• berasx.blogspot.com

    selamat datang di website ini....

  • kacangx.blogspot.com

    selamat datang di website ini....

  • coklatx.blogspot.com

    selamat datang di website ini....

Jumat, 06 Desember 2024

kejiwaan




 Kesehatan jiwa merupakan bagian 

yang tidak terpisahkan dari kesehatan 

secara umum serta merupakan dasar bagi 

pertumbuhan dan perkembangan manusia. 

Kesehatan jiwa membuat perkembangan 

fisik, intelektual dan emosional seseorang 

berkembang optimal selaras dengan 

perkembangan orang lain (UU No 36, 

2009).

WHO (2009) memperkirakan 450 juta 

orang di seluruh dunia mengalami 

gangguan mental, sekitar 10% orang 

dewasa mengalami gangguan jiwa dan 

25% penduduk diperkirakan akan 

mengalami gangguan jiwa pada usia 

tertentu dalan rentang hidupnya yan 

biasanya terjadi pada dewasa muda antara 

usia 18-21 tahun. Menurut National 

institute of mental health, gangguan jiwa 

mencapai 13% dari penyakit secara 

keseluruhan dan diperkirakan akan 

berkembang menjadi 25% di tahun 2030. 

Gangguan jiwa menyebabkan hilangnya 

produktifitas, dan mudah kambuh 

sehingga meningkatkan biaya perawatan. 

Dampak gangguan jiwa menyebabkan 

keluarga kehilangan banyak waktu untuk 

merawat, mengalami beban emosional, 

dan sosial akibat stigma dari masyarakat 

(Hogan, 2008). Asmedi (2012), 

mengungkapkan di Indonesia gangguan 

jiwa menimbulkan kerugian ekonomi 

mencapai Rp 20 triliun, akibat hilangnya 

produktivitas, beban ekonomi dan biaya 

perawatan kesehatan yang harus 

ditanggung keluarga dan negara. Klien 

gangguan jiwa tidak hanya membutuhkan 

dukungan ekonomi saja tetapi juga 

memerlukan sistem dukungan sosial yang 

mencakup dukungan emosional, 

informasional, instrumental dan 

penilaian/penghargaan untuk menjalani 

program pemulihan (recovery) dan 

menghadapi stigma di masyarakat.

Skizofrenia adalah bentuk gangguan 

jiwa yang sering dijumpai dan 

multifaktorial, perkembangannya 

dipengaruhi oleh faktor genetik dan 

lingkungan serta ditandai dengan gejala 

positif, negatif dan defisit kognitif (Jones 

et al, 2011). Peristiwa yang penuh stres, 

akan mengaktifkan aksis hipotalamus￾hipofisis-adrenal dan merangsang 

pelepasan berbagai neurotransmitter otak, 

terutama dopamine dan norepinefrine, 

kejadian ini juga dianggap sebagai faktor

kunci terjadinya skizofrenia (Bobo et al, 

2008). 

Gejala positif meliputi waham, 

halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh, 

sikap bermusuhan dan gangguan berpikir 

formal. Gejala negatif meliputi sulit

memulai pembicaraan, afek tumpul atau 

datar, kurangnya motivasi dan atensi, 

pasif, apatis dan penarikan diri secara 

sosial dan rasa tidak nyaman (Videbeck, 

2008). Gejala defisit kognitif meliputi: 

gangguan dalam attention, learning and 

memory, dan gangguan dalam execution 

function, kerusakan kognitif ini sering 

diperburuk dengan kondisi insight yang 

buruk (Stuart, 2013). 

Klien skizofrenia mengalami gejala 

positif, negatif dan defisit kognitif yang 

mempengaruhi pelaksanaan kegiatan 

harian dan penurunan fungsi sosial yang 

bermakna.

Skizofrenia membawa dampak bagi 

kehidupan individu, keluarga menghambat 

pelaksanaan pekerjaan, mengganggu 

masyarakat, dan merugikan negara. 

Adanya individu dengan gangguan jiwa 

(skizofrenia) meningkatkan cost dan 

beban ekonomi tidak hanya bagi 

keluarganya tetapi juga negara. Individu 

dengan skizofrenia tidak hanya kehilangan 

kesempatan untuk bekerja tetapi yang 

sudah bekerja juga dapat kehilangan 

pekerjaan.

Mosanya et al (2014) 

mengungkapkan kondisi klien yang tidak 

produktif, dan tidak berpenghasilan 

menimbulkan stigma di masyarakat bahkan 

keluarga dan mempengaruhi stigma diri 

sehingga klien cenderung mengalami 

harga diri rendah. Pendidikan rendah, 

tidak bekerja dan tidak ada penghasilan 

memberikan konstribusi menurunnya 

harga diri dan mempengaruhi kualitas 

hidup klien (Mosanya et al, 2014). 

Berdasarkan latar belakang di atas 

maka penulis tertarik untuk menganalisa 

faktor-faktor penyebab gangguan jiwa di 

Ruang Kresna (Ruang Akut) Wanita 

Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi 

Bogor.

Gangguan jiwa dapat terjadi pada 

siapa saja, baik yang berusia muda, 

dewasa maupun lansia. Gangguan jiwa 

juga dapat terjadi pada orang yang tinggal 

di perkotaan maupun di pedesaan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 

usia terbanyak yang mengalami gangguan 

jiwa adalah usia dewasa. Usia dewasa 

merupakan usia produktif dimana mereka 

harus mampu secara mandiri menghidupi 

dirinya sendiri. Usia ini juga usia dimana 

seseorang telah berkeluarga, sehingga 

masalah yang dihadapi juga semakin

banyak, bukan hanya masalahnya sendiri 

namun harus memikirkan masalah 

anggota keluarganya. Hal ini 

memungkinkan orang dewasa mempunyai 

masalah yang lebih kompleks dan berisiko 

mengalami gangguan jiwa. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 

yang mengalami gangguan jiwa adalah 

yang tidak bekerja. Tidak bekerja bisa 

membuat orang kehilangan kesempatan 

untuk mempunyai penghasilan. Tidak 

bekerja juga bisa membuat orang 

kehilangan kesempatan untuk 

menunjukkan aktualisasi dirinya. Hal ini 

yang dapat membuat orang tidak 

melakukan suatu kegiatan, sehingga akan 

sangat memungkinkan orang mengalami 

harga diri rendah yang akan berdampak 

pada gangguan jiwa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 

faktor predisposisi biologis terbanyak 

adalah adanya gangguan jiwa sebelumnya. 

Ketika seorang klien sudah pernah 

mengalami gangguan jiwa sebelumnya, 

walau klien telah dinyatakan sembuh dan 

dapat kembali ke masyarakat, namun 

stigma negatif yang ada di masyarakat 

telah membuat klien ditolak atau tidak 

diperlakukan baik di masyarakat. 

Tipe kepribadian tertutup juga 

merupakan penyebab terbanyak orang 

mengalami gangguan jiwa. Orang dengan 

tipe kepribadian tertutup akan cenderung 

menyimpan segala permasalah sendiri, 

sehingga masalah akan semakin 

menumpuk. Hal ini yang akan membuat 

klien bukannya menyelesaikan 

permasalahannya, namun akan bingung 

dengan permasalahannya dan dapat 

membuat klien depresi.

Putus obat juga merupakan salah satu 

faktor presipitasi gangguan jiwa. Klien 

yang mengalami gangguan jiwa, 

kebanyakan harus minum obat seumur 

hidupnya. Hal ini yang menyebabkan 

klien merasa bosan minum obat dan akan 

menghentikan minum obat. Selain karena 

merasa bosan, klien yang mempunyai 

pengetahuan kurang juga akan 

menghentikan minum obat karena merasa 

sudah sembuh atau gejala tidak muncul. 

Hal ini yang akan memicu kekambuhan 

gangguan jiwa atau munculnya gangguan 

jiwa kembali.

Pengalaman tidak menyenangkan 

yang dialami klien misalnya adanya 

aniaya seksual, aniaya fisik, dikucilkan 

oleh masyarakat atau kejadian lain akan 

memicu klien mengalami gangguan jiwa. 

Klien yang mempunyai mekanisme 

koping maladaptif akan membuat klien 

mudah mengalami gangguan jiwa.

Selain itu konflik dengan teman atau 

keluarga misalnya karena harta warisan

juga dapat membuat klien mengalami 

gangguan jiwa. Konflik yang tidak 

terselesaikan dengan teman atau keluarga 

akan memicu klien mengalami stresor 

yang berlebihan. Jika klien yang 

mengalami stresor berlebihan namun 

mekanisme kopingnya buruk, maka akan 

membuat klien mengalami gangguan jiwa.


Kesehatan jiwa merupakan bagian 

yang tidak terpisahkan dari kesehatan 

secara umum serta merupakan dasar bagi 

pertumbuhan dan perkembangan manusia. 

penyebab gangguan jiwa terdiri dari faktor 

penyebab predisposisi dan presipitasi. 

Faktor ini ditinjau dari aspek biologis, 

psikologis dan sosial. 

Faktor predisposisi terbanyak pada 

aspek biologis adalah klien pernah 

mengalami gangguan jiwa sebelumnya, 

pada aspek psikologis adalah tipe 

kepribadian dan penyebab pada aspek 

sosial adalah klien tidak bekerja, 

sedangkan faktor presipitasi, penyebab 

pada aspek biologis terbanyak adalah 

putus obat, penyebab pada aspek 

psikologis terbanyak adalah pengalaman 

tidak menyenangkan dan penyebab pada 

aspek sosial terbanyak adalah konflik 

dengan keluarga atau teman.


Kesehatan merupakan hal yang begitu penting bagi

manusia.Ironisnya banyak sekali penyakit yang pada

akhirnya terlambat didiagnosa sehingga mencapai tahap

kronis yang membuatnya sulit untuk ditangani, belum

lagi kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh para dokter

atau tenaga medis yang mengakibatkan kesalahan

penanganan awal pada pasien. Padahal setiap penyakit

sebelum mencapai tahap kronis/stadium tinggi umumnya

menunjukkan gejala-gejala dini penyakit yang telah

diderita oleh pasien tetapi masih dalam tahap ringan.

Untuk penderita gangguan jiwa tahap awal bisa

diketahui dengan sakit kepala, gelisah, sering

berhalusinasi dan merasa tidak nyaman dengan keadaan

sekitar [1]. Perkembangan sistem informasi yang begitu pesat kini

telah merambah ke berbagai sektor termasuk kesehatan.

Meskipun dunia kesehatan (medis) merupakan bidang

yang bersifat information-intensive, akan tetapi adopsi

teknologi informasi di Indonesia sendiri masih relatif

tertinggal. Sebagai contoh, ketika transaksi finansial

secara elektronik sudah menjadi salah satu prosedur

standar dalam dunia perbankan, sebagian besar rumah

sakit di Indonesia baru dalam tahap perencanaan

pengembangan billing system. Meskipun rumah sakit

dikenal sebagai organisasi yang padat modal-padat

karya, tetapi investasi teknologi informasi masih

merupakan bagian kecil [1] .

Sampai saat ini, psikiater kadang mengalami kesulitan

dalam menentukan apakah seorang pasien itu menderita

kelainan jiwa atau tidak. Hal yang dapat mereka lakukan

adalah dengan mendiagnosa secara manual, namun

sering mengalami kesulitan ataupun kesalahan yang

berdampak fatal yaitu terjadinya kesalahan penanganan

pada pasien. Ini disebabkan karena adanya keraguan

bahkan nilai ketidak pastian dalam memutuskan jenis

diagnosa yang akan diambil. Berdasarkan hal tersebut,

maka diperlukan alat bantu berbasis komputerisasi

berupa fizzy logic yang dirancang dalam suatu program

computer untuk menentukan nilai ketidak pastian

tersebut.

Dengan berkembangnya teknologi ilmu komputer, saat

ini telah tercipta beberapa teknik pendekatan dalam

menyelesaikan suatu masalah yang disebut soft

computing. Soft Computing merupakan bagian dari

sistem cerdas yang yaitu suatu model pendekatan untuk

melakukan komputasi dengan meniru akal manusia dan

memiliki kemampuan untuk menalar dan belajar pada

lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian dan

ketidaktepatan [2] dalam [3]. Komponen utama

pembentuk soft computing adalah sistem fuzzy (fuzzy

system), jaringan syaraf (neural network), algoritma

evolusioner (evolutionary algorithm), dan penalaran

dengan probabilitas (probabilistic reasoning)[3]. Salah satu metode yang akan digunakan dalam

melakukan diagnosis awal pada penderita penyakit jiwa

adalah metode Mamdani yang merupakan salah satu

metode system inferensi fuzzy.Metode Mamdani

menggukan aturan IF-THEN dalam representasi kasus

yang digunakan ke dalam himpunan fuzzy. Dengan

metode ini komputer difungsikan sebagai alat untuk

mendiagnosis[3]

Metode Mamdani [1]sering dikenal dengan nama metode

Max-Min. metode ini diperkenalkan oleh EbrahimMamdani pada tahun 1975. Metode ini menggunakan

empat tahapan untuk mendapatkan output, yaitu:

1. Pembentukan Himpunan fuzzy. 2. Aplikasi fungsi implikasi (aturan).

3. Komposisi aturan.

4. Penegasan (defuzzy).

Penelitian serupa telah banyak dilakukan sebelumnya

tetapi dengan penerapan pada kasus yang berbeda.

Apriansyah Putra, “Penentuan Penerima Beasiswa

Dengan Menggunakan Fuzzy Madm[4], menggunakan

metode mamdani dan berhasil membuktikan bahwa

penerapan metode ini dapat menentukan penerima

beasiswa dengan akurasi perhitungan yang cukup baik.

Dalam penelitian ini, akan dibangun suatu sistem yang

berfungsi sebagai alat bantu pskiater dalam mendiagnosa

penyakit jiwa berdasarkan data input berupa gejala

kelainan jiwa dengan menggunakan fuzzylogic metode

Mamdani. Penelitian ini diharapkan member manfaat

untuk:

1. Mengetahui kondisi mental pasien penyakit jiwa

secara dini.

2. Dapat dijadikan alat bantu untuk pskiater dalam

mendiagnosa.

3. Dengan mengetahui kondisi pasien secara akurat,

diharapkan psikiater dapat melakukan tindakan

lanjut sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien

sehingga dapat mencegah terjadinya mall-praktek.

1.1 Penyakit Jiwa

Gangguan mental atau penyakit jiwa adalah pola

psikologis atau perilaku yang pada umumnya terkait

dengan stres atau kelainan mental yang tidak dianggap

sebagai bagian dari perkembangan normal

manusia.Gangguan tersebut didefinisikan sebagai

kombinasi perilaku, komponen kognitif atau persepsi,

yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah

otak atau sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial

manusia.

Penemuan dan pengetahuan tentang kondisi kesehatan

mental telah berubah sepanjang perubahan waktu dan

perubahan budaya, bahkan saat ini masih terdapat

perbedaan tentang definisi, penilaian dan klasifikasi,

meskipun kriteria pedoman standar telah digunakan

secara luas. Namun lebih dari sepertiga orang di

sebagian negara melaporkan masalah dalam hidup

mereka yang memenuhi kriteria salah satu atau beberapa

tipe umum dari kelainan mental [5]. Penyebab gangguan mental bervariasi dan pada beberapa

kasus tidak jelas, dan teori terkadang menemukan

penemuan yang rancu pada suatu ruang lingkup

lapangan. Layanan untk penyakit ini terpusat di Rumah

Sakit Jiwa atau di masyarakat sosial, dan penilaian

diberikan oleh psikiater, psikolog klinik, dan terkadang

psikolog pekerja sukarela, menggunakan beberapa

variasi metode tetapi sering bergantung pada observasi

dan tanya jawab [6]. Perawatan klinik disediakan oleh

banyak profesi kesehatan mental.Psikoterapi dan

pengobatan psikiatrik merupakan dua opsi pengobatan

umum, seperti juga intervensi sosial, dukungan

lingkungan, dan pertolongan diri.Pada beberapa kasus

terjadi penahanan paksa atau pengobatan paksa dimana

hukum membolehkan. Stigma atau diskriminasi dapat

menambah beban dan kecacatan yang berasosiasi dengan

kelainan mental (atau terdiagnosa kelainan mental atau

dinilai memiliki kelainian mental), yang akan mengarah

ke berbagai gerakan sosial dalam rangka untuk

meningkatkan pemahanan dan mencegah pengucilan

social.

Faktor jiwa dapat dikelompokkan menjadi dua macam,

yaitu Kusula: berari sehat dan Akusula: tidak sehat [7]. Penilaian faktor jiwa itu sehat atau tidak sehat, dicapai

secara empiris, berdasakan pengalaman kolektif dari

pasien yang pernah menjalankan tes kepribadian.

Tabel di bawah ini menunjukkan taksiran kasar jumlah

penderita beberapa jenis gangguan jiwa yang ada dalam

satutahun (2012) di Indonesia dengan penduduk 130 juta

orang.

Tabel 1: Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Di Indonesia

Tahun 2012 [8]

Jenis Penyakit Jumlah Penderita

Psikosa fungsional 520.000 Pasien

Sindroma otak organik akut 65.000 Pasien

Sindroma otak menahun 130.000 Pasien

Retradasi mental 2.600.000 Pasien

Nerosa 6.500.000 Pasien

Psikosomatik 6.500.000 Pasien

Gangguan kepribadian 1.300.000 Pasien

Ketergantungan obat 1.000 Pasien

Biarpun gejala umum atau gejala yang menonjol itu

terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab

utamanya mungkin di badan (somatogenik),

dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupunpsikogenik. Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan

tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai

unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan

terjadi bersamaan, menimbulkan gangguan badan

ataupun jiwa. Contohnya seorang dengan depresi,

karena kurang makan dan tidur daya tahan badaniah

seorang berkurang sehingga mengalami keradangan

tenggorokan atau seorang dengan mania mendapat

kecelakaan, sebaliknya seorang dengan penyakit

badaniah umpamanya peradangan yang melemahkan,

maka daya tahan psikologisnya pun menurun sehingga

ia mungkin mengalami depresi. Sudah lama diketahui

juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan

gangguan jiwa. Contoh lain ialah seorang anak yang

mengalami gangguan otak (karena kelahiran,

keradangan dan sebagainya) kemudian

menjadihiperkinetik dan sukar diasuh. Ia

mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan

anggota lain serumah. Mereka ini bereaksi

terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi.

1.1.1 Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan mental yang

mempengaruhi sekitar 1% orang berusia di atas 18

tahun semua di seluruh dunia.Gangguan ini

menyebabkan beberapa gangguan dalam domain

kognitif seperti perhatian, memori, fungsi eksekutif dan

bahasa.Skizofrenia juga berhubungan dengan gejala

seperti halusinasi pendengaran, delusi dan emosional

disregulasi.Gabungan, gangguan kognitif dan gejala

gangguan tersebut berdampak signifikan pada hidup

pasien.[9] Sampai saat ini, diagnosis skizofrenia hanya

didasarkan pada pengamatan klinis dan laporkan

pengalaman pasien sendiri. Diagnosis skizofrenia masih

belum jelas karena tidak ada tanda-tanda biologis untuk

memvalidasi diagnosis klinis.[10]

Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks

yang dapat menimbulkan efek merusak pada kehidupan

penderita. Kesembuhan total dari skizofrenia jarang

terjadi karena adanya berbagai macam kombinasi gejala

seperti halusinasi, delusi, emosi dan gangguan bicara.

Menjelang akhir abad ke-19, seorang psikiater jerman

Emil Kraepelin mengemukakan tentang apa yang

dewasa ini masih tetap dianggap sebagai deskripsi dan

katagorisisasi skizofrenia. Pertama menggabungkan

beberapa gejala penyakit jiwa yang biasanya dianggap

merefleksikan gangguan-gangguan yang terpisah dan

berbeda, yaitu catatonia yang merupakan selang-seling

antara imobilitas dan agitasi yang riuh, hebepherenia (

emosionalitas yang dungu dan tidak matang), dan

paranoia (delusi) [11]. Tidak mudah untuk menyatakan seseorang menderita

skizofren, penilaian pertama dilakukan dengan

memperhatikan perilaku cara berfikir atau emosi

tertentu dari masing-masing gangguan. Depresi

senantiasa meilbatkan perasaan sedih, dan gangguan

panic selalu disertai oleh adanya perasaan cemas yang

intens tapi hal ini tidak tampak pada penderita

skizofren. Skizofren terdiri atas sejumlah perilaku atau

gejala yang tidak selalu dijumpain pada semua orang

yang didiagnosis dengan gangguan ini.Sebelum

mendeskrisikan tentang gejala-gejalanya hal pertama

yang dilakukan adalah mencermati ciri-ciri spesifik

pada penderita skizofren, para medis kesehatan jiwa

biasanya membedakan antara gejala-gejala positif dan

gejala-gejala negatif dari skizofren.Belum ada

kesepakatan universal tentang gejala-gejala mana yang

seharusnya masuk kedalam katagori skizofren.Gejala

positif secara umum meliputi manifestasi yang lebih

efektif dari perilaku abnormal termasuk delusi dan

halusinasi.Gejala negatif melibatkan defisit dalam

perilaku abnormal[12].

Fitur-fitur diagnosis awal skizofrenia meliputi (dengan

derajat yang berbeda, tergantung subtipenya)[12]. 1. Delusi

2. Halusinasi

3. Pembicaraan yang terdisorganisasi.

4. Perilaku katatonik atau sangan terdisorganisasi.

5. Gejala-gejala negatife seperti pendataran afeksi,

alogia, atau avolisi.

6. Disfungsi social dan okupasional.

7. Tidak memedulikan perawatan diri.

8. Persisten selama minimal 6 bulan.

1.1.2 Faktor Penyebab Skizofrenia

Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi)

yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia,

padahal orang lain tidak. Ternyata daripenelitian- penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan

faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut

penelitian terdahulu antara lain [13]:

1. Faktor genetik.

2. Virus.

3. Auto antibody. 4. Malnutrisi. Dari penelitian diperoleh gambaran peran

genetic pada penderita skizofreniasebagai berikut

[9][10]:

(1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang

tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anak-anak

12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%. [9]

[10].

(2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan

pada kembar identik 59,20%; sedangkan kembar

fraternal 15,2%. [9] [10].

Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada

perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi

timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari.

Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan

gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal.

Penelitianyang telah dilakukan menyebutkan bahwa

meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak

akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang

disebut epigenetik faktor. Kesimpulannya adalah bahwa

skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara

abnormal gen dengan[13]. (a) Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat

menganggu perkembangan otak janin;

(b) Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan

infeksi selama kehamilan;

(c) Komplikasi kandungan; dan

(d) Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada

trimester kehamilan.

1.2 Fuzzy Logic

Fuzzy diperkenalkan dalam paper yang dibuat oleh Lofti

A Zadeh, dimana Zadeh memperkenalkan teori yang

memiliki obyek-obyek dari himpunan fuzzy yangmemiliki batasan yang tidak pretisi dan keanggotaan

dalam himpunan fuzzy, bukan dalam bentuk logika benar

(true) atau salah (false), tetapi dinyatakan dalam bentuk

derajat. Konsep ini disebut Fuzziness dan teorinya

dinamakan Fuzzy Set Theory.Fuzzy logic merupakan

studi tentang metode dan prinsip-prinsip pemikiran

dimana pemikiran tersebut menghasilkan preposisi yang

baru dari preposisi yang lama. Pada logika lama,

preposisi diperlukan diantara true dan false, nilai

kebenaran dari preposisi tersebut antara 1 atau 0. Fuzzy

logic membuat pernyataan umum dari dua nilai logika

lama dengan cara menyertakan nilai kebenaran dari

sebuah preposisi untuk dijadikan sembarang angka

diantara interval [fuzzy mamdani] [3]. Salah satu metode yang akan digunakan dalam

melakukan diagnosis awal pada penderita penyakit jiwa

adalah metode Mamdani yang merupakan salah satu

metode system inferensi fuzzy. Metode Mamdani

menggukan aturan IF-THEN dalam representasi kasus

yang digunakan ke dalam himpunan fuzzy. Dengan

metode ini komputer difungsikan sebagai alat untuk

mendiagnosis. Metode Mamdani sering dikenal dengan nama metode

Max-Min. metode ini diperkenalkan oleh Ebrahim

Mamdani pada tahun 1975. Metode ini menggunakan

empat tahapan untuk mendapatkan output, yaitu:

5. Pembentukan Himpunan fuzzy. 6. Aplikasi fungsi implikasi (aturan).

7. Komposisi aturan.

8. Penegasan (defuzzy)

2. Pembahasan

Penelitian ini menggunakan medote fuzzy

Mamdani.Adapun langkah operasional yang dilakukan

adalah sebagai berikut: a. Menentukan input

Input berupa fitur-fitur diagnosis awal skizofrenia

meliputi:

1. Delusi

2. Halusinasi

3. Pembicaraan yang terdisorganisasi

4. Perilaku katatonik atau sangan terdisorganisasi

5. Gejala-gejala negatife seperti pendataran afeksi,

alogia, atau avolisi.

6. Disfungsi social dan okupasional.

7. Tidak memedulikan perawatan diri.

8. Persisten selama minimal 6 bulan.

b. Fuzzifikasi

Kegiatan yang dilakukan pada tahap fuzzifikasi

adalah: mengambil masukan nilai crisp dari input,

membentuk himpunan fuzzy, membagi variable input

maupun variabel output menjadi satu atau lebih

himpunan fuzzy, menentukan derajat dimana nilai￾nilai tersebut menjadi anggota dari setiap himpunan

fuzzy yang sesuai dengan fungsi keanggotaan. c. Inferensi

Yaitu mengaplikasikan aturan pada masukan fuzzy

yang dihasilkan dalam proses fuzzifikasi, mengevaluasi tiap aturan dengan masukan yang

dihasilkan dari proses fuzzyfikasi dengan

mengevaluasi hubungan atau derajat keanggotaan

anteceden/premis setiap aturan. Derajat

keanggotaan/nilai kebenaran dari premis digunakan

untuk menentukan nilai kebenaran bagian

consequent/kesimpulan.

d. Proses penentuan Output Crisp

Output berupa suatu bilangan pada domain himpunan

fuzzy yang telah ditentukan. e. Implementasi ke dalam program komputer.

Seperti ditunjukkan pada flowchart di bawah ini:

2.1 Data Input

Sumber data dari sistem pengambilan keputusan

dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu data eksternal dan

data internal. Untuk pembangunan sistem pendukung

keputusan klinis, diperlukan diagnosa gangguan jiwa

sebagai sumber data ini.

a. Data eksternal

Data eksternal merupakan data yang tidak

berhubungan langsung dengan penyakit atau gangguan

jiwa yang dialami oleh pasien tetapi mempengaruhi

sistem dalam melakukan keputusan klinis. Adapun data

eksternal adalah:  Data identitas pasien (Kartu Tanda Penduduk).  Data lingkungan tempat tinggal.

b. Data Internal

Data internal merupakan data yang berhubungan

langsung dengan klinis gangguan jiwa untuk mendukung

sistem pegambilan keputusan dalam mendiagnosis

pasien. Adapun yang tergolong ke dalam data internal

adalah:  Data rekam medis pasien.

Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka tabel 3

hasil fuzzifikasi di atas menunjukkan bahwa, dari 21

sampel data input pasien terdapat 9 pasien yang

mengalami gangguan jiwa ringan, 8 pasien yang

mengalami gangguan jiwa sedang dan 3 pasien yang

mengalami gangguan jiwa berat.

Tiga pasien yang mengalami gangguan jiwa berat

diperoleh dari kategori input data awal pada pasien

pertama yaitu x1: 0.71, x2: 0.87, x3: 0.92, x4: 0.79,

pasien kedua x1: 0.63, x2:0.65, x3:0.73, x4: 0.82 dan

pasien ke 3 x1: 0.74, x2:0.65, x3:0.43, x4:0.98.

Hasil output yang diperoleh pada tabel 3 terlihat bahwa

pasien yang menderita gangguan jiwa berat berada pada

nilai rata-rata x1,x2,x3 dan x4 di atas 0.5.sedangkan

pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan berada

pada nilai x1,x2,x3 dan x4 dibawah 0.2.

Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan

menggunakan metode fuzzy Mamdani menunjukkan

bahwa output yang didapat dalam proses melakukan

diagnosa dini gangguan jiwa sesuai dengan hasil

diagnosis pskiater yang telah melakukan diagnosa secara

manual dilihat dari rekap medis pasien yang dijadikan

sampel pada penelitian ini. Diagnosa pskiater menunjukkan pasien yang mengalami

gangguan tingkat depresi, halusinasi, berbicara ngawur

dan katatonik tinggi beresiko mengalami gangguan jiwa

berat, hal ini sesuai dengan output yang didapat dari

hasil pengujian yang dilakukan dengan menggunakan

metode fuzzy Mamdani yaitu pada saat nilai x1, x2, x3

dan x4 berada pada nilai rata-rata di atas 0.5 pasien

dinyatakan menderita gangguan jiwa berat.


Berbagai upaya dilakukan untuk 

mengurangi jumlah penderita penyakit 

gangguan jiwa di Bali, salah satunya adalah 

mengintensifkan pemeriksaan terhadap 

penderita penyakit gangguan jiwa. Penyakit 

ini memang sama pentingnya seperti 

penyakit fisik. Namun, dalam naan 

praktiknya, dokter hanya dapat menangani 

2-3 pasien, tidak seperti penyakit fisik, 

dimana dalam sekali pemeriksaan dokter 

dapat menangani belasan pasien. Hal ini 

disebabkan karena dalam menangani 

penyakit gangguan jiwa memerlukan waktu 

yang intensif bagi dokter untuk mengenali 

dan mendiagnosa penyakit yang diderita 

pasien gangguan jiwa. Agar tidak terjadi 

ambigu dalam mendiagnosa gejala penyakit 

gangguan jiwa, keberadaan suatu sistem 

pendukung keputusan dibutuhkan oleh 

pakar dalam mendiagnosa dan 

menanggulangi penyakit gangguan jiwa. 

Salah satu dokter yang ada di Kota 

Denpasar yaitu Ibu dr. Putu Asih Primatanti, 

SpKJ.

Berdasarkan hal tersebut peneliti 

termotivasi untuk mengembangkan aplikasi 

“Sistem Pendukung Keputusan Diagnosa 

Penyakit Gangguan Jiwa dengan Metode 

Dempster-Shafer” sebagai asisten dokter 

dalam mengambil keputusan penderita 

gangguan kejiwaan. Metode dempster￾shafer merupakan metode yang pertama 

kali dikembangkan oleh Arthur P. Dempster 

dan Glenn Shafer. Metode ini merupakan 

salah satu metode multi hipotesa, dimana 

dapat menghasilkan lebih dari 1 hipotesis. 

Dempster-Shafer Theory adalah 

diberlakukan sebagai suatu formula untuk 

menangani klasifikasi yang tidak pasti. DST 

juga digunakan untuk merepresentasikan 

keraguan, apakah ketidakpastian secara 

total, ataupun ketidaktahuan secara 

sebagian. Aturan DS merupakan aturan 

yang sempurna untuk ini. [3] Penderita 

gangguan jiwa sangat mungkin menderita 

lebih dari satu penyakit yang dalam hal ini 

disebut “komorbiditas”. Maka dari itu, 

peneliti menggunakan metode Dempster￾Shafer untuk memberikan nilai kepastian. 

Sistem ini juga akan dibangun berbasis web 

sehingga dapat diakses oleh dokter 

kapanpun dan dimanapun dengan berbagai 

platform. Diharapkan nantinya sistem ini 

dapat membantu pakar dalam melakukan 

diagnosa dan penanggulangan terhadap 

gangguan kejiwaan lebih efektif. 

KAJIAN TEORI 

A. Ilmu Jiwa dan Gangguan Kejiwaan 

Ilmu jiwa atau psikologi adalah suatu 

cabang dari ilmu pengetahuan yang 

mempelajari, menyelidiki, atau membahas 

fungsi – fungsi kejiwaan dari orang yang 

sehat. Atau dengan perkataan lain psikologi 

mempelajari aktivitas kehidupan kejiwaan 

dari orang normal. Psikologi (Ilmu Jiwa) 

ialah ilmu yang mempelajari segala 

aktivitas jiwa, yaitu yang mencakup segala 

sesuatu yang diperbuat oleh manusia yang 

terwujud dalam kegiatan manusia (human 

activities). [4] Sedangkan, sakit jiwa adalah 

gangguan mental yang berdampak kepada 

mood, pola pikir, hingga tingkah laku 

secara umum. Seseorang disebut 

mengalami sakit jiwa jika gejala yang 

dialaminya menyebabkan sering stres dan menjadikannya tidak mampu melakukan 

aktivitas sehari-hari secara normal. 

Penggolongan penyakit gangguan jiwa 

menurut PPDGJ III dapat dilihat pada 

Gambar 2.

B. Sistem Pendukung Keputusan 

1. Definisi SPK 

Menurut Alter (2002) SPK merupakan 

sistem informasi interaktif yang 

menyediakan informasi, pemodelan, dan 

pemanipulasian data. Selain itu digunakan 

untuk membantu pengambilan keputusan 

dalam situasi semi terstruktur dan situasi 

yang tidak terstruktur, dimana tak seorang 

pun tahu secara pasti bagaimana 

keputusan seharusnya dibuat. [6] 

Sistem pendukung keputusan 

(Inggris: decision support systems disingkat

DSS) adalah bagian dari sistem informasi 

berbasis komputer (termasuk sistem 

berbasis pengetahuan (manajemen 

pengetahuan) yang dipakai untuk 

mendukung pengambilan keputusan dalam 

suatu organisasi atau perusahaan. Dapat 

juga dikatakan sebagai sistem komputer 

yang mengolah data menjadi informasi 

untuk mengambil keputusan dari masalah 

semi-terstruktur yang spesifik. [7] 

SPK adalah pendekatan berbasis 

komputer atau metodologi untuk 

mendukung pengambilan keputusan. 

Bagian paling penting dari SPK khas 

adalah data warehouse, yang merupakan 

subjek berorientasi, terpadu, waktu-varian,


infeksi 4

 










Infeksi nosokomial atau infeksi terkait perawatan kesehatan terjadi pada pasien dalam 

perawatan medis. Dari setiap 100 pasien yang dirawat di rumah sakit, tujuh di negara maju 

dan sepuluh di negara berkembang dapat tertular infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial 

adalah masalah keamanan utama bagi penyedia layanan kesehatan dan pasien. Dengan 

meningkatnya infeksi, terjadi peningkatan masa tinggal pasien di rumah sakit. Hal ini 

 memicu  peningkatan yang signifikan dalam biaya pengobatan untuk pasien. 

Penanganan infeksi ini seringkali membutuhkan rawat inap yang lama, pemeriksaan 

tambahan, intervensi bedah dan pengobatan antimikroba, yang semuanya menambah biaya 

perawatan kesehatan. Empat jenis infeksi nosokomial yang paling umum meliputi: infeksi 

aliran darah primer (IADP), infeksi saluran kemih (ISK) terkait kateter, infeksi daerah 

operasi (IDO) dan Pneumonia terkait ventilator (VAP). Patogen yang bertanggung jawab 

atas infeksi nosokomial adalah bakteri, virus, dan jamur. Prevalensi infeksi yang 

disebabkan oleh mikroorganisme ini bervariasi di antara populasi pasien yang berbeda, 

keadaan tempat perawatan kesahatan, fasilitas yang berbeda, dan negara yang berbeda. 

Secara keseluruhan, bakteri adalah patogen yang paling umum, diikuti oleh jamur dan 

virus. 


 

Nosokomial atau infeksi terkait perawatan kesehatan (Healthcare Associated Infections - HCAI) 

adalah infeksi yang muncul pada pasien dalam perawatan medis di rumah sakit atau fasilitas perawatan 

kesehatan lain yang tidak ada pada saat pasien masuk rumah sakit  . Karena sulitnya menilai keberadaan 

infeksi yang diinkubasi, pendekatan praktis adalah dengan mendefinisikan setiap infeksi bakteri sebagai 

nosokomial jika terlihat jelas > 48-72 jam sesudah  masuk. Infeksi virus dengan periode inkubasi yang jelas 

dapat lebih mudah dianggap berasal dari komunitas atau onset nosokomial  . 

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS malaporkan bahwa hampir 1,7 juta pasien yang 

dirawat di rumah sakit setiap tahun memperoleh infeksi nosokomial saat dirawat dan lebih dari 98.000 

pasien ini (satu dari 17) meninggal karena infeksi nosokomial  . Dari setiap 100 pasien yang dirawat di 

rumah sakit, tujuh di negara maju dan sepuluh di negara berkembang dapat tertular infeksi nosokomial  . 

Penelitian lain yang dilakukan di negara-negara berpenghasilan tinggi menemukan bahwa 5% -15% pasien 

yang dirawat di rumah sakit memperoleh infeksi nosokomial  . Data dari sebuah survei prevalensi 

terhadap 231.459 pasien dari 947 rumah sakit perawatan akut di 30 negara Eropa pada tahun 2011-2012 

mengungkapkan bahwa 5,7% pasien mengalami setidaknya satu infeksi nosokomial  . Namun WHO 

melaporkan bahwa infeksi nosokomial biasanya hanya mendapat perhatian publik ketika ada epidemi  . 

Infeksi nosokomial adalah masalah keamanan utama bagi penyedia layanan kesehatan dan pasien. 

Dengan meningkatnya infeksi, terjadi peningkatan masa tinggal pasien di rumah sakit. Hal ini  memicu  

peningkatan yang signifikan dalam biaya pengobatan untuk pasien. Infeksi nosokomial dapat berakibat fatal 

atau  memicu  pemulihan yang tertunda, gangguan fungsional atau kerusakan estetika yang dapat 

menimbulkan konsekuensi seumur hidup bagi pasien. Penanganan infeksi ini seringkali membutuhkan 

rawat inap yang lama, pemeriksaan tambahan, intervensi bedah dan pengobatan antimikroba, yang 

semuanya menambah biaya perawatan kesehatan. Biaya tahunan untuk infeksi nosokomial saja di AS 


adalah antara US $ 28 dan US $ 45 miliar, namun  dengan jumlah pengeluaran ini, 90.000 nyawa masih 

hilang per tahun: infeksi nosokomial adalah salah satu dari lima pembunuh teratas di AS .  

 

2. Jenis Infeksi Nosokomial 

Perawatan kesehatan modern menggunakan berbagai jenis perangkat serta prosedur untuk merawat 

pasien dan membantu mereka pulih. Infeksi dapat dikaitkan dengan prosedur (seperti operasi) dan 

perangkat yang digunakan dalam prosedur medis, seperti kateter atau ventilator. 

Empat jenis infeksi nosokomial yang paling umum terkait dengan perangkat atau prosedur pembedahan 

meliputi: (i) infeksi aliran darah primer (IADP), (ii) infeksi saluran kemih (ISK) terkait kateter. (iii) infeksi 

daerah operasi (IDO) dan (iv) Pneumonia terkait ventilator (VAP) 

 

2.1 Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) 

 Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) atau Infeksi aliran darah terkait jalur sentral (Central line-

associated bloodstream infections - CLABSI) adalah infeksi nosokomial yang mematikan dengan tingkat 

kejadian kematian 12% - 25%  . Kateter ditempatkan di aliran darah primer untuk menyediakan cairan 

dan obat-obatan namun  penggunaan jangka panjang dapat  memicu  infeksi aliran darah yang serius 

sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan dan peningkatan biaya perawatan  . Penelitian lain juga 

melaporkan hubungan antara IADP terhadap morbiditas dan mortalitas yang cukup besar, meskipun ada 

variasi yang luas dalam tingkat infeksi yang dilaporkan yaitu antara 20% sampai 62,5% di negara 

berkembang . Sebuah studi yang dilakukan di Taiwan melaporkan terjadinya IADP sebesar 3,93 per 

1.000 untuk tiap hari pemasangan kateter. Dalam penelitian ini, pasien mengembangkan IADP 8 hari sejak 

pemasangan kateter aliran darah primer . 

 Berdasarkan data National Healthcare Safety Network (NHSN) dari Januari 2006 hingga Oktober 

2007, urutan patogen terpilih yang terkait dengan penyebab CLABSI adalah sebagai berikut. Organisme 

gram positif (stafilokokus koagulase-negatif, 34.1%; enterokokus, 16%; dan Staphylococcus aureus, 9.9%) 

adalah yang paling umum, diikuti oleh gram negatif (Klebsiella, 5.8%; Enterobakter, 3.9%; Pseudomonas, 

3.1%; E. coli, 2,7%; Acinetobacter, 2,2%), spesies Candida (11,8%), dan lain-lain (10,5%) .  

Infeksi aliran darah primer yang dikonfirmasi laboratorium. Harus memenuhi salah satu definisi 

berikut: 

• Ditemukan patogen dalam satu atau lebih spesimen darah (metode mikrobiologi berbasis kultur 

atau nonkultur), dilakukan untuk tujuan diagnostik atau terapeutik klinis dan tidak terkait dengan 

infeksi di tempat lain 

• Organisme komensal (misalnya, stafilokokus koagulase-negatif, difteroid, basilus, streptokokus 

viridans, aerococcus, micrococcus, propionibacterium), diidentifikasi dari dua atau lebih 

spesimen darah yang diperoleh pada kasus terpisah (metode mikrobiologi berbasis kultur atau 

nonkultur), dilakukan untuk diagnostik klinis atau tujuan terapeutik dan tidak terkait dengan 

infeksi di tempat lain. Di samping itu juga terdapat setidaknya salah satu dari tanda-tanda berikut; 

(1) demam (suhu > 38.0° C), (2) hipotermia (suhu < 36.0° C), ataupun (3) apnea atau bradikardia. 

• Kateter jalur sentral atau umbilikalis dipasang selama lebih dari 2 hari  

• Kateter jalur sentral masih terpasang pada hari diagnosis atau sehari sebelum diagnosis IADP 

 

2.2 infeksi Saluran Kemih (ISK) Terkait Kateter 

 Infeksi saluran kemih terkait kateter atau Catheter associated urinary tract infections (CAUTI) 

adalah infeksi yang melibatkan bagian mana pun dari sistem kemih, termasuk kandung kemih, uretra, ureter 

dan ginjal. ISK adalah jenis infeksi terkait perawatan kesehatan yang paling umum dilaporkan ke National 

Healthcare Safety Network (NHSN). Di antara ISK yang didapat di rumah sakit, sekitar 75% terkait dengan 

kateter urin, merupakan tabung yang dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui uretra untuk 

mengalirkan urin . 

 

Menurut statistik rumah sakit perawatan akut pada tahun 2015, infeksi saluran kemih menyumbang 

lebih dari 9,5% dari infeksi yang dilaporkan . CAUTI disebabkan oleh mikroflora asli endogen pasien. 

Kateter yang ditempatkan di dalam saluran kemih bisa menjadi sarana/saluran masuknya bakteri, sementara 

aliran yang tidak sempurna dari kateter dapat menahan sebagian volume urin di dalam kandung kemih 

sehingga bisa memberikan stabilitas bagi tempat tinggal bakteri . ISK terkait kateter dapat berkembang 

menjadi komplikasi seperti orkitis, epididimitis dan prostatitis pada laki-laki, dan pielonefritis, sistitis, 

endokarditis, osteomielitis vertebra dan meningitis pada semua pasien . 

Meskipun ISK terkait kateter biasanya tidak terlalu berbahaya, beberapa pasien berpotensi diinfeksi 

oleh bakteri virulen namun  asimtomatik, dan pasien ini dikaitkan dengan mortalitas tiga kali lebih tinggi 

dibandingkan pada pasien non-bakteriurik. Laju ISK terkait kateter telah diperkirakan sekitar 5% per hari, 

terlepas dari durasi pemasangan kateter, dengan E. coli menjadi mikroorganisme patogen utama yang 

menginfeksi, meskipun spektrum mikroorganisme lain juga diidentifikasi, termasuk jamur eukariotik . 

ISK terkait kateter biasanya mengarah pada pembentukan biofilm pada permukaan kateter portal 

ekstraluminal dan intraluminal, sebagian besar dari mikroorganisme ekstraluminal. Biofilm melindungi 

mikroba dari antimikroba dan mekanisme pertahanan tubuh. Pasien dalam perawatan dengan penggunaan 

kateter dalam jangka panjang memiliki risiko lebih besar untuk adanya mikroorganisme patogen dan 

penyakit saluran kemih lainnya daripada mereka yang tidak menggunakan kateter . 

Infeksi saluran kemih terkait kateter terdiri dari ISK simtomatik dan ISK bakterimik asimtomatik. 

Adapun diagnosa terhadap ISK terkait kateter adalah: 

• Kateter urin dipasang selama lebih dari 2 hari  

• Kateter urin masih terpasang pada hari diagnosis atau sehari sebelum diagnosis ISK terkait kateter 

• Infeksi saluran kemih simtomatik: 

- Setidaknya satu dari gejala berikut: (1) demam (suhu > 38.0° C), (2) hipotermia (suhu < 

36.0° C), (3) apnea, (4) bradikardia, (5) kelesuan, (6 ) muntah, atau (7) nyeri tekan 

suprapubik dan 

- Pada kultur urin teridentifikasi tidak lebih dari dua spesies, setidaknya salah satunya 

terdapat lebih dari 105 CFU / mL 

• Infeksi saluran kemih bakteremik asimtomatik: 

- Kultur urin dengan tidak lebih dari dua spesies teridentifikasi, setidaknya satu di 

antaranya ada di lebih dari 105 CFU / mL dan 

- Bakteri yang diidentifikasi dalam darah (metode mikrobiologi berbasis kultur atau 

nonkultur) yang cocok dengan setidaknya satu dari bakteri yang ada pada lebih dari 105 

CFU / mL dalam urin .  

 

2.3 Infeksi Daerah Operasi (IDO) 

 Infeksi daerah operasi atau Surgical site infections (SSI) didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi 

dalam 30 hari sesudah  operasi (atau dalam satu tahun jika implan terlepas/tidak terpasang sesudah  operasi) 

dan mempengaruhi sayatan atau jaringan dalam di daerah operasi. Infeksi daerah operasi terkadang bisa 

berupa infeksi superfisial yang hanya melibatkan kulit. Akan namun  infeksi ini juga bisa menimbulkan efek 

yang lebih serius dan dapat melibatkan jaringan di bawah kulit, organ, atau bahan yang ditanam (implan). 

Meskipun sebagian besar infeksi dapat diobati dengan antibiotik, IDO tetap menjadi penyebab morbiditas 

dan mortalitas yang signifikan sesudah  operasi 

Data dari Sistem Pengawasan Infeksi Nosokomial Nasional Pusat Pengendalian Penyakit Amerika 

Serikat (CDC NNIS) menunjukkan bahwa IDO adalah infeksi nosokomial ketiga yang paling sering 

dilaporkan, terhitung 14-16% dari infeksi tersebut di antara pasien yang dirawat di rumah sakit dan 38% di 

antara pasien operasi. Demikian pula, data Eropa menunjukkan bahwa kejadian IDO dapat mencapai 20% 

tergantung pada prosedur, kriteria surveilans yang digunakan dan kualitas pengumpulan data. Oleh sebab 

itu, diperlukan kewaspadaan berkelanjutan untuk meminimalkan kejadian infeksi tersebut. Hal ini 

memerlukan pendekatan sistematis, dengan memperhatikan berbagai faktor risiko yang terkait dengan 

pasien, prosedur, dan lingkungan rumah sakit 

Jenis pembedahan menentukan proporsi IDO. Antara 2% dan 36% pasien dapat mengalami IDO, 

dengan risiko tertinggi untuk ortopedi diikuti oleh operasi jantung dan intraabdominal. Lama rawat inap 

untuk pasien dengan IDO meningkat dari 4 menjadi 32 hari dibandingkan dengan pasien tanpa infeksi pasca 

operasi. Sekitar 25% pasien dengan IDO mengalami sepsis dan shock yang parah dan dipindahkan ke ICU. 

IDO  memicu  morbiditas, mortalitas, dan beban keuangan yang signifikan secara statistik untuk 

individu dan komunitas . 

IDO sangat merugikan bagi pasien ortopedi karena sangat sulit untuk membersihkan tulang dan 

sendi dari infeksi. Satu studi yang dilakukan di Arab Saudi melaporkan kejadian IDO pada pasien ortopedi 

sebesar 2,55% (79 dari 3.096 pasien) dengan patogen yang paling umum adalah spesies Staphylococcus 

termasuk MRSA (29,11%); Spesies Acinetobacter (21,5%); Spesies Pseudomonas (18,9%), dan spesies 

Enterococcus (17,7%) [23].  IDO juga banyak terjadi sesudah  operasi jantung, dengan tingkat kejadian yang 

dilaporkan antara 5,0% dan 21,7%. IDO yang terjadi sesudah  operasi jantung, sering disertai dengan 

kegagalan banyak organ dan perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan, yang  memicu  

peningkatan angka kematian. IDO yang terkait dengan operasi jantung secara klasik muncul dengan 

selulitis/luka terlokalisasi (eritema, panas dan nyeri saat tertekan), cairan bernanah, ketidakstabilan sternal, 

nyeri dada, dan gangguan sistemik dengan infeksi dalam . Potensi kontaminasi luka operasi, kondisi 

klinis pasien, jenis operasi, dan lama operasi adalah variabel yang secara statistik terkait signifikan dengan 

IDO dan harus dilihat sebagai faktor risiko. 

Semua IDO dapat  memicu  kemerahan, penyembuhan tertunda, demam, nyeri, nyeri tekan 

atau bengkak. Berikut adalah tanda dan gejala lain untuk jenis IDO tertentu: 

 IDO Insisional superfisial dapat menghasilkan nanah dari lokasi luka. Sampel nanah dapat

ditumbuhkan dalam kultur untuk mengetahui jenis kuman penyebab infeksi. 

 IDO insisi dalam juga dapat menghasilkan nanah. Situs luka dapat terbuka kembali dengan 

sendirinya, atau ahli bedah dapat membuka kembali luka dan menemukan nanah di dalam luka. 

 IDO organ atau ruang dapat menunjukkan keluarnya nanah yang berasal dari saluran pembuangan 

yang ditempatkan melalui kulit ke dalam ruang atau organ tubuh. Kumpulan nanah, yang disebut 

abses, adalah area nanah yang tertutup dan jaringan yang hancur dikelilingi oleh peradangan. Abses 

dapat terlihat saat ahli bedah membuka kembali luka atau dengan pemeriksaan sinar-X khusus .  

 

2.4 Pneumonia terkait ventilator (VAP) 

Pasien di unit perawatan intensif (ICU) berisiko meninggal tidak hanya karena penyakit kritis 

mereka namun  juga dari proses sekunder seperti infeksi nosokomial. Pneumonia adalah infeksi nosokomial 

kedua paling umum pada pasien sakit kritis, mempengaruhi 27% dari semua pasien sakit kritis. 86% 

pneumonia nosokomial dikaitkan dengan ventilasi mekanis dan disebut pneumonia terkait ventilator 

(Ventilator associated pneumonia - VAP) .  

Pneumonia terkait ventilator (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam 

sesudah  pasien diintubasi dan menerima ventilasi mekanis melalui selang endotrakeal atau trakeostomi. VAP 

terjadi akibat invasi mikroorganisme ke saluran pernapasan bagian bawah dan parenkim paru. Intubasi 

mengganggu integritas orofaring dan trakea, memungkinkan sekresi oral dan lambung memasuki saluran 

udara bagian bawah . 

Sebuah penelitian di AS menemukan kisaran VAP antara 1,2 dan 8,5 per 1.000 hari ventilator 

meskipun kelompok internasional melaporkan kejadian VAP yan jauh lebih tinggi yaitu 13,6 / 1.000 hari 

ventilator, Sebuah studi di Chonnam National University Hospital di Korea Selatan tentang aspirasi 

transtrakeal atau bronchoalveolar lavage pasien yang menderita VAP menemukan bahwa S. aureus (44%) 

adalah mikroorganisme penyebab yang paling sering terdeteksi diikuti oleh A. baumannii (30%), P. 

aeruginosa (12%), Stenotrophomonas maltophilia (7%), K. pneumoniae (6 %), dan Serratia marcescens 

(2%) Selain itu, S. aureus ditemukan sebagai MRSA dan 69% dari Acinetobacter baumannii resisten 

terhadap imipenem .  

Saat ini, diagnosis VAP didasarkan pada kombinasi kriteria klinis, radiologis, dan mikrobiologis. 

Ada berbagai macam kondisi klinis yang menyerupai VAP pada pasien yang menggunakan ventilator, 

termasuk sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), edema paru, kontusio paru, trakeobronkitis, dan 

penyakit tromboemboli. Beberapa ciri klinis yang digunakan untuk mendefinisikan VAP (misalnya 

perubahan sekresi trakea) bersifat subjektif dan bisa saja berbeda utntuk tiap pendiagnosis. Meskipun 

kriteria klinis individu tampaknya kurang sensitif secara klinis, kombinasi kriteria klinis dengan kriteria 

laboratorium dan gambaran radiologis meningkatkan akurasi diagnosis klinis. Diagnosis VAP bervariasi 

untuk tiap rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan namun  biasanya membutuhkan infiltrasi baru pada 

rontgen dada ditambah dua atau lebih faktor lain. Faktor-faktor ini termasuk suhu > 38° C atau < 36 ° C, 

jumlah sel darah putih > 12×109/ ml, sekresi purulen dari saluran udara di paru-paru, dan/atau penurunan 

pertukaran gas. Fabregas dan kolega menemukan infiltrat radiologis ditambah dua dari tiga ciri berikut 

yaitu berupa demam, leukositosis, dan sekret purulen, memiliki sensitivitas 69% dan spesifisitas 75% untuk 

mendiagnosis VAP . 

 

3. Patogen Nosokomial 

Patogen yang bertanggung jawab atas infeksi nosokomial adalah bakteri, virus, dan jamur. 

Prevalensi infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme ini bervariasi di antara populasi pasien yang 

berbeda, keadaan tempat perawatan kesahatan yang berbeda, fasilitas yang berbeda, dan negara yang 

berbeda. Secara keseluruhan, bakteri adalah patogen yang paling umum, diikuti oleh jamur dan virus  . 

 

3.1 Bakteri 

Bakteri adalah patogen utama yang bertanggung jawab atas infeksi nosokomial. Bakteri dapat 

berasal dari sumber eksogen atau endogen (flora normal tubuh pasien). Infeksi bakteri oportunistik terjadi 

ketika ada gangguan fungsi sistem kekebalan tubuh.  

Secara umum patogen nosokomial dapat dikelompokkan menjadi: 

 Bakteri komensal. Bakteri jenis ini ditemukan sebagai flora normal pada orang yang sehat. Mereka 

berperan memberi perlindungan yang signifikan dengan cara mencegah perkembangan 

mikroorganisme patogen. Beberapa bakteri komensal dapat  memicu  infeksi jika inang alami 

terganggu. Misalnya, Escherichia coli usus dapat  memicu  infeksi saluran kemih dan 

stafilokokus negatif koagulase pada kulit dapat megkibatkan infeksi pada saluran intravaskular. 

 Bakteri patogen. Bakeri ini memiliki tingkat virulensi lebih tinggi dan mampu  memicu  

infeksi tanpa memandang kondisi inangnya. Misalnya: 

- Gram positif anaerobik berbentuk batang (misalya Clostridium)  memicu  

pembusukan jaringan tubuh 

- Bakteri gram positif: Staphylococcus aureus (bakteri kulit yang terdapat pada daerah kulit 

dan hidung pasien ataupun petugas pelayanan kesehatan). Bakteri ini dapat  memicu  

berbagai infeksi jantung, paru-paru, tulang, dan infeksi aliran darah. Beberapa strain 

bakteri ini serigkali juga memiliki kemampuan resistansi terhadap antibiotik 

- Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae (misalnya Escherichia coli, , Enterobacter, 

Klebsiella, Proteus, dan Serratia marcescens). Ketika sistem pertahanan tubuh terganggu 

bakteri jenis ini dapat berkoloni di tempat-tempat pemasangan kateter, pemasangan 

kanula ataupun kandung kemih. Mereka juga dapat  memicu  infeksi serius pada 

daerah operasi, paru-paru dan selaput perut. Beberapa strain juga ada yang bersifat 

resistan. 

- Bakteri gram negatif yang sering terdapat pada air dan daerah yang lembab (misalnya 

Pseudomonas spp.). Mereka berpotensi untuk menginfeksi saluran pencernaan pasien 

yang dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan. 

- Bakteri lain terkait risiko khas dari rumah sakit. Misalnya Legionella dapat  memicu  

pneumonia (sporadis atau endemik). Bakeri ini dapat masuk melalui penghirupan aerosol 

yang mengandung air terkontaminasi (dari AC, shower ataupun dari bahan terkait medis)  

 

3.2. Virus 

Selain bakteri, virus juga merupakan penyebab penting infeksi nosokomial. Pemantauan biasa 

mengungkapkan bahwa 5% dari semua infeksi nosokomial disebabkan oleh virus. Mereka dapat ditularkan 

melalui rute pernapasan, melalui rute fekal-oral dan melalui darah.  

 Virus yang disebarkan melalui rute pernapasan 

Beberapa virus patogen yang banyak disebarkan melalui rute pernapasan adalah: Respiratory 

Syncytial Virus (RSV), virus influenza A dan B, virus parainfluenza 1 hingga 3, rhinovirus, 

adenovirus dan coronavirus. Penyebaran virus-virus ini relatif mudah dan waktu inkubasinya juga 

relatif singkat (biasanya antara 1 dan 8 hari). Virus ini dapat  memicu  masalah nosokomial 

yang signifikan. Penularan terjadi melalui penyebaran droplet berukuran kecil (diameter median, < 

5 μm) atau besar. Biasanya, droplet berukuran kecil yang mengandung partikel virus patogen 

dihasilkan melalui batuk, bersin, atau percakapan dan mudah ditularkan dalam jarak yang cukup 

jauh. Ini berbeda dengan droplet berukuran besar, yang penularannya biasanya hanya melalui 

kontak dekat orang-ke-orang dan hasil dari inokulasi langsung droplet sarat virus ke selaput lendir 

(misalnya, mata dan hidung) dari inang yang rentan. Autoinokulasi juga dapat  memicu  infeksi 

dan hasil dari transfer virus dari tangan ke selaput lendir. Penularan antar pasien melalui perantara 

tangan petugas kesehatan dapat terjadi jika tidak dilakukan prosedur pencucian tangan secara benar. 

 Virus yang ditularkan melalui rute fekal-oral 

Beberapa jenis virus yang ditularkan melalui rute fekal-oral adalah Rotavirus, Small Round-

Structures Virus (SRSV), enterovirus dan virus hepatitis. Rotavirus diakui sebagai penyebab 

penting infeksi nosokomial, terutama pada bayi dan anak di bawah usia 5 tahun serta orang lanjut 

usia. Virus ini juga dapat  memicu  gastroenteritis nosokomial pada pasien yang mengalami 

gangguan kekebalan tubuh. Infeksi rotavirus biasanya  memicu  timbulnya demam, sakit perut, 

dan muntah secara tiba-tiba, diikuti oleh diare encer yang berlangsung selama 4 hingga 7 hari. Masa 

inkubasinya singkat (1 hingga 2 hari). Diagnosis laboratorium relatif mudah karena sejumlah besar 

partikel virus keluar dari tinja. 

SRSV umumnya  memicu  gangguan gastroenteritis. Muntah seringkali merupakan ciri yang 

menonjol, dan titer virus yang tinggi pada muntahan dianggap bertanggung jawab atas penularan 

yang meluas di lingkungan rumah sakit atau klinik. Beberapa jenis SRSV virus yang banyak 

menimbulkan wabah adalah calicivirus (diameter 30 sampai 40 nm) atau astrovirus (28 sampai 30 

nm). 

Enterovirus adalah genus dari keluarga Picornavirus dan termasuk coxsackievirus A dan B, 

echovirus, poliovirus, dan enterovirus 68 hingga 71. Mereka ditularkan melalui rute fekal-oral, 

namun  coxsackievirus A21 telah dilaporkan menyebar melalui transmisi droplet, dan enterovirus 

lainnya mungkin disebarkan melalui rute ini. Infeksi simtomatik umum terjadi pada semua 

enterovirus dan berhubungan dengan spektrum sindrom klinis yang luas. Mulai dari penyakit 

demam nonspesifik dan ruam hingga kelumpuhan yang parah pada spinal atau bulbar poliomyelitis. 

 Virus yang ditularkan melalui darah 

Banyak virus dapat hadir dalam aliran darah selama fase akut infeksi. Sekelompok virus yang 

secara genetik tidak terkait, mampu  memicu  viremia persisten, atau keadaan pembawa, secara 

kolektif disebut virus yang dibawa melalui darah. Virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C 

(HCV), dan HIV-1 telah dikaitkan dengan infeksi nosokomial. Penularannya dapat berlengsung 

dari pasien ke pasien, dari pasien ke petugas kesehatan, dan dari petugas kesehatan yang terinfeksi 

ke pasien. Penularan virus ini bergantung pada transfer darah, cairan tubuh lain, atau jaringan dari 

orang yang terinfeksi ke individu yang tidak terinfeksi, dan penularan dari pasien ke pasien dalam 

perawatan kesehatan hanya mungkin muncul jika telah terjadi kerusakan pada instrumen 

dekontaminasi atau kekurangan lain dalam prosedur pengendalian infeksi 

 

3.3. Jamur  

Selama beberapa dekade terakhir, kejadian infeksi jamur nosokomial telah meningkat secara 

dramatis. Peningkatan ini kemungkinan besar merupakan konsekuensi dari kemajuan dalam terapi medis 

dan operasi. Penggunaaan yang lebih luas dari model pengobatan yang lebih agresif, seperti transplantasi 

stem sel hematopoietik (HSCT), transplantasi organ padat (SOT), agen kemoterapi baru, telah 

meningkatkan populasi pasien berusia lanjut dan pasien yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh. 

Pasien dengan gangguan kekebalan tubuh ini sangat rentan terhadap infeksi nosokomial yang 

disebabkan oleh organisme seperti jamur yang sebelumnya dianggap memiliki virulensi rendah atau 

“nonpatogenik”. Infeksi jamur pada pasien ini seringkali parah, progresif cepat, dan sulit untuk didiagnosis 

atau diobati. Patogen jamur nosokomial yang dominan termasuk Candida spp., Aspergillus spp., dan 

beberpa jenis jamur dari kelas Zygomycetes.  

 Spesies dari kelompok Candida 

C. albicans sejauh ini merupakan spesies dari kelompok Candida yang palingn banyak 

 memicu  infeksi pada manusia, diikuti oleh C. tropicalis, C. parapsilosis, C. krusei, C. 

lusitaniae, dan C. glabrata. Semua Candida spp ini. dapat  memicu  spektrum penyakit yang 

serupa, mulai dari sariawan hingga penyakit invasif seperti artritis, osteomielitis, endokarditis, 

endophthalmitis, meningitis, atau fungemia. Namun, mungkin ada perbedaan dalam tingkat 

keparahan. Infeksi Candida menyumbang 78,3% dari infeksi jamur nosokomial. 

 Organ yang diserang oleh kandidiasis dapat bervariasi, tergantung pada jalur infeksi. Jika sumber 

infeksi melalui kerusakan jaringan mukosa atau epitel dan sumber infeksi berasal dari saluran 

gastrointestinal maka bisa  memicu  abses hati dan limpa. Sebaiknya, jika sumbernnya adalah 

kateter vena sentral yang terkolonisasi maka bisa mengakibatkan endokarditis ataupun gangguan 

ginjal. Pasien dengan kandilemia atau infeksi yang menyebar biasanya mengalami demam ataupun 

leukositosis (peningkatan sel darah putih). 

 Spesies dari kelompok Aspergillus 

Aspergillus spp. ada di mana-mana, biasanya terdapat di tanah, air, dan vegetasi yang mengalami 

dekomposisi (pembusukan). Reservoir jamur ini di rumah sakit bisa meliputi udara yang tidak 

difilter, sistem ventilasi, kontaminasi debu yang terlepas selama pembangunan rumah sakit, karpet, 

makanan, dan tanaman hias. Aspergillus spp., Terutama Aspergillus flavus, A. fumigatus, dan A. 

terreus merupakan jenis yanmur yang menjadi penyebab umum infeksi nosokomial pada pasien 

yang mengalami gangguan kekebalan tubuh seperti pasien yang menjalani transplantasi sumsum 

tulang, transplantasi organ padat atau menerima terapi kortikosteroid 

Penyebab utama dari infeksi yang disebabkan oleh Aspergillus adalah karena menghirup konidia 

jamur. Efek yang ditimbulkannya bisa berupa infeksi paru. Kerentanan host yang meningkat 

dianggap sebagai faktor utama yang  memicu  infeksi. Jalur lain yang juga diduga penyebab 

infeksi oleh Aspergilus spp., terutama A. flavus, adalah melalui konsumsi makanan yang 

terkontaminasi. 

 

 Spesies dari kelompok Zygomycetes 

Jamur dari kelas Zygomycetes yang dilaporkan  memicu  infeksi nosokomial adalah beberapa 

genus dari ordo Mucorales (misalnya, Mucor, Absidia, dan Rhizopus). Penyakit klinis biasanya 

terjadipada pasien yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh sebagaimana halnya yang 

terjadi pada pasien dengan aspergillosis. Zycomycosis sering mengakibatkan gangguan pada paru, 

ginjal dan otak. Sementara reservoir dan mekanisme penularan anggota Zygomycetes serupa 

dengan Aspergillus spp 

 Infeksi nosokomial adalah penyebab utama dari bahaya yang dapat dihindari pada pasien rumah 

sakit, dan secara substansial menguras sumber daya kesehatan yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan. 

Pencegahan adalah pendekatan terbaik untuk manajemen infeksi nosokomial, oleh sebab itu Institusi 

Perawatan Kesehatan harus menyusun program pengendalian terhadap infeksi ini. Petugas, pasien yang 

dirawat ataupun orang yang mengunjungi rumah sakit harus mempertimbangkan program-program tersebut 

untuk memainkan peran mereka dalam pencegahan infeksi. Metode pengawasan yang efisien yang dipandu 

oleh WHO dapat membantu lembaga perawatan kesehatan untuk merancang program pengendalian infeksi. 

Pelatihan yang tepat bagi staf rumah serta membuat masyarakat umum sadar akan infeksi ini juga dapat 

membantu mengurangi infeksi nosokomial. 

 


 


infeksi 3

 









jaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat 

penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi. Berkaitan dengan hal di atas 

maka diperlukan rangkaian program yang berkesinambungan dalam rangka 

pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk meminimalkan risiko 

terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya 

perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi. Rumah Sakit/Klinik 

sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak saja memberikan pelayanan 

kuratif dan rehabilitatif namun  juga memberikan pelayanan preventif dan 

promotif ,

Alat Pelindung Diri merupakan salah satu bentuk usaha  dalam menanggulangi 

risiko akibat kerja. Dalam dunia kerja, pemakaian  Alat Pelindung diri sangat 

dibutuhkan terutama pada lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya bagi 

kesehatan dan keselamatan kerja , pemakaian  Alat 

Pelindung Diri (APD) merupakan salah satu usaha  memutus rantai penularan 

infeksi dari bagian kewaspadaan standart .  

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 66 tahun 2016 tentang kesehatan 

keselamatan kerja di Rumah Sakit, menyatakan bahwa Rumah Sakit 

merupakan tempat kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan dan 

kesehatan sumber daya kita  rumah sakit, pasien, pendamping pasien, 

pengunjung maupun lingkungan Rumah Sakit. Jika memperhatikan isi dari 

pasal ini  maka jelaslah bahwa Rumah Sakit termasuk dalam kriteria 

tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan 

dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di 

Rumah Sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung Rumah Sakit 

Pengurus diwajibkan menyediakan secara cuma-cuma, semua Alat 

Perlindungan Diri (APD) yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di 

bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki 

tempat kerja ini , disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan 

menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja 

Kepatuhan tenaga kerja dalam pemakaian  alat pelindung diri dapat 

mengurangi risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja, yaitu dengan patuh 

terhadap peraturan yang sudah  disepakati perusahaan dalam mengurangi risiko 

kecelakaan kerja. Ketidakpatuhan pemakaian  APD sangat memengaruhi 

kejadian kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja yang akan 

memicu  5 jenis kerugian di antaranya yaitu  kerusakan, kekacauan 

organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan dan cacat, kematian.  . Salah satu potensi bahaya di rumah sakit yaitu  terpapar penyakit yang 

dapat mengganggu kesehatan kerja, terutama bagi perawat, di mana perawat 

merupakan seorang yang memiliki  kemampuan khusus untuk memberikan 

pelayanan kesehatan dan bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit baik 

pasien maupun dirinya sendiri 


 

Untuk tenaga kesehatan yang melakukan tindakan pelayanan kesehatan 

berisiko tinggi seperti tindakan bedah atau tindakan lain yang memiliki risiko 

penularan tinggi harus memakai  APD yang sudah  memenuhi standar mutu 

dan keamanan 

 

5.2 Konsep Alat Pelindung Diri  

Alat pelindung diri yaitu  pakaian khusus atau peralatan yang dipakai petugas 

untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius. APD 

terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung mata 

(goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun pelindung/apron, 

sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot) 

Alat Pelindung Diri (APD) yaitu  seperangkat alat keselamatan yang 

dipakai  oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari 

kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap 

kecelakaan dan penyakit akibat kerja . Alat Pelindung Diri 

(APD) yaitu  perangkat alat yang dirancang sebagai penghalang terhadap 

penetrasi zat, partikel padat, cair, atau udara untuk melindungi pemakainya 

dari cedera atau penyebaran infeksi atau penyakit 

Tujuan Pemakaian APD yaitu  melindungi kulit dan membran mukosa dari 

risiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan 

selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya. Indikasi pemakaian  

APD yaitu  jika melakukan tindakan yang memungkinkan tubuh atau 

membran mukosa terkena atau terpercik darah atau cairan tubuh atau 

kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas (Estri et al., 2019). 

Tujuan alat pelindung diri yaitu  untuk menghalangi pajanan bahan infeksius 

pada kulit, mulut,  hidung atau mata (selaput lender) tenaga kesehatan, pasien  

atau pemakaian  kesehatan (Kemkes, 2020). pemakaian  APD yang efektif 

perlu didasarkan  pada potensi paparan, dampak penularan yang ditimbulkan 

serta memahami dasar kerja setiap jens APD  yang dipakai  

Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan. Tidak 

dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan sambil 

menulis dan menyentuh permukaan lingkungan . 

 


5.3 Jenis – Jenis Alat Pelindung Diri  

5.3.1 Gloves/Sarung tangan → proteksi tangan   

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi tangan dari kontak dengan darah, 

semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh, 

selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi

2. Jenis sarung tangan  : ada  tiga jenis sarung tangan, yaitu:  

a. Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan 

tindakan invasif atau pembedahan. 

b. Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindungi 

petugas pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan 

pemeriksaan atau pekerjaan rutin 

c. Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses 

peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu 

membersihkan permukaan yang terkontaminasi 

3. Bahan dasar : Vinyl, Latex atau Nitrile 

Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks sebab  elastis, 

sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan. Bagi 

mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik yang 

menyerupai lateks, disebut „nitril‟. Sedangkan sarung tangan rumah tangga 

terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan sensitif, namun  memberikan 

perlindungan maksimum sebagai pelindung pembatas. ada  sediaan dari 

bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu „vinil‟ namun  sayangnya tidak 

elastis, ketat dipakai dan mudah robek 

4. Indikasi Pemakaian Sarung Tangan : 

1) Sarung tangan steril 

Jika melakukan tindakan steril yang kontak dengan darah atau cairan tubuh 

pasien 

a. Tindakan operasi 

b. Tindakan invasiv 


 

c. Rawat luka 

d. Mencampur obat intra vena multidose di farmasi 

2) Sarung tangan rumah tangga 

Jika melakukkan tindakan yang terkait dengan bahan kimia dan permukaan 

lingkungan atau peralatan kesehatan yang terkontaminasi 

a. Pembersihan rutin permukaan lingkungan 

b. Menangani peralatan atau permukaan lingkungan yang 

terkontaminasi 

c. Menangani limbah 

d. Membersihkan cipratan darah atau cairan tubuh 

e. memakai  chemical 

f. Membersihkan instrument 

5. Hal-hal yang harus diperhatikan :  

a. Lakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah memakai 

sarung tangan 

b. pakai  sarung tangan berbeda untuk setiap pasien 

c. Pahami tehnik memakai dan melepas sarung tangan 

d. Sarung tangan tidak boleh reuseable (kecuali sarung tangan 

rumah tangga 

e. Ganti sarung tangan bila tampak rusak/bocor 

f. Segera lepas sarung tangan jika sudah  selesai dipakai  

g. Buang sarung tangan sesudah  dipakai  ke tempat pembuangan 

sampah sesuai prosedur 

h. Pilih jenis sarung tangan sesuai tindakan 

 

5.3.2 Face Protection/Masker → proteksi wajah, mulut, 

hidung  

1. Tujuan pemakaian  : untuk melindungi wajah dan membrane mukosa 

mulut dan hidung dari cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien 

atau permukan lingkungan yang kotor dan melindungi pasien dari 

petugas pada saat batuk atau bersin 

2. Jenis masker  : ada  tiga jenis masker, yaitu: 

a. Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan 

melalui droplet  

b. Masker  Respiratorik, untuk mencegah penularan melalui 

airborne  

c. Masker rumah tangga dipakai  dibagian gizi atau dapur 

3. Indikasi Pemakaian Masker : Tindakan yang memungkinkan mata 

dan wajah terciprat darah atau cairan tubuh pasien 

 

Indikasi masker bedah  

a. Pemakian sehari-hari di pelayanan kesehatan  

b. Tindakan non aerosol 

c. Indikasi masker Repirator : N 95  

d. Tindakan intubasi 

e. Pengambilan swab 

f. Pertolongan persalinan dll

 


 

4. Cara memakai  Masker :   

a. Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika 

memakai  kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang 

kepala jika memakai  tali lepas). 

b. Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher 

c. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung 

dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk 

d. Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah 

dagu dengan baik 

e. Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung 

dengan kedua ujung jari tengah atau telunjuk 

f. Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker sudah  melekat 

dengan benar 

5.3.3 Head coverings/Pelindung Kepala → proteksi Kepala 

1. Tujuan pemakaian  : mencegah jatuhnya rambut atau kotoran di 

rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-alat daerah steril dan 

juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari 

percikan darah, cairan tubuh , sekresi dan ekskresi

 

2. Prinsipnya : semua rambut masuk kedalam topi 

3. Bahan : single use, reuse → mudah di bersihkan dengan air & 

deterjen/desinfektan 

4. Indikasi antara lain: 

a. Tindakan Operasi 

b. Pemasangan kateter vena sentral 

c. Pertolongan persalinan 

d. Petugas di bagian dapur, dll 

76 

5.3.4 Googles/Kaca mata → proteksi mata 

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi mata dan area di sekitar mata 

pengguna atau tenaga medis dari percikan cairan atau darah atau 

droplet 

2. 2. Bahan dasar :   Plastik/Arcylic bening 

3. Indikasi antara lain : Pada saat tindakan operasi, pertolongan 

persalinan dan tindakan persalinan tindakan perawatan gigi dan 

mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah, penanganan 

linen terkontaminasidi laundry, di ruang dekontaminasi CSSD 

4. Hal-hal yang harus diperhatikan : 

a. Goggle tahan terhadap air dan goresan 

b. Frame goggle bersifat fleksibel untuk menyesuaikan dengan 

kontur wajah tanpa tekanan yang berlebihan 

c. Ikatan goggle dapat disesuaikan dengan kuat sehingga tidak 

longgar saat melakukan aktivitas klinis 

d. Tersedia celah angin/ udara yang berfungsi untuk mengurangi 

uap air. 

e. Goggle tidak diperbolehkan untuk diperpakai  kembali jika ada 

bagian yang rusak 

 

 

Bab 5 pemakaian  Alat Pelindung Diri (APD) 77 

 

5.3.5 Gown/Aprons/Gaun Pelindung → proteksi kulit dan 

atau pakaian 

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan 

dari penyebaran infeksi atau penyakit, hanya melindungi bagian 

depan, lengan dan setengah kaki (Gortap, 2021).  tujuan pemakaian  Gown/apron untuk melindungi baju 

petugas dari kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan 

tubuh, sekresi, eksresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian 

petugas pada tindakan steril. 

 

2. Jenis-jenis gaun pelindung:  

a. Gaun pelindung tidak kedap air 

b. Gaun pelindung kedap air 

c. Gaun steril 

d. Gaun non steril 

3. Bahan :  

a. Kain : dapat dipakai  kembali (reuseable)  

b. Plastik : sekali pakai 

c. Kertas : sekali pakai 

Bahan : Non woven, Serat Sintetik (Polypropilen, polyester, polyetilen, dupont 

tyvex) 

4. Indikasi pemakaian  gaun pelindung :  

a. Membersihkan luka 

b. Tindakan drainase 

78 

c. Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan 

atau WC/toilet 

d. Menangani pasien perdarahan masif  

e. Tindakan bedah 

f. Perawatan gigi 

g. Tindakan penanganan alat yang memungkinkan pencemaran / 

kontaminasi lengan dan pakaian petugas 

5. Hal-hal yang harus diperhatikan : 

a. Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga 

bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang 

punggung. Ikat di bagian belakang leher dan pinggang. 

b. Berwarna terang/ cerah agar jika ada  kontaminan dapat 

terdeteksi/ terlihat dengan mudah. 

c. Tahan terhadap penetrasi cairan, darah, virus 

d. Tahan terhadap aerosol, airborne, partikel padat 

e. Panjang gaun setengah betis untuk menutupi bagian atas sepatu 

boots 

f. Apron lurus dengan kain penutup dada 

g. Berat minimal: 300g/m2 

5.3.6 Sepatu/Boot → proteksi kaki 

1. Tujuan pemakaian  : Melindungi kaki pengguna/tenaga kesehatan 

dari percikan cairan atau darah. Menurut (Kemkes, 2020) melindung 

kaki petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya 

dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan 

alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar berfungsi optimal.  

 

 

2. Bahan : karet atau bahan tahan air atau bisa dilapisi dengan kain 

tahan air. Menurut (Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat 

Kesehatan, 2020) bahan sepatu/boot terbuat dari Latex dan PVC. 

3. Indikasi pemakaian sepatu pelindung : 

a. Penanganan pemulasaraan jenazah o Penanganan limbah 

b. Tindakan operasi 

c. Pertolongan dan Tindakan persalinan 

d. Penanganan linen 

e. Pencucian peralatan di ruang gizi 

f. Ruang dekontaminasi CSSD (Kemkes, 2020) 

4. Hal-hal yang harus diperhatikan : 

a. Bersifat non-slip, dengan sol PVC yang tertutup sempurna 

b. Memiliki tinggi selutut susaha  lebih tinggi daripada bagian 

bawah gaun 

c. Berwarna terang agar kontaminasi dapat terdeteksi dengan 

mudah 

d. Sepatu boot tidak boleh diperpakai  kembali jika ada bagian 

yang rusak 

e. Disarankan tahan air 

5.4 Prinsip pemakaian  Alat Pelindung 

Diri (APD) 

1. APD dipakai  sesuai dengan risiko paparan : petugas kesehatan 

harus menilai apakah mereka benar atau tidak berisiko terkena darah, 

cairan tubuh, eksresi atau sekresi agar dapat memakai  alat 

pelindung diri sesuai  yang sesuai dengan risiko.  

2. Semua APD yang akan dipakai  harus memenuhi standart 

keamanan, perlindungan dan keselamatan pasien/petugas sesuai 

ketentuan peraturan perundang-undangan. 

80 

3. Hindari kontak antara APD yang terkontaminasi (bekas) dan 

permukaan pakaian atau lingkungan pelayanan kesehatan, buang 

APD bekas pakai yang sesuai tempat limbah dan standart yang 

ditetapkan  

4. Tidak dibenarkan berbagai APD yang sama antara dua petugas/ 

individu 

5. Lepaskan APD secara keseluruhan jika tidak dipakai  lagi 

6. Lakukan kebersihan tangan setiap kali melepas satu jenis APD, 

ketika meninggalkan pasien untuk merawat pasien lain atau akan 

melakukan prosedur yang lain 

7. Cara memakai  

8. Cara melepaskan 

9. Cara mengumpulkan  

 

 


Rumah sakit sebagai institusi penyedia jasa pelayanan kesehatan perseorangan 

(pelayanan curatif), memiliki berbagai instalasi dan unit penunjang dalam 

kegiatannya melayani pasien. Rumah sakit dalam melakukan aktivitasnya juga 

menghasilkan limbah sebagai hasil samping kegiatan. Limbah yang dihasilkan 

oleh rumah sakit berdasarkan wujudnya terdiri dari limbah padat, cair dan gas. 

Limbah rumah rumah sakit terdiri dari limbah bahan berbahaya dan beracun 

(limbah B3) yang disebut limbah medis, dan limbah yang bukan berbahaya 

dan beracun (limbah non B3) disebut limbah domestik.  

Limbah rumah sakit harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan 

pencemaran di dalam rumah sakit maupun di lingkungan sekitar. Dampak 

pencemaran limbah rumah sakit ialah timbulnya berbagai penyakit pada 

kita  , dan terjadinya kerusakan lingkungan. usaha  pencegahan terhadap 

terjadinya pencemaran limbah rumah sakit yaitu  dengan melakukan 

pengelolaan terhadap limbah menurut kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.  

Pengelolaan limbah rumah sakit mengikuti prinsip-prinsip paradigma 

pengelolaan limbah yaitu minimasi limbah serta penanganan limbah yang 

meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan serta pengolahan 

(pemusnahan) hingga limbah dikembalikan ke lingkungan secara aman.  

 

6.2 Limbah Cair Rumah Sakit 

Rumah sakit menyediakan pelayanan kesehatan perseorangan yaitu bersifat 

kuratif antara lain rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah sakit 

menghasilkan limbah dengan karakteristik yang lebih beragam dibanding 

institusi lainnya. Limbah rumah sakit ialah keseluruhan limbah yang 

dihasilkan dari aktivitas rumah sakit dan kegiatan penunjang baik berwujud 

padat, cair maupun gas. Limbah rumah sakit berdasarkan sifatnya digolongkan 

menjadi limbah medis (limbah B3) dan limbah non medis (limbah domestik).  

Limbah medis didefinisikan oleh

 “Limbah medis yaitu  yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, 

gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, 

penelitian atau pendidikan yang memakai  bahan-bahan beracun 

dan infeksius berbahaya atau bisa membahayakan, kecuali jika 

mendapat perlakukan khusus tertentu.”  

Limbah cair rumah sakit ialah seluruh materi buangan berwujud cair yang 

bersumber dari rumah sakit yang mungkin mengandung mikroorganisme 

pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas 

Air limbah rumah sakit bersumber dari instalasi pelayanan medis, yang 

mencakup rawat Inap, rawat jalan, rawat Intensif, rawat darurat, haemodialisa, 

kamar jenazah dan bedah sentral. Selain dari instalasit pelayanan medis, air 

limbah juga berasal dari instalasi penunjang medis yang mencakup dapur 

pusat, laundry, laboratorium klinik, laboratorium patologi anatomi dan 

radiologi. Sementara dari bagian penunjang non medis di antaranya bagian 

administrasi dan perkantoran, asrama pegawai, rumah dinas serta kafetaria 

(Departemen Kesehatan RI, 2009). Persentase paling tinggi dari limbah cair 

rumah sakit ialah limbah cair domestik, yang berasal dari buangan dapur, 

buangan kamar mandi dan air bekas laundry.  

Air limbah domestik dan limbah klinis mengandung bahan pencemar organik 

yang tinggi sehingga harus diolah secara biologis. Namun air limbah dari 


 

laboratorium yang kandungannya terdiri dari banyak logam berat tidak cocok 

dialirkan ke unit pengolahan biologis sebab  akan mengganggu proses kerja 

pengolahannya sehingga limbah ini  harus diolah secara fisika terlebih 

dahulu sebelum dialirkan ke IPAL (Kementerian Kesehatan RI, 2011).  

Air limbah harus dikelola dengan baik agar parameter nya dapat memenuhi 

syarat nilai baku mutu limbah cair sehingga effluent aman untuk dibuang ke 

lingkungan. Batas maksimum limbah cair dari suatu aktivitas rumah sakit yang 

diperbolehkan dibuang ke lingkungan disebut dengan baku mutu air llimbah 


Fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib melakukan pengolahan 

terhadap limbah yang dihasilkan, limbah medis (B3) dan Non B3 /domestik 

hingga memenuhi syarat baku mutu seperti disajikan dalam tabel 6.1 berikut.  

Tabel 6.1: Baku Mutu Limbah Domestik Fasilitas Pelayanan Kesehatan 

Parameter Konsentrasi Paling Tinggi 

 Nilai Satuan  

Fisika   

Suhu 38 00C 

Zat padat terlarut 2000 mg/L 

Zat padat tersuspensi 200 mg/L 

Kimia    

pH 6-9  

BOD 50 mg/L 

COD 80 mg/L 

TSS 30 mg/L 

Minyak dan lemak MBAS 10 mg/L 

Amonia Nitrogen 10 mg/L 

Total Coliform 5000 (MPN/100 mL) 

Bagi usaha/kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pengolahan 

limbah B3, baku mutu dipersyaratkan sebagai berikut 

Tabel 6.2: Baku Mutu Air limbah bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang 

melakukan pengolahan limbah B3 

Parameter Konsentrasi Paling Tinggi 

 Nilai Satuan  

Kimia   

pH 6-9  

Besi terlarut (Fe) 5 mg/L 

Mangan terlarut (Mn) 2 mg/L 

Barium, (Ba) 2 mg/L 

Tembaga, (Cu) 2 mg/L 

Seng, (Zn) 5 mg/L 

Krom valensi 6, (Cr6+) 0,1 mg/L 

Crom total (Cr) 0,5 mg/L 

Cadmium, (Cd) 0,05 mg/L 

Merkuri (Hg) 0,002 mg/L 

Timbal, (Pb) 0,1 mg/L 

Stanum, (Sn) 2 mg/L 


6.2.1 Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit 

Pengolahan limbah cair rumah sakit dilakukan dengan tujuan menghilangkan 

bahan pencemar atau kontaminan dalam air limbah hingga hasil olahannya 

aman untuk dipakai  kembali dan efluent yang dibuang ke lingkungan, yakni 

ke dlam tanah atau ke dalam air permukaan atau badan air tidak menimbulkan 

gangguan.Pengolahan limbah cair rumah sakit dilakukan dengan tahapan fisik 

dan kimia. Tahapan fisik yaitu  pemisahan cairan dengan padatan melalui 

pengendapan dan penyaringan. Tahapan kimia ialah pengikatan unsur-unsur 

yang tidak dikehendaki yang tidak terpisahkan lewat tahap fisik melalui 

penambahan koagulan.  

1. Pengolahan Pendahuluan (Pre Treatment) 

Sebelum air limbah masuk ke pengolahan primer dilakukan terlebih dahulu 

pre-treatment untuk meringankan kerja proses selanjutnya dalam satu 

rangkaian pengolahan limbah cair yaitu susaha  materi-materi kasar tidak 

memasuki IPAL. Selain itu lemak dan minyak yang ada dalam suatu limbah 

cair dapat dipisahkan lewat pre treatment, serta konsentrasi limbah cair yang 


 

akan diolah dapat diratakan. Pengolahan tahap ini memakai  prinsip gaya 

gravitasi, perbedaan berat jenis, pencampuran mekanis, dan sebagainya.  

Unit-unit pengolahan pre treatment terdiri dari 

a. Bar rack/bar screen merupajkan unit ini berfungsi dalam memisahkan 

padatan-padatan yag terbawa oleh air limbah seperti plastik, kayu, 

dan sebagainya yang termasuk sampah-sampah berukuran besar 

untuk tidak mengganggu proses pengolahan lanjut dari air limbah. 

bar rack atau bar screen berupa susunan besi yang dipasang pada 

saluran inlet limbah. 

b. Grit Chamber merupakan unit bangunan terbuat dari beton ini 

berfungsi sebagai pemisah pada air limbah yang mengandung materi 

pasir diskrit secara gravitasi. 

c. Comminutors berupa unit mekanis yang desain untuk melakukan 

pemarutan materi padatan yang masih lolos dari bar rack atau bar 

screen. Unit ini biasanya dibuat jika air limbah mengandung banyak 

padatan berukuran besar seperti sampah. 

d. Fine Screen berupa unit bangunan ini dipasang jika limbah banyak 

mengandung padatan halus atau materi tersuspensi, dengan tujuan 

mencegah terganggunya sistem mekanik/pompa sebab  kerusakan 

pompa dapat terjadi jika materi padatan terangkut dalam sumur 

pompa. 

e. Bak equalisasi merupakan unit yang berguna untuk menampung air 

limbah dari keseluruhan sumber sebelum dipompakan ke unit 

pengolahan lanjut, untuk memberikan kesempatan akumulasi limbah 

dari berbagai sumber. 

2. Pengolahan Primer 

Pengolahan primer yaitu  tahap pertama proses pengolahan limbah cair yang 

bertujuan mengurangi partikel padat di dalam limbah cair. Unit pengolahan 

dibedakan menjadi unit pengendapan dan unit sedimentasi. Prinsip pengolahan 

primer yaitu  pengendapan pada keadaan yang sangat tenang dan 

pembubuhan bahan kimia dalam menetralkan limbah. Unit pengolahan tahap 

pertama yaitu  sebagai berikut 

a. Netralisasi merupakan proses di mana beberapa sifat air limbah yang 

memiliki sifat antagonis digabungkan. Disamping itu unit ini dapat 

pula diterapkan jika ada salah satu limbah yang bersifat ekstrim, 

misalnya air limbah yang terlalu asam atau terlalu basa. Jenis limbah 

yang dihasilkan menentukan jenis bahan yang ditambahkan, apakah 

bahan asam atau basa. Proses ini membantu proses selanjutnya 

khususnya pengolahan secara biologis yang membutuhkan kondisi 

netral. 

b. Penambahan bahan kimia untuk membantu efektivitas proses flotasi 

maupun proses sedimentasi. Pembubuhan bahan kimia (koagulan) 

akan mempercepat proses sedimentasi.  

c. Flotasi (pengapungan) yaitu  mengapungkan limbah dan bahan 

melayang seperti lemak, minyak, dan bahan lainnya, agar air limbah 

dan bahan ini  dapat dipisahkan. Teknologi yang dipakai  ialah 

pengaliran dengan cara Up-Flow, sehingga bahan dapat dipisahkan 

memakai  scrabber. Kemudian materi yang berhasil dipisahkan 

akan diteruskan ke tahapan pengolahan yang lebih lanjut. 

d. Sedimentasi yaitu  proses pada tahap mengendapkan partikel yang 

dapat mengendap secara gravitasi atau melalui penambahan bahan 

koagulan. Tujuan sedimentasi ialah untuk memisah antara partikel 

diskrit dan partikel yang tersuspensi. Proses ini dirancang 

memakai  pola pengendapan konvensional atau melalui 

modifikasi teknologi plate settler atau Tube Setller. 

e. Filtrasi merupakan unit bangunan yang berfungsi mengendapkan 

limbah yang tidak dapat mengendap pada saat proses sedimentasi, 

dan melalui filtrasi ini, flokulan-flokulan dapat dipisahkan. Pada 

proses filtrasi pengolahan secara fisik, pemisahan berlangsung 

dengan porositas media filter serta daya tarik dinding dan adsorbsi 

dari media. Mekanisme kimia berlangsung sebab  ada  reaksi 

kimia antara materi yang akan dipisahkan dengan oksigen pada 

media filter. Sementara mekanisme biologi terjadi sebab  keberadaan 

mikroorganisme aerob dan anaerob dalam filter. 

 


 

3. Pengolahan Kimia 

Pengolahan secara kimia meliputi koagulasi dengan penambahan koagulan, 

flokulasi dengan penambahan flokulan, desinfeksi dengan pembubuhan 

desinfektan. Unit-unit proses pengolahan kimia meliputi :  

a. Unit koagulasi merupakan unit pencampuran bahan kimia dengan 

limbah cair hingga merata kemudian flok inti akan terbentuk melalui 

proses penumbukan cepat. Bangunana atau unit ini ditempatkan 

sebelum unit proses biologi.  

b. Unit flokulasi yaitu unit untuk memberikan kesempatan bagi flok inti 

membesar dengan cara pengadukan lambat, dan ditempatkan sebelum 

unit desinfeksi.  

c. Unit desinfeksi ialah unit yang dirancang dengan tujuan membunuh 

bakteri atau mengurangi keberadaan mikroorganisme patogen di 

dalam suatu air limbah. Penempatan unit ini yaitu  di bagian akhir 

pengolahan limbah.  

 

6.3 Limbah Padat Rumah Sakit 

Limbah padat rumah sakit ialah keseluruhan limbah yang timbul dari aktivitas 

rumah sakit berwujud padat berupa limbah rnedis padat serta non medis padat. 

Limbah medis padat ialah limbah dengan wujud padat yang meliputi limbah 

infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah 

sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, 

serta limbah yang mengandung logam berat tinggi. Limbah padat non medis 

didefenisikan sebagai limbah berwujud padat sebagai hasil aktivitas bukan 

medis melainkan berasal dari aktivitas dapur, kantor, taman dan halaman yang 

memungkinkan bisa dirnanfaatkan lagi (daur ulang) jika teknologinya tersedia 

Limbah medis padat rumah sakit termasuk 

dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3).  

 


Defenisi Limbah B3 yaitu  

“Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 yaitu  

zat, energi, dan/atau komponen lain yang sebab  sifat, konsentrasi, 

dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, 

dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau 

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan 

hidup kita  dan makhluk hidup lain” 

Limbah B3 di rumah sakit memiliki karakteristik yang meliputi : 

1. Mudah meledak contohnya kaleng pengharum ruangan, kaleng anti 

nyamuk, tabung gas bertekanan, lampu TL.  

2. Mudah menyala, contohnya oli bekas, filter oli bekas dan kain majun.  

3. Reaktif, contohnya bahan-bahan kimia laboratorium 

4. Infeksius, contohnya sisa-sisa jaringan tubuh, sampah medis, limbah 

pasien covid-19, sludge IPAL 

5. Korosif, contohnya cairan fixer, cairan developer, film rontgent, 

bahan kimia laboratorium 

6. Beracun, contohnya obat-obat kadaluarsa, obat-obat sitotoksis, botol 

sisa desinfektan, aki dan baterai bekas, termometer/tensimeter bekas 

yang mengandung merkuri.  

6.3.1 Pengelolaan Limbah Medis Padat Rumah Sakit 

Pengelolaan Limbah B3 merupakan kegiatan yang mencakup pengurangan 

(minimasi), penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, 

pengolahan, dan/atau penimbunan. 

Pengelolaan limbah B3 pada dasarnya memprioritaskan usaha  minimasi 

melalui hierarki sebagai berikut:  

1. Mengganti bahan yang dapat mereduksi banyaknya B3 dari sisa 

produksi 

2. Recycle (daur ulang) bagi bahan-bahan yang dapat diproses kembali  

3. Menurunkan efek toksik (Detoxify) dan netraliasi cairan berbahaya 

4. Pengurangan Limbah (Reduce) 

5. Pembakaran sempurna limbah B3, dengan kontrol polusi udara  

6. Stabilisasi/Solidify sludge dan debu 

7. Disposal (Penanaman limbah B3),dengan ketentuan yang harus 

dipatuhi 

Sementara penanganan limbah medis padat rumah sakit terdiri dari 

langkah/tahapan sebagai berikut:  

1. Pemilahan 

Limbah medis harus dipilah sebelum dikumpulkan ke tempat penyimpanan 

sementara. Pemilahan dilakukan di tempat di mana limbah dihasilkan atau di 

sumber limbah, misalnya di laboratorium, di ruang rawat jalan, ruang rawat 

inap, dan seterusnya. Perlu diperhatikan bahwa limbah yang akan didaur ulang 

harus dipisah dengan limbah yang tidak didaur ulang 

Pemilahan limbah medis dilakukan berdasarkan karakteristiknya diuraikan 

dalam tabel 6.3 : 

Tabel 6.3: Pemilahan limbah medis di rumah sakit 

Benda Tajam Keras Benda lunak Botol infus/Derigen HD 

Jarum suntik 

Jarum infus 

Pecahan kaca 

Botol obat kaca 

Botol ampul kaca 

Botol infus kaca 

Botol reagen kaca 

Kain kasa dan perban 

Gips/kayu 

Kain majun 

Hand scun 

Masker 

Selang kateter 

Jaringan tubuh 

Alat/bahan yang 

terkontaminasi cairan 

Botol infus 

Derigen HD 

Bekas kemasan B3 laundry 

 

Limbah medis benda tajam keras dan limbah medis benda lunak diangkut ke 

TPS limbah B3, selanjutnya akan diangkut oleh pihak ketiga 

(transportir/pemusnah LB3). Sementara limbah botol infus dan derigen HD 

yang bukan bekas kemasan kemotherapi dan cairan tubuh dan darah diangkut 

ke bank sampah.  

Semenjak adanya pandemi Covid-19, rumah sakit sebagai pemberi pelayanan 

kesehatan perorangan bagi pasien Covid-19 tentu harus mengelola juga limbah 

medis khusus pasien Covid-19. Pemerintah sudah  mengeluarkan beberapa 

peraturan tentang pengelolaan limbah medis Covid-19 yakni :  

1. Kepmenkes RI.No.HK.0.1.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol 

kesehatan bagi warga  di tempat dan fasilitas umum dalam 

rangka pencegahan corona virus disease 2019.  

2. Kepmenkes RI.No.537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah 

Medis FASYANKES dan Limbah dari Kegiatan Isolasi Mandiri di 

warga  dalam rangka Penanganan Covid – 19. 

3. SE Menteri LHK No. 2/PSLB3/3/2020 Tentang Pengelolaan Limbah 

Infeksius (B3) dan sampah rumah tangga dari Penanganan Corona 

Virus Disease 19 (Covid – 19)  

4. SE Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK No. 

S.156/PSLB3/PKPLB3/PLB.2/3/2020 tentang Pengelolaan limbah 

B3 masa darurat Penanganan Covid-19. 

Proses pemilahan pada limbah medis Covid-19 dan vaksin Covid dilakukan 

sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2020) :  

Tabel 6.4: Pemilahan Limbah Covid dan Vaksin Covid 

Benda Tajam  Benda Lunak 

Jarum suntik 

Jarum infus 

Pisau bedah 

Pecahan kaca 

Botol obat kaca 

Botol ampul kaca 

Botol infus kaca 

Botol reagen kaca 

Kain kasa dan perban 

Kain majun 

Hand scun 

Masker 

Semua jenis sampah dalam ruang perawatan pasien Covid-

19 

Semua benda tajam limbah medis covid-19 dimasukkan ke safety box sebagai 

wadah, dan semua limbah medis padat benda lunak dimasukkan ke dalam 

kantong plastik berwarna kuning.  

Pewadahan limbah medis padat rumah sakit dilakukan dengan memenuhi 

syarat meliputi: wadah harus terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan 

karat, kedap air, serta bagian dalamnya memiliki permukaan yang halus. 

Tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah padat non-medis. harus 

tersedia di setiap sumber limbah. Kantong plastik harus diangkat setiap hari 

atau bahkan kurang dari sehari jika 2/3 bagian sudah terisi limbah. Sisa-sisa 

benda tajam ditampung memakai  wadah khusus (safefy box). Limbah 

medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan 

limbah harus segera dibersihkan memakai  larutan disinfektan jika akan 


 

diperpakai  kembali, sementara kantong plastik yang sudah dipakai dan 

kontak langsung dengan limbah tidak boleh diperpakai  kembali 


Tabel 6.5: Pewadahan dan Pelabelan Limbah Padat Rumah Sakit 

Jenis Limbah Warna Kemasan 

Limbah Infeksius :  

Limbah padat: pipa karet, kateter, set 

intravena,  

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah mikrobiologi dan patologis : limbah 

dari pembiakan di laboratorium, specimen 

jaringan tubuh 

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah linen kotor : kapas, plester, kain dan 

pembalut kotor 

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limah tajam: jarum, syringe, pisau, kaca 

specimen 

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah medis covid 19 : semua jenis limbah 

yang ada dalam ruang perawatan pasien covid-

Kuning Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, 

bahan kimia yang dipakai  dalamdesinfeksi 

dan sebagai insektisida  

Ungu Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah dengan kandungan logam berat yang 

tinggi seperti thermometer merkuri pecah dan 

tensimeter pecah 

Coklat Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah radioaktif Merah Kantong, box timbal dengan 

simbol radioaktif 

Limabah tabung gas : kaleng bekas 

pengharum ruangan 

- Kantong plastik 

Limbah farmasi : Obat-obatan kadaluarsa Coklat Kantong plastik 

kuat/kontainer 

Limbah sitotoksik : obat-obatan sitotoksik dan 

kemoterapi 

Ungu Kantong plastik 

kuat/kontainer 

 


2. Pengumpulan 

Pengumpulan limbah medis padat dilakukan sesudah  dilakukan pemilahan di 

sumber limbah. Pengumpulan limbah medis dari setiap sumber limbah di 

dalam rumah sakit memakai troli khusus yang tertutup. Limbah wajib dikemas 

pada tempat yang kuat. Penyimpanan limbah medis padat pada TPS yang 

berada di lingkungan rumah sakit harus sesuai dengan iklim tropis. 

Penyimpanan paling lama yaitu  48 jam waktu musim hujan dan 24 jam 

waktu musim kemarau 

3. Pengangkutan 

Tansportasi limbah medis sejak dari lingkungan rumah sakit hingga tempat 

pengolahan /pemusnahan, harus memakai  kenderaan khusus. Saat 

memasukkan limbah medis padat ke dalam kenderaan pengangkut, dipastikan 

terlebih dahulu bahwa limbah diletakkan di dalam kontainer/kemasan yang 

kuat dan tertutup, kantong limbah dalam kondisi aman dari jangkauan kita  

dan binatang. Petugas yang menagani transportasi limbah waib memakai alat 

pelindung diri sesuai standar, yaitu: helm/topi, masker, pelindung mata, 

pakaian panjang (coverall), sepatu boot/pelindung kaki, dan sarung tangan 

khusus (disposable gloves) 

4. Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir 

Pengolahan limbah medis padat harus dilakukan pengolahan sebelum dibuang 

ke lingkungan yang bertujuan agar aman ketika akan dikembalikan ke 

lingkungan sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Adapun limbah medis 

yang dilakukan pengolahan yaitu  sebagai berikut 

a. Limbah Infeksius dan Benda Tajam  

Pengolahan limbah sangat infeksius (biakan dari laboratorium) harus 

dilakukan secara khusus yaitu secara s terilisasi dengan pengolahan panas dan 

basah di autoclaf. Sementara limbah infeksius lainnya, dengan didesinfeksi 

saja sudah cukup. Pengolahan limbah benda tajam seharusnya dilakukan pada 

Instalasi Pengolah Limbah Padat (IPLP) jika tersedia. Pengolahan dapat pula 

dilakukan secara bersamaan dengan limbah padat infeksius lainnya. Selain 

diolah secara IPLP, tajam juga dapat dilakukan kapsulisasi. Residu insenerasi 

dan desinfeksi yang sudah aman dapat dibuang ke landfill. 

 

b. Limbah Farmasi  

Pengolahan limbah farmasi yang jumlahnya tidak besar, dapat memakai  

insenerator pirolitik, sanitary landfill, insenerasi, dan disalurkan ke sarana air 

limbah. Namun jika jumlahnya besar, maka faslitas khusus yang wajib 

dipakai  di antaranya rotary kiln, kapsulisasi di dalam durm logam, serta 

insenerasi. Perlu diperhatikan pihak penghasil limbah, jika limbah padat 

farmasi yang dihasilkan jumlahnya besar maka wajib untuk 

mengembalikannya kepada pihak distributor farmasi. Bilamana limbah padat 

farmasi berjumlah kecil atau sedikit, tidak wajib dikembalikan ke distributor 

namun  dimusnahkan memakai  insenerator dengan suhu > 10000 C.  

c. Limbah Sitotoksis 

Limbah sitotoksis merupakan limbah yang sangat berbahaya sehingga dalam 

pemusnahannya, harus dilakukan secara tepat. Pemusnahan secara landfill 

bukanlah cara yang direkomendasikan bahkan secara tegas tidak 

diperbolehkan. Membuang langsung ke saluran limbah umum juga hal yang 

sangat membahayakan sehingga cara ini pun tidak diperbolehkan. Cara 

pemusnahan yang tepat yaitu  dengan mengembalikannya kepada distributor, 

insenerasi pada temperatur tinggi 12000C, dan degradasi secara kimiawi. 

Obat-Obatan yang belum dipakai namun  kemasannya masih utuh sebab  sudah 

kadaluarsa, wajib dikembalikan kepada distributor jika di rumah sakit tidak 

tersedia IPLP, disertai dengan pemberian keterangan kadaluarsa.  

d. Limbah Bahan kimia 

Limbah bahan kimia dalam hal ini dibedakan menjadi limbah kimia biasa, di 

mana limbah ini tidak dapat diolah kembali (recycle) seperti limbah gula, 

limbah asam amino, dan limbah garam. Sebaiknya limbah jenis ini segera 

dialirkan ke saluran limbah umum dengan syarat harus memenuhi konsentrasi 

materi pencemar, di antaranya bahan melayang, suhu dan pH. Limbah bahan 

berbahaya pada keadaan konsentrasi kecil misalnya sisa bahan kimia dalam 

kemasan, dapat dimusnahkan secara insenerasi, kapsulisasi, boleh juga 

ditimbun (landfill). Lain halnya dengan limbah bahan berbahaya yang 

berjumlah besar, pemusnahannya ditentukan oleh sifat bahaya yang 

dikandung. Ada yang bisa dimusnahkan secara insenerasi namun ada juga 

yang tidak bisa diinsenerasi kecuali jika inseneratornya dilengkapi dengan alat 

pembersih gas. Cara pemusnahan lainnya yaitu  pihak rumah sakit dapat 

mengembalikan limbahnya ke pihak distributor agar diolah dengan cara yang 

lebih aman atau dikirim ke negara lain yang memiliki peralatan yang lebih 

tepat untuk memusnahkan limbahnya.  

e. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi  

Limbah medis dengan kandungan logam berat Merkuri atau Cadmium 

misalnya, tidak boleh diinsenerasi atau dilandfill sendiri oleh pihak rumah sakit 

sebab  sangat berbahaya baik bagi kita  di sekitar rumah sakit maupun bagi 

lingkungan. Penanganan terbaiknya ialah dengan mengirim ke negara yang 

memiliki fasilitas pemusnah. Kendalanya yaitu  tidak semua rumah sakit 

mampu mengirimkan limbahnya ke luar negeri, untuk itu ada cara yang lebih 

sederhana yaitu dengan kapsulisasi dilanjutkan dengan landfill. 

f. Kontainer bertekanan 

Penanganan terbaik bagi limbah kontainer bertekanan ialah daur ulang 

(recycle). Jika kontainer masih dalam keadaan utuh dapat diisi ulang kembali 

dengan gas kepada distributornya. Contoh daur ulang dalam hai ini yaitu  

tabung nitrogen oksida digabung dengan peralatan anestesi, tabung nitrogen 

oksida digabung dengan peralatan sterilisasi, serta tabung bertekanan untuk gas 

lainnya seperti Oksigen, Nitrogen, Karbondioksida, dan gas lainnya. Perlu 

diperhatikan bahwa pemusnahan dengan insenerasi tidak boleh dilakukan pada 

limbah kontainer bertekanan sebab  dapat meledak. 

 

 

 

Pengelolaan Gizi dalam 

Pengendalian Infeksi di Rumah 

Sakit 

 

 

 

Gizi dan Infeksi 

Gizi yaitu  aspek fundamental. Gizi yang baik diperlukan di setiap daur 

kehidupan. Terpenuhinya kebutuhan gizi dapat berdampak pada terwujudnya 

kesehatan, Sumber Daya kita  yang berkualitas, produktivitas, hingga 

kemajuan perekonomian suatu bangsa. World Bank melaporkan, terjadinya 

kasus malnutrisi (kurang gizi, defisiensi mikronutrien, dan kelebihan berat 

badan) merugikan ekonomi global. Besaran kerugian mencapai $3,5 triliun per 

tahun, atau $500 per individu (Shekar et al., 2017). Hal ini menciptakan 

hambatan besar bagi usaha  pemerintahan di berbagai negara di dunia untuk 

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan produktivitas warga nya.  

Gizi erat kaitannya dengannya banyak komponen, sistem dan proses yang 

terjadi di dalam tubuh kita, termasuk dengan kejadian infeksi. Gizi memiliki 

hubungan yang erat dengan infeksi. Malnutrisi yang terjadi dapat memicu 

infeksi melalui mekanisme penurunan daya tahan tubuh  Istilah malnutrisi diartikan sebagai masalah gizi, baik itu 

mencakup kekurangan gizi maupun kelebihan gizi. Masalah gizi kurang yang 

terjadi secara global, mulai dari kekurangan zat gizi makro misalnya stunting, 

hingga kekurangan zat gizi mikro, seperti vitamin A, yodium, seng, dan besi. 

Kelebihan zat gizi juga merupakan masalah global yang banyak terjadi saat ini. 

Meningkatnya kejadian Penyakit Tidak Menular (PTM) saat ini salah satunya 

disebabkan sebab  peningkatan kejadian obesitas (WHO, 2017). 

Malnutrisi memicu  kerentanan tubuh mengalami peyakit infeksi. 

Malnutrisi dapat mengubah respons imun, masuknya paparan patogen 

(Gambar 7.1) dan memicu  peningkatan kejadian infeksi hingga 

berdampak pada peningkatan mortalitas, terutama pada anak-anak ,Terpenuhinya kebutuhan gizi dengan baik akan membantu 

meningkatkan daya tahan tubuh sehingga terhindar dari penyakit infeksi. sudah  

banyak penelitian yang membuktikan adanya hubungan positif antara gizi 

dengan daya tahan tubuh. 

 

Gambar 71: Mekanisme Terjadinya Infeksi akibat Malnutrisi,

Interaksi kompleks antara infeksi dan malnutrisi menciptakan semacam siklus 

yang saling terkait. Mulai dari terjadinya penurunan aktivitas makrofag, 

penurunan respons inflamasi, hingga penurunan kemampuan tubuh untuk 

membuat antibodi spesifik (Gambar 7.2) 

Malnutrisi dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi, dan infeksi 

juga dapat berkontribusi pada malnutrisi. Tidak hanya penanganan medis yang 

tepat, asupan gizi yang baik terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya 

infeksi dan membantu tubuh kembali dapat membentuk antibodi spesifik 

Selain zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak, dan air, kebutuhan 

akan zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral juga harus dipenuhi. Zat 

fitokimia dari bahan pangan yang berperan sebagai antioksidan juga terbukti 

dapat meningkatkan daya tahan tubuh.  

 

7.2 Pelayanan Gizi di Rumah Sakit 

Pelayanan gizi menjadi kesatuan pelayanan di Rumah Sakit (RS). Filosofi 

Hippocrates menyatakan bahwa “let the food be the medicine and the medicine 

be the food”. Secara harfiah makanan tidak diartikan sebagai obat, namun 

kandungan energi dan zat gizi di dalam makanan berperan penting dalam 

usaha  penyembuhan suatu penyakit. Diketahui bahwa ada  interaksi antara 

obat-obatan dengan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi pasien. Pemberian 

gizi yang tepat terbukti dapat meningkatkan laju pemulihan pasien dari 

penyakit dan mengurangi jumlah hari rawat pasien di RS .

Pelayanan gizi merupakan suatu usaha  yang dilakukan dalam rangka 

memperbaiki, meningkatkan keadaan gizi dan dietetik baik untuk kelompok, 

individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan terencana untuk 

mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit 

Pelayanan gizi di RS yaitu  Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) yang 

dilakukan untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Masalah gizi pada 

pasien secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi proses 

penyembuhan. Cenderung terjadi peningkatan kasus penyakit yang terkait gizi 

(nutrition-related disease) pada semua kelompok rawan gizi, yaitu ibu hamil, 

bayi, anak, remaja, hingga lanjut usia (Lansia) yang memerlukan 

penatalaksanaan gizi secara khusus. Hal ini memicu  dibutuhkan 

pelayanan gizi yang bermutu untuk dapat mencapai dan mempertahankan 

status gizi optimal dan mempercepat penyembuhan pasien. Pelayanan gizi di 

RS meliputi penyelenggaraan asuhan makanan, penelitian, dan pengembangan 

gizi terapan. 


Proses pelayanan gizi untuk pasien rawat inap ditampilkan pada Gambar 

10.2.1. Pelayanan gizi untuk pasien rawat inap dimulai dengan melakukan 

skrining gizi. Skrining dilakukan untuk mengetahui risiko malnutrisi pada 

pasien. Pasien dengan risiko malnutrisi akan menjalani asuhan gizi. Pasien 

yang tidak berisiko malnutrisi akan dipantau untuk dilakukan skrining 

Kembali secara periodik. Proses asuhan gizi dikenal dengan ADIME, yaitu  

A: Asesmen gizi;  

D: Diagnosis gizi;  

I: Intervensi gizi;  

M: Monitoring; dan  

E: Evaluasi gizi.  

Pelayanan gizi pasien rawat jalan (Gambar 7.4) sedikit berbeda dengan asuhan 

gizi untuk pasien rawat inap.  

 

Gambar 7.4: Alur Pelayanan Pasien/Klien Rawat Jalan (PGRS, 2013) 

Asuhan gizi pasien/klien rawat jalan biasa disebut juga dengan layanan 

konseling gizi. Konseling gizi dilakukan dengan tujuan untuk membantu klien 

dalam usaha  merubah perilaku yang berkaitan dengan gizi sehingga 

meningkatkan status gizi dan kesehatan klien 

Konseling dilakukan oleh ahli gizi yang disebut juga dengan konselor. 

Konselor gizi yaitu  ahli gizi yang tersertifikasi, dapat membantu klien 

mengenali masalah, memahami pemicu  terjadinya masalah gizi dan 

membantu klien memecahkan masalahnya . Konseling gizi pada klien/pasien mengacu pada konsep PAGT 

dan juga menerapkan ADIME. 

 

 Pengelolaan Gizi dalam 

Pengendalian Infeksi di RS 

sudah  dibahas sebelumnya bahwa pelayanan gizi di RS meliputi 

penyelenggaraan asuhan makanan, penelitian, dan pengembangan gizi terapan. 

Penyelenggaraan asuhan makanan pasien merupakan salah satu usaha  

pengelolaan gizi. Pengelolaan gizi untuk pasien sangat penting untuk 

mendukung kesembuhan penyakit. Pengelolaan gizi pasien dilakukan dengan 

pemberian terapi gizi yang tepat dan kegiatan penyelenggaraan makanan/ food 

service yang terstandar. Penyelenggaraan makanan di RS khususnya ditujukan 

untuk pasien rawat inap, namun sesuai kebijakan manajemen RS dapat juga 

diberikan untuk karyawan, tenaga kesehatan lainnya di RS ini  hingga 

pengunjung RS. Penyelenggaraan makanan rumah sakit meliputi kegiatan 

perencanaan: menu; kebutuhan bahan makanan; anggaran, penerimaan dan 

penyimpanan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, distribusi 

makanan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Seluruh kegiatan harus 

dilakukan sesuai Standar Operasional Baku (SOP) yang sudah  ditetapkan oleh 

manajemen RS  

Sebelumnya juga sudah dibahas bahwa ada  kaitan yang erat antara infeksi 

dengan penyakit atau masalah gizi, termasuk pada pasien RS. Oleh sebab  itu 

diperlukan SOP yang jelas untuk pengendalian infeks di RS. Pelaksanaan 

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, 

termasuk RS dilakukan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, 

pengunjung yang dilayani dan warga  di sekitar lingkungan RS dengan 

cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui SOP yang tepat 


 

ada  beberapa aspek yang harus diperhatikan terkait pengelolaan gizi 

dalam pengendalian infeksi di RS meliputi, yaitu: Personil; Fasilitas sanitasi; 

Peralatan makan; Kegiatan pengolahan makanan; dan Penanganan Alat makan 

disposable infeksius. 


Personil  

Rumah sakit memiliki tanggung jawab memberikan yang bergizi dan makanan 

yang aman untuk pasien dan karyawan. Higiene dan sanitiasi harus 

diperhatikan sesuai dengan standar, termasuk untuk pengendalian infeksi. 

Pencegahan infeksi di bagian gizi sebagai bagian pelayanan makanan 

membutuhkan personel yang sehat, peralatan yang dirawat dengan baik, bahan 

makanan yang tidak terkontaminasi, dan kesadaran yang tinggi tentang higiene 

dan sanitasi yang layak. Adapun panduan pencegahan dan pengendalian 

infeksi untuk personil pelayanan makanan di instalasi gizi yaitu  sebagai 

berikut : 

1. Personil pelayanan makanan yang bekerja di bagian instalasi gizi RS 

harus menerapkan higiene perorangan, yaitu menjaga kebersihan 

tangan tangan dengan mencuci tangan memakai  sabun atau 

cairan antiseptik lainnya. Mencuci tangan dilakukan sebelum bekerja, 

sesudah  selesai memakai  toilet, sebelum dan sesudah makan, 

sesudah  kontak dengan peralatan yang tidak bersih, kontak dengan 

lingkungan kerja, pakaian kotor, kain lap, dan sesudah  menangani 

makanan mentah.  

Di area perawatan pasien, personil yang bertugas mendistribusikan makanan 

ke pasien dapat membersihkan tangan dengan cairan antiseptik berbasis 

alkohol yang tersedia di area rawat inap. Personel makanan tidak boleh 

membersihkan tangan mereka di wastafel yang dipakai  untuk menyiapkan 

makanan atau mencuci peralatan. 

2. Personil layanan gizi dan makanan yang bersentuhan langsung 

dengan makanan memakai  sarung tangan plastik atau karet 

sekali pakai. Sarung tangan harus dilepas sesudah  meninggalkan area 

kerja dan mencuci tangan. Saat kembali ke area kerja, personil 

Kembali mencuci tangan dan memakai  sarung tangan yang baru. 

Sarung tangan harus diganti dan dicuci dengan sabun dan air setiap 

kali menyentuh permukaan yang berpotensi kotor seperti permukaan 

kasir, lantai, tempat sampah, kotak kardus, dll. 

3. Personil layanan gizi dan makanan diharuskan untuk melaporkan 

kepada supervisor tentang informasi kesehatannya terutama terkait 

dengan penyakit yang menular melalui makanan. Dapat dilaporkan 

gejala termasuk: muntah, diare, sakit kuning, sakit tenggorokan 

dengan demam atau lesi berisi nanah seperti bisul, atau luka 

terinfeksi yang terbuka atau mengalir. Paparan virus yang dilaporkan 

antara lain Norovirus, Hepatitis A, Shigella spp., Cryptosporidium, 

dan Salmonella. Personel Layanan Gizi dan Makanan harus bebas 

dari penyakit menular seperti hepatitis A, kulit lesi, bisul, infeksi 

saluran pernafasan atau diare.  

4. Personil layanan gizi dan makanan memakai  Alat Pelindung Diti 

(APD) yang sesuai standar.  Alat Pelindung Diri (APD) dipakai  

untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh pekerja dari bahaya 

penyakit atau kecelakaan akibat kerja. APD disesuaikan dengan 

masing- masing jenis pekerjaan di unit instalasi gizi(Kemenkes RI, 

2020). 

a. Petugas gizi di ruang penerimaan, pengemasan makanan dan 

pendistribusian makanan: 

• Masker bedah 

• Sarung tangan/hand scoon 

• Topi 

• Apron/celemek 

b. Nutrisionis/dietisien di ruang perawatan yang melakukan asuhan 

gizi pada pasien dapat memakai : 

• Masker bedah 

• Sarung tangan/hand scoon 

• Topi 

• Gown  

5. Personil Layanan Gizi dan Makanan diberikan pelatihan secara 

berkala terkait higiene dan sanitasi serta pengetahuan tentang

penyakit menular yang dapat memicu terjadinya infeksi dari dan pada 

makanan. 

 Fasilitas Sanitasi 

usaha  pencegahan dan pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS 

membutuhkan fasilitas sanitasi yang memadai, di antaranya: 

1. Untuk mendukung perilaku hygiene personil, RS harus dilengkapi 

dengan wastafel cuci tangan yang memadai, lengkap dengan air 

mengalir yang bersih, sabun dan handuk sekali pakai atau kertas tisu.  

2. Toilet dilengkapi dengan jamban dan tidak boleh berdekatan dan 

langsung berhubungan dengan area pengolahan makanan. Toilet 

sebaiknya terpisah dengan toilet umum untuk pengunjung RS. 

3. Tersedia tempat sampah tertutup yang terpisah antara sampah basah 

(organik) dengan sampah kering (anorganik), termasuk sampah yang 

termasuk kategori infeksius.  

Peralatan  

ada  beberapa hal yang harus diperhatikan terkait peralatan yang 

dipakai  untuk kegiatan penyelenggaraan makanan sebagai usaha  

pencegahan dan pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS  yaitu: 

1. Talenan terpisah untuk makanan / daging mentah dan mentah 

diperlukan, dan diberi kode warna sesuai dengan makanan yang 

disiapkan. Makanan olahan tidak boleh dipotong di papan yang sama 

dengan makanan mentah makanan. Talenan yang dipakai  untuk 

menyiapkan makanan harus terbuat dari plastic dan mudah 

dibersihkan. 

2. Semua peralatan dan perkakas harus dirancang sedemikian rupa agar 

halus, mudah dibersihkan, dan tahan lama dan disimpan dalam 

kondisi baik.  Semua peralatan plastik, porselen, dan barang pecah 

belah yang sudah  kehilangan lapisan atau ada  bagian yang sudah 

terkelupas atau retak harus dibuang. 

3. Semua peralatan makan dan minum yang dapat dipakai  kembali 

harus dibersihkan dan disterilkan secara menyeluruh. 

4. Semua penggiling makanan, pemotong dan pengaduk harus 

dibersihkan, disterilkan, dikeringkan dan disimpan dengan baik. 

5. Wadah dan peralatan sekali pakai harus dibuang sesudah  dipakai . 

6. Mesin pencuci piring harus dikeringkan dan disiram sesudah  

dipakai . Mesin dipelihara dan dioperasikan sesuai dengan instruksi 

pabrik.  

7. Penumpukan dan penyimpanan piring dan alat-alat yang dicuci harus 

dilakukan oleh personel terpisah untuk mencegah kontaminasi ulang 

pada alat yang sudah dicuci. 

8. Meja pemanas makanan harus mempertahankan makanan panas pada 

suhu 140°F atau lebih dan tidak boleh mencemari makanan yang 

disimpan di dalamnya melalui percikan atau kondensasi.  

9. Lemari pendingin memiliki suhu di bawah 41°F dan tidak dipakai  

untuk mendinginkan makanan namun untuk menjaga makanan dingin 

tetap dingin. Lemari pendingin dibersihkan setiap hari. 

10. Pisau harus dibersihkan dan dikeringkan sebelum disimpan dalam 

lemari.  



 Kegiatan Pengolahan Makanan 

Pengolahan makanan juga harus diperhatikan dalam usaha  pencegahan dan 

pengendalian infeksi pada pengelolaan gizi di RS. Mulai dari pemilihan, 

penyimpanan, pengolahan, dan penyimpanan bahan makanan, hingga 

penyajian dan distribusi makanan. Beberapa hal yang dapat diperhatikan 

dalam proses pengolahan makanan untuk pencegahan dan pengendalian 

infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.1 

Tabel 7.1: usaha  Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada Pengolahan 

Makanan

Kegiatan Hal yang perlu diperhatikan 

Pemilihan bahan makanan 

- Memilih bahan makanan dalam keadaan baik, segar, dan 

tidak rusak. 

- Tidak berjamur. 

- Memperhatikan tanggal kadaluarsa pada produk 

kemasan dan kemasan tidak dalam keadaan rusak. 


 

Kegiatan Hal yang perlu diperhatikan 

Penyimpanan bahan 

makanan 

- Sistem First in First Out (FIFO) atau First Expired First 

Out (FEFO) 

- Memisahkan bahan makanan basah dan kering. 

- Menyimpan bahan makanan pada suhu yang tepat 

(Tabel 10.3.4.2) 

- Tempat penyimpanan memiliki ventilasi yang baik, 

tidak lembab, bebas bakteri, serangga, dan hewan 

pengerat. 

- Area peyimpanan tidak berdekatan dengan area 

pengolahan limbah dan bahan-bahan berbahaya. 

Pengolahan bahan 

makanan 

- Peralatan pengolahan terbuat dari bahan tara pangan 

(Food Grade) 

- Kebersihan alat pengolahan selalu dijaga 

- Pengaturan suhu dan waktu pengolahan yang tepat 

sehingga aman dan tidak merusak kandungan gizi bahan 

makanan yang diolah. 

- Bahan makanan dicuci dengan air bersih dan mengalir. 

- Memisahkan alat untuk makanan matang dan bahan 

mentah agar tidak terjadi kontaminasi silang dan 

memicu  keracunan makanan.  

Penyimpanan makanan 

- Disimpan di tempat tertutup 

- Tidak tercampur dengan bahan makanan mentah bila 

disimpan di lemari pendingin yang sama. 

- pakai  meja uap atau peralatan lain untuk menjaga 

suhu makanan tetap di atas 570C setiap saat. 

- Simpan makanan yang belum akan disajikan ke pasien 

pada suhu -50C s.d 10C. 

Distribusi, penyajian 

makanan, dan clear up 

- Didistribusikan memakai  troli makanan dengan 

pengaturan suhu yang tepat. 

- Saat clear up, personil layanan makanan dan gizi 

bertanggung jawab membersihkan meja dan 

memindahkan nampan sesudah  pasien selesai makan. 

- Membuang sisa makanan pasien. 

- Menjaga kebersihan tangan sebelum masuk dan sesudah  

meninggalkan setiap kamar pasien  


 Penanganan Alat Makan Disposible Infeksius 

Dilakukan penanganan khusus pada alat makan untuk pasien dengan penyakit 

infeksius. Hal ini dilakukan sebagai usaha  pencegahan dan pengendalian 

infeksi pada pengelolaan gizi di RS. Prosedur penanganan mengacu pada 

PMK Nomor 27 Tahun 2017 Kemenkes yang membahas tentang Pedoman 

di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 


Tabel 7.2: Suhu Penyimpanan Bahan Makanan (Kemenkes RI, 2011) 

Bahan Makanan Jangka Waktu pemakaian  < 3 hari ≤ 1 minggu >1 minggu 

Daging, udang, ikan, 

dan hasil olahannya 50 s.d 00C 100 s.d -50C > -100C 

Telur, susu, dan hasil 

olahannya 50 s.d 70C -50 s.d 00C > -50C 

Sayur, buah dan 

minuman 100C 100C 100C 

Pengambilan alat makan dilakukan tiga kali/hari sesudah  selesai makan 

makanan utama. Pengambilan dilakukan oleh Petugas Cleaning Service. 

Petugas Cleaning Service mendapatkan pelatihan sebelumnya untuk 

menangani bahan dan alat infeksius. Petugas harus memakai  APD saat 

masuk ke ruang rawat pasien untuk mencegah terjadinya penularan. Berikut 

Langkah-langkah penanganan alat makan disposable infeksius 

 

Gambar 7.5: Langkah-Langkah Penanganan Alat Makan Disposable 

Infeksius