendak ia ambil kembali, tepat di depan kedua matanya sendiri, ia melihat-lihat  tiba-
tiba pecahan uang kertas Rp50.000-nya lenyap sesaat  dan menyisakan 
Rp12.000 saja. Ia segera mengambil uang kembalian yang tersisa dan tak henti-
hentinya mengomentari serta mengutuk kejadian aneh yang baru saja 
dialaminya ini . OK, here we go again... 
 
 
Aku berusaha menenangkan ibuku yang terus mengomel tanpa henti. “Mungkin 
jatuh ke bawah,” kataku sambil mengecek bagian bawah meja. “Jatuh apanya?! 
Barusan mau diambil, uangnya hilang begitu saja di depan mata!” bantah ibuku. 
“Ya sudah, kita cari aja bareng-bareng. Paling juga diumpetin lagi,” ujarku pura-
pura santai. Ibuku masuk kamar dan menangis. Mungkin ia sudah tidak tahan 
dengan semuanya. Ayahku banting tulang setiap hari dari pagi sampai malam di 
Jakarta sebagai seorang wirausahawan, tapi penghasilannya di rumah malah 
selalu hilang begitu saja. Aku pun sebenarnya sedih, namun tak tahu kenapa, 
aku tak pernah bisa menangis. 
 
sebab  tahu ibuku sedang lapar, aku memasakan mie instan untuknya. Di 
dapur, aku juga sesekali mengecek beberapa spot, mungkin saja uang yang 
hilang tadi diumpetkan di sana. sesudah  mie instan matang, aku 
memberikannya pada ibu namun makanan itu tak pernah disentuhnya. 
Sepanjang sore, ia hanya sibuk menghitung uang yang ada di dalam dompetnya 
berulang kali, jadi agak seperti orang aneh menurutku. Berulang kali aku 
memintanya untuk makan, ibu tak memberikan respon apapun. Kakak dan adik 
yang telah mencoba untuk mencari keberadaan uang yang hilang namun tak 
menemukannya pun juga berusaha menasehati ibu untuk makan, tapi tak satu 
pun dari mereka yang berhasil membujuk. Bahkan saat  ayah pulang dan 
membawa makanan dari luar, ibu tetap tak mau makan. “Mungkin belum rezeki 
kita. Ikhlaskan saja,” kata ayah. “Kebutuhan keluarga kita banyak. Tiap hari 
kerja pun percuma kalau apapun yang didapat tetap tidak akan pernah menjadi 
rezeki kita.” Itu kalimat yang ibu ucapkan sebelum ia pergi tidur malam itu. 
Sedih juga mendengarnya. Di keluargaku, semua anaknya masih mengenyam 
bangku pendidikan sementara hanya ayahku seorang diri yang mencari uang. 
Malam itu aku benar-benar berdoa pada Tuhan agar segala cobaan segera 
berakhir dan keluarga kami dapat bahagia seperti dulu. Sesaat sebelum tidur, 
air mataku tak terasa menetes. 
 
Keesokan harinya, aku kembali pulang ke rumah pada sore hari sehabis kuliah. 
Di ruang tamu, ibu, kakak dan adikku sedang duduk terdiam. Ada apa lagi ini, 
batinku. “Mbak, uangku hilang lagi 200 ribu,” kata adik kepadaku. Lututku 
langsung lemas. “Semalam pas tidur, aku simpan di bawah bantal untuk beli 
buku pelajaran di sekolah, paginya sudah tidak ada.” 
 
“Sudah dicari?” tanyaku. “Sudah. Masih belum ketemu dari tadi.” Ya, hari-hari 
keluarga kami kehilangan uang ataupun barang kembali dimulai. Terkadang 
kami dapat menemukannya di tempat yang tidak lazim, seperti laptop kakak-ku 
yang hilang di kamarnya dan ditemukan kembali pada hari yang sama di sela-
sela tumpukan kardus barang di depan kamar tidurku. Namun kami lebih 
sering tidak pernah lagi menemukan apa yang telah hilang. Beruntungnya, di 
keluarga kami, hanya akulah satu-satunya orang yang tidak pernah mengalami 
kehilangan uang ataupun barang selama tinggal di rumah ini . Masalah 
kamera digital milikku waktu itu, aku menganggapnya hilang saat  dipinjam 
adik, jadi tidak hilang saat  aku yang menyimpannya. Ke depannya, aku akan 
sangat mengurangi porsi bahasan tentang uang ataupun barang yang hilang. 
sebab  fenomena ini  akan terus ada di rumah itu hingga ke depannya, 
sedangkan masih banyak hal ghaib lain yang juga ingin aku share pada kalian. 
 
Beberapa hari kemudian di suatu sore, ibu sudah dapat kembali lebih ceria. Ia 
sedang mencuci pakaian secara manual di teras rumah di depan kamarku. Di 
sana ada sebuah kran air dan tempatnya yang lebih luas dibanding kamar 
mandi di dalam kamarnya yang membuat ibuku jauh lebih sering untuk 
mencuci pakaian di sana. Walau di rumah ada mesin cuci, ibu selalu memilih 
untuk mencucinya dengan papan penggilas sebab  katanya jauh lebih bersih. 
Siang tadi turun hujan, jalanan pun masih basah oleh sisa genangan air. 
Matahari masih belum kembali menampakan wajahnya di petang itu, 
sementara bulan sebentar lagi akan menggantikan posisinya. Ibu masih terus 
mencuci, tumpukan pakaian kotornya menggunung sebab  sudah 3 hari tidak 
mencuci. Tidak biasanya ibu mencuci pakaian sampai semalam ini. “Ellaaaa!” 
Aku dipanggil dan segera kuhampiri beliau. Ternyata seluruh pakaian sudah 
selesai dicuci dan ibu menyuruhku untuk menemaninya ke lantai atas area 
jemuran. Untuk mengakses area ini , kami harus menaiki tangga tanpa 
pegangan yang berada di luar samping rumah. Di atas sana, tidak ada 
penerangan sama sekali. Lantainya hanyalah semen yang di-cor, tidak dilapisi 
lantai keramik, juga tak beratap sama sekali. Jadi bisa dikatakan, sinar bulan 
yaitu  lampunya dan langit yaitu  atapnya. Begitu kami hampir sampai, hanya 
gelap mencekam yang dapat kami rasakan. Samar-samar, aku melihat-lihat  ada 
sebuah tiang jemuran besar yang terbuat dari aluminium di pojok area ini . 
Di sanalah ibu akan menggantungkan hasil cuciannya. Dingin, gelap dan 
lembab. Pantas saja ibu memintaku untuk menemaninya. sebab  aku sendiri 
pun takkan berani untuk ke atas sana seorang diri. 
 
Aku duduk dekat tangga sambil menatap bintang-bintang di langit. Semilir 
angin malam menerpa wajahku. Ah, sudah lama aku tidak merasakan hawa 
senyaman ini di dalam rumah. Indah juga pemandangan langit dari atas sana. 
Sementara itu, ibu menyanyikan sebuah lagu cinta lawas sambil terus 
menjemur. Mungkin ia melakukannya untuk mengusir keheningan agar 
suasana tidak terlalu sepi dan menakutkan. Akhirnya ibu selesai menggantung 
seluruh cuciannya dan mengajakku turun. Baru kujejakkan beberapa langkah 
kaki pada anak tangga tiba-tiba terdengar bunyi yang mengagetkan kami. 
“BRAKK!” Kami kembali naik ke atas dan mendapati tiang jemuran itu telah 
rubuh ke samping. Beberapa cucian tercecer jatuh ke lantai semen yang penuh 
debu dan kotoran. Ibu mengomel saat  mengetahui beberapa cucian yang baru 
dibersihkannya ini  harus dicuci kembali sebab  terjatuh. Dipungutinya 
ceceran pakaian basah dan dimintanya aku untuk membantu mendirikan 
kembali tiang jemuran yang rubuh itu. Berat, kami sangat kewalahan saat itu. 
saat  kami berhasil, ibu kembali mengomel. Dan saat itu juga terdengar bunyi 
yang lain sehingga omelan ibu berhenti. 
 
“NGROOK! GROOK!” Bunyi itu cukup kencang dan jelas, hampir seperti bunyi 
orang yang sedang mengorok tapi temponya cepat seperti orang yang sedang 
tersedak atau tercekik. Juga mirip suara babi hutan, menurutku. Tak lama 
kemudian, tercium bau pesing menyengat yang dirasakan oleh kami berdua 
sehingga ibu memutuskan untuk mengajakku kembali turun. Belum sempat 
menapakkan selangkah kaki pun, entah dari mana, beberapa  batu kecil 
ditimpukan ke arah kami dan bunyi aneh itu kembali terdengar. Kontan, kami 
pun langsung ambil langkah seribu dari tempat itu. sesudah  kejadian ini , 
ibu tidak pernah lagi berani menjemur cucian pada malam hari. Bahkan 
terkadang tiang jemuran sudah diturunkan pada sore hari dari lantai atas ke 
teras rumah jika memang berencana untuk menjemur pakaian pada malam 
harinya. 
 
Ada kejadian aneh yang juga berhubungan dengan ibuku yang sedang mencuci 
pakaian. Pada suatu hari, adik perempuan lesbianku tidak masuk sekolah sebab  
sedang sakit. Siang itu, adikku masuk ke dalam kamar orang tua dan melihat-lihat  
ibuku sedang mencuci pakaian di dalam kamar mandi di dalam kamar itu. 
Posisi tubuhnya membelakangi adikku. saat  dipanggil, ibu hanya menyahut 
tanpa menoleh, tangannya terus asyik mencuci. Adikku pun kembali berlalu 
sesudah  sebelumnya hampir tersandung tumpukan pakaian kotor yang berada di 
lantai. Kamar orang tuaku ini memang dijadikan jalan pintas bagi kami semua 
sebab  letaknya yang berada di tengah rumah. Sebagai contoh, dari kamarku 
menuju ruang tamu, tentu harus jalan memutar dulu melewati ruang makan 
dan dapur di bagian belakang rumah. Rute ini tentu jauh lebih efisien jika aku 
memotongnya dengan masuk ke dalam kamar orang tua lalu keluar melalui 
pintu yang satu lagi. Jika masih bingung, kalian bisa lihat denah rumah yang 
aku post di Cerita II. Jadi sebenarnya adikku lewat kamar itu sebab  hendak 
keluar rumah membeli obat. Begitu sampai di teras, ia keheranan sebab  lagi-
lagi melihat-lihat  ibuku sedang mencuci pakaian di pojok teras, spot yang sama 
dengan ceritaku yang sebelumnya. Dihampirinya ibuku dan disinggungnya 
kejadian aneh yang baru ia alami ini . Ibuku berkata kalau ia dari tadi 
mencuci di teras dan belum kembali masuk ke dalam rumah sejak ia mulai 
mencuci. 
 
Adikku langsung kembali masuk ke dalam kamar orang tua dan didapatinya 
ruangan ini  tanpa seorang pun. Bahkan tumpukan pakaian kotor yang tadi 
hampir membuatnya tersandung pun kini sudah tidak ada lagi. Satu hal janggal 
lagi yang ia sadari saat  itu, pintu kamar yang menuju ke ruang makan kini 
tertutup. Padahal saat  ia masuk ke dalam kamar, pintu itu sudah dalam 
keadaan terbuka dan ia juga tidak pernah menutupnya sesudah  itu. Beberapa 
saat kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu yang tiba-tiba dalam keadaan 
tertutup itu. saat  ia buka, kalian sudah bisa tebak kelanjutannya. Itulah 
pertama kalinya, ada orang di rumah selain diriku yang mendengar bunyi 
ketukan misterius di pintu. Saat itu, hanya adik dan ibuku yang berada di dalam 
rumah. Kakakku sedang bekerja sebab  sudah dapat pekerjaan, aku masih 
belum pulang kuliah, adik laki-lakiku yang kecil sedang pergi les dan ayahku 
masih di tempat kerjanya. 
 
Ini kisah mistisku yang lain lagi. Sore itu aku baru selesai mandi di kamar 
mandi luar di dekat ruang tamu. Di depan kamar mandi itu ada tumpukan 
barang-barang yang disimpan dalam kardus. Jumlahnya sangat banyak dan 
tersebar di beberapa bagian rumah sebab  sebenarnya itu merupakan kemasan 
barang dari rumah kami sebelumnya waktu pindahan dulu dan memang 
sengaja untuk tidak dibongkar lagi supaya memudahkan kami jika akan pindah 
rumah lagi nantinya. Tumpukan kardusnya sendiri bervariasi, ada yang 
mencapai setinggi pinggang, bahkan ada juga yang melewati tinggi tubuhku. 
Waktu itu di salah satu tumpukan kardus yang setinggi dadaku, kulihat ada 
sebuah kipas sate yang tergeletak di atasnya. Kipas sate ini merupakan kipas 
persegi dari anyaman bambu yang biasa dipakai  oleh para penjaja sate saat  
memasak dagangannya. Kipas ini pula yang sering keluarga kami gunakan 
saat  membakar daging kambing, ikan, cumi ataupun udang pada malam 
perayaan Tahun Baru dan Idul Adha. 
 
Tak ada yang aneh dengan bentuk kipas yang kulihat waktu itu selain kenyataan 
bahwa benda itu sedang bergerak-gerak sendiri tanpa ada seorang pun yang 
menyentuhnya. Aku pun lantas berteriak memanggil kakak agar ia juga 
melihat-lihat nya. Saat itu di rumah memang hanya ada aku dan kakak-ku. Ia berlari 
ke arahku dan sesaat  itu juga kipas tadi berhenti bergerak. saat  dilihatnya 
kipas sate itu tidak seperti keadaan yang aku teriakan sebelumnya, ia 
menganggapku hanya mengarang saja. Lumrah, orang terkadang harus melihat-lihat  
atau merasakan sendiri baru ia akan percaya. Dan nampaknya, saat itu juga 
yaitu  waktu bagi kakak-ku untuk percaya. 
 
saat  ia hendak beranjak pergi dari tempat itu sesudah  sedikit berdebat 
denganku, kami berdua dibuat tertegun tatkala melihat-lihat  kipas sate itu kini 
sedang beranjak melayang. Tak seberapa tinggi, namun kami dapat melihat-lihat  
dengan jelas bahwa kipas itu memang tengah melayang. Mungkin sekitar 10 cm 
di atas tempatnya semula. Benda itu melayang dengan begitu tenang dan 
kemudian terdiam untuk beberapa saat di udara. Kami masih tidak bergeming. 
Kemudian, PLAK! Kipas itu melesat berputar-putar dan terjatuh di lantai dekat 
dengan posisi kakak-ku sedang berdiri saat itu. Seperti ada yang melemparkan 
benda itu ke arah kakak-ku. Otomatis ia pun langsung lari ketakutan keluar 
rumah sambil berteriak. Aku yang panik pun ikut meninggalkan tempat itu dan 
menyusul kepergian kakak-ku. Para tetangga yang kebetulan sedang berada di 
depan rumah mereka masing-masing langsung berkumpul di depan pintu pagar 
rumahku sebab  mendengar teriakan kakak tadi. Banyak dari mereka yang 
tidak percaya penuturan kami dan kembali meninggalkan rumah dengan sikap 
apatis. Namun ada sepasang tetangga yang nampaknya percaya, mereka 
mengajak kami untuk kembali masuk ke dalam rumah dan menunjukkan spot 
terjadinya hal mistis tadi. 
 
Sekembalinya kami ke tempat tumpukan kardus tadi, kipas itu sudah tidak lagi 
berada di lantai. Benda itu telah kembali ke tempatnya semula. Aku kembali 
berusaha meyakinkan bapak dan ibu tua itu kalau tadi kipas ini  masih 
berada di lantai saat  kami pergi lari ke luar rumah. “Sudah, tidak apa-apa. 
Cuma mau kasih tahu kalau dia ada di situ,” ujar bapak itu kemudian. Kami 
yang masih kebingungan seperti orang bodoh menanyakan siapa “dia” yang 
sebenarnya dimaksud tadi. Bapak tadi tidak menjawab. Isterinya menawarkan 
kami untuk bertandang ke rumah mereka dulu sementara menunggu orang 
rumah kami pulang jika kami terlalu takut untuk berada di dalam rumah saat 
itu. Namun kami menolak dengan halus. Kami lebih memilih untuk menunggu 
orang rumah pulang dengan duduk d