Rabu, 19 Juli 2023

pertanian

Jika kita tidak dapat mempertahankan produksi pertanian, pada akhirnya kita akan melihat terjadinya 
penurunan produksi bahan makanan. Sudah diketahui bahwa manusia memerlukan produk-produk 
pertanian: untuk makanan, untuk pakaian, dll. Ilmu pengetahuan mungkin bisa memberikan bahan 
penggantinya (misalnya serat sintetik) akan tetapi bahan mentah untuk membuat produk pengganti ini 
bersifat terbatas. Ketika jumlah penduduk semakin bertambah, permintaan akan produk-produk 
pertanian juga semakin meningkat. Lahan pertanian yang dikelola dengan kurang baik akan 
memberikan hasil yang makin sedikit dari arti kuantitas dan kualitas. Penurunan keuntungan berarti 
uang menjadi lebih sedikit yang dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan lahan pertanian. 
Lahan pertanian menjadi semakin terkontaminasi oleh sisa kimia, gulma atau hama. Jumlah biomassa 
yang dihasil akan menurun dan lebih pertanian rentan terhadap degradasi lingkungan.
Dalam beberapa dekade terakhir kita telah menyaksikan peningkatan produksi pertanian yang 
disebabkan oleh revolusi hijau. Revolusi hijau berkaitan dengan penggunaan teknologi yang lebih baik 
(terutama bibit unggul), perluasan daerah irigasi, mekanisasi, spesialisasi, dan penggunaan pupuk dan 
pestisida buatan. Meskipun revolusi hijau telah meningkatkan produksi pertanian di Asia dan Amerika 
Latin pada tahun 1960-an dan 1970-an, peningkatan produksi pertanian tersebut tidaklah berkelanjutan. 
Pertumbuhan rata-rata produksi padi di Asia menurun dengan tajam di tahun 1980-an, dengan rata-rata 
pertumbuhan 2,6% di tahun 1970-an menjadi 1,5% pada periode yang dimulai tahun 1981, yang 
sebagian disebabkan oleh peningkatan harga pupuk kimia dan pesitisida/herbisida. Dan yang lebih 
penting, meskipun telah terjadi peningkatan produksi sebagai hasil revolusi hijau, kemiskinan dan 
kelaparan masih tetap terjadi, degradasi lahan dan kerusakan lingkungan terjadi secara luas dan tidak 
dapat ditangani. Perkiraan FAO menyebutkan bahkan sebelum terjadinya krisis pangan baru-baru ini, 
848 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan yang parah antara tahun 2003 dan 2005, 98% 
diantaranya penduduk dari negara berkembang.
Untuk mengurangi kelaparan diperlukan peningkatan produksi pangan, yang pada gilirannya 
memerlukan akses petani terhadap input-input pertanian untuk meningkatkan produktivitas, 
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Akan tetapi, mayoritas penduduk yang menderita 
kelaparan parah adalah petani kecil di negara berkembang yang mempraktekan pertanian subsisten 
pada lahan marginal, kurang mempunyai akses terhadap pasar input dan produk serta sumberdaya 
financial yang diperlukan untuk memperoleh pupuk dan pestisida kimia yang mahal yang diperlukan 
untuk meningkatkan produksi.
Revolusi hijau juga dikritik karena menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan 
lingkungan. Intensifikasi pertanian yang menggunakan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan, 
telah menimbulkan polusi perairan dan menurunkan kesuburan tanah, yang akhirnya menurunkan 
keanekargaman hayati karena membunuh tumbuhan, serangga dan kehidupan liar yang bermanfaat. 
Irigasi telah menimbulkan salinasi (meningkatnya kadar garam dalam tanah) dan menurunkan 
permukaan air tanah di daerah dimana air yang dipompa keluar untuk irigasi lebih banyak daripada
Jika kita tidak dapat mempertahankan produksi pertanian, pada akhirnya kita akan melihat terjadinya 
penurunan produksi bahan makanan. Sudah diketahui bahwa manusia memerlukan produk-produk 
pertanian: untuk makanan, untuk pakaian, dll. Ilmu pengetahuan mungkin bisa memberikan bahan 
penggantinya (misalnya serat sintetik) akan tetapi bahan mentah untuk membuat produk pengganti ini 
bersifat terbatas. Ketika jumlah penduduk semakin bertambah, permintaan akan produk-produk 
pertanian juga semakin meningkat. Lahan pertanian yang dikelola dengan kurang baik akan 
memberikan hasil yang makin sedikit dari arti kuantitas dan kualitas. Penurunan keuntungan berarti 
uang menjadi lebih sedikit yang dapat digunakan untuk perbaikan dan peningkatan lahan pertanian. 
Lahan pertanian menjadi semakin terkontaminasi oleh sisa kimia, gulma atau hama. Jumlah biomassa 
yang dihasil akan menurun dan lebih pertanian rentan terhadap degradasi lingkungan.
Dalam beberapa dekade terakhir kita telah menyaksikan peningkatan produksi pertanian yang 
dipicu  oleh revolusi hijau. Revolusi hijau berkaitan dengan penggunaan teknologi yang lebih baik 
(terutama bibit unggul), perluasan daerah irigasi, mekanisasi, spesialisasi, dan penggunaan pupuk dan 
pestisida buatan. Meskipun revolusi hijau telah meningkatkan produksi pertanian di Asia dan Amerika 
Latin pada tahun 1960-an dan 1970-an, peningkatan produksi pertanian tersebut tidaklah berkelanjutan. 
Pertumbuhan rata-rata produksi padi di Asia menurun dengan tajam di tahun 1980-an, dengan rata-rata 
pertumbuhan 2,6% di tahun 1970-an menjadi 1,5% pada periode yang dimulai tahun 1981, yang 
sebagian dipicu  oleh peningkatan harga pupuk kimia dan pesitisida/herbisida. Dan yang lebih 
penting, meskipun telah terjadi peningkatan produksi sebagai hasil revolusi hijau, kemiskinan dan 
kelaparan masih tetap terjadi, degradasi lahan dan kerusakan lingkungan terjadi secara luas dan tidak 
dapat ditangani. Perkiraan FAO menyebutkan bahkan sebelum terjadinya krisis pangan baru-baru ini, 
848 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan yang parah antara tahun 2003 dan 2005, 98% 
diantaranya penduduk dari negara berkembang.
Untuk mengurangi kelaparan diperlukan peningkatan produksi pangan, yang pada gilirannya 
memerlukan akses petani terhadap input-input pertanian untuk meningkatkan produktivitas, 
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Akan tetapi, mayoritas penduduk yang menderita 
kelaparan parah adalah petani kecil di negara berkembang yang mempraktekan pertanian subsisten 
pada lahan marginal, kurang mempunyai akses terhadap pasar input dan produk serta sumberdaya 
financial yang diperlukan untuk memperoleh pupuk dan pestisida kimia yang mahal yang diperlukan 
untuk meningkatkan produksi.
Revolusi hijau juga dikritik karena menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan 
lingkungan. Intensifikasi pertanian yang menggunakan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan, 
telah menimbulkan polusi perairan dan menurunkan kesuburan tanah, yang akhirnya menurunkan 
keanekargaman hayati karena membunuh tumbuhan, serangga dan kehidupan liar yang bermanfaat. 
Irigasi telah menimbulkan salinasi (meningkatnya kadar garam dalam tanah) dan menurunkan 
permukaan air tanah di daerah dimana air yang dipompa keluar untuk irigasi lebih banyak daripadakemampuan air hujan untuk mengisinya. Sistem monokultur telah mengarah pada hilangnya 
keanekaragaman hayati, termasuk hilangnya predator alami dan meningkatkan resistensi hama, 
sehingga memerlukan bahan kimia yang lebih kuat untuk mempertahankan hasil. Semua biaya-biaya ini 
belum diinternalisasikan secara baik ke dalam biaya produksi revolusi hijau. Tambahan lagi, pupuk 
anorganik akan kehilangan efektivitasnya ketika bahan organik dalam tanah rendah, yang terutama
menjadi masalah di kebanyakan negara berkembang karena pengunaan tanah yang terus menerus dan 
degradasi lahan.
Kita telah menciptakan dunia yang sangat bergantung pada teknologi untuk memproduksi makanan 
yang diperlukan untuk bisa menyokong populasi manusia. Ini adalah dilema. Meninggalkan teknik 
bertani modern akan menimbulkan kelaparan yang luas, akan tetapi bila tetap melanjutkan praktek yang 
digunakan pada saat ini hampir dipastikan akan menimbulkan degradasi lahan pertanian dan pada 
akhirnya tidak mampu menyokong bahkan jumlah manusia yang ada sekarang ini.
Pertanian berkelanjutan telah muncul menjadi alternatif sistem pertanian untuk menjawab banyak 
kendala yang dihadapi oleh petani yang miskin akan sumberdaya dan waktu, serta menjamin 
keberlanjutan lingkungan. Hal ini merujuk pada kapasitas pertanian untuk memberi sumbangan 
terhadap kesejahteraan secara keseluruhan dengan menyediakan pangan dan barang lainnya serta jasa￾jasa yang efisien dan menguntungkan secara ekonomi, bertanggungjawab secara sosial, dan layak dari 
segi lingkungan. Sistem ini melibatkan kombinasi yang saling berkaitan antara tanah, produksi tanaman 
dan ternak yang bersesuaian dengan tidak dipakainya atau berkurangnya pemakaian input eksternal
yang mempunyai potensi membahayakan lingkungan dan/atau kesehatan petani dan konsumen. 
Sebagai gantinya, sistem ini lebih menekankan teknik produksi pangan yang mengintegrasikan dan 
sesuai dengan proses alam lokal seperti siklus hara, pengikatan nitrogen secara biologis, regenerasi 
tanah dan musuh alami hama. Menggunakan sumberdaya lokal dalam memperbaiki tanah dan bisa 
bermanfaat dimana peningkatan pendapatan dapat mengurangi hambatan untuk mengadopsi praktek￾praktek penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan.
Apa itu Pertanian Berkelanjutan?
Pertanian berkelanjutan bisa mempunyai arti yang berbeda bagi orang yang berbeda, meskipun 
demikian semuanya mempunyai perhatian untuk mencegah degradasi beberapa aspek dari lahan 
pertanian. Beberapa petani terutama menaruh perhatian pada degradasi sumberdaya alam (misalnya 
lahan menjadi kurang produktif). Yang lain mungkin lebih menaruh perhatian pada menurunnya 
keuntungan yang dipicu  oleh meningkatnya biaya tenaga kerja atau sarana produksi, perencanaan 
yang buruk, atau semata-mata karena berubahnya kondisi perekonomian. Penyebab dan solusi untuk 
masalah-masalah tadi akan berbeda untuk setiap keadaan.
Pertanian berkelanjutan adalah sebuah filosofi; ini adalah sistem pertanian. Hal ini memberdayakan 
petani untuk bekerja sejalan dengan proses-proses alami untuk melindungi sumberdaya seperti tanah 
dan air, sambil meminimumkan dampak dari limbah terhadap lingkungan. Pada saat yang sama, sistem 
pertanian menjadi lebih tahan (resilient), mengatur diri sendiri dan keuntungannya dapat 
dipertahankan. 
Terdapat banyak ide yang berbeda mengenai bagaimana caranya agar bisa berkelanjutan. Orang yang 
berbeda mempromosikan konsep yang berbeda dengan penuh semangat, dan dalam banyak kasus, 
konsep ini mengandung banyak hal yang bernilai. Banyak yang mempunyai pendekatan yang serupa, 
dan seringkali merupakan variasi dari tema yang sama. Setiap pendekatan akan mempunyai 
penerapannya sendiri-sendiri, karena satu pendekatan yang bekerja dengan baik pada satu orang tidak berarti akan berhasil pada orang lain. Beberapa jenis sistem pertanian yang dapat dianggap sebagai 
pertanian berkelanjutan adalah: (a) Sistem bertani rendah input, (b) Sistem bertani regeneratif, (c) 
Sistem biodinamik, (d) Sistem bertani organik, (e) Sistem bertani konservasi, dan (d) Hidroponik.
Secara umum, mengadopsi prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, sistem pertanian berkelanjutan 
harus memenuhi tiga prinsip dasar seperti yang dijelaskan berikut ini. 
1. Keberlanjutan Ekonomi. Agar sebuah kegiatan bisa berlanjut, sebuah usahatani harus secara 
ekonomi menguntungkan. Pertanian berkelanjutan dapat meningkatkan kelayakan ekonomi 
melalui banyak cara. Secara singkat, meningkatkan pengelolaan tanah dan rotasi tanaman akan 
meningkatkan hasil, dalam jangka pendek maupun jangka panjang, karena meningkatkan 
kualitas tanah dan ketersediaan air, seperti juga menimbulkan manfaat lingkungan. Kelayakan 
ekonomi juga dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan peralatan mesin, mengurangi 
biaya pupuk kimia dan pestisida (dimana kebanyakan petani tidak dapat membelinya), 
tergantung pada karakteristik dari sistem produksinya.
2. Keberlanjutan Lingkungan. Pertanian berkelanjutan sering digambarkan sebagai kegiatan yang 
layak secara ekologis yang tidak atau sedikit memberikan dampak negatif terhadap ekosistem 
alam, atau bahkan memperbaiki kualitas lingkungan dan sumberdaya alam pada mana kegiatan 
pertanian bergantung. Biasanya hal di dicapai dengan cara melindungi, mendaur-ulang, 
mengganti dan/atau mempertahankan basis sumberdaya alam seperti tanah, air, 
keanekaragaman hayati dan kehidupan liar yang memberikan sumbangan terhadap 
perlindungan modal alami. Pupuk sintetik dapat digunakan untuk melengkapi input alami jika 
diperlukan. Dalam pertanian berkelanjutan, penggunaan bahan kimia yang dikenal berbahaya 
bagi organisme tanah, struktur tanah dan keanekaragaman hayati dihindari atau dikurangi 
sampai minimum.
3. Keberlanjutan Sosial. Keberlanjutan sosial berkaitan dengan kualitas hidup dari mereka yang 
bekerja dan hidup di pertanian, demikian juga dengan masyarakat di sekitarnya. Hal ini 
mencakup penerimaan atau pendapatan yang setara bagi stakeholder yang berbeda dalam 
rantai produksi pertanian. Dalam konteks pengangguran yang tinggi, pertanian berkelanjutan 
mempromosikan pembagian nilai tambah pertanian bagi lebih banyak anggota mayarakat 
melalui lebih banyak penggunaan tenaga kerja yang tersedia, dan akan meningkatkan kohesi 
dan keadilan sosial. Perlakuan yang layak terhadap pekerja dan memilih untuk membeli bahan￾bahan secara lokal daripada membeli dari tempat jauh, juga merupakan elemen dari 
keberlanjutan sosial.
Dapatkah Pertanian Berkelanjutan menjamin Ketahanan Pangan?
Pertanyaan kuncinya adalah apakah pertanian berkelanjutan cukup produktif untuk menjamin 
ketahanan pangan. Ketika telah terjadi konsensus yang jelas tentang manfaat pertanian berkelanjutan 
terhadap lingkungan dan sosial, masih ada ketakutan bahwa hal ini tidak akan memenuhi kebutuhan 
pangan di masa depan. Meskipun demikian, semakin banyak bukti bahwa pertanian berkelanjutan telah 
meningkatkan produktivitas dibandingkan dengan pertanian konvensional. Sebuah review terhadap 286 
proyek pertanian berkelanjutan yang dilaksanakan antara tahun 1999 dan 2000 yang terjadi pada 
delapan kategori system pertanian di 57 negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika menunjukkan 
kenaikan hasil rata-rata 79% dengan menerapkan praktek pertanian berkelanjutan. Dalam proyek￾proyek ini, banyak praktek/perbaikan dilakukan, akan tetapi ada tiga perbaikan teknis yang dianggap 
telah meningkatkan produksi secara signifikan: 1) penggunaan air yang lebih efisien baik pada lahan kering maupun beririgasi; 2) peningkatan akumulasi bahan organik di tanah dan pemerangkapan karbon, 
dan 3) kontrol hama, gulma dan penyakit dengan penekanan pada keanekaragaman hayati di 
pertanaman dan pengurangan penggunaan pestisida melalui teknik pengelolaan hama terpadu atau 
teknik lainnya.
Bukti dari modeling global juga jelas. Ketika metode pertanian organik memproduksi hanya 92% dari 
hasil yang diproduksi oleh sistem pertanian tradisional di negara-negara maju, mereka memproduksi 
80% lebih banyak daripada sistem pertanian konvensional di negara-negara berkembang. Metode 
organik dapat memproduksi cukup pangan pada tingkat basis per kapita global untuk mempertahankan 
populasi manusia, tanpa harus menambah lahan untuk memproduksi pangan. Tanaman penutup 
legume dapat menangkap cukup nitrogen untuk menggantikan jumlah pupuk sintetik yang selama ini 
digunakan.
Daerah Tigrey di Ethiopia memberikan gambaran bagaimana pertanian berkelanjutan dapat menjamin 
pembangunan berkelanjutan dengan meningkatkan hasil dan pendapatan keluarga, meningkatkan 
keadaan lingkungan dan mendorong dukungan yang diperlukan dari masyarakat maupun pemerintah.
Salah satu praktek yang menjanjikan dan dengan cepat berkembang adalah sistem intensifikasi padi 
(SIP). SIP yang dikembangkan di Madagaskar pada akhir tahun 1980an, adalah metode menanam padi 
yang mengkombinasikan penggunaan lebih sedikit air, lebih sedikit bibit dan lebih banyak pupuk 
organik. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi tanah dan tanaman yang lebih sehat dan lebih produktif 
dan mendorong kelimpahan dan keanekaragaman organisme tanah. 
Evaluasi empiris terhadap SIP menunjukkan bahwa, diantara banyak manfaatnya, SIP menurunkan biaya 
produksi, memungkinkan petani menangani masalah kekurangan air, dan terutama dapat dilakukan oleh 
masyarakat miskin karena hal itu hampir tidak memerlukan modal, dan lebih tahan terhadap stres biotik 
dan abiotik, disamping kekeringan, dan karenanya mengurangi risiko yang dihadapi petani.
Adopsi praktek pertanian berkelanjutan: dimana posisi kita?
Terdapat bukti-bukti literatur yang semakin meningkat tentang adopsi praktek pertanian berkelanjutan. 
Review yang dilakukan terhadap proyek-proyek yang telah disebutkan sebelumnya telah menggunakan 
berbagai paket teknologi dan paket penghemat sumberdaya, meliputi: pengelolaan hara terpadu, 
pengolahan tanah konservasi, agro-forestri, pemanenan air di daerah kering, integrasi ternak dan 
pengelolaan hama terpadu. Pada tahun 1999-2000, sekitar 12,6 juta petani telah mengadopsi praktek 
pertanian berkelanjutan dengan luas sekitar 37 juta hektar. Ini setara dengan 3% dari lahan yang dapat 
ditanami di Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Meskipun kecenderungan yang terjadi sejak tahun 2000 tidak didokumentasi dengan baik, adopsi telah 
meningkat ketika manfaat dari pertanian berkelanjutan telah semakin difahami dan dinyatakan dengan 
baik pada literatur-literatur ilmiah dan dukungan global bagi pertanian yang lebih ramah lingkungan juga 
semakin meningkat. Misalnya di Brazil, penggunaan metode pengolahan tanah minimum (minimum 
tillage) telah meningkat dari semula kurang dari 1.000 hektar pada tahun 1973/74 menjadi 22 juta 
hektar pada tahun 2003/2004. Di Argentina, terdapat lebih dari 11 juta hektar lahan yang menggunakan 
pola tanpa olah lahan (zero tillage), dari semula kurang dari 100.000 hektar pada tahun 1990. Sebuah 
studi pada tahun 2005 melaporkan laju adopsi praktek olah tanah konservasi sebesar 10% terjadi 
diantara petani skala kecil di Zambia. Di Kamboja, pengguna SIP telah bertambah dari hanya 28 petani 
di tahun 2000 menjadi lebih dari 100.000 di tahun 2008Kendala untuk mengadopsi praktek pertanian berkelanjutan
Setelah diberikan bukti yang menunjukan bahwa praktek pertanian berkelanjutan pada kenyataannya 
menciptakan manfaat ganda, termasuk menurunnya biaya produksi, manfaat lingkungan, dan pada saat 
yang sama bisa meningkatkan produksi, adalah sangat penting untuk memahami apa yang menghambat 
petani miskin untuk mengadopsi teknologi ini. 
Kondisi agro-klimat lokal. Heterogenitas lingkungan agroklimat mempunyai implikasi bahwa tidak 
terdapat satu pendekatan yang dapat diterapkan di seluruh dunia secara seragam. Teknik dan sistem 
yang berbeda diterapkan, dan diadaptasikan, dalam kondisi agroekologi yang berbeda, memberikan 
hasil yang berbeda. Misalnya, di Ethiopia, pengolahan tanah kurang dan teras batu memberikan hasil 
yang lebih baik pada daerah agak kering (semi arid) dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan 
tinggi. Faktor-faktor biofisik lokal atau regional seperti kualitas tanah dan karakteristik plot telah 
ditemukan menjadi faktor penentu penting untuk mengadopsi teknologi pengolahan tanah konservasi. 
Teknologi yang sama mungkin tidak sesuai untuk semua keluarga petani karena perbedaan sumberdaya 
yang dimilikinya, atau pasar yang tidak sempurna atau bahkan tidak ada, serta tidak adanya kredit.
Ketersediaan biomasa. Adopsi praktek pertanian berkelanjutan oleh petani miskin bergantung pada 
jumlah dan ketersediaan biomassa (misalnya sisa-sisa tanaman, kotoran hewan). Hal ini karena 
kebanyakan praktek pertanian berkelanjutan (seperti kontrol erosi, konservasi air, peningkatan 
kesuburan tanah, pengikatan karbon) berhubungan secara langsung dengan biomasa yang digunakan 
untuk memperbaiki kualitas tanah. Kuantitas biomasa yang tersedia bagi petani kecil umumnya tidak 
mencukupi karena petani miskin mempunyai sumberdaya yang terbatas (seperti lahan, ternak dan/atau 
tenaga kerja). Beberapa studi telah menemukan bukti bahwa kepemilikan ternak mempengaruhi adopsi 
penerapan kompos, sedangkan total lahan yang dimiliki dan tenaga kerja membatasi adopsi pengolahan 
tanah konservasi. Adopsi dari teknik seperti penggunaan tanaman penutup dan sisa-sisa tanaman 
(mulsa) di daerah dataran tinggi Ethiopia bergantung pada ukuran lahan pertanian dan ketersediaan 
tenaga kerja. Jadi, meskipun petani miskin sadar akan terjadinya degradasi tanah dan lingkungan yang 
dipicu  tidak digunakannya biomasa untuk memperbaiki kualitas tanah, mereka mungkin masih 
memilih untuk mengalihkan biomasa yang langka itu untuk digunakan sebagai bahan bakar untuk 
memasak atau sebagai makanan ternak karena mereka tidak mempunyai alternatif lain.
Insentif ekonomi. Insentif ekonomi juga sangat penting dalam menentukan kelayakan ekonomi dari 
pertanian berkelanjutan. Tingkat keuntungan (dalam jangka pendek dan jangka panjang) dari praktek 
pertanian berkelanjutan akan mempengaruhi penyebarannya secara luas. Adopsi dan pendapatan 
ekonomi dari sebuah teknologi merupakan fungsi dari atau dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti 
harga, permintaan konsumen untuk pangan jenis tertentu, infrastruktur fisik, akses pasar, agro-ekologi 
dan karakteristik dari rumah tangga (seperti kaya lawan miskin dan kepala keluarga laki-laki lawan 
kepala keluarga perempuan). Juga penting, tingkat keuntungan dari sebuah praktek tertentu 
bergantung pada kondisi agro-ekologi. Meningkatnya harga input akan mendorong adopsi praktek 
pertanian berkelanjutan karena petani akan menggantikan input eksternal dengan praktek yang 
seringnya lebih banyak menggunakan tenaga kerja dan sumberdaya yang tersedia secara lokal.
Pasar produk. Permintaan juga menjadi pendorong diadopsinya sebuah teknologi. Pengetahuan yang 
meningkat dan perbaikan jalur komunikasi akan mengarahkan konsumen untuk meningkatkan 
permintaannya akan produk pangan yang diproduksi secara organik di negara-negara maju. Pada saat 
yang sama, konsumen semakin meminta produk makanan yang diproduksi dengan menggunakan teknik 
konservasi sumberdaya alam, mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan menaruh perhatian terhadap kelayakan untuk daerah perdesaan dan kesejahteraan hewan. Hal ini bisa menjadi 
kesempatan untuk mengadopsi praktek-praktek pertanian berkelanjutan bagi negara-negara maju.
Petani-petani di negara berkembang tidak terintegrasi dengan pasar input dan output. Hal ini 
mempengaruhi promosi dan adopsi teknologi ini. Studi di Ethiopia, Kenya dan Republik Dominika 
menemukan bahwa infrastruktur dan akses pasar yang lebih baik mempunyai dampak positif terhadap 
adopsi teknologi termasuk praktek pertanian berkelanjutan. Biaya investasi yang dibayar di muka dan 
biaya transaksi dalam pembelajaran dalam mengembangkan atau adaptasi teknologi lama juga menjadi 
hambatan dalam mengadopsi teknologi ini, terutama di negara berkembang dimana pasar modal 
bersifat tak sempurna.
Akses Informasi. Akses terhadap informasi juga penting dalam menimbulkan kesadaran dan sikap 
terhadap adopsi teknologi. Ketidakcukupan informasi tentang ketersediaan, manfaat bersih dari adopsi, 
dan detil teknis implementasi praktek pertanian berkelanjutan menjadi penghambat untuk mengadopsi 
teknologi ini. Di Ethiopia, studi baru-baru ini menemukan bahwa akses terhadap pelayanan penyuluhan 
pertanian mempengaruhi adopsi kompos dan pengolahan tanah kurang (less tillage) secara positif, 
sedangkan pendidikan formal (sebagai lawan dari tanpa pendidikan sama sekali) meningkatkan 
kemungkinan penerapan kompos. Kurangnya kesadaran terhadap besarnya masalah erosi tanah seperti 
juga kurangnya pengetahuan tentang teknologi konservasi juga diidentifikasi sebagai dua hambatan 
utama petani dalam mengadopsi teknologi konservasi tanah dan air di Tanzania.
Penguasaan Lahan. Ketidakamanan penguasaan lahan (land tenure insecurity) telah terbukti menjadi 
kendala bagi setiap investasi dimana penerimaannya dibobot dengan (akan diterima di) masa depan, 
ketika uang kontan saat sekarang yang diperlukan. Hal ini berlaku untuk semua adopsi teknologi 
termasuk praktek pertanian berkelanjutan. Meskipun demikian, dampak ketidakamanan penguasaan 
lahan dalam investasi dari praktek berkelanjutan telah ditemukan spesifik lokasi atau negara. Di Filipina 
dan Honduras, ketidakamanan penguasaan secara positif dan signifikan mempengaruhi adopsi 
“hedgerow” (pagar tanaman hidup diantara tanaman yang diusahakan) dan pengolahan tanah minimum
(minimum tillage). Meskipun demikian, sebuah studi yang dilaksanakan di Uganda dan Selatan Ethiopia 
dimana kelangkaan sumberdaya merupakan hal yang umum, menemukan bahwa ketidakamanan 
penguasaan lahan tidak secara signifikan menghambat investasi pada lahan.
Kelembagaan. Kelembagaan juga merupakan aspek penting dalam memfasilitasi promosi dan adopsi 
praktek pertanian berkelanjutan. Penelitian terapan, pelayanan penyuluhan, dan jaringan LSM dapat 
menjadi jembatan untuk pengembangan, implementasi, dan adaptasi dari pratek-praktek seperti ini. 
Pendekatan partisipatoris yang ikut mempertimbangkan modal masyarakat (modal sosial) dalam 
implementasi teknologi telah diidentifikasi menjadi salah satu faktor penting dalam mempengaruhi 
adopsi dari praktek-praktek pertanian berkelanjutan.
Kurangnya pelayanan penyuluhan yang layak telah diidentifikasi sebagai penghambat dari adopsi 
teknologi untuk meningkatkan produktivitas, dan dianggap sebagai salah satu kelemahan sistem 
penyampaian dalam penyuluhan. Untuk menjamin bahwa informasi yang tepat dan terkini telah 
disampaikan oleh para penyuluh, diperlukan pengembangan sistem pelatihan dan organisasi yang 
senantiasa meningkatkan kompetensi para penyuluh, terutama mengenai praktek-praktek bertani tidak 
konvensional seperti pertanian berkelanjutan.
Dengan terbatasnya sumberdaya pemerintah dan tekanan keuangan yang dialami oleh institusi 
penyuluhan, adalah penting untuk mendorong kegiatan penyuluhan dari petani ke petani dengan melatih beberapa petani terpilih. Jaringan informal diantara para petani selalu menjadi saluran yang 
kuat untuk saling tukar menukar informasi dan menyebarkan pengetahuan. Misalnya di Kamboja, 
pengguna SIP telah tumbuh hampir 4000 kali pada tahun 2008 dibandingkan dengan pada tahun 2000, 
terutama melalui penyebarluasan informasi secara informal. Sebuah evaluasi yang dilakukan terhadap 
120 petani yang menggunakan metode SIP selama paling sedikit 3 tahun ditemukan bahwa, secara 
keseluruhan, mereka telah memberi informasi pada 969 rumah tangga di dalam desanya, dan 967 
rumah tangga di luar desanya. Akan tetapi, meskipun difusi informasi seperti itu sangat memberi 
harapan, hal ini tidak bisa menjadi pengganti terhadap keperluan adanya petugas penyuluhan yang 
terlatih baik. Mereka tetap diperlukan untuk memberikan informasi yang bisa dipercaya tentang 
praktek-praktek ini, dan karenanya akan menjamin keberlanjutannya. 
Sebagian besar petani di negara berkembang berada di luar sistem ‘ekonomi kontan’ dengan risiko dan 
biaya transaksi yang tinggi. Ini berarti kelembagaan yang ada di perdesaan menjadi sangat penting 
untuk menjangkau petani semacam ini, memberi mereka dengan informasi, kredit dan pelayanan 
pemasaran. Kelompok atau asosiasi petani dapat menjadi sumber informasi yang berharga bagi petani. 
Di Ethiopia bagian utara, keanggotaan rumah tangga dalam paling sedikit sebuah kelompok tani secara 
signifikan meningkatkan kemungkinan diterapkannya pengolahan tanah konservasi dan/atau kompos di 
lahan pertanian mereka. Juga di Ethiopia, pelayan kredit yang dikaitkan dengan bantuan teknis dari 
lembaga keuangan mikro meningkatkan penggunaan kompos dan investasi dalam pengolahan lahan, 
tanaman kayu-kayuan dan pagar hidup.
Kendala Politik. Pada tingkat nasional dan internasional, kebijakan lingkungan mungkin agak kondusif 
bagi penyebar-luasan praktek pertanian berkelanjutan. Pada awalnya, faktor yang mempengaruhi 
rancangan kebijakan pertanian adalah tingkat kesadaran para pembuat keputusan tentang manfaat dari 
praktek pertanian berkelanjutan, yang diantaranya mewakili perubahan yang signifikan dari paradigma 
yang diterima sebelumnya. Sebagai tambahan, pertanian berkelanjutan dengan mengurangi input 
eksternal seperti pupuk dan bahan kimia lainnya untuk mengontrol gulma dan hama, mungkin akan 
menghadapi tantangan dari industri agro-kimia dan aktor tradisional lainnya dalam rantai suplai input 
pertanian intensif. Agar bisa berhasil meningkatkan secara luas penerapan pertanian berkelanjutan 
diperlukan dukungan politik pada berbagai level dari lokal sampai nasional.
Kesimpulan
Setelah diketahuinya bukti-bukti potensi manfaat pertanian berkelanjutan, pertanyaan kebijakan yang 
utama adalah perubahan apa dari kebijakan, kelembagaan, penelitian dan pengembangan yang 
diperlukan untuk mendorong adopsi yang lebih luas dari praktek pertanian berkelajutan?
Pertama, harus memperoleh dukungan dari diterapkannya kebijakan lingkungan pada tingkat nasional. 
Diperlukan kebijakan yang lebih mempromosikan praktek pertanian berkelanjutan bila dibandingkan 
dengan teknologi pertanian konvensional. Hal ini dapat meliputi reformasi dalam hal subsidi yang 
sekarang ini lebih menyukai metode intensif sumberdaya dan input dari bercocok tanam dan pelayanan 
kredit untuk membeli barang-barang non-modal. 
Adopsi dan keragaan pertanian berkelanjutan ditentukan oleh berbagai faktor seperti kondisi agro￾ekologi, tipe rumah tangga, dan institusi pendukung. Hal ini membuat sekumpulan rekomendasi dan 
promosi praktek pertanian tidak mencukupi dalam beberapa keadaan tertentu. Kebijakan yang 
ditujukan untuk mempromosikan adopsi teknologi pertanian berkelanjutan harus didasarkan pada 
pemahaman tentang bagaimana faktor-faktor yang berbeda mempengaruhi keragaan teknologi 
tersebut. Harga pasar yang stabil dan mendorong bagi produk-produk yang dihasilkan dengan metode berkelanjutan dapat mendorong kelayakan ekonomi dari adopsi pertanian berkelanjutan, dan juga 
memberikan jaring pengaman yang penting bagi petani miskin. Rangsangan dari pasar produk-produk 
organik dan harga yang menarik akan mendukung produksi produk-produk pertanian berkelanjutan.
Peranan lembaga (baik formal maupun informal) dalam membantu promosi dan adopsi dari praktek 
pertanian berkelanjutan tidak dapat dianggap enteng. Penyebar-luasan adopsi pertanian berkelanjutan 
memerlukan peningkatan kesadaran dan pemahaman dari petani tentang potensi manfaat dari 
pertanian berkelanjutan. Yang pada gilirannya memerlukan peningkatan akses informasi dan 
pendidikan serta program pelatihan tentang pertanian berkelanjutan bagi petani dan penyuluh 
pertanian. Juga memerlukan dukungan kelembagaan dan jaringan formal maupun informal dari petani. 
Penelitian terapan, pelayanan penyuluhan, dan pengembangan oleh para praktisi dapat berperan 
sebagai sarana dalam mengembangkan dan mengimplementasikan praktek seperti ini. Akan tetapi, 
menemukan cara untuk menciptakan hubungan yang lebih dekat antara peneliti dan petani di lapangan, 
melalui peningkatan sistem penyuluhan dan saluran lain, adalah area dimana perbaikan harus banyak 
dilakukan.
Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh petani yang akan mengadopsi praktek pertanian 
berkelanjutan adalah ketersediaan sumberdaya. Untuk mengurangi kendala ini, kebijakan harus 
dikembangkan yang memberikan akses terhadap bahan bakar yang modern bagi rumah tangga di 
perdesaan (misalnya dengan memberikan kompos gas untuk memasak, biogas, memproduksi bahan 
bakar bio secara lokal, listrik perdesaan), mendorong dimasukannya makanan ternak legum ke dalam 
sistem pertanian dan siklus rotasi untuk meningkatkan produktivitas ternak; mendorong pengelolaan 
hara terpadu, dan memperkuat dan strukturisasi mekanisme membagi tenaga kerja (gotong-royong) di 
perdesaan.
Terakhir, kebijakan yang memperkuat modal sosial, misalnya dengan mendukung kelembagaan dan 
jaringan perdesaan, dapat membantu memadukan secara lebih baik petani di negara berkembang ke 
dalam pasar input dan output. Juga, kebijakan yang mendukung keamanan penguasaan tanah diantara 
petani, sehingga menurunkan risiko yang berkaitan pengambilan investasi dalam jangka panjang.