Kesehatan jiwa merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kesehatan
secara umum serta merupakan dasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Kesehatan jiwa membuat perkembangan
fisik, intelektual dan emosional seseorang
berkembang optimal selaras dengan
perkembangan orang lain (UU No 36,
2009).
WHO (2009) memperkirakan 450 juta
orang di seluruh dunia mengalami
gangguan mental, sekitar 10% orang
dewasa mengalami gangguan jiwa dan
25% penduduk diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu dalan rentang hidupnya yan
biasanya terjadi pada dewasa muda antara
usia 18-21 tahun. Menurut National
institute of mental health, gangguan jiwa
mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan diperkirakan akan
berkembang menjadi 25% di tahun 2030.
Gangguan jiwa menyebabkan hilangnya
produktifitas, dan mudah kambuh
sehingga meningkatkan biaya perawatan.
Dampak gangguan jiwa menyebabkan
keluarga kehilangan banyak waktu untuk
merawat, mengalami beban emosional,
dan sosial akibat stigma dari masyarakat
(Hogan, 2008). Asmedi (2012),
mengungkapkan di Indonesia gangguan
jiwa menimbulkan kerugian ekonomi
mencapai Rp 20 triliun, akibat hilangnya
produktivitas, beban ekonomi dan biaya
perawatan kesehatan yang harus
ditanggung keluarga dan negara. Klien
gangguan jiwa tidak hanya membutuhkan
dukungan ekonomi saja tetapi juga
memerlukan sistem dukungan sosial yang
mencakup dukungan emosional,
informasional, instrumental dan
penilaian/penghargaan untuk menjalani
program pemulihan (recovery) dan
menghadapi stigma di masyarakat.
Skizofrenia adalah bentuk gangguan
jiwa yang sering dijumpai dan
multifaktorial, perkembangannya
dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan serta ditandai dengan gejala
positif, negatif dan defisit kognitif (Jones
et al, 2011). Peristiwa yang penuh stres,
akan mengaktifkan aksis hipotalamushipofisis-adrenal dan merangsang
pelepasan berbagai neurotransmitter otak,
terutama dopamine dan norepinefrine,
kejadian ini juga dianggap sebagai faktor
kunci terjadinya skizofrenia (Bobo et al,
2008).
Gejala positif meliputi waham,
halusinasi, gaduh gelisah, perilaku aneh,
sikap bermusuhan dan gangguan berpikir
formal. Gejala negatif meliputi sulit
memulai pembicaraan, afek tumpul atau
datar, kurangnya motivasi dan atensi,
pasif, apatis dan penarikan diri secara
sosial dan rasa tidak nyaman (Videbeck,
2008). Gejala defisit kognitif meliputi:
gangguan dalam attention, learning and
memory, dan gangguan dalam execution
function, kerusakan kognitif ini sering
diperburuk dengan kondisi insight yang
buruk (Stuart, 2013).
Klien skizofrenia mengalami gejala
positif, negatif dan defisit kognitif yang
mempengaruhi pelaksanaan kegiatan
harian dan penurunan fungsi sosial yang
bermakna.
Skizofrenia membawa dampak bagi
kehidupan individu, keluarga menghambat
pelaksanaan pekerjaan, mengganggu
masyarakat, dan merugikan negara.
Adanya individu dengan gangguan jiwa
(skizofrenia) meningkatkan cost dan
beban ekonomi tidak hanya bagi
keluarganya tetapi juga negara. Individu
dengan skizofrenia tidak hanya kehilangan
kesempatan untuk bekerja tetapi yang
sudah bekerja juga dapat kehilangan
pekerjaan.
Mosanya et al (2014)
mengungkapkan kondisi klien yang tidak
produktif, dan tidak berpenghasilan
menimbulkan stigma di masyarakat bahkan
keluarga dan mempengaruhi stigma diri
sehingga klien cenderung mengalami
harga diri rendah. Pendidikan rendah,
tidak bekerja dan tidak ada penghasilan
memberikan konstribusi menurunnya
harga diri dan mempengaruhi kualitas
hidup klien (Mosanya et al, 2014).
Berdasarkan latar belakang di atas
maka penulis tertarik untuk menganalisa
faktor-faktor penyebab gangguan jiwa di
Ruang Kresna (Ruang Akut) Wanita
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor.
Gangguan jiwa dapat terjadi pada
siapa saja, baik yang berusia muda,
dewasa maupun lansia. Gangguan jiwa
juga dapat terjadi pada orang yang tinggal
di perkotaan maupun di pedesaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
usia terbanyak yang mengalami gangguan
jiwa adalah usia dewasa. Usia dewasa
merupakan usia produktif dimana mereka
harus mampu secara mandiri menghidupi
dirinya sendiri. Usia ini juga usia dimana
seseorang telah berkeluarga, sehingga
masalah yang dihadapi juga semakin
banyak, bukan hanya masalahnya sendiri
namun harus memikirkan masalah
anggota keluarganya. Hal ini
memungkinkan orang dewasa mempunyai
masalah yang lebih kompleks dan berisiko
mengalami gangguan jiwa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
yang mengalami gangguan jiwa adalah
yang tidak bekerja. Tidak bekerja bisa
membuat orang kehilangan kesempatan
untuk mempunyai penghasilan. Tidak
bekerja juga bisa membuat orang
kehilangan kesempatan untuk
menunjukkan aktualisasi dirinya. Hal ini
yang dapat membuat orang tidak
melakukan suatu kegiatan, sehingga akan
sangat memungkinkan orang mengalami
harga diri rendah yang akan berdampak
pada gangguan jiwa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor predisposisi biologis terbanyak
adalah adanya gangguan jiwa sebelumnya.
Ketika seorang klien sudah pernah
mengalami gangguan jiwa sebelumnya,
walau klien telah dinyatakan sembuh dan
dapat kembali ke masyarakat, namun
stigma negatif yang ada di masyarakat
telah membuat klien ditolak atau tidak
diperlakukan baik di masyarakat.
Tipe kepribadian tertutup juga
merupakan penyebab terbanyak orang
mengalami gangguan jiwa. Orang dengan
tipe kepribadian tertutup akan cenderung
menyimpan segala permasalah sendiri,
sehingga masalah akan semakin
menumpuk. Hal ini yang akan membuat
klien bukannya menyelesaikan
permasalahannya, namun akan bingung
dengan permasalahannya dan dapat
membuat klien depresi.
Putus obat juga merupakan salah satu
faktor presipitasi gangguan jiwa. Klien
yang mengalami gangguan jiwa,
kebanyakan harus minum obat seumur
hidupnya. Hal ini yang menyebabkan
klien merasa bosan minum obat dan akan
menghentikan minum obat. Selain karena
merasa bosan, klien yang mempunyai
pengetahuan kurang juga akan
menghentikan minum obat karena merasa
sudah sembuh atau gejala tidak muncul.
Hal ini yang akan memicu kekambuhan
gangguan jiwa atau munculnya gangguan
jiwa kembali.
Pengalaman tidak menyenangkan
yang dialami klien misalnya adanya
aniaya seksual, aniaya fisik, dikucilkan
oleh masyarakat atau kejadian lain akan
memicu klien mengalami gangguan jiwa.
Klien yang mempunyai mekanisme
koping maladaptif akan membuat klien
mudah mengalami gangguan jiwa.
Selain itu konflik dengan teman atau
keluarga misalnya karena harta warisan
juga dapat membuat klien mengalami
gangguan jiwa. Konflik yang tidak
terselesaikan dengan teman atau keluarga
akan memicu klien mengalami stresor
yang berlebihan. Jika klien yang
mengalami stresor berlebihan namun
mekanisme kopingnya buruk, maka akan
membuat klien mengalami gangguan jiwa.
Kesehatan jiwa merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kesehatan
secara umum serta merupakan dasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan manusia.
penyebab gangguan jiwa terdiri dari faktor
penyebab predisposisi dan presipitasi.
Faktor ini ditinjau dari aspek biologis,
psikologis dan sosial.
Faktor predisposisi terbanyak pada
aspek biologis adalah klien pernah
mengalami gangguan jiwa sebelumnya,
pada aspek psikologis adalah tipe
kepribadian dan penyebab pada aspek
sosial adalah klien tidak bekerja,
sedangkan faktor presipitasi, penyebab
pada aspek biologis terbanyak adalah
putus obat, penyebab pada aspek
psikologis terbanyak adalah pengalaman
tidak menyenangkan dan penyebab pada
aspek sosial terbanyak adalah konflik
dengan keluarga atau teman.
Kesehatan merupakan hal yang begitu penting bagi
manusia.Ironisnya banyak sekali penyakit yang pada
akhirnya terlambat didiagnosa sehingga mencapai tahap
kronis yang membuatnya sulit untuk ditangani, belum
lagi kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh para dokter
atau tenaga medis yang mengakibatkan kesalahan
penanganan awal pada pasien. Padahal setiap penyakit
sebelum mencapai tahap kronis/stadium tinggi umumnya
menunjukkan gejala-gejala dini penyakit yang telah
diderita oleh pasien tetapi masih dalam tahap ringan.
Untuk penderita gangguan jiwa tahap awal bisa
diketahui dengan sakit kepala, gelisah, sering
berhalusinasi dan merasa tidak nyaman dengan keadaan
sekitar [1]. Perkembangan sistem informasi yang begitu pesat kini
telah merambah ke berbagai sektor termasuk kesehatan.
Meskipun dunia kesehatan (medis) merupakan bidang
yang bersifat information-intensive, akan tetapi adopsi
teknologi informasi di Indonesia sendiri masih relatif
tertinggal. Sebagai contoh, ketika transaksi finansial
secara elektronik sudah menjadi salah satu prosedur
standar dalam dunia perbankan, sebagian besar rumah
sakit di Indonesia baru dalam tahap perencanaan
pengembangan billing system. Meskipun rumah sakit
dikenal sebagai organisasi yang padat modal-padat
karya, tetapi investasi teknologi informasi masih
merupakan bagian kecil [1] .
Sampai saat ini, psikiater kadang mengalami kesulitan
dalam menentukan apakah seorang pasien itu menderita
kelainan jiwa atau tidak. Hal yang dapat mereka lakukan
adalah dengan mendiagnosa secara manual, namun
sering mengalami kesulitan ataupun kesalahan yang
berdampak fatal yaitu terjadinya kesalahan penanganan
pada pasien. Ini disebabkan karena adanya keraguan
bahkan nilai ketidak pastian dalam memutuskan jenis
diagnosa yang akan diambil. Berdasarkan hal tersebut,
maka diperlukan alat bantu berbasis komputerisasi
berupa fizzy logic yang dirancang dalam suatu program
computer untuk menentukan nilai ketidak pastian
tersebut.
Dengan berkembangnya teknologi ilmu komputer, saat
ini telah tercipta beberapa teknik pendekatan dalam
menyelesaikan suatu masalah yang disebut soft
computing. Soft Computing merupakan bagian dari
sistem cerdas yang yaitu suatu model pendekatan untuk
melakukan komputasi dengan meniru akal manusia dan
memiliki kemampuan untuk menalar dan belajar pada
lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian dan
ketidaktepatan [2] dalam [3]. Komponen utama
pembentuk soft computing adalah sistem fuzzy (fuzzy
system), jaringan syaraf (neural network), algoritma
evolusioner (evolutionary algorithm), dan penalaran
dengan probabilitas (probabilistic reasoning)[3]. Salah satu metode yang akan digunakan dalam
melakukan diagnosis awal pada penderita penyakit jiwa
adalah metode Mamdani yang merupakan salah satu
metode system inferensi fuzzy.Metode Mamdani
menggukan aturan IF-THEN dalam representasi kasus
yang digunakan ke dalam himpunan fuzzy. Dengan
metode ini komputer difungsikan sebagai alat untuk
mendiagnosis[3]
Metode Mamdani [1]sering dikenal dengan nama metode
Max-Min. metode ini diperkenalkan oleh EbrahimMamdani pada tahun 1975. Metode ini menggunakan
empat tahapan untuk mendapatkan output, yaitu:
1. Pembentukan Himpunan fuzzy. 2. Aplikasi fungsi implikasi (aturan).
3. Komposisi aturan.
4. Penegasan (defuzzy).
Penelitian serupa telah banyak dilakukan sebelumnya
tetapi dengan penerapan pada kasus yang berbeda.
Apriansyah Putra, “Penentuan Penerima Beasiswa
Dengan Menggunakan Fuzzy Madm[4], menggunakan
metode mamdani dan berhasil membuktikan bahwa
penerapan metode ini dapat menentukan penerima
beasiswa dengan akurasi perhitungan yang cukup baik.
Dalam penelitian ini, akan dibangun suatu sistem yang
berfungsi sebagai alat bantu pskiater dalam mendiagnosa
penyakit jiwa berdasarkan data input berupa gejala
kelainan jiwa dengan menggunakan fuzzylogic metode
Mamdani. Penelitian ini diharapkan member manfaat
untuk:
1. Mengetahui kondisi mental pasien penyakit jiwa
secara dini.
2. Dapat dijadikan alat bantu untuk pskiater dalam
mendiagnosa.
3. Dengan mengetahui kondisi pasien secara akurat,
diharapkan psikiater dapat melakukan tindakan
lanjut sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien
sehingga dapat mencegah terjadinya mall-praktek.
1.1 Penyakit Jiwa
Gangguan mental atau penyakit jiwa adalah pola
psikologis atau perilaku yang pada umumnya terkait
dengan stres atau kelainan mental yang tidak dianggap
sebagai bagian dari perkembangan normal
manusia.Gangguan tersebut didefinisikan sebagai
kombinasi perilaku, komponen kognitif atau persepsi,
yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah
otak atau sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial
manusia.
Penemuan dan pengetahuan tentang kondisi kesehatan
mental telah berubah sepanjang perubahan waktu dan
perubahan budaya, bahkan saat ini masih terdapat
perbedaan tentang definisi, penilaian dan klasifikasi,
meskipun kriteria pedoman standar telah digunakan
secara luas. Namun lebih dari sepertiga orang di
sebagian negara melaporkan masalah dalam hidup
mereka yang memenuhi kriteria salah satu atau beberapa
tipe umum dari kelainan mental [5]. Penyebab gangguan mental bervariasi dan pada beberapa
kasus tidak jelas, dan teori terkadang menemukan
penemuan yang rancu pada suatu ruang lingkup
lapangan. Layanan untk penyakit ini terpusat di Rumah
Sakit Jiwa atau di masyarakat sosial, dan penilaian
diberikan oleh psikiater, psikolog klinik, dan terkadang
psikolog pekerja sukarela, menggunakan beberapa
variasi metode tetapi sering bergantung pada observasi
dan tanya jawab [6]. Perawatan klinik disediakan oleh
banyak profesi kesehatan mental.Psikoterapi dan
pengobatan psikiatrik merupakan dua opsi pengobatan
umum, seperti juga intervensi sosial, dukungan
lingkungan, dan pertolongan diri.Pada beberapa kasus
terjadi penahanan paksa atau pengobatan paksa dimana
hukum membolehkan. Stigma atau diskriminasi dapat
menambah beban dan kecacatan yang berasosiasi dengan
kelainan mental (atau terdiagnosa kelainan mental atau
dinilai memiliki kelainian mental), yang akan mengarah
ke berbagai gerakan sosial dalam rangka untuk
meningkatkan pemahanan dan mencegah pengucilan
social.
Faktor jiwa dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu Kusula: berari sehat dan Akusula: tidak sehat [7]. Penilaian faktor jiwa itu sehat atau tidak sehat, dicapai
secara empiris, berdasakan pengalaman kolektif dari
pasien yang pernah menjalankan tes kepribadian.
Tabel di bawah ini menunjukkan taksiran kasar jumlah
penderita beberapa jenis gangguan jiwa yang ada dalam
satutahun (2012) di Indonesia dengan penduduk 130 juta
orang.
Tabel 1: Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Di Indonesia
Tahun 2012 [8]
Jenis Penyakit Jumlah Penderita
Psikosa fungsional 520.000 Pasien
Sindroma otak organik akut 65.000 Pasien
Sindroma otak menahun 130.000 Pasien
Retradasi mental 2.600.000 Pasien
Nerosa 6.500.000 Pasien
Psikosomatik 6.500.000 Pasien
Gangguan kepribadian 1.300.000 Pasien
Ketergantungan obat 1.000 Pasien
Biarpun gejala umum atau gejala yang menonjol itu
terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab
utamanya mungkin di badan (somatogenik),
dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupunpsikogenik. Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan
tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai
unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan
terjadi bersamaan, menimbulkan gangguan badan
ataupun jiwa. Contohnya seorang dengan depresi,
karena kurang makan dan tidur daya tahan badaniah
seorang berkurang sehingga mengalami keradangan
tenggorokan atau seorang dengan mania mendapat
kecelakaan, sebaliknya seorang dengan penyakit
badaniah umpamanya peradangan yang melemahkan,
maka daya tahan psikologisnya pun menurun sehingga
ia mungkin mengalami depresi. Sudah lama diketahui
juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan
gangguan jiwa. Contoh lain ialah seorang anak yang
mengalami gangguan otak (karena kelahiran,
keradangan dan sebagainya) kemudian
menjadihiperkinetik dan sukar diasuh. Ia
mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan
anggota lain serumah. Mereka ini bereaksi
terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi.
1.1.1 Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental yang
mempengaruhi sekitar 1% orang berusia di atas 18
tahun semua di seluruh dunia.Gangguan ini
menyebabkan beberapa gangguan dalam domain
kognitif seperti perhatian, memori, fungsi eksekutif dan
bahasa.Skizofrenia juga berhubungan dengan gejala
seperti halusinasi pendengaran, delusi dan emosional
disregulasi.Gabungan, gangguan kognitif dan gejala
gangguan tersebut berdampak signifikan pada hidup
pasien.[9] Sampai saat ini, diagnosis skizofrenia hanya
didasarkan pada pengamatan klinis dan laporkan
pengalaman pasien sendiri. Diagnosis skizofrenia masih
belum jelas karena tidak ada tanda-tanda biologis untuk
memvalidasi diagnosis klinis.[10]
Skizofrenia merupakan sebuah sindroma kompleks
yang dapat menimbulkan efek merusak pada kehidupan
penderita. Kesembuhan total dari skizofrenia jarang
terjadi karena adanya berbagai macam kombinasi gejala
seperti halusinasi, delusi, emosi dan gangguan bicara.
Menjelang akhir abad ke-19, seorang psikiater jerman
Emil Kraepelin mengemukakan tentang apa yang
dewasa ini masih tetap dianggap sebagai deskripsi dan
katagorisisasi skizofrenia. Pertama menggabungkan
beberapa gejala penyakit jiwa yang biasanya dianggap
merefleksikan gangguan-gangguan yang terpisah dan
berbeda, yaitu catatonia yang merupakan selang-seling
antara imobilitas dan agitasi yang riuh, hebepherenia (
emosionalitas yang dungu dan tidak matang), dan
paranoia (delusi) [11]. Tidak mudah untuk menyatakan seseorang menderita
skizofren, penilaian pertama dilakukan dengan
memperhatikan perilaku cara berfikir atau emosi
tertentu dari masing-masing gangguan. Depresi
senantiasa meilbatkan perasaan sedih, dan gangguan
panic selalu disertai oleh adanya perasaan cemas yang
intens tapi hal ini tidak tampak pada penderita
skizofren. Skizofren terdiri atas sejumlah perilaku atau
gejala yang tidak selalu dijumpain pada semua orang
yang didiagnosis dengan gangguan ini.Sebelum
mendeskrisikan tentang gejala-gejalanya hal pertama
yang dilakukan adalah mencermati ciri-ciri spesifik
pada penderita skizofren, para medis kesehatan jiwa
biasanya membedakan antara gejala-gejala positif dan
gejala-gejala negatif dari skizofren.Belum ada
kesepakatan universal tentang gejala-gejala mana yang
seharusnya masuk kedalam katagori skizofren.Gejala
positif secara umum meliputi manifestasi yang lebih
efektif dari perilaku abnormal termasuk delusi dan
halusinasi.Gejala negatif melibatkan defisit dalam
perilaku abnormal[12].
Fitur-fitur diagnosis awal skizofrenia meliputi (dengan
derajat yang berbeda, tergantung subtipenya)[12]. 1. Delusi
2. Halusinasi
3. Pembicaraan yang terdisorganisasi.
4. Perilaku katatonik atau sangan terdisorganisasi.
5. Gejala-gejala negatife seperti pendataran afeksi,
alogia, atau avolisi.
6. Disfungsi social dan okupasional.
7. Tidak memedulikan perawatan diri.
8. Persisten selama minimal 6 bulan.
1.1.2 Faktor Penyebab Skizofrenia
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi)
yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia,
padahal orang lain tidak. Ternyata daripenelitian- penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan
faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut
penelitian terdahulu antara lain [13]:
1. Faktor genetik.
2. Virus.
3. Auto antibody. 4. Malnutrisi. Dari penelitian diperoleh gambaran peran
genetic pada penderita skizofreniasebagai berikut
[9][10]:
(1) Studi terhadap keluarga menyebutkan pada orang
tua 5,6%, saudara kandung 10,1%; anak-anak
12,8%; dan penduduk secara keseluruhan 0,9%. [9]
[10].
(2) Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan
pada kembar identik 59,20%; sedangkan kembar
fraternal 15,2%. [9] [10].
Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada
perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi
timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari.
Gangguan ini muncul, misalnya, karena kekurangan
gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal.
Penelitianyang telah dilakukan menyebutkan bahwa
meskipuna ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak
akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang
disebut epigenetik faktor. Kesimpulannya adalah bahwa
skizofrenia muncul bila terjadi interaksi antara
abnormal gen dengan[13]. (a) Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat
menganggu perkembangan otak janin;
(b) Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan
infeksi selama kehamilan;
(c) Komplikasi kandungan; dan
(d) Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada
trimester kehamilan.
1.2 Fuzzy Logic
Fuzzy diperkenalkan dalam paper yang dibuat oleh Lofti
A Zadeh, dimana Zadeh memperkenalkan teori yang
memiliki obyek-obyek dari himpunan fuzzy yangmemiliki batasan yang tidak pretisi dan keanggotaan
dalam himpunan fuzzy, bukan dalam bentuk logika benar
(true) atau salah (false), tetapi dinyatakan dalam bentuk
derajat. Konsep ini disebut Fuzziness dan teorinya
dinamakan Fuzzy Set Theory.Fuzzy logic merupakan
studi tentang metode dan prinsip-prinsip pemikiran
dimana pemikiran tersebut menghasilkan preposisi yang
baru dari preposisi yang lama. Pada logika lama,
preposisi diperlukan diantara true dan false, nilai
kebenaran dari preposisi tersebut antara 1 atau 0. Fuzzy
logic membuat pernyataan umum dari dua nilai logika
lama dengan cara menyertakan nilai kebenaran dari
sebuah preposisi untuk dijadikan sembarang angka
diantara interval [fuzzy mamdani] [3]. Salah satu metode yang akan digunakan dalam
melakukan diagnosis awal pada penderita penyakit jiwa
adalah metode Mamdani yang merupakan salah satu
metode system inferensi fuzzy. Metode Mamdani
menggukan aturan IF-THEN dalam representasi kasus
yang digunakan ke dalam himpunan fuzzy. Dengan
metode ini komputer difungsikan sebagai alat untuk
mendiagnosis. Metode Mamdani sering dikenal dengan nama metode
Max-Min. metode ini diperkenalkan oleh Ebrahim
Mamdani pada tahun 1975. Metode ini menggunakan
empat tahapan untuk mendapatkan output, yaitu:
5. Pembentukan Himpunan fuzzy. 6. Aplikasi fungsi implikasi (aturan).
7. Komposisi aturan.
8. Penegasan (defuzzy)
2. Pembahasan
Penelitian ini menggunakan medote fuzzy
Mamdani.Adapun langkah operasional yang dilakukan
adalah sebagai berikut: a. Menentukan input
Input berupa fitur-fitur diagnosis awal skizofrenia
meliputi:
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Pembicaraan yang terdisorganisasi
4. Perilaku katatonik atau sangan terdisorganisasi
5. Gejala-gejala negatife seperti pendataran afeksi,
alogia, atau avolisi.
6. Disfungsi social dan okupasional.
7. Tidak memedulikan perawatan diri.
8. Persisten selama minimal 6 bulan.
b. Fuzzifikasi
Kegiatan yang dilakukan pada tahap fuzzifikasi
adalah: mengambil masukan nilai crisp dari input,
membentuk himpunan fuzzy, membagi variable input
maupun variabel output menjadi satu atau lebih
himpunan fuzzy, menentukan derajat dimana nilainilai tersebut menjadi anggota dari setiap himpunan
fuzzy yang sesuai dengan fungsi keanggotaan. c. Inferensi
Yaitu mengaplikasikan aturan pada masukan fuzzy
yang dihasilkan dalam proses fuzzifikasi, mengevaluasi tiap aturan dengan masukan yang
dihasilkan dari proses fuzzyfikasi dengan
mengevaluasi hubungan atau derajat keanggotaan
anteceden/premis setiap aturan. Derajat
keanggotaan/nilai kebenaran dari premis digunakan
untuk menentukan nilai kebenaran bagian
consequent/kesimpulan.
d. Proses penentuan Output Crisp
Output berupa suatu bilangan pada domain himpunan
fuzzy yang telah ditentukan. e. Implementasi ke dalam program komputer.
Seperti ditunjukkan pada flowchart di bawah ini:
2.1 Data Input
Sumber data dari sistem pengambilan keputusan
dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu data eksternal dan
data internal. Untuk pembangunan sistem pendukung
keputusan klinis, diperlukan diagnosa gangguan jiwa
sebagai sumber data ini.
a. Data eksternal
Data eksternal merupakan data yang tidak
berhubungan langsung dengan penyakit atau gangguan
jiwa yang dialami oleh pasien tetapi mempengaruhi
sistem dalam melakukan keputusan klinis. Adapun data
eksternal adalah: Data identitas pasien (Kartu Tanda Penduduk). Data lingkungan tempat tinggal.
b. Data Internal
Data internal merupakan data yang berhubungan
langsung dengan klinis gangguan jiwa untuk mendukung
sistem pegambilan keputusan dalam mendiagnosis
pasien. Adapun yang tergolong ke dalam data internal
adalah: Data rekam medis pasien.
Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka tabel 3
hasil fuzzifikasi di atas menunjukkan bahwa, dari 21
sampel data input pasien terdapat 9 pasien yang
mengalami gangguan jiwa ringan, 8 pasien yang
mengalami gangguan jiwa sedang dan 3 pasien yang
mengalami gangguan jiwa berat.
Tiga pasien yang mengalami gangguan jiwa berat
diperoleh dari kategori input data awal pada pasien
pertama yaitu x1: 0.71, x2: 0.87, x3: 0.92, x4: 0.79,
pasien kedua x1: 0.63, x2:0.65, x3:0.73, x4: 0.82 dan
pasien ke 3 x1: 0.74, x2:0.65, x3:0.43, x4:0.98.
Hasil output yang diperoleh pada tabel 3 terlihat bahwa
pasien yang menderita gangguan jiwa berat berada pada
nilai rata-rata x1,x2,x3 dan x4 di atas 0.5.sedangkan
pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan berada
pada nilai x1,x2,x3 dan x4 dibawah 0.2.
Dari hasil pengujian yang dilakukan dengan
menggunakan metode fuzzy Mamdani menunjukkan
bahwa output yang didapat dalam proses melakukan
diagnosa dini gangguan jiwa sesuai dengan hasil
diagnosis pskiater yang telah melakukan diagnosa secara
manual dilihat dari rekap medis pasien yang dijadikan
sampel pada penelitian ini. Diagnosa pskiater menunjukkan pasien yang mengalami
gangguan tingkat depresi, halusinasi, berbicara ngawur
dan katatonik tinggi beresiko mengalami gangguan jiwa
berat, hal ini sesuai dengan output yang didapat dari
hasil pengujian yang dilakukan dengan menggunakan
metode fuzzy Mamdani yaitu pada saat nilai x1, x2, x3
dan x4 berada pada nilai rata-rata di atas 0.5 pasien
dinyatakan menderita gangguan jiwa berat.
Berbagai upaya dilakukan untuk
mengurangi jumlah penderita penyakit
gangguan jiwa di Bali, salah satunya adalah
mengintensifkan pemeriksaan terhadap
penderita penyakit gangguan jiwa. Penyakit
ini memang sama pentingnya seperti
penyakit fisik. Namun, dalam naan
praktiknya, dokter hanya dapat menangani
2-3 pasien, tidak seperti penyakit fisik,
dimana dalam sekali pemeriksaan dokter
dapat menangani belasan pasien. Hal ini
disebabkan karena dalam menangani
penyakit gangguan jiwa memerlukan waktu
yang intensif bagi dokter untuk mengenali
dan mendiagnosa penyakit yang diderita
pasien gangguan jiwa. Agar tidak terjadi
ambigu dalam mendiagnosa gejala penyakit
gangguan jiwa, keberadaan suatu sistem
pendukung keputusan dibutuhkan oleh
pakar dalam mendiagnosa dan
menanggulangi penyakit gangguan jiwa.
Salah satu dokter yang ada di Kota
Denpasar yaitu Ibu dr. Putu Asih Primatanti,
SpKJ.
Berdasarkan hal tersebut peneliti
termotivasi untuk mengembangkan aplikasi
“Sistem Pendukung Keputusan Diagnosa
Penyakit Gangguan Jiwa dengan Metode
Dempster-Shafer” sebagai asisten dokter
dalam mengambil keputusan penderita
gangguan kejiwaan. Metode dempstershafer merupakan metode yang pertama
kali dikembangkan oleh Arthur P. Dempster
dan Glenn Shafer. Metode ini merupakan
salah satu metode multi hipotesa, dimana
dapat menghasilkan lebih dari 1 hipotesis.
Dempster-Shafer Theory adalah
diberlakukan sebagai suatu formula untuk
menangani klasifikasi yang tidak pasti. DST
juga digunakan untuk merepresentasikan
keraguan, apakah ketidakpastian secara
total, ataupun ketidaktahuan secara
sebagian. Aturan DS merupakan aturan
yang sempurna untuk ini. [3] Penderita
gangguan jiwa sangat mungkin menderita
lebih dari satu penyakit yang dalam hal ini
disebut “komorbiditas”. Maka dari itu,
peneliti menggunakan metode DempsterShafer untuk memberikan nilai kepastian.
Sistem ini juga akan dibangun berbasis web
sehingga dapat diakses oleh dokter
kapanpun dan dimanapun dengan berbagai
platform. Diharapkan nantinya sistem ini
dapat membantu pakar dalam melakukan
diagnosa dan penanggulangan terhadap
gangguan kejiwaan lebih efektif.
KAJIAN TEORI
A. Ilmu Jiwa dan Gangguan Kejiwaan
Ilmu jiwa atau psikologi adalah suatu
cabang dari ilmu pengetahuan yang
mempelajari, menyelidiki, atau membahas
fungsi – fungsi kejiwaan dari orang yang
sehat. Atau dengan perkataan lain psikologi
mempelajari aktivitas kehidupan kejiwaan
dari orang normal. Psikologi (Ilmu Jiwa)
ialah ilmu yang mempelajari segala
aktivitas jiwa, yaitu yang mencakup segala
sesuatu yang diperbuat oleh manusia yang
terwujud dalam kegiatan manusia (human
activities). [4] Sedangkan, sakit jiwa adalah
gangguan mental yang berdampak kepada
mood, pola pikir, hingga tingkah laku
secara umum. Seseorang disebut
mengalami sakit jiwa jika gejala yang
dialaminya menyebabkan sering stres dan menjadikannya tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari secara normal.
Penggolongan penyakit gangguan jiwa
menurut PPDGJ III dapat dilihat pada
Gambar 2.
B. Sistem Pendukung Keputusan
1. Definisi SPK
Menurut Alter (2002) SPK merupakan
sistem informasi interaktif yang
menyediakan informasi, pemodelan, dan
pemanipulasian data. Selain itu digunakan
untuk membantu pengambilan keputusan
dalam situasi semi terstruktur dan situasi
yang tidak terstruktur, dimana tak seorang
pun tahu secara pasti bagaimana
keputusan seharusnya dibuat. [6]
Sistem pendukung keputusan
(Inggris: decision support systems disingkat
DSS) adalah bagian dari sistem informasi
berbasis komputer (termasuk sistem
berbasis pengetahuan (manajemen
pengetahuan) yang dipakai untuk
mendukung pengambilan keputusan dalam
suatu organisasi atau perusahaan. Dapat
juga dikatakan sebagai sistem komputer
yang mengolah data menjadi informasi
untuk mengambil keputusan dari masalah
semi-terstruktur yang spesifik. [7]
SPK adalah pendekatan berbasis
komputer atau metodologi untuk
mendukung pengambilan keputusan.
Bagian paling penting dari SPK khas
adalah data warehouse, yang merupakan
subjek berorientasi, terpadu, waktu-varian,