Kamis, 13 Juli 2023

idiot 1

































Sindrom Down (SD) merupakan suatu kelainan genetik yang 
paling sering terjadi dan paling mudah diidentifikasi. SD atau yang 
lebih dikenal sebagai kelainan genetik trisomi, di mana ada  
tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom ekstra ini  
memicu  jumlah protein tertentu juga berlebih sehingga 
mengganggu pertumbuhan normal dari tubuh dan memicu  


   


perubahan perkembangan otak yang sudah tertata sebelumnya.
Selain itu, kelainan ini  dapat memicu  keterlambatan 
perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung, 
bahkan kanker darah/leukemia.Kelainan ini sama sekali tidak 
berhubungan dengan ras, negara, agama, maupun status sosial 
ekonomi.

Pada tahun 1866, John Langdon Down, seorang dokter 
berkewarganegaraan Inggris, menulis sebuah esai berjudul 
“Observation on an ethnic classification of idiots” di mana ia 
mendeskripsikan sekelompok anak dengan penampakan umum 
yang berbeda dari anak lain yang mengalami retardasi mental dan 
kemudian  disebut sebagai mongolism atau mongolia idiocy. Istilah ini 
dibuat berdasar  persepsi bahwa anak-anak ini  
karakteristik wajah yaitu berupa lipatan epicantus yang sama dengan 
ras Blumenbach di Mongolia.
Dengan berkembangnya penemuan teknik pemeriksaan 
kariotipe, pada tahun 1959, Profesor Jerome Lejeune menemukan 
bahwa SD dipicu  oleh ekstra kromosom pada kromosom 21 
yang kemudian  disebut sebagai trisomi

Pada tahun 1961, 19 orang peneliti genetik menyarankan  
pada majalah The Lancet agar nama yang memalukan dan memiliki  
konotasi negatif ini  diganti. The Lancet lalu memakai  nama 
Down’s Syndrome. Pada tahun 1965, WHO secara resmi menghentikan 
penggunaan istilah mongolism atas permintaan delegasi dari 
 Mongol.
Pada tahun 1975, the United States National Institute of Health 
menyarankan  untuk menghilangkan tanda (’) karena pemberi 
nama bukanlah pemilik dari kelainan ini . Oleh sebab itu, 
sejak saat itu hingga sekarang, istilah yang dipakai  yaitu Down 
Syndrome.

Insiden kejadian SD diperkirakan 1 di antara 800-1000 kelahiran. 
Frekuensi kejadian SD di negara kita  yaitu  1 dalam 600 kelahiran 
hidup. Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan yaitu  10 SD per 
10.000 kelahiran hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini 
telah meningkat. Insiden penderita SD dilaporkan meningkat di 
Finlandia yakni sebesar 1/364 kelahiran, Dubai 1/449, dan Belanda 
1/625.7-9 Prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial budaya.
Di beberapa negara di mana aborsi merupakan tindakan ilegal 
seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensi SD lebih tinggi. 
Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah. Hal ini mungkin 
dipicu  karena persentase penghentian kehamilan yang tinggi 
pada anak dengan terdeteksi SD. Di Belanda, data terbaru dari 
prevalensi SD yaitu  16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris, 
prevalensi kehamilan bayi dengan SD telah meningkat secara 
signifikan, namun belum ada perubahan secara keseluruhan 
prevalensi kelahiran hidup dari SD.
Usia ibu saat hamil memengaruhi risiko melahirkan anak 
dengan SD. Semakin meningkat usia ibu saat kehamilan, semakin 
besar risiko melahirkan anak dengan SD. Pada saat usia ibu 20-24 
tahun, risiko kejadian SD yaitu 1:1490, usia 40 tahun sekitar 1:106,
dan pada usia 49 tahun sekitar 1:11 kelahiran. Walaupun demikian, 
sekitar 80% anak dengan SD lahir dari ibu yang berusia kurang 
dari 35 tahun karena usia ini  merupakan kelompok usia 
subur.

Didapatkan peningkatan angka kejadian sindrom down seiring 
dengan pertambahan usia ibu saat hamil
berdasar  kelainan struktur dan jumlah kromosom, Sindrom 
Down terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: 
1. Trisomi 21 klasik yaitu  bentuk kelainan yang paling sering 
terjadi pada penderita Sindrom Down, di mana ada  
tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian trisomi 
21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita Sindrom Down.
2. Translokasi yaitu  suatu keadaan di mana tambahan kromosom 
21 melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel 
pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel 
dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% 
dari seluruh penderita Sindrom Down. Pada beberapa kasus, 
translokasi Sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua 
kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini 
hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.

Mosaik yaitu  bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, 
di mana hanya beberapa sel saja yang memiliki kelebihan 
kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan Sindrom Down 
mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan 
yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan Sindrom 
Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya 
mengenai sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down.13

Hingga saat ini belum diketahui pasti pemicu  Sindrom Down. 
Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang 
terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu pemicu  yang 
sering dikemukakan dan pemicu  ini tidak berkaitan dengan apa
yang dilakukan ibu selama kehamilan. Sindrom Down terjadi karena 
kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada 
manusia normal, 23 kromosom ini  berpasang-pasangan hingga 
berjumlah 46. Pada penderita Sindrom Down, kromosom 21 ini  
berjumlah tiga (trisomi), sehingga total menjadi 47 kromosom.2,3
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat 
berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi 
translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom 
akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian 
dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom 
lain.3,14,15
Selain nondisjunction, pemicu  lain dari Sindrom Down 
yaitu  anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid 
untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada 
pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan 
atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk 
ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat 
meiosis ataupun mitosis.3,14,15
Hall menuliskan bahwa Sindrom Down dipicu  oleh 
adanya kromosom ekstra pada pasangan kromosom ke 21, yang 
dapat mengambil bentuk salah satu di antara 4 pola, yaitu trisomi, 
translokasi, mosaik, dan duplikasi.
Trisomi 21 (47, XX, +21) merupakan bentuk Sindrom Down yang 
paling umum, meliputi 95% dari semua kasus, yang dipicu  
oleh kesalahan dalam pembelahan sel sehingga ada  3 buah 
kromosom 21 pada seluruh sel tubuh. Tipe ini sebenarnya tidak 
diwariskan walaupun peluang untuk mendapat anak lain dengan 
Sindrom Down meningkat menjadi 1 banding 100 pada populasi 
umum.1,2,6
Translokasi Robertsonian atau Sindrom Down familial, meliputi 
3-4% dari seluruh kasus, di mana lengan panjang kromosom 21 
menempel pada kromosom lain, biasanya kromosom 14 (45, XX, 
t(14;21q)), atau pada kromosom 21 sendiri dan disebut iso kromosom 
(45, XX, t(21q,21q)). Pada tipe ini salah satu dari orang tua akan
membawa materi kromosom dengan urutan yang tidak lazim 
sehingga diperlukan konseling genetik.1,2,6
Mosaik (46, XX atau 47, XX+21) merupakan bentuk yang jarang 
di mana hanya terjadi sekitar 1-2% saja. Pada bentuk ini, ada  sel 
yang mengandung kromosom ekstra dan ada yang tidak. Semakin 
sedikit sel yang terpengaruh, semakin kecil derajat gangguan 
yang ditimbulkan. Duplikasi bagian dari kromosom 21 (46, XX, 
dup(21q)) merupakan bentuk yang sangat jarang. Duplikasi ini akan 
memicu  bertambahnya gen pada kromosom 21.1,2,6
2.3 FAKTOR RISIKO SINDROM DOWN
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya 
pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga 
saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang 
perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I, tidak berubah 
pada tahap ini  sampai terjadi ovulasi. Di antara waktu ini , 
oosit mengalami non-disjunction.2,14
Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang 
mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa 
normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 
21. Nondisjunction ini dapat dipicu  oleh beberapa hal, yaitu: 
1. Infeksi virus. Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus 
tersering pada prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang 
dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga 
memicu  perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
2. Radiasi
 Radiasi merupakan salah satu pemicu  dari nondisjunctinal
pada Sindrom Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak 
dengan Sindrom Down pernah mengalami radiasi di daerah 
perut sebelum terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom 
Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan merupakan pemicu  
beberapa kejadian Sindrom Down di Berlin.
3. Penuaan sel telur. Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap 
kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat
terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami 
kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk 
pada saat masih dalam kandungan yang akan dimatangkan 
satu per satu setiap bulan pada saat wanita ini  mengalami 
menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel 
telur ini  terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat 
dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan 
yang salah. Proses kemudian  dipicu  oleh keterlambatan 
pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama pada 
pasangan tua. Faktor kemudian  dipicu  oleh penuaan sel 
spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel sperma itu 
sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan 
motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek 
ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah. 
4. Usia ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko 
melahirkan bayi dengan Sindrom Down dibandingkan dengan 
ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Sindrom 
Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran. 
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar 
kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin 
seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar 
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, 
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon 
LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) 
secara mendadak pada saat sebelum dan selama menopause, 
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction. 
Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat 
berupa kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi 
translokasi Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom 
akrosentrik lain, ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian 
dari translokasi resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom 
lain.
Selain nondisjunction, pemicu  lain dari Sindrom Down 
yaitu  anaphase lag yang merupakan kegagalan dari kromosom

 atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang 
terbentuk pada pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya 
perpindahan atau pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak 
masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada 
saat meiosis ataupun mitosis.
Anak Sindrom Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. 
Beberapa karakteristik fisik khusus, meliputi:
- bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang 
normal (microchephaly) dengan area datar di bagian tengkuk.
- ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat 
(rata-rata usia 2 tahun).
- bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk 
lipatan (epicanthal folds).
- bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) 
sehingga tampak menonjol keluar.
- saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat 
memicu  gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
- garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian 
crease)
- penurunan tonus otot (hypotonia)
- jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan 
jalan napas lebih kecil sehingga anak Sindrom Down mudah 
mengalami hidung buntu.
- tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak 
mencapai tinggi dewasa rata-rata.
- dagu kecil (micrognatia)
- gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan 
yang tidak sebagaimana mestinya.
- spot putih di iris mata (Brushfield spots).18-20
Sementara itu, Epstein (1991) mendapatkan sebanyak 50-120 
karakteristik fisik yang digolongkan sebagai Sindrom Down seperti 
yang tercantum dalam tabel berikut.
Bentuk mata yang khas dengan adanya lipatan kecil yang 
menutupi sudut bagian dalam mata inilah yang membuat John 
Langdon Down menamakannya dengan istilah “mongolism”. Istilah 
ini kemudian dinilai tidak pantas dan diganti dengan Sindrom 
Down pada tahun 1961.

Kromosom yaitu  struktur seperti benang yang terdiri atas 
DNA dan protein lain. Kromosom-kromosom ini ada pada setiap 
sel tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan oleh 
sel untuk berkembang. Gen yaitu  unit informasi yang dikodekan 
dalam DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat 
disusun dalam 23 pasang. Dari 23 pasang, 22 pasang kromosom 
ini sama baik pria maupun wanita yang disebut dengan autosom. 
Pasangan kromosom ke-23 yaitu  kromosom kelamin (X dan Y). 
Setiap anggota dari sepasang kromosom membawa informasi yang 
sama, yang berarti bahwa gen yang sama berada di daerah yang 
sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin dapat 
terjadi. Contoh yaitu informasi genetik untuk warna mata disebut 
gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain disebut alel.
ada  dua cara pembelahan sel pada manusia. Pertama 
yaitu  pembelahan sel biasa yang disebut mitosis. Dengan cara ini, 
satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki jumlah dan tipe 
kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Kedua 
yaitu  pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis yang 
disebut sebagai meiosis. Pembelahan ini terdiri dari satu sel yang 
membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari 
jumlah kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma 
hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46. 
ada  banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses 
pembelahan sel. Pada meiosis, beberapa pasang kromosom 
membelah diri dan berpisah ke tempat yang berbeda, peristiwa ini 
disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang sel 
tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu lokasi. Ini berarti 
bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 
24 kromosom dan yang lain hanya akan memiliki 22 kromosom. 
Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat 
terjadi pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I). 
Jika sperma atau sel telur dengan jumlah kromosom yang abnormal 
menyatu dengan pasangan normal, sel telur yang dibuahi akan 
memiliki jumlah kromosom yang abnormal. Kelainan kromosom 
Sindrom Down didapatkan sebesar 8% pada kelahiran yang 
memicu  sekitar 50% aborsi terjadi pada trimester pertama, 5% 
lahir mati, dan 7% kematian neonatus. Kelainan kromosom yang 
masih memungkinkan janin hidup tetapi menimbulkan morbiditas 
berat terjadi pada 0,65% neonatus. Kelainan kromosom dapat terjadi 
baik pada jumlah maupun strukturnya.

Jumlah kromosom pada manusia yaitu  44 autosom, tersusun 
dalam pasangan yang diberi nomor dari 1 hingga 22, dan satu pasang 
kromosom seks. Aneuploidi yaitu  keadaan di mana seseorang 
kehilangan satu kromosom (monosomi) atau memiliki lebih dari 
dua kromosom (trisomi).
1. Trisomi
 Kelainan jumlah paling sering dipicu  oleh nondisjunction, 
yaitu kromosom berpasangan dengan benar, tetapi gagal 
memisah sewaktu meiosis. Risiko nondisjunction meningkat 
seiring usia ibu. Trisomi 16 dilaporkan memicu  16% 
kematian trimester pertama, namun kelainan ini belum pernah 
dijumpai pada kehamilan akhir. Aneuploidi yang memungkinkan 
kelangsungan hidup melewati trimester pertama yaitu  trisomi 
13, 18, dan 21.
 Trisomi 21 disebut juga Sindrom Down, terjadi pada 1 dari 800 
hingga 1000 neonatus. Hampir 95% kasus Sindrom Down terjadi 
akibat nondisjunction kromosom 21 ibu. Trisomi 18 juga dikenal 
sebagai Sindrom Edward dan terjadi pada 1 dari 8000 neonatus. 
Orang dengan sindrom Edward akan mengalami disabilitas 
intelektual berat dan memicu  terjadinya kelainan pada 
beberapa bagian tubuh. Trisomi 13 juga dikenal sebagai sindrom 
Patau dan terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 kelahiran. Beberapa 
penderita trisomi 13 akan mengalami disabilitas intelektual 
berat.
2. Monosomi
 Monosomi hampir selalu memicu  kematian, kecuali 
monosomi X yang juga dikenal sebagai Sindrom Turner. 
Sindrom Turner terjadi pada wanita, di mana hanya memiliki 
satu kromosom seks. Prevalensi kejadian ini yaitu  1 dari 2500 
kelahiran hidup.
3. Poliploidi
 Tambahan kromosom merupakan pemicu  sekitar 20% abortus 
dini dan jarang dijumpai pada kehamilan tahap lanjut. Triploidi 
yaitu  kelainan yang tersering. 
4. Kromosom Seks Tambahan
 Wanita dengan 47,XXX dan pria dengan 47,XXY (juga dikenal 
dengan Sindrom Klinefelter) cenderung memiliki tubuh yang 
tinggi tetapi tidak ada pertumbuhan seks sekunder. Baik pada 
XXX maupun XXY memiliki rerata IQ lebih rendah daripada 
orang normal. Selain itu, ada juga pria dengan 47,XYY atau
disebut juga dengan Sindrom Jacob yang terjadi pada 1 dari 1000 
kelahiran hidup.
3.3 KELAINAN STRUKTUR KROMOSOM
Kelainan struktur kromosom terjadi ketika kerusakan tidak 
dapat diperbaiki secara benar atau terjadi proses rekombinasi yang 
salah antara kromosom yang nonhomolog pada tahap meiosis. 
Kelainan ini dapat dipicu  akibat kesalahan pada saat proses 
penyatuan yang terjadi saat crossing over pada meiosis I. 
1. Delesi yaitu  hilangnya suatu bagian kromosom yang dipicu  
karena adanya kesalahan crossing over selama meiosis, dan dapat 
juga dipicu  karena adanya penyakit genetik yang serius. 
Delesi 4p atau dikenal juga sebagai Sindrom Wolf-Hirschhorn 
memicu  hambatan pertumbuhan janin, hipotonia, 
penampilan wajah yang khas, disabilitas intelektual berat, dan 
defek kulit kepala di garis tengah posterior (aplasia kutis). 
2. Translokasi yaitu  suatu keadaan di mana terjadi perpindahan 
materi kromosom yang satu dengan yang lainnya. Pertukaran ini 
biasanya tidak disertai dengan hilangnya materi DNA sehingga 
disebut balanced translocation. Namun pada carrier balanced 
translocation, akan memberikan keturunan dengan unbalanced 
translocation, yaitu suatu keadaan di mana perpindahan 
materi kromosom ini disertai dengan hilangnya materi DNA. 
Translokasi resiprokal atau segmen ganda yaitu  tata ulang 
materi kromosom, ditandai dengan terjadinya pemutusan di dua 
kromosom yang berbeda. Kemudian terjadi pertukaran fragmen–
fragmen sebelum pemutusan ini  diperbaiki. Translokasi 
Robertsonian terjadi akibat fusi di sentromer dua kromosom 
akrosentrik, yaitu kromosom 13, 14, 15, 21, dan 22. Translokasi 
ini terjadi pada sekitar 1 dari 1000 neonatus.
3. Inversi, terjadi jika ada  dua pemutusan di kromosom 
yang sama dan materi genetik yang terletak di antara titik-titik 
pemutusan ini  mengalami pembalikan (inversi) sebelum 
pemutusan diperbaiki. Inversi parasentrik yaitu  inversi ketika
bahan genetik yang terbalik berasal hanya dari satu lengan 
dan tidak melibatkan sentromer. Inversi perisentrik terjadi 
jika pemutusan berlangsung di masing-masing lengan dan 
melibatkan sentromer.
4. Isokromosom yaitu suatu keadaan di mana salah satu lengan 
kromosom mengalami delesi, kemudian digantikan oleh 
duplikasi dari lengan yang lainnya, sehingga lengan panjang 
dan lengan pendek tampak identik.
5. Insersi yaitu  suatu keadaan yang terjadi karena segmen dari 
salah satu kromosom dimasukkan ke dalam kromosom yang 
lain.
6. Duplikasi yaitu adanya dua salinan salah satu segmen kromosom 
pada kromosom yang sama. 

Sindrom Down dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang 
dipicu  adanya tiga kromosom 21. berdasar  pemeriksaan 
sitogenetik, umumnya Sindrom Down dibedakan atas tiga tipe, 
yaitu trisomi klasik, translokasi, dan mosaik. Jenis trisomi klasik 
merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Frekuensi trisomi 
klasik, translokasi, dan mosaik masing-masing pada penelitian yang 
dilakukan di Tunisia oleh Chaabouni dkk (1999) di mana frekuensi 
masing-masing 91,2%, 4%, dan 4,8% dan penelitian lain di India oleh

Verma dkk (2012) dengan frekuensi masing-masing yaitu  91,6%, 
4,1% dan 4,1%.2,3,13,23-25
3.5 SINDROM DOWN TRISOMI 21 KLASIK
Pada Sindrom Down, 95% dari semua kasus dipicu  oleh 
peristiwa ini, satu sel memiliki  dua kromosom 21 sehingga sel 
telur yang dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena 
itu, sering disebut dengan nama ilmiah trisomi 21. Penelitian terbaru 
menunjukkan bahwa, dalam kasus ini sekitar 90% dari sel-sel yang 
abnormal yaitu  sel telur. pemicu  kesalahan nondisjunction tidak 
diketahui, tetapi secara pasti memiliki kaitan dengan usia ibu. 
Penelitian saat ini bertujuan untuk mencoba menentukan pemicu  
dan waktu terjadinya peristiwa nondisjunction. Pada trisomi 21, 
kehadiran sebuah gen tambahan memicu  ekspresi berlebih 
dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi produk 
tertentu. Untuk sebagian besar gen, ekspresi yang berlebihan 
memiliki pengaruh yang kecil karena adanya mekanisme tubuh yang 
mengatur gen dan produknya. Akan tetapi, gen yang memicu  
Sindrom Down tampaknya merupakan suatu pengecualian.

Translokasi Robersonian terjadi pada 3-4% dari semua kasus 
trisomi 21. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom 
yang terpisah, biasanya pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan 
ulang materi genetik sehingga beberapa dari kromosom 14 digantikan 
oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah 
kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa 
anak mungkin hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21, bukan 
pada keseluruhan kromosom, yang biasa disebut dengan trisomi 21 
parsial. Translokasi yang dihasilkan dari trisomi 21 mungkin dapat 
diwariskan, jadi penting untuk memeriksa kromosom orang tua 
dalam kasus ini untuk melihat apakah anak mungkin memiliki sifat 
pembawa (carrier).
Translokasi Robersonian dan isokrosomal atau kromosom 
cincin merupakan pemicu  lain Sindrom Down. Isokromosom 
yaitu  istilah yang dipakai  untuk mendeskripsikan keadaan di 
mana dua lengan panjang dan lengan pendek berpisah bersamaan 
selama perkembangan sperma ovum. Trisomi (kariotipe 47, XX + 21 
untuk perempuan dan 47, XY + 21 untuk laki-laki) dipicu  oleh 
kegagalan kromosom 21 untuk membelah selama perkembangan 
sperma atau ovum. Pada translokasi Robertsonian yang hanya 
muncul pada 2-4% dari semua kasus, lengan panjang dari kromosom 
21 menempel dengan kromosom lain (biasanya kromosom 14). 

Sisa kasus trisomi 21 yaitu  karena kejadian mosaik. Orang�orang ini memiliki campuran garis sel, beberapa di antaranya 
memiliki sejumlah kromosom normal dan lainnya memiliki trisomi 
21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang 
sama. Dalam mosaik jaringan, satu set sel seperti semua sel darah 
mungkin memiliki kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti 
semua sel-sel kulit, mungkin memiliki trisomi 21. Proses ini bekerja 
dengan kesalahan atau kegagalan pembelahan yang muncul setelah 
fertilisasi pada beberapa titik selama pembelahan sel. Sindrom Down
mosaik memiliki dua jalur keturunan sel yang berkontribusi pada 
jaringan dan organ pada individu dengan mosaikisme (satu dengan 
jumlah kromosom normal, dan satu lainnya dengan tambahan pada 
21). 
Hipotesis ketidakseimbangan gen menyatakan bahwa pasien 
dengan Sindrom Down memiliki jumlah salinan gen pada HSA21 
yang meningkat, sehingga menimbulkan peningkatan ekspresi gen. 
Hipotesis ini mengandung arti bahwa gen atau bagian spesifik dari 
gen mungkin mengatur fenotip Sindrom Down tertentu. Hipotesis 
ketidakstabilan perkembangan yang makin kuat menyatakan bahwa 
dosis dari sejumlah gen trisomi membawa ketidakseimbangan 
genetik yang memicu  dampak besar pada ekspresi dan 
regulasi dari banyak gen sepanjang genom. Analisis fenotip 
dilakukan pada individu dengan trisomi sebagian untuk HSA21 
teridentifikasi bahwa hanya satu atau beberapa bagian kecil pada 
kromosom disebut sebagai “Down Syndrome Critical Regions” (DSCR), 
sebuah bagian dengan 3.8–6.5 Mb pada 21q21.22, dengan kira-kira 
30 gen yang terkait pada mayoritas fenotip pada Sindrom Down. 
Sebelumnya, sebuah bagian dari 1.6 sampai 2.5 Mb dikenali sebagai 
pemicu  untuk fenotip Sindrom Down. Bagian dari 21q22 diketahui 
berpengaruh pada beberapa fenotip termasuk abnormalitas kepala 
wajah, penyakit jantung bawaan, klinodaktili pada jari kelima, dan 
retardasi mental.
Peranan penting Dual-specificity tyrosine phosphorylation-regulated 
kinase (DYRK1A), regulator of calcineurin 1 (RCAN1), dan Down 
Syndrome Cell Adhesion Molecule (DSCAM) dalam perkembangan otak 
dan telah diidentifikasi sebagai gen kandidat terhadap peningkatan 
risiko dari penyakit jantung bawaan pada individu dengan Sindrom 
Down. DSCAM merupakan faktor penting pada diferensiasi neural, 
pedoman akson, dan penetapan dari jaringan saraf dan diduga 
bahwa gangguan dari proses-proses ini berkontribusi pada fenotip 
neurokognitif Sindrom Down.

Transkripsi dari gen trisomi meningkat sekitar 50% dari variasi 
sel dan jaringan. Peningkatan ekspresi ini  dapat mengganggu 
fungsi sel yang berdiferensiasi pada peningkatan ekspresi dan 
sebagai penentuan mekanisme ekspresi berlebihan gen-gen yang 
berkonstribusi pada fenotip Sindrom Down. Ekspresi berlebihan 
gen tidak hanya memengaruhi perkembangan dan fungsi sel, 
namun juga memengaruhi sel di sebelahnya, yang memicu  
perkembangan yang menyimpang sebagai dampak sekunder dari 
trisomi. Sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya benar�benar perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada Sindrom Down, 
yang disebut sebagai Down’s Syndrome Critical Region. Namun, area 
ini bukan merupakan satu daerah yang kecil, tetapi beberapa daerah 
yang kemungkinan besar tidak selalu berdampingan. Kromosom 21 
mungkin benar-benar memegang 200-250 gen (menjadi kromosom 
yang terkecil dalam hal jumlah gen), tetapi diperkirakan bahwa 
hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada 
Sindrom Down.
Adanya Down’s Syndrome Critical Region (DSCR) sebuah segmen 
kecil pada kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung 
jawab pada ciri-ciri utama Sindrom Down, telah mendominasi 
penelitian Sindrom Down pada tiga dekade terakhir. Gen-gen yang 
ada  pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan menjadi DSCR1 dan 
DSCR2. 28,29 Menurut Davies dkk (2006) DSCR1 yang sekarang diberi 
nama Regulator of Calcineurin 1 (RCAN1) diekspresikan berlebih 
dalam otak fetus Sindrom Down dan berinteraksi secara fisik dan 
fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik subunit dari 
kalsium/calmodulin-dependent protein phosphatase.
30 Patterson D pada 
tahun 2007 mengatakan bahwa RCAN1 yang banyak diekspresikan 
di otak dan jantung menunjukkan bahwa ekspresi berlebih ini  
berhubungan dengan patogenesis Sindrom Down, terutama retardasi 
mental dan/atau kelainan jantung.28 Sementara itu, Korbel pada tahun 
2009 mengungkapkan bahwa DSCR2 lebih banyak diekspresikan 
pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti jaringan 
fetus, testis, dan sel kanker.
Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya Sindrom Down 
meliputi:
a. Superoxide Dismustase (SOD1) – ekspresi berlebih yang 
memicu  penuaan dini dan menurunnya fungsi sistem 
imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.
b. COL6A1 – ekspresi berlebih yang memicu  cacat jantung.
c. ETS2 – ekspresi berlebih yang memicu  kelainan tulang 
(abnormalitas skeletal).
d. CAF1A – ekspresi berlebih yang dapat merusak sintesis DNA.
e. Cystathione Beta Synthase (CBS) – ekspresi berlebih yang 
memicu  gangguan metabolisme dan perbaikan DNA.
f. DYRK – ekspresi berlebih yang memicu  retardasi mental.
g. CRYA1 – ekspresi berlebih yang memicu  katarak.
h. GART – ekspresi berlebih yang memicu  gangguan sintesis 
dan perbaikan DNA.
i. IFNAR – gen yang mengekspresikan interferon, ekspresi berlebih 
yang dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem 
organ lainnya.
Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, di antaranya APP, 
GLUR5, S100B, TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi, 
penting untuk diketahui bahwa belum ada gen yang sepenuhnya 
terkait dengan setiap karakteristik yang berhubungan dengan 
Sindrom Down.

SKRINING DAN DIAGNOSIS SINDROM DOWN
Singh dkk (2004), menyarankan dilakukan skrining untuk 
Sindrom Down pada ibu hamil yang memiliki  risiko tinggi 
yaitu ibu hamil berusia tua. Skrining dapat dilakukan dengan 
cara noninvasif, yaitu melalui triple, quad, AFP/free beta, dan nuchal 
translucency screening test. Skrining yang positif harus ditindaklanjuti 
dengan usaha untuk menegakkan diagnosis prenatal dengan 
memakai  cara yang lebih invasif, yaitu Chorionic Villous Sampling, 
Amniocentesis, atau Percutaneus Umbilical Blood Sampling. Sementara 
diagnosis Sindrom Down postnatal, dilakukan berdasar  
identifikasi karakteristik fisik yang sering dijumpai pada bayi baru 
lahir dengan Sindrom Down dan dikonfirmasi dengan analisis 
kromosom.
DIAGNOSIS PRENATAL
Prevalensi hasil konsepsi memiliki  kelainan, yaitu sekitar 
8%. Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukan tes diagnosis 
prenatal invasif yang saat ini masih merupakan standar baku. 
Diagnosis prenatal pada kehamilan risiko tinggi dapat mengurangi 
penurunan terjadinya Sindrom Down melalui amniosintesis dan 
Chorion Villus Sampling (CVS).32
Tes skrining pada trimester I (nuchal translucency, free ß-hCG dan 
PAPP-A) dan triple test pada trimester II (Feto Protein, Unconjugated 
Estradiol 3 dan ß-hCG) merupakan metode yang sering dipakai 
untuk skrining kelainan kromosom. Prosedur standar (gold standard) 
untuk diagnosis prenatal yaitu  dengan fetal karyotyping pada wanita 
hamil. Diagnosis definitif ini membutuhkan pemeriksaan invasif 
yaitu CVS atau amniosintesis. ada  beberapa assay molekuler 
seperti Fluorescent in situ Hybridization (FISH), Quantitative Fluorescence 
PCR (QF-PCR), dan MLPA Multiplex Probe Ligation Assay (MLPA) yang 
juga dapat dipakai  untuk diagnosis prenatal.33,34
Amniosintesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban 
yang kemudian diuji untuk menganalisis kromosom janin. Pada 
trimester II (minggu ke 14-20 kehamilan), cara ini  merupakan 
teknik invasif yang paling umum dipakai  karena lebih aman dan 
lebih mudah (dibandingkan dengan amniosintesis pada trimester I 
dan CVS), terpercaya, dan akurat dari segi sitogenetik serta biaya 
yang relatif murah daripada metode skrining yang lain. Komplikasi 
amniosintesis berkisar antara 0,5-2,2%. Amniosintesis dan CVS 
cukup dapat diandalkan tetapi memberikan risiko keguguran sekitar 
0,5-1%. CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. 
Sampel ini  akan diuji untuk melihat kromosom janin. Teknik 
ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga empat 
belas.33,34 berdasar  tanda klinis seperti adanya tulang hidung 
yang kecil atau bahkan tidak ada, ventrikel yang besar, dan leher 
yang tebal, risiko untuk janin Sindrom Down dapat diidentifikasi 
melalui USG pada minggu gestasional ke 14 sampai 24. Peningkatan

translusensi leher janin mengindikasikan peningkatan risiko dari 
Sindrom Down.34
Metode FISH dari nukleus interfase merupakan metode yang 
paling sering dipakai  dengan memakai  HSA21 spesifik atau 
seluruh HSA21. Metode lain yang sering dipakai  di beberapa 
negara yaitu QFPCR, di mana tanda polimorfik DNA (mikrosatelit) 
pada HSA21 dipakai  untuk menentukan keberadaan dari tiga 
alel berbeda. Metode ini mengandalkan tanda informatif dan 
ketersediaan DNA. Diagnosis cepat dengan metode berdasar  
PCR memakai  tanda STR polimorfik mungkin menurunkan 
kesulitan dengan pendekatan konvensional. Penggunaan metode 
tanda STR dapat mendeteksi trisomi pada 86,67% kasus dengan 
hanya dua marker.34,35 Metode tambahan untuk mengukur jumlah 
salinan dari urutan DNA termasuk MLPA yang pertama kali 
dikenalkan pada 2002 sebagai metode dari kuantifikasi relatif di 
DNA. MLPA memberikan berbagai keuntungan, seperti waktu yang 
sangat pendek untuk diagnosis (2-4 hari), efektivitas, sederhana, 
dan harga yang murah. MLPA tidak dapat mengidentifikasi pada 
plasenta yang sedikit.
Metode terkini disebut Paralogous Sequence Quantification (PSQ), 
memakai  urutan paralog untuk kuantifikasi jumlah salinan 
HSA21. PSQ yaitu  metode berbasis PCR untuk mendeteksi jumlah 
kromosom target yang abnormal yang disebut PSQ, berdasar  
penggunaan dari gen paralog. Urutan paralog memiliki derajat tinggi 
dalam identitas urutan, tetapi akumulasi pengganti nukelotida dalam 
lokus spesifik. PSQ mudah dipakai , mudah untuk diatur sebagai 
metode untuk diagnosis pada aneuploidi yang umum dan dapat 
dilakukan kurang dari 48 jam. Pengurutannya secara kuantitatif 
dipakai  dengan pyrosequencing. Perbandingan hibridisasi genomik 
pada BAC dapat dipakai  untuk diagnosis dari trisomi atau 
monosomi penuh, dan untuk aneuploidi sebagian.
Sensitivitas penanda uji tapis untuk Sindrom Down berkisar 
antara 61%-67%. Pada ibu yang mengandung fetus dengan SD 
seringkali didapatkan kadar serum maternal alfa-fetoprotein dan 
unconjugated estriol yang lebih rendah dari normal. Sebaliknya,

kadar serum maternal beta-human chorionic gonadotropin (beta�hCG) didapatkan lebih tinggi dari normal. Uji diagnostik prenatal 
yang dapat dilakukan yaitu  pemeriksaan sampel vilus korionik, 
amniosintesis, dan percutaneus blood sampling, dengan tingkat akurasi 
98-99%. 
4.3 DIAGNOSIS POSTNATAL
Diagnosis Sindrom Down post natal didasarkan pada gabungan 
gambaran fisis yang khas dan konfirmasi dengan pemeriksaan 
kariotipe genetik. Seringkali tanda awal yang dapat dijumpai pada 
neonatus dengan SD yaitu  hipotoni. Gambaran khas lainnya yaitu  
brakisefal, fisura palpebra yang oblik, jarak antara jari kaki ke-1 dan 
ke-2 yang agak jauh, jaringan kulit yang longgar di belakang leher, 
hiperfleksibilitas, low set ears, protrusi lidah, depressed nasal bridge, 
lipatan epikantus, bercak Brushfield (titik-titik kecil pada pupil 
yang letaknya tidak beraturan dan berwarna kontras), jari ke-5 yang 
pendek dan melengkung, simian crease, dan didapatkan tanda-tanda 
penyakit jantung bawaan.
Analisis sitogenetik dari kariotipe metafase masih menjadi 
standar praktis dalam identifikasi, tidak hanya trisomi 21, tetapi 
segala aneuploidi lainnya dan translokasi yang seimbang. Analisis 
sitogenetik yaitu  studi tentang jumlah dan struktur umum dari 
46 kromosom, yang juga dikenal sebagai kariotipe. Kromosom dari 
sel-sel tubuh (biasanya dari sel darah putih) dihitung jumlahnya 
apakah normal atau tidak, dan struktur kromosom dilihat apakah 
ada delesi atau duplikasi.
Pengambilan darah pasien diambil dari darah vena/kapiler 
berheparin. Darah yang telah diambil kemudian diteteskan ke dalam 
media-media yang berbeda, yaitu RPMI1640, MEM, dan TC199. Proses 
ini disebut sebagai proses penanaman di mana dibutuhkan waktu 
sekitar 3-4 hari sebelum proses pemanenan. Pada proses pemanenan 
dibutuhkan larutan colchicine atau colcemid yang berperan untuk 
menghentikan proses mitosis (metafase). Proses kemudian , yaitu 
proses pengecatan. Setelah proses pengecatan selesai, preparat dapat
dilihat di bawah mikroskop untuk dinilai apakah ada kelainan 
kromosom atau tidak.
Indikasi untuk dilakukannya analisis sitogenetik yaitu  sebagai 
berikut: 
1. Gagal tumbuh, keterlambatan perkembangan, perawakan 
pendek, alat kelamin ambigu, dan disabilitas intelektual 
2. Lahir mati dan kematian neonatus: insiden kelainan kromosom 
lebih tinggi pada bayi lahir mati dan bayi yang meninggal tak 
lama setelah lahir (masing-masing sekitar 10%) dibandingkan 
kelahiran hidup (0,7%). Analisis sitogenetik mungkin dapat 
mengidentifikasi  kematian dan memberikan informasi 
penting untuk diagnosis prenatal pada kehamilan yang 
mendatang 
Analisis sitogenetik direkomendasikan untuk wanita hamil 
dengan riwayat kehamilan sebelumnya dengan bayi Sindrom Down, 
pasangan dengan riwayat infertilitas, dan keguguran berulang.

Anak dengan Sindrom Down sering disertai dengan kelainan di 
bidang medis, di antaranya kelainan jantung dan pembuluh darah, 
hormon, pendengaran, penglihatan, tulang, dan keganasan. Oleh 
karena itu, untuk mencapai kualitas hidup dan potensi maksimal, 
diperlukan optimalisasi dengan identifikasi dini dan penanganan 
multidisipliner dari berbagai bidang disiplin ilmu.

Kelainan jantung bawaan ditemukan pada 40-60% bayi dengan 
Sindrom Down berupa defek kanal atrioventrikuler komplit (60%), 
defek septum ventrikel (32%), Tetralogi of Fallot (6%), defek septum 
atrium sekundum (1%), dan Isolated Mitral Cleft (1%). Pemeriksaan 
penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan 
jantung bawaan yaitu  ekokardiografi. Anak yang lebih muda
(<3 tahun) memiliki kelainan jantung lebih banyak dibandingkan 
dengan anak yang lebih tua. Beberapa anak bahkan memiliki lebih 
dari satu kelainan jantung.
Anak SD dengan kelainan jantung bawaan berat yang stabil 
secara klinis dapat memberikan gejala berat setelah usia 8 bulan. 
Insiden dari penyakit jantung bawaan pada bayi yang baru lahir 
dengan Sindrom Down mencapai 50%. Gangguan endokardium 
berupa gangguan atrium ventrikel merupakan bentuk paling sering 
sekitar 40%. Defek septum ventrikel juga muncul pada populasi ini 
yang memengaruhi sampai 35% dari semua pasien.
Mutasi pada non-HSA21, gen CRELD1 (Cysteine rich EGF like 
domain 1) berperan dalam perkembangan defek septum atrium 
ventrikel di Sindrom Down. CRELD1, terletak di kromosom 3p25, 
mengode protein permukaan sel dan berfungsi sebagai molekul 
penempelan sel serta diekspresikan selama perkembangan jantung. 
Gen CRELD1 mengandung 11 ekson yang memanjang kira-kira 12kb. 
Sampai sekarang, dua lokus genetik spesifik untuk defek septum 
atrium ventrikel telah dikenali. Salah satu lokus berada pada 
kromosom 1p31-p21, lokus lainnya berada pada kromosom 3p25 dan 
gen yang terkait yaitu  CRELD1. 
Selain itu, penelitian terbaru menyatakan bahwa ada  
penurunan kejadian hipertensi pada pasien dengan Sindrom 
Down. Trisomi dari miRNA HSA21 HAS-miR-155 berperan dalam 
mekanisme ini. HAS-miR-155 bekerja pada satu target alel khusus 
pada gen reseptor angiotensin tipe II dan berperan dalam penurunan 
risiko hipertensi.
Masalah hormon pada anak Sindrom Down tersering yang 
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan yaitu  
gangguan pada hormon tiroid dan gonad.
1. Gangguan Hormon Tiroid
 Gangguan hormon tiroid yaitu  gangguan hormon yang paling 
sering dijumpai pada Sindrom Down. Kejadian penyakit tiroid

meningkat pada penderita SD. Hipotiroid, baik kongenital 
maupun didapat yaitu  kelainan yang paling sering dijumpai 
pada sekitar 16-20% penderita SD. Program skrining hipotiroid 
pada neonatus di New York melaporkan insiden hipotiroidisme 
kongenital pada bayi dengan Sindrom Down sebesar 1:141 
kelahiran hidup, lebih tinggi dibandingkan kejadian pada bayi 
sehat (sebesar 1:3000 hingga 1:4000). Dalam sebuah penelitian di 
mana pasien Sindrom Down (usia 0-25 tahun) yang tidak memiliki 
gangguan hormon tiroid bawaan saat baru lahir ketika berusia ≤
15 tahun, 35% mengalami gangguan hormon tiroid (33% dengan 
hipotiroid dan 2% hipertiroid/kelebihan hormon tiroid). Sekitar 
separuh anak dengan Sindrom Down mengalami peningkatan 
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) dengan nilai T3
 dan T4
 normal 
yang memicu  hipotiroid subklinis (tidak memiliki gejala). 
Hambatan pematangan jalur hipotalamus pituitari tiroid diduga 
sebagai pemicu  gangguan hormon ini.
 Tanda dan gejala hipotiroid kadang tidak jelas. Uji tapis penyakit 
tiroid dianjurkan dilakukan setiap tahun dengan pemeriksaan 
TSH dan FT4. Karena penyakit autoimun banyak ditemui 
pada anak dengan SD, maka sebaiknya evaluasi hipotiroid 
dengan pemeriksaan antibodi tiroid juga dilakukan pada anak 
usia sekolah untuk mencari kemungkinan tiroiditis. Pada 
beberapa bayi dan anak dengan SD dapat ditemukan kelainan 
hipertirotropinemia idiopatik dengan TSH yang meningkat 
dan T4 yang normal. Hal ini dapat merupakan akibat defek 
neuroregulator TSH yang berada dalam batas normal sampai 
batas atas bila dipantau selama 24 jam. Oleh karena itu, 
pemeriksaan TSH dan T4 dianjurkan setiap 6 bulan dan tidak 
diterapi kecuali bila didapatkan kadar T4 yang rendah.
2. Gangguan Gonad
 Pasien dengan Sindrom Down memiliki angka kejadian 
tinggi untuk mengalami kelainan perkembangan seksual dan 
keterlambatan pubertas di kedua jenis kelamin. Pada perempuan, 
dilaporkan kelainan meliputi kekurangan gonad yang ditandai 
dengan terlambatnya menstruasi pertama (menarche) atau proses
matangnya kelenjar adrenal (adrenarche). Pada laki-laki meliputi 
genitalia ambigu, kriptorkismus (testis yang tidak turun), 
micropenis (ukuran penis kecil), testis kecil dan sperma hidup 
yang rendah serta pertumbuhan rambut ketiak dan janggut yang 
sedikit.
Penelitian Hasle pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa 
pasien dengan Sindrom Down memiliki 10-20 kali lipat peningkatan 
risiko menderita leukemia dan sebesar 2% dapat terjadi hingga usia 
5 tahun dan 2,7% hingga usia 30 tahun.51 Sebesar 2% anak dengan 
Sindrom Down menderita leukemia limfoblastik akut (LLA) dan 
sekitar 10% menderita kelainan leukemia myeloid akut (LMA). 
Leukemogenesis dari leukemia megakaryoblastik akut (LMKA) pada 
pasien Sindrom Down berhubungan dengan keberadaan mutasi 
somatik yang melibatkan gen GATA1. GATA1 merupakan faktor 
transkripsi yang diturunkan terkait kromosom X yang berperan 
penting untuk diferensiasi eritroid dan megakaryositik.
Leukemia yang lebih sering dijumpai pada anak dengan SD 
berusia kurang dari 3 tahun yaitu  tipe nonlimfositik (leukemia 
mielositik akut/LMA). Anak SD biasanya memberikan respons cukup 
baik dengan terapi standar dan dapat mencapai remisi pada sekitar 
80% kasus. Pada masa neonatus, didapatkan 10% insiden gangguan 
mieloproliferatif (reaksi leukemoid) yang pada beberapa kasus dapat 
berkembang menjadi LMA.40,51 Polisitemia juga cukup sering ditemui 
pada neonatus. Penelitian Shivdasani pada tahun 1997 menyebutkan 
bahwa sebesar 64% anak dengan SD mengalami polisitemia pada 
saat neonatus.53 Selain itu, laporan kasus juga menyatakan adanya 
peningkatan terjadinya retinoblastoma (kanker retina mata), limfoma 
(kanker kelenjar getah bening), dan tumor testis pada anak dengan 
Sindrom Down.

MASALAH SALURAN CERNA
Anak dengan Sindrom Down akan mengalami beberapa gejala 
saluran cerna dari waktu ke waktu seperti muntah, diare, sulit 
buang air besar (konstipasi), nyeri perut, dan ketidaknyamanan 
yang dapat hilang dengan intervensi minimal atau bahkan tanpa 
terapi. Gangguan struktural dan fungsional saluran cerna dapat 
terjadi pada sekitar 10% anak dengan Sindrom Down, terlebih yang 
berkaitan dengan struktural. Lebih dari 75% bayi baru lahir yang 
mengunjungi klinik memiliki masalah saluran cerna termasuk 
kesulitan memberi makan maupun gangguan perkembangan 
saluran cerna. Adanya penyempitan saluran cerna dan gangguan 
pembentukan sebagian saluran cerna dapat memicu  
sumbatan di usus. Salah satu kelainan saluran cerna yang sering 
dijumpai pada anak Sindrom Down dibanding anak sehat yaitu  
penyakit Hirschsprung. Sekitar 12% anak dengan Sindrom Down 
mengalami penyakit Hirschprung. Penelitian Amiel J pada tahun 
2008 menunjukkan bahwa Hirschprung mengandung gen DSCAM 
yang diekspresikan di lekukan neural yang berhubungan dengan 
sistem saraf usus. Hirschprung merupakan bentuk dari obstruksi 
usus bawah yang dipicu  tidak adanya sel ganglion mesentrik 
normal pada bagian kolon. Pada anak dengan Hirschprung, tidak 
adanya sel ganglion memicu  kegagalan usus untuk relaksasi 
secara normal. Gelombang peristaltik tidak dapat berjalan pada 
bagian aganglionik dan tidak didapatkan defekasi normal yang 
akhirnya dapat memicu  obstruksi fungsional.54,55 Manifestasi 
Hirschsprung berupa pembesaran perut, berat badan sulit naik, 
muntah, dan sulit buang air besar. Keluarnya kembali isi perut (refluk 
saluran cerna) juga sering menjadi pemicu  ketidaknyamanan 
pasca pemberian makan karena pada dasarnya anak dengan 
Sindrom Down jarang menghabiskan waktu dalam posisi duduk 
dan juga adanya penurunan tonus otot di ujung bawah esofagus.
Penelitian Berrocal dkk (1999), mengungkapkan stenosis duodenum

dan anus imperforata ada  pada anak dengan Sindrom Down. 
Distensi abdominal, kegagalan pasase mekonium, enterokolitis, dan 
muntah bilious merupakan manifestasi klinis yang tampak dalam 
beberapa hari setelah kelahiran. Bayi dengan atresia duodenum atau 
stenosis duodenum menunjukkan gejala muntah bilious setelah 
periode neonatus. Bila dibiarkan tidak diatasi, akan memicu  
dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit. Anus imperforata 
merupakan defek kelahiran dimana rektum mengalami malformasi 
dan berhubungan dengan peningkatan anomali spesifik lain seperti 
anomali tulang belakang, atresia ani, anomali kardiovaskular, fistula 
trakeoesofagus, esofagus atresia, defek pada ginjal dan anggota 
gerak. Penelitian Berrocal dkk (1999), mengungkapkan bahwa 
ada  gangguan pada 10 gen non HSA21 terkait dengan penyakit 
anus imperforata.

Anak Sindrom Down lebih mudah terkena infeksi dibandingkan 
anak normal. Adanya kelainan sistem pertahanan tubuh (imunitas) 
berkaitan dengan Sindrom Down dihubungkan dengan proses 
metabolik atau kekurangan nutrisi yang akan menjadi faktor 
predisposisi pencetus infeksi. Faktor lain yang berpengaruh di 
antaranya kelainan struktur anatomi (misalnya saluran telinga 
sempit) dan kembalinya isi perut ke mulut dapat berperan dalam 
peningkatan kejadian infeksi saluran napas atas. Oleh sebab itu, anak 
dengan Sindrom Down tetap memerlukan imunisasi tepat waktu 
sesuai jadwal seperti anak pada umumnya untuk memperkuat 
sistem kekebalan di dalam tubuh. 

Pasien Sindrom Down memiliki risiko lebih besar untuk 
menderita penyakit Alzheimer. Setelah umur 50 tahun, risiko 
untuk berkembangnya demensia meningkat pada pasien Sindrom 
Down mencapai hampir 70%. Ada berbagai macam variasi gen yang 
dilaporkan dapat memicu  onset dini penyakit Alzheimer.59,
Beberapa gen yang dideskripsikan yaitu  amyloid precursor protein
(APP), beta secretase 2 (BACE2), Phosphatidylinositol binding clathrin 
assembly protein (PICALM), dan Apolipoprotein E (APOE). APP 
merupakan protein membran integral yang bekerja pada sinaps dari 
neuron dan trisomi. Protein ini cenderung membuat peningkatan 
frekuensi demensia pada individu Sindrom Down. BACE2 mengkode 
enzim beta secretase 2 yang terlibat dalam penyakit Alzheimer. Gen 
APP dan BACE2 terletak pada kromosom 21.
Selain penyakit Alzheimer, penelitian oleh Jones EL pada tahun 
2013 mengungkapkan adanya hubungan antara umur dan prevalensi 
kejang pada SD, dengan puncak kejadian kejang pada masa bayi 
dan berulang pada dekade keempat atau kelima dalam hidupnya. 
Penurunan kejadian kejang menurun selama masa dewasa. Spasme 
infantil yaitu  tipe kejang yang paling sering muncul pada bayi dan 
dapat terkontrol dengan steroid atau antikonvulsan lainnya. Angka 
kejadian kejang yang meningkat tidak hanya akibat perkembangan 
otak yang abnormal, namun dapat terjadi akibat adanya defek 
jantung, infeksi, maupun gangguan neurotransmiter. Gangguan 
autis lebih sering dijumpai pada anak dan dewasa dengan SD. Angka 
kejadian autisme pada populasi umum yaitu  15 tiap 10.000 populasi 
dengan prevalensi SD sekitar 5-10%.
Anak SD seringkali mengalami gangguan pendengaran, baik 
sensorineural maupun konduktif. Semua bayi dengan SD perlu 
dievaluasi dengan Auditory Brainstem Response Test (ABR) atau dengan 
Transient Evoked Otoacoustic Emission Test.
 Obstruksi saluran napas 
yaitu  masalah yang berat pada anak dan dewasa dengan SD. Gejala 
yang muncul meliputi bunyi napas mendengkur, posisi tidur yang 
kurang lazim (duduk atau membungkuk sampai kepala menyentuh 
lutut), kelelahan di siang hari, atau adanya perubahan perilaku. 
Gejala-gejala ini  harus dievaluasi dengan baik untuk mencari 
apakah ada  obstructive sleep apnea. Sinusitis dengan sekret

nasal yang purulen sering juga ditemui pada anak dengan SD dan 
memerlukan tata laksana segera.

Anak dengan SD memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini 
dipicu  oleh bagian luar canthus lebih tinggi dari pada bagian 
dalam, sehingga mata terlihat sipit dan agak ke atas, secara klinis 
memberikan kesan seperti ras Mongol. Karakteristik pada mata 
lainnya yaitu  dapat ditemukannya bintik putih pada iris yang 
dinamakan brushfield spots. Kelainan mata yang lain dapat berupa 
strabismus, nistagmus, kelainan refraksi, dan katarak kongenital. 
Katarak kongenital yaitu  masalah serius pada bayi dengan SD 
yang ditandai dengan tidak adanya red reflex, ada  nistagmus 
dan strabismus.

Beberapa penelitian terdahulu telah membahas tentang 
pertumbuhan linier anak dengan Sindrom Down yang menunjukkan 
pertumbuhan tertinggal mulai dari kehidupan prenatal. Cronk 
(1978) meneliti 90 anak usia 0-36 bulan dengan Sindrom Down dan 
mendapati bahwa rata-rata berat dan panjang badan saat lahir lebih 
rendah antara 0,5-1,0 SD daripada kelompok kontrol. Pada usia 3 
tahun, 30% anak dengan Sindrom Down memiliki panjang badan 
kurang dari persentil ketiga, 60% berada antara persentil ketiga dan 
kesepuluh, serta sisanya sebanyak 10% tumbuh normal.68
Cronk dkk (1988) juga meneliti 730 anak usia 1 bulan-18 tahun 
dengan Sindrom Down dan berdasar  4650 kali pengamatan, 
mereka menyimpulkan bahwa anak dengan Sindrom Down yang 
menderita kelainan jantung bawaan derajat sedang sampai berat, 
tinggi badannya lebih pendek 2 cm pada anak laki-laki dan 1,5 cm

pada anak perempuan sampai usia 8 tahun sedang berat badannya 
lebih ringan 3 kg mulai dari umur 3 bulan sampai 8 tahun untuk 
setiap jenis kelamin.
Penelitian ini juga menghasilkan kurva pertumbuhan spesifik 
untuk Sindrom Down, di mana panjang badan lebih pendek dan 
kecepatan pertumbuhan lebih lambat terjadi pada waktu dan 
besaran yang bervariasi, sehingga bila di-plot pada kurva NCHS, 
maka anak dengan Sindrom Down tidak akan berada pada persentil 
yang sama. Pertambahan berat anak dengan Sindrom Down lebih 
cepat daripada pertambahan tinggi badannya sehingga sering terjadi 
overweight pada usia 36 bulan.
Pertumbuhan lambat dan kekurangan hormon gonad yaitu  
salah satu ciri khas Sindrom Down. Rata-rata kecepatan pertambahan 
tinggi maksimal yaitu  8,5 cm per tahun untuk laki-laki dan 7,3 cm 
per tahun untuk perempuan. Usia rata-rata saat puncak kecepatan 
pertumbuhan yaitu  12,3 tahun untuk laki-laki dan 10,8 tahun 
untuk perempuan, lebih rendah bila dibandingkan anak sehat.
Perawakan pendek yaitu  karakteristik sebagian besar anak 
dengan Sindrom Down. Rata-rata tinggi di kebanyakan usia ada 
di sekitar persentil kedua dari populasi umum. pemicu  utama 
dari keterlambatan pertumbuhan hingga kini masih belum 
diketahui. Beberapa kondisi yang dapat memicu  keterlambatan 
pertumbuhan yaitu penyakit jantung bawaan, sumbatan jalan napas 
terkait henti napas saat tidur (sleep apnea), kelainan saluran cerna, 
kekurangan hormon tiroid, dan kekurangan nutrisi karena masalah 
dalam pemberian makan. Didapatkan juga peningkatan kejadian 
kelebihan berat badan maupun obesitas, terutama di masa remaja 
dan dewasa.
Pada pola pertumbuhan Sindrom Down, ada  penurunan 
kecepatan pertumbuhan dari lahir hingga remaja, khususnya di usia 
sekitar 6 bulan hingga 3 tahun dan saat masa pubertas. Anak dengan 
sindrom Down mencapai tinggi maksimal di usia yang relatif muda, 
yaitu 16 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan.
Individu dengan Sindrom Down memiliki sistem tulang dan 
otot yang berbeda dengan individu normal. Untuk struktur oral,

sistem tulang dicirikan dengan ketiadaan atau pengurangan tulang 
pertumbuhan, rongga mulut yang lebih kecil, dan posisi lidah 
yang lebih belakang. Perbedaan-perbedaan ini dalam hal ukuran 
dan struktur lidah memengaruhi produksi konsonan lidah. Lebih 
lanjut, otot wajah yang lemah membatasi pergerakan bibir yang 
akan memengaruhi produksi dari konsonan bibir dan huruf hidup 
yang bulat. Hipotonisitas umum yang memengaruhi pergerakan 
lidah dan bibir akan terlibat dalam semua aspek pada produksi 
bicara. Apabila ada  salah satu dari faktor ini , maka akan 
berdampak pada gangguan pergerakan motorik terkait bicara dan 
berefek negatif pada kemampuan artikulasi dan fonatori pada anak 
dengan Sindrom Down.
Sistem saraf dari individu dengan Sindrom Down juga memiliki 
ciri yang berbeda termasuk perbedaan anatomi pada sistem saraf 
pusat dan perifer, ukuran dan berat yang lebih rendah, sulkus yang 
lebih kecil dan sedikit, gyrus temporosuperior yang lebih sempit, 
neuron korteks yang lebih sedikit, densitas neuron yang menurun, 
mielinisasi neuron yang terlambat, struktur dendrit yang abnormal, 
dan gangguan membran sel. Suatu hipotesis menyatakan bahwa 
perbedaan-perbedaan ini terkait dengan gangguan pada ketepatan, 
kecepatan, konsistensi, dan efisiensi dari pergerakan saat bicara.
Perawakan pendek merupakan tanda kardinal anak dengan SD. 
Retardasi pertumbuhan sudah terjadi sejak masa prenatal. Setelah 
lahir, penurunan kecepatan pertumbuhan paling banyak terjadi 
saat anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun. Beberapa kondisi yang 
memicu  terlambatnya pertumbuhan yaitu  penyakit jantung 
bawaan, defisiensi hormon tiroid, penyakit celiac, obstuksi saluran 
napas atas, dan defisiensi zat gizi akibat kesulitan makan. Pubertas 
muncul lebih awal dan terjadi gangguan percepatan pertumbuhan 
(growth support). Penelitian yang dilakukan Arifiyah pada tahun 
2017 mengungkapkan, penilaian tinggi badan berdasar  usia 
didapatkan sebagian besar memiliki perawakan pendek sebesar 
46,5% dan sangat pendek sebesar 24,4% anak, sedangkan penilaian 
lingkar kepala hampir semua mikrosefal. Arah garis pertumbuhan 
normal didapatkan pada 75,6% anak.74 Batubara pada tahun 2006
memaparkan mengenai kurva pertumbuhan anak-anak Sindrom 
Down di negara kita , rata-rata minimum untuk anak usia 6-12 tahun 
yaitu  96-128 cm untuk anak perempuan dan 96-125 cm untuk anak 
laki-laki.
 Penelitian yang dilakukan oleh Kimura dkk (2003), pada anak 
SD Jepang didapatkan hasil nilai tengah tinggi badan anak SD 
sebelum pubertas yaitu  sekitar -2SD lebih rendah dibandingkan 
anak normal. Percepatan pertumbuhan terjadi pada 1 tahun lebih 
awal. 
Faktor yang memengaruhi pertumbuhan anak dengan Sindrom 
Down yaitu  faktor internal atau herediter, antara lain jenis kelamin, 
ras, suku bangsa, serta faktor lingkungan yang meliputi lingkungan 
pranatal, postnatal, dan faktor hormonal. Faktor hormonal yang 
berperan dalam tumbuh kembang anak yaitu somatotron (growth 
hormon) berperan dalam memengaruhi pertumbuhan tinggi 
badan dengan menstimulasi terjadinya proliferasi sel kartigo dan 
sistem skeletal. Selain itu, hormon tiroid berfungsi menstimulasi 
metabolisme tubuh, glukokortikoid menstimulasi pertumbuhan sel 
interstisial dari testis untuk memproduksi testosteron dan ovarium 
untuk memproduksi estrogen untuk menstimulasi perkembangan 
seks.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Thiel (2002) menunjukkan 
bahwa faktor nutrisi dapat berperan dalam menambah tinggi badan 
anak SD. Penambahan Harrell’s formula yang terdiri atas HAP Caps, 
flaxseed oil, dan N,N-dimethylglycine ke dalam diet anak SD, didapatkan 
hasil peninggian tinggi badan pada anak-anak ini . Meskipun 
demikian, American College of Medical Genetics menyatakan 
bahwa tidak ditemukan bukti ilmiah manfaat suplementasi vitamin, 
mineral, asam amino, hormon, maupun kombinasi enzim pada 
perkembangan mental anak dengan SD.
Grafik pertumbuhan standar tidak boleh dipakai  untuk 
anak-anak dengan Sindrom Down. Kurva pertumbuhan yang 
saat ini dipakai di negara kita  yaitu  kurva pertumbuhan yang 
dibuat berdasar  data anak SD di Amerika Serikat oleh Cronk 
dkk (1988). Parameter pertumbuhan seperti berat badan, tinggi
badan, dan lingkar kepala dicantumkan pada kurva pertumbuhan 
khusus anak SD. Beberapa grafik pertumbuhan Sindrom Down 
telah dipublikasikan di Amerika, Sesilia, dan Belanda. Grafik 
pertumbuhan yang sering dipakai  di seluruh dunia yaitu  grafik 
pertumbuhan Sindrom Down yang berasal dari Amerika. 
Pemeriksaan rutin setiap bulan pada anak Sindrom Down 
dapat mengidentifikasi pemicu  kelainan pertumbuhan serta risiko 
kelebihan berat badan dan obesitas. Kurva pertumbuhan yaitu  
sarana yang berguna untuk memonitor pertumbuhan anak. Namun, 
pola pertumbuhan anak Sindrom Down berbeda dengan populasi 
umum, oleh karena itu penting untuk memakai  kurva khusus 
untuk Sindrom Down.
Evaluasi pertumbuhan anak dengan Sindrom Down mutlak 
diperlukan. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan dasar awal 
untuk mengukur berat badan, panjang badan atau tinggi badan, 
lingkar kepala, dan menentukan usia anak secara benar. Berikut 
yaitu  penjelasan langkah-langkah sistematis untuk pengukuran 
antopometri dan menentukan usia anak.
Langkah Pertama: Menentukan usia
Usia menjadi acuan kita dalam menentukan posisi anak di 
dalam kurva pertumbuhan. Pada usia <2 tahun, bila bayi lahir 
kurang bulan maka dipakai  usia koreksi. Usia koreksi dihitung 
dengan cara mengurangi usia kehamilan cukup bulan (40 minggu) 
dengan usia kehamilan saat bayi lahir.
Contoh 1: An. Adam lahir prematur dengan usia kehamilan  
minggu. Saat ini Adam berusia 8 bulan. 
 Karena Adam masih berusia < 2 tahun maka dihitung usia 
koreksi.
 Usia koreksi Adam = 8 bulan – (40 minggu-32 minggu)
 = 8 bulan – 2 bulan = 6 bulan
Contoh 2: An. Putri lahir prematur dengan usia kehamilan 28 
minggu. Saat ini Putri berusia 2 tahun 6 bulan.
 Usia Putri >2 tahun sehingga Putri tidak memerlukan usia 
koreksi.
Langkah Kedua: Mengukur berat badan, panjang badan/tinggi 
badan, dan lingkar kepala
Cara mengukur berat badan anak
1. Pengukuran dengan memakai  timbangan bayi
- Anak usia 0-2 tahun dapat diukur dengan memakai  
timbangan bayi
- Sebelum ditimbang, sebaiknya baju, kaos kaki, topi, dan aksesori 
lain dilepas lebih dulu
- Timbangan diletakkan di permukaan datar, keras, dan tidak 
mudah bergerak
- Pastikan posisi jarum di angka nol
- Baringkan bayi di atas timbangan
- Lihat di mana posisi jarum berhenti
- Bacalah dengan teliti angka yang ditunjuk
- Bila bayi terus bergerak, bacalah angka di tengah antara 
gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.
2. Pengukuran dengan memakai  timbangan injak
- Letakkan timbangan injak di lantai datar dan tidak mudah 
bergoyang
- Pastikan posisi jarum berada di angka nol
- Sebaiknya memakai  pakaian yang ringan
- Lepaskan kaos kaki, alas kaki, topi atau bawaan lain yang 
berat.
- Biarkan anak berdiri di atas timbangan injak tanpa 
dipegangi

Perhatikan jarum timbangan atau angka yang tertera pada 
timbangan sampai berhenti
- Baca dengan teliti angka timbangan atau angka yang ditunjuk 
oleh jarum timbangan
- Bila anak terus bergerak, bacalah angka di tengah antara 
gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.
Cara mengukur panjang badan/tinggi badan
1. Posisi berbaring
- Sebaiknya pengukuran panjang badan dilakukan oleh dua 
orang
- Baringkan bayi di atas meja/alas datar
- Posisikan kepala bayi menempel pada angka nol
- Pemeriksa 1: Memegang kepala bayi dengan kedua tangan 
agar ujung kepala bayi menempel di angka nol
- Pemeriksa 2: Tangan kiri menekan lutut bayi agar lurus dan 
tangan kanan menekan batas kaki ke telapak kaki
- Kemudian pemeriksa 2 membaca angka yang ditunjuk oleh 
bagian terluar kaki bayi di tepi luar pengukur
2. Posisi berdiri
- Lepaskan sandal, sepatu, atau topi yang dipakai
- Posisikan anak berdiri tegak dan menghadap ke depan
- Posisi punggung, pantat, dan tumit menempel di tiang 
pengukur
- Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di ubun�ubun
- Baca dengan teliti angka yang ditunjuk di batas atas 
pengukur

1. Siapkan pita pengukur (meteran) yang tidak elastis
2. Pemantauan lingkar kepala sebaiknya dilakukan bersama 
dengan ukuran ubun-ubun besar.
3. Lingkarkan pita pengukur pada daerah glabella (frontalis) 
atau supra orbita bagian anterior menuju oksiput pada bagian 
posterior. Kemudian tentukan hasilnya.
4. Sedangkan ubun-ubun besar diukur dengan rata-rata ukuran 
anteroposterior dan transversal. 
5. Cantumkan hasil pengukuran pada kurva lingkar kepala.
Langkah Ketiga: Memilih Grafik yang Sesuai dengan Usia dan Jenis 
Kelamin
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) membuat 
kurva pertumbuhan untuk anak Sindrom Down di Amerika untuk 
membantu memonitor pertumbuhan anak. Kurva dibedakan dalam 
kelompok usia 0-3 tahun dan 2-20 tahun untuk masing-masing jenis 
kelamin.

Perkembangan anak dengan Sindrom Down tentu berbeda 
dengan perkembangan anak sehat. Ekspresi pada kromosom 
yang berlebih memicu  penurunan jumlah saraf pada sistem 
saraf pusat, keterlambatan mielinisasi, gangguan pengaturan 
siklus sel, dan memicu  produksi protein berlebihan serta 
neurotransmisi yang tidak normal. Adanya beberapa kondisi ini  
memicu  anak dengan Sindrom Down memiliki gangguan 
komunikasi, konsentrasi, ingatan, kemampuan melaksanakan 
tugas, perkembangan motorik, dan kontrol tubuh. Kim dkk (2012), 
melakukan pendataan profil perkembangan motorik dan kognitif 
anak dengan Sindrom Down. berdasar  penelitian ini , 
anak dengan Sindrom Down memiliki kemampuan motorik dan 
membutuhkan waktu pencapaian level perkembangan dua kali lipat 
lebih lama dibandingkan anak normal. Hampir semua anak dengan 
Sindrom Down memiliki gangguan intelektual derajat sedang dan 
perkembangan kognitif serta motorik yang tidak berhubungan satu
dengan lainnya. Beberapa perbedaan level pencapaian perkembangan 
pada anak dengan Sindrom Down dan anak sehat telah diteliti oleh 
Kim dkk (2012)

didapatkan bahwa dari 78 anak Sindrom 
Down yang diteliti, rata-rata pencapaian level perkembangan antara 
lain: 6.1±2.7 bulan untuk kontrol kepala, 8.76±3.1 bulan untuk 
tengkurap, 12.0±3.3 bulan untuk duduk sendiri, 14.0±3.5 bulan 
untuk creeping, 18.1±5.0 bulan untuk merangkak, 22.3±7.2 bulan 
untuk cruising, dan 28.0±8.3 untuk kemampuan berjalan sendiri. 
Dibandingkan dengan anak sehat, anak dengan Sindrom Down 
dapat mengikuti perkembangan sesuai anak normal namun dicapai 
dalam jangka waktu hingga 2 kali lipat lebih lama.78
Studi lain yang dilakukan oleh Rao dkk (2016) mengetahui 
kemampuan respons anak normal dan anak dengan Sindrom Down 
terhadap tugas yang diberikan pada usia 9-12 tahun. Studi ini  
melibatkan 40 anak normal yang sedang masa perkembangan, 
26 anak dengan Sindrom Down, dan 37 anak dengan kelainan 
perkembangan lainnya. Pada studi ini dilakukan eksperimen untuk 
mengukur waktu respons dan kekuatan respons terhadap tugas 
yang diberikan. berdasar  studi ini didapatkan bahwa kelompok 
anak dengan Sindrom Down dan kelainan perkembangan lainnya

memiliki kemampuan respons terhadap kerumitan tugas lebih 
rendah.
Telah banyak didokumentasikan bahwa anak dengan Sindrom 
Down memiliki karakteristik defisit kognitif, masalah wicara, 
dan masalah perkembangan motorik. Salah satu hal yang unik 
dari karakteristik Sindrom Down yaitu  hipotonia general dan 
kelemahan sendi karena hipotonia, yang merupakan akibat dari 
perjalanan neuropatologi Sindrom Down. Neuropatologi yang 
terjadi yaitu  otak kecil dan batang otak yang lebih kecil dan 
penurunan mielinisasi dari belahan otak, ganglia basalis, otak 
kecil, dan batang otak di tahun pertama kehidupan. Faktor-faktor 
inilah yang memicu  keterlambatan motorik dan postural, 
serta defisit proses sensoris dan integrasi sensoris karena hambatan 
dari pengalaman sensoris pertama. Telah didokumentasikan juga 
bahwa bayi Sindrom Down yang berusia 3 bulan sepenuhnya dapat 
menuntaskan tugas perkembangan. Hambatan baru terjadi setelah 
usia 6 bulan. Oleh karena itu, intervensi dini diharapkan dapat 
mengatasi hambatan ini . Pendekatan yang paling umum 
untuk proses perkembangan anak dengan Sindrom Down yaitu  
dengan memakai  beberapa area perkembangan, yaitu kognitif, 
bahasa, motorik, sensorik, dan sosial.

Disabilitas intelektual dikenali sebagai salah satu karakteristik 
yang prominen pada Sindrom Down. Sebaliknya, Sindrom Down 
yaitu  etiologi genetik terbesar dari disabilitas intelektual (DI). 
Tingkat keparahan DI pada individu dengan Sindrom Down 
bervariasi dari nilai Intelligence Quotient (IQ) 30 hingga 70, dengan 
rata-rata nilai IQ sebesar 50. Fungsi kognitif seringkali berubah 
sepanjang hidup dan dipengaruhi oleh beberapa faktor komorbid, 
di antaranya gangguan sensoris, kejang, autisme, gangguan tidur 
serta kondisi medis dan psikiatris lainnya.
Silverstein dkk (1982) menyimpulkan bahwa beberapa anak 
dengan Sindrom Down akan mengalami retardasi mental yang

sangat berat, mayoritas akan mengalami retardasi mental derajat 
sedang (IQ 35-50) sampai berat (IQ 20-35), sedang minoritasnya akan 
mengalami retardasi mental ringan (IQ 50-70) sampai intelegensi 
normal.
Hodapp dan Zigler (1990) menyatakan bahwa pada usia antara 
16-40 minggu, rata-rata IQ anak dengan Sindrom Down yaitu  
antara 71-75. Namun menjadi 69 pada usia 1 tahun dan 58 pada usia 
18 bulan. Jadi, ada  penurunan IQ seiring dengan bertambahnya 
usia. Anak dengan IQ antara 55-80 diklasifikasikan sebagai anak 
dengan retardasi mental yang dapat dididik, dan diharapkan dapat 
mengikuti pendidikan formal minimal kelas 3 dan kadang-kadang 
dapat mengikuti pendidikan dasar sampai 6 tahun. Sedangkan 
anak dengan IQ 25-55 diklasifikasikan sebagai anak yang dapat 
dilatih.
Penelitian di bidang neurosains menunjukkan bahwa memang 
ada perbedaan yang mendasar dalam hal struktur dan cara kerja otak 
anak dengan Sindrom Down dengan anak normal. Namun masih 
sangat jauh untuk dapat membuat hubungan yang langsung antara 
kelainan otak spesifik dengan berkurangnya perkembangan kognisi. 
Contoh, imaturitas yang ditemukan pada lobus frontal dan temporal 
apakah berhubungan langsung dengan berkurangnya memori.

Komunikasi tidak hanya berarti bicara, namun juga ekspresi 
wajah, senyuman, bahasa tubuh, bahasa isyarat, dan bahasa yang 
memakai  sistem komputer. Orang berkomunikasi untuk saling 
memahami. Perkembangan bahasa dan bicara anak dengan Sindrom 
Down biasanya lebih lambat. Mereka mengalami kesulitan berbicara 
secara spontan dikarenakan perbedaan anatomi dan ketulian karena 
otitis media. 
Miller dkk (1987), meneliti 56 anak dengan Sindrom Down, 
mendapati bahwa tidak ada keterlambatan sampai masa di mana 
anak seharusnya sudah dapat mengucapkan kata-kata pertama 
mereka. Pada umur di atas 18 bulan, 60-75% anak dengan Sindrom
Down mengalami keterlambatan, sedangkan 25-40% anak tidak akan 
mengalami keterlambatan. Ia juga menemukan bahwa kebanyakan 
anak dengan Sindrom Down lebih lambat mengucapkan kata 
pertama mereka, kosakata mereka juga bertambah dengan lambat 
walaupun mereka memakai  2 frase sebagaimana dilakukan 
oleh anak normal, namun mereka kesulitan dalam menguasai 
keterampilan berbicara dengan tata bahasa yang baik.
Bray dan Woolnough pada tahun 1988 juga mendapati bahwa 
anak dengan Sindrom Down berbicara dengan cara tersendat-sendat, 
seperti bahasa telegraf yang pendek-pendek, contohnya anak akan 
berbicara “pergi berenang Ayah” daripada “saya pergi berenang 
bersama Ayah tadi pagi”. Cara bicara yang tersendat-sendat 
seperti bahasa telegraf dan juga cara pengucapan yang jelek akan 
mengakibatkan anak dengan Sindrom Down sulit dipahami, 
khususnya bila mereka berbicara dengan orang yang asing dengan 
mereka.
Miller dkk (1991), meneliti perbandingan antara 44 anak dengan 
Sindrom Down dengan 46 anak normal yang sedang berkembang 
pada tahap yang sama dengan usia mental 12-27 bulan dan mendapati 
bahwa anak dengan Sindrom Down berbicara lebih sedikit seiring 
dengan peningkatan umur mental mereka daripada kelompok anak 
lain. Walaupun demikian, jika dikombinasikan dengan bahasa 
isyarat, maka perbedaan ini menjadi tidak lagi bermakna.
Keterlambatan perkembangan bahasa umumnya berkaitan 
dengan keterlambatan kognitif general. Disosiasi bahasa dan 
keterampilan kognitif yang terjadi pada anak yang sedang 
berkembang terdiri atas dua bentuk, yaitu: 1. hanya gangguan 
bahasa spesifik ekspresif saja; 2. gangguan bahasa spesifik reseptif 
dan ekspresif.
Perkembangan bahasa pada anak Sindrom Down terdiri atas 2 
periode utama, yaitu:
a. Periode Sensorimotor (Usia mental 0-2)
 Pada anak dengan Sindrom Down, perkembangan sensoris 
motoris (seperti yang dinilai dengan “Piagetian Tasks of Object 
Permanence”) sering tampak mendekati normal di tahun

pertama, terhambat di tahun kedua, dan makin terhambat di 
usia 2–4 tahun. Kelemahan signifikan dalam kemampuan 
komunikasi, berdampak pada kemampuan bersosialisasi 
di kehidupan sehari-hari. Perkembangan bunyi suara lebih 
terhambat karena merupakan aspek gabungan perhatian dan 
komunikasi prelinguistik. Anak Sindrom Down lebih sering 
memerhatikan wajah rekan sosial daripada mainan yang tidak 
bersuara. Intervensi di periode pembelajaran bahasa ini bisa 
memakai  tanda (sign) yang membuat anak Sindrom Down 
menjadi komunikator. Penggunaan tanda kata secara khusus 
menurun seiring waktu dan mulai muncul kata yang diucapkan 
di usia prasekolah.
b. Periode Preoperasional (Usia Mental 2-7)
 Orang tua yang diwawancara memakai  “Vineland Scales” 
menunjukkan bahwa bahasa ekspresif lebih lemah dibandingkan 
bahasa reseptif sejak usia 24 bulan. Keterampilan komunikasi 
umumnya menurun seiring dengan kemampuan untuk hidup 
sehari-hari dan bersosialisasi. Mervis dan Bertrand memeriksa 
pembelajaran kata-kata baru untuk objek yang tidak bernama 
oleh anak Sindrom Down. Didapatkan hasil kemampuan untuk 
mengategorikan objek (pada periode sensoris motoris) berkaitan 
dengan kemampuan anak untuk memetakan dengan cepat 
nama objek baru, menggeneralisasikan, dan untuk membuat 
perkembangan leksikal cepat. 
Anak Sindrom Down belajar kata-kata baru lebih cepat dengan 
prototipe dari masing-masing kategori konsep. Pemetaan cepat dari 
satu kata baru setelah kata lainnya dari beberapa paparan pada 
anak dan remaja dengan Sindrom Down sebaik anak lain dengan 
usia mental yang sama, termasuk memori tentang kejadian yang 
melibatkan objek baru ini . Pembelajaran memproduksi kata 
kerja untuk suatu aktivitas yang baru lebih sulit dibanding kata 
benda dengan objek yang nyata.

Pada anak dengan Sindrom Down, pola perkembangan 
motorik kasar maupun halus mengikuti pola yang sama dengan 
perkembangan anak normal, namun tonggak perkembangannya 
dicapai pada waktu yang lebih lambat. Menurut Sacks & Sandy 
(2000), ada beberapa alasan mengapa anak dengan Sindrom Down 
mengalami keterlambatan perkembangan motorik, antara lain faktor 
kognisi, hipotoni, kekuatan otot yang berkurang, sendi dan ligament 
yang longgar, serta faktor susunan tangan.
Di awal tahun 1920-an, dipercaya bahwa perkembangan motorik 
berkembang dari motorik kasar ke motorik halus serta dari kontrol 
proksimal ke distal. Kontrol postur tubuh bagian atas berkaitan 
dengan perkembangan motorik halus dari ekstremitas yang lebih 
bawah. Ekstremitas atas dipakai  untuk transisi kontrol postur 
tubuh seperti menggerakkan tubuh dari satu posisi ke posisi 
lain. Untuk melakukan transisi ini, diperlukan kekuatan badan 
dan ekstremitas atas. Perkembangan dan pemeliharaan stabilitas 
postural (perkembangan motorik kasar) yaitu  proses kompleks 
yang melibatkan multisistem seperti sistem sensoris, sistem saraf 
pusat yang memproses dan mengkoordinasikan gerakan motorik, 
serta sistem vestibular. Informasi sensoris dari somatosensoris, 
visual, dan vestibular berperan untuk orientasi kepala dan posis

 badan di ruang dan kontrol postur dengan koordinasi gerakan. 
Sistem visual dan somatosensoris mengumpulkan informasi dari 
lingkungan (misalnya posisi badan terhadap objek yang lain), sistem 
vestibular, dan mengumpulkan informasi dari badan vestibular di 
telinga.
Penelitian telah membuktikan bahwa anak dengan Sindrom 
Down memiliki  kesulitan memproses informasi yang diterima 
oleh saraf mereka untuk kemudian dikoordinasikan membentuk 
gerakan. Proses ini memakan waktu yang lebih lama. Semakin 
kompleks keterampilan yang diberikan, maka semakin lama pula 
waktu yang dibutuhkan oleh anak untuk menerjemahkan perintah 
ke dalam aksi. Hal ini dibuktikan oleh Frith dkk (1974) yang 
mendapati bahwa ketika anak dengan Sindrom Down diperintah 
untuk menjejakkan kaki lebih cepat, yang dilakukan oleh anak-anak 
ini  yaitu  menjejakkan kaki lebih keras. Jadi walaupun otot 
dapat melakukan gerakan, namun gerakan ini  terjadi lebih 
lambat, lebih lemah, dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Hipotoni berarti lemahnya tonus otot, yang dapat dilihat dengan 
jelas ketika masih bayi. Saat diangkat, bayi dengan Sindrom Down 
akan terasa floppy atau seperti ragdoll. Jika ditelentangkan, kepalanya 
akan ke samping dengan tangan terjulur menjauhi badan dan 
kakinya akan saling menjauh. Hipotoni dapat beragam derajatnya 
dari ringan, sedang, sampai berat, serta dapat berkurang bahkan 
menghilang seiring dengan umur, namun dapat juga menetap 
selama hidup. Hipotoni akan memicu  gangguan motorik kasar 
dan halus. Sebagai contoh, hipotoni akan membuat otot perut sulit 
untuk menahan keseimbangan saat berdiri, sehingga kompensasinya 
anak akan berdiri dengan bersandar pada meja.Kekuatan otot yang 
berkurang dapat ditingkatkan dengan latihan. Jika tidak, maka anak 
akan mengompensasi kelemahan otot ini  dengan gerakan 
yang lebih mudah. Contoh ketika anak akan berdiri, namun karena 
kelemahan badan dan kakinya, maka anak hanya akan mengakukan 
lututnya. 
Pada anak dengan Sindrom Down, ligamen juga tersusun lebih 
longgar, sehingga memicu  kisaran gerak yang lebih luas dan
fleksibel. Contohnya yaitu  pada sendi paha, di mana anak dapat 
duduk dengan betis bersilangan, kedua lutut rata pada alas, dan 
kedua kaki pada lutut. Telapak kaki yang datar dan tanpa arkus, 
sehingga sulit untuk mempertahankan keseimbangan. Sendi ibu 
yang longgar, memicu  kesulitan memegang objek yang kecil.
Tangan anak dengan Sindrom Down berukuran lebih kecil, 
pendek dan tebal, beberapa anak bahkan tidak memiliki  
persendian yang normal. Susunan tangan demikian membuat anak 
sulit untuk belajar duduk, sebab mereka tidak dapat bertelekan pada 
tangan kecuali jika mereka agak sedikit membungkuk ke depan. 
Jika jatuh ke samping, mereka harus jatuh lebih jauh agar dapat 
bangun kembali dengan bertelekan pada tangan.Berikut ini yaitu  
tabel yang menggambarkan bahwa ada  keterlambatan dalam 
menguasai keterampilan motorik kasar bila dibandingkan antara 
anak dengan Sindrom Down dengan anak normal.
Keterlambatan perkembangan sistem motorik kasar tampak 
jelas pada Sindrom Down. Setiap anak dengan Sindrom Down 
memiliki pola dan kecepatannya sendiri.Empat pola tonus otot dan 
fungsi motor pada bayi dengan Sindrom Down telah diteliti oleh 
Daunhauer dan Fidler pada tahun 2011, yaitu tipe 1 (15-25%), bayi 
memiliki tonus otot yang serupa dan mencapai tahap perkembangan 
seperti kontrol kepala, menyangga beban dengan bantuan kaki, dan 
mengangkat torso dengan lengan pada usia 4 bulan dalam posisi 
telungkup. 
Tipe 2 dan 3 (50-60%), bayi menunjukkan perbedaan antara 
fungsi motorik tubuh atas dan bawah. Bayi tipe 2 memiliki 
punggung atas, leher, bahu, dan lengan yang kuat, namun tidak 
dapat menyangga beban dengan kakinya. Sedangkan, bayi tipe 3 
memiliki kaki dan torso bagian bawah yang kuat, namun torso atas, 
leher, kepala, bahu, dan lengan yang lemah.  Tipe 4 (15-25%), bayi 
lemah secara keseluruhan, dengan lengan dan kaki yang lemah. Tipe 
ini sering disertai dengan kelainan kardiovaskular. Keempat pola 
tonus otot ini bermanfaat untuk memberikan jenis aktivitas serta 
harapan terhadap kemampuan anak nantinya, yang memerlukan
keterlibatan orang tua selama intervensi. Perbedaan dari tipe 
tonus otot dapat memperkirakan lamanya intervensi dibutuhkan, 
khususnya tonus otot tipe 4.

Keterampilan motorik halus berkembang dari perlakuan 
terhadap material permainan. Bermain yaitu  kegiatan primer 
anak. Oleh karena itu, ketiadaan permainan eksploratif akan 
menghambat perkembangan motorik halus. Keterampilan motorik 
halus melibatkan koordinasi mata-tangan, keseimbangan, lateralitas, 
aktivitas visual motor, dan waktu respons.99 Apabila anak Sindrom 
Down memiliki kesempatan untuk memperbaiki kontrol posturnya, 
fungsi independen tangan dapat membantu untuk bermain dan 
aktivitas sehari-hari.
Anak dengan Sindrom Down memiliki keterampilan motorik 
halus yang lebih terganggu dibandingkan motorik kasar dengan 
masalah akurasi dan waktu untuk menyelesaikan tugas yang 
memerlukan koordinasi bilateral. Kemampuan motorik halus 
kurang dapat melumpuhkan anak Sindrom Down, terutama dalam 
perkembangan kognitif. Keterampilan fungsional ini diperlukan 
untuk menulis dan menangkap informasi dari huruf

PERKEMBANGAN SENSORIS
Bayi dengan Sindrom Down memiliki keterlambatan proses 
sensoris. Didapatkan efek stimulasi vestibular dan kombinasi 
stimulasi vestibular sehingga terapi sensoris integrasi dan terapi 
neurodevelopmental bermanfaat pada anak Sindrom Down. Teori 
sensoris integrasi mengeksplorasi potensi hubungan antara proses 
neural yang meliputi penerimaan (receiving), pendataan (registering), 
modulasi (modulation), pengaturan (organizing), integrasi input 
sensoris (integrating sensory input), dan perilaku (resulting adaptive 
behavior). Anak yang tidak dapat memproses informasi sensoris 
dari lingkungannya dapat bereaksi dengan tingkah laku yang tidak 
tepat.99 Perkembangan sensoris menggabungkan seluruh indra, 
tidak hanya penglihatan dan pendengaran. Indra taktil diperlukan 
untuk gerakan tubuh, khususnya tangan. Ketika tidak ada sensoris 
di tangan, koordinasi motorik halus terganggu. Hal ini dapat 
memicu  keterlambatan perkembangan kognitif. 
7.5 PERKEMBANGAN SOSIAL
Di banyak negara barat, telah ada peningkatan kesempatan 
untuk hidup normal bagi anak dengan disabilitas, namun perhatian 
terhadap hal ini masih kurang di negara-negara dengan pendapatan 
perkapita rendah. Proporsi anak usia sekolah dasar dengan disabilitas 
yang masuk ke kelas regular di Amerika Serikat berkisar antara 
30-70% dengan variasi sesuai dengan kebijakan daerah. Di New 
South Wales, Australia, setidaknya setengah anak dengan Sindrom 
Down yang lahir di tahun 1970-an menerima pendidikan dasar 
seperti anak dengan perkembangan normal. Sedangkan di Inggris, 
anak-anak ini  dimasukkan dalam sekolah khusus. Penelitian 
di Amerika maupun Jepang menyatakan bahwa pemisahan ini  
dapat mempersempit kesempatan anak-anak Sindrom Down untuk 
berpartisipasi penuh dalam komunitas. 
Konteks di mana interaksi sosial ini  berlangsung dapat 
memengaruhi kualitas dari interaksi. Anak usia prasekolah dengan 
disabilitas ringan menunjukkan interaksi sosial yang lebih sering

dan tingkatan yang lebih tinggi untuk permainan sosial ketika 
mereka bermain dengan anak normal. Anak usia prasekolah dengan 
disabilitas lebih independen akan berinteraksi lebih banyak jika 
mengikuti kelas dengan karakteristik serupa (misalnya ukuran kelas 
dan jenis kegiatan) dibandingkan dengan kelas yang didesain untuk 
anak tanpa disabilitas. 
Sigman dan Ruskin melaporkan bahwa keterlambatan pada 
bahasa tidak berhubungan dengan keterlambatan nonverbal lainnya 
atau keterampilan bermain pada anak Sindrom Down. Bahkan, 
mereka menemukan bahwa anak usia prasekolah dengan Sindrom 
Down lebih responsif terhadap penampakan emosi orang dewasa 
dan secara rutin menginisiasi interaksi sosial dengan orang dewasa. 
Frekuensi interaksi sosial dini dengan orang dewasa berhubungan 
dengan keterlibatan ke kelompok sosial serupa di masa kecil 
sebelumnya. Observasi di tempat bermain dan kelas menunjukkan 
bahwa anak sebaya menerima lebih dari 70% ajakan bermain dari 
anak Sindrom Down, dan anak Sindrom Down menerima banyak 
ajakan bermain dari sekelilingnya mencapai 73%. Walaupun anak 
Sindrom Down memiliki keterlambatan kognitif dan bahasa 
ekspresif, kemampuan nonverbal termasuk memberikan perhatian 
dan respons sosial akan membantu mengatasi keterlambatan pada 
kognisi dan bahasa dalam kompetensi sosialnya. Banyak anak 
dengan Sindrom Down yang dilaporkan memiliki sahabat baik, 
termasuk teman dari kelompok normal.
Alton (2001) menyatakan bahwa perkembangan sosial pada anak 
dengan Sindrom Down biasanya baik, mereka dapat beradaptasi 
secara sosial dengan lebih baik bila dibandingkan dengan anak 
lain yang juga memiliki  masalah kognisi dan komunikasi. Hal 
ini dapat membantu mereka dalam berpartisipasi pada kegiatan 
lingkungan. Komplikasi yang paling sering dijumpai akibat 
terganggunya perkembangan kognisi dan juga bahasa yaitu  
anak akan lebih berisiko mengalami masalah sosial dan perilaku. 
Anak yang perkembangan kognisinya terganggu akan mengalami 
kesulitan dalam berhubungan sosial dan pengendalian diri terhadap 
perilakunya. Beberapa anak dengan Sindrom Down mengalami

kecemasan yang besar sehingga memerlukan suatu ritual tertentu 
yang dapat mengurangi kecemasan mereka.
Buckley (2002) menyatakan bahwa anak dengan Sindrom Down 
akan lebih mudah belajar melalui melihat, meniru, dan kemudian 
mengerjakan. Pemahaman mereka akan lebih baik melalui partisipasi, 
latihan, dan umpan balik daripada melalui penjelasan. Anak dengan 
Sindrom Down perlu berteman dengan 2 macam kelompok orang: 
mereka akan belajar banyak dari anak normal dan akan mengalami 
kepuasan serta keberhasilan bila mereka bergaul dengan teman yang 
juga Sindrom Down.
Secara umum, berikut ini yaitu  tonggak perkembangan 
motorik kasar, motorik halus, komunikasi, aspek personal, dan aspek 
sosial pada anak dengan Sindrom Down, dengan mengetahuinya 
lebih dini, maka diharapkan keterlambatan pada tiap aspek dapat 
segera diidentifikasi untuk kemudian ditindaklanjuti

Intervensi yaitu  program terapi, latihan, dan aktivitas sistematis 
yang didesain untuk mengatasi keterlambatan perkembangan yang 
spesifik untuk anak dengan Sindrom Down. 
Intervensi dini meliputi variasi dari program edukasi dan terapi 
yang ditujukan untuk keluarga dan anak dengan keterlambatan 
perkembangan, khususnya program intervensi dini yang ditujukan 
untuk bayi dan anak usia kurang dari 3 tahun dan beberapa intervensi 
dini hingga usia 6 tahun. Usia awal intervensi tergantung dari jenis 
disabilitas, namun umumnya dimulai segera setelah keterlambatan 
atau faktor risiko diketahui. Intervensi meliputi banyak pilihan 
layanan dan program yang bertujuan untuk memelihara maupun 
memaksimalkan perkembangan anak. Tujuan utama intervensi 
dini yaitu  memaksimalkan kompetensi peserta di seluruh 
domain perkembangan serta untuk mencegah dan meminimalkan
Intervensi yaitu  program terapi, latihan, dan aktivitas sistematis 
yang didesain untuk mengatasi keterlambatan perkembangan yang 
spesifik untuk anak dengan Sindrom Down. 
Intervensi dini meliputi variasi dari program edukasi dan terapi 
yang ditujukan untuk keluarga dan anak dengan keterlambatan 
perkembangan, khususnya program intervensi dini yang ditujukan 
untuk bayi dan anak usia kurang dari 3 tahun dan beberapa intervensi 
dini hingga usia 6 tahun. Usia awal intervensi tergantung dari jenis 
disabilitas, namun umumnya dimulai segera setelah keterlambatan 
atau faktor risiko diketahui. Intervensi meliputi banyak pilihan 
layanan dan program yang bertujuan untuk memelihara maupun 
memaksimalkan perkembangan anak. Tujuan utama intervensi 
dini yaitu  memaksimalkan kompetensi peserta di seluruh 
domain perkembangan serta untuk mencegah dan meminimalkan
keterlambatan. Proses intervensi ini juga membantu keluarga untuk 
menghadapi tantangan sehari-hari di rumah dan di masyarakat. 
Secara umum, intervensi dini memakai  teknik yang 
diambil dari fisioterapi, terapi okupasional, psikologi perkembangan, 
dan pendidikan. Baru sedikit perhatian diberikan pada nutrisi, 
walaupun telah diketahui bahwa perkembangan kognitif pada anak 
yang disusui ibunya lebih baik secara signifikan dibanding dengan 
yang diberi formula. Intervensi dini meliputi deteksi dini, intervensi 
berpusat pada anak dan keluarga, dan dukungan psikologis untuk 
orang tua dan interdisipliner yang terdiri atas dokter, dokter anak, 
dokter komunitas, petugas medis yang berkunjung ke rumah, terapis 
okupasional, fisioterapis, terapis bicara, dan pekerja sosial. Kunci 
sukses dari intervensi dini yaitu  kolaborasi dari anggota tim dan 
pengasuh dalam pengaturan di rumah.
Program intervensi dini ditujukan untuk anak-anak kecil yang 
memiliki atau berisiko mengalami keterlambatan perkembangan. 
Tiga kelompok risiko yang sudah diidentifikasi, yaitu 1) Anak 
dengan faktor risiko lingkungan yang dirugikan secara fisik maupun 
sosial yang dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan; 2) 
Anak dengan faktor risiko biologis yang mengalami keterlambatan 
perkembangan (misalnya prematuritas, sindrom fetal alkohol, dan 
asfiksia); dan 3) Anak yang telah didiagnosis memiliki kondisi medis 
yang memiliki efek terhadap perkembangan (misalnya Sindrom 
Down).
Salah satu yang sering diperdebatkan yaitu  terminologi “dini” 
pada intervensi dini. Dini dapat memiliki dua arti, dini sejak awal 
hidupnya, dan dini sejak munculnya suatu kondisi. Masing-masing 
memiliki keuntungan dan kerugiannya sendiri terhadap intervensi. 
Keuntungan dari memulai intervensi sejak dini yaitu  otak masih 
sangat plastis di periode ini. Otak plastis khususnya di fase setelah 
migrasi neuron dalam saat pertumbuhan dendrit dan sinaps sangat 
aktif. Plastisitas otak yang tinggi berada pada usia 2-3 bulan sebelum 
dan 6-8 bulan setelah usia matang. Umumnya intervensi pada anak 
dengan gangguan perkembangan dimulai lebih lambat ketika mulai
ada gangguan. Keuntungan dari memulai intervensi lebih lambat di 
antaranya yaitu  intervensi dapat diterapkan ke anak yang memang 
membutuhkan dan tujuan dari intervensi dapat diformulasikan lebih 
mudah. Kerugian yang paling penting yaitu  intervensi ini  
relatif dimulai ketika otak sudah tidak plastis lagi.
8.2 INTERVENSI MOTORIK
Anak dengan Sindrom Down memiliki kombinasi pola respons 
otot primitif yang terpadu dan terkoordinasi lebih terpusat. Hal ini 
dipicu  karena mielinisasi dari neuron desendens dari otak dan 
neuron batang otak, dan pengurangan keduanya di pusat saraf yang 
lebih tinggi, seperti korteks motorik, ganglia basalis, cerebelum, 
dan batang otak. berdasar  pengamatan perilaku perkembangan 
mental, penelitian terkait intervensi dini untuk anak dengan Sindrom 
Down dengan berbagai teknik rangsangan dapat memberikan hasil 
yang bervariasi.
Semakin cepat diagnosis dibuat, semakin cepat intervensi 
dapat dimulai. Perubahan patologis jumlah neuron, perubahan 
ukuran cerebrum, gangguan maturasi dari sistem saraf pusat, dan 
proses patofisiologi mengarah pada keterlambatan perkembangan 
motorik, khususnya setelah usia 6 bulan. Kemampuan anak untuk 
mengembangkan kemampuan motorik setelah usia 6 bulan dapat 
berkembang lebih lambat dibandingkan fungsi lain karena anak 
dengan Sindrom Down membutuhkan lebih banyak waktu dan 
usaha dibandingkan anak dengan perkembangan normal (misalnya 
keterampilan antigravitasi seperti berdiri).
Anak Sindrom Down umumnya mulai berjalan lebih lambat 
satu tahun dibandingkan anak normal. Keterlambatan ini yaitu  
bagian dari tahapan keterlambatan yang memicu  perbedaan 
antara anak Sindrom Down dengan anak normal. Berjalan yaitu  
keterampilan yang menonjol untuk anak kecil karena dampak multi 
dimensionalnya, pengaruhnya terhadap fungsi kognitif, sosial, dan 
perkembangan motorik. Ketika anak dengan Sindrom Down mulai 
berjalan, kesempatan untuk berinteraksi dan bermain dengan anak
seusianya meningkat dengan signifikan. Permainan yang melibatkan 
aktivitas motorik menyediakan eksplorasi dan kesempatan untuk 
fungsi kognitifnya berkembang.
Sebuah penelitian yang membandingkan efektifivas dua 
jenis intervensi motorik, Neuro Developmental Treatment (NDT) dan 
Developmental Skills pada anak Sindrom Down dengan keterlambatan 
motorik terkait hipotonisitas dan palsi serebral dengan keterlambatan 
motorik berpola motorik atipikal. NDT dikembangkan di Inggris 
untuk terapi anak dengan palsi serebral dan dewasa dengan stroke 
dengan cara mengasuh anak untuk menghambat tonus abnormal 
dan memfasilitasi reaksi otomatis, seperti righting dan keseimbangan 
untuk mencapai pola gerak normal. Intervensi Developmental Skill
berfokus pada pembelajaran tahapan perkembangan motorik 
normal pada tingkatan kemudian  yang lebih tinggi. Strategi 
instruksional cenderung meng


Related Posts:

  • idiot 1 Sindrom Down (SD) merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering terjadi dan paling mudah diidentifikasi. SD atau yang lebih dikenal sebagai kelainan genetik trisomi, di mana… Read More