Rabu, 03 Mei 2023

gangguan jiwa 2


biaya biaya pengobatan adalah besarnya biaya biaya yang dikeluarkan oleh seseorang 
untuk melakukan pengobatan penyakit yang dideritanya. Kemampuan seseorang 
untuk mengeluarkan biaya biaya pengobatan berbeda–beda. Hal ini dapat dipengaruhi 
oleh kemampuan pendapatan ekonomi keluarga. Apabila keadaan ekonomi 
keluarga berkecukupan, kemungkinan ia dapat mengeluarkan biaya biaya untuk 
pengobatan penyakitnya dibandingkan dengan keadaan ekonomi keluarga yang 
serba kekurangan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap 
program pengobatan yang dijalani. 
Efek samping adalah dampak dari obat-obatan yang tidak diinginkan. Efek 
samping yang terjadi terus menerus dapat memicu kendala dalam 
menjalankan kepatuhan terhadap terapi. Disamping itu, peninjauan sistemik 
terhadap semua penelitian yang diterbitkan tentang kepatuhan di negara maju dan 
berkembang menemukan adanya persamaan kendala pada kepatuhan yang sangat 
jelas dan faktor pendukung kepatuhan yang baik di antara semua orang di seluruh 
dunia. Adapun kendala - kendala ini antara lain yaitu lupa memakai obat atau 
terlalu sibuk, takut statusnya terungkap, mengganggu kehidupan sehari - hari atau 
jauh dari rumah, tidak memahami pengobatan, efek samping yang nyata dan 
diduga depresi atau keputusasaan,  penggunaan narkoba atau alkohol bersamaan, 
dan tidak percaya dengan obat - obatan (Alcorn, 2007). 
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam 
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menemukan 
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2002). Keluarga 
juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari 
anggota keluarga yang sakit (Niven, 2002). Dukungan keluarga penting dalam 
kepatuhan terhadap regimen terapeutik pada ODGJ, sebab tidak dapat dilepaskan 
dalam standar tindakan keperawatan antara intervensi atau implementasi 
keperawatan terhadap pasien dan keluarga. 
Dukungan keluarga terhadap regimen terapeutik sampai pada tahap 
kepatuhan akan secara umum menanggulangi beban keluarga merawat ODGJ. 
Beberapa beban keluarga yang mempengaruhi regimen terapeutik selalu ada dan 
dalam tingkatan yang berbeda-beda pada setiap keluarga pasien, tetapi dengan 
46 
 
46 
 
dukungan keluarga yang optimal serta mencapai kepatuhan yang optimal juga 
akan mereduksi beban keluarga ini. 
 
 
 
 
 
 
47 
 
47 
 
BAB 3 METODE PENELITIAN 
 
3.1 OBYEK PENELITIAN 
Penelitian akan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai model 
penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Sehingga 
dengan usaha penelitian ini, diharapkan dapat mendeskripsikan karakteristik 
ODGJ, dapat mengetahui model penanganan, dan dapat mengetahui dan 
menganalisis bentuk dan usaha yang harus dilakukan sebagai model penanganan 
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
Obyek penelitian dalam penelitiaan ini dibedakan berdasarkan karakterisitik 
peran masing-masing stakeholders dalam melakukan penanganan ODGJ, yaitu: 
(1) SKPD pelaksana kebijakan dari unsur pemerintah daerah dalam penanganan 
ODGJ yaitu Dinas Kesahatan dan Dinas Sosial, (2) Unsur Rumah Sakit Umum 
klinik setingkat puskesmas, Klinik dan Pengobatan Teraphy Tradisional yang melaksanakan 
pelayanan kesehatan jiwa, (3) Unsur Kelompok warga atau lembaga 
swadaya warga (NGo) yang menangani rehabilitasi ODGJ, dan (4) Unsur 
Keluarga ODGJ) sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan dan 
rehabilitasi gangguan jiwa baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh 
warga. 
 


Setelah peneliti memperoleh data dari lapangan, maka selanjutnya peneliti 
mendiskusikannya kembali kepada informan berkaitan data yang telah diperoleh, 
dan mengklarifikasi apakah data yang disajikan sesuai dengan interpretasi 
peneliti. Selain diskusi sederhana dilakukan pula Forum Group Discusion (FGD) 
yang dilakukan dengan duduk santai dan tetap sedikit formal, dengan membuka 
percakapan berkaitan dengan data-data yang penulis peroleh dilapangan. Diskusi 
ini dilakukan pula untuk menambah wawasan dan melengkapi data-data yang 
dianggap masih kurang sempurna yang diperoleh di lapangan. 
Kemudian menyempurnakan atau melengkapinya kembali. Penulis juga 
berdiskusi dengan beberapa pakar yang lebih mengetahui sehubungan dengan 
topik penelitian. Para pakar atau pengamat/pemerhati warga, baik para pakar 
dari perguruan tinggi yang sesuai dengan spesialisasi bidang ilmunya dan juga 
para peneliti terdahulu yang pernah meneliti tentang model penanganan Orang 
dengan gangguan jiwa berbasis warga. 
 

Panduan pertanyaan secara tertulis dibutuhkan pula peneliti agar pertanyaan 
dapat terarah sesuai apa yang diharapkan, maka peneliti membuat secara garis 
besar dalam bentuk poin pertanyaan yang dituangkan dalam lembaran kertas 
secara terstruktur yang dirancang dan dibuat sendiri oleh peneliti. Penggunaan 

 
point pertanyaan secara tertulis, penelitian ini hanya dijadikan sebagai panduan 
pada saat wawancara terhadap informan. Panduan pertanyaan hanya sebatas alat 
atau cara yang digunakan untuk memandu peneliti mengajukan pertanyaan kepada 
setiap informan dengan berdasar pada setiap butir pertanyaan. Panduan 
pertanyaan tidak diserahkan kepada informan mengingat sebagian informan tidak 
bisa membaca dan memahami setiap point pertanyaan. Sehingga peneliti yang 
mengarahkan dan mengembangkan setiap point pertanyaan berkaitan dengan data 
yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian.  
 
3.6 METODE ANALISIS DATA 
Dalam penelitian ini, data hasil wawancara dan pengamatan ditulis dalam 
suatu catatan lapangan yang terinci, data dari catatan lapangan inilah yang 
dianalisis secara kualitatif. Analisis data yaitu proses penyederhanaan data ke 
dalam formula yang sederhana dan mudah dibaca serta mudah diinterpretasi, 
maksudnya analisis data di sini tidak saja memberikan kemudahan interpretasi, 
tetapi mampu memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, 
sehingga implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai 
bahan simpulan akhir penelitian Analisa telah dimulai sejak pengumpulan data 
dan dilakukan lebih intensif lagi setelah kembali dari lapangan. Seluruh data yang 
tersedia di telaah dan direduksi kemudian diabstraksi sehingga terbentuk suatu 
informasi. Satuan informasi inilah yang ditafsirkan dan diolah dalam bentuk hasil 
penelitian hingga pada tahap kesimpulan. 
 

 
yang dipandang memiliki karakteristik obyek penelitian berbeda. Karakteristik 
penelitian dibedakan pada warga perdesaan dan wilayah perkotaan. Lokasi 
pertama adalah yang menggambarakan karakteristik warga perkotaan 
dilakukan di Kota mandalakrida dan Kota Tanggerang. Kedua adalah karakterisitik 
yang menggambarakan warga perdesaan yaitu wilayah Kabupaten 
teluk terigu dan Kabupaten kotalama . 
Pertama, Kota mandalakrida merupakan kota yang menjadi pintu perlintasan 
mobilitas penduduk antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Selain itu, Kota 
mandalakrida merupakan wilayah industri yang padat serta banyak area wisata. Selain 
itu, Kota mandalakrida memiliki kasus penderita ODGJ terbanyak yaitu 2923 jiwa 
(Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017). Kedua, Kota Tanggerang Selatan (Tangsel). Kota 
ini merupakan wilayah kota penyangga Ibukota Negara yaitu DKI demak bintoro. Kota 
Tangsel ini dinilai mewakili fenomena karakterisitik wilayah warga 
perkotaan. Kota ini dipandang memiliki arus mobilitas manusianya cukup 
tinggi khusunya dari DKI demak bintoro umumnya dari luar wilayah Provinsi benteng kota hutan terlarang  
yang masuk ke benteng kota hutan terlarang . Kota Tangsel juga adalah kawasan industri, kawasan 
perbelanjaan, wisata dan pemukiman yang padat, yang memungkinkan fenomena 
gangguan jiwa cukup tinggi disebabkan akibat kehidupan ekonomi dan kehidupan 
sosial yang heterogen, dengan jumlah ODGJ sebanyak 338 jiwa (Dinkes Provinsi 
benteng kota hutan terlarang , 2017). 
Ketiga, Kabupaten kotalama . Wilayah ini merupakan gambaran dari 
warga yang sebagain besar perdesaan. Karakterisitik warga perdesaan 
bisa dikatakan situasi dan kehidupannya lebih banyak ditandai pada warga 
pertanian. Keempat, Kabupaten teluk terigu. Wilayah ini juga menggambarkan 
warga perdesaan, dimana situasi sosial ekonomi lebih banyak berhubungan 
kondisi pertanian. Selain itu, fenomena kasus pasung Kabupaten teluk terigu 
memiliki peringkat tertinggi yaitu sebanyak 27 kasus 
Pembahasan pada bab ini merupakan deskripsi hasil penelitian yang 
didukung dari dari beberapa sumber data, baik data sekunder maupun data primer 
yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti. Data-data yang terhimpun diantaranya 
bersumber dari Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
Selain itu data yang terhimpun didapatakan dari Dinas Sosial dan Kesehatan 
Kabupaten/Kota serta beberapa yayasan Panti Sosial yang melakukan penanganan 
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Data ini dipandang merepresentatifkan 
karakterisitik objek penelitian. Pembahasan yang akan diuraikan diantaranya, 
Karakterisitik ODGJ, model penanganan ODGJ, kendala penanganan ODGJ, dan 
bentuk usaha model penanganan yang seharusnya dilakukan di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
 
4.1 KARAKTERISTIK ODGJ DI benteng kota hutan terlarang  
4.1.1 Karakterisitik Penyebab ODGJ 
Menurut UU No. 18 Tahun 2014, yang dimaksud orang dengan gangguan 
jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, 
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau 
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan 
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.  Sementara ODMK 
(orang dengan masalah kejiwaan) adalah orang yang memiliki masalah fisik, 
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga 
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan 
3). Karakterisitik ODGJ yang diuraikan adalah sesaui dengan definsi Berdasarkan 
UU ini yang dibagi pada dua gangguan kejiwaan, yaitu berdasarkan 
gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat. 
 
1) Gangguan Mental Emosional 
Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang 
mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat 

 
berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan mental 
emosional merupakan istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi 
ini merupakan keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami 
perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan 
skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami 
semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan 
ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil 
ditanggulangi. Perkembangannnya Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007 
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥ 
15 tahun bisa dilihat pada tabel berikut: 
 
Tabel 4.1 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk Berumur 15 
Tahun Ke Atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut 
Kabupaten/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang , Riskesdas 2007 
 
No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%) 
1 Kabupaten teluk terigu 10,9 
2 Kabupaten tasikmalasia 7,1 
3 Kabupaten teluk berangkas 14,6 
4 Kabupaten kotalama  10,5 
5 Kota teluk berangkas 7,9 
6 Kota mandalakrida 16,9 
 benteng kota hutan terlarang  11,5 
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6 
Sumber: Riskesdas 2007, Kementrian Kesehatan RI 
 
Berdasarkan tabel di atas, diketahui prevalensi gangguan mental emosional 
pada penduduk yang berumur ≥ 15 tahun di Provinsi benteng kota hutan terlarang  sebesar (11,5%), hal 
ini hampir sama dengan prevalensi nasional (11,6%) di Tahun 2017. Di 
antara kabupaten/kota, prevalensi tertinggi di Kabupaten Kota mandalakrida (16,9%) 

 
diikuti Kabupaten teluk berangkas (14,6%) lebih tinggi dari prevalensi nasional. 
Kemudian prevalensi gangguan mental emosional paling rendah adalah 
Kabupaten tasikmalasia (7,1%) dan disusul Kota teluk berangkas sebesar (7,9%). 
 
Tabel 4.2 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk 
berumur 15 Tahun ke atas di Provinsi benteng kota hutan terlarang , Riskesdas 2007 
 
 

 
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa prevalensi gangguan mental 
emosional meningkat sejalan dengan pertambahan umur. Kelompok yang rentan 
mengalami gangguan mental emosional antara lain perempuan, pendidikan 
rendah, tidak bekerja, tinggal di desa dan tingkat pengeluaran perkapita rumah 
tangga rendah. 
Adapun untuk gangguan mental emosional menurut hasil Riskesdas 2013 
di mana penilaiannya sama dengan tahun 2007 yang  menggunakan kuesioner 
serta metode pengumpulan data yang sama pula. Berikut di gambarkan prevalensi 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  pada tabel berikut: 
 
Tabel 4.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 ke 
atas (berdasarkan self reporting questionnaire-20)* menurut Kabupaten/Kota, 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  2013 
 
No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%) 
1 Kabupaten teluk terigu 7,8 
2 Kabupaten tasikmalasia 0,9 
3 Kabupaten teluk berangkas 6,4 
4 Kabupaten kotalama  3,5 
5 Kota teluk berangkas 7,5 
6 Kota mandalakrida 9,6 
7 Kota kotalama  2,4 
8 Kota teluk berangkas Selatan 1,8 
 benteng kota hutan terlarang  5,1 
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6 
Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI 
 
Berdasarkan tabel ini diketahui, bahwa prevalensi penduduk yang 
mengalami gangguan mental emosional di tingkat Provinsi benteng kota hutan terlarang  adalah 5,1%. 
Sementara, kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional 
tertinggi adalah Kota mandalakrida (9,6%), sedangkan yang terendah di Kabupaten 
tasikmalasia (0,9%). 

 

 
Berdasarkan gambar prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan 
karakteristik di Provinsi benteng kota hutan terlarang  2013, terlihat bahwa pola prevalensi gangguan 
mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART dan 
tempat tinggal. Prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi 
daripada di perdesaan, lebih banyak terjadi pada perempuan (6,5%) daripada laki-
laki (3,7%) dan kelompok usia > 75 tahun sangat mendominasi angka prevalensi 
gangguan mental emosional. 
 
2) Gangguan Jiwa Berat 
Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh 
terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. 
Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, 
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya 
agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis 
dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. 

 
Pada kategori gangguan jiwa berat ini bisa diindikasikan pada keadaan 
atau kategori ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yaitu orang yang mengalami 
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk 
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat 
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai 
manusia. 
Hasil Riskesdas tahun 2013 di Provinsi benteng kota hutan terlarang  dengan indikator kesehatan 
jiwa yang dinilai antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional 
serta cakupan pengobatannya. Berikut perkembangan prevalensi gangguan jiwa 
berat menurut kabupaten/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang  Tahun 2013: 
 

 
Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggotanya yang 
mengalami gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak di perdesaan. 
Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok 
kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi rumah tangga yang pernah 
melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Metode 
pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan 
kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang 

 
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang 
menyertai salah satu metode pemasungan. 
Faktor penyebab gangguan jiwa terkategori umum dari mulai faktor 
predisposisi yang meliputi: biologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya. 
Terjadi secara komplek, tidak berdiri sendiri. Kecuali pencetusnya atau faktor 
presipitasi yang hanya sebagai pemantik tunggal terjadinya gangguan jiwa. ODGJ 
di Provinsi benteng kota hutan terlarang  ini memiliki beragam penyebab serta pencetusnya. 
Secara genetik, penyebab gangguan jiwa muncul disebabkan oleh 
beberapa macam hal seperti infeksi virus saat masa kehamilan yang dapat menjadi 
pengganggu perkembangan otak pada janin. Kekurangan gizi pada masa – masa 
trimester kehamilan, ibu hamil yang mengalami trauma, kelainan hormonal atau 
adanya komplikasi kandungan dan toksin atau racun. Ditemukan lagi jika ada 
janin yang memiliki gen abnormal tidak beresiko terjangkit gangguan jiwa kecuali 
disertai oleh beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa kelak di 
kemudian hari. 
Apabila seseorang yang memiliki beberapa macam faktor penyebab 
gangguan jiwa mengalami depresi atau stres yang emosional di dalam dirinya dan 
kehidupan sehari–hari, maka akan memiliki resiko mengalami gangguan jiwa 
lebih besar daripada orang yang sebelumnya tidak memiliki beberapa macam 
faktor disebutkan. 
Selain faktor genetik, penyebab terjadinya gangguan jiwa dapat 
disebabkan oleh beberapa masalah dalam kehidupan atau lingkungan sehari-hari. 
Seperti sebab masalah ekonomi atau menderita penyakit kronis seseorang akan 
dapat beresiko mengalami gangguan kejiwaan. Contohnya seseorang yang 
mengalami depresi sebab tidak cukup makan dan tidur, sehingga membuat daya 
tahan menjadi menurun dan dapat mengalami gangguan fisik atau penyakit fisik. 
Namun, apabila seseorang menderita penyakit fisik kronis misalnya kanker atau 
tumor juga dapat mengalami penurunan psikologi dan berujung pada depresi 
berat. Depresi berat inilah yang dapat beresiko mengalami gangguan jiwa. Hal ini 
dapat terjadi pada aksi bullying atau pem-bully-an terhadap sesama teman atau 
orang lainnya yang dianggap tidak pantas untuk berteman atau sejajar dengan 

 
mereka. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan dapat 
mengakibatkan depresi pada si anak yang di bully tadi. Selain gangguan jiwa, bisa 
jadi si anak tadi bisa melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan terhadap 
seseorang yang sering mem-bully dirinya. Jadi, bully itu tidak diperkenankan dan 
seharusnya tidak dilakukan sebab dapat memicu gangguan psikis, terlebih 
lagi dapat menimbulkan penyimpangan kejiwaan.  
Penyebab terjadinya ODGJ di benteng kota hutan terlarang  disebabkan oleh beberapa faktor 
yang tidak berdiri sendiri sebagai satu penyebab saja, namun sebagai pencetus 
lebih banyak dilatarbelakangi oleh gangguan psikologis dan sosiologis. Kondisi 
ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, seperti kutipan wawancara 
berikut: 
“Peneyebab ODGJ sebenarnya di wilayah kita ini lebih banyak disebabkan 
oleh faktor psikis dan sosiologis, serta jarang disebabkan oleh faktor 
genetis. Fokator ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, sebab 
rata-rata mereka yang mengalami gangguan jiwa dari mereka keluarga 
yang ekonominya kurang berkecukupan, sehingga mereka kesulitan untuk 
membawa ke dokter dengan alasan tidak ada biaya biaya. Beberapa kasus 
pemasugan mereka dari kelompok keluarga ODGJ yang tidak mampu 
Seperti ada di Daerah teluk terigu, ada seorang anak yang mengalami 
gangguan kejiwaan diakibatkan sebab ingin dibelikan motor, namun tidak 
terturuti oleh orang tuanya” 
 
Berdasarkan pernyataan di atas diketahui,  bahwa faktor penyabab ODGJ 
di benteng kota hutan terlarang  lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis. 
Kemudian faktor ekonomi membuat mereka mengalami gangguan jiwa. Sehingga 
dalam penanganan untuk penyembuhannya pun sulit dilakukan oleh keluarga 
ODGJ, sebab keterbatasan biaya biaya. Artinya, faktor didikan dalam keluarga dan 
interaksi pada lingkungan disini cukup mempengaruhi munculnya ODGJ. Ada 
juga kasus ODGJ di Kabupaten kotalama , mengalami kondisi retardasi mental yang 
disertai gangguan jiwa. 
 
4.1.2 Karakterisitik Jumlah dan Sebaran ODGJ di benteng kota hutan terlarang  
Data angka kejadian gangguan jiwa di Provinsi benteng kota hutan terlarang   menurut Riskesdas 
Kemenkes (2007) sebesar 2 permil atau ada dua penduduk dari 1000 penduduk 

yang mengalami gangguan jiwa, hal ini Berdasarkan estimasi dengan jumlah 
penduduk Provinsi benteng kota hutan terlarang  10.632.166 orang (BPS, 2010) maka dimungkinkan 
21.264 orang penduduk mengalami gangguan jiwa. Sedangkan data hasil 
Riskesdas Kemenkes (2013), menunjukan 1 dari 17 penduduk di benteng kota hutan terlarang  memiliki 
gangguan mental emosional (anxietas dan depresi) serta sekitar 13.200 penduduk 
di benteng kota hutan terlarang  memiliki gangguan jiwa berat (psikotik). 
Jumlah dan sebaran ODGJ berdasarkan laporan data kasus jiwa per 
kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017 dari Dinas Kesehatan Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  (2017). Jumlah ODMK di benteng kota hutan terlarang  mencapai dari 5732 kasus dan data 
ODGJ mencapai 4881 kasus. 
 
Berdasarkan data tabel laporan kasus Jiwa per kabupaten/kota di Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  tahun 2017 di atas, dapat dikethaui bahwa jumlah ODMK terbanyak ada di 
Kota mandalakrida dengan jumlah sebanyak 2950 jiwa. Selin itu juga, jumlah ODGJ 
terbanyak masih di Kota mandalakrida dengan yaitu sebanyak 4881 jiwa. Adapun 
jumlah yang paling sedikit ODMK dan ODGJ ada di Kota teluk berangkas yaitu 
jumlah ODMK sebayak 157 jiwa dan ODGJ sebanyak 147 jiwa. 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  (2017), diketahui 
bahwa perkembangan ODGJ di Provinsi dari data kasus pasien yang dilaporkan 
tercatat tahun 2014 hingga tahun 2017 terus mengalami peningkatan. Dari rentang 
waktu selama empat tahun ini jumlah cukup siginifikan yaitu sebanyak 5651 
ODGJ. Hal ini sudah menghawatikan, dan bisa menjadi bencana untuk 
kesehatan jiwa warga benteng kota hutan terlarang . 
Keberadaan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  bisa dikategorikan pada dua jenis 
Berdasarkan penanganannya. Pertama ODGJ yang masih ditangani oleh 
keluarganya dan kedua yaitu ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang 
keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus. Jumlah kasus pasien 
ODGJ yang ditangani Berdasarkan kab/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang  dari Tahun 2014 
hingga  Tahun 2017, 
 
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  (2017), tercatat hingga 
Tahun 2017, bahwa ODGJ yang sudah tertangani berjumlah 4881 jiwa. Artinya 
dari jumlah pasien ODGJ yang dilaporkan sebanyak 5651 jiwa, masih ada 770 
jiwa ODGJ yang terlantar dan masih berkeliaran di warga pada tempat-
tempat umum. Kondisi ini butuh penanganan ODGJ secara menyeluruh 
dengan semua lembaga baik lembaga pemerintah maupun lembaga warga. 
Kasus pasien ODGJ dari catatan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  
jumlahnya pada tahun 2017 lebih sedikit, yaitu hanya ada 23 pasien ODGJ yang 
sudah dilepas dari pasungan. Jumlah pasien ini dinyatakan dari catatan 
keluarga keluarga ODGJ yang melaporkan kepada pemerintah. Artinya 
kepedulian warga dalam memberikan informasi perkembangan ODGJ yang 
berkoordinasi dengan pemerintah masih dipandang kurang. Sehingga hal ini 
perlu menjadi perhatian agar lebih sinergis antar warga dan pemerintah 
daerah. Berikut data kasus pasien ODGJ yang dilepas: 
 
 
Keberadaan ODGJ kerap menganggu ketertiban warga, dengan 
alasan sudah tidak mampuh lagi merawat pasien ODGJ, keluarga pasien banyak 
yang melepasnya begitu saja, atau pasiennya sendiri lepas saat dari rumah dan 
tidak ditemukan keberadaannya oleh keluarga pasien ODGJ. Metode pasung 
menjadi salah satu pilihan warga untuk mengendalikan pasien ODGJ, 
sehingga keberadaan ODGJ banyak yang diperlakukan di pasung untuk 
menghindari meresahkan warga sekitar. 
Timbulnya berbagai kasus pemasungan yang terjadi terhadap ODGJ 
disebabkan sebab kurangnya pemahaman dari lingkungan warga dalam 
menangani adanya fenomena ini. Tindakan pemasungan pada ODGJ 
seharunya tidak terjadi, hal ini sebab bagaimana ODGJ merupakan warga 
negara yang mesti diakomodir pemerintah dan memiliki hak yang sama seperti 
manusia normal pada umumnya. Berikut tabel kasus pasien ODGJ yang dipasung 
Berdasarkan kab/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang  Tahun 2017: 
 
 

 
 
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  (2017), bahwa kasus 
pasien ODGJ yang masih dipasung masih ada 101 pasien ODGJ, di mana jumlah 
pasung terbanyak ada di Kabupaten teluk terigu 27 pasien dan Kabupaten 
teluk terigu sebanyak 27 pasien. Selain itu juga kasus pasung di Kabupaten 
kotalama  sebanyak 21 pasien, Kabupaten teluk berangkas 8 pasien dan Kota mandalakrida 
sebanyak 9 pasien. Adapun Kota teluk berangkas dan Kota Tangsel tercatat 0 (tidak 
ada kasus pemasungan). 
usaha Pemprov benteng kota hutan terlarang  melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) mencanangkan 
program benteng kota hutan terlarang  Bebas Pasung 2019, perlu usaha yang berkelanjutan dan serius. 
Hal ini, sebab masih banyak ODGJ yang terpaksa harus dipasung oleh 
keluarganya. Pemasungan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan 
jiwa, ditemukan lebih banyak  di daerah pelosok, sebab alasan mengganggu dan 
mengancam keselamatan orang lain dan menganggap dengan adanya ODGJ 
adalah aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga. 
 Karakterisitik Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga 
Sekitar 
Faktor pengetahuan dan sikap keluarga serta warga sekitar terhadap 
ODGJ berkembang secara umum masih banyak hal yang keliru. Hal ini 
terkait dengan tahu, mau, dan mampu terhadap kesehatan jiwa. usaha-usaha 
kesehatan jiwa yang berkembang dikeluarga dan warga adalah usaha yang 
masih berdasarkan latar belakang tradisi dan sistem nilai atau kepercayaan yang 
cenderung turun temurun. Menjadi positif  bila tata nilai ini sangat berkaitan 
dan logis sebagai suatu usaha  yang tepat. Namun demikian ternyata justru hal-hal 
yang muncul menjadi suatu hal negatif sebab ketidaktahuan terhadap gangguan 
jiwa sampai perlakuan terhadap ODGJ. 
Pengetahuan yang rendah terhadap gangguan jiwa serta berkembangnya 
tata nilai bahkan menjadi tradisi yang buruk. Selanjutnya melahirkan mitos di 
dalam warga terkait gangguan jiwa, dimana gangguan jiwa tidak bisa 
sembuh, tidak bisa stabil dan tidak dapat diramalkan kondisinya dan kejadiannya, 
bisa mungkin berbahaya, dan gangguan jiwa sebagai kutukan dan hukuman. Lebih 
lanjut muncul stigma dalam warga terhadap ODGJ serta diskriminasi sosial 
secara meluas. 
Semua kondisi di atas diperkuat dengan tingkat pendidikan warga 
yang rendah, seiring dengan faktor sosial dan ekonomi yang rendah juga. Hal ini 
terangkai dalam lingkaran setan dengan kemiskinan. Sehingga gangguan jiwa dan 
kemiskinan menjadi satu kondisi yang semakin ironis yang harus dicegah lebih 
dini dalam perkembangan warga. 
Hal ini di atas sebagai karakteristik penting perilaku kesehatan dari 
keluarga dengan ODGJ seiring pendapat beberapa partisipan terkait kondisi 
karakteristik ini. Secara umum dinyatakan bahwa karakteristik perilaku 
kesehatan keluarga ODGJ dan warga sekitarnya cenderung memiliki 
pengetahuan yang rendah, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta 
memiliki tata nilai yang negatif terhadap ODGJ. 
 
 Model Penanganan ODGJ yang dilakukan Pemerintah 
Secara umum Kementerian Kesehatan memiliki program penanganan 
sesuai arah pembangunan kesehatan pada RPJMN III 2015-2019, dengan arah 
pengembangan usaha kesehatan, dari kuratif dan rehabilitatif bergerak ke arah 
promotif dan preventif sesuai kondisi dan kebutuhan, melalui visi warga 
sehat yang mandiri dan berkeadilan. Kebijakan penanggulangan ODGJ 
difokuskan pada penguatan layanan primer dengan indikator strategis dan 
indikator kinerja yang sudah sangat jelas. 
Pelayanan kesehatan jiwa dituangkan dari Kemenkes ke dalam kebijakan 
pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar di bawah Direktorat 
Kesehatan Jiwa dan Napza. Kebijakan ini berdasarkan kepada landasan 
hukum terkait pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar berdasarkan 
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 144, 246, dan 147 
mengenai layanan kesehatan jiwa. Diperkuat dengan Undang-undang No.18 
Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34. Pelayanan utama pada 
level ini termasuk; (1) Identifikasi dini gangguan jiwa; (2) Penatalaksanaan 
gangguan jiwa yang umum terjadi di warga; (3) Menjaga kestabilan kondisi 
pasien gangguan jiwa; (4) Melaksanakan rujukan; (5) Perhatian terhadap 
kebutuhan kesehatan jiwa bagi pasien gangguan fisik; (6) Promosi kesehatan jiwa 
dan prevensi gangguan jiwa. Kebijakan pemerintah pusat di bawah Kemenkes 
ini di atas ternyata belum sepenuhnya bisa dilaksanakan di tingkat daerah. 
Seperti halnya terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang , langkah ini baru ditindak lanjuti 
dengan Keputusan Gubernur Provinsi benteng kota hutan terlarang  tentang Pembentukan Tim Pengarah 
Kesehatan Jiwa warga (TPKJM) Tingkat Provinsi Baanten. 
 
“Dalam rangka penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang , Dinkes Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor 
441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi pada 
pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada usaha penanganan 
yang lain Dinkes benteng kota hutan terlarang  sudah berusaha melalui pengiriman diklat 
penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan perawat perwakilan 
kabupaten/kota se Provinsi benteng kota hutan terlarang .” 
 
Berdasarkan pernyataan ini, diketahui bahwa Dinas Kesehatan 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  sampai saat ini belum ada penanganan secara khusus untuk 
ODGJ, hal ini disebabkan terbatasnya sumberdaya yang dimiliki, baik dari 
segi fasilitas maupun kompetensi tenaga kesehatannya. Sampai saat ini 
penanganan ODGJ masih bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik 
di rumah sakit maupun klinik setingkat puskesmas. Hal ini menjadi kendala tersendiri 
bagaimana mensinkronkan antara kebijakan kementerian kesehatan dengan 
kebijakan daerah. 
Penanganan di tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang  sampai saat 
belum ada penanganan secara khusus untuk ODGJ. Namun, hanya melakukan 
sosialisasi pada tingkat klinik setingkat puskesmas dan pemberian intensif obat pada ODGJ. Hal ini 
disampaikan sebab keterbatasan potensi sumberdaya yang dimiliki (fasilitas dan 
tenaga kesehatan). Hal ini seperti disampaikan informan sebagai berikut: 
 
“Penanganan ODGJ di Kota kotalama  sampai saat ini terbatas pada 
sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap klinik setingkat puskesmas, memberikan 
bimbingan pelatihan  pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat. Belum pada 
penanganan yang bersifat serius, semua ini terbentur pada kondisi 
penganggaran dan fasilitasi ODGJ itu sendiri, sehingga kondisi ini belum 
menjadi permasalahan bersama.” 
Program pelayanan kesehatan jiwa oleh pemerintah di bawah Kemenkes 
dengan kebijakan pelayanan kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan dasar. Ada 
tujuh alasan penting pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 
dasar, antara lain; (1) Beban akibat gangguan jiwa sangat besar; (2) Masalah 
kesehatan jiwa dan kesehatan fisik saling terkait dan mempengaruhi; (3) 
Kesenjangan pengobatan pada masalah kesehatan jiwa sangat besar; (4) Pelayanan 
kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas meningkatkan akses maasyarakat dalam 
mendapatkan kebutuhan akan pelayanan kesehatan jiwa; (5) Pelayanan kesehatan 
jiwa di klinik setingkat puskesmas meningkatkan rasa menghargai terhadap hak asasi manusia; (6) 
Pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas terjangkau secara ekonomi oleh 
warga; (7) Pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas menghasilkan outcome 
kesehatan secara umum yang lebih baik 
 
Berdasarkan gambar ini, maka dapat dinyatakan bahwa pelayanan 
kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan fasilitas kesehatan dasar menjadi alternatif 
utama kebijakan Kemenkes sebab memiliki skala pemenuhan kebutuhan dasar 
pada ODGJ yang tinggi dengan penekanan biaya biaya yang bisa lebih rendah. Lebih 
lanjut ada sepuluh prinsip pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan 
kesehatan dasar; (1) Kebijakan dan program yang mendukung; (2) Advokasi 
kepada pemangku kebijakan untuk mengubah sikap, perilaku dan komitmen 
terhadap kesehatan jiwa; (3) bimbingan pelatihan  tenaga kesehatan klinik setingkat puskesmas yang adekuat; 
(4) Pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas bersifat terbatas dan dapat 
dilaksanakan; (5) Psikiater dan tenaga professional kesehatan jiwa lainnya harus 
tersedia untuk mendukung pelayanan di klinik setingkat puskesmas; (6) Obat-obatan yang 
dibutuhkan harus tersedia di klinik setingkat puskesmas; (7) Integrasi kesehatan jiwa ke dalam 
usaha kesehatan pada umumnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan; (8) 
Koordinator dalam pelayanan kesehatan jiwa; (9) Kolaborasi dengan pihak-pihak 
lain, seperti sektor pemerintahan non-kesehatan, LSM, tenaga kesehatan di 
warga serta para relawan; (10) Sumber daya manusia (SDM) dan dana yang 
mendukung (WHO&Wonca, Integrating MH Into Primary Care, 2008). Sehingga 
program pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis ketahanan keluarga dan 
warga menjadi sangat penting. 
Program selanjutnya adalah program bebas pasung dengan pencanangan 
negeri ini Bebas Pasung tahun 2019, dengan dasar hukum UU No. 18 tahun 2014 
tentang kesehatan jiwa pada pasal 86. Perpres No.75 tahun 2015 tentang RAN-
HAM 2015-2019 dengan indikator; (1) Jumlah temuan kasus pasung yang 
diberikan layanan kesehatan; (2) Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 
klinik setingkat puskesmas dengan layanan kesehatan jiwa; (3) Jumlah Provinsi yang 
melaksanakan program bebas pasung. Serta UU No.8 tahun 2016 tentang 
penyandang disabilitas pada pasal 68 dan pasal 72 terkait kewajiban pemerintah 
daerah untuk menyelenggarakan bimbingan pelatihan  tenaga kesehatan agar mampu 
memberikan pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas serta tindakan 
yang sesuai standar dalam pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas. 
Program bebas pasung ini pada awal peluncuran programnya cukup memberikan 
kontribusi yang kuat dalam usaha penanganan ODGJ yang direspon positif 
diberbagai daerah. 
Kementerian kesehatan masih fokus pada ODGJ dengan sasaran ODGJ 
yang memiliki keluarga sebagai penanggungjawab dan care giver-nya belum 
menelusur kepada ODGJ terlantar sebagaimana bidang kajian di dinas sosial. Di 
Provinsi benteng kota hutan terlarang , penanganan ODGJ secara sosial yang ditangani Dinas Sosial 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  belum sfesifik ditangani secara khusus. Penanganan ODGJ masih 
disatukan dan bercampur dengan masalah napza dan masuk pada kategori 
rehabilitasi sosial. Penanganan diarahkan lebih kepada keterlantaran dari ODGJ 
yang berkeliaran lepas dari keluarganya, sehingga kerap mengganggu ketertiban 
warga, berikut kutipan wawancara informannya: 
 
“Secara khusus model penanganan ODGJ dari aspek sosisal belum 
berjalan dengan baik, sebab dari aspek pembiaya biayaan masih belum ada 

 
alokasi khusus untuk penanganan ODGJ, menurut struktur kewenangan di 
Dinsos Provinsi benteng kota hutan terlarang  masalah ODGJ masih belum secara khusus di 
tangani sebab masalah ODGJ masuk pada bidang rehabilitasi Sosisal 
yang di dalamnya menangani juga masalah napza dan sebagainya.” 

 
Sementara itu Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang  melakukan penanganan 
terhadap ODGJ dengan melakukan identifikasi identitas penderita dan tingkat 
keparahan ODGJ. Apabila setelah dilakukannya identifikasi, ODGJ masih 
memiliki keluarga, maka akan diantarkan ke keluarganya, namun apabila identitas 
ODGJ sulit untuk diidentifikasi, akan diantarkan ke panti rehabilitasi warga 
untuk ditangani secara intensif, kategori bagi ODGJ tanpa identitas digolongkan 
oleh Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang  sebagai ODGJ Ketelantaran. Dinas Sosial 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  sejauh ini bertanggung jawab menangani ODGJ ketelantaran dan 
ODGJ yang sudah sembuh (eks ODGJ). 
Sesuai dengan penyampaian Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , di tingkat 
Kabupaten/Kota juga penanganan dari segi sosial tidak ada penanganan secara 
khusus, seperti disampaikan oleh Dinas Sosial Kabupaten tasikmalasia dan teluk terigu 
yang menyatakan bahwa tidak ada penanganan secara khusus untuk ODGJ, 
disebabkan terbentur oleh tugas pokok dan fungsi instansi yang mengharuskan 
menangani warga dalam ketelantaran, dalam hal ini ketelantaran yang 
dimaksud adalah gelandangan, pengemis dan anak terlantar. Sampai saat ini Dinas 
Sosial tingkat Kabupaten/Kota cenderung lebih kepada penanganan ODGJ yang 
dianggap membahayakan, seperti contoh kasus yang terjadi di tasikmalasia, ada 
lima kasus ODGJ yang diantarkan pihak kepolisian setempat kepada Dinas Sosial 
Kabupaten tasikmalasia selama kurun waktu Januari sampai dengan September 2017 
sebab dianggap meresahkan. Namun disebabkan tasikmalasia tidak memiliki tempat 
perawatan/penanganan ODGJ yang memadai, maka ODGJ yang ditangani dibawa 
ke Bani Syifa Pamarayan Kabupaten kotalama . 
Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang , melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan 
belum melakukan usaha dalam penanganan ODGJ secara intensif. Program 
pemerintah tingkat Provinsi benteng kota hutan terlarang  saat ini masih berorientasi pada sosialisasi 

 
bebas pasung. Program-program lain yang bersifat serius dalam menangani ODGJ 
belum ada meskipun sudah ada Keputusan Gubernur tentang Tim Pengarah 
Kesehatan Jiwa warga (TPKJM). 
 
“Sampai saat ini belum ada program khusus dari Provinsi benteng kota hutan terlarang , namun 
yang dilakukan sampai saat ini adalah pembebasan pemasungan.” 
(
 
Program-program yang terlaksana selain pembebasan pasung pada 
warga untuk ODGJ, pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  melalui Dinas Kesehatan 
melakukan bimbingan pelatihan  kepada tenaga kesehatan. Dari bimbingan pelatihan  ini kemudian 
menghasilkan tenaga kesehatan, mulai dari dokter dan perawat yang memiliki 
kompetensi dasar dalam melakukan pelayanan medis terhadap ODGJ. Berikut 
diungkapkan Informan Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
 
“ada pembinaan pelayanan kesehatan jiwa yang ada banyak 
kasus, ada 5 titik yang sudah dilakukan, yaitu Menes, Cigeulis, 
Suradita (Kab teluk berangkas), Keragilan, Jiput, Prabugantungan tasikmalasia. 5 
klinik setingkat puskesmas ini mengajukan permohonan kemudian ditindaklanjuti 
dengan mengirimkan dokter spesialis.” 
 
Berdasarkan ungkapan ini, bahwa pioritas dalam menyiapkan tenaga 
kesehatan dilakukan untuk pembinaan pelayanan kesehatan jiwa memiliki banyak 
kasus, paling tidak ada lima titik pembinaan yang sudah dilakukan, yaitu 
Menes, Cigeulis, Suradita (Kabupaten teluk berangkas), Kragilan, Jiput, 
Prabugantungan Kabupaten tasikmalasia. Lima klinik setingkat puskesmas ini mengajukan 
permohonan kemudian ditindaklanjuti dengan mengirimkan dokter spesialis 
sebagai konsultan dan rujukan bagi tenaga kesehatan pelaksananya.  
Berdasarkan hasil penelitian, partisipan mengungkapkan beberapa paket 
bimbingan pelatihan  bagi tenaga kesehatan terutama paket dokter umum dan perawat dari 
klinik setingkat puskesmas yang sampai tahun 2017 ini sudah mencakup 70 klinik setingkat puskesmas dari 235 
klinik setingkat puskesmas di Kabupaten/Kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang , dengan dokter umum dan 
perawat yang terlatih dalam pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas dengan satu 

 
orang psikiater sebagai konsultannya. Supervisi yang optimal dari Dinas 
Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  sangat menguatkan keberhasilan program bebas 
pasung. Sebagai contoh keberhasilan di klinik setingkat puskesmas Munjul dan klinik setingkat puskesmas 
Cigeulis yang sudah mampu melaksanakan program bebas pasung dan pelayanan 
kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas yang dirasakan kebermanfaatannya oleh keluarga 
dan warga. Kondisi yang sama terjadi di Kota kotalama  yang juga belum ada 
program khusus dalam menangani ODGJ, berikut wawancaranya: 
 
“Belum ada program khusus dari Dinsos Kota kotalama , sampai saat ini 
program yang dilakukan hanya melalui sosialisasi, bimbingan pelatihan  dan 
pembebasan pemasungan yang dilakukan di warga.” 
 
Kota kotalama  sendiri sebagai ibu kota Provinsi benteng kota hutan terlarang  dari pernyataan di 
atas, dalam penanganan ODGJ tidak memiliki program yang cukup untuk 
dilaksanakan, disebabkan faktor anggaran yang kurang memadai. Untuk 
menyiapkan tenaga kesehatan dan melakukan program terkait penanganan ODGJ 
sampai saat ini hanya mengandalkan program-program sederhana, seperti 
melakukan sosialisasi kesehatan jiwa, mengikutsertakan tenaga kesehatan dari 
Dinas Kesehatan Kota kotalama  untuk mengikuti bimbingan pelatihan  dan penyediaan obat-
obatan. 
  
4.2.2 Model Penanganan ODGJ yang Berkembang di warga 
Penanganan ODGJ yang dilakukan warga di Provinsi benteng kota hutan terlarang  sampai 
saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga, klinik setingkat puskesmas/rumah 
sakit umum dan sebagian warga memilih melakukan pemasungan, 
sebagaimana banyak terjadi di wilayah teluk terigu, Kota kotalama  dan Kota 
mandalakrida dan Kabupaten tasikmalasia. Banyak warga yang membiarkan ODGJ, 
mungkin hal ini juga yang memicu program bebas pasung tidak 
berjalan secara baik, sebab tidak adanya formulasi yang tepat untuk 
dilaksanakan. 
 
 
“Penanganan ODGJ yang dilakukan warga sampai saat ini melalui 
panti rehabilitasi warga, klinik setingkat puskesmas/rumah sakit umum dan sebagian 
warga melakukan pemasungan.” 
 
Sementara itu, untuk penanganan medis, keluarga membawa ODGJ datang 
ke klinik setingkat puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk ditangani, 
selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, maka akan dikembalikan yang 
kemudian didampingi oleh klinik setingkat puskesmas. ODGJ harus mengkonsumi obat secara 
terus menerus tanpa putus. Penanganan ODGJ yang kompleks memang menjadi 
tantangan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang , sebab harus melibatkan 
banyak unsur, mulai dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Babinsa dan 
warga, sehingga sosialisasi sampai dengan pelaksanaan penanganan tidak 
dapat berdiri sendiri. Program penanggulangan ODGJ oleh warga ini secara 
umum masih berkisar pada tatanan kuratif dengan koordinasi yang masih lemah 
dengan klinik setingkat puskesmas sebagai penyedia fasilitas pelayanan dasar bagi kesehatan jiwa. 
 
“warga banyak yang membiarkan penderita ODGJ, ada pula sebagian 
warga yang membawa ke klinik setingkat puskesmas dan lembaga rehabilitasi, ada 
pula yang memasung. Untuk penanganan medis Keluarga dari penderita 
ODGJ datang ke klinik setingkat puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk 
ditangani, selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, makan akan 
dikembalikan yang kemudian didampingi oleh klinik setingkat puskesmas. sebab 
Penderita ODGJ harus mengkonsumi obat secara terus menerus tanpa 
putus.” 
Berdasarkan ungkapan ini diketahui bahwa usaha warga dalam 
menangani ODGJ fenomenanya masih banyak yang membiarkan penderita ODGJ. 
usaha warga ada yang membawa ke klinik setingkat puskesmas dan lembaga rehabilitasi, 
dan juga dilakukan pemasungan. usaha penanganan medisnya Keluarga dari 
penderita ODGJ membawa ke klinik setingkat puskesmas setempat dan ada pula yang dirujuk 
untuk dibawa ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa). Ada Pula, pasien ODGJ pasca 
ditangani medis, dikembalikan kepada keluarga dan dilakukan pendampingan dari 
klinik setingkat puskesmas setempat. Kondisi ini seperti halnya terjadi di Kota kotalama , 
berikut wawancaranya: 

 
“Pemasungan sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagian warga, 
padahal pemasungan bukanlah sebuah solusi, bahkan bertentangan dengan 
hak dasar manusia. Tapi di sisi lain, warga juga banyak yang 
melakukan penanganan melalui panti rehabilitasi” 
 
“Penanganan ODGJ yang berkembang di warga belum cukup 
memadai, mengingat tidak ada rumah sakit jiwa. Untuk itu Dinkes Kota 
kotalama  rajin dalam memberikan sosialisasi ke setiap klinik setingkat puskesmas agar dapat 
ditangani dengan baik, sehingga warga pun mengerti bagaimana 
tindakan yang harusnya dilakukan. Sampai saat ini, warga juga aktif 
membawa penderita ODGJ ke klinik setingkat puskesmas, tercatat bahwa penanganan 
ODGJ paling banyak dilakukan oleh klinik setingkat puskesmas Rau”. 
 
Berdasarkan ungkapan di atas, diketahui bahwa pemasungan masih 
menjadi pilihan yang dilakukan warga dalam menangani ODGJ. Selain itu, 
mereka juga membawa ke panti rehabilitasi. Selain itu, warga juga aktif 
membawa pasien ODGJ ke klinik setingkat puskesmas terdekat dari rumah mereka. Untuk di Kota 
kotalama , penanganan ODGJ tercatat paling sering di kunjungi pasien yaitu 
Puskemas Rau. 
Untuk wilayah teluk terigu belum ada model penanganan ODGJ yang 
dilakukan warga, tetapi ada beberapa kecamatan dimana tokoh 
warganya secara aktif memberikan sosialisasi tentang peran keluarga dalam 
rangka usaha penyembuhan yang harus dilakukan. Sementara itu, untuk di Kota 
mandalakrida, juga terjadi sama, masyarkat belum ada usaha dalam penanganan namun 
Keterlibatan tokoh warga sangat membantu dalam penanganan ODGJ mulai 
dari Babinsa, Polsek dan tokoh warga itu sendiri dalam membantu petugas 
dalam membantu di kelapangan khususnya petugas klinik setingkat puskesmas dan Dinsos. 
 
Kendala Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga 
Kondisi keluarga dan warga sekitar sangat mempengaruhi terhadap 
penanganan ODGJ. Selama ini terjadi meliputi beberapa hal berikut ini; (1) Mitos 

 
di keluarga dan warga, seperti tidak akan sembuh, tidak stabil dan tidak 
dapat diramalkan, mungkin berbahaya, sebagai kutukan dan hukuman; (2) Stigma, 
ODGJ masih menjadi bahan olok-olokan dan dipandang rendah walaupun 
memiliki posisi yang sama dengan beberapa penyakit lain secara fisik; (3) 
Diskriminasi, ODGJ tidak mendapatkan perhatian, baik dari sudut keluarga, 
warga, dan bahkan pemerintah. Hal ini disampaikan informan sebagai 
berikut: 
“Dukungan keluarga ODGJ memang cukup berpengaruh dalam 
mempengaruhi kesembuhan pasien ODGJ, banyak mitos warga 
bahwa ODGJ itu susuah sembuh, bisa juga sebab kutukan ayau guna-
guna.  ODGJ juga kadang rendah oleh warga, dan keluarganya 
merasa malu atas anggota keluarganya yang menjadi ODGJ. Kurangnya 
kesadaran warga ini terhadap perhatian ODGJ menjadikan pasien 
ODGJ terus menjadi permasalahan di warga, sebab kerap 
mengganggu ketertiban umum di warga.” 
Berdasarkan pernyataan di atas diketahui bahwa, paradigma berpikir 
warga dan keluarga ODGJ masih memandang ODGJ merupakan aib yang 
harus ditutupi. Tidak akan pernah berhasil usaha apapun untuk penanggulangan 
ODGJ bila tantangan ini masih belum bisa dirubah sampai pengetahuan, 
sikap dan bahkan perilaku warga berpihak pada usaha penanganan yang 
positif dan bergerak bersama peduli terhadap ODGJ. 
Beberapa kondisi yang menjadikan program pelayanan kesehatan jiwa di 
fasilitas kesehatan dasar atau klinik setingkat puskesmas serta program bebas pasung. Tidak 
terlepas dari beberapa faktor berikut; (1) Pelayanan yang tidak memadai; (2) 
Tidak ada kesinambungan antara rumah sakit dan warga; (3) Sikap negatif 
terhadap gangguan jiwa; (4) Tidak ada dukungan keluarga; (5) Tidak ada atau 
kurangnya dukungan dalam kebijakan, rencana pelayanan, dan pendanaan; (6) 
Lemahnya kerjasama intersektoral. Keenam faktor ini menjadi kendala yang 
harus segera ditengahi dengan penguatan model dan program yang sudah ada. 
Kondisi saat ini kesenjangan pengobatan besar, dengan adanya 
keterlambatan dalam pengenalan masalah kesehatan jiwa, keterlambatan dalam 
membawa orang dengan masalah kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya 

 
kasus pemasungan. Sementara, sumber daya layanan kesehatan jiwa masih 
terbatas. Pemasungan pada ODGJ merupakan salah satu dampak ekstrim dari 
kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Penyebab kesenjangan 
pengobatan diantaranya: kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat 
pengetahuan warga terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap 
kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas, 
serta faktor ekonomi, sosial dan budaya. 
Sebuah studi yang menelaah faktor yang paling dominan terhadap 
pemasungan ODGJ di negeri ini adalah status ekonomi rumah tangga yang rendah 
yang lebih banyak memiliki masalah ketidaktahuan adanya fasilitas kesehatan 
serta hampir setengahnya tinggal di pedesaan (Idaiani, 2015). Hal ini juga 
sangat jelas terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang  dengan beberapa peta pedesaan dan jauhnya 
jangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. 
Hasil analisis lanjut Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukan bahwa semakin 
tinggi disabilitas dan semakin kurang baik gaya hidup maka semakin berat 
gangguan mental emosional yang dialami (Wardhani, 2016). Sehingga perlakuan 
keluarga dan warga terhadap disabilitas dan gaya hidup yang baik akan 
sangat membantu kesehatan mental dan emosional  secara umum.  
Keluarga dan warga juga diharapkan memiliki expressed emotion 
yang baik kepada ODGJ. Meskipun penelitian tentang hubungan expressed 
emotion dengan kekambuhan gangguan jiwa mendapatkan hasil yang tidak 
konsisten, tetapi dianggap sebagai faktor yang ikut mempengaruhi perjalanan 
penyakit pada ODGJ 
 
4.3.2 Kendala Regulasi ODGJ dan Urgensi Penanganannya 
Regulasi untuk penanganan ODGJ bila dirilis dari interes pemerintah 
melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik negeri ini No. 220 tahun 2002 
tentang Pedoman umum tim Pembina, tim pengarah, tim pelaksana kesehatan jiwa 
warga (TP-KJM). Sudah mengatur dengan baik usaha kesehatan jiwa 
diwarga. Namun realisai pada pemerintah daerah belum dilakukan dengan 
baik, hal ini terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 

 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  belum memiliki payung hukum selain Undang-undang 
Nomor 18 Tahun 2014. Sampai saat ini Provinsi benteng kota hutan terlarang  baru memiliki Keputusan 
Gubernur melalui SK Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 Tentang Pembentukan 
Tim Pengarah Kesehatan Jiwa warga Tingkat Provinsi benteng kota hutan terlarang . Belum 
adanya kebijakan khusus terkait penanganan ODGJ mengakibatkan gerakan atau 
tindakan bersama dalam penanganan ODGJ belum berjalan sebagai suatu program 
yang terencana dengan komprehensif, hal ini disebabkan tidak masuknya 
penanganan ODGJ kedalam program strategis Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
 
“Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang  sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang 
TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi 
pada pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada usaha 
penanganan yang lain Dinkes benteng kota hutan terlarang  sudah berusaha melalui pengiriman 
diklat penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan paramedis perwakilan 
kabupaten/kota se Provinsi benteng kota hutan terlarang .” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan 
Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017). 
Berdasarkan ungkapan di atas, dapat dikertahui bahwa Pemerintah 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  sudah melakukaan usaha regulasi dengan dikeluarkannya 
Keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada 
tahun 2016. Namun dalam pelaksanaanya belum berjalan dengan baik. Dinkes 
benteng kota hutan terlarang  sudah berusaha melalui pengiriman diklat penanganan ODGJ untuk 
tenaga dokter dan paramedis perwakilan Kabupaten/Kota se Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
Namun SDM tenaga kesehatan untuk menangani ODGJ masih banyak 
kekuarangan. 
Kondisi yang terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang  pelayanan kesehatan ODGJ masih 
disatukan dengan  layanan umum kesehatan lainnya, sehingga ini menjadi salah 
satu kendala dalam menangani ODGJ: 
 
“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit klinik setingkat puskesmas yang 
melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk 
penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ 
memang masih rendah” 
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kendala 
pemerintah dalam penanganan ODGJ masih belum tersedianya layanan khusus 
pasien ODGJ, khusunya Rumah Sakit Jiwa di benteng kota hutan terlarang . Pelaksanaan penanganan 
ODGJ dari segi fasilitas, rumah sakit maupun klinik setingkat puskesmas di Provinsi benteng kota hutan terlarang  saat 
ini baru dapat melaksanakan Peraturan Menteri Kesehatan tentang pelayanan 
kesehatan dasar. Untuk pelayanan kesehatan Jiwa masih bergabung dalam 
pelayanan kesehatan umum, adapun acuan ini untuk penyediaan jumlah 
tempat tidur di Rumah Sakit tipe C. Menurut pandangan medis, cukup beresiko 
apabila penanganan ODGJ bergabung dengan kesehatan umum, sebab ODGJ 
pada akhirnya tidak mendapatkan pelayanan rawat inap di Rumah Sakit. 
 
4.3.3 Kecukupan Anggaran dalam Menangani ODGJ 
Tidak masuknya kesehatan jiwa dalam prioritas perencanaan strategis 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  memicu tidak memadainya alokasi anggaran untuk 
melaksanakan program penanganan ODGJ. Hal ini berkaitan dengan 
penganggaran di Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , penanganan ODGJ masih 
bersumber dari dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga.  
Kondisi ini disampaikan informan Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
 
“Sampai saat ini tidak ada alokasi anggaran untuk penanganan ODGJ, 
kecuali dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga. 
Alokasi anggaran Dekonsentrasi dari Kemensos juga untuk penanganan 
ODGJ tahun 2016 hanya diberikan untuk 8 orang penderita ODGJ (per 
orang Rp. 500.000), padahal penderita ODGJ di benteng kota hutan terlarang  sangat tinggi.” 
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa Secara kecukupan 
anggaran Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang , hingga saat ini tidak memberikan alokasi 
anggaran untuk penanganan ODGJ, kecuali dana hibah yang diajukan oleh panti 
rehabilitasi warga. Diketahui adanya alokasi anggaran Dekonsentrasi dari 
Kemensos juga untuk penanganan ODGJ pada tahun 2016 diberikan diberikan 
hanya untuk 8 orang penderita ODGJ (per orang Rp. 500.000). Sementara, kondisi 
penderita ODGJ di benteng kota hutan terlarang  cukup tinggi dan mengancam menjadi bencana daerah. 

 
Kondisi yang sama disamapikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang , 
bahwa permasalahan anggaran yang belum diprioritaskan oleh pemerintah 
terhadap penanganan ODGJ menjadi kendala finansial yang belum teratasi, 
sehingga menghambat penanganan secara masif, berikut kutipan wawancara 
Informan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
 
“Alokasi anggaran sampai saat ini hanya 1% dari anggaran Dinas 
Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang …” 
Dinas Kesehatan memiliki anggaran dalam slot anggaran daerah untuk 
kesehatan jiwa, namun besarannya pun dirasa masih sangat rendah, yakni hanya 
1% dari anggaran Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang . Sehingga pencapaian 
cakupan pelayanan kesehatan jiwa masih sangat kecil. 

 
4.3.4 Koordinasi Pemerintah dalam Menangani ODGJ 
Permasalahan penanganan ODGJ juga berkait dengan permasalahan 
manajerial pemerintahan, dalam hal ini terkait koordinasi antar instansi. Sampai 
saat ini penanganan ODGJ masih bersifat sendiri-sendiri, belum terintegrasi 
sebagaimana penanganan ODGJ berbasis warga, terkadang terjadi benturan 
domain antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Sosial. Namun menurut pengakuan 
pihak Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , mereka akan menyerahkan kepada Dinas 

 
Kesehatan apabila ada ODGJ yang perlu ditangani secara medis. Serta sebaliknya 
bagaimana setelah tertangani, kemana ODGJ ini akan dikembalikan, masih 
menjadi tanda tanya besar. 
Panti rehabilitasi warga yang bekerjasama/binaan Dinsos ada 
lima yayasan, yakni banil jawil  dani soematri topatieuwi wini wibi bitidi 
Kabupaten kotalama , Nururrohman di kurasawaKota kotalama  dan Pondok 
Pesantren allarmandi Tigaraksa Kabupaten teluk berangkas. Semuanya 
belum bisa menjawab bagaimana ODGJ bisa kembali ke warga. 
 
“Sampai saat ini panti rehabilitasi warga yang bekerjasama/binaan 
Dinsos ada 5 yayasan, yakni banil jawil  dani soematri topati
euwi wini wibi bitidi Kabupaten kotalama , Nururrohman di kurasawa
Kota kotalama  dan panukewonan allarmandi Tigaraksa Kab. 
teluk berangkas” 
 
Koordinasi sejauh ini terbangun hanya sesekali dilakukan antara Dinas 
Sosial dan Dinas Kesehatan, namun belum ada pembahasan yang menyeluruh dan 
intens memecahkan penanganan fenomena ODGJ di benteng kota hutan terlarang , berikut kutipan 
wawancara informan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
 
“Dinas kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan 
Jiwa) ada 20 Orang anggota (1 orang wilayah kotalama  dan sekitarnya, 
sisanya di wailayah teluk berangkas Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di 
demak bintoro dan bukan di benteng kota hutan terlarang . Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader 
Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar warga dapat berpartisipasi 
secara langsung. Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan milik pak 
ismail waringin Kurung dan yayasan euwi wini wibi bitidi karangmojopahit 
Kabupaten kotalama .” 
Belum optimalnya penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  membuat akses 
warga pun menjadi sulit dalam menggapai pelayanan kesehatan jiwa, namun 
Dinas Kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa) 
ada 20 Orang anggota (1 orang wilayah kotalama  dan sekitarnya, sisanya di 
wilayah teluk berangkas Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di demak bintoro/Bukan di 
benteng kota hutan terlarang . Hal ini juga menjadi masalah tersendiri, sebab orientasi pelayanan 

 
kesehatan jiwa bagi warga benteng kota hutan terlarang  menjadi terhambat, sebab minim tenaga 
kesehatan jiwa berkompetensi untuk lingkup kerja Provinsi benteng kota hutan terlarang . Koordinasi 
penganan ODGJ yang dilakukan antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota 
belum terjalin dengan baik. 
 
“Belum ada komunikasi secara aktif antar lembaga/dinas di Kota kotalama  
untuk menangani ODGJ 
 
Untuk melakukan usaha penanganan ODGJ dengan minimnya tenaga 
kesehatan yang dimiliki,  Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader Kesehatan Jiwa 
yang sudah dilatih agar warga dapat berpartisipasi secara langsung, begitu 
juga untuk pembinaan, Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan (Ada satu LSM 
di Kecamatan Waringin Kurung dan Yayasan euwi wini wibi bitidi Kecamatan 
karangmojopahit Kabupaten kotalama ). 
 
4.3.5 Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Jiwa 
Minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit menjadi masalah 
tersendiri, sebab sebetulnya dalam penanganan ODGJ ini perlu tempat yang 
khusus yang tidak bersatu dengan pelayanan kesehatan umum. Sejauh ini, tidak 
adanya rumah sakit jiwa di benteng kota hutan terlarang , pelayanan kesehatan jiwa dilakukan oleh 
rumah sakit daerah. Tentu pelayan yang diberikan juga tidak memiliki 
optimalisasi yang cukup, sebab kendala fasilitas ini berkaitan dengan 
ketersediaan tenaga kesehatan. Untuk wilayah kotalama , tasikmalasia, mandalakrida, 
teluk terigu hanya ditangani oleh satu dokter spesialis kesehatan jiwa atau 
psikiater sebagai konsultan, yang pada akhirnya penanganan-penanganan ODGJ 
di tingkat klinik setingkat puskesmas sampai saat ini belum optimal dan menyeluruh. 
 
“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit klinik setingkat puskesmas yang 
melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk 
penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ 
memang masih rendah” 
ada lima yayasan yang bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  juga ternyata tidak secara khusus menangani ODGJ, tetapi bergabung 
dengan layanan rehabilitasi NAPZA, sehingga sampai saat ini tidak ada 
penanganan secara khusus untuk ODGJ. 
 
 

 
Menurut data Direktorat Bina Kesehatan Jiwa direktorat kesehatan (2015) bahwa 
di negeri ini ada 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) milik Pemerintah dan 15 RSJ 
milik swasta serta 1 RSKO yang tersebar di 27 Provinsi dari 34 keseluruhan 
Provinsi di negeri ini. Ada 8 provinsi yang tidak memiliki RSJ, dinataranya 
Kepulauan riak, benteng kota hutan terlarang , muarakaman, benteng Utara, kepulauan , tegal Barat, 
karahiyangan dan morombembe Barat. Kemudian 3 Provinsi tidak memiliki psikiater yaitu 
Kepulauan riak, karahiyangan Utara dan morombembe. Dari gambaran ini, dengan 
kondisi darurat penanganan ODGJ di benteng kota hutan terlarang , perlu segera membuat fasilitas 
pelayanan kesehatan jiwa untuk pasien ODGJ, salah satu fasilitas ini dengan 
dibangunnya RSJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
 
 
 

 
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa fasilitas kesehatan untuk 
layanan pasien ODGJ tidak mesti dilakukan di RSJ, namun layanan kesehatan 
ODGJ bisa dilakukan secara dekat di puskemas yang tersebar di warga. 
diketahui bahwa ada 70 klinik setingkat puskesmas yang sudah memberikan layanan kesehatan 
jiwa dari 235 klinik setingkat puskesmas yang tersebar di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
 
 
Model Penanganan ODGJ Yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah 
Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang  memandang perlu adanya prioritas anggaran 
untuk penanganan ODGJ, pendampingan psikiatri bagi ODGJ, dan model 
penanganan ODGJ berbasis warga, sebab ODGJ akan lebih mudah terbantu 
jika berada dalam lingkungan warga dan tidak boleh ada lagi pemasungan, 
sebab dengan dilakukan pemasungan akan membebani psikologi ODGJ. Berikut 
wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
 
“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis 
dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga ada 
penanganan khusus juga secara medis.” 
ODGJ merupakan masalah lintas sektor dan lintas program. Integrasi 
program dalam penanganan ODGJ perlu dilakukan, sebab permasalahan yang 
kompleks harus ditangani bersama-sama. Belum optimalnya pelayanan kesehatan 
jiwa disebabkan selama ini belum dianggap menjadi masalah bersama. 
 
“Harus ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos dan Dinkes dalam 
pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, sebab selama ini 
berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes 
membawahi klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga 
menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain.” 
“ODGJ merupakan masalah lintas sektor dan lintas program, yaitu Dinas 
Kesehatan, Dinas Sosial, Babinsa, Kepolisian dan Kanwil Kumham… 
Dinas Kesehatan kedepan menginginkan penanganan ODGJ dilakukan 
dengan berbasis warga untuk mendukung program bebas pasung, 
ditambah masalah ini juga bukan hanya masalah Dinas Kesehatan, tetapi 
antar lini/sektor. Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang 
sudah dilatih.” 
Dinas Kesehatan menginginkan adanya penanganan ODGJ dilakukan 
dengan berbasis warga untuk mendukung program bebas pasung, ditambah 
masalah ini juga bukan hanya masalah Dinas Kesehatan, tetapi antar lini/sektor. 
Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang sudah dilatih. Dinas 
kesehatan sebagai ujung tombak penerus kebijakan dari kemenkes tentunya sesuai 
harapan kemenkes bisa melaksanakan kebijakan nasional terkait penanganan 
ODGJ. 
 
Dikembangkan warga dan 
Dukungan Fasilitasi Pemerintah 
Untuk melakukan penanganan ODGJ juga penting memfasilitasi Psikiater 
dalam pendampingan dan bantuan tenaga kesehatan, sehingga dalam Panti 
Rehabilitasi warga ada penangan khusus juga secara medis untuk ODGJ. 
Selain  hal ini juga perlu ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos 
dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, sebab 
selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan 
Dinkes membawahi klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga 
menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain. 
 
“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis 
dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga ada penangan 
khusus juga secara medis… Harus ada penanganan secara kolaboratif 
antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti 
Rehabilitasi, sebab selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos 
membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi klinik setingkat puskesmas-
klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program bersama dan 
terintegrasi satu sama lain.” 
Berdasarkan penyataan ini diketahui  bahwa, Pemerintah Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  dalam menanganai ODGJ pelu memfasilitasi Psikiater untuk 
pendampingan dan bantuan tenaga medis dalam ODGJ. Sehingga dalam Panti 
rehabilitasi warga nantinya ada penangan khusus baik secara terapi yang 
dilakukan di Panti sosial maupun juga secara medis yang dilakukan oleh Dinas 
Kesehatan maupun Puskemas setempat. Perlunya penanganan secara kolaboratif 
antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti 
Rehabilitasi, hal ini disebabkan intansi ini dirasaakan berjalan berjalan 
sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi 
klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program 
bersama dan terintegrasi satu sama lain. Artinya koodinasi perlu ditingkatkan 
kembali dengan semua stakeholders baik pemerintah maupun warga. 
harapan yang sama jug adisampikan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang :  
“Perlu ada kerjasama berbagai lini agar penderita ODGJ dapat tertangani 
dengan baik, contoh paling baik yang ada di karangmojopahit, sebab ada 
komunikasi yang aktif antara yayasan dengan klinik setingkat puskesmas serta didukung 
oleh kepala desa… Kedepan permasalahan ODGJ harus di prioritaskan.” 
Kerjasama berbagai lini untuk penanganan ODGJ penting agar ODGJ 
dapat tertangani dengan baik, contoh kasus paling baik saat ini ada di 
karangmojopahit, sebab adanya komunikasi yang aktif antara yayasan dengan klinik setingkat puskesmas 
serta didukung oleh kepala desa. Saat ini Dinas Kesehatan melakukan fasilitasi 
baru dalam usaha peningkatan kapasitas SDM melalui bimbingan pelatihan  kader-kader 
Kesehatan Jiwa, ada juga dana Dekonsentrasi untuk bimbingan pelatihan  ini, 
namun jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan yang ditangani. Sehingga 
permasalahan ODGJ kedepan harus menjadi salah satu yang diprioritaskan.  
Sampai saat ini belum ada sistem rujukan kesehatan jiwa yang benar-benar 
terintegrasi dengan baik, sebab memang sampai saat ini tidak menjadi prioritas 
baik dari segi anggaran maupun program. Sehingga kedepan perlu ada penguatan 
sumberdaya, baik alokasi anggaran, program dan tenaga kesehatan yang memadai. 
Kondisi yang masih bertahan menurut partisipan adalah kerjasama 
beberapa dinas kesehatan kabupaten/kota dengan Rumah Sakit Jiwa dr. bre 
syam kamarusyaman demak bintoro Barat. Yaitu dengan menyiapkan minimal 3 ODGJ, selanjutnya 
on call ke pihak rumah sakit yang nanti akan dijemput dengan mobil psikiatrik 
dari rumah sakit ini. Selanjutnya ODGJ diobati dalam perawatan rumah sakit 
dan akan dirujuk pulang kembali kepada keluarga di bawah evaluasi dari 
klinik setingkat puskesmas. Namun program ini masih terkendala dengan kondisi besarnya 
anggaran mobilisasi yang cukup jauh ke demak bintoro, sehingga belum bisa menyeluruh 
pada cakupan Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
Ketersediaan rumah sakit jiwa di Provinsi benteng kota hutan terlarang , bila merujuk kepada 
pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif tentunya sangat 
diperlukan, dilihat dari aspek kuratif dan rehabilitatif. Terutama berkaitan dengan 
jangkauan wilayah yang sangat luas. Rumah sakit jiwa dalam proses 
pengadaannya seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1) 
Membutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya lain yang besar; (2) 
Kualitas pelayanan bervariasi, jangan sampai hanya seringkali berfungsi sebagai 
tempat pengasingan sehingga hasilnya tidak memuaskan; (3) Berkaitan dengan 
stigma dan pelanggaran HAM; (4) Dibanyak daerah sulit diakses sebab letaknya 
jauh; (5) Berbiaya biaya tingg tetapi jenis pelayanan terbatas; (6) Bukan merupakan pos 
pendapatan asli daerah (PAD). Keenam hal ini harus menjadi dasar 
pertimbangan penting dalam usaha penyediaan pembangunan rumah sakit jiwa di 
Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
Pengembangan fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa ini tentunya 
merupakan hal penting dalam strategi menurunkan kesenjangan pengobatan. 
Dimana ada tiga strategi dalam menurunkan kesenjangan pengobatan bagi ODGJ 
berdasarkan survei yang dilakukan pada WPA di 60 negara (2010); (1) 
Meningkatkan jumlah psikiater dan professional kesehatan jiwa lainnya; (2) 
Meningkatkan keterlibatan penyedia layanan kesehatan jiwa non-spesialis yang 
terlatih dengan baik; (3) Keterlibatan aktif orang yang terkena dampak gangguan 
jiwa secara langsung (ODGJ, ODMK, dan keluarga). Sebagaimana diketahui 
bahwa kesenjangan pengobatan ini yang memacu terjadinya pemasungan pada 
ODGJ. 
 
Penanganan ODGJ memiliki masalah klasik dalam sumber daya 
manusianya. Minimnya tenaga kesehatan dan kader terkait penanganan ODGJ, 
serta tidak optimalnya penanganan yang ada membuat permasalahan kesehatan 
jiwa tidak terstruktur. 
 
“Sampai saat ini belum ada SDM secara khusus yang tersedia untuk 
penanganan ODGJ.” 
“Masih minim tenaga medis dan kader terkait masalah ini masih 
rendah/belum ideal, untuk daerah kotalama  saja baru ada 1 orang spesialis 
kesehatan jiwa yaitu dr. Anis Trianis. Mengacu ke indeks apotik 
Kemenkes 20% klinik setingkat puskesmas yang sudah pernah dilatih membuka layanan 
kesehatan jiwa dan Rumah sakit harus membuka poli kesehatan jiwa. 
Dinas Kesehatan memiliki Kader Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar 
warga dapat berpartisipasi secara langsung”. 
 
“Belum memadai. Sampai saat ini di Kota kotalama  baru ada 1 orang dokter 
kesehatan jiwa”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota kotalama ).  
 
“Petugas penanganan ODGJ di klinik setingkat puskesmas kepatihan hanya 1 perawat dan 
1 dokter saja namun Keterlibatan tokoh warga sangat membantu 
mulai dari babinsa, polsek dan tokoh warga itu sendiri.“
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa, untuk daerah 
Kabupaten kotalama  dengan perluasan cakupan sampai wilayah benteng kota hutan terlarang  Utara, 
Selatan, dan Barat, hanya ada satu orang psikiater. Sementara menurut 
Informan bahwa sebenarnya ada 20 psikiater di sekitar Provinsi benteng kota hutan terlarang  yang 
tergabung dalam sebuah forum, memang benar adanya bahwa hanya satu orang 
psikiater yang aktif dalam program penanganan ODGJ ini untuk wilayah benteng kota hutan terlarang  
Utara, Selatan, sampai Barat. Sedangkan yang lainnya terblok berdomisili di 
teluk berangkas dan berfokus tugas di wilayah demak bintoro. Hal ini menjadi 
ketimpangan tersendiri dalam pemerataan beban kerja sumber daya manusia di 
wilayah Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
 Mengacu ke indeks apotik Kemenkes, 20% klinik setingkat puskesmas yang sudah pernah 
dilatih membuka layanan kesehatan jiwa dan Rumah sakit membuka poli 
kesehatan jiwa. Hanya kendala pada komitemen tenaga kesehatan jiwa ini bisa 
dibagi ke dalam tiga kategori yang meliputi: (1) Resistensi, dimana tenaga 
kesehatan ini pada akhirnya resisten terhadap program kesehatan jiwa; (2) 
Ignore, tenaga kesehatan mengabaikan begitu saja masalah pelayanan kesehatan 
jiwa; (3) Menerima, hal ini menjadi kelangkaan tersendiri untuk tenaga kesehatan 
jiwa. Diakui seorang partisipan dalam posisi psikiater bahwa wilayah psikiater 
merupakan salah satu bagian profesi kedokteran yang paling kurang menjanjikan. 
Posisi tenaga kesehatan jiwa yang diakui partisipan dari kalangan dokter umum 
dan perawat, yang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik tiada lain 
adalah sebab merasakan sebagai bagian dari panggilan jiwa dan rasa 
kemanusiaan yang mendalam serta keyakinan bahwa gangguan jiwa bisa 
disembuhkan. 

 
Pemilihan sumber daya manusia sebagai tenaga kesehatan jiwa seharusnya 
melalui suatu komitmen yang tegas untuk bisa menerima marwah tugas 
kemanusiaan. Paket bimbingan pelatihan  tenaga kesehatan jiwa yang sudah dikembangkan 
oleh Kemenkes melalui Dinas Kesehatan Provinsi tentunya harus mampu 
meretensi tenaga ini di suatu wilayah sampai pencapaian keberhasilan 
program bisa diukur atau dievaluasi. 
 
4.4.5 Sistem Informasi dan Evaluasi Penanganan ODGJ 
Pentingnya pengelolaan informasi dan pengelolaan untuk menangani 
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Evaluasi penanganan ODGJ, setiap bulan Dinas 
Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  menerima laporan dari klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas dan 
rumah sakit yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa. Berbeda dengan dinas 
kesehatan, tindaklanjut penanganan ODGJ yang dilakukan oleh Dinas Sosial 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  sampai saat ini hanya sekedar penanganan pada ODGJ 
ketelantaran. Kemudian dari kedua instansi ini melakukan evaluasi dan 
tindak lanjut dengan cara jemput bola/diminta secara langsung pada klinik setingkat puskesmas 
dan panti rehabilitasi warga. 
 
“Setiap bulan ada laporan secara berkala tindaklanjut penanganan ODGJ 
oleh Dinas Sosial sampai.” 
“Sampai saat ini dilakukan dengan jemput bola/diminta secara langsung”. 
 
“Pencatatan selalu dilakukan setiap tahun sekali, diinventarisir melalui 
panti rehabilitasi.” 
 
“Selalu ada pencatatan berkala yang dilakukan setiap terjadi kasus di 
setiap klinik setingkat puskesmas dan dilaporkan ke Dinkes Kota kotalama  setiap bulan.” 

Berdasarkan ungkapan informan di atas, dapat diketahui sistem informasi 
dan evaluasi data ODGJ yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani ODGJ 
masih terbatas secara manual. Belum ada sistem informasi secara terintegrasi. 
Sehingga informasi ODGJ masih sangat sulit dideteksi dan ditangai untuk dikelola 
oleh pemerintah. Dalam hal evaluasi pentingnya adanya konsistensi supervisi, 
monitoring, dan evaluasi dari Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  terhadap 
pelaksanaan program kesehatan jiwa sudah memberikan makna keberhasilan yang 
baik. Seharusnya kegiatan ini di terus menjamin keberlangsungan dan 
keberhasilan program pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas. 

Mengacu kepada prioritas utama kesehatan jiwa meliputi: meningkatkan 
status kesehatan jiwa warga, meningkatkan sumberdaya kesehatan jiwa, 
menggunakan sumber daya lebih efektif untuk memperkuat pelayanan berbasis 
warga, serta melindungi HAM setiap ODGJ. Program pelayanan kesehatan 
jiwa dengan dua pemangku kebijakan antara Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial 
diharapkan dapat bersinergi untuk melaksanakan program pelayanan kesehatan 
jiwa, terutama terkait dengan penanggulangan ODGJ. 
Alternatif bentuk model penanganan ODGJ yang dimaksud untuk di 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  bila merujuk kepada kebijakan tentang pelayanan kesehatan jiwa 
warga yang sudah dirilis oleh kemenkes tentunya adalah bagaimana 
pengembangan dari model kebijakan ini yang bisa berupa penguatan 
kebijakan melalui regulasi, kebijakan, dan perencanaan, pendanaan, kemitraan 
dan pemberdayaan setiap pemangku kepentingan, system layanan kesehatan jiwa, 
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan sistem informasi dan evaluasi. 
Sejauhmana kesiapan beberapa hal ini tentunya akan sangat mendasar 
menjadi indikator kesiapan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa 
terpenting dalam penanggulangan ODGJ. 
Penanggulangan ODGJ yang memiliki keluarga mengikuti alur rujukan 
dari fasilitas pelayanan dasar (klinik setingkat puskesmas) untuk program kuratif sampai program 
rehabilitasi berbasis warga. Penanggulangan ODGJ dengan keluarga ini 
harus dikuatkan ketahanan keluarga dan pendidikan kesehatan untuk warga. 
 
bahwa fokus alur 
penanggulangan ODGJ dalam usaha kuratif dengan tujuan penyembuhan dan 
pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas, dan pengendalian 
gejala penyakit. Sampai usaha rehabilitatif dengan tujuan mencegah dan 
mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi 
okupasional, serta mempersiapkan dan memberikan kemampuan agar mandiri di 
warga. Ada dua alternatif tempat perawatan kritis untuk kuratif yaitu di 
Rumah Sakit Jiwa atau di klinik setingkat puskesmas. Maka demikian sejauhmana kesiapan 
pemerintah daerah untuk pengadaan Rumah Sakit Jiwa. Atau penguatan fungsi 
Rumah Sakit Umum dan klinik setingkat puskesmas untuk area kuratif ini, terlebih 
selanjutnya untuk rehabilitatif. Ada dua alternatif terkait proses rehabilitatif bila 
intervensi kritis dilakukan di rumah sakit jiwa, maka struktur rumah sakit jiwa 
seharusnya mampu mengadakan lahan rehabilitasi ODGJ. Tetapi bila tidak 
sanggup akan kembali kepada rehabilitasi berbasis warga, sehingga fungsi 
Rumah Sakit Jiwa bisa dipertajam dengan fungsi klinik setingkat puskesmas. 

 
ODGJ yang terlantar atau dalam terminologi dinas sosial dengan sebutan 
ODGJ keterlantaran dalam penanganan kuratif masih belum mendapat kejelasan 
dinas mana yang paling berwenang dan bertanggungjawab. Penanganannya 
memerlukan penjelasan regulasi teknis yang tepat ditingkat pemerintahan daerah. 
Sehingga irisan yang jelas terkait kewenangan antara Dinas Kesehatan dan Dinas 
Sosial bisa lebih tegas mana yang kewenangan mandiri masing-masing dan mana  
kolaborasi yang diperlukan diantara keduanya. 
Rehabilitasi ODGJ masih berada di area abu-abu antara Dinas Sosial 
dengan Dinas Kesehatan, sebab beberapa penafsiran terkait kewenangan 
rehabilitasi sosial menurut Perkemensos Nomor 8 Tahun 2012 dan Nomor 22 
Tahun 2014 terkait ODGJ yang telah sembuh atau belum. Ada dua pendapat 
dimana yang direhabilitasi oleh dinas sosial adalah eks psikotis atau ODGJ yang 
sudah sembuh, sedangkan dalam perjalanan penyakitnya ODGJ memerlukan 
waktu pengobatan yang cukup panjang dalam proses penyembuhannya. Sehingga 
diperlukan peninjauan peraturan ini untuk turunannya yang akan ditetapkan 
oleh pemerintah daerah sebagai regulasi yang tepat terkait teknis rehabilitasi. 
 
 betapa pentingnya usaha rehabilitasi pada 
ODGJ. Seberat apapun kondisi ODGJ, mereka memiliki keinginan untuk tetap 
berkreasi dan produktif walaupun dalam keterbatasan minimal. usaha rehabilitasi 
untuk ODGJ masih sangat buruk, sebab kondisi perjalanan penyakit gangguan 
jiwa memiliki masa pemulihan yang cukup lama. 
Program promotif dan preventif dilakukan terintegrasi pada program 
klinik setingkat puskesmas yang langsung menyasar ke warga secara umum. Sebagaimana 
disampaikan beberapa informan: 
 “Kegiatan promotif dan preventif kesehatan jiwa dilakukan dengan 
dimasukan kedalam kegiatan posyandu maupun kegiatan insidental lain 
diwarga. Tetapi belum terstruktur dan terprogram dengan baik”. 
(Wawancara Dinas Kesehatan Kota kotalama ).  
 
“Kegiatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan jiwa kepada keluarga 
dan warga melalui kegiatan posyandu atau pertemuan rutin, tetapi 
beberapa kendala kepahaman dan ketertarikan warga terhadap 
kesehatan jiwa belum dianggap lebih penting dibandingkan kesehatan 
fisik”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota kotalama ).  
 
“Kegiatan promotif dan preventif dilaksanakan dengan memasukan ke 
dalam kegiatan posyandu maupun kegiatan penjaringan kesehatan ke 
sekolah-sekolah. Tetapi tema secara khusus terkait kesehatan jiwa belum 
terprogram dengan baik.“ (Wawancara Informan Puskemas kepatihan, 
Kota mandalakrida, 2017). 
 
Sesuai gambaran data hasil penelitian ini di atas. Selayaknya program 
promotif dan preventif belum memiliki struktur program yang rutin dilakukan 
sebab kegiatan yang akan sangat bervariatif di posyandu, posbindu, maupun 
sekolah atau komunitas khusus lain. Menjadikan kegiatan ini tidak akan 
fokus pada usaha kesehatan jiwa secara utuh. Sehingga evaluasi ketercapaiannya 
juga akan sangat diragukan untuk kegiatan ini. 
Program promotif dan preventif yang bisa dilaksanakan seharusnya bisa 
seimbang dengan kuratif dan rehabilitatif. usaha promotif dengan tujuan 
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa secara optimal, 
menghilangkan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran HAM ODGJ, 
meningkatkan pemahaman dan peran serta warga terhadap kesehatan jiwa, 
meningkatkan peran serta warga terhadap kesehatan jiwa. Sebagai sasaran 
dari usaha promotif adalah keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, 
warga, fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan, dan 
lembaga kewargaan. Sedangkan usaha preventif bertujuan mencegah 
terjadinya masalah kesehatan jiwa, mencegah timbulnya kekambuhan, 
mengurangi faktor risiko gangguan jiwa pada warga secara umum atau 
perorangan, serta mencegah timbulnya dampak masalah psikososial. Sasaran 
usaha preventif terdiri dari keluarga, lembaga, dan warga. usaha promotif 
dan preventif merupakan investasi kesehatan. usaha ini bisa meliputi pendekatan 
siklus kehidupan serta pendekatan kelompok risiko. 
Layanan yang terbaik adalah berbasis komunitas atau warga, sebab 
memiliki beberapa keuntungan diantaranya: menyediakan layanan kesehatan 
jiwa di warga dalam lingkup yang luas, layanan bersifat lokal dan mudah 
diakses, memungkinkan kesinambungan layanan dan tatalaksana di rumah, 
tersedianya rehabilitasi sosial dan kebutuhan seseorang secara menyeluruh 
(dibandingkan sistem tertutup di rumah sakit jiwa), menggabungkan dukungan 
komunitas dan keluarga dalam sistem, menghindari efek yang mengganggu dan 
biaya biaya rumah sakit akibat layanan jangka panjang, menghasilkan keluaran 
tatalaksana yang lebih baik serta peningkatan kualitas hidup penderita gangguan 
jiwa kronis, dan penurunan stigma pada gangguan jiwa.  
Program berbasis warga yang dimaksudkan secara nomenklatur 
berdasarkan sudut pandang dari kesehatan dengan sosial cukup berbeda. 
Berdasarkan pandangan sosial dengan berkembangnya Lembaga Kesejahteraan 
Sosial (LKS), dengan bentuk nyata diwarga seperti panti rehabilitasi sosial. 
Itu sudah merupakan usaha penanganan berbasis warga. Sedangkan dari 
sudut pandang kesehatan berbasis warga yang dimaksud adalah bagaimana 
berkembangnya peran serta keluarga dan warga (tokoh agama, tokoh 
pemuda, tokoh pemerintahan, dll) satu paket dalam usaha penanganan masalah 
kesehatan. Secara umum di benteng kota hutan terlarang  program berbasis warga ini bila ditinjau 
dari kedua sudut pandang ini sebenarnya secara nyata sudah ada usaha dan 
wadah yang nyata. Tinggal bagaimana usaha koordinasi yang kuat untuk 
kerjasama dalam kesatuan tugas dan pandangan usaha penyelesaian masalah yang 
sama dalam pelaksanaannya. Kendala yang umum adalah pembagian tugas pokok 
dan regulasi yang mengaturnya yang sangat teknis untuk segera dilakukan. 
 

 
Berdasarkan gambar di atas usaha penanggulangan ODGJ berbasis 
warga tentunya memerlukan usaha sinergi dan sinkronisasi dari semua 
sektor yang seharusnya bisa difasilitasi pemerintah. Melalui leading sektornya 
dinas kesehatan dan dinas sosial tentunya bukan hal yang mustahil bisa 
diwujudkan oleh pemerintah daerah Provinsi benteng kota hutan terlarang  demi menjungjung tinggi 
nilai kemanusiaan melalui konsentrasi penanggulangan ODGJ. 

Berdasarkan hasil pembahasan di atas ada beberapa kesimpulan yang 
dapat disampaikan antara lain : 
1. Karakterisitik ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
a. Karakterisitik ODGJ di benteng kota hutan terlarang  Berdasarkan penyebabnya dipengaruhi oleh 
beberapa faktor yang kompleks, namun lebih banyak dilatarbelakangi oleh 
gangguan psikologis, sosiologis,  ekonomi,  dan kemiskinan. 
b. Berdasarkan Karakteristik perilaku kesehatan keluarga ODGJ dan 
warga sekitarnya cenderung memiliki pengetahuan yang rendah, sosial 
ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta memiliki tata nilai yang 
negatif terhadap ODGJ. 
c. Karakterisitik sebaran ODGJ jumlahnya terbanyak ada di Kota mandalakrida 
sebanyak 4881 jiwa dari total 5651 jiwa. Kemudian kasus pasung yang 
dilaporakan terbanyak ada di Kabupaten tasikmalasia dan Kabupaten teluk terigu 
sebanyak 27 kasus, Kabupaten kotalama  21 Kasus, Kota mandalakrida dan Kota 
kotalama  9 kasus, Kabupaten teluk berangkas 8 kasus, Kota teluk berangkas dan Kota 
Tangsel nihil dan diindikasikan belum teindentifikasi secara jelas bentuk 
kasus pemasungannya (Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017). 
d. Karakteristik keberadaan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  terdiri dari dua 
klasifikasi; pertama ODGJ yang masih ditangani dan hidup ditengah 
keluarganya dan kedua ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang 
keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus. 
2. Model Penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
a. Pemerintah Daerah dalam melakukan usaha penanganan ODGJ terutama 
program bebas pasung belum dilakukan secara menyeluruh dan 
komprehensif baik dari penanganan promotif, preventif sampai kuratif dan 
rehabilitatif. Kondisi ini disebabkan terbatasnya sumberdaya yang 
dimiliki, baik dari segi anggaran sebab belum dianggap proritas. Kemudian 

 
kurangnya layanan fasilitas kesehatan jiwa dan lemahnya kompetensi serta 
kuantitas tenaga kesehatannya. Sampai saat ini penanganan ODGJ masih 
bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik di RSU maupun di 
klinik setingkat puskesmas. usaha kegiatan baru sebatas melakukan sosialisasi, bimbingan pelatihan  
kepada tenaga kesehatan dan pemberian intensif obat pada ODGJ di tingkat 
puskemas. 
b. Penanganan ODGJ yang dilakukan warga di Provinsi benteng kota hutan terlarang  sampai 
saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga, membawa 
pasien ke klinik setingkat puskesmas/rumah sakit umum dan masih ada warga yang 
memilih melakukan pemasungan. Tidak adanya formulasi yang tepat untuk 
menghentikan pemasungan ODGJ oleh pemerintah. Kemudian, dan 
ditambah kurang sikap peduli warga pada keberadaan ODGJ 
memicu program bebas pasung tidak berjalan secara baik. 
Keterbatasan ekonomi dan biaya biaya pengobatan kuratif oleh keluarga ODGJ 
saat akan dirujuk ke klinik setingkat puskesmas, RSU, SRJ dan Panti Rehabilitasi milik 
swadaya warga. 
c. Penanganan ODGJ yang dilakukan oleh warga melalui Panti 
Rehabilitasi Lembaga Swadaya warga dengan model terapi dan 
pendekatan agama sudah banyak berkembang di benteng kota hutan terlarang . Akan tetapi 
keberadaan Panti Rehabilitasi masih terkendala oleh manajerial dan biaya biaya 
oprasional dalam mengurus ODGJ. Meski sudah mendapatkan bantuan dari 
pemerintah daerah berupa hibah namun sifatnya masih terbatas. Sehingga 
masih terbatas dalam menampung ODGJ yang akan di rehabilitasi. 
3. Kendala Penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang : 
a. Kendala prilaku warga dari keluarga ODGJ masih ada yang melakukan 
pemasungan pada ODGJ, dimana keberadaanya lebih banyak di wilayah 
pelosok. Kondisi ini masih terjadi sebab alasan kesenjangan dalam 
usaha pengobatan dan ODGJ dianggap dapat mengancam keselamatan 
orang di sekitarnya. Selain itu, pemahaman warga masih menganggap 
ODGJ merupakan aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga. Akses 
geografis menjangkau layanan kesehatan jiwa yang jauh dan kendala 

kemampuan ekonomi serta kemiskinan dari keluarga ODGJ yang juga 
lemah. 
b. Permasalahan ODGJ sudah menggangu ketertiban sosial dan menjadi 
ancaman bencana bagi kehidupan warga. Penanganan ODGJ di tingkat 
Kabupaten/Kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang  sampai saat ini masih terbatas pada 
sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap klinik setingkat puskesmas, memberikan 
bimbingan pelatihan  pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat yang terbatas. 
Regulasi yang ada di daerah baru sebatas SK Gubernur tentang TPKJM 
yang pelasanaannya belum berjalan baik. Artinya pemerintah daerah belum 
memiliki regulasi yang mengatur penanganan ODGJ secara menyeluruh, hal 
ini menghambat Pemerintah Daerah dalam melakukan kewenangan 
dalam berinovasi melakukan penanganan ODGJ. Khusunya ODGJ yang 
terlantar dan ada diindikasi musiman/kiriman dari luar daerah, di mana 
penanganan kuratifnya masih belum mendapat kejelasan steakholder yang 
berwenang dan bertanggungjawab dalam penanganannya. 
c. Kendala kecukupan anggaran dalam penanganan ODGJ oleh Pemerintah 
Daerah baik pada OPD Dinsos maupun Dinkes belum diprioritaskan dalam 
pos rencana penganggaran daerah, sebab hal ini belum dianggap 
prioritas. Sehingga kondisi ini menghambat kinerja pemerintah daerah 
dalam penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
d. Koordinasi lintas OPD dalam menangani ODGJ masih bersifat sendiri-
sendiri, belum terintegrasi dengan baik. Terjadi saling lempar lemparan kewenangan 
antara Dinkes dengan Dinsos dalam dalam penanganan ODGJ di lapangan, 
khusunya yang terlantar. 
e. Kendala ketersediaan fasilitas kesehatan jiwa baik di RSU maupun di 
tingkat klinik setingkat puskesmas belum memadai dengan baik. Hanya ada 70 klinik setingkat puskesmas 
dari 235 klinik setingkat puskesmas yang melaksanakan layanan kesehatan jiwa. Fasilitas 
obat-baatan di tingkat klinik setingkat puskesmas sering tidak lengkap dan terbatas, belum 
adanya RSJ sebagai layanan tersier bagi penderita ODGJ di Provinsi 
benteng kota hutan terlarang . 

Berdasarka