Kamis, 13 Juli 2023
idiot 1
paling sering terjadi dan paling mudah diidentifikasi. SD atau yang
lebih dikenal sebagai kelainan genetik trisomi, di mana ada
tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom ekstra ini
memicu jumlah protein tertentu juga berlebih sehingga
mengganggu pertumbuhan normal dari tubuh dan memicu
perubahan perkembangan otak yang sudah tertata sebelumnya.
Selain itu, kelainan ini dapat memicu keterlambatan
perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung,
bahkan kanker darah/leukemia.Kelainan ini sama sekali tidak
berhubungan dengan ras, negara, agama, maupun status sosial
ekonomi.
Pada tahun 1866, John Langdon Down, seorang dokter
berkewarganegaraan Inggris, menulis sebuah esai berjudul
“Observation on an ethnic classification of idiots” di mana ia
mendeskripsikan sekelompok anak dengan penampakan umum
yang berbeda dari anak lain yang mengalami retardasi mental dan
kemudian disebut sebagai mongolism atau mongolia idiocy. Istilah ini
dibuat berdasar persepsi bahwa anak-anak ini
karakteristik wajah yaitu berupa lipatan epicantus yang sama dengan
ras Blumenbach di Mongolia.
Dengan berkembangnya penemuan teknik pemeriksaan
kariotipe, pada tahun 1959, Profesor Jerome Lejeune menemukan
bahwa SD dipicu oleh ekstra kromosom pada kromosom 21
yang kemudian disebut sebagai trisomi
Pada tahun 1961, 19 orang peneliti genetik menyarankan
pada majalah The Lancet agar nama yang memalukan dan memiliki
konotasi negatif ini diganti. The Lancet lalu memakai nama
Down’s Syndrome. Pada tahun 1965, WHO secara resmi menghentikan
penggunaan istilah mongolism atas permintaan delegasi dari
Mongol.
Pada tahun 1975, the United States National Institute of Health
menyarankan untuk menghilangkan tanda (’) karena pemberi
nama bukanlah pemilik dari kelainan ini . Oleh sebab itu,
sejak saat itu hingga sekarang, istilah yang dipakai yaitu Down
Syndrome.
Insiden kejadian SD diperkirakan 1 di antara 800-1000 kelahiran.
Frekuensi kejadian SD di negara kita yaitu 1 dalam 600 kelahiran
hidup. Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan yaitu 10 SD per
10.000 kelahiran hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini
telah meningkat. Insiden penderita SD dilaporkan meningkat di
Finlandia yakni sebesar 1/364 kelahiran, Dubai 1/449, dan Belanda
1/625.7-9 Prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial budaya.
Di beberapa negara di mana aborsi merupakan tindakan ilegal
seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensi SD lebih tinggi.
Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah. Hal ini mungkin
dipicu karena persentase penghentian kehamilan yang tinggi
pada anak dengan terdeteksi SD. Di Belanda, data terbaru dari
prevalensi SD yaitu 16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris,
prevalensi kehamilan bayi dengan SD telah meningkat secara
signifikan, namun belum ada perubahan secara keseluruhan
prevalensi kelahiran hidup dari SD.
Usia ibu saat hamil memengaruhi risiko melahirkan anak
dengan SD. Semakin meningkat usia ibu saat kehamilan, semakin
besar risiko melahirkan anak dengan SD. Pada saat usia ibu 20-24
tahun, risiko kejadian SD yaitu 1:1490, usia 40 tahun sekitar 1:106,
dan pada usia 49 tahun sekitar 1:11 kelahiran. Walaupun demikian,
sekitar 80% anak dengan SD lahir dari ibu yang berusia kurang
dari 35 tahun karena usia ini merupakan kelompok usia
subur.
Didapatkan peningkatan angka kejadian sindrom down seiring
dengan pertambahan usia ibu saat hamil
berdasar kelainan struktur dan jumlah kromosom, Sindrom
Down terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Trisomi 21 klasik yaitu bentuk kelainan yang paling sering
terjadi pada penderita Sindrom Down, di mana ada
tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian trisomi
21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita Sindrom Down.
2. Translokasi yaitu suatu keadaan di mana tambahan kromosom
21 melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel
pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel
dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4%
dari seluruh penderita Sindrom Down. Pada beberapa kasus,
translokasi Sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini
hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.
Mosaik yaitu bentuk kelainan yang paling jarang terjadi,
di mana hanya beberapa sel saja yang memiliki kelebihan
kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan Sindrom Down
mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan
yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan Sindrom
Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya
mengenai sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down.13
Hingga saat ini belum diketahui pasti pemicu Sindrom Down.
Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang
terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu pemicu yang
sering dikemukakan dan pemicu ini tidak berkaitan dengan apa
yang dilakukan ibu selama kehamilan. Sindrom Down terjadi karena
kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada
manusia normal, 23 kromosom ini berpasang-pasangan hingga
berjumlah 46. Pada penderita Sindrom Down, kromosom 21 ini
berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom.2,3
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat
berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi
translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom
akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian
dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom
lain.3,14,15
Selain nondisjunction, pemicu lain dari Sindrom Down
yaitu anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid
untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada
pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan
atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk
ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat
meiosis ataupun mitosis.3,14,15
Hall menuliskan bahwa Sindrom Down dipicu oleh
adanya kromosom ekstra pada pasangan kromosom ke 21, yang
dapat mengambil bentuk salah satu di antara 4 pola, yaitu trisomi,
translokasi, mosaik, dan duplikasi.
Trisomi 21 (47, XX, +21) merupakan bentuk Sindrom Down yang
paling umum, meliputi 95% dari semua kasus, yang dipicu
oleh kesalahan dalam pembelahan sel sehingga ada 3 buah
kromosom 21 pada seluruh sel tubuh. Tipe ini sebenarnya tidak
diwariskan walaupun peluang untuk mendapat anak lain dengan
Sindrom Down meningkat menjadi 1 banding 100 pada populasi
umum.1,2,6
Translokasi Robertsonian atau Sindrom Down familial, meliputi
3-4% dari seluruh kasus, di mana lengan panjang kromosom 21
menempel pada kromosom lain, biasanya kromosom 14 (45, XX,
t(14;21q)), atau pada kromosom 21 sendiri dan disebut iso kromosom
(45, XX, t(21q,21q)). Pada tipe ini salah satu dari orang tua akan
membawa materi kromosom dengan urutan yang tidak lazim
sehingga diperlukan konseling genetik.1,2,6
Mosaik (46, XX atau 47, XX+21) merupakan bentuk yang jarang
di mana hanya terjadi sekitar 1-2% saja. Pada bentuk ini, ada sel
yang mengandung kromosom ekstra dan ada yang tidak. Semakin
sedikit sel yang terpengaruh, semakin kecil derajat gangguan
yang ditimbulkan. Duplikasi bagian dari kromosom 21 (46, XX,
dup(21q)) merupakan bentuk yang sangat jarang. Duplikasi ini akan
memicu bertambahnya gen pada kromosom 21.1,2,6
2.3 FAKTOR RISIKO SINDROM DOWN
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya
pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga
saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang
perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah
pada tahap ini sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu ini ,
oosit mengalami non-disjunction.2,14
Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang
mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa
normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi
21. Nondisjunction ini dapat dipicu oleh beberapa hal, yaitu:
1. Infeksi virus. Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus
tersering pada prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang
dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga
memicu perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
2. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu pemicu dari nondisjunctinal
pada Sindrom Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah
perut sebelum terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom
Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan pemicu
beberapa kejadian Sindrom Down di Berlin.
3. Penuaan sel telur. Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap
kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat
terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami
kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk
pada saat masih dalam kandungan yang akan dimatangkan
satu per satu setiap bulan pada saat wanita ini mengalami
menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel
telur ini terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat
dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan
yang salah. Proses kemudian dipicu oleh keterlambatan
pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama pada
pasangan tua. Faktor kemudian dipicu oleh penuaan sel
spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel sperma itu
sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan
motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek
ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah.
4. Usia ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko
melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan dengan
ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Sindrom
Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar
kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin
seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon
LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause,
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat
berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi
translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom
akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian
dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom
lain.
Selain nondisjunction, pemicu lain dari Sindrom Down
yaitu anaphase lag yang merupakan kegagalan dari kromosom
atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang
terbentuk pada pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak
masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada
saat meiosis ataupun mitosis.
Anak Sindrom Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya.
Beberapa karakteristik fisik khusus, meliputi:
- bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang
normal (microchephaly) dengan area datar di bagian tengkuk.
- ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat
(rata-rata usia 2 tahun).
- bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds).
- bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia)
sehingga tampak menonjol keluar.
- saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat
memicu gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
- garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian
crease)
- penurunan tonus otot (hypotonia)
- jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan
jalan napas lebih kecil sehingga anak Sindrom Down mudah
mengalami hidung buntu.
- tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak
mencapai tinggi dewasa rata-rata.
- dagu kecil (micrognatia)
- gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan
yang tidak sebagaimana mestinya.
- spot putih di iris mata (Brushfield spots).18-20
Sementara itu, Epstein (1991) mendapatkan sebanyak 50-120
karakteristik fisik yang digolongkan sebagai Sindrom Down seperti
yang tercantum dalam tabel berikut.
Bentuk mata yang khas dengan adanya lipatan kecil yang
menutupi sudut bagian dalam mata inilah yang membuat John
Langdon Down menamakannya dengan istilah “mongolism”. Istilah
ini kemudian dinilai tidak pantas dan diganti dengan Sindrom
Down pada tahun 1961.
Kromosom yaitu struktur seperti benang yang terdiri atas
DNA dan protein lain. Kromosom-kromosom ini ada pada setiap
sel tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan oleh
sel untuk berkembang. Gen yaitu unit informasi yang dikodekan
dalam DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat
disusun dalam 23 pasang. Dari 23 pasang, 22 pasang kromosom
ini sama baik pria maupun wanita yang disebut dengan autosom.
Pasangan kromosom ke-23 yaitu kromosom kelamin (X dan Y).
Setiap anggota dari sepasang kromosom membawa informasi yang
sama, yang berarti bahwa gen yang sama berada di daerah yang
sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin dapat
terjadi. Contoh yaitu informasi genetik untuk warna mata disebut
gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain disebut alel.
ada dua cara pembelahan sel pada manusia. Pertama
yaitu pembelahan sel biasa yang disebut mitosis. Dengan cara ini,
satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki jumlah dan tipe
kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Kedua
yaitu pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis yang
disebut sebagai meiosis. Pembelahan ini terdiri dari satu sel yang
membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari
jumlah kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma
hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46.
ada banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses
pembelahan sel. Pada meiosis, beberapa pasang kromosom
membelah diri dan berpisah ke tempat yang berbeda, peristiwa ini
disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang sel
tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu lokasi. Ini berarti
bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki
24 kromosom dan yang lain hanya akan memiliki 22 kromosom.
Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat
terjadi pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I).
Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom yang abnormal
menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan
memiliki jumlah kromosom yang abnormal. Kelainan kromosom
Sindrom Down didapatkan sebesar 8% pada kelahiran yang
memicu sekitar 50% aborsi terjadi pada trimester pertama, 5%
lahir mati, dan 7% kematian neonatus. Kelainan kromosom yang
masih memungkinkan janin hidup tetapi menimbulkan morbiditas
berat terjadi pada 0,65% neonatus. Kelainan kromosom dapat terjadi
baik pada jumlah maupun strukturnya.
Jumlah kromosom pada manusia yaitu 44 autosom, tersusun
dalam pasangan yang diberi nomor dari 1 hingga 22, dan satu pasang
kromosom seks. Aneuploidi yaitu keadaan di mana seseorang
kehilangan satu kromosom (monosomi) atau memiliki lebih dari
dua kromosom (trisomi).
1. Trisomi
Kelainan jumlah paling sering dipicu oleh nondisjunction,
yaitu kromosom berpasangan dengan benar, tetapi gagal
memisah sewaktu meiosis. Risiko nondisjunction meningkat
seiring usia ibu. Trisomi 16 dilaporkan memicu 16%
kematian trimester pertama, namun kelainan ini belum pernah
dijumpai pada kehamilan akhir. Aneuploidi yang memungkinkan
kelangsungan hidup melewati trimester pertama yaitu trisomi
13, 18, dan 21.
Trisomi 21 disebut juga Sindrom Down, terjadi pada 1 dari 800
hingga 1000 neonatus. Hampir 95% kasus Sindrom Down terjadi
akibat nondisjunction kromosom 21 ibu. Trisomi 18 juga dikenal
sebagai Sindrom Edward dan terjadi pada 1 dari 8000 neonatus.
Orang dengan sindrom Edward akan mengalami disabilitas
intelektual berat dan memicu terjadinya kelainan pada
beberapa bagian tubuh. Trisomi 13 juga dikenal sebagai sindrom
Patau dan terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 kelahiran. Beberapa
penderita trisomi 13 akan mengalami disabilitas intelektual
berat.
2. Monosomi
Monosomi hampir selalu memicu kematian, kecuali
monosomi X yang juga dikenal sebagai Sindrom Turner.
Sindrom Turner terjadi pada wanita, di mana hanya memiliki
satu kromosom seks. Prevalensi kejadian ini yaitu 1 dari 2500
kelahiran hidup.
3. Poliploidi
Tambahan kromosom merupakan pemicu sekitar 20% abortus
dini dan jarang dijumpai pada kehamilan tahap lanjut. Triploidi
yaitu kelainan yang tersering.
4. Kromosom Seks Tambahan
Wanita dengan 47,XXX dan pria dengan 47,XXY (juga dikenal
dengan Sindrom Klinefelter) cenderung memiliki tubuh yang
tinggi tetapi tidak ada pertumbuhan seks sekunder. Baik pada
XXX maupun XXY memiliki rerata IQ lebih rendah daripada
orang normal. Selain itu, ada juga pria dengan 47,XYY atau
disebut juga dengan Sindrom Jacob yang terjadi pada 1 dari 1000
kelahiran hidup.
3.3 KELAINAN STRUKTUR KROMOSOM
Kelainan struktur kromosom terjadi ketika kerusakan tidak
dapat diperbaiki secara benar atau terjadi proses rekombinasi yang
salah antara kromosom yang nonhomolog pada tahap meiosis.
Kelainan ini dapat dipicu akibat kesalahan pada saat proses
penyatuan yang terjadi saat crossing over pada meiosis I.
1. Delesi yaitu hilangnya suatu bagian kromosom yang dipicu
karena adanya kesalahan crossing over selama meiosis, dan dapat
juga dipicu karena adanya penyakit genetik yang serius.
Delesi 4p atau dikenal juga sebagai Sindrom Wolf-Hirschhorn
memicu hambatan pertumbuhan janin, hipotonia,
penampilan wajah yang khas, disabilitas intelektual berat, dan
defek kulit kepala di garis tengah posterior (aplasia kutis).
2. Translokasi yaitu suatu keadaan di mana terjadi perpindahan
materi kromosom yang satu dengan yang lainnya. Pertukaran ini
biasanya tidak disertai dengan hilangnya materi DNA sehingga
disebut balanced translocation. Namun pada carrier balanced
translocation, akan memberikan keturunan dengan unbalanced
translocation, yaitu suatu keadaan di mana perpindahan
materi kromosom ini disertai dengan hilangnya materi DNA.
Translokasi resiprokal atau segmen ganda yaitu tata ulang
materi kromosom, ditandai dengan terjadinya pemutusan di dua
kromosom yang berbeda. Kemudian terjadi pertukaran fragmen–
fragmen sebelum pemutusan ini diperbaiki. Translokasi
Robertsonian terjadi akibat fusi di sentromer dua kromosom
akrosentrik, yaitu kromosom 13, 14, 15, 21, dan 22. Translokasi
ini terjadi pada sekitar 1 dari 1000 neonatus.
3. Inversi, terjadi jika ada dua pemutusan di kromosom
yang sama dan materi genetik yang terletak di antara titik-titik
pemutusan ini mengalami pembalikan (inversi) sebelum
pemutusan diperbaiki. Inversi parasentrik yaitu inversi ketika
bahan genetik yang terbalik berasal hanya dari satu lengan
dan tidak melibatkan sentromer. Inversi perisentrik terjadi
jika pemutusan berlangsung di masing-masing lengan dan
melibatkan sentromer.
4. Isokromosom yaitu suatu keadaan di mana salah satu lengan
kromosom mengalami delesi, kemudian digantikan oleh
duplikasi dari lengan yang lainnya, sehingga lengan panjang
dan lengan pendek tampak identik.
5. Insersi yaitu suatu keadaan yang terjadi karena segmen dari
salah satu kromosom dimasukkan ke dalam kromosom yang
lain.
6. Duplikasi yaitu adanya dua salinan salah satu segmen kromosom
pada kromosom yang sama.
Sindrom Down dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang
dipicu adanya tiga kromosom 21. berdasar pemeriksaan
sitogenetik, umumnya Sindrom Down dibedakan atas tiga tipe,
yaitu trisomi klasik, translokasi, dan mosaik. Jenis trisomi klasik
merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Frekuensi trisomi
klasik, translokasi, dan mosaik masing-masing pada penelitian yang
dilakukan di Tunisia oleh Chaabouni dkk (1999) di mana frekuensi
masing-masing 91,2%, 4%, dan 4,8% dan penelitian lain di India oleh
Verma dkk (2012) dengan frekuensi masing-masing yaitu 91,6%,
4,1% dan 4,1%.2,3,13,23-25
3.5 SINDROM DOWN TRISOMI 21 KLASIK
Pada Sindrom Down, 95% dari semua kasus dipicu oleh
peristiwa ini, satu sel memiliki dua kromosom 21 sehingga sel
telur yang dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena
itu, sering disebut dengan nama ilmiah trisomi 21. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa, dalam kasus ini sekitar 90% dari sel-sel yang
abnormal yaitu sel telur. pemicu kesalahan nondisjunction tidak
diketahui, tetapi secara pasti memiliki kaitan dengan usia ibu.
Penelitian saat ini bertujuan untuk mencoba menentukan pemicu
dan waktu terjadinya peristiwa nondisjunction. Pada trisomi 21,
kehadiran sebuah gen tambahan memicu ekspresi berlebih
dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi produk
tertentu. Untuk sebagian besar gen, ekspresi yang berlebihan
memiliki pengaruh yang kecil karena adanya mekanisme tubuh yang
mengatur gen dan produknya. Akan tetapi, gen yang memicu
Sindrom Down tampaknya merupakan suatu pengecualian.
Translokasi Robersonian terjadi pada 3-4% dari semua kasus
trisomi 21. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom
yang terpisah, biasanya pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan
ulang materi genetik sehingga beberapa dari kromosom 14 digantikan
oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah
kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa
anak mungkin hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21, bukan
pada keseluruhan kromosom, yang biasa disebut dengan trisomi 21
parsial. Translokasi yang dihasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat
diwariskan, jadi penting untuk memeriksa kromosom orang tua
dalam kasus ini untuk melihat apakah anak mungkin memiliki sifat
pembawa (carrier).
Translokasi Robersonian dan isokrosomal atau kromosom
cincin merupakan pemicu lain Sindrom Down. Isokromosom
yaitu istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan keadaan di
mana dua lengan panjang dan lengan pendek berpisah bersamaan
selama perkembangan sperma ovum. Trisomi (kariotipe 47, XX + 21
untuk perempuan dan 47, XY + 21 untuk laki-laki) dipicu oleh
kegagalan kromosom 21 untuk membelah selama perkembangan
sperma atau ovum. Pada translokasi Robertsonian yang hanya
muncul pada 2-4% dari semua kasus, lengan panjang dari kromosom
21 menempel dengan kromosom lain (biasanya kromosom 14).
Sisa kasus trisomi 21 yaitu karena kejadian mosaik. Orang�orang ini memiliki campuran garis sel, beberapa di antaranya
memiliki sejumlah kromosom normal dan lainnya memiliki trisomi
21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang
sama. Dalam mosaik jaringan, satu set sel seperti semua sel darah
mungkin memiliki kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti
semua sel-sel kulit, mungkin memiliki trisomi 21. Proses ini bekerja
dengan kesalahan atau kegagalan pembelahan yang muncul setelah
fertilisasi pada beberapa titik selama pembelahan sel. Sindrom Down
mosaik memiliki dua jalur keturunan sel yang berkontribusi pada
jaringan dan organ pada individu dengan mosaikisme (satu dengan
jumlah kromosom normal, dan satu lainnya dengan tambahan pada
21).
Hipotesis ketidakseimbangan gen menyatakan bahwa pasien
dengan Sindrom Down memiliki jumlah salinan gen pada HSA21
yang meningkat, sehingga menimbulkan peningkatan ekspresi gen.
Hipotesis ini mengandung arti bahwa gen atau bagian spesifik dari
gen mungkin mengatur fenotip Sindrom Down tertentu. Hipotesis
ketidakstabilan perkembangan yang makin kuat menyatakan bahwa
dosis dari sejumlah gen trisomi membawa ketidakseimbangan
genetik yang memicu dampak besar pada ekspresi dan
regulasi dari banyak gen sepanjang genom. Analisis fenotip
dilakukan pada individu dengan trisomi sebagian untuk HSA21
teridentifikasi bahwa hanya satu atau beberapa bagian kecil pada
kromosom disebut sebagai “Down Syndrome Critical Regions” (DSCR),
sebuah bagian dengan 3.8–6.5 Mb pada 21q21.22, dengan kira-kira
30 gen yang terkait pada mayoritas fenotip pada Sindrom Down.
Sebelumnya, sebuah bagian dari 1.6 sampai 2.5 Mb dikenali sebagai
pemicu untuk fenotip Sindrom Down. Bagian dari 21q22 diketahui
berpengaruh pada beberapa fenotip termasuk abnormalitas kepala
wajah, penyakit jantung bawaan, klinodaktili pada jari kelima, dan
retardasi mental.
Peranan penting Dual-specificity tyrosine phosphorylation-regulated
kinase (DYRK1A), regulator of calcineurin 1 (RCAN1), dan Down
Syndrome Cell Adhesion Molecule (DSCAM) dalam perkembangan otak
dan telah diidentifikasi sebagai gen kandidat terhadap peningkatan
risiko dari penyakit jantung bawaan pada individu dengan Sindrom
Down. DSCAM merupakan faktor penting pada diferensiasi neural,
pedoman akson, dan penetapan dari jaringan saraf dan diduga
bahwa gangguan dari proses-proses ini berkontribusi pada fenotip
neurokognitif Sindrom Down.
Transkripsi dari gen trisomi meningkat sekitar 50% dari variasi
sel dan jaringan. Peningkatan ekspresi ini dapat mengganggu
fungsi sel yang berdiferensiasi pada peningkatan ekspresi dan
sebagai penentuan mekanisme ekspresi berlebihan gen-gen yang
berkonstribusi pada fenotip Sindrom Down. Ekspresi berlebihan
gen tidak hanya memengaruhi perkembangan dan fungsi sel,
namun juga memengaruhi sel di sebelahnya, yang memicu
perkembangan yang menyimpang sebagai dampak sekunder dari
trisomi. Sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya benar�benar perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada Sindrom Down,
yang disebut sebagai Down’s Syndrome Critical Region. Namun, area
ini bukan merupakan satu daerah yang kecil, tetapi beberapa daerah
yang kemungkinan besar tidak selalu berdampingan. Kromosom 21
mungkin benar-benar memegang 200-250 gen (menjadi kromosom
yang terkecil dalam hal jumlah gen), tetapi diperkirakan bahwa
hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada
Sindrom Down.
Adanya Down’s Syndrome Critical Region (DSCR) sebuah segmen
kecil pada kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung
jawab pada ciri-ciri utama Sindrom Down, telah mendominasi
penelitian Sindrom Down pada tiga dekade terakhir. Gen-gen yang
ada pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan
DSCR2. 28,29 Menurut Davies dkk (2006) DSCR1 yang sekarang diberi
nama Regulator of Calcineurin 1 (RCAN1) diekspresikan berlebih
dalam otak fetus Sindrom Down dan berinteraksi secara fisik dan
fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik subunit dari
kalsium/calmodulin-dependent protein phosphatase.
30 Patterson D pada
tahun 2007 mengatakan bahwa RCAN1 yang banyak diekspresikan
di otak dan jantung menunjukkan bahwa ekspresi berlebih ini
berhubungan dengan patogenesis Sindrom Down, terutama retardasi
mental dan/atau kelainan jantung.28 Sementara itu, Korbel pada tahun
2009 mengungkapkan bahwa DSCR2 lebih banyak diekspresikan
pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan
fetus, testis, dan sel kanker.
Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya Sindrom Down
meliputi:
a. Superoxide Dismustase (SOD1) – ekspresi berlebih yang
memicu penuaan dini dan menurunnya fungsi sistem
imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.
b. COL6A1 – ekspresi berlebih yang memicu cacat jantung.
c. ETS2 – ekspresi berlebih yang memicu kelainan tulang
(abnormalitas skeletal).
d. CAF1A – ekspresi berlebih yang dapat merusak sintesis DNA.
e. Cystathione Beta Synthase (CBS) – ekspresi berlebih yang
memicu gangguan metabolisme dan perbaikan DNA.
f. DYRK – ekspresi berlebih yang memicu retardasi mental.
g. CRYA1 – ekspresi berlebih yang memicu katarak.
h. GART – ekspresi berlebih yang memicu gangguan sintesis
dan perbaikan DNA.
i. IFNAR – gen yang mengekspresikan interferon, ekspresi berlebih
yang dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem
organ lainnya.
Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, di antaranya APP,
GLUR5, S100B, TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi,
penting untuk diketahui bahwa belum ada gen yang sepenuhnya
terkait dengan setiap karakteristik yang berhubungan dengan
Sindrom Down.
SKRINING DAN DIAGNOSIS SINDROM DOWN
Singh dkk (2004), menyarankan dilakukan skrining untuk
Sindrom Down pada ibu hamil yang memiliki risiko tinggi
yaitu ibu hamil berusia tua. Skrining dapat dilakukan dengan
cara noninvasif, yaitu melalui triple, quad, AFP/free beta, dan nuchal
translucency screening test. Skrining yang positif harus ditindaklanjuti
dengan usaha untuk menegakkan diagnosis prenatal dengan
memakai cara yang lebih invasif, yaitu Chorionic Villous Sampling,
Amniocentesis, atau Percutaneus Umbilical Blood Sampling. Sementara
diagnosis Sindrom Down postnatal, dilakukan berdasar
identifikasi karakteristik fisik yang sering dijumpai pada bayi baru
lahir dengan Sindrom Down dan dikonfirmasi dengan analisis
kromosom.
DIAGNOSIS PRENATAL
Prevalensi hasil konsepsi memiliki kelainan, yaitu sekitar
8%. Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukan tes diagnosis
prenatal invasif yang saat ini masih merupakan standar baku.
Diagnosis prenatal pada kehamilan risiko tinggi dapat mengurangi
penurunan terjadinya Sindrom Down melalui amniosintesis dan
Chorion Villus Sampling (CVS).32
Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG dan
PAPP-A) dan triple test pada trimester II (Feto Protein, Unconjugated
Estradiol 3 dan ß-hCG) merupakan metode yang sering dipakai
untuk skrining kelainan kromosom. Prosedur standar (gold standard)
untuk diagnosis prenatal yaitu dengan fetal karyotyping pada wanita
hamil. Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan invasif
yaitu CVS atau amniosintesis. ada beberapa assay molekuler
seperti Fluorescent in situ Hybridization (FISH), Quantitative Fluorescence
PCR (QF-PCR), dan MLPA Multiplex Probe Ligation Assay (MLPA) yang
juga dapat dipakai untuk diagnosis prenatal.33,34
Amniosintesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban
yang kemudian diuji untuk menganalisis kromosom janin. Pada
trimester II (minggu ke 14-20 kehamilan), cara ini merupakan
teknik invasif yang paling umum dipakai karena lebih aman dan
lebih mudah (dibandingkan dengan amniosintesis pada trimester I
dan CVS), terpercaya, dan akurat dari segi sitogenetik serta biaya
yang relatif murah daripada metode skrining yang lain. Komplikasi
amniosintesis berkisar antara 0,5-2,2%. Amniosintesis dan CVS
cukup dapat diandalkan tetapi memberikan risiko keguguran sekitar
0,5-1%. CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta.
Sampel ini akan diuji untuk melihat kromosom janin. Teknik
ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga empat
belas.33,34 berdasar tanda klinis seperti adanya tulang hidung
yang kecil atau bahkan tidak ada, ventrikel yang besar, dan leher
yang tebal, risiko untuk janin Sindrom Down dapat diidentifikasi
melalui USG pada minggu gestasional ke 14 sampai 24. Peningkatan
translusensi leher janin mengindikasikan peningkatan risiko dari
Sindrom Down.34
Metode FISH dari nukleus interfase merupakan metode yang
paling sering dipakai dengan memakai HSA21 spesifik atau
seluruh HSA21. Metode lain yang sering dipakai di beberapa
negara yaitu QFPCR, di mana tanda polimorfik DNA (mikrosatelit)
pada HSA21 dipakai untuk menentukan keberadaan dari tiga
alel berbeda. Metode ini mengandalkan tanda informatif dan
ketersediaan DNA. Diagnosis cepat dengan metode berdasar
PCR memakai tanda STR polimorfik mungkin menurunkan
kesulitan dengan pendekatan konvensional. Penggunaan metode
tanda STR dapat mendeteksi trisomi pada 86,67% kasus dengan
hanya dua marker.34,35 Metode tambahan untuk mengukur jumlah
salinan dari urutan DNA termasuk MLPA yang pertama kali
dikenalkan pada 2002 sebagai metode dari kuantifikasi relatif di
DNA. MLPA memberikan berbagai keuntungan, seperti waktu yang
sangat pendek untuk diagnosis (2-4 hari), efektivitas, sederhana,
dan harga yang murah. MLPA tidak dapat mengidentifikasi pada
plasenta yang sedikit.
Metode terkini disebut Paralogous Sequence Quantification (PSQ),
memakai urutan paralog untuk kuantifikasi jumlah salinan
HSA21. PSQ yaitu metode berbasis PCR untuk mendeteksi jumlah
kromosom target yang abnormal yang disebut PSQ, berdasar
penggunaan dari gen paralog. Urutan paralog memiliki derajat tinggi
dalam identitas urutan, tetapi akumulasi pengganti nukelotida dalam
lokus spesifik. PSQ mudah dipakai , mudah untuk diatur sebagai
metode untuk diagnosis pada aneuploidi yang umum dan dapat
dilakukan kurang dari 48 jam. Pengurutannya secara kuantitatif
dipakai dengan pyrosequencing. Perbandingan hibridisasi genomik
pada BAC dapat dipakai untuk diagnosis dari trisomi atau
monosomi penuh, dan untuk aneuploidi sebagian.
Sensitivitas penanda uji tapis untuk Sindrom Down berkisar
antara 61%-67%. Pada ibu yang mengandung fetus dengan SD
seringkali didapatkan kadar serum maternal alfa-fetoprotein dan
unconjugated estriol yang lebih rendah dari normal. Sebaliknya,
kadar serum maternal beta-human chorionic gonadotropin (beta�hCG) didapatkan lebih tinggi dari normal. Uji diagnostik prenatal
yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sampel vilus korionik,
amniosintesis, dan percutaneus blood sampling, dengan tingkat akurasi
98-99%.
4.3 DIAGNOSIS POSTNATAL
Diagnosis Sindrom Down post natal didasarkan pada gabungan
gambaran fisis yang khas dan konfirmasi dengan pemeriksaan
kariotipe genetik. Seringkali tanda awal yang dapat dijumpai pada
neonatus dengan SD yaitu hipotoni. Gambaran khas lainnya yaitu
brakisefal, fisura palpebra yang oblik, jarak antara jari kaki ke-1 dan
ke-2 yang agak jauh, jaringan kulit yang longgar di belakang leher,
hiperfleksibilitas, low set ears, protrusi lidah, depressed nasal bridge,
lipatan epikantus, bercak Brushfield (titik-titik kecil pada pupil
yang letaknya tidak beraturan dan berwarna kontras), jari ke-5 yang
pendek dan melengkung, simian crease, dan didapatkan tanda-tanda
penyakit jantung bawaan.
Analisis sitogenetik dari kariotipe metafase masih menjadi
standar praktis dalam identifikasi, tidak hanya trisomi 21, tetapi
segala aneuploidi lainnya dan translokasi yang seimbang. Analisis
sitogenetik yaitu studi tentang jumlah dan struktur umum dari
46 kromosom, yang juga dikenal sebagai kariotipe. Kromosom dari
sel-sel tubuh (biasanya dari sel darah putih) dihitung jumlahnya
apakah normal atau tidak, dan struktur kromosom dilihat apakah
ada delesi atau duplikasi.
Pengambilan darah pasien diambil dari darah vena/kapiler
berheparin. Darah yang telah diambil kemudian diteteskan ke dalam
media-media yang berbeda, yaitu RPMI1640, MEM, dan TC199. Proses
ini disebut sebagai proses penanaman di mana dibutuhkan waktu
sekitar 3-4 hari sebelum proses pemanenan. Pada proses pemanenan
dibutuhkan larutan colchicine atau colcemid yang berperan untuk
menghentikan proses mitosis (metafase). Proses kemudian , yaitu
proses pengecatan. Setelah proses pengecatan selesai, preparat dapat
dilihat di bawah mikroskop untuk dinilai apakah ada kelainan
kromosom atau tidak.
Indikasi untuk dilakukannya analisis sitogenetik yaitu sebagai
berikut:
1. Gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan, perawakan
pendek, alat kelamin ambigu, dan disabilitas intelektual
2. Lahir mati dan kematian neonatus: insiden kelainan kromosom
lebih tinggi pada bayi lahir mati dan bayi yang meninggal tak
lama setelah lahir (masing-masing sekitar 10%) dibandingkan
kelahiran hidup (0,7%). Analisis sitogenetik mungkin dapat
mengidentifikasi kematian dan memberikan informasi
penting untuk diagnosis prenatal pada kehamilan yang
mendatang
Analisis sitogenetik direkomendasikan untuk wanita hamil
dengan riwayat kehamilan sebelumnya dengan bayi Sindrom Down,
pasangan dengan riwayat infertilitas, dan keguguran berulang.
Anak dengan Sindrom Down sering disertai dengan kelainan di
bidang medis, di antaranya kelainan jantung dan pembuluh darah,
hormon, pendengaran, penglihatan, tulang, dan keganasan. Oleh
karena itu, untuk mencapai kualitas hidup dan potensi maksimal,
diperlukan optimalisasi dengan identifikasi dini dan penanganan
multidisipliner dari berbagai bidang disiplin ilmu.
Kelainan jantung bawaan ditemukan pada 40-60% bayi dengan
Sindrom Down berupa defek kanal atrioventrikuler komplit (60%),
defek septum ventrikel (32%), Tetralogi of Fallot (6%), defek septum
atrium sekundum (1%), dan Isolated Mitral Cleft (1%). Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan
jantung bawaan yaitu ekokardiografi. Anak yang lebih muda
(<3 tahun) memiliki kelainan jantung lebih banyak dibandingkan
dengan anak yang lebih tua. Beberapa anak bahkan memiliki lebih
dari satu kelainan jantung.
Anak SD dengan kelainan jantung bawaan berat yang stabil
secara klinis dapat memberikan gejala berat setelah usia 8 bulan.
Insiden dari penyakit jantung bawaan pada bayi yang baru lahir
dengan Sindrom Down mencapai 50%. Gangguan endokardium
berupa gangguan atrium ventrikel merupakan bentuk paling sering
sekitar 40%. Defek septum ventrikel juga muncul pada populasi ini
yang memengaruhi sampai 35% dari semua pasien.
Mutasi pada non-HSA21, gen CRELD1 (Cysteine rich EGF like
domain 1) berperan dalam perkembangan defek septum atrium
ventrikel di Sindrom Down. CRELD1, terletak di kromosom 3p25,
mengode protein permukaan sel dan berfungsi sebagai molekul
penempelan sel serta diekspresikan selama perkembangan jantung.
Gen CRELD1 mengandung 11 ekson yang memanjang kira-kira 12kb.
Sampai sekarang, dua lokus genetik spesifik untuk defek septum
atrium ventrikel telah dikenali. Salah satu lokus berada pada
kromosom 1p31-p21, lokus lainnya berada pada kromosom 3p25 dan
gen yang terkait yaitu CRELD1.
Selain itu, penelitian terbaru menyatakan bahwa ada
penurunan kejadian hipertensi pada pasien dengan Sindrom
Down. Trisomi dari miRNA HSA21 HAS-miR-155 berperan dalam
mekanisme ini. HAS-miR-155 bekerja pada satu target alel khusus
pada gen reseptor angiotensin tipe II dan berperan dalam penurunan
risiko hipertensi.
Masalah hormon pada anak Sindrom Down tersering yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan yaitu
gangguan pada hormon tiroid dan gonad.
1. Gangguan Hormon Tiroid
Gangguan hormon tiroid yaitu gangguan hormon yang paling
sering dijumpai pada Sindrom Down. Kejadian penyakit tiroid
meningkat pada penderita SD. Hipotiroid, baik kongenital
maupun didapat yaitu kelainan yang paling sering dijumpai
pada sekitar 16-20% penderita SD. Program skrining hipotiroid
pada neonatus di New York melaporkan insiden hipotiroidisme
kongenital pada bayi dengan Sindrom Down sebesar 1:141
kelahiran hidup, lebih tinggi dibandingkan kejadian pada bayi
sehat (sebesar 1:3000 hingga 1:4000). Dalam sebuah penelitian di
mana pasien Sindrom Down (usia 0-25 tahun) yang tidak memiliki
gangguan hormon tiroid bawaan saat baru lahir ketika berusia ≤
15 tahun, 35% mengalami gangguan hormon tiroid (33% dengan
hipotiroid dan 2% hipertiroid/kelebihan hormon tiroid). Sekitar
separuh anak dengan Sindrom Down mengalami peningkatan
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dengan nilai T3
dan T4
normal
yang memicu hipotiroid subklinis (tidak memiliki gejala).
Hambatan pematangan jalur hipotalamus pituitari tiroid diduga
sebagai pemicu gangguan hormon ini.
Tanda dan gejala hipotiroid kadang tidak jelas. Uji tapis penyakit
tiroid dianjurkan dilakukan setiap tahun dengan pemeriksaan
TSH dan FT4. Karena penyakit autoimun banyak ditemui
pada anak dengan SD, maka sebaiknya evaluasi hipotiroid
dengan pemeriksaan antibodi tiroid juga dilakukan pada anak
usia sekolah untuk mencari kemungkinan tiroiditis. Pada
beberapa bayi dan anak dengan SD dapat ditemukan kelainan
hipertirotropinemia idiopatik dengan TSH yang meningkat
dan T4 yang normal. Hal ini dapat merupakan akibat defek
neuroregulator TSH yang berada dalam batas normal sampai
batas atas bila dipantau selama 24 jam. Oleh karena itu,
pemeriksaan TSH dan T4 dianjurkan setiap 6 bulan dan tidak
diterapi kecuali bila didapatkan kadar T4 yang rendah.
2. Gangguan Gonad
Pasien dengan Sindrom Down memiliki angka kejadian
tinggi untuk mengalami kelainan perkembangan seksual dan
keterlambatan pubertas di kedua jenis kelamin. Pada perempuan,
dilaporkan kelainan meliputi kekurangan gonad yang ditandai
dengan terlambatnya menstruasi pertama (menarche) atau proses
matangnya kelenjar adrenal (adrenarche). Pada laki-laki meliputi
genitalia ambigu, kriptorkismus (testis yang tidak turun),
micropenis (ukuran penis kecil), testis kecil dan sperma hidup
yang rendah serta pertumbuhan rambut ketiak dan janggut yang
sedikit.
Penelitian Hasle pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa
pasien dengan Sindrom Down memiliki 10-20 kali lipat peningkatan
risiko menderita leukemia dan sebesar 2% dapat terjadi hingga usia
5 tahun dan 2,7% hingga usia 30 tahun.51 Sebesar 2% anak dengan
Sindrom Down menderita leukemia limfoblastik akut (LLA) dan
sekitar 10% menderita kelainan leukemia myeloid akut (LMA).
Leukemogenesis dari leukemia megakaryoblastik akut (LMKA) pada
pasien Sindrom Down berhubungan dengan keberadaan mutasi
somatik yang melibatkan gen GATA1. GATA1 merupakan faktor
transkripsi yang diturunkan terkait kromosom X yang berperan
penting untuk diferensiasi eritroid dan megakaryositik.
Leukemia yang lebih sering dijumpai pada anak dengan SD
berusia kurang dari 3 tahun yaitu tipe nonlimfositik (leukemia
mielositik akut/LMA). Anak SD biasanya memberikan respons cukup
baik dengan terapi standar dan dapat mencapai remisi pada sekitar
80% kasus. Pada masa neonatus, didapatkan 10% insiden gangguan
mieloproliferatif (reaksi leukemoid) yang pada beberapa kasus dapat
berkembang menjadi LMA.40,51 Polisitemia juga cukup sering ditemui
pada neonatus. Penelitian Shivdasani pada tahun 1997 menyebutkan
bahwa sebesar 64% anak dengan SD mengalami polisitemia pada
saat neonatus.53 Selain itu, laporan kasus juga menyatakan adanya
peningkatan terjadinya retinoblastoma (kanker retina mata), limfoma
(kanker kelenjar getah bening), dan tumor testis pada anak dengan
Sindrom Down.
MASALAH SALURAN CERNA
Anak dengan Sindrom Down akan mengalami beberapa gejala
saluran cerna dari waktu ke waktu seperti muntah, diare, sulit
buang air besar (konstipasi), nyeri perut, dan ketidaknyamanan
yang dapat hilang dengan intervensi minimal atau bahkan tanpa
terapi. Gangguan struktural dan fungsional saluran cerna dapat
terjadi pada sekitar 10% anak dengan Sindrom Down, terlebih yang
berkaitan dengan struktural. Lebih dari 75% bayi baru lahir yang
mengunjungi klinik memiliki masalah saluran cerna termasuk
kesulitan memberi makan maupun gangguan perkembangan
saluran cerna. Adanya penyempitan saluran cerna dan gangguan
pembentukan sebagian saluran cerna dapat memicu
sumbatan di usus. Salah satu kelainan saluran cerna yang sering
dijumpai pada anak Sindrom Down dibanding anak sehat yaitu
penyakit Hirschsprung. Sekitar 12% anak dengan Sindrom Down
mengalami penyakit Hirschprung. Penelitian Amiel J pada tahun
2008 menunjukkan bahwa Hirschprung mengandung gen DSCAM
yang diekspresikan di lekukan neural yang berhubungan dengan
sistem saraf usus. Hirschprung merupakan bentuk dari obstruksi
usus bawah yang dipicu tidak adanya sel ganglion mesentrik
normal pada bagian kolon. Pada anak dengan Hirschprung, tidak
adanya sel ganglion memicu kegagalan usus untuk relaksasi
secara normal. Gelombang peristaltik tidak dapat berjalan pada
bagian aganglionik dan tidak didapatkan defekasi normal yang
akhirnya dapat memicu obstruksi fungsional.54,55 Manifestasi
Hirschsprung berupa pembesaran perut, berat badan sulit naik,
muntah, dan sulit buang air besar. Keluarnya kembali isi perut (refluk
saluran cerna) juga sering menjadi pemicu ketidaknyamanan
pasca pemberian makan karena pada dasarnya anak dengan
Sindrom Down jarang menghabiskan waktu dalam posisi duduk
dan juga adanya penurunan tonus otot di ujung bawah esofagus.
Penelitian Berrocal dkk (1999), mengungkapkan stenosis duodenum
dan anus imperforata ada pada anak dengan Sindrom Down.
Distensi abdominal, kegagalan pasase mekonium, enterokolitis, dan
muntah bilious merupakan manifestasi klinis yang tampak dalam
beberapa hari setelah kelahiran. Bayi dengan atresia duodenum atau
stenosis duodenum menunjukkan gejala muntah bilious setelah
periode neonatus. Bila dibiarkan tidak diatasi, akan memicu
dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit. Anus imperforata
merupakan defek kelahiran dimana rektum mengalami malformasi
dan berhubungan dengan peningkatan anomali spesifik lain seperti
anomali tulang belakang, atresia ani, anomali kardiovaskular, fistula
trakeoesofagus, esofagus atresia, defek pada ginjal dan anggota
gerak. Penelitian Berrocal dkk (1999), mengungkapkan bahwa
ada gangguan pada 10 gen non HSA21 terkait dengan penyakit
anus imperforata.
Anak Sindrom Down lebih mudah terkena infeksi dibandingkan
anak normal. Adanya kelainan sistem pertahanan tubuh (imunitas)
berkaitan dengan Sindrom Down dihubungkan dengan proses
metabolik atau kekurangan nutrisi yang akan menjadi faktor
predisposisi pencetus infeksi. Faktor lain yang berpengaruh di
antaranya kelainan struktur anatomi (misalnya saluran telinga
sempit) dan kembalinya isi perut ke mulut dapat berperan dalam
peningkatan kejadian infeksi saluran napas atas. Oleh sebab itu, anak
dengan Sindrom Down tetap memerlukan imunisasi tepat waktu
sesuai jadwal seperti anak pada umumnya untuk memperkuat
sistem kekebalan di dalam tubuh.
Pasien Sindrom Down memiliki risiko lebih besar untuk
menderita penyakit Alzheimer. Setelah umur 50 tahun, risiko
untuk berkembangnya demensia meningkat pada pasien Sindrom
Down mencapai hampir 70%. Ada berbagai macam variasi gen yang
dilaporkan dapat memicu onset dini penyakit Alzheimer.59,
Beberapa gen yang dideskripsikan yaitu amyloid precursor protein
(APP), beta secretase 2 (BACE2), Phosphatidylinositol binding clathrin
assembly protein (PICALM), dan Apolipoprotein E (APOE). APP
merupakan protein membran integral yang bekerja pada sinaps dari
neuron dan trisomi. Protein ini cenderung membuat peningkatan
frekuensi demensia pada individu Sindrom Down. BACE2 mengkode
enzim beta secretase 2 yang terlibat dalam penyakit Alzheimer. Gen
APP dan BACE2 terletak pada kromosom 21.
Selain penyakit Alzheimer, penelitian oleh Jones EL pada tahun
2013 mengungkapkan adanya hubungan antara umur dan prevalensi
kejang pada SD, dengan puncak kejadian kejang pada masa bayi
dan berulang pada dekade keempat atau kelima dalam hidupnya.
Penurunan kejadian kejang menurun selama masa dewasa. Spasme
infantil yaitu tipe kejang yang paling sering muncul pada bayi dan
dapat terkontrol dengan steroid atau antikonvulsan lainnya. Angka
kejadian kejang yang meningkat tidak hanya akibat perkembangan
otak yang abnormal, namun dapat terjadi akibat adanya defek
jantung, infeksi, maupun gangguan neurotransmiter. Gangguan
autis lebih sering dijumpai pada anak dan dewasa dengan SD. Angka
kejadian autisme pada populasi umum yaitu 15 tiap 10.000 populasi
dengan prevalensi SD sekitar 5-10%.
Anak SD seringkali mengalami gangguan pendengaran, baik
sensorineural maupun konduktif. Semua bayi dengan SD perlu
dievaluasi dengan Auditory Brainstem Response Test (ABR) atau dengan
Transient Evoked Otoacoustic Emission Test.
Obstruksi saluran napas
yaitu masalah yang berat pada anak dan dewasa dengan SD. Gejala
yang muncul meliputi bunyi napas mendengkur, posisi tidur yang
kurang lazim (duduk atau membungkuk sampai kepala menyentuh
lutut), kelelahan di siang hari, atau adanya perubahan perilaku.
Gejala-gejala ini harus dievaluasi dengan baik untuk mencari
apakah ada obstructive sleep apnea. Sinusitis dengan sekret
nasal yang purulen sering juga ditemui pada anak dengan SD dan
memerlukan tata laksana segera.
Anak dengan SD memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini
dipicu oleh bagian luar canthus lebih tinggi dari pada bagian
dalam, sehingga mata terlihat sipit dan agak ke atas, secara klinis
memberikan kesan seperti ras Mongol. Karakteristik pada mata
lainnya yaitu dapat ditemukannya bintik putih pada iris yang
dinamakan brushfield spots. Kelainan mata yang lain dapat berupa
strabismus, nistagmus, kelainan refraksi, dan katarak kongenital.
Katarak kongenital yaitu masalah serius pada bayi dengan SD
yang ditandai dengan tidak adanya red reflex, ada nistagmus
dan strabismus.
Beberapa penelitian terdahulu telah membahas tentang
pertumbuhan linier anak dengan Sindrom Down yang menunjukkan
pertumbuhan tertinggal mulai dari kehidupan prenatal. Cronk
(1978) meneliti 90 anak usia 0-36 bulan dengan Sindrom Down dan
mendapati bahwa rata-rata berat dan panjang badan saat lahir lebih
rendah antara 0,5-1,0 SD daripada kelompok kontrol. Pada usia 3
tahun, 30% anak dengan Sindrom Down memiliki panjang badan
kurang dari persentil ketiga, 60% berada antara persentil ketiga dan
kesepuluh, serta sisanya sebanyak 10% tumbuh normal.68
Cronk dkk (1988) juga meneliti 730 anak usia 1 bulan-18 tahun
dengan Sindrom Down dan berdasar 4650 kali pengamatan,
mereka menyimpulkan bahwa anak dengan Sindrom Down yang
menderita kelainan jantung bawaan derajat sedang sampai berat,
tinggi badannya lebih pendek 2 cm pada anak laki-laki dan 1,5 cm
pada anak perempuan sampai usia 8 tahun sedang berat badannya
lebih ringan 3 kg mulai dari umur 3 bulan sampai 8 tahun untuk
setiap jenis kelamin.
Penelitian ini juga menghasilkan kurva pertumbuhan spesifik
untuk Sindrom Down, di mana panjang badan lebih pendek dan
kecepatan pertumbuhan lebih lambat terjadi pada waktu dan
besaran yang bervariasi, sehingga bila di-plot pada kurva NCHS,
maka anak dengan Sindrom Down tidak akan berada pada persentil
yang sama. Pertambahan berat anak dengan Sindrom Down lebih
cepat daripada pertambahan tinggi badannya sehingga sering terjadi
overweight pada usia 36 bulan.
Pertumbuhan lambat dan kekurangan hormon gonad yaitu
salah satu ciri khas Sindrom Down. Rata-rata kecepatan pertambahan
tinggi maksimal yaitu 8,5 cm per tahun untuk laki-laki dan 7,3 cm
per tahun untuk perempuan. Usia rata-rata saat puncak kecepatan
pertumbuhan yaitu 12,3 tahun untuk laki-laki dan 10,8 tahun
untuk perempuan, lebih rendah bila dibandingkan anak sehat.
Perawakan pendek yaitu karakteristik sebagian besar anak
dengan Sindrom Down. Rata-rata tinggi di kebanyakan usia ada
di sekitar persentil kedua dari populasi umum. pemicu utama
dari keterlambatan pertumbuhan hingga kini masih belum
diketahui. Beberapa kondisi yang dapat memicu keterlambatan
pertumbuhan yaitu penyakit jantung bawaan, sumbatan jalan napas
terkait henti napas saat tidur (sleep apnea), kelainan saluran cerna,
kekurangan hormon tiroid, dan kekurangan nutrisi karena masalah
dalam pemberian makan. Didapatkan juga peningkatan kejadian
kelebihan berat badan maupun obesitas, terutama di masa remaja
dan dewasa.
Pada pola pertumbuhan Sindrom Down, ada penurunan
kecepatan pertumbuhan dari lahir hingga remaja, khususnya di usia
sekitar 6 bulan hingga 3 tahun dan saat masa pubertas. Anak dengan
sindrom Down mencapai tinggi maksimal di usia yang relatif muda,
yaitu 16 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan.
Individu dengan Sindrom Down memiliki sistem tulang dan
otot yang berbeda dengan individu normal. Untuk struktur oral,
sistem tulang dicirikan dengan ketiadaan atau pengurangan tulang
pertumbuhan, rongga mulut yang lebih kecil, dan posisi lidah
yang lebih belakang. Perbedaan-perbedaan ini dalam hal ukuran
dan struktur lidah memengaruhi produksi konsonan lidah. Lebih
lanjut, otot wajah yang lemah membatasi pergerakan bibir yang
akan memengaruhi produksi dari konsonan bibir dan huruf hidup
yang bulat. Hipotonisitas umum yang memengaruhi pergerakan
lidah dan bibir akan terlibat dalam semua aspek pada produksi
bicara. Apabila ada salah satu dari faktor ini , maka akan
berdampak pada gangguan pergerakan motorik terkait bicara dan
berefek negatif pada kemampuan artikulasi dan fonatori pada anak
dengan Sindrom Down.
Sistem saraf dari individu dengan Sindrom Down juga memiliki
ciri yang berbeda termasuk perbedaan anatomi pada sistem saraf
pusat dan perifer, ukuran dan berat yang lebih rendah, sulkus yang
lebih kecil dan sedikit, gyrus temporosuperior yang lebih sempit,
neuron korteks yang lebih sedikit, densitas neuron yang menurun,
mielinisasi neuron yang terlambat, struktur dendrit yang abnormal,
dan gangguan membran sel. Suatu hipotesis menyatakan bahwa
perbedaan-perbedaan ini terkait dengan gangguan pada ketepatan,
kecepatan, konsistensi, dan efisiensi dari pergerakan saat bicara.
Perawakan pendek merupakan tanda kardinal anak dengan SD.
Retardasi pertumbuhan sudah terjadi sejak masa prenatal. Setelah
lahir, penurunan kecepatan pertumbuhan paling banyak terjadi
saat anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun. Beberapa kondisi yang
memicu terlambatnya pertumbuhan yaitu penyakit jantung
bawaan, defisiensi hormon tiroid, penyakit celiac, obstuksi saluran
napas atas, dan defisiensi zat gizi akibat kesulitan makan. Pubertas
muncul lebih awal dan terjadi gangguan percepatan pertumbuhan
(growth support). Penelitian yang dilakukan Arifiyah pada tahun
2017 mengungkapkan, penilaian tinggi badan berdasar usia
didapatkan sebagian besar memiliki perawakan pendek sebesar
46,5% dan sangat pendek sebesar 24,4% anak, sedangkan penilaian
lingkar kepala hampir semua mikrosefal. Arah garis pertumbuhan
normal didapatkan pada 75,6% anak.74 Batubara pada tahun 2006
memaparkan mengenai kurva pertumbuhan anak-anak Sindrom
Down di negara kita , rata-rata minimum untuk anak usia 6-12 tahun
yaitu 96-128 cm untuk anak perempuan dan 96-125 cm untuk anak
laki-laki.
Penelitian yang dilakukan oleh Kimura dkk (2003), pada anak
SD Jepang didapatkan hasil nilai tengah tinggi badan anak SD
sebelum pubertas yaitu sekitar -2SD lebih rendah dibandingkan
anak normal. Percepatan pertumbuhan terjadi pada 1 tahun lebih
awal.
Faktor yang memengaruhi pertumbuhan anak dengan Sindrom
Down yaitu faktor internal atau herediter, antara lain jenis kelamin,
ras, suku bangsa, serta faktor lingkungan yang meliputi lingkungan
pranatal, postnatal, dan faktor hormonal. Faktor hormonal yang
berperan dalam tumbuh kembang anak yaitu somatotron (growth
hormon) berperan dalam memengaruhi pertumbuhan tinggi
badan dengan menstimulasi terjadinya proliferasi sel kartigo dan
sistem skeletal. Selain itu, hormon tiroid berfungsi menstimulasi
metabolisme tubuh, glukokortikoid menstimulasi pertumbuhan sel
interstisial dari testis untuk memproduksi testosteron dan ovarium
untuk memproduksi estrogen untuk menstimulasi perkembangan
seks.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Thiel (2002) menunjukkan
bahwa faktor nutrisi dapat berperan dalam menambah tinggi badan
anak SD. Penambahan Harrell’s formula yang terdiri atas HAP Caps,
flaxseed oil, dan N,N-dimethylglycine ke dalam diet anak SD, didapatkan
hasil peninggian tinggi badan pada anak-anak ini . Meskipun
demikian, American College of Medical Genetics menyatakan
bahwa tidak ditemukan bukti ilmiah manfaat suplementasi vitamin,
mineral, asam amino, hormon, maupun kombinasi enzim pada
perkembangan mental anak dengan SD.
Grafik pertumbuhan standar tidak boleh dipakai untuk
anak-anak dengan Sindrom Down. Kurva pertumbuhan yang
saat ini dipakai di negara kita yaitu kurva pertumbuhan yang
dibuat berdasar data anak SD di Amerika Serikat oleh Cronk
dkk (1988). Parameter pertumbuhan seperti berat badan, tinggi
badan, dan lingkar kepala dicantumkan pada kurva pertumbuhan
khusus anak SD. Beberapa grafik pertumbuhan Sindrom Down
telah dipublikasikan di Amerika, Sesilia, dan Belanda. Grafik
pertumbuhan yang sering dipakai di seluruh dunia yaitu grafik
pertumbuhan Sindrom Down yang berasal dari Amerika.
Pemeriksaan rutin setiap bulan pada anak Sindrom Down
dapat mengidentifikasi pemicu kelainan pertumbuhan serta risiko
kelebihan berat badan dan obesitas. Kurva pertumbuhan yaitu
sarana yang berguna untuk memonitor pertumbuhan anak. Namun,
pola pertumbuhan anak Sindrom Down berbeda dengan populasi
umum, oleh karena itu penting untuk memakai kurva khusus
untuk Sindrom Down.
Evaluasi pertumbuhan anak dengan Sindrom Down mutlak
diperlukan. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan dasar awal
untuk mengukur berat badan, panjang badan atau tinggi badan,
lingkar kepala, dan menentukan usia anak secara benar. Berikut
yaitu penjelasan langkah-langkah sistematis untuk pengukuran
antopometri dan menentukan usia anak.
Langkah Pertama: Menentukan usia
Usia menjadi acuan kita dalam menentukan posisi anak di
dalam kurva pertumbuhan. Pada usia <2 tahun, bila bayi lahir
kurang bulan maka dipakai usia koreksi. Usia koreksi dihitung
dengan cara mengurangi usia kehamilan cukup bulan (40 minggu)
dengan usia kehamilan saat bayi lahir.
Contoh 1: An. Adam lahir prematur dengan usia kehamilan
minggu. Saat ini Adam berusia 8 bulan.
Karena Adam masih berusia < 2 tahun maka dihitung usia
koreksi.
Usia koreksi Adam = 8 bulan – (40 minggu-32 minggu)
= 8 bulan – 2 bulan = 6 bulan
Contoh 2: An. Putri lahir prematur dengan usia kehamilan 28
minggu. Saat ini Putri berusia 2 tahun 6 bulan.
Usia Putri >2 tahun sehingga Putri tidak memerlukan usia
koreksi.
Langkah Kedua: Mengukur berat badan, panjang badan/tinggi
badan, dan lingkar kepala
Cara mengukur berat badan anak
1. Pengukuran dengan memakai timbangan bayi
- Anak usia 0-2 tahun dapat diukur dengan memakai
timbangan bayi
- Sebelum ditimbang, sebaiknya baju, kaos kaki, topi, dan aksesori
lain dilepas lebih dulu
- Timbangan diletakkan di permukaan datar, keras, dan tidak
mudah bergerak
- Pastikan posisi jarum di angka nol
- Baringkan bayi di atas timbangan
- Lihat di mana posisi jarum berhenti
- Bacalah dengan teliti angka yang ditunjuk
- Bila bayi terus bergerak, bacalah angka di tengah antara
gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.
2. Pengukuran dengan memakai timbangan injak
- Letakkan timbangan injak di lantai datar dan tidak mudah
bergoyang
- Pastikan posisi jarum berada di angka nol
- Sebaiknya memakai pakaian yang ringan
- Lepaskan kaos kaki, alas kaki, topi atau bawaan lain yang
berat.
- Biarkan anak berdiri di atas timbangan injak tanpa
dipegangi
Perhatikan jarum timbangan atau angka yang tertera pada
timbangan sampai berhenti
- Baca dengan teliti angka timbangan atau angka yang ditunjuk
oleh jarum timbangan
- Bila anak terus bergerak, bacalah angka di tengah antara
gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.
Cara mengukur panjang badan/tinggi badan
1. Posisi berbaring
- Sebaiknya pengukuran panjang badan dilakukan oleh dua
orang
- Baringkan bayi di atas meja/alas datar
- Posisikan kepala bayi menempel pada angka nol
- Pemeriksa 1: Memegang kepala bayi dengan kedua tangan
agar ujung kepala bayi menempel di angka nol
- Pemeriksa 2: Tangan kiri menekan lutut bayi agar lurus dan
tangan kanan menekan batas kaki ke telapak kaki
- Kemudian pemeriksa 2 membaca angka yang ditunjuk oleh
bagian terluar kaki bayi di tepi luar pengukur
2. Posisi berdiri
- Lepaskan sandal, sepatu, atau topi yang dipakai
- Posisikan anak berdiri tegak dan menghadap ke depan
- Posisi punggung, pantat, dan tumit menempel di tiang
pengukur
- Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di ubun�ubun
- Baca dengan teliti angka yang ditunjuk di batas atas
pengukur
1. Siapkan pita pengukur (meteran) yang tidak elastis
2. Pemantauan lingkar kepala sebaiknya dilakukan bersama
dengan ukuran ubun-ubun besar.
3. Lingkarkan pita pengukur pada daerah glabella (frontalis)
atau supra orbita bagian anterior menuju oksiput pada bagian
posterior. Kemudian tentukan hasilnya.
4. Sedangkan ubun-ubun besar diukur dengan rata-rata ukuran
anteroposterior dan transversal.
5. Cantumkan hasil pengukuran pada kurva lingkar kepala.
Langkah Ketiga: Memilih Grafik yang Sesuai dengan Usia dan Jenis
Kelamin
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) membuat
kurva pertumbuhan untuk anak Sindrom Down di Amerika untuk
membantu memonitor pertumbuhan anak. Kurva dibedakan dalam
kelompok usia 0-3 tahun dan 2-20 tahun untuk masing-masing jenis
kelamin.
Perkembangan anak dengan Sindrom Down tentu berbeda
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom
yang berlebih memicu penurunan jumlah saraf pada sistem
saraf pusat, keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan
siklus sel, dan memicu produksi protein berlebihan serta
neurotransmisi yang tidak normal. Adanya beberapa kondisi ini
memicu anak dengan Sindrom Down memiliki gangguan
komunikasi, konsentrasi, ingatan, kemampuan melaksanakan
tugas, perkembangan motorik, dan kontrol tubuh. Kim dkk (2012),
melakukan pendataan profil perkembangan motorik dan kognitif
anak dengan Sindrom Down. berdasar penelitian ini ,
anak dengan Sindrom Down memiliki kemampuan motorik dan
membutuhkan waktu pencapaian level perkembangan dua kali lipat
lebih lama dibandingkan anak normal. Hampir semua anak dengan
Sindrom Down memiliki gangguan intelektual derajat sedang dan
perkembangan kognitif serta motorik yang tidak berhubungan satu
dengan lainnya. Beberapa perbedaan level pencapaian perkembangan
pada anak dengan Sindrom Down dan anak sehat telah diteliti oleh
Kim dkk (2012)
didapatkan bahwa dari 78 anak Sindrom
Down yang diteliti, rata-rata pencapaian level perkembangan antara
lain: 6.1±2.7 bulan untuk kontrol kepala, 8.76±3.1 bulan untuk
tengkurap, 12.0±3.3 bulan untuk duduk sendiri, 14.0±3.5 bulan
untuk creeping, 18.1±5.0 bulan untuk merangkak, 22.3±7.2 bulan
untuk cruising, dan 28.0±8.3 untuk kemampuan berjalan sendiri.
Dibandingkan dengan anak sehat, anak dengan Sindrom Down
dapat mengikuti perkembangan sesuai anak normal namun dicapai
dalam jangka waktu hingga 2 kali lipat lebih lama.78
Studi lain yang dilakukan oleh Rao dkk (2016) mengetahui
kemampuan respons anak normal dan anak dengan Sindrom Down
terhadap tugas yang diberikan pada usia 9-12 tahun. Studi ini
melibatkan 40 anak normal yang sedang masa perkembangan,
26 anak dengan Sindrom Down, dan 37 anak dengan kelainan
perkembangan lainnya. Pada studi ini dilakukan eksperimen untuk
mengukur waktu respons dan kekuatan respons terhadap tugas
yang diberikan. berdasar studi ini didapatkan bahwa kelompok
anak dengan Sindrom Down dan kelainan perkembangan lainnya
memiliki kemampuan respons terhadap kerumitan tugas lebih
rendah.
Telah banyak didokumentasikan bahwa anak dengan Sindrom
Down memiliki karakteristik defisit kognitif, masalah wicara,
dan masalah perkembangan motorik. Salah satu hal yang unik
dari karakteristik Sindrom Down yaitu hipotonia general dan
kelemahan sendi karena hipotonia, yang merupakan akibat dari
perjalanan neuropatologi Sindrom Down. Neuropatologi yang
terjadi yaitu otak kecil dan batang otak yang lebih kecil dan
penurunan mielinisasi dari belahan otak, ganglia basalis, otak
kecil, dan batang otak di tahun pertama kehidupan. Faktor-faktor
inilah yang memicu keterlambatan motorik dan postural,
serta defisit proses sensoris dan integrasi sensoris karena hambatan
dari pengalaman sensoris pertama. Telah didokumentasikan juga
bahwa bayi Sindrom Down yang berusia 3 bulan sepenuhnya dapat
menuntaskan tugas perkembangan. Hambatan baru terjadi setelah
usia 6 bulan. Oleh karena itu, intervensi dini diharapkan dapat
mengatasi hambatan ini . Pendekatan yang paling umum
untuk proses perkembangan anak dengan Sindrom Down yaitu
dengan memakai beberapa area perkembangan, yaitu kognitif,
bahasa, motorik, sensorik, dan sosial.
Disabilitas intelektual dikenali sebagai salah satu karakteristik
yang prominen pada Sindrom Down. Sebaliknya, Sindrom Down
yaitu etiologi genetik terbesar dari disabilitas intelektual (DI).
Tingkat keparahan DI pada individu dengan Sindrom Down
bervariasi dari nilai Intelligence Quotient (IQ) 30 hingga 70, dengan
rata-rata nilai IQ sebesar 50. Fungsi kognitif seringkali berubah
sepanjang hidup dan dipengaruhi oleh beberapa faktor komorbid,
di antaranya gangguan sensoris, kejang, autisme, gangguan tidur
serta kondisi medis dan psikiatris lainnya.
Silverstein dkk (1982) menyimpulkan bahwa beberapa anak
dengan Sindrom Down akan mengalami retardasi mental yang
sangat berat, mayoritas akan mengalami retardasi mental derajat
sedang (IQ 35-50) sampai berat (IQ 20-35), sedang minoritasnya akan
mengalami retardasi mental ringan (IQ 50-70) sampai intelegensi
normal.
Hodapp dan Zigler (1990) menyatakan bahwa pada usia antara
16-40 minggu, rata-rata IQ anak dengan Sindrom Down yaitu
antara 71-75. Namun menjadi 69 pada usia 1 tahun dan 58 pada usia
18 bulan. Jadi, ada penurunan IQ seiring dengan bertambahnya
usia. Anak dengan IQ antara 55-80 diklasifikasikan sebagai anak
dengan retardasi mental yang dapat dididik, dan diharapkan dapat
mengikuti pendidikan formal minimal kelas 3 dan kadang-kadang
dapat mengikuti pendidikan dasar sampai 6 tahun. Sedangkan
anak dengan IQ 25-55 diklasifikasikan sebagai anak yang dapat
dilatih.
Penelitian di bidang neurosains menunjukkan bahwa memang
ada perbedaan yang mendasar dalam hal struktur dan cara kerja otak
anak dengan Sindrom Down dengan anak normal. Namun masih
sangat jauh untuk dapat membuat hubungan yang langsung antara
kelainan otak spesifik dengan berkurangnya perkembangan kognisi.
Contoh, imaturitas yang ditemukan pada lobus frontal dan temporal
apakah berhubungan langsung dengan berkurangnya memori.
Komunikasi tidak hanya berarti bicara, namun juga ekspresi
wajah, senyuman, bahasa tubuh, bahasa isyarat, dan bahasa yang
memakai sistem komputer. Orang berkomunikasi untuk saling
memahami. Perkembangan bahasa dan bicara anak dengan Sindrom
Down biasanya lebih lambat. Mereka mengalami kesulitan berbicara
secara spontan dikarenakan perbedaan anatomi dan ketulian karena
otitis media.
Miller dkk (1987), meneliti 56 anak dengan Sindrom Down,
mendapati bahwa tidak ada keterlambatan sampai masa di mana
anak seharusnya sudah dapat mengucapkan kata-kata pertama
mereka. Pada umur di atas 18 bulan, 60-75% anak dengan Sindrom
Down mengalami keterlambatan, sedangkan 25-40% anak tidak akan
mengalami keterlambatan. Ia juga menemukan bahwa kebanyakan
anak dengan Sindrom Down lebih lambat mengucapkan kata
pertama mereka, kosakata mereka juga bertambah dengan lambat
walaupun mereka memakai 2 frase sebagaimana dilakukan
oleh anak normal, namun mereka kesulitan dalam menguasai
keterampilan berbicara dengan tata bahasa yang baik.
Bray dan Woolnough pada tahun 1988 juga mendapati bahwa
anak dengan Sindrom Down berbicara dengan cara tersendat-sendat,
seperti bahasa telegraf yang pendek-pendek, contohnya anak akan
berbicara “pergi berenang Ayah” daripada “saya pergi berenang
bersama Ayah tadi pagi”. Cara bicara yang tersendat-sendat
seperti bahasa telegraf dan juga cara pengucapan yang jelek akan
mengakibatkan anak dengan Sindrom Down sulit dipahami,
khususnya bila mereka berbicara dengan orang yang asing dengan
mereka.
Miller dkk (1991), meneliti perbandingan antara 44 anak dengan
Sindrom Down dengan 46 anak normal yang sedang berkembang
pada tahap yang sama dengan usia mental 12-27 bulan dan mendapati
bahwa anak dengan Sindrom Down berbicara lebih sedikit seiring
dengan peningkatan umur mental mereka daripada kelompok anak
lain. Walaupun demikian, jika dikombinasikan dengan bahasa
isyarat, maka perbedaan ini menjadi tidak lagi bermakna.
Keterlambatan perkembangan bahasa umumnya berkaitan
dengan keterlambatan kognitif general. Disosiasi bahasa dan
keterampilan kognitif yang terjadi pada anak yang sedang
berkembang terdiri atas dua bentuk, yaitu: 1. hanya gangguan
bahasa spesifik ekspresif saja; 2. gangguan bahasa spesifik reseptif
dan ekspresif.
Perkembangan bahasa pada anak Sindrom Down terdiri atas 2
periode utama, yaitu:
a. Periode Sensorimotor (Usia mental 0-2)
Pada anak dengan Sindrom Down, perkembangan sensoris
motoris (seperti yang dinilai dengan “Piagetian Tasks of Object
Permanence”) sering tampak mendekati normal di tahun
pertama, terhambat di tahun kedua, dan makin terhambat di
usia 2–4 tahun. Kelemahan signifikan dalam kemampuan
komunikasi, berdampak pada kemampuan bersosialisasi
di kehidupan sehari-hari. Perkembangan bunyi suara lebih
terhambat karena merupakan aspek gabungan perhatian dan
komunikasi prelinguistik. Anak Sindrom Down lebih sering
memerhatikan wajah rekan sosial daripada mainan yang tidak
bersuara. Intervensi di periode pembelajaran bahasa ini bisa
memakai tanda (sign) yang membuat anak Sindrom Down
menjadi komunikator. Penggunaan tanda kata secara khusus
menurun seiring waktu dan mulai muncul kata yang diucapkan
di usia prasekolah.
b. Periode Preoperasional (Usia Mental 2-7)
Orang tua yang diwawancara memakai “Vineland Scales”
menunjukkan bahwa bahasa ekspresif lebih lemah dibandingkan
bahasa reseptif sejak usia 24 bulan. Keterampilan komunikasi
umumnya menurun seiring dengan kemampuan untuk hidup
sehari-hari dan bersosialisasi. Mervis dan Bertrand memeriksa
pembelajaran kata-kata baru untuk objek yang tidak bernama
oleh anak Sindrom Down. Didapatkan hasil kemampuan untuk
mengategorikan objek (pada periode sensoris motoris) berkaitan
dengan kemampuan anak untuk memetakan dengan cepat
nama objek baru, menggeneralisasikan, dan untuk membuat
perkembangan leksikal cepat.
Anak Sindrom Down belajar kata-kata baru lebih cepat dengan
prototipe dari masing-masing kategori konsep. Pemetaan cepat dari
satu kata baru setelah kata lainnya dari beberapa paparan pada
anak dan remaja dengan Sindrom Down sebaik anak lain dengan
usia mental yang sama, termasuk memori tentang kejadian yang
melibatkan objek baru ini . Pembelajaran memproduksi kata
kerja untuk suatu aktivitas yang baru lebih sulit dibanding kata
benda dengan objek yang nyata.
Pada anak dengan Sindrom Down, pola perkembangan
motorik kasar maupun halus mengikuti pola yang sama dengan
perkembangan anak normal, namun tonggak perkembangannya
dicapai pada waktu yang lebih lambat. Menurut Sacks & Sandy
(2000), ada beberapa alasan mengapa anak dengan Sindrom Down
mengalami keterlambatan perkembangan motorik, antara lain faktor
kognisi, hipotoni, kekuatan otot yang berkurang, sendi dan ligament
yang longgar, serta faktor susunan tangan.
Di awal tahun 1920-an, dipercaya bahwa perkembangan motorik
berkembang dari motorik kasar ke motorik halus serta dari kontrol
proksimal ke distal. Kontrol postur tubuh bagian atas berkaitan
dengan perkembangan motorik halus dari ekstremitas yang lebih
bawah. Ekstremitas atas dipakai untuk transisi kontrol postur
tubuh seperti menggerakkan tubuh dari satu posisi ke posisi
lain. Untuk melakukan transisi ini, diperlukan kekuatan badan
dan ekstremitas atas. Perkembangan dan pemeliharaan stabilitas
postural (perkembangan motorik kasar) yaitu proses kompleks
yang melibatkan multisistem seperti sistem sensoris, sistem saraf
pusat yang memproses dan mengkoordinasikan gerakan motorik,
serta sistem vestibular. Informasi sensoris dari somatosensoris,
visual, dan vestibular berperan untuk orientasi kepala dan posis
badan di ruang dan kontrol postur dengan koordinasi gerakan.
Sistem visual dan somatosensoris mengumpulkan informasi dari
lingkungan (misalnya posisi badan terhadap objek yang lain), sistem
vestibular, dan mengumpulkan informasi dari badan vestibular di
telinga.
Penelitian telah membuktikan bahwa anak dengan Sindrom
Down memiliki kesulitan memproses informasi yang diterima
oleh saraf mereka untuk kemudian dikoordinasikan membentuk
gerakan. Proses ini memakan waktu yang lebih lama. Semakin
kompleks keterampilan yang diberikan, maka semakin lama pula
waktu yang dibutuhkan oleh anak untuk menerjemahkan perintah
ke dalam aksi. Hal ini dibuktikan oleh Frith dkk (1974) yang
mendapati bahwa ketika anak dengan Sindrom Down diperintah
untuk menjejakkan kaki lebih cepat, yang dilakukan oleh anak-anak
ini yaitu menjejakkan kaki lebih keras. Jadi walaupun otot
dapat melakukan gerakan, namun gerakan ini terjadi lebih
lambat, lebih lemah, dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Hipotoni berarti lemahnya tonus otot, yang dapat dilihat dengan
jelas ketika masih bayi. Saat diangkat, bayi dengan Sindrom Down
akan terasa floppy atau seperti ragdoll. Jika ditelentangkan, kepalanya
akan ke samping dengan tangan terjulur menjauhi badan dan
kakinya akan saling menjauh. Hipotoni dapat beragam derajatnya
dari ringan, sedang, sampai berat, serta dapat berkurang bahkan
menghilang seiring dengan umur, namun dapat juga menetap
selama hidup. Hipotoni akan memicu gangguan motorik kasar
dan halus. Sebagai contoh, hipotoni akan membuat otot perut sulit
untuk menahan keseimbangan saat berdiri, sehingga kompensasinya
anak akan berdiri dengan bersandar pada meja.Kekuatan otot yang
berkurang dapat ditingkatkan dengan latihan. Jika tidak, maka anak
akan mengompensasi kelemahan otot ini dengan gerakan
yang lebih mudah. Contoh ketika anak akan berdiri, namun karena
kelemahan badan dan kakinya, maka anak hanya akan mengakukan
lututnya.
Pada anak dengan Sindrom Down, ligamen juga tersusun lebih
longgar, sehingga memicu kisaran gerak yang lebih luas dan
fleksibel. Contohnya yaitu pada sendi paha, di mana anak dapat
duduk dengan betis bersilangan, kedua lutut rata pada alas, dan
kedua kaki pada lutut. Telapak kaki yang datar dan tanpa arkus,
sehingga sulit untuk mempertahankan keseimbangan. Sendi ibu
yang longgar, memicu kesulitan memegang objek yang kecil.
Tangan anak dengan Sindrom Down berukuran lebih kecil,
pendek dan tebal, beberapa anak bahkan tidak memiliki
persendian yang normal. Susunan tangan demikian membuat anak
sulit untuk belajar duduk, sebab mereka tidak dapat bertelekan pada
tangan kecuali jika mereka agak sedikit membungkuk ke depan.
Jika jatuh ke samping, mereka harus jatuh lebih jauh agar dapat
bangun kembali dengan bertelekan pada tangan.Berikut ini yaitu
tabel yang menggambarkan bahwa ada keterlambatan dalam
menguasai keterampilan motorik kasar bila dibandingkan antara
anak dengan Sindrom Down dengan anak normal.
Keterlambatan perkembangan sistem motorik kasar tampak
jelas pada Sindrom Down. Setiap anak dengan Sindrom Down
memiliki pola dan kecepatannya sendiri.Empat pola tonus otot dan
fungsi motor pada bayi dengan Sindrom Down telah diteliti oleh
Daunhauer dan Fidler pada tahun 2011, yaitu tipe 1 (15-25%), bayi
memiliki tonus otot yang serupa dan mencapai tahap perkembangan
seperti kontrol kepala, menyangga beban dengan bantuan kaki, dan
mengangkat torso dengan lengan pada usia 4 bulan dalam posisi
telungkup.
Tipe 2 dan 3 (50-60%), bayi menunjukkan perbedaan antara
fungsi motorik tubuh atas dan bawah. Bayi tipe 2 memiliki
punggung atas, leher, bahu, dan lengan yang kuat, namun tidak
dapat menyangga beban dengan kakinya. Sedangkan, bayi tipe 3
memiliki kaki dan torso bagian bawah yang kuat, namun torso atas,
leher, kepala, bahu, dan lengan yang lemah. Tipe 4 (15-25%), bayi
lemah secara keseluruhan, dengan lengan dan kaki yang lemah. Tipe
ini sering disertai dengan kelainan kardiovaskular. Keempat pola
tonus otot ini bermanfaat untuk memberikan jenis aktivitas serta
harapan terhadap kemampuan anak nantinya, yang memerlukan
keterlibatan orang tua selama intervensi. Perbedaan dari tipe
tonus otot dapat memperkirakan lamanya intervensi dibutuhkan,
khususnya tonus otot tipe 4.
Keterampilan motorik halus berkembang dari perlakuan
terhadap material permainan. Bermain yaitu kegiatan primer
anak. Oleh karena itu, ketiadaan permainan eksploratif akan
menghambat perkembangan motorik halus. Keterampilan motorik
halus melibatkan koordinasi mata-tangan, keseimbangan, lateralitas,
aktivitas visual motor, dan waktu respons.99 Apabila anak Sindrom
Down memiliki kesempatan untuk memperbaiki kontrol posturnya,
fungsi independen tangan dapat membantu untuk bermain dan
aktivitas sehari-hari.
Anak dengan Sindrom Down memiliki keterampilan motorik
halus yang lebih terganggu dibandingkan motorik kasar dengan
masalah akurasi dan waktu untuk menyelesaikan tugas yang
memerlukan koordinasi bilateral. Kemampuan motorik halus
kurang dapat melumpuhkan anak Sindrom Down, terutama dalam
perkembangan kognitif. Keterampilan fungsional ini diperlukan
untuk menulis dan menangkap informasi dari huruf
PERKEMBANGAN SENSORIS
Bayi dengan Sindrom Down memiliki keterlambatan proses
sensoris. Didapatkan efek stimulasi vestibular dan kombinasi
stimulasi vestibular sehingga terapi sensoris integrasi dan terapi
neurodevelopmental bermanfaat pada anak Sindrom Down. Teori
sensoris integrasi mengeksplorasi potensi hubungan antara proses
neural yang meliputi penerimaan (receiving), pendataan (registering),
modulasi (modulation), pengaturan (organizing), integrasi input
sensoris (integrating sensory input), dan perilaku (resulting adaptive
behavior). Anak yang tidak dapat memproses informasi sensoris
dari lingkungannya dapat bereaksi dengan tingkah laku yang tidak
tepat.99 Perkembangan sensoris menggabungkan seluruh indra,
tidak hanya penglihatan dan pendengaran. Indra taktil diperlukan
untuk gerakan tubuh, khususnya tangan. Ketika tidak ada sensoris
di tangan, koordinasi motorik halus terganggu. Hal ini dapat
memicu keterlambatan perkembangan kognitif.
7.5 PERKEMBANGAN SOSIAL
Di banyak negara barat, telah ada peningkatan kesempatan
untuk hidup normal bagi anak dengan disabilitas, namun perhatian
terhadap hal ini masih kurang di negara-negara dengan pendapatan
perkapita rendah. Proporsi anak usia sekolah dasar dengan disabilitas
yang masuk ke kelas regular di Amerika Serikat berkisar antara
30-70% dengan variasi sesuai dengan kebijakan daerah. Di New
South Wales, Australia, setidaknya setengah anak dengan Sindrom
Down yang lahir di tahun 1970-an menerima pendidikan dasar
seperti anak dengan perkembangan normal. Sedangkan di Inggris,
anak-anak ini dimasukkan dalam sekolah khusus. Penelitian
di Amerika maupun Jepang menyatakan bahwa pemisahan ini
dapat mempersempit kesempatan anak-anak Sindrom Down untuk
berpartisipasi penuh dalam komunitas.
Konteks di mana interaksi sosial ini berlangsung dapat
memengaruhi kualitas dari interaksi. Anak usia prasekolah dengan
disabilitas ringan menunjukkan interaksi sosial yang lebih sering
dan tingkatan yang lebih tinggi untuk permainan sosial ketika
mereka bermain dengan anak normal. Anak usia prasekolah dengan
disabilitas lebih independen akan berinteraksi lebih banyak jika
mengikuti kelas dengan karakteristik serupa (misalnya ukuran kelas
dan jenis kegiatan) dibandingkan dengan kelas yang didesain untuk
anak tanpa disabilitas.
Sigman dan Ruskin melaporkan bahwa keterlambatan pada
bahasa tidak berhubungan dengan keterlambatan nonverbal lainnya
atau keterampilan bermain pada anak Sindrom Down. Bahkan,
mereka menemukan bahwa anak usia prasekolah dengan Sindrom
Down lebih responsif terhadap penampakan emosi orang dewasa
dan secara rutin menginisiasi interaksi sosial dengan orang dewasa.
Frekuensi interaksi sosial dini dengan orang dewasa berhubungan
dengan keterlibatan ke kelompok sosial serupa di masa kecil
sebelumnya. Observasi di tempat bermain dan kelas menunjukkan
bahwa anak sebaya menerima lebih dari 70% ajakan bermain dari
anak Sindrom Down, dan anak Sindrom Down menerima banyak
ajakan bermain dari sekelilingnya mencapai 73%. Walaupun anak
Sindrom Down memiliki keterlambatan kognitif dan bahasa
ekspresif, kemampuan nonverbal termasuk memberikan perhatian
dan respons sosial akan membantu mengatasi keterlambatan pada
kognisi dan bahasa dalam kompetensi sosialnya. Banyak anak
dengan Sindrom Down yang dilaporkan memiliki sahabat baik,
termasuk teman dari kelompok normal.
Alton (2001) menyatakan bahwa perkembangan sosial pada anak
dengan Sindrom Down biasanya baik, mereka dapat beradaptasi
secara sosial dengan lebih baik bila dibandingkan dengan anak
lain yang juga memiliki masalah kognisi dan komunikasi. Hal
ini dapat membantu mereka dalam berpartisipasi pada kegiatan
lingkungan. Komplikasi yang paling sering dijumpai akibat
terganggunya perkembangan kognisi dan juga bahasa yaitu
anak akan lebih berisiko mengalami masalah sosial dan perilaku.
Anak yang perkembangan kognisinya terganggu akan mengalami
kesulitan dalam berhubungan sosial dan pengendalian diri terhadap
perilakunya. Beberapa anak dengan Sindrom Down mengalami
kecemasan yang besar sehingga memerlukan suatu ritual tertentu
yang dapat mengurangi kecemasan mereka.
Buckley (2002) menyatakan bahwa anak dengan Sindrom Down
akan lebih mudah belajar melalui melihat, meniru, dan kemudian
mengerjakan. Pemahaman mereka akan lebih baik melalui partisipasi,
latihan, dan umpan balik daripada melalui penjelasan. Anak dengan
Sindrom Down perlu berteman dengan 2 macam kelompok orang:
mereka akan belajar banyak dari anak normal dan akan mengalami
kepuasan serta keberhasilan bila mereka bergaul dengan teman yang
juga Sindrom Down.
Secara umum, berikut ini yaitu tonggak perkembangan
motorik kasar, motorik halus, komunikasi, aspek personal, dan aspek
sosial pada anak dengan Sindrom Down, dengan mengetahuinya
lebih dini, maka diharapkan keterlambatan pada tiap aspek dapat
segera diidentifikasi untuk kemudian ditindaklanjuti
Intervensi yaitu program terapi, latihan, dan aktivitas sistematis
yang didesain untuk mengatasi keterlambatan perkembangan yang
spesifik untuk anak dengan Sindrom Down.
Intervensi dini meliputi variasi dari program edukasi dan terapi
yang ditujukan untuk keluarga dan anak dengan keterlambatan
perkembangan, khususnya program intervensi dini yang ditujukan
untuk bayi dan anak usia kurang dari 3 tahun dan beberapa intervensi
dini hingga usia 6 tahun. Usia awal intervensi tergantung dari jenis
disabilitas, namun umumnya dimulai segera setelah keterlambatan
atau faktor risiko diketahui. Intervensi meliputi banyak pilihan
layanan dan program yang bertujuan untuk memelihara maupun
memaksimalkan perkembangan anak. Tujuan utama intervensi
dini yaitu memaksimalkan kompetensi peserta di seluruh
domain perkembangan serta untuk mencegah dan meminimalkan
Intervensi yaitu program terapi, latihan, dan aktivitas sistematis
yang didesain untuk mengatasi keterlambatan perkembangan yang
spesifik untuk anak dengan Sindrom Down.
Intervensi dini meliputi variasi dari program edukasi dan terapi
yang ditujukan untuk keluarga dan anak dengan keterlambatan
perkembangan, khususnya program intervensi dini yang ditujukan
untuk bayi dan anak usia kurang dari 3 tahun dan beberapa intervensi
dini hingga usia 6 tahun. Usia awal intervensi tergantung dari jenis
disabilitas, namun umumnya dimulai segera setelah keterlambatan
atau faktor risiko diketahui. Intervensi meliputi banyak pilihan
layanan dan program yang bertujuan untuk memelihara maupun
memaksimalkan perkembangan anak. Tujuan utama intervensi
dini yaitu memaksimalkan kompetensi peserta di seluruh
domain perkembangan serta untuk mencegah dan meminimalkan
keterlambatan. Proses intervensi ini juga membantu keluarga untuk
menghadapi tantangan sehari-hari di rumah dan di masyarakat.
Secara umum, intervensi dini memakai teknik yang
diambil dari fisioterapi, terapi okupasional, psikologi perkembangan,
dan pendidikan. Baru sedikit perhatian diberikan pada nutrisi,
walaupun telah diketahui bahwa perkembangan kognitif pada anak
yang disusui ibunya lebih baik secara signifikan dibanding dengan
yang diberi formula. Intervensi dini meliputi deteksi dini, intervensi
berpusat pada anak dan keluarga, dan dukungan psikologis untuk
orang tua dan interdisipliner yang terdiri atas dokter, dokter anak,
dokter komunitas, petugas medis yang berkunjung ke rumah, terapis
okupasional, fisioterapis, terapis bicara, dan pekerja sosial. Kunci
sukses dari intervensi dini yaitu kolaborasi dari anggota tim dan
pengasuh dalam pengaturan di rumah.
Program intervensi dini ditujukan untuk anak-anak kecil yang
memiliki atau berisiko mengalami keterlambatan perkembangan.
Tiga kelompok risiko yang sudah diidentifikasi, yaitu 1) Anak
dengan faktor risiko lingkungan yang dirugikan secara fisik maupun
sosial yang dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan; 2)
Anak dengan faktor risiko biologis yang mengalami keterlambatan
perkembangan (misalnya prematuritas, sindrom fetal alkohol, dan
asfiksia); dan 3) Anak yang telah didiagnosis memiliki kondisi medis
yang memiliki efek terhadap perkembangan (misalnya Sindrom
Down).
Salah satu yang sering diperdebatkan yaitu terminologi “dini”
pada intervensi dini. Dini dapat memiliki dua arti, dini sejak awal
hidupnya, dan dini sejak munculnya suatu kondisi. Masing-masing
memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri terhadap intervensi.
Keuntungan dari memulai intervensi sejak dini yaitu otak masih
sangat plastis di periode ini. Otak plastis khususnya di fase setelah
migrasi neuron dalam saat pertumbuhan dendrit dan sinaps sangat
aktif. Plastisitas otak yang tinggi berada pada usia 2-3 bulan sebelum
dan 6-8 bulan setelah usia matang. Umumnya intervensi pada anak
dengan gangguan perkembangan dimulai lebih lambat ketika mulai
ada gangguan. Keuntungan dari memulai intervensi lebih lambat di
antaranya yaitu intervensi dapat diterapkan ke anak yang memang
membutuhkan dan tujuan dari intervensi dapat diformulasikan lebih
mudah. Kerugian yang paling penting yaitu intervensi ini
relatif dimulai ketika otak sudah tidak plastis lagi.
8.2 INTERVENSI MOTORIK
Anak dengan Sindrom Down memiliki kombinasi pola respons
otot primitif yang terpadu dan terkoordinasi lebih terpusat. Hal ini
dipicu karena mielinisasi dari neuron desendens dari otak dan
neuron batang otak, dan pengurangan keduanya di pusat saraf yang
lebih tinggi, seperti korteks motorik, ganglia basalis, cerebelum,
dan batang otak. berdasar pengamatan perilaku perkembangan
mental, penelitian terkait intervensi dini untuk anak dengan Sindrom
Down dengan berbagai teknik rangsangan dapat memberikan hasil
yang bervariasi.
Semakin cepat diagnosis dibuat, semakin cepat intervensi
dapat dimulai. Perubahan patologis jumlah neuron, perubahan
ukuran cerebrum, gangguan maturasi dari sistem saraf pusat, dan
proses patofisiologi mengarah pada keterlambatan perkembangan
motorik, khususnya setelah usia 6 bulan. Kemampuan anak untuk
mengembangkan kemampuan motorik setelah usia 6 bulan dapat
berkembang lebih lambat dibandingkan fungsi lain karena anak
dengan Sindrom Down membutuhkan lebih banyak waktu dan
usaha dibandingkan anak dengan perkembangan normal (misalnya
keterampilan antigravitasi seperti berdiri).
Anak Sindrom Down umumnya mulai berjalan lebih lambat
satu tahun dibandingkan anak normal. Keterlambatan ini yaitu
bagian dari tahapan keterlambatan yang memicu perbedaan
antara anak Sindrom Down dengan anak normal. Berjalan yaitu
keterampilan yang menonjol untuk anak kecil karena dampak multi
dimensionalnya, pengaruhnya terhadap fungsi kognitif, sosial, dan
perkembangan motorik. Ketika anak dengan Sindrom Down mulai
berjalan, kesempatan untuk berinteraksi dan bermain dengan anak
seusianya meningkat dengan signifikan. Permainan yang melibatkan
aktivitas motorik menyediakan eksplorasi dan kesempatan untuk
fungsi kognitifnya berkembang.
Sebuah penelitian yang membandingkan efektifivas dua
jenis intervensi motorik, Neuro Developmental Treatment (NDT) dan
Developmental Skills pada anak Sindrom Down dengan keterlambatan
motorik terkait hipotonisitas dan palsi serebral dengan keterlambatan
motorik berpola motorik atipikal. NDT dikembangkan di Inggris
untuk terapi anak dengan palsi serebral dan dewasa dengan stroke
dengan cara mengasuh anak untuk menghambat tonus abnormal
dan memfasilitasi reaksi otomatis, seperti righting dan keseimbangan
untuk mencapai pola gerak normal. Intervensi Developmental Skill
berfokus pada pembelajaran tahapan perkembangan motorik
normal pada tingkatan kemudian yang lebih tinggi. Strategi
instruksional cenderung meng