Rabu, 10 Januari 2024
cerita horror 1
By tewasx.blogspot.com at Januari 10, 2024
cerita horror 1
Ini yaitu rumah pertamaku di trowulan mojokerto sesudah pindah dari Jakarta. Lokasinya
menurutku cukup strategis, di tengah kompleks, dekat dengan danau yang
selalu ramai tiap sorenya. Saat itu aku masih duduk di kelas VI SD. Tidak
banyak keanehan yang terjadi di sana sebab fokus ceritaku sebenarnya yaitu
pada rumahku berikutnya yang sangat angker. Tapi aku mau share sedikit kisah
mistis di rumahku yang satu ini sebagai pembukaan.
Aku mungkin dapat dikatakan sebagai orang yang paling sensitif dan berani di
keluargaku. Hawa ataupun wewangian aneh yang tidak dirasakan oleh orang
lain, aku dapat merasakannya dengan amat jelas. Tapi hal ghaib yang terjadi di
rumah ini ternyata dapat dirasakan oleh semua orang di rumah, kecuali orang
tuaku, sebab mereka baru akan berada di rumah saat malam sudah tiba
sebab pekerjaannya.
Lokasi rumahku di dalam suatu kompleks perumahan di trowulan mojokerto Utara, letak
rumahku di paling pojok (hook) yang sebelah kirinya yaitu tanah kosong, dan
di sebelah kirinya lagi yaitu tembok tinggi pembatas kompleks perumahanku
dengan perumahan yang lain
.
Singkat cerita, bertahun-tahun aku tinggal di sana, nyaman dan aman saja
tanpa ada masalah ataupun kejadian aneh yang berarti. Hingga saat aku sudah
duduk di kelas 1 SMU, nampaknya penghuni di sana baru mulai berniat untuk
iseng. Konon kudengar, kompleks perumahanku dibangun di atas lahan
pembuangan mayat pada zaman penjajahan Belanda dulu. Dari desas-desus
yang kudengar dari banyak tetangga, sudah banyak kisah penampakan tentara
Belanda ataupun wanita Belanda dengan gaunnya yang mengembang itu.
Cukup dengan rumor, kini fokus kembali ke rumahku. Pada saat itu, rumahku
memiliki 2 lantai. Sedangkan rumah di sekelilingku sama sekali tidak ada yang
bertingkat 2. Aku tidak bermaksud sombong, sebab kisah mistis yang akan
kuceritakan akan berhubungan dengan lantai atas rumahku.
Jadi sebenarnya, selama bertahun-tahun itu kamar-kamar di lantai 2 rumahku
tidak ada yang menempati. Di sana hanya ada balkon, ruang keluarga yang
sangat luas, 2 buah kamar, satu yaitu kamar tidur utama orang tuaku yang
cukup luas, dan satu lagi yaitu kamar pembantu yang lebih kecil. Kamar
pembantu ini akhirnya dijadikan gudang sebab ibuku tidak pernah betah jika
memiliki pembantu Rumah Tangga (PRT), terutama sebab kasus yang terjadi
pada PRT terakhir kami yang ternyata menyukai ayahku sehingga membuat
ibuku sangat berang dan tak mau lagi memiliki PRT sejak saat itu.
Kamar orang tuaku juga dibiarkan kosong sebab mereka berdua ternyata tidak
cukup berani untuk menempati kamar ini . Akhirnya mereka tinggal dalam
satu kamar di lantai 1 bersama adik laki-laki pertamaku yang paling kecil, saat
itu ia masih balita. Jadilah lantai 2 rumahku selalu dan selalu kosong setiap
harinya selama bertahun-tahun walau masih sering dijaga juga kebersihannya.
Lampu juga terkadang tidak dinyalakan sama sekali saat malam tiba. Lantai
ini paling hanya dipakai saat sedang banyak saudara yang datang
berkunjung.
Nah, yang aneh yaitu sebab tiap malam, dari lantai 2 selalu terdengar bunyi
yang sangat aneh. Bunyi aneh ini dapat didengar baik olehku, kakak-ku maupun
adik-ku dari lantai 1. Bunyinya terdengar seperti sofa yang sedang digeser. Sofa-
sofa di lantai 2 sangatlah besar dan berat, aku jamin, satu orang takkan kuat
untuk mengangkatnya. Paling hanya dapat memindahkannya dengan cara
menarik ataupun mendorong. Geseran ini akan menimbulkan getaran ke
lantai bawah dan bunyi yang cukup terdengar jelas seperti “KRIEEETTT...”
sebab gesekan antara kayu pada sofa dengan lantai keramik.
Masalahnya, bunyi ini hanya muncul saat malam sudah tiba (terutama
saat lampu sedang tidak dinyalakan) dan tidak ada seorang pun di atas sana.
Aku pernah mencoba untuk memastikannya pada suatu siang. Kakak dan adik
kusuruh untuk menggeser salah satu sofa di lantai atas, sementara aku mencoba
untuk mendengarkan bunyi yang dihasilkannya dari lantai bawah. Dan, bunyi
itu benar-benar persis sama seperti yang selalu kami dengar tiap malam. Berapa
kali kami memberitahukan hal ini pada orang tua pun, mereka tidak pernah
percaya.
Akhirnya bunyi itu sudah menjadi hal biasa yang sudah tidak pernah kami
hiraukan lagi. Namun ternyata tak lama sesudah dimulainya bunyi aneh itu, kini
tiap malam juga terdengar bunyi aneh yang lain lagi. Kali ini bunyinya yaitu
seperti banyak orang yang sedang berlarian di lantai 2. Sangat jelas. “DUK!
DUK! DUK! DUK!” Suara langkah kaki beberapa orang yang sedang berlari
dengan kencang, sehingga dentumannya amat terasa hingga ke lantai bawah.
Terkadang saat bunyi itu muncul, kami semua hanya bisa menatap langit-
langit lantai 1 sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sempat aku berpikir, apa mungkin bunyi-bunyi ini berasal dari rumah
tetanggaku yang merambat hingga ke rumahku? Tapi anggapan ini begitu dapat
dengan mudah ditepis. Bunyi ini jelas berasal dari lantai atas sedangkan
tetangga di sekelilingku tidak ada yang rumahnya bertingkat. Lagipula,
getarannya sangat dapat dirasakan dari lantai bawah. Terlebih lagi sesudah
kejadian selanjutnya.
OK, aku pikir misteri ini harus dipecahkan. Suatu malam, saat kedua bunyi
ini sedang terdengar dengan jelas. Bermodalkan nekat, kami bertiga
memutuskan untuk mengecek ke lantai atas pada saat itu juga. Kami berjalan
mengendap-endap menyusuri tangga, berharap saat sampai di lantai atas,
kami akan menangkap basah orang ataupun makhluk yang menimbulkan bunyi
aneh itu tiap malamnya. Setiap anak tangga yang kami naiki akan menambah
jelas bunyi-bunyian ini di telinga kami.
Hampir sampai ke lantai atas, baru kami sadari kalau ternyata lampu sedang
tidak dinyalakan. Suasana di sana sangat gelap (pitch black), tak nampak
apapun yang dapat kami lihat saking gelapnya. Untungnya, tombol untuk
menyalakan lampu ada di dekat situ. Bunyi ini kini terdengar sangat jelas
di depan kami. Bunyi sofa yang sedang diseret-seret sehingga lantainya
bergetar, juga bunyi orang yang sesekali terdengar sedang berlari menjauh
ataupun mendekati kami lalu menghilang begitu saja. Peluhku mulai menetes
dan degup jantungku sudah tidak dapat diatur. Apapun yang akan kami lihat
malam itu, maling ataupun hantu, aku sudah siap mental.
“BLAR!” Aku berhasil menyalakan lampu dan saat itu juga bunyi-bunyian
ini lenyap. Dari apa yang aku lihat, semua posisi sofa masih pada
tempatnya semula. Bukan hanya itu, semua posisi benda lainnya pun tidak ada
yang berubah. Aku bingung, lantas bunyi seretan ini berasal dari mana?
Dan ke mana bunyi orang-orang yang berlarian tadi? Belum habis rasa
bingungku, tiba-tiba kami dikejutkan oleh bunyi gayung jatuh dari dalam kamar
mandi di dalam ruang tidur orang tuaku yang berada di lantai ini . Kamar
ini sudah bertahun-tahun tidak ditempati walaupun di dalamnya sudah
dilengkapi berbagai perabot.
Kepalang tanggung, kami memutuskan untuk mengeceknya juga untuk
menuntaskan rasa penasaran kami. Saat itu pintu kamar masih tertutup walau
tidak dikunci. sesudah kami buka dan lampu dinyalakan, tidak ada hal aneh
yang kami lihat. Perhatian kami kembali tertuju pada kamar mandi asal bunyi
yang sempat mengagetkan kami tadi. Perlahan kami mendekati kamar mandi
yang masih gelap itu. Maling? “Tidak mungkin ada manusia yang dapat
menembus pintu ataupun tembok kamar tidur lalu bersembunyi di dalam
kamar mandi,” pikirku saat itu.
Dan benar saja, saat lampu dinyalakan, kami hanya mendapati gayung yang
tergeletak di lantai kamar mandi tanpa ada seorang atau apapun di sana.
sebab misteri belum dapat dipecahkan, kami memutuskan untuk kembali
turun ke lantai bawah dengan membiarkan semua lampu menyala di lantai atas.
Dan begitu kami kembali ke ruang tamu di bawah, bunyi-bunyian aneh di lantai
atas ini kembali terdengar seperti biasa. Pikirku, mungkin itu hantu anak-
anak yang sedang bermain bersama teman-temannya sebab ruang keluarga di
atas sangat lapang sehingga bisa dijadikan tempat bermain kejar-kejaran untuk
anak-anak.
Berulang kali kami berusaha untuk menangkap basah, hal nihil-lah yang selalu
kami dapatkan hingga terkadang kami bosan dan berusaha untuk tidak
menghiraukannya walau bunyi-bunyian ini sebenarnya cukup
mengganggu, apalagi saat aku sedang belajar di dalam kamar. Dan berkali-
kali kami mengadukannya ke orang tua pun, mereka tidak pernah percaya.
Hingga akhirnya, pada suatu malam, saat aku pulang ke rumah bersama ibu,
kakak dan adikku dari rumah saudara, kami mendapati ayah yang sedang
duduk tertegun sendirian di ruang tamu dengan tatapan kosong. Begitu ditanya,
ia tidak mau menjawab dan megajak ibu untuk masuk ke kamar serta menyuruh
kami, para anak-anak, untuk segera tidur sebab hari sudah mulai larut malam.
Esok harinya pun kami masih belum tahu mengapa ayah berperilaku aneh
kemarin malam. Beberapa hari kemudian, ibu kami baru memberitahukan
kejadian sebenarnya yang dialami ayah pada malam itu.
Katanya, pada malam itu, saat ayah sedang menonton TV sendirian di ruang
tamu, ia mendengar bunyi-bunyian yang selama ini kami dengar. Ayahku ini
sebenarnya penakut, namun ia ingin membuktikan perkataan anak-anaknya
selama ini yang tidak pernah ia percaya. Akhirnya ia pun menyusuri tangga,
naik perlahan menuju lantai 2. Saat itu juga katanya lampu sedang tidak
dinyalakan. Ayahku terus mendengar bunyi sofa yang diseret-seret dan orang-
orang berlarian ke sana-kemari. Tiba-tiba ayahku berteriak saat ada
seseorang yang berteriak sangat keras tepat di depan kupingnya, “HAAAAGG!”
begitu kira-kira suara yang ia dengar saat itu.
Panik, ayahku langsung segera menyalakan lampu dan sama seperti kami, ia
pun tidak mendapati apapun di sana saat itu. Bunyi-bunyian tadi juga sesaat
itu menghilang. sebab ketakutan, ayahku segera turun ke lantai bawah.
sesudah berada di lantai 1, ayahku merasa seperti ada orang yang mengikutinya.
sebab nya, saat sudah berada di samping tangga, ayahku menoleh ke arah
tangga dan memastikan bahwa tidak ada apapun di sana. Namun akhirnya
pandangan matanya tertahan pada anak tangga paling atas menuju lantai 2.
Cukup lama ia pandangi anak tangga itu dari samping seolah akan ada
seseorang yang akan turun dari sana.
Dan benar saja, kata ayahku, saat cukup lama memperhatikan dan berniat
untuk meninggalkan tempat itu, tiba-tiba muncul sebuah kaki berwarna pucat
dari lantai atas dan berhenti menapak di anak tangga paling atas. Dalam
keterkejutannya, ayahku hendak memeriksa siapa pemilik kaki itu. Dan saat
ia baru melangkahkan kakinya satu langkah kembali menuju tangga, nyalinya
kembali diciutkan dengan munculnya kaki-kaki lain yang juga turun dari lantai
atas dan berhenti menapak di anak tangga paling atas. Semuanya berwarna
pucat. Dan akhirnya ayahku mengurungkan niatnya, ia segera meninggalkan
dapur tempat tangga itu berada. Sesaat sebelum meninggalkan area dapur,
ayahku kembali menoleh ke anak tangga paling atas dan dilihatnya semua kaki
ini kembali ditarik naik ke lantai atas dengan serentak.
Nah, „berkat‟ kejadian ini , akhirnya orang tua kami (paling tidak, ayah
kami), akhirnya bisa percaya pada perkataan kami selama ini. Selang beberapa
bulan sesudah kejadian ini , keluargaku bertengkar hebat dengan keluarga
saudaraku yang juga menetap di kompleks itu dan ditonton banyak tetangga.
Kejadian yang memalukan ini , ditambah dengan suasana rumah yang
memang mulai tidak nyaman, akhirnya membuat kami semua memutuskan
untuk pindah rumah untuk mencari suasana dan lingkungan baru yang lebih
menenangkan. Dan ternyata, rumah baru kami jauh lebih angker dari rumah
sebelumnya. Di sanalah kesensitifan dan keberanianku benar-benar akan diuji,
puluhan kejadian mistis tak masuk diakal terus menghantui keluarga kami
selama tinggal di sana. Rumah ini lah fokus cerita yang sebenarnya ingin
aku share kepada kalian semua.
N.B
(Oh iya, sesudah pindah rumah bertahun-tahun, tak pernah sekalipun aku
kembali ke kompleks itu untuk sekedar melihat-lihat rumah lamaku itu. Tapi
beberapa bulan yang lalu, aku sempat kembali mengunjungi dan melihat-lihat rumah
itu lagi bersama temanku. Kompleks perumahannya kini jauh lebih
memprihatinkan, lampu-lampu jalan banyak yang tidak berfungsi sehingga
pada malam itu, mobil kami bagai menyusuri kuburan. Tidak ada aktifitas
apapun dari para penghuninya di luar rumah. Semua bagian jalan terlihat sepi.
Dan kabarnya, kudengar belakangan ini kompleks ini sedang digemparkan
dengan seringnya kemunculan Kuntilanak yang iseng hinggap dari satu pohon
ke pohon lainnya dan mengerjai orang yang lewat pada malam hari. Kalau lagi
pindah pohon dengan terbang, katanya suara ketawa Miss K ini kencang banget
sehingga bisa didengar cukup banyak orang. Sudah banyak pengaduan petugas
ronda yang dikerjai ataupun sekedar ditertawakan Miss K ini dari atas pohon
yang tentunya langsung membuat mereka lari terbirit-birit. Kabar ini kudapat
dari saudaraku yang masih tinggal di kompleks itu, tapi bukan dari keluarga
saudara yang bertengkar hebat dengan keluarga itu, ya. Dulu waktu keluargaku
masih tinggal di kompleks itu, di sana ada 5 keluarga lainnya dari saudaraku
yang menetap berdekatan juga di sana. Tapi sekarang tinggal 2 keluarga saja.)
CERITA II – RUMAH BARU
Pendek cerita, keluarga kami akhirnya pindah rumah. Lokasinya tidak terlalu
jauh, mungkin 20 menit dari kompleks tempat tinggal kami sebelumnya jika
naik mobil dan hanya 10 hingga 15 menit jika naik motor. Dari pengakuan para
tetangga baru di kemudian hari, katanya rumah baru kami itu sempat kosong
selama 2 tahun sebelum kami pindah ke sana. Keadaannya saat kami baru
pindah pun sangatlah kotor dan tidak terurus.
Namun aku justru senang dengan kompleks tempat tinggal baru ini, pasalnya
sekolahku saat itu juga berada di sana. Cukup dengan berjalan kaki 10 menit
pun, aku sudah sampai tanpa perlu menghabiskan bensin setetespun. Dan lagi,
rumah temanku jauh lebih banyak di sini dibandingkan dengan kompleks
sebelumnya. Selama di rumah ini pula nantinya aku akan berubah status dari
seorang pelajar sekolah menjadi seorang mahasiswi.
Kali ini, keluarga kami kontrak rumah. sebab sebenarnya niat kami memang
sesudah para anak-anak lulus sekolah, mungkin kami akan kembali pindah dan
membeli rumah baru yang letaknya agak jauh dan menetap untuk seterusnya di
sana. Jadilah kami tinggal di rumah lebar bercat merah jambu ini . Ya,
rumah kami saat itu bentuknya memang memanjang ke samping sebab
dibangun di atas tanah yang sebenarnya lahan untuk dua buah rumah.
(Untuk memudahkan memahami kondisi rumah kami saat itu, silakan lihat
denah di bawah ini sehingga agan akan mendapatkan gambaran yang lebih
pasti saat membaca kisah tiap kisah yang aku share. Oh iya, denah yang aku
buat cuma lantai 1, ya. Untuk lantai 2, tidak banyak yang perlu digambarkan
sebab begitu naik tangga hanya ada dua kamar di sebelah kiri dan kanan
tangga yang bersebelahan. Itu saja)
Pada awalnya, suasana di rumah baru ini sangatlah nyaman. Anggota
keluargaku juga menyukai lingkungan baru yang lebih hidup itu dengan akses
ke mana-mana yang jauh lebih mudah dan dekat. Aku dapat kamar di bagian
paling depan rumah dengan dua pintu. Satu pintu mengarah ke bagian teras
depan rumah, satu lagi mengarah ke bagian ruang makan. Orang tuaku dan
adik laki-lakiku yang pertama menempati kamar di bagian tengah rumah
dengan kamar mandi dalam, pintu kamarnya juga ada 2. Satu menuju ke ruang
tamu dan yang lainnya menuju ke ruang makan. Sedangkan kakak dan adik
perempuan lesbianku menempati kedua kamar yang berada di lantai 2. Tangga menuju
ke lantai atas berada di ruang makan. Kamar mandi luar berada di bagian
belakang ruang tamu. Ada satu lagi tangga di samping rumah yang letaknya di
luar dan menuju ke area jemuran. Kira-kira seperti itulah gambaran singkat
rumah baruku saat itu.
Hari demi hari kami lewati seperti biasa di rumah ini . Tidak ada
keganjilan sama sekali. Sampai suatu saat , pada siang hari saat ibuku
pulang ke rumah, beliau memanggilku keluar dari dalam kamar. Begitu sampai
di teras, ibuku menggerutu tak henti-henti saat didapatinya beberapa butir
telur bebek busuk yang sudah pecah dan mengotori pintu depan serta lantai
teras. Ia menanyakan bagaimana bisa ada telur busuk di situ, seolah ada yang
sengaja melemparkannya. Tapi apa tujuannya? Sekedar iseng untuk mengotori
rumah orang lain? Tapi kenapa harus rumah keluarga kami sebagai penghuni
baru? Entahlah, pertanyaan ini dan berbagai pertanyaan lainnya
mengendap begitu saja. Aku pun tak bisa menjawab pertanyaan ibuku saat itu.
Baunya sungguh menyengat, aku pun tidak kuat menciumnya. Kakakku ikut
membantu membersihkan pecahan telur bebek busuk ini sementara ibuku
tak hentinya mengomel. Aku pun kembali ke kamar untuk kembali
menyelesaikan PR. Walau sudah dibersihkan, bau busuknya masih dapat
tercium dengan jelas sampai ke dalam ruang tamu hingga keesokan harinya.
Benar-benar mengesalkan siapapun pelaku iseng yang melemparkan telur
busuk itu ke rumahku.
Perlahan-lahan sesudah kejadian itu, suasana di dalam rumah yang tadinya sejuk
dan nyaman berubah menjadi panas dan pengap. Bukan sebab saat itu sedang
musim panas, tapi saat malam menjelang pun tetap saja panas dan pengap.
Bahkan saat hujan sedang turun dengan lebatnya pun, hawa dingin yang
umumnya dirasakan orang pun tak lagi kami rasakan. Keadaan ini
membuat suasana di dalam keluarga kami juga menjadi semakin memanas tiap
harinya. Dalam artian yang sebenarnya.
Orang-orang di rumah menjadi lebih mudah emosi dan sering bertengkar satu
sama lain. Mungkin tak ada hubungannya, tapi bagiku tetap saja, keadaan di
dalam rumahku yang tiba-tiba begitu panas dan pengap sepanjang hari ini tentu
mempengaruhi keadaan jiwa para penghuni di dalamnya. Kipas angin takkan
mampu melenyapkan kepengapan di dalam rumah. Sampai pada akhirnya,
kami semua pada akhirnya sudah menjadi terbiasa dengan keadaan itu.
Pada suatu siang saat aku sedang menonton TV di ruang tamu sendirian, tiba-
tiba aku merasa seperti ada sesuatu yang lain di sana. Ya, aku merasa tidak
sedang sendirian. Entah perasaanku saja atau tidak, dari tadi aku merasa kalau
melihat-lihat sekelebatan bayangan yang melintas ke sana – ke mari di dalam
ruangan itu. Gerakannya sangat cepat, seperti melesat lalu kembali menghilang.
Namun yang lebih membuatku merinding, gerakannya itu tidaklah seperti
manusia, melainkan seperti gerakan seekor monyet yang sedang meloncat ke
sana – ke mari. Gerakannya sangat acak, terkadang seperti meloncat ke atas TV,
melompati meja ataupun loncat turun dari kursi. Berkali-kali aku merasakan
adanya kelebatan bayangan ini sampai akhirnya aku memutuskan untuk
kembali ke dalam kamar saja. Sore harinya, saat aku mengadukan hal
ini pada ibu, ia tidak percaya seperti biasanya.
Hari lepas hari, aku semakin sering merasakan bayangan itu. Tidak pagi, tidak
siang ataupun malam, bayangan ini dapat muncul kapan saja. Bahkan
saat aku sedang tidak sendirian pun, bayangan ini masih dapat aku
saksikan berseliweran di ruang tamu. Pernah waktu itu aku sedang menonton
TV bersama ibuku saat bayangan ini muncul. “Bu, lihat barusan seperti
ada yang loncat?” tanyaku saat itu. Namun ibuku malah menjawab, “Tidak, tuh.
Sudah, jangan berhalusinasi terus.” Daripada dianggap tidak waras oleh
anggota keluargaku, akhirnya aku lebih memilih untuk diam saja tiap kali
melihat-lihat munculnya kelebatan bayangan itu. Namun ternyata keputusanku itu
salah.
Frekuensinya kemunculannya malah menjadi semakin sering. Seolah tidak
peduli dengan kehadiranku di sana, terkadang bayangan ini berlompatan
di dekatku yang sedang menonton TV. Sebenarnya aku tidak
mempermasalahkan, asal tidak iseng mengganggu saja, pikirku. Walau orang
seisi rumah tidak percaya, aku tetap yakin bahwa tidak ada yang salah dengan
penglihatanku. Bagaimana mungkin salah lihat jika saat sedang asyik
menonton TV, terkadang layarnya dilewati oleh bayangan hitam ini dan
aku menjadi tidak jelas menyaksikan apa yang ada di layar TV pada saat itu.
Dari yang awalnya merinding, kini aku sudah terbiasa saat kelebatan
bayangan ini muncul dan “bermain” di dekatku.
Pada suatu sore, seisi rumah dihebohkan oleh suara ibuku yang memanggil
anak-anaknya dari ruang tamu. Pasalnya, uang yang ada di dalam
dompetnya hilang beberapa ratus ribu saat ditinggal memasak di dapur
sedangkan dompet digeletakan begitu saja di atas meja di ruang tamu. Saat
beliau menanyakan anaknya satu per satu, tak satu pun dari kami yang
mengaku telah mengambilnya. Aku pun tidak, sebab aku memang tidak
pernah mengambilnya, apalagi itu yaitu uang milik orang tuaku sendiri yang
akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
sebab tidak ada yang tahu, akhirnya disimpulkan kalau mungkin saja uang itu
dicuri oleh orang dari luar rumah yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang tamu
saat keadaan di rumah bagian depan sedang kosong. Aku tidak dapat menerima
begitu saja kesimpulan ini . Jika memang diambil orang luar, kenapa tidak
sekalian sama dompetnya juga dibawa pergi? Bukannya akan lebih riskan dan
memakan waktu bagi seorang pencuri jika harus membuka dompet dan
mengambil sebagian isinya terlebih dahulu?
Rupanya kami harus terbiasa dengan hal baru ini . Tiap beberapa hari,
ibuku pasti marah-marah sebab uang demi uangnya terus hilang lembar per
lembar. Dan selalu dengan pola yang sama, lembaran uang yang hilang selalu
hanya pecahan seratus atau lima puluh ribu Rupiah. Awalnya mungkin percaya,
namun lama kelamaan ibuku malah bergantian menuduh salah satu dari kami
sebagai anak-anaknya sebagai pelaku yang mengambil uangnya selama itu.
Dituduh oleh orang tua sendiri atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan,
keadaan di rumah kami pun kerap kali sengit.
Sampai pada akhirnya kakakku pun mengalami hal yang sama ini .
Uangnya hilang beberapa ratus ribu dari dalam dompetnya yang diletakkan di
atas almari di ruang tamu. Ia menuduhku, tentu aku tidak terima, dan keadaan
pun memanas. Seringkali seperti itu, tiap ada uang yang hilang, kami jadi saling
menuduh dan keadaan rumah yang panas pun kian jadi semakin panas. Kecuali
ayahku yang hanya bisa pasrah tiap kali uangnya hilang seratus atau beberapa
ratus ribu tiap beberapa malam. Adikku pun uang simpanannya hilang
setengahnya dan menuduh kakak-ku yang tinggal selantai dengannya di lantai
atas, mereka pun ribut. Sudah tak terhitung berapa banyak uang yang terus
menghilang di dalam rumah itu dan masing-masing di antara kami tidak lagi
dapat mempercayai siapapun.
Keadaan menjadi semakin pelik tatkala saat itu ternyata tidak hanya uang saja
yang dapat tiba-tiba menghilang. HP ibuku tiba-tiba hilang pada suatu siang
saat diletakan di atas meja di ruang tamu sambil di-charge. Orang rumah
menganggap kalau mungkin ibuku lupa menaruh HPnya. Namun saat
dihubungi, HP ini tidak pernah aktif. Lagi-lagi, kami menganggapnya
diambil oleh orang dari luar rumah saat ruang tamu sedang kosong. Tapi
dengan singkatnya jeda waktu saat HP ini ditinggalkan ibuku hanya
untuk mengambil minum di dapur, rasanya pencuri pun tidak punya cukup
waktu untuk melakukannya tanpa ketahuan.
Sejak saat itu, keluarga kami tidak lagi percaya baik orang dari dalam maupun
luar rumah. Semua pintu depan rumah kami terkunci dan pintu pagar pun
tergembok sepanjang hari. Tetangga dekat pun mulai menganggap keluarga
kami tidak ingin bermasyarakat dengan baik saking tertutupnya. Ke depannya,
keadaan mulai membaik. Ternyata kejadian hilangnya uang atau barang tidak
lagi terjadi. Kami menjadi semakin yakin kalau selama ini pelakunya yaitu
orang dari luar rumah. Tidak peduli dengan anggapan tetangga terhadap
keluarga kami yang semakin tidak enak didengar, hal ini harus terus kami
lakukan demi keamanan finansial keluarga kami. Kelebatan bayangan ini
juga sudah mulai jarang muncul.
Hingga pada suatu sore menjelang malam, kakak-ku panik dan mengomel
saat mengetahui bahwa kali ini HP miliknya yang hilang. Keadaan rumah saat
itu sedang terkunci sehingga tidak mungkin ada orang luar yang masuk. Jadilah
tuduhan ditujukan kembali pada orang-orang di dalam rumah. Tak peduli
bagaimana kami saling bertengkar dengan hebat, HP ini tetap tidak dapat
ditemukan. Berulang kali dihubungi pun tetap tidak aktif. Kakak-ku pun
akhirnya menyerah dan mengikhlaskan kenyataan bahwa HP barunya kini telah
lenyap entah ke mana.
Siang hari saat sedang asyik mengerjakan tugas kuliah, aku kembali dikagetkan
dengan kemunculan bayangan itu. Ya, sekelebatan bayangan yang sudah agak
lama tak pernah kulihat, kini terlihat kembali. Aku berusaha kembali tenang
dan tidak menghiraukannya. sebab tidak nyaman, aku kembali masuk ke
kamar dan melanjutkan tugasku.
Malam hari tiba, tugasku masih belum selesai sementara besok sudah harus
dikumpulkan. Aku terpaksa bergadang. sebab di kamar tidak ada TV, aku
menyalakan musik dari HP dengan volume kecil agar suasana tidak terlalu
hening. Sekitar jam 01:00 pagi, tugasku sudah hampir selesai tatkala pintu
kamarku yang menuju ke ruang makan diketuk-ketuk. “Siapa larut-larut
begini?” gumamku. Ah, mungkin salah satu orang tuaku yang ingin
menanyakan kenapa aku masih belum tidur tengah malam itu.
Pintu langsung kubuka. Lucunya, tidak kudapati siapapun di sana. Pintu ke
arah kamar orang tuaku pun tertutup. Aku pikir mungkin kakak atau adikku
yang iseng menakutiku, tapi mereka lebih penakut dariku, mana mungkin.
Pintu kembali kukunci dan mp3 dari HP aku matikan. Tugasku belum selesai
namun aku berencana untuk menyelesaikannya nanti pagi saja sebelum
berangkat kuliah. sebab jujur, bulu kuduk-ku berdiri pada saat itu. sesudah
membereskan buku, aku berdoa menjelang tidur. saat sedang berdoa, samar-
samar aku mendengar ada suara seperti perempuan lesbian yang sedang bernyanyi dari
arah teras depan. Hendak kuintip dari jendela kamar, namun nyaliku tidak ada
saat itu. Aku lebih memilih untuk segera tidur namun senandung suaranya
terdengar makin jelas. Siapapun itu, aku yakin bukan manusia. Dan tak lama
sesudah aku berpikir demikian, senandungnya berubah menjadi suara lirih
seperti orang yang sedang menangis. Aku terus berdoa dalam hati, berupaya
keras untuk dapat sesegera mungkin tertidur walau keringat dingin mulai
bercucuran. Dan aku berhasil.
Paginya, aku menanyakan pada ibuku perihal ketukan pintu semalam, ia bilang
tidak tahu. Aku juga menceritakan suara perempuan lesbian yang kudengar ini ,
namun respon ibuku tentunya sudah dapat kalian tebak. Ya, ia hanya bilang
kalau aku mungkin salah dengar atau mungkin ada tetangga yang sedang
menyanyi tengah malam tadi. Jujur, aku agak kecewa dengan responnya.
Selang beberapa hari kemudian, adikku meminjam kamera digital untuk acara
Study Tour sekolahnya. Aku meminjamkannya dengan berpesan agar
menyimpannya dengan baik sebab kamera ini merupakan benda
kesayangan yang aku peroleh dengan susah payah. Ia pun berjanji untuk
melakukan hal ini dan berangkat pada keesokan paginya. Sore itu di hari
yang sama, aku mendapat kabar yang tidak mengenakkan. Sepupu yang sangat
dekat denganku mengalami kecelakaan motor saat pulang sekolah dan
sekarang sedang koma di Rumah Sakit Pluit sebab gegar otak.
Sore itu juga aku berangkat ke rumah sakit dan menginap di sana. Semalaman,
sepupuku tidak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak sadarkan diri hingga
seminggu dan mengalami lupa ingatan sebagian (partial amnesia) tapi itu
bukan hal yang akan aku bahas di thread ini. Hari kedua aku di RS, aku
mendapat panggilan telepon dari rumah dari nomor HP adikku. sesudah
kuangkat, aku mendengar suaranya yang terdengar seperti antara sedang
ketakutan dan setengah menangis. Dengan terbata-bata, ia memberitahukan
jika kamera digital milikku yang dipinjamnya telah hilang. Bagai disambar petir
di siang bolong, hatiku bertambah sedih saat itu.
Sore harinya aku kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, aku terus
mengumpat. Aku sama sekali tak dapat menerima kenyataan ini .
Sesampainya di rumah, aku langsung menemui adikku dan memarahinya. Saat
itu aku baru tahu kalau kameranya hilang bukan pada saat Study Tour,
melainkan pada saat adikku sudah pulang ke rumah dan menyimpannya di
dalam lemari baju di kamar orang tuaku. Bahkan ia memasukannya dengan
disaksikan oleh ibu.
Namun pembelaannya tidak begitu saja dapat aku terima. Lantas aku malah
menuduhnya telah mengambil kamera itu kembali diam-diam dan menjualnya
untuk mendapatkan kembali sebagian uang simpanannya yang telah hilang
entah ke mana di dalam rumah itu. Mendengar hal itu, ia menangis dan
bersumpah bahwa tidak pernah sama sekali terbesit di pikirannya untuk
melakukan hal sepicik ini . Bahkan ia berjanji untuk menyicil padaku uang
beberapa harga kamera yang hilang di luar kuasa walau sudah disimpannya
dengan baik-baik itu. Malam itu, aku kembali melihat-lihat kelebatan bayangan
hitam itu melompat ke sana – ke mari di ruang tamu beberapa kali.
Esok harinya, aku libur kuliah. Niat hati ingin sedikit beristirahat hari itu
namun keadaan tidak mengizinkan. Pada pagi hari, adikku panik sebab kali ini
giliran HPnya yang hilang saat ditinggalkan di ruang tamu saat ia sedang
pergi mandi. Tuduhan lantas langsung ia tujukan kepadaku sebab insiden pada
hari sebelumnya. Namun hal berikutnya yang kami temukan membuktikan
bahwa selama ini kami semua salah. Tidak pernah ada orang luar maupun
orang dalam yang pernah mencuri uang ataupun barang di dalam rumah. Salah
satu keanehan di rumah kami ini pada akhirnya terjawab.
sebab bingung tak tahu harus bagaimana lagi, akhirnya ibuku berusaha
mencari sedikit informasi dari tetangga sekitar. Ditanyanya perihal apakah
mereka juga sering mengalami kehilangan uang atau barang di dalam rumah.
Asumsi keluargaku, mungkin saja ada yang melakukan pesugihan babi ngepet
di sekitaran tempat tinggalku. Namun tak ada satupun dari mereka yang
mengaku pernah mengalami hal ini dan malah menganggap keluarga aneh
dan mengada-ada.
Hmm, abaikan anggapan negatif orang-orang. Berarti tuduhan adanya babi
ngepet dapat dibuang jauh-jauh sebab ternyata hanya keluarga kamilah yang
mengalami hal-hal tidak mengenakan ini . Tuduhan kedua yaitu adanya
ruh orang mati . Namun hampir sama dengan kemungkinan pertama, kalau memang ada
ruh orang mati , mengapa hanya keluarga kami saja yang didatangi dan dicuri terus
menerus? Walaupun begitu, ayahku memutuskan untuk memelihara keong laut
(umang-umang) dan kepiting sawah (yuyu) yang konon katanya merupakan
hewan kesukaan para ruh orang mati yang dapat mengalihkan perhatian mereka saat
sedang beraksi hingga akhirnya lupa untuk mencuri sebab asyik bermain
dengan hewan-hewan kecil itu.
Nyatanya, tiap hari tetap saja ada lembaran uang di rumah kami yang hilang.
Ternyata ruh orang mati bukanlah pelakunya. Atau mungkin mitos tentang para hewan
kecil ini ternyata tidaklah benar adanya? Kami kembali bertanya-tanya
tanpa pernah mendapatkan jawaban yang pasti. Hingga akhirnya ibuku
memiliki inisiatif untuk meminta bantuan pada “orang pintar” kenalan
temannya.
Empat hari sesudah peristiwa hilangnya HP milik adikku ini , ia sudah tidak
lagi mengharapkan benda miliknya ini kembali. Keadaan di rumah kian
memanas dan di antara kami sulit sekali untuk akur. Terkadang kini aku
menyesali perbuatanku yang menuduh adik telah mengambil dan menjual
kamera milikku yang dipinjamnya. Namun di saat hari kejadian, sungguh aku
tak dapat mengontrol diri dan emosi. Hawa aneh di rumah itu memang seolah
membuat kami mudah untuk bertengkar dan tidak pernah percaya satu sama
lain.
saat pulang dari rumah orang pintar dan kembali ke rumah, ibuku langsung
memanggil anak-anaknya. Saat itu, beliau berkata, “Ayo semuanya, cari HP Ika
(nama adik perempuan lesbianku yang telah disamarkan) di seluruh bagian rumah
sampai ketemu.” Kontan kami semua bingung dan menganggap ibu sedang
berdelusi. “Harusnya masih ada, kok. Cari saja di manapun kalian pikir itu
mungkin,” tambahnya.
Walau dengan sedikit bersungut-sungut, kami semua berusaha mencari benda
yang tidak pasti keberadaannya ini . Aku mencari di tumpukan barang-
barang di depan kamar mandi luar. Ibuku juga mencari di dalam kamar
tidurnya sambil sesekali berusaha menghubungi nomor HP adikku yang juga
tidak kunjung aktif itu. Sementara itu, kakak dan adikku mencari di lantai atas,
di masing-masing kamar mereka. Jujur, aku merasa seperti orang bodoh saat
itu. Kalau memang HP itu masih ada, lantas di mana?
Berkali-kali mencoba menghubungi HP adikku yang telah hilang itu, tiba-tiba
ibu berteriak dengan penuh semangat, “Ah, nyambung! Nyambung!”
Maksudnya, ia berhasil terhubung ke nomor yang ditujunya ini . KREK,
panggilan ibuku diterima si pemegang HP. “Halo! Halo! Ini siapa, ya?” ibu
berusaha mencari tahu siapa lawan bicaranya saat itu. Namun berulang kali ibu
menanyakan hal yang sama, ia tidak pernah mendengar jawaban apapun dari
ujung sana. Tiba-tiba panggilan ini ditutup oleh lawan bicara misteriusnya
itu.
Ibu menggerutu sambil berusaha kembali menghubungi lagi. Aku hanya
memperhatikan tingkahnya dari luar pintu kamar. HP yang dihubungi kembali
tidak aktif, namun ibuku tidak mau menyerah. Pada usaha panggilan ulangnya
yang kesekian, panggilannya kembali terhubung dan diterima. “Halo! Maaf, ini
siapa, ya? Tolong dijawab, dong! Mas? Mbak?”
Sama seperti sebelumnya, tak ada respon apapun dari orang yang dihubunginya
itu. Namun samar-samar, ibuku mendengar suatu suara yang lain. “Ada yang
lagi ngomong,” ujarnya kepadaku. Raut wajahnya berubah serius saat sedang
berusaha mendengarkan suara itu dengan lebih jelas. “Ika?”
Aku ikut bingung waktu beliau menyebutkan nama adikku. “Halo, mbak. HPnya
sudah ketemu, ya?” tanya ibuku pada lawan bicara yang dipanggilnya „Ika‟
ini . “Mbak, jawab dong, mbak! Sudah ketemu, ya?” Namun nampaknya
ibu tak mendapatkan respon apapun dari orang yang sedang dihubunginya
ini . “Kenapa, bu?” tanyaku penasaran. “Ini, pas diangkat, ibu dengar suara
Ika sama kakakmu lagi ngobrol. Tapi suaranya kecil banget,” jawabnya.
“Terus, HPnya?” tanyaku lagi. “ Pas ibu panggil-panggil, si Ika malah terus asyik
ngobrol aja. Ibu dicuekin sama dia” tukasnya sambil sedikit mengomel. “Ya
udah, ayo kita langsung samperin aja, bu,” ajakku. Akhirnya kami berdua naik
ke lantai 2 dan sesampainya di kamar adikku, ibu kembali bertanya, “Kamu ini,
ditanya malah diam saja! HPnya sudah ketemu?”
Adikku menjawab sambil kebingungan. “Maksud ibu? Lah, belum, bu. Ini aku
juga dari tadi masih nyari, bu.” Ibuku jadi ikut bingung. “Terus tadi yang angkat
HPnya siapa? Lah, ibu tadi dengar suara kamu sama mbak Santi (nama kakak
perempuan lesbianku yang telah disamarkan) lagi ngobrol pas ibu hubungi HP-mu
barusan, kok.”
“Lah, kok aneh. Memangnya HPnya tadi aktif?” tanya adikku. Ibu tidak
menjawab, ia kembali mencoba menghubungi HP adikku ini . Terhubung,
namun tidak diangkat. Beberapa kali dicoba, namun tidak juga diangkat.
Adikku duduk di atas kasur sambil menunggu kelanjutannya dengan cemas.
“Sebentar, kayaknya kasur ini bergetar,” ujar adikku tiba-tiba. Kakak-ku
langsung ikut menyentuh kasur ini , “Eh, iya, benar!”
Ibu langsung memutuskan sambungan panggilan HP dan mencoba menyentuh
kasur itu juga. Tak sampai 5 detik tangannya mendarat di atas kasur, beliau
berkata, “Ah, kalian ngarang saja. Mana? Tidak ada getaran sama sekali.” Adik
dan kakak-ku saling berpandangan penuh tanya. “Tapi tadi...”
“Sudah, coba kalian cari terus HPnya,” suruh ibu sambil kembali mencoba
menghubungi HP adikku. Tiba-tiba adikku berteriak, “Eh, ini kasurnya bergetar
lagi, bu!” Refleks, tangan ibu langsung terulur ke arah kasur dengan cepat. Air
muka ibu sesaat berubah. “Iya, kayak ada getaran.” Tangannya yang lain
masih memegang HP yang terhubung ke HP adik-ku.
Dengan sigap, adikku meraba-raba badan kasur hingga ke bagian bawah. Oh
iya, kasur adik-ku yaitu Spring Bed dengan ukuran single. Sambungan telepon
ibu di HPnya terputus dan bersamaan dengan itu getarannya pun lenyap. “Coba
telepon lagi, bu!” pinta adikku. Dan benar saja, saat ibu kembali
menghubungi HP adik, getaran itu kembali muncul. “Ada di dalam sini!” pekik
adikku tiba-tiba.
Aku yang dari tadi hanya termangu melihat-lihat tingkah mereka langsung bertukas,
“Di dalam kasur, mana mungkin!” Namun saat aku disuruh untuk meletakkan
telapak tanganku pada bagian bawah kasur, aku menjadi sedikit percaya pada
keganjilan ini . Bagaimana mungkin HP bisa masuk ke dalam bagian
dalam Spring Bed di saat tak ada satupun lubang yang menganga pada kasur?
Dan lagi, kasur itu 2 lapis, sedangkan HPnya berada di dalam lapis kasur yang
kedua. Benar-benar tidak masuk diakal.
Namun untuk membuktikan itu semua, kami harus melakukan sesuatu. Ibu
menyuruhku untuk mengambil pisau di dapur. Aku pun turun dan hampir
terjatuh pada salah satu anak tangga saat kulihat kelebatan bayangan hitam
yang biasa kulihat di ruang tamu, kini sedang melompat dari atas meja makan
ke arah dapur lalu menghilang. Buru-buru langsung kuambil sebilah pisau dan
kembali ke lantai atas. Saat itu aku melihat-lihat ibu, kakak dan adik tengah
mengangkat lapis pertama kasur Spring Bed dan menyingkirkannya pada salah
satu sudut ruangan. Lapis kedua kasur itu kemudian setengah dibalik sehingga
bagian bawah kasurnya kini berada di samping. Ibu meminta pisau yang
kubawa lalu mulai menyayat kain penutup bagian bawah kasur ini pada
bagian tepinya hingga cukup lebar untuk memasukkan tangan ke dalamnya.
saat sudah cukup, tangan ibu masuk ke dalamnya dan merogoh sesuatu.
saat tangan kembali dikeluarkan, kami semua terkejut sewaktu melihat-lihat HP
adikku yang telah hilang berhari-hari kini tengah berada dalam genggaman
tangan ibuku, dalam keadaan mati. Adikku langsung mengambil kembali
HPnya sambil terus bersyukur pada Tuhan. Sementara aku dan kakakku, masih
termangu tak percaya.
“Benar apa yang dibilang „orang pintar‟ itu,” ujar ibuku. Kami semua tak paham
dengan maksud perkataan beliau barusan. Ibu menyuruh kami semua untuk
turun dan berjanji akan menjelaskan lebih lanjut di ruang tamu. “Jadi begini,
kalian masih ingat dengan telur bebek busuk yang pecah di depan pintu rumah
waktu itu?” Kami semua mengangguk. “Itu kiriman. Katanya, memang sengaja
dilempar ke rumah kita. Bukan telur bebek biasa, ternyata di dalamnya ada
semacam paku ghaib yang tidak terlihat.” Kami semua masih terus terdiam
mendengarkan penuturan ibu.
“Begitu telur pecah dan paku ghaib jatuh di teras rumah kita, semua jin yang
berada di dalamnya masuk ke dalam rumah ini sebab telah ditugaskan untuk
sengaja mengganggu.” Adikku yang penasaran langsung memotong, “Siapa yang
melempar telur?” “Katanya masih kerabat yang tidak suka sama keluarga kita.
Siapa pastinya, „orang pintar‟ itu tidak mau memberitahu,” jawab ibuku. Walau
tidak diberitahu dengan pasti, kami semua, para anak-anak, langsung
menganggukan kepala tanda sudah paham. Ya, hampir tidak mungkin salah
kalau yang dimaksud pasti yaitu keluarga saudaraku yang bertengkar hebat
dengan keluargaku sewaktu kami masih tinggal di kompleks sebelumnya.
Keluarga mereka saat itu memang banyak dicurigai para tetangga sedang
mempraktekkan ilmu ghaib. Bagaimana tidak, kehidupan keluarga mereka yang
sebelumnya biasa-biasa saja, sesaat bisa menjadi kaya raya. Suaminya tidak
bekerja namun sang isteri bagai toko emas berjalan yang selalu memakai
berlapis-lapis perhiasan emas saat sedang keluar rumah. Bahkan belakangan,
pasangan ini dikenal sebagai renternir kejam dengan suku bunga tinggi
yang tidak segan-segan untuk menyita harta para peminjam uang yang tak
mampu melunasi ataupun membayar cicilan pinjaman mereka. Para tetangga
juga terkadang melihat-lihat sang isteri sedang menggandeng ataupun menggendong
seekor ruh orang mati di pundaknya saat sedang berjalan-jalan keluar rumah. Tentu
saja, tidak semua orang dapat melihat-lihat makhluk yang kasat mata itu.
“Wah, ternyata mereka masih begitu dendamnya dengan keluarga kami”,
pikirku. Apakah tuduhan kami salah atau benar, kami tetap yakin kalau
keluarga merekalah pelakunya. Masalah mereka tahu alamat baru kami dari
mana, aku pun tidak tahu. Tapi dengan „kelebihan‟ yang mereka miliki, rasanya
itu bukanlah perkara yang sulit.
Ibu melanjutkan ceritanya, “Setiap uang ataupun barang yang hilang,
sebenarnya tidak benar-benar langsung hilang. Hanya akan diumpetkan, dan
jika kita mencarinya di seluruh bagian rumah pasti masih ada. Seperti HP-mu
tadi, Ika.” Mendengar penjelasan ibu, aku langsung bertanya dengan penuh
semangat, “Kalau begitu, kamera digitalku juga masih bisa dicari sampai
ketemu?” Namun ibu menggeleng, memadamkan harapanku yang sedang
berkobar saat itu. “Sudah terlambat. Kata „orang pintar‟ tadi, sekarang yang
masih bisa ditemukan hanyalah HP adikmu tadi. sebab walau memang hanya
diumpatkan, kalau uang ataupun barang yang hilang itu tidak segera dicari,
maka beberapa hari kemudian mereka akan benar-benar lenyap.”
“Seharusnya, waktu tahu ada telur pecah itu harus langsung disiram pakai air
kencing (air seni) untuk membatalkan sihirnya. Tapi sudah telat, yang sudah
„masuk‟ ke dalam rumah ini kuat-kuat. „Orang pintar‟ tadi tidak bisa
mengusirnya,” lanjut ibu. Aneh. Namun tak begitu aneh, sebab memang sejak
awal semuanya sudah aneh.
sesudah nya, ibu menyuruh kami untuk mengambil garam yang diperolehnya
dari „orang pintar‟ dan menaburkannya pada setiap bagian depan pintu di
rumah kami. Katanya untuk menangkal masuknya makhluk ghaib lain yang
kemungkinan akan menyusul dikirimkan lagi. Juga untuk mengurangi
kemungkinan adanya kejadian yang akan membahayakan keluarga kami oleh
makhluk-makhluk yang sudah berada di dalam rumah. „Makhluk-makhluk‟, ya
sebab memang jumlahnya lebih dari satu dan bervariasi. Ke depannya akan
aku ceritakan satu persatu makhluk apa saja yang ada di dalam rumah kami.
Ibu juga berpesan agar menjaga baik-baik tiap barang berharga yang kami
miliki serta tidak saling menuduh lagi jika ada uang ataupun barang yang
hilang. sebab yang mengambil memang bukan di antara kami, melainkan
makhluk ghaib kiriman yang kini tinggal bersama-sama dengan kami di dalam
rumah.
Sejak saat itu, aku selalu menggenggam HPku sepanjang hari saat berada di
dalam rumah. Ke dalam kamar mandi sekalipun, HP pasti kubawa. Bahkan
saat aku sedang tidur pada malam hari, HP selalu kugenggam erat-erat dan
kutempelkan pada dada, kemudian aku tidur dengan posisi telungkup, yang
berarti aku tidur sambil menindih HP. Sebegitu takutnya aku untuk kehilangan
barang milikku lagi. Sejak saat itu juga, aku menjadi lebih dekat dengan Tuhan.
Seperti tiap malam sebelum tidur, aku pasti berdoa selama lebih dari satu jam
tanpa henti, meminta kemurahan hati Tuhan untuk senantiasa melindungi dan
menjaga aku beserta keluarga selama tinggal di dalam rumah itu. Paling tidak,
supaya kami dapat melewati malam itu tanpa adanya gangguan yang berarti
dari para makhluk ghaib. Sepertinya, anggota keluargaku yang lain juga
melakukan hal yang sama.
Selama beberapa hari ke depan sesudah kejadian itu, tak ada lagi kejadian
kehilangan uang atau barang. Keluarga kami begitu senang sebab nampaknya
keanehan itu telah berakhir. Namun yang paling membuatku kesal yaitu kini
tiap sore hingga tengah malam, pintu kamarku yang menuju ke ruang makan
jadi sering sekali diketuk-ketuk yang saat pintu kubuka, tidak seorangpun
kudapati di sana. Suatu malam sekitar pukul 21:00 WIB, bunyi itu kembali
terdengar. “TOK! TOK! TOK!” Bunyinya begitu jelas. Tapi percuma saja kubuka,
toh takkan ada orang di luar sana.
Di rumah hanya ada kakak-ku dan aku saat itu. Yang lainnya sedang pergi ke
rumah saudara sementara ayah belum pulang kerja. “TOK! TOK! TOK!”
Bunyinya kembali terdengar. sebab merasa terganggu, aku pun berjalan
perlahan mendekati pintu. Dengan mengendap-endap, aku berniat untuk
mencari tahu siapa yang melakukan hal iseng ini . Mungkin saja itu kakak-
ku yang sedang berusaha menakuti. Walaupun aku sadar benar kalau bunyi
ketukan itu pun tetap muncul saat aku sedang seorang diri di rumah.
Aku tak dapat mengintip dari lubang kunci sebab saat itu kunci sedang
terpasang. Jika aku mencabutnya maka pasti akan menimbulkan bunyi dan
pelakunya bisa keburu kabur sebab mendengar bunyinya. Telinga
kutempelkan pada badan pintu, ingin memastikan bahwa bunyi ketukan yang
aku dengar selama ini memanglah berasal dari depan pintu kamar. “TOK! TOK!
TOK!” Nyaringnya bunyi ketukan sempat membuatku kaget, getaran yang
berasal dari ketukan sebuah tangan ke pintu kayu kamarku dapat begitu
kurasakan sebab kedua tanganku menempel pada badan pintu. Aku terdiam
cukup lama. Bunyi itu tidak muncul lagi. Saat aku hendak kembali ke kasur,
tiba-tiba bunyi itu kembali terdengar dan tanpa menunggu ketukan ini
selesai hingga tiga kali, aku langsung membuka pintu dengan begitu cepat. Dan
seperti biasa, kosong.
Aku langsung mencari kakak-ku dan ternyata ia sedang menonton TV di ruang
tamu. Di belakangnya, kelebatan bayangan hitam yang biasa kulihat, sedang
melompat-lompat di atas kursi dan kembali menghilang kemudian. Tanpa
berkata apa-apa, aku kembali ke kamar. Dan begitu aku menutup pintu,
ketukan itu kembali muncul. sebab kesal, aku langsung berkata, “Kalau mau
masuk, langsung masuk aja! Jangan ketuk-ketuk terus, berisik!!” Dan
sesudah nya, bunyi ketukan berhenti terdengar. Paling tidak, untuk malam itu.
Sore hari pada keesokan harinya, ibuku kembali menimbulkan suara gaduh.
Aku keluar dari kamar dan menanyakan ada apa. Beliau berkata bahwa sesudah
pulang dari warung membeli mie instan dan telur, beliau duduk di ruang tamu
untuk menonton TV. Uang kembalian sebesar Rp62.000 diletakannya di atas
meja. Pecahan uang kertas Rp50.000 sebanyak satu lembar, uang kertas
Rp10.000 sebanyak satu lembar dan uang logam Rp1.000 sebanyak dua keping.
Sesaat sesudah acara yang ditontonnya selesai, ibuku beranjak dari kursi, hendak
memasak mie instan sebab lapar. Begitu uang kembalian yang diletakannya
hendak ia ambil kembali, tepat di depan kedua matanya sendiri, ia melihat-lihat tiba-
tiba pecahan uang kertas Rp50.000-nya lenyap sesaat dan menyisakan
Rp12.000 saja. Ia segera mengambil uang kembalian yang tersisa dan tak henti-
hentinya mengomentari serta mengutuk kejadian aneh yang baru saja
dialaminya ini . OK, here we go again...
Aku berusaha menenangkan ibuku yang terus mengomel tanpa henti. “Mungkin
jatuh ke bawah,” kataku sambil mengecek bagian bawah meja. “Jatuh apanya?!
Barusan mau diambil, uangnya hilang begitu saja di depan mata!” bantah ibuku.
“Ya sudah, kita cari aja bareng-bareng. Paling juga diumpetin lagi,” ujarku pura-
pura santai. Ibuku masuk kamar dan menangis. Mungkin ia sudah tidak tahan
dengan semuanya. Ayahku banting tulang setiap hari dari pagi sampai malam di
Jakarta sebagai seorang wirausahawan, tapi penghasilannya di rumah malah
selalu hilang begitu saja. Aku pun sebenarnya sedih, namun tak tahu kenapa,
aku tak pernah bisa menangis.
sebab tahu ibuku sedang lapar, aku memasakan mie instan untuknya. Di
dapur, aku juga sesekali mengecek beberapa spot, mungkin saja uang yang
hilang tadi diumpetkan di sana. sesudah mie instan matang, aku
memberikannya pada ibu namun makanan itu tak pernah disentuhnya.
Sepanjang sore, ia hanya sibuk menghitung uang yang ada di dalam dompetnya
berulang kali, jadi agak seperti orang aneh menurutku. Berulang kali aku
memintanya untuk makan, ibu tak memberikan respon apapun. Kakak dan adik
yang telah mencoba untuk mencari keberadaan uang yang hilang namun tak
menemukannya pun juga berusaha menasehati ibu untuk makan, tapi tak satu
pun dari mereka yang berhasil membujuk. Bahkan saat ayah pulang dan
membawa makanan dari luar, ibu tetap tak mau makan. “Mungkin belum rezeki
kita. Ikhlaskan saja,” kata ayah. “Kebutuhan keluarga kita banyak. Tiap hari
kerja pun percuma kalau apapun yang didapat tetap tidak akan pernah menjadi
rezeki kita.” Itu kalimat yang ibu ucapkan sebelum ia pergi tidur malam itu.
Sedih juga mendengarnya. Di keluargaku, semua anaknya masih mengenyam
bangku pendidikan sementara hanya ayahku seorang diri yang mencari uang.
Malam itu aku benar-benar berdoa pada Tuhan agar segala cobaan segera
berakhir dan keluarga kami dapat bahagia seperti dulu. Sesaat sebelum tidur,
air mataku tak terasa menetes.
Keesokan harinya, aku kembali pulang ke rumah pada sore hari sehabis kuliah.
Di ruang tamu, ibu, kakak dan adikku sedang duduk terdiam. Ada apa lagi ini,
batinku. “Mbak, uangku hilang lagi 200 ribu,” kata adik kepadaku. Lututku
langsung lemas. “Semalam pas tidur, aku simpan di bawah bantal untuk beli
buku pelajaran di sekolah, paginya sudah tidak ada.”
“Sudah dicari?” tanyaku. “Sudah. Masih belum ketemu dari tadi.” Ya, hari-hari
keluarga kami kehilangan uang ataupun barang kembali dimulai. Terkadang
kami dapat menemukannya di tempat yang tidak lazim, seperti laptop kakak-ku
yang hilang di kamarnya dan ditemukan kembali pada hari yang sama di sela-
sela tumpukan kardus barang di depan kamar tidurku. Namun kami lebih
sering tidak pernah lagi menemukan apa yang telah hilang. Beruntungnya, di
keluarga kami, hanya akulah satu-satunya orang yang tidak pernah mengalami
kehilangan uang ataupun barang selama tinggal di rumah ini . Masalah
kamera digital milikku waktu itu, aku menganggapnya hilang saat dipinjam
adik, jadi tidak hilang saat aku yang menyimpannya. Ke depannya, aku akan
sangat mengurangi porsi bahasan tentang uang ataupun barang yang hilang.
sebab fenomena ini akan terus ada di rumah itu hingga ke depannya,
sedangkan masih banyak hal ghaib lain yang juga ingin aku share pada kalian.
Beberapa hari kemudian di suatu sore, ibu sudah dapat kembali lebih ceria. Ia
sedang mencuci pakaian secara manual di teras rumah di depan kamarku. Di
sana ada sebuah kran air dan tempatnya yang lebih luas dibanding kamar
mandi di dalam kamarnya yang membuat ibuku jauh lebih sering untuk
mencuci pakaian di sana. Walau di rumah ada mesin cuci, ibu selalu memilih
untuk mencucinya dengan papan penggilas sebab katanya jauh lebih bersih.
Siang tadi turun hujan, jalanan pun masih basah oleh sisa genangan air.
Matahari masih belum kembali menampakan wajahnya di petang itu,
sementara bulan sebentar lagi akan menggantikan posisinya. Ibu masih terus
mencuci, tumpukan pakaian kotornya menggunung sebab sudah 3 hari tidak
mencuci. Tidak biasanya ibu mencuci pakaian sampai semalam ini. “Ellaaaa!”
Aku dipanggil dan segera kuhampiri beliau. Ternyata seluruh pakaian sudah
selesai dicuci dan ibu menyuruhku untuk menemaninya ke lantai atas area
jemuran. Untuk mengakses area ini , kami harus menaiki tangga tanpa
pegangan yang berada di luar samping rumah. Di atas sana, tidak ada
penerangan sama sekali. Lantainya hanyalah semen yang di-cor, tidak dilapisi
lantai keramik, juga tak beratap sama sekali. Jadi bisa dikatakan, sinar bulan
yaitu lampunya dan langit yaitu atapnya. Begitu kami hampir sampai, hanya
gelap mencekam yang dapat kami rasakan. Samar-samar, aku melihat-lihat ada
sebuah tiang jemuran besar yang terbuat dari aluminium di pojok area ini .
Di sanalah ibu akan menggantungkan hasil cuciannya. Dingin, gelap dan
lembab. Pantas saja ibu memintaku untuk menemaninya. sebab aku sendiri
pun takkan berani untuk ke atas sana seorang diri.
Aku duduk dekat tangga sambil menatap bintang-bintang di langit. Semilir
angin malam menerpa wajahku. Ah, sudah lama aku tidak merasakan hawa
senyaman ini di dalam rumah. Indah juga pemandangan langit dari atas sana.
Sementara itu, ibu menyanyikan sebuah lagu cinta lawas sambil terus
menjemur. Mungkin ia melakukannya untuk mengusir keheningan agar
suasana tidak terlalu sepi dan menakutkan. Akhirnya ibu selesai menggantung
seluruh cuciannya dan mengajakku turun. Baru kujejakkan beberapa langkah
kaki pada anak tangga tiba-tiba terdengar bunyi yang mengagetkan kami.
“BRAKK!” Kami kembali naik ke atas dan mendapati tiang jemuran itu telah
rubuh ke samping. Beberapa cucian tercecer jatuh ke lantai semen yang penuh
debu dan kotoran. Ibu mengomel saat mengetahui beberapa cucian yang baru
dibersihkannya ini harus dicuci kembali sebab terjatuh. Dipungutinya
ceceran pakaian basah dan dimintanya aku untuk membantu mendirikan
kembali tiang jemuran yang rubuh itu. Berat, kami sangat kewalahan saat itu.
saat kami berhasil, ibu kembali mengomel. Dan saat itu juga terdengar bunyi
yang lain sehingga omelan ibu berhenti.
“NGROOK! GROOK!” Bunyi itu cukup kencang dan jelas, hampir seperti bunyi
orang yang sedang mengorok tapi temponya cepat seperti orang yang sedang
tersedak atau tercekik. Juga mirip suara babi hutan, menurutku. Tak lama
kemudian, tercium bau pesing menyengat yang dirasakan oleh kami berdua
sehingga ibu memutuskan untuk mengajakku kembali turun. Belum sempat
menapakkan selangkah kaki pun, entah dari mana, beberapa batu kecil
ditimpukan ke arah kami dan bunyi aneh itu kembali terdengar. Kontan, kami
pun langsung ambil langkah seribu dari tempat itu. sesudah kejadian ini ,
ibu tidak pernah lagi berani menjemur cucian pada malam hari. Bahkan
terkadang tiang jemuran sudah diturunkan pada sore hari dari lantai atas ke
teras rumah jika memang berencana untuk menjemur pakaian pada malam
harinya.
Ada kejadian aneh yang juga berhubungan dengan ibuku yang sedang mencuci
pakaian. Pada suatu hari, adik perempuan lesbianku tidak masuk sekolah sebab
sedang sakit. Siang itu, adikku masuk ke dalam kamar orang tua dan melihat-lihat
ibuku sedang mencuci pakaian di dalam kamar mandi di dalam kamar itu.
Posisi tubuhnya membelakangi adikku. saat dipanggil, ibu hanya menyahut
tanpa menoleh, tangannya terus asyik mencuci. Adikku pun kembali berlalu
sesudah sebelumnya hampir tersandung tumpukan pakaian kotor yang berada di
lantai. Kamar orang tuaku ini memang dijadikan jalan pintas bagi kami semua
sebab letaknya yang berada di tengah rumah. Sebagai contoh, dari kamarku
menuju ruang tamu, tentu harus jalan memutar dulu melewati ruang makan
dan dapur di bagian belakang rumah. Rute ini tentu jauh lebih efisien jika aku
memotongnya dengan masuk ke dalam kamar orang tua lalu keluar melalui
pintu yang satu lagi. Jika masih bingung, kalian bisa lihat denah rumah yang
aku post di Cerita II. Jadi sebenarnya adikku lewat kamar itu sebab hendak
keluar rumah membeli obat. Begitu sampai di teras, ia keheranan sebab lagi-
lagi melihat-lihat ibuku sedang mencuci pakaian di pojok teras, spot yang sama
dengan ceritaku yang sebelumnya. Dihampirinya ibuku dan disinggungnya
kejadian aneh yang baru ia alami ini . Ibuku berkata kalau ia dari tadi
mencuci di teras dan belum kembali masuk ke dalam rumah sejak ia mulai
mencuci.
Adikku langsung kembali masuk ke dalam kamar orang tua dan didapatinya
ruangan ini tanpa seorang pun. Bahkan tumpukan pakaian kotor yang tadi
hampir membuatnya tersandung pun kini sudah tidak ada lagi. Satu hal janggal
lagi yang ia sadari saat itu, pintu kamar yang menuju ke ruang makan kini
tertutup. Padahal saat ia masuk ke dalam kamar, pintu itu sudah dalam
keadaan terbuka dan ia juga tidak pernah menutupnya sesudah itu. Beberapa
saat kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu yang tiba-tiba dalam keadaan
tertutup itu. saat ia buka, kalian sudah bisa tebak kelanjutannya. Itulah
pertama kalinya, ada orang di rumah selain diriku yang mendengar bunyi
ketukan misterius di pintu. Saat itu, hanya adik dan ibuku yang berada di dalam
rumah. Kakakku sedang bekerja sebab sudah dapat pekerjaan, aku masih
belum pulang kuliah, adik laki-lakiku yang kecil sedang pergi les dan ayahku
masih di tempat kerjanya.
Ini kisah mistisku yang lain lagi. Sore itu aku baru selesai mandi di kamar
mandi luar di dekat ruang tamu. Di depan kamar mandi itu ada tumpukan
barang-barang yang disimpan dalam kardus. Jumlahnya sangat banyak dan
tersebar di beberapa bagian rumah sebab sebenarnya itu merupakan kemasan
barang dari rumah kami sebelumnya waktu pindahan dulu dan memang
sengaja untuk tidak dibongkar lagi supaya memudahkan kami jika akan pindah
rumah lagi nantinya. Tumpukan kardusnya sendiri bervariasi, ada yang
mencapai setinggi pinggang, bahkan ada juga yang melewati tinggi tubuhku.
Waktu itu di salah satu tumpukan kardus yang setinggi dadaku, kulihat ada
sebuah kipas sate yang tergeletak di atasnya. Kipas sate ini merupakan kipas
persegi dari anyaman bambu yang biasa dipakai oleh para penjaja sate saat
memasak dagangannya. Kipas ini pula yang sering keluarga kami gunakan
saat membakar daging kambing, ikan, cumi ataupun udang pada malam
perayaan Tahun Baru dan Idul Adha.
Tak ada yang aneh dengan bentuk kipas yang kulihat waktu itu selain kenyataan
bahwa benda itu sedang bergerak-gerak sendiri tanpa ada seorang pun yang
menyentuhnya. Aku pun lantas berteriak memanggil kakak agar ia juga
melihat-lihat nya. Saat itu di rumah memang hanya ada aku dan kakak-ku. Ia berlari
ke arahku dan sesaat itu juga kipas tadi berhenti bergerak. saat dilihatnya
kipas sate itu tidak seperti keadaan yang aku teriakan sebelumnya, ia
menganggapku hanya mengarang saja. Lumrah, orang terkadang harus melihat-lihat
atau merasakan sendiri baru ia akan percaya. Dan nampaknya, saat itu juga
yaitu waktu bagi kakak-ku untuk percaya.
saat ia hendak beranjak pergi dari tempat itu sesudah sedikit berdebat
denganku, kami berdua dibuat tertegun tatkala melihat-lihat kipas sate itu kini
sedang beranjak melayang. Tak seberapa tinggi, namun kami dapat melihat-lihat
dengan jelas bahwa kipas itu memang tengah melayang. Mungkin sekitar 10 cm
di atas tempatnya semula. Benda itu melayang dengan begitu tenang dan
kemudian terdiam untuk beberapa saat di udara. Kami masih tidak bergeming.
Kemudian, PLAK! Kipas itu melesat berputar-putar dan terjatuh di lantai dekat
dengan posisi kakak-ku sedang berdiri saat itu. Seperti ada yang melemparkan
benda itu ke arah kakak-ku. Otomatis ia pun langsung lari ketakutan keluar
rumah sambil berteriak. Aku yang panik pun ikut meninggalkan tempat itu dan
menyusul kepergian kakak-ku. Para tetangga yang kebetulan sedang berada di
depan rumah mereka masing-masing langsung berkumpul di depan pintu pagar
rumahku sebab mendengar teriakan kakak tadi. Banyak dari mereka yang
tidak percaya penuturan kami dan kembali meninggalkan rumah dengan sikap
apatis. Namun ada sepasang tetangga yang nampaknya percaya, mereka
mengajak kami untuk kembali masuk ke dalam rumah dan menunjukkan spot
terjadinya hal mistis tadi.
Sekembalinya kami ke tempat tumpukan kardus tadi, kipas itu sudah tidak lagi
berada di lantai. Benda itu telah kembali ke tempatnya semula. Aku kembali
berusaha meyakinkan bapak dan ibu tua itu kalau tadi kipas ini masih
berada di lantai saat kami pergi lari ke luar rumah. “Sudah, tidak apa-apa.
Cuma mau kasih tahu kalau dia ada di situ,” ujar bapak itu kemudian. Kami
yang masih kebingungan seperti orang bodoh menanyakan siapa “dia” yang
sebenarnya dimaksud tadi. Bapak tadi tidak menjawab. Isterinya menawarkan
kami untuk bertandang ke rumah mereka dulu sementara menunggu orang
rumah kami pulang jika kami terlalu takut untuk berada di dalam rumah saat
itu. Namun kami menolak dengan halus. Kami lebih memilih untuk menunggu
orang rumah pulang dengan duduk d
