Rabu, 03 Mei 2023
gangguan jiwa 2
By tewasx.blogspot.com at Mei 03, 2023
gangguan jiwa 2
biaya biaya pengobatan adalah besarnya biaya biaya yang dikeluarkan oleh seseorang
untuk melakukan pengobatan penyakit yang dideritanya. Kemampuan seseorang
untuk mengeluarkan biaya biaya pengobatan berbeda–beda. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh kemampuan pendapatan ekonomi keluarga. Apabila keadaan ekonomi
keluarga berkecukupan, kemungkinan ia dapat mengeluarkan biaya biaya untuk
pengobatan penyakitnya dibandingkan dengan keadaan ekonomi keluarga yang
serba kekurangan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap
program pengobatan yang dijalani.
Efek samping adalah dampak dari obat-obatan yang tidak diinginkan. Efek
samping yang terjadi terus menerus dapat memicu kendala dalam
menjalankan kepatuhan terhadap terapi. Disamping itu, peninjauan sistemik
terhadap semua penelitian yang diterbitkan tentang kepatuhan di negara maju dan
berkembang menemukan adanya persamaan kendala pada kepatuhan yang sangat
jelas dan faktor pendukung kepatuhan yang baik di antara semua orang di seluruh
dunia. Adapun kendala - kendala ini antara lain yaitu lupa memakai obat atau
terlalu sibuk, takut statusnya terungkap, mengganggu kehidupan sehari - hari atau
jauh dari rumah, tidak memahami pengobatan, efek samping yang nyata dan
diduga depresi atau keputusasaan, penggunaan narkoba atau alkohol bersamaan,
dan tidak percaya dengan obat - obatan (Alcorn, 2007).
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menemukan
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2002). Keluarga
juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari
anggota keluarga yang sakit (Niven, 2002). Dukungan keluarga penting dalam
kepatuhan terhadap regimen terapeutik pada ODGJ, sebab tidak dapat dilepaskan
dalam standar tindakan keperawatan antara intervensi atau implementasi
keperawatan terhadap pasien dan keluarga.
Dukungan keluarga terhadap regimen terapeutik sampai pada tahap
kepatuhan akan secara umum menanggulangi beban keluarga merawat ODGJ.
Beberapa beban keluarga yang mempengaruhi regimen terapeutik selalu ada dan
dalam tingkatan yang berbeda-beda pada setiap keluarga pasien, tetapi dengan
46
46
dukungan keluarga yang optimal serta mencapai kepatuhan yang optimal juga
akan mereduksi beban keluarga ini.
47
47
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 OBYEK PENELITIAN
Penelitian akan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai model
penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Sehingga
dengan usaha penelitian ini, diharapkan dapat mendeskripsikan karakteristik
ODGJ, dapat mengetahui model penanganan, dan dapat mengetahui dan
menganalisis bentuk dan usaha yang harus dilakukan sebagai model penanganan
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Obyek penelitian dalam penelitiaan ini dibedakan berdasarkan karakterisitik
peran masing-masing stakeholders dalam melakukan penanganan ODGJ, yaitu:
(1) SKPD pelaksana kebijakan dari unsur pemerintah daerah dalam penanganan
ODGJ yaitu Dinas Kesahatan dan Dinas Sosial, (2) Unsur Rumah Sakit Umum
klinik setingkat puskesmas, Klinik dan Pengobatan Teraphy Tradisional yang melaksanakan
pelayanan kesehatan jiwa, (3) Unsur Kelompok warga atau lembaga
swadaya warga (NGo) yang menangani rehabilitasi ODGJ, dan (4) Unsur
Keluarga ODGJ) sebagai pihak yang mendapatkan layanan kesehatan dan
rehabilitasi gangguan jiwa baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh
warga.
Setelah peneliti memperoleh data dari lapangan, maka selanjutnya peneliti
mendiskusikannya kembali kepada informan berkaitan data yang telah diperoleh,
dan mengklarifikasi apakah data yang disajikan sesuai dengan interpretasi
peneliti. Selain diskusi sederhana dilakukan pula Forum Group Discusion (FGD)
yang dilakukan dengan duduk santai dan tetap sedikit formal, dengan membuka
percakapan berkaitan dengan data-data yang penulis peroleh dilapangan. Diskusi
ini dilakukan pula untuk menambah wawasan dan melengkapi data-data yang
dianggap masih kurang sempurna yang diperoleh di lapangan.
Kemudian menyempurnakan atau melengkapinya kembali. Penulis juga
berdiskusi dengan beberapa pakar yang lebih mengetahui sehubungan dengan
topik penelitian. Para pakar atau pengamat/pemerhati warga, baik para pakar
dari perguruan tinggi yang sesuai dengan spesialisasi bidang ilmunya dan juga
para peneliti terdahulu yang pernah meneliti tentang model penanganan Orang
dengan gangguan jiwa berbasis warga.
Panduan pertanyaan secara tertulis dibutuhkan pula peneliti agar pertanyaan
dapat terarah sesuai apa yang diharapkan, maka peneliti membuat secara garis
besar dalam bentuk poin pertanyaan yang dituangkan dalam lembaran kertas
secara terstruktur yang dirancang dan dibuat sendiri oleh peneliti. Penggunaan
point pertanyaan secara tertulis, penelitian ini hanya dijadikan sebagai panduan
pada saat wawancara terhadap informan. Panduan pertanyaan hanya sebatas alat
atau cara yang digunakan untuk memandu peneliti mengajukan pertanyaan kepada
setiap informan dengan berdasar pada setiap butir pertanyaan. Panduan
pertanyaan tidak diserahkan kepada informan mengingat sebagian informan tidak
bisa membaca dan memahami setiap point pertanyaan. Sehingga peneliti yang
mengarahkan dan mengembangkan setiap point pertanyaan berkaitan dengan data
yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian.
3.6 METODE ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini, data hasil wawancara dan pengamatan ditulis dalam
suatu catatan lapangan yang terinci, data dari catatan lapangan inilah yang
dianalisis secara kualitatif. Analisis data yaitu proses penyederhanaan data ke
dalam formula yang sederhana dan mudah dibaca serta mudah diinterpretasi,
maksudnya analisis data di sini tidak saja memberikan kemudahan interpretasi,
tetapi mampu memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati,
sehingga implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai
bahan simpulan akhir penelitian Analisa telah dimulai sejak pengumpulan data
dan dilakukan lebih intensif lagi setelah kembali dari lapangan. Seluruh data yang
tersedia di telaah dan direduksi kemudian diabstraksi sehingga terbentuk suatu
informasi. Satuan informasi inilah yang ditafsirkan dan diolah dalam bentuk hasil
penelitian hingga pada tahap kesimpulan.
yang dipandang memiliki karakteristik obyek penelitian berbeda. Karakteristik
penelitian dibedakan pada warga perdesaan dan wilayah perkotaan. Lokasi
pertama adalah yang menggambarakan karakteristik warga perkotaan
dilakukan di Kota mandalakrida dan Kota Tanggerang. Kedua adalah karakterisitik
yang menggambarakan warga perdesaan yaitu wilayah Kabupaten
teluk terigu dan Kabupaten kotalama .
Pertama, Kota mandalakrida merupakan kota yang menjadi pintu perlintasan
mobilitas penduduk antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Selain itu, Kota
mandalakrida merupakan wilayah industri yang padat serta banyak area wisata. Selain
itu, Kota mandalakrida memiliki kasus penderita ODGJ terbanyak yaitu 2923 jiwa
(Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017). Kedua, Kota Tanggerang Selatan (Tangsel). Kota
ini merupakan wilayah kota penyangga Ibukota Negara yaitu DKI demak bintoro. Kota
Tangsel ini dinilai mewakili fenomena karakterisitik wilayah warga
perkotaan. Kota ini dipandang memiliki arus mobilitas manusianya cukup
tinggi khusunya dari DKI demak bintoro umumnya dari luar wilayah Provinsi benteng kota hutan terlarang
yang masuk ke benteng kota hutan terlarang . Kota Tangsel juga adalah kawasan industri, kawasan
perbelanjaan, wisata dan pemukiman yang padat, yang memungkinkan fenomena
gangguan jiwa cukup tinggi disebabkan akibat kehidupan ekonomi dan kehidupan
sosial yang heterogen, dengan jumlah ODGJ sebanyak 338 jiwa (Dinkes Provinsi
benteng kota hutan terlarang , 2017).
Ketiga, Kabupaten kotalama . Wilayah ini merupakan gambaran dari
warga yang sebagain besar perdesaan. Karakterisitik warga perdesaan
bisa dikatakan situasi dan kehidupannya lebih banyak ditandai pada warga
pertanian. Keempat, Kabupaten teluk terigu. Wilayah ini juga menggambarkan
warga perdesaan, dimana situasi sosial ekonomi lebih banyak berhubungan
kondisi pertanian. Selain itu, fenomena kasus pasung Kabupaten teluk terigu
memiliki peringkat tertinggi yaitu sebanyak 27 kasus
Pembahasan pada bab ini merupakan deskripsi hasil penelitian yang
didukung dari dari beberapa sumber data, baik data sekunder maupun data primer
yang dikumpulkan oleh Tim Peneliti. Data-data yang terhimpun diantaranya
bersumber dari Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Selain itu data yang terhimpun didapatakan dari Dinas Sosial dan Kesehatan
Kabupaten/Kota serta beberapa yayasan Panti Sosial yang melakukan penanganan
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Data ini dipandang merepresentatifkan
karakterisitik objek penelitian. Pembahasan yang akan diuraikan diantaranya,
Karakterisitik ODGJ, model penanganan ODGJ, kendala penanganan ODGJ, dan
bentuk usaha model penanganan yang seharusnya dilakukan di Provinsi benteng kota hutan terlarang .
4.1 KARAKTERISTIK ODGJ DI benteng kota hutan terlarang
4.1.1 Karakterisitik Penyebab ODGJ
Menurut UU No. 18 Tahun 2014, yang dimaksud orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Sementara ODMK
(orang dengan masalah kejiwaan) adalah orang yang memiliki masalah fisik,
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan
3). Karakterisitik ODGJ yang diuraikan adalah sesaui dengan definsi Berdasarkan
UU ini yang dibagi pada dua gangguan kejiwaan, yaitu berdasarkan
gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat.
1) Gangguan Mental Emosional
Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang
mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat
berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan mental
emosional merupakan istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi
ini merupakan keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami
perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan
skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami
semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan
ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil
ditanggulangi. Perkembangannnya Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur ≥
15 tahun bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk Berumur 15
Tahun Ke Atas (berdasarkan Self Reporting Questionnaire-20)* menurut
Kabupaten/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang , Riskesdas 2007
No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%)
1 Kabupaten teluk terigu 10,9
2 Kabupaten tasikmalasia 7,1
3 Kabupaten teluk berangkas 14,6
4 Kabupaten kotalama 10,5
5 Kota teluk berangkas 7,9
6 Kota mandalakrida 16,9
benteng kota hutan terlarang 11,5
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
Sumber: Riskesdas 2007, Kementrian Kesehatan RI
Berdasarkan tabel di atas, diketahui prevalensi gangguan mental emosional
pada penduduk yang berumur ≥ 15 tahun di Provinsi benteng kota hutan terlarang sebesar (11,5%), hal
ini hampir sama dengan prevalensi nasional (11,6%) di Tahun 2017. Di
antara kabupaten/kota, prevalensi tertinggi di Kabupaten Kota mandalakrida (16,9%)
diikuti Kabupaten teluk berangkas (14,6%) lebih tinggi dari prevalensi nasional.
Kemudian prevalensi gangguan mental emosional paling rendah adalah
Kabupaten tasikmalasia (7,1%) dan disusul Kota teluk berangkas sebesar (7,9%).
Tabel 4.2 Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk
berumur 15 Tahun ke atas di Provinsi benteng kota hutan terlarang , Riskesdas 2007
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa prevalensi gangguan mental
emosional meningkat sejalan dengan pertambahan umur. Kelompok yang rentan
mengalami gangguan mental emosional antara lain perempuan, pendidikan
rendah, tidak bekerja, tinggal di desa dan tingkat pengeluaran perkapita rumah
tangga rendah.
Adapun untuk gangguan mental emosional menurut hasil Riskesdas 2013
di mana penilaiannya sama dengan tahun 2007 yang menggunakan kuesioner
serta metode pengumpulan data yang sama pula. Berikut di gambarkan prevalensi
Provinsi benteng kota hutan terlarang pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 ke
atas (berdasarkan self reporting questionnaire-20)* menurut Kabupaten/Kota,
Provinsi benteng kota hutan terlarang 2013
No Kabupaten/Kota Gangguan Mental Emosional (%)
1 Kabupaten teluk terigu 7,8
2 Kabupaten tasikmalasia 0,9
3 Kabupaten teluk berangkas 6,4
4 Kabupaten kotalama 3,5
5 Kota teluk berangkas 7,5
6 Kota mandalakrida 9,6
7 Kota kotalama 2,4
8 Kota teluk berangkas Selatan 1,8
benteng kota hutan terlarang 5,1
*Nilai Batas Pisah (Cut off Point) ≥ 6
Sumber: Riskesdas 2013, Kementrian Kesehatan RI
Berdasarkan tabel ini diketahui, bahwa prevalensi penduduk yang
mengalami gangguan mental emosional di tingkat Provinsi benteng kota hutan terlarang adalah 5,1%.
Sementara, kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional
tertinggi adalah Kota mandalakrida (9,6%), sedangkan yang terendah di Kabupaten
tasikmalasia (0,9%).
Berdasarkan gambar prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan
karakteristik di Provinsi benteng kota hutan terlarang 2013, terlihat bahwa pola prevalensi gangguan
mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART dan
tempat tinggal. Prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi
daripada di perdesaan, lebih banyak terjadi pada perempuan (6,5%) daripada laki-
laki (3,7%) dan kelompok usia > 75 tahun sangat mendominasi angka prevalensi
gangguan mental emosional.
2) Gangguan Jiwa Berat
Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh
terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk.
Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya
agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis
dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia.
Pada kategori gangguan jiwa berat ini bisa diindikasikan pada keadaan
atau kategori ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yaitu orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.
Hasil Riskesdas tahun 2013 di Provinsi benteng kota hutan terlarang dengan indikator kesehatan
jiwa yang dinilai antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional
serta cakupan pengobatannya. Berikut perkembangan prevalensi gangguan jiwa
berat menurut kabupaten/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang Tahun 2013:
Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggotanya yang
mengalami gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak di perdesaan.
Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok
kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi rumah tangga yang pernah
melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Metode
pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan
kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang
membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang
menyertai salah satu metode pemasungan.
Faktor penyebab gangguan jiwa terkategori umum dari mulai faktor
predisposisi yang meliputi: biologis, psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Terjadi secara komplek, tidak berdiri sendiri. Kecuali pencetusnya atau faktor
presipitasi yang hanya sebagai pemantik tunggal terjadinya gangguan jiwa. ODGJ
di Provinsi benteng kota hutan terlarang ini memiliki beragam penyebab serta pencetusnya.
Secara genetik, penyebab gangguan jiwa muncul disebabkan oleh
beberapa macam hal seperti infeksi virus saat masa kehamilan yang dapat menjadi
pengganggu perkembangan otak pada janin. Kekurangan gizi pada masa – masa
trimester kehamilan, ibu hamil yang mengalami trauma, kelainan hormonal atau
adanya komplikasi kandungan dan toksin atau racun. Ditemukan lagi jika ada
janin yang memiliki gen abnormal tidak beresiko terjangkit gangguan jiwa kecuali
disertai oleh beberapa faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa kelak di
kemudian hari.
Apabila seseorang yang memiliki beberapa macam faktor penyebab
gangguan jiwa mengalami depresi atau stres yang emosional di dalam dirinya dan
kehidupan sehari–hari, maka akan memiliki resiko mengalami gangguan jiwa
lebih besar daripada orang yang sebelumnya tidak memiliki beberapa macam
faktor disebutkan.
Selain faktor genetik, penyebab terjadinya gangguan jiwa dapat
disebabkan oleh beberapa masalah dalam kehidupan atau lingkungan sehari-hari.
Seperti sebab masalah ekonomi atau menderita penyakit kronis seseorang akan
dapat beresiko mengalami gangguan kejiwaan. Contohnya seseorang yang
mengalami depresi sebab tidak cukup makan dan tidur, sehingga membuat daya
tahan menjadi menurun dan dapat mengalami gangguan fisik atau penyakit fisik.
Namun, apabila seseorang menderita penyakit fisik kronis misalnya kanker atau
tumor juga dapat mengalami penurunan psikologi dan berujung pada depresi
berat. Depresi berat inilah yang dapat beresiko mengalami gangguan jiwa. Hal ini
dapat terjadi pada aksi bullying atau pem-bully-an terhadap sesama teman atau
orang lainnya yang dianggap tidak pantas untuk berteman atau sejajar dengan
mereka. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan dapat
mengakibatkan depresi pada si anak yang di bully tadi. Selain gangguan jiwa, bisa
jadi si anak tadi bisa melakukan tindakan kriminal seperti pembunuhan terhadap
seseorang yang sering mem-bully dirinya. Jadi, bully itu tidak diperkenankan dan
seharusnya tidak dilakukan sebab dapat memicu gangguan psikis, terlebih
lagi dapat menimbulkan penyimpangan kejiwaan.
Penyebab terjadinya ODGJ di benteng kota hutan terlarang disebabkan oleh beberapa faktor
yang tidak berdiri sendiri sebagai satu penyebab saja, namun sebagai pencetus
lebih banyak dilatarbelakangi oleh gangguan psikologis dan sosiologis. Kondisi
ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, seperti kutipan wawancara
berikut:
“Peneyebab ODGJ sebenarnya di wilayah kita ini lebih banyak disebabkan
oleh faktor psikis dan sosiologis, serta jarang disebabkan oleh faktor
genetis. Fokator ekonomi dan kemiskinan menjadi sangat dominan, sebab
rata-rata mereka yang mengalami gangguan jiwa dari mereka keluarga
yang ekonominya kurang berkecukupan, sehingga mereka kesulitan untuk
membawa ke dokter dengan alasan tidak ada biaya biaya. Beberapa kasus
pemasugan mereka dari kelompok keluarga ODGJ yang tidak mampu
Seperti ada di Daerah teluk terigu, ada seorang anak yang mengalami
gangguan kejiwaan diakibatkan sebab ingin dibelikan motor, namun tidak
terturuti oleh orang tuanya”
Berdasarkan pernyataan di atas diketahui, bahwa faktor penyabab ODGJ
di benteng kota hutan terlarang lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis.
Kemudian faktor ekonomi membuat mereka mengalami gangguan jiwa. Sehingga
dalam penanganan untuk penyembuhannya pun sulit dilakukan oleh keluarga
ODGJ, sebab keterbatasan biaya biaya. Artinya, faktor didikan dalam keluarga dan
interaksi pada lingkungan disini cukup mempengaruhi munculnya ODGJ. Ada
juga kasus ODGJ di Kabupaten kotalama , mengalami kondisi retardasi mental yang
disertai gangguan jiwa.
4.1.2 Karakterisitik Jumlah dan Sebaran ODGJ di benteng kota hutan terlarang
Data angka kejadian gangguan jiwa di Provinsi benteng kota hutan terlarang menurut Riskesdas
Kemenkes (2007) sebesar 2 permil atau ada dua penduduk dari 1000 penduduk
yang mengalami gangguan jiwa, hal ini Berdasarkan estimasi dengan jumlah
penduduk Provinsi benteng kota hutan terlarang 10.632.166 orang (BPS, 2010) maka dimungkinkan
21.264 orang penduduk mengalami gangguan jiwa. Sedangkan data hasil
Riskesdas Kemenkes (2013), menunjukan 1 dari 17 penduduk di benteng kota hutan terlarang memiliki
gangguan mental emosional (anxietas dan depresi) serta sekitar 13.200 penduduk
di benteng kota hutan terlarang memiliki gangguan jiwa berat (psikotik).
Jumlah dan sebaran ODGJ berdasarkan laporan data kasus jiwa per
kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017 dari Dinas Kesehatan Provinsi
benteng kota hutan terlarang (2017). Jumlah ODMK di benteng kota hutan terlarang mencapai dari 5732 kasus dan data
ODGJ mencapai 4881 kasus.
Berdasarkan data tabel laporan kasus Jiwa per kabupaten/kota di Provinsi
benteng kota hutan terlarang tahun 2017 di atas, dapat dikethaui bahwa jumlah ODMK terbanyak ada di
Kota mandalakrida dengan jumlah sebanyak 2950 jiwa. Selin itu juga, jumlah ODGJ
terbanyak masih di Kota mandalakrida dengan yaitu sebanyak 4881 jiwa. Adapun
jumlah yang paling sedikit ODMK dan ODGJ ada di Kota teluk berangkas yaitu
jumlah ODMK sebayak 157 jiwa dan ODGJ sebanyak 147 jiwa.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang (2017), diketahui
bahwa perkembangan ODGJ di Provinsi dari data kasus pasien yang dilaporkan
tercatat tahun 2014 hingga tahun 2017 terus mengalami peningkatan. Dari rentang
waktu selama empat tahun ini jumlah cukup siginifikan yaitu sebanyak 5651
ODGJ. Hal ini sudah menghawatikan, dan bisa menjadi bencana untuk
kesehatan jiwa warga benteng kota hutan terlarang .
Keberadaan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang bisa dikategorikan pada dua jenis
Berdasarkan penanganannya. Pertama ODGJ yang masih ditangani oleh
keluarganya dan kedua yaitu ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang
keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus. Jumlah kasus pasien
ODGJ yang ditangani Berdasarkan kab/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang dari Tahun 2014
hingga Tahun 2017,
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang (2017), tercatat hingga
Tahun 2017, bahwa ODGJ yang sudah tertangani berjumlah 4881 jiwa. Artinya
dari jumlah pasien ODGJ yang dilaporkan sebanyak 5651 jiwa, masih ada 770
jiwa ODGJ yang terlantar dan masih berkeliaran di warga pada tempat-
tempat umum. Kondisi ini butuh penanganan ODGJ secara menyeluruh
dengan semua lembaga baik lembaga pemerintah maupun lembaga warga.
Kasus pasien ODGJ dari catatan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang
jumlahnya pada tahun 2017 lebih sedikit, yaitu hanya ada 23 pasien ODGJ yang
sudah dilepas dari pasungan. Jumlah pasien ini dinyatakan dari catatan
keluarga keluarga ODGJ yang melaporkan kepada pemerintah. Artinya
kepedulian warga dalam memberikan informasi perkembangan ODGJ yang
berkoordinasi dengan pemerintah masih dipandang kurang. Sehingga hal ini
perlu menjadi perhatian agar lebih sinergis antar warga dan pemerintah
daerah. Berikut data kasus pasien ODGJ yang dilepas:
Keberadaan ODGJ kerap menganggu ketertiban warga, dengan
alasan sudah tidak mampuh lagi merawat pasien ODGJ, keluarga pasien banyak
yang melepasnya begitu saja, atau pasiennya sendiri lepas saat dari rumah dan
tidak ditemukan keberadaannya oleh keluarga pasien ODGJ. Metode pasung
menjadi salah satu pilihan warga untuk mengendalikan pasien ODGJ,
sehingga keberadaan ODGJ banyak yang diperlakukan di pasung untuk
menghindari meresahkan warga sekitar.
Timbulnya berbagai kasus pemasungan yang terjadi terhadap ODGJ
disebabkan sebab kurangnya pemahaman dari lingkungan warga dalam
menangani adanya fenomena ini. Tindakan pemasungan pada ODGJ
seharunya tidak terjadi, hal ini sebab bagaimana ODGJ merupakan warga
negara yang mesti diakomodir pemerintah dan memiliki hak yang sama seperti
manusia normal pada umumnya. Berikut tabel kasus pasien ODGJ yang dipasung
Berdasarkan kab/kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang Tahun 2017:
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang (2017), bahwa kasus
pasien ODGJ yang masih dipasung masih ada 101 pasien ODGJ, di mana jumlah
pasung terbanyak ada di Kabupaten teluk terigu 27 pasien dan Kabupaten
teluk terigu sebanyak 27 pasien. Selain itu juga kasus pasung di Kabupaten
kotalama sebanyak 21 pasien, Kabupaten teluk berangkas 8 pasien dan Kota mandalakrida
sebanyak 9 pasien. Adapun Kota teluk berangkas dan Kota Tangsel tercatat 0 (tidak
ada kasus pemasungan).
usaha Pemprov benteng kota hutan terlarang melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) mencanangkan
program benteng kota hutan terlarang Bebas Pasung 2019, perlu usaha yang berkelanjutan dan serius.
Hal ini, sebab masih banyak ODGJ yang terpaksa harus dipasung oleh
keluarganya. Pemasungan terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa, ditemukan lebih banyak di daerah pelosok, sebab alasan mengganggu dan
mengancam keselamatan orang lain dan menganggap dengan adanya ODGJ
adalah aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga.
Karakterisitik Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga
Sekitar
Faktor pengetahuan dan sikap keluarga serta warga sekitar terhadap
ODGJ berkembang secara umum masih banyak hal yang keliru. Hal ini
terkait dengan tahu, mau, dan mampu terhadap kesehatan jiwa. usaha-usaha
kesehatan jiwa yang berkembang dikeluarga dan warga adalah usaha yang
masih berdasarkan latar belakang tradisi dan sistem nilai atau kepercayaan yang
cenderung turun temurun. Menjadi positif bila tata nilai ini sangat berkaitan
dan logis sebagai suatu usaha yang tepat. Namun demikian ternyata justru hal-hal
yang muncul menjadi suatu hal negatif sebab ketidaktahuan terhadap gangguan
jiwa sampai perlakuan terhadap ODGJ.
Pengetahuan yang rendah terhadap gangguan jiwa serta berkembangnya
tata nilai bahkan menjadi tradisi yang buruk. Selanjutnya melahirkan mitos di
dalam warga terkait gangguan jiwa, dimana gangguan jiwa tidak bisa
sembuh, tidak bisa stabil dan tidak dapat diramalkan kondisinya dan kejadiannya,
bisa mungkin berbahaya, dan gangguan jiwa sebagai kutukan dan hukuman. Lebih
lanjut muncul stigma dalam warga terhadap ODGJ serta diskriminasi sosial
secara meluas.
Semua kondisi di atas diperkuat dengan tingkat pendidikan warga
yang rendah, seiring dengan faktor sosial dan ekonomi yang rendah juga. Hal ini
terangkai dalam lingkaran setan dengan kemiskinan. Sehingga gangguan jiwa dan
kemiskinan menjadi satu kondisi yang semakin ironis yang harus dicegah lebih
dini dalam perkembangan warga.
Hal ini di atas sebagai karakteristik penting perilaku kesehatan dari
keluarga dengan ODGJ seiring pendapat beberapa partisipan terkait kondisi
karakteristik ini. Secara umum dinyatakan bahwa karakteristik perilaku
kesehatan keluarga ODGJ dan warga sekitarnya cenderung memiliki
pengetahuan yang rendah, sosial ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta
memiliki tata nilai yang negatif terhadap ODGJ.
Model Penanganan ODGJ yang dilakukan Pemerintah
Secara umum Kementerian Kesehatan memiliki program penanganan
sesuai arah pembangunan kesehatan pada RPJMN III 2015-2019, dengan arah
pengembangan usaha kesehatan, dari kuratif dan rehabilitatif bergerak ke arah
promotif dan preventif sesuai kondisi dan kebutuhan, melalui visi warga
sehat yang mandiri dan berkeadilan. Kebijakan penanggulangan ODGJ
difokuskan pada penguatan layanan primer dengan indikator strategis dan
indikator kinerja yang sudah sangat jelas.
Pelayanan kesehatan jiwa dituangkan dari Kemenkes ke dalam kebijakan
pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar di bawah Direktorat
Kesehatan Jiwa dan Napza. Kebijakan ini berdasarkan kepada landasan
hukum terkait pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan dasar berdasarkan
Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 144, 246, dan 147
mengenai layanan kesehatan jiwa. Diperkuat dengan Undang-undang No.18
Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34. Pelayanan utama pada
level ini termasuk; (1) Identifikasi dini gangguan jiwa; (2) Penatalaksanaan
gangguan jiwa yang umum terjadi di warga; (3) Menjaga kestabilan kondisi
pasien gangguan jiwa; (4) Melaksanakan rujukan; (5) Perhatian terhadap
kebutuhan kesehatan jiwa bagi pasien gangguan fisik; (6) Promosi kesehatan jiwa
dan prevensi gangguan jiwa. Kebijakan pemerintah pusat di bawah Kemenkes
ini di atas ternyata belum sepenuhnya bisa dilaksanakan di tingkat daerah.
Seperti halnya terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang , langkah ini baru ditindak lanjuti
dengan Keputusan Gubernur Provinsi benteng kota hutan terlarang tentang Pembentukan Tim Pengarah
Kesehatan Jiwa warga (TPKJM) Tingkat Provinsi Baanten.
“Dalam rangka penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang , Dinkes Provinsi
benteng kota hutan terlarang sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor
441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi pada
pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada usaha penanganan
yang lain Dinkes benteng kota hutan terlarang sudah berusaha melalui pengiriman diklat
penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan perawat perwakilan
kabupaten/kota se Provinsi benteng kota hutan terlarang .”
Berdasarkan pernyataan ini, diketahui bahwa Dinas Kesehatan
Provinsi benteng kota hutan terlarang sampai saat ini belum ada penanganan secara khusus untuk
ODGJ, hal ini disebabkan terbatasnya sumberdaya yang dimiliki, baik dari
segi fasilitas maupun kompetensi tenaga kesehatannya. Sampai saat ini
penanganan ODGJ masih bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik
di rumah sakit maupun klinik setingkat puskesmas. Hal ini menjadi kendala tersendiri
bagaimana mensinkronkan antara kebijakan kementerian kesehatan dengan
kebijakan daerah.
Penanganan di tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang sampai saat
belum ada penanganan secara khusus untuk ODGJ. Namun, hanya melakukan
sosialisasi pada tingkat klinik setingkat puskesmas dan pemberian intensif obat pada ODGJ. Hal ini
disampaikan sebab keterbatasan potensi sumberdaya yang dimiliki (fasilitas dan
tenaga kesehatan). Hal ini seperti disampaikan informan sebagai berikut:
“Penanganan ODGJ di Kota kotalama sampai saat ini terbatas pada
sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap klinik setingkat puskesmas, memberikan
bimbingan pelatihan pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat. Belum pada
penanganan yang bersifat serius, semua ini terbentur pada kondisi
penganggaran dan fasilitasi ODGJ itu sendiri, sehingga kondisi ini belum
menjadi permasalahan bersama.”
Program pelayanan kesehatan jiwa oleh pemerintah di bawah Kemenkes
dengan kebijakan pelayanan kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan dasar. Ada
tujuh alasan penting pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar, antara lain; (1) Beban akibat gangguan jiwa sangat besar; (2) Masalah
kesehatan jiwa dan kesehatan fisik saling terkait dan mempengaruhi; (3)
Kesenjangan pengobatan pada masalah kesehatan jiwa sangat besar; (4) Pelayanan
kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas meningkatkan akses maasyarakat dalam
mendapatkan kebutuhan akan pelayanan kesehatan jiwa; (5) Pelayanan kesehatan
jiwa di klinik setingkat puskesmas meningkatkan rasa menghargai terhadap hak asasi manusia; (6)
Pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas terjangkau secara ekonomi oleh
warga; (7) Pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas menghasilkan outcome
kesehatan secara umum yang lebih baik
Berdasarkan gambar ini, maka dapat dinyatakan bahwa pelayanan
kesehatan jiwa pada tatanan pelayanan fasilitas kesehatan dasar menjadi alternatif
utama kebijakan Kemenkes sebab memiliki skala pemenuhan kebutuhan dasar
pada ODGJ yang tinggi dengan penekanan biaya biaya yang bisa lebih rendah. Lebih
lanjut ada sepuluh prinsip pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar; (1) Kebijakan dan program yang mendukung; (2) Advokasi
kepada pemangku kebijakan untuk mengubah sikap, perilaku dan komitmen
terhadap kesehatan jiwa; (3) bimbingan pelatihan tenaga kesehatan klinik setingkat puskesmas yang adekuat;
(4) Pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas bersifat terbatas dan dapat
dilaksanakan; (5) Psikiater dan tenaga professional kesehatan jiwa lainnya harus
tersedia untuk mendukung pelayanan di klinik setingkat puskesmas; (6) Obat-obatan yang
dibutuhkan harus tersedia di klinik setingkat puskesmas; (7) Integrasi kesehatan jiwa ke dalam
usaha kesehatan pada umumnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan; (8)
Koordinator dalam pelayanan kesehatan jiwa; (9) Kolaborasi dengan pihak-pihak
lain, seperti sektor pemerintahan non-kesehatan, LSM, tenaga kesehatan di
warga serta para relawan; (10) Sumber daya manusia (SDM) dan dana yang
mendukung (WHO&Wonca, Integrating MH Into Primary Care, 2008). Sehingga
program pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis ketahanan keluarga dan
warga menjadi sangat penting.
Program selanjutnya adalah program bebas pasung dengan pencanangan
negeri ini Bebas Pasung tahun 2019, dengan dasar hukum UU No. 18 tahun 2014
tentang kesehatan jiwa pada pasal 86. Perpres No.75 tahun 2015 tentang RAN-
HAM 2015-2019 dengan indikator; (1) Jumlah temuan kasus pasung yang
diberikan layanan kesehatan; (2) Jumlah kabupaten/kota yang memiliki
klinik setingkat puskesmas dengan layanan kesehatan jiwa; (3) Jumlah Provinsi yang
melaksanakan program bebas pasung. Serta UU No.8 tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas pada pasal 68 dan pasal 72 terkait kewajiban pemerintah
daerah untuk menyelenggarakan bimbingan pelatihan tenaga kesehatan agar mampu
memberikan pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas serta tindakan
yang sesuai standar dalam pelayanan kesehatan kepada penyandang disabilitas.
Program bebas pasung ini pada awal peluncuran programnya cukup memberikan
kontribusi yang kuat dalam usaha penanganan ODGJ yang direspon positif
diberbagai daerah.
Kementerian kesehatan masih fokus pada ODGJ dengan sasaran ODGJ
yang memiliki keluarga sebagai penanggungjawab dan care giver-nya belum
menelusur kepada ODGJ terlantar sebagaimana bidang kajian di dinas sosial. Di
Provinsi benteng kota hutan terlarang , penanganan ODGJ secara sosial yang ditangani Dinas Sosial
Provinsi benteng kota hutan terlarang belum sfesifik ditangani secara khusus. Penanganan ODGJ masih
disatukan dan bercampur dengan masalah napza dan masuk pada kategori
rehabilitasi sosial. Penanganan diarahkan lebih kepada keterlantaran dari ODGJ
yang berkeliaran lepas dari keluarganya, sehingga kerap mengganggu ketertiban
warga, berikut kutipan wawancara informannya:
“Secara khusus model penanganan ODGJ dari aspek sosisal belum
berjalan dengan baik, sebab dari aspek pembiaya biayaan masih belum ada
alokasi khusus untuk penanganan ODGJ, menurut struktur kewenangan di
Dinsos Provinsi benteng kota hutan terlarang masalah ODGJ masih belum secara khusus di
tangani sebab masalah ODGJ masuk pada bidang rehabilitasi Sosisal
yang di dalamnya menangani juga masalah napza dan sebagainya.”
Sementara itu Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang melakukan penanganan
terhadap ODGJ dengan melakukan identifikasi identitas penderita dan tingkat
keparahan ODGJ. Apabila setelah dilakukannya identifikasi, ODGJ masih
memiliki keluarga, maka akan diantarkan ke keluarganya, namun apabila identitas
ODGJ sulit untuk diidentifikasi, akan diantarkan ke panti rehabilitasi warga
untuk ditangani secara intensif, kategori bagi ODGJ tanpa identitas digolongkan
oleh Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang sebagai ODGJ Ketelantaran. Dinas Sosial
Provinsi benteng kota hutan terlarang sejauh ini bertanggung jawab menangani ODGJ ketelantaran dan
ODGJ yang sudah sembuh (eks ODGJ).
Sesuai dengan penyampaian Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , di tingkat
Kabupaten/Kota juga penanganan dari segi sosial tidak ada penanganan secara
khusus, seperti disampaikan oleh Dinas Sosial Kabupaten tasikmalasia dan teluk terigu
yang menyatakan bahwa tidak ada penanganan secara khusus untuk ODGJ,
disebabkan terbentur oleh tugas pokok dan fungsi instansi yang mengharuskan
menangani warga dalam ketelantaran, dalam hal ini ketelantaran yang
dimaksud adalah gelandangan, pengemis dan anak terlantar. Sampai saat ini Dinas
Sosial tingkat Kabupaten/Kota cenderung lebih kepada penanganan ODGJ yang
dianggap membahayakan, seperti contoh kasus yang terjadi di tasikmalasia, ada
lima kasus ODGJ yang diantarkan pihak kepolisian setempat kepada Dinas Sosial
Kabupaten tasikmalasia selama kurun waktu Januari sampai dengan September 2017
sebab dianggap meresahkan. Namun disebabkan tasikmalasia tidak memiliki tempat
perawatan/penanganan ODGJ yang memadai, maka ODGJ yang ditangani dibawa
ke Bani Syifa Pamarayan Kabupaten kotalama .
Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang , melalui Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan
belum melakukan usaha dalam penanganan ODGJ secara intensif. Program
pemerintah tingkat Provinsi benteng kota hutan terlarang saat ini masih berorientasi pada sosialisasi
bebas pasung. Program-program lain yang bersifat serius dalam menangani ODGJ
belum ada meskipun sudah ada Keputusan Gubernur tentang Tim Pengarah
Kesehatan Jiwa warga (TPKJM).
“Sampai saat ini belum ada program khusus dari Provinsi benteng kota hutan terlarang , namun
yang dilakukan sampai saat ini adalah pembebasan pemasungan.”
(
Program-program yang terlaksana selain pembebasan pasung pada
warga untuk ODGJ, pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang melalui Dinas Kesehatan
melakukan bimbingan pelatihan kepada tenaga kesehatan. Dari bimbingan pelatihan ini kemudian
menghasilkan tenaga kesehatan, mulai dari dokter dan perawat yang memiliki
kompetensi dasar dalam melakukan pelayanan medis terhadap ODGJ. Berikut
diungkapkan Informan Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang :
“ada pembinaan pelayanan kesehatan jiwa yang ada banyak
kasus, ada 5 titik yang sudah dilakukan, yaitu Menes, Cigeulis,
Suradita (Kab teluk berangkas), Keragilan, Jiput, Prabugantungan tasikmalasia. 5
klinik setingkat puskesmas ini mengajukan permohonan kemudian ditindaklanjuti
dengan mengirimkan dokter spesialis.”
Berdasarkan ungkapan ini, bahwa pioritas dalam menyiapkan tenaga
kesehatan dilakukan untuk pembinaan pelayanan kesehatan jiwa memiliki banyak
kasus, paling tidak ada lima titik pembinaan yang sudah dilakukan, yaitu
Menes, Cigeulis, Suradita (Kabupaten teluk berangkas), Kragilan, Jiput,
Prabugantungan Kabupaten tasikmalasia. Lima klinik setingkat puskesmas ini mengajukan
permohonan kemudian ditindaklanjuti dengan mengirimkan dokter spesialis
sebagai konsultan dan rujukan bagi tenaga kesehatan pelaksananya.
Berdasarkan hasil penelitian, partisipan mengungkapkan beberapa paket
bimbingan pelatihan bagi tenaga kesehatan terutama paket dokter umum dan perawat dari
klinik setingkat puskesmas yang sampai tahun 2017 ini sudah mencakup 70 klinik setingkat puskesmas dari 235
klinik setingkat puskesmas di Kabupaten/Kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang , dengan dokter umum dan
perawat yang terlatih dalam pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas dengan satu
orang psikiater sebagai konsultannya. Supervisi yang optimal dari Dinas
Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang sangat menguatkan keberhasilan program bebas
pasung. Sebagai contoh keberhasilan di klinik setingkat puskesmas Munjul dan klinik setingkat puskesmas
Cigeulis yang sudah mampu melaksanakan program bebas pasung dan pelayanan
kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas yang dirasakan kebermanfaatannya oleh keluarga
dan warga. Kondisi yang sama terjadi di Kota kotalama yang juga belum ada
program khusus dalam menangani ODGJ, berikut wawancaranya:
“Belum ada program khusus dari Dinsos Kota kotalama , sampai saat ini
program yang dilakukan hanya melalui sosialisasi, bimbingan pelatihan dan
pembebasan pemasungan yang dilakukan di warga.”
Kota kotalama sendiri sebagai ibu kota Provinsi benteng kota hutan terlarang dari pernyataan di
atas, dalam penanganan ODGJ tidak memiliki program yang cukup untuk
dilaksanakan, disebabkan faktor anggaran yang kurang memadai. Untuk
menyiapkan tenaga kesehatan dan melakukan program terkait penanganan ODGJ
sampai saat ini hanya mengandalkan program-program sederhana, seperti
melakukan sosialisasi kesehatan jiwa, mengikutsertakan tenaga kesehatan dari
Dinas Kesehatan Kota kotalama untuk mengikuti bimbingan pelatihan dan penyediaan obat-
obatan.
4.2.2 Model Penanganan ODGJ yang Berkembang di warga
Penanganan ODGJ yang dilakukan warga di Provinsi benteng kota hutan terlarang sampai
saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga, klinik setingkat puskesmas/rumah
sakit umum dan sebagian warga memilih melakukan pemasungan,
sebagaimana banyak terjadi di wilayah teluk terigu, Kota kotalama dan Kota
mandalakrida dan Kabupaten tasikmalasia. Banyak warga yang membiarkan ODGJ,
mungkin hal ini juga yang memicu program bebas pasung tidak
berjalan secara baik, sebab tidak adanya formulasi yang tepat untuk
dilaksanakan.
“Penanganan ODGJ yang dilakukan warga sampai saat ini melalui
panti rehabilitasi warga, klinik setingkat puskesmas/rumah sakit umum dan sebagian
warga melakukan pemasungan.”
Sementara itu, untuk penanganan medis, keluarga membawa ODGJ datang
ke klinik setingkat puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk ditangani,
selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, maka akan dikembalikan yang
kemudian didampingi oleh klinik setingkat puskesmas. ODGJ harus mengkonsumi obat secara
terus menerus tanpa putus. Penanganan ODGJ yang kompleks memang menjadi
tantangan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang , sebab harus melibatkan
banyak unsur, mulai dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Kepolisian, Babinsa dan
warga, sehingga sosialisasi sampai dengan pelaksanaan penanganan tidak
dapat berdiri sendiri. Program penanggulangan ODGJ oleh warga ini secara
umum masih berkisar pada tatanan kuratif dengan koordinasi yang masih lemah
dengan klinik setingkat puskesmas sebagai penyedia fasilitas pelayanan dasar bagi kesehatan jiwa.
“warga banyak yang membiarkan penderita ODGJ, ada pula sebagian
warga yang membawa ke klinik setingkat puskesmas dan lembaga rehabilitasi, ada
pula yang memasung. Untuk penanganan medis Keluarga dari penderita
ODGJ datang ke klinik setingkat puskesmas, kemudian dirujuk untuk dibawa ke RSJ untuk
ditangani, selanjutnya jika dapat ditangani oleh keluarga, makan akan
dikembalikan yang kemudian didampingi oleh klinik setingkat puskesmas. sebab
Penderita ODGJ harus mengkonsumi obat secara terus menerus tanpa
putus.”
Berdasarkan ungkapan ini diketahui bahwa usaha warga dalam
menangani ODGJ fenomenanya masih banyak yang membiarkan penderita ODGJ.
usaha warga ada yang membawa ke klinik setingkat puskesmas dan lembaga rehabilitasi,
dan juga dilakukan pemasungan. usaha penanganan medisnya Keluarga dari
penderita ODGJ membawa ke klinik setingkat puskesmas setempat dan ada pula yang dirujuk
untuk dibawa ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa). Ada Pula, pasien ODGJ pasca
ditangani medis, dikembalikan kepada keluarga dan dilakukan pendampingan dari
klinik setingkat puskesmas setempat. Kondisi ini seperti halnya terjadi di Kota kotalama ,
berikut wawancaranya:
“Pemasungan sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagian warga,
padahal pemasungan bukanlah sebuah solusi, bahkan bertentangan dengan
hak dasar manusia. Tapi di sisi lain, warga juga banyak yang
melakukan penanganan melalui panti rehabilitasi”
“Penanganan ODGJ yang berkembang di warga belum cukup
memadai, mengingat tidak ada rumah sakit jiwa. Untuk itu Dinkes Kota
kotalama rajin dalam memberikan sosialisasi ke setiap klinik setingkat puskesmas agar dapat
ditangani dengan baik, sehingga warga pun mengerti bagaimana
tindakan yang harusnya dilakukan. Sampai saat ini, warga juga aktif
membawa penderita ODGJ ke klinik setingkat puskesmas, tercatat bahwa penanganan
ODGJ paling banyak dilakukan oleh klinik setingkat puskesmas Rau”.
Berdasarkan ungkapan di atas, diketahui bahwa pemasungan masih
menjadi pilihan yang dilakukan warga dalam menangani ODGJ. Selain itu,
mereka juga membawa ke panti rehabilitasi. Selain itu, warga juga aktif
membawa pasien ODGJ ke klinik setingkat puskesmas terdekat dari rumah mereka. Untuk di Kota
kotalama , penanganan ODGJ tercatat paling sering di kunjungi pasien yaitu
Puskemas Rau.
Untuk wilayah teluk terigu belum ada model penanganan ODGJ yang
dilakukan warga, tetapi ada beberapa kecamatan dimana tokoh
warganya secara aktif memberikan sosialisasi tentang peran keluarga dalam
rangka usaha penyembuhan yang harus dilakukan. Sementara itu, untuk di Kota
mandalakrida, juga terjadi sama, masyarkat belum ada usaha dalam penanganan namun
Keterlibatan tokoh warga sangat membantu dalam penanganan ODGJ mulai
dari Babinsa, Polsek dan tokoh warga itu sendiri dalam membantu petugas
dalam membantu di kelapangan khususnya petugas klinik setingkat puskesmas dan Dinsos.
Kendala Perilaku Kesehatan Keluarga ODGJ dan warga
Kondisi keluarga dan warga sekitar sangat mempengaruhi terhadap
penanganan ODGJ. Selama ini terjadi meliputi beberapa hal berikut ini; (1) Mitos
di keluarga dan warga, seperti tidak akan sembuh, tidak stabil dan tidak
dapat diramalkan, mungkin berbahaya, sebagai kutukan dan hukuman; (2) Stigma,
ODGJ masih menjadi bahan olok-olokan dan dipandang rendah walaupun
memiliki posisi yang sama dengan beberapa penyakit lain secara fisik; (3)
Diskriminasi, ODGJ tidak mendapatkan perhatian, baik dari sudut keluarga,
warga, dan bahkan pemerintah. Hal ini disampaikan informan sebagai
berikut:
“Dukungan keluarga ODGJ memang cukup berpengaruh dalam
mempengaruhi kesembuhan pasien ODGJ, banyak mitos warga
bahwa ODGJ itu susuah sembuh, bisa juga sebab kutukan ayau guna-
guna. ODGJ juga kadang rendah oleh warga, dan keluarganya
merasa malu atas anggota keluarganya yang menjadi ODGJ. Kurangnya
kesadaran warga ini terhadap perhatian ODGJ menjadikan pasien
ODGJ terus menjadi permasalahan di warga, sebab kerap
mengganggu ketertiban umum di warga.”
Berdasarkan pernyataan di atas diketahui bahwa, paradigma berpikir
warga dan keluarga ODGJ masih memandang ODGJ merupakan aib yang
harus ditutupi. Tidak akan pernah berhasil usaha apapun untuk penanggulangan
ODGJ bila tantangan ini masih belum bisa dirubah sampai pengetahuan,
sikap dan bahkan perilaku warga berpihak pada usaha penanganan yang
positif dan bergerak bersama peduli terhadap ODGJ.
Beberapa kondisi yang menjadikan program pelayanan kesehatan jiwa di
fasilitas kesehatan dasar atau klinik setingkat puskesmas serta program bebas pasung. Tidak
terlepas dari beberapa faktor berikut; (1) Pelayanan yang tidak memadai; (2)
Tidak ada kesinambungan antara rumah sakit dan warga; (3) Sikap negatif
terhadap gangguan jiwa; (4) Tidak ada dukungan keluarga; (5) Tidak ada atau
kurangnya dukungan dalam kebijakan, rencana pelayanan, dan pendanaan; (6)
Lemahnya kerjasama intersektoral. Keenam faktor ini menjadi kendala yang
harus segera ditengahi dengan penguatan model dan program yang sudah ada.
Kondisi saat ini kesenjangan pengobatan besar, dengan adanya
keterlambatan dalam pengenalan masalah kesehatan jiwa, keterlambatan dalam
membawa orang dengan masalah kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya
kasus pemasungan. Sementara, sumber daya layanan kesehatan jiwa masih
terbatas. Pemasungan pada ODGJ merupakan salah satu dampak ekstrim dari
kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Penyebab kesenjangan
pengobatan diantaranya: kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat
pengetahuan warga terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap
kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas,
serta faktor ekonomi, sosial dan budaya.
Sebuah studi yang menelaah faktor yang paling dominan terhadap
pemasungan ODGJ di negeri ini adalah status ekonomi rumah tangga yang rendah
yang lebih banyak memiliki masalah ketidaktahuan adanya fasilitas kesehatan
serta hampir setengahnya tinggal di pedesaan (Idaiani, 2015). Hal ini juga
sangat jelas terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang dengan beberapa peta pedesaan dan jauhnya
jangkauan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
Hasil analisis lanjut Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukan bahwa semakin
tinggi disabilitas dan semakin kurang baik gaya hidup maka semakin berat
gangguan mental emosional yang dialami (Wardhani, 2016). Sehingga perlakuan
keluarga dan warga terhadap disabilitas dan gaya hidup yang baik akan
sangat membantu kesehatan mental dan emosional secara umum.
Keluarga dan warga juga diharapkan memiliki expressed emotion
yang baik kepada ODGJ. Meskipun penelitian tentang hubungan expressed
emotion dengan kekambuhan gangguan jiwa mendapatkan hasil yang tidak
konsisten, tetapi dianggap sebagai faktor yang ikut mempengaruhi perjalanan
penyakit pada ODGJ
4.3.2 Kendala Regulasi ODGJ dan Urgensi Penanganannya
Regulasi untuk penanganan ODGJ bila dirilis dari interes pemerintah
melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik negeri ini No. 220 tahun 2002
tentang Pedoman umum tim Pembina, tim pengarah, tim pelaksana kesehatan jiwa
warga (TP-KJM). Sudah mengatur dengan baik usaha kesehatan jiwa
diwarga. Namun realisai pada pemerintah daerah belum dilakukan dengan
baik, hal ini terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Provinsi benteng kota hutan terlarang belum memiliki payung hukum selain Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2014. Sampai saat ini Provinsi benteng kota hutan terlarang baru memiliki Keputusan
Gubernur melalui SK Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 Tentang Pembentukan
Tim Pengarah Kesehatan Jiwa warga Tingkat Provinsi benteng kota hutan terlarang . Belum
adanya kebijakan khusus terkait penanganan ODGJ mengakibatkan gerakan atau
tindakan bersama dalam penanganan ODGJ belum berjalan sebagai suatu program
yang terencana dengan komprehensif, hal ini disebabkan tidak masuknya
penanganan ODGJ kedalam program strategis Provinsi benteng kota hutan terlarang .
“Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang sudah menginisiasi keputusan Gubernur tentang
TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada tahun 2016 lalu tetapi
pada pelaksanaanya belum berjalan dengan baik, tetapi pada usaha
penanganan yang lain Dinkes benteng kota hutan terlarang sudah berusaha melalui pengiriman
diklat penanganan ODGJ untuk tenaga dokter dan paramedis perwakilan
kabupaten/kota se Provinsi benteng kota hutan terlarang .” (Wawancara dengan Dinas Kesehatan
Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017).
Berdasarkan ungkapan di atas, dapat dikertahui bahwa Pemerintah
Provinsi benteng kota hutan terlarang sudah melakukaan usaha regulasi dengan dikeluarkannya
Keputusan Gubernur tentang TPKJM Nomor 441.3.05/Kep. 224-Huk/2016 pada
tahun 2016. Namun dalam pelaksanaanya belum berjalan dengan baik. Dinkes
benteng kota hutan terlarang sudah berusaha melalui pengiriman diklat penanganan ODGJ untuk
tenaga dokter dan paramedis perwakilan Kabupaten/Kota se Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Namun SDM tenaga kesehatan untuk menangani ODGJ masih banyak
kekuarangan.
Kondisi yang terjadi di Provinsi benteng kota hutan terlarang pelayanan kesehatan ODGJ masih
disatukan dengan layanan umum kesehatan lainnya, sehingga ini menjadi salah
satu kendala dalam menangani ODGJ:
“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit klinik setingkat puskesmas yang
melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk
penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ
memang masih rendah”
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kendala
pemerintah dalam penanganan ODGJ masih belum tersedianya layanan khusus
pasien ODGJ, khusunya Rumah Sakit Jiwa di benteng kota hutan terlarang . Pelaksanaan penanganan
ODGJ dari segi fasilitas, rumah sakit maupun klinik setingkat puskesmas di Provinsi benteng kota hutan terlarang saat
ini baru dapat melaksanakan Peraturan Menteri Kesehatan tentang pelayanan
kesehatan dasar. Untuk pelayanan kesehatan Jiwa masih bergabung dalam
pelayanan kesehatan umum, adapun acuan ini untuk penyediaan jumlah
tempat tidur di Rumah Sakit tipe C. Menurut pandangan medis, cukup beresiko
apabila penanganan ODGJ bergabung dengan kesehatan umum, sebab ODGJ
pada akhirnya tidak mendapatkan pelayanan rawat inap di Rumah Sakit.
4.3.3 Kecukupan Anggaran dalam Menangani ODGJ
Tidak masuknya kesehatan jiwa dalam prioritas perencanaan strategis
Provinsi benteng kota hutan terlarang memicu tidak memadainya alokasi anggaran untuk
melaksanakan program penanganan ODGJ. Hal ini berkaitan dengan
penganggaran di Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , penanganan ODGJ masih
bersumber dari dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga.
Kondisi ini disampaikan informan Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang :
“Sampai saat ini tidak ada alokasi anggaran untuk penanganan ODGJ,
kecuali dana Hibah yang diajukan oleh panti rehabilitasi warga.
Alokasi anggaran Dekonsentrasi dari Kemensos juga untuk penanganan
ODGJ tahun 2016 hanya diberikan untuk 8 orang penderita ODGJ (per
orang Rp. 500.000), padahal penderita ODGJ di benteng kota hutan terlarang sangat tinggi.”
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa Secara kecukupan
anggaran Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang , hingga saat ini tidak memberikan alokasi
anggaran untuk penanganan ODGJ, kecuali dana hibah yang diajukan oleh panti
rehabilitasi warga. Diketahui adanya alokasi anggaran Dekonsentrasi dari
Kemensos juga untuk penanganan ODGJ pada tahun 2016 diberikan diberikan
hanya untuk 8 orang penderita ODGJ (per orang Rp. 500.000). Sementara, kondisi
penderita ODGJ di benteng kota hutan terlarang cukup tinggi dan mengancam menjadi bencana daerah.
Kondisi yang sama disamapikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang ,
bahwa permasalahan anggaran yang belum diprioritaskan oleh pemerintah
terhadap penanganan ODGJ menjadi kendala finansial yang belum teratasi,
sehingga menghambat penanganan secara masif, berikut kutipan wawancara
Informan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang :
“Alokasi anggaran sampai saat ini hanya 1% dari anggaran Dinas
Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang …”
Dinas Kesehatan memiliki anggaran dalam slot anggaran daerah untuk
kesehatan jiwa, namun besarannya pun dirasa masih sangat rendah, yakni hanya
1% dari anggaran Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang . Sehingga pencapaian
cakupan pelayanan kesehatan jiwa masih sangat kecil.
4.3.4 Koordinasi Pemerintah dalam Menangani ODGJ
Permasalahan penanganan ODGJ juga berkait dengan permasalahan
manajerial pemerintahan, dalam hal ini terkait koordinasi antar instansi. Sampai
saat ini penanganan ODGJ masih bersifat sendiri-sendiri, belum terintegrasi
sebagaimana penanganan ODGJ berbasis warga, terkadang terjadi benturan
domain antara Dinas Kesehatan dengan Dinas Sosial. Namun menurut pengakuan
pihak Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang , mereka akan menyerahkan kepada Dinas
Kesehatan apabila ada ODGJ yang perlu ditangani secara medis. Serta sebaliknya
bagaimana setelah tertangani, kemana ODGJ ini akan dikembalikan, masih
menjadi tanda tanya besar.
Panti rehabilitasi warga yang bekerjasama/binaan Dinsos ada
lima yayasan, yakni banil jawil dani soematri topatieuwi wini wibi bitidi
Kabupaten kotalama , Nururrohman di kurasawaKota kotalama dan Pondok
Pesantren allarmandi Tigaraksa Kabupaten teluk berangkas. Semuanya
belum bisa menjawab bagaimana ODGJ bisa kembali ke warga.
“Sampai saat ini panti rehabilitasi warga yang bekerjasama/binaan
Dinsos ada 5 yayasan, yakni banil jawil dani soematri topati
euwi wini wibi bitidi Kabupaten kotalama , Nururrohman di kurasawa
Kota kotalama dan panukewonan allarmandi Tigaraksa Kab.
teluk berangkas”
Koordinasi sejauh ini terbangun hanya sesekali dilakukan antara Dinas
Sosial dan Dinas Kesehatan, namun belum ada pembahasan yang menyeluruh dan
intens memecahkan penanganan fenomena ODGJ di benteng kota hutan terlarang , berikut kutipan
wawancara informan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang :
“Dinas kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan
Jiwa) ada 20 Orang anggota (1 orang wilayah kotalama dan sekitarnya,
sisanya di wailayah teluk berangkas Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di
demak bintoro dan bukan di benteng kota hutan terlarang . Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader
Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar warga dapat berpartisipasi
secara langsung. Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan milik pak
ismail waringin Kurung dan yayasan euwi wini wibi bitidi karangmojopahit
Kabupaten kotalama .”
Belum optimalnya penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang membuat akses
warga pun menjadi sulit dalam menggapai pelayanan kesehatan jiwa, namun
Dinas Kesehatan memiliki FDSKJ (Forum Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa)
ada 20 Orang anggota (1 orang wilayah kotalama dan sekitarnya, sisanya di
wilayah teluk berangkas Raya), akan tetapi wilayah kerja mereka di demak bintoro/Bukan di
benteng kota hutan terlarang . Hal ini juga menjadi masalah tersendiri, sebab orientasi pelayanan
kesehatan jiwa bagi warga benteng kota hutan terlarang menjadi terhambat, sebab minim tenaga
kesehatan jiwa berkompetensi untuk lingkup kerja Provinsi benteng kota hutan terlarang . Koordinasi
penganan ODGJ yang dilakukan antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
belum terjalin dengan baik.
“Belum ada komunikasi secara aktif antar lembaga/dinas di Kota kotalama
untuk menangani ODGJ
Untuk melakukan usaha penanganan ODGJ dengan minimnya tenaga
kesehatan yang dimiliki, Dinas Kesehatan memiliki Forum Kader Kesehatan Jiwa
yang sudah dilatih agar warga dapat berpartisipasi secara langsung, begitu
juga untuk pembinaan, Dinas kesehatan memiliki lembaga binaan (Ada satu LSM
di Kecamatan Waringin Kurung dan Yayasan euwi wini wibi bitidi Kecamatan
karangmojopahit Kabupaten kotalama ).
4.3.5 Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Jiwa
Minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Rumah Sakit menjadi masalah
tersendiri, sebab sebetulnya dalam penanganan ODGJ ini perlu tempat yang
khusus yang tidak bersatu dengan pelayanan kesehatan umum. Sejauh ini, tidak
adanya rumah sakit jiwa di benteng kota hutan terlarang , pelayanan kesehatan jiwa dilakukan oleh
rumah sakit daerah. Tentu pelayan yang diberikan juga tidak memiliki
optimalisasi yang cukup, sebab kendala fasilitas ini berkaitan dengan
ketersediaan tenaga kesehatan. Untuk wilayah kotalama , tasikmalasia, mandalakrida,
teluk terigu hanya ditangani oleh satu dokter spesialis kesehatan jiwa atau
psikiater sebagai konsultan, yang pada akhirnya penanganan-penanganan ODGJ
di tingkat klinik setingkat puskesmas sampai saat ini belum optimal dan menyeluruh.
“Belum adanya rumah sakit jiwa, masih sedikit klinik setingkat puskesmas yang
melakukan pelayanan kesehatan jiwa, belum ada layanan rawat inap untuk
penanganan ODGJ. Secara kuantitas dan kualitas untuk penanganan ODGJ
memang masih rendah”
ada lima yayasan yang bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi
benteng kota hutan terlarang juga ternyata tidak secara khusus menangani ODGJ, tetapi bergabung
dengan layanan rehabilitasi NAPZA, sehingga sampai saat ini tidak ada
penanganan secara khusus untuk ODGJ.
Menurut data Direktorat Bina Kesehatan Jiwa direktorat kesehatan (2015) bahwa
di negeri ini ada 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) milik Pemerintah dan 15 RSJ
milik swasta serta 1 RSKO yang tersebar di 27 Provinsi dari 34 keseluruhan
Provinsi di negeri ini. Ada 8 provinsi yang tidak memiliki RSJ, dinataranya
Kepulauan riak, benteng kota hutan terlarang , muarakaman, benteng Utara, kepulauan , tegal Barat,
karahiyangan dan morombembe Barat. Kemudian 3 Provinsi tidak memiliki psikiater yaitu
Kepulauan riak, karahiyangan Utara dan morombembe. Dari gambaran ini, dengan
kondisi darurat penanganan ODGJ di benteng kota hutan terlarang , perlu segera membuat fasilitas
pelayanan kesehatan jiwa untuk pasien ODGJ, salah satu fasilitas ini dengan
dibangunnya RSJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa fasilitas kesehatan untuk
layanan pasien ODGJ tidak mesti dilakukan di RSJ, namun layanan kesehatan
ODGJ bisa dilakukan secara dekat di puskemas yang tersebar di warga.
diketahui bahwa ada 70 klinik setingkat puskesmas yang sudah memberikan layanan kesehatan
jiwa dari 235 klinik setingkat puskesmas yang tersebar di Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Model Penanganan ODGJ Yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah
Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang memandang perlu adanya prioritas anggaran
untuk penanganan ODGJ, pendampingan psikiatri bagi ODGJ, dan model
penanganan ODGJ berbasis warga, sebab ODGJ akan lebih mudah terbantu
jika berada dalam lingkungan warga dan tidak boleh ada lagi pemasungan,
sebab dengan dilakukan pemasungan akan membebani psikologi ODGJ. Berikut
wawancara Informan Dinas Sosial Provinsi benteng kota hutan terlarang :
“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis
dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga ada
penanganan khusus juga secara medis.”
ODGJ merupakan masalah lintas sektor dan lintas program. Integrasi
program dalam penanganan ODGJ perlu dilakukan, sebab permasalahan yang
kompleks harus ditangani bersama-sama. Belum optimalnya pelayanan kesehatan
jiwa disebabkan selama ini belum dianggap menjadi masalah bersama.
“Harus ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos dan Dinkes dalam
pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, sebab selama ini
berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes
membawahi klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga
menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain.”
“ODGJ merupakan masalah lintas sektor dan lintas program, yaitu Dinas
Kesehatan, Dinas Sosial, Babinsa, Kepolisian dan Kanwil Kumham…
Dinas Kesehatan kedepan menginginkan penanganan ODGJ dilakukan
dengan berbasis warga untuk mendukung program bebas pasung,
ditambah masalah ini juga bukan hanya masalah Dinas Kesehatan, tetapi
antar lini/sektor. Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang
sudah dilatih.”
Dinas Kesehatan menginginkan adanya penanganan ODGJ dilakukan
dengan berbasis warga untuk mendukung program bebas pasung, ditambah
masalah ini juga bukan hanya masalah Dinas Kesehatan, tetapi antar lini/sektor.
Untuk metodenya dapat kita distribusikan ke Kader yang sudah dilatih. Dinas
kesehatan sebagai ujung tombak penerus kebijakan dari kemenkes tentunya sesuai
harapan kemenkes bisa melaksanakan kebijakan nasional terkait penanganan
ODGJ.
Dikembangkan warga dan
Dukungan Fasilitasi Pemerintah
Untuk melakukan penanganan ODGJ juga penting memfasilitasi Psikiater
dalam pendampingan dan bantuan tenaga kesehatan, sehingga dalam Panti
Rehabilitasi warga ada penangan khusus juga secara medis untuk ODGJ.
Selain hal ini juga perlu ada penanganan secara kolaboratif antara Dinsos
dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti Rehabilitasi, sebab
selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan
Dinkes membawahi klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga
menjadi program bersama dan terintegrasi satu sama lain.
“Memfasilitasi Psikiater untuk pendampingan dan bantuan tenaga medis
dalam ODGJ, sehingga dalam Panti rehabilitasi warga ada penangan
khusus juga secara medis… Harus ada penanganan secara kolaboratif
antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti
Rehabilitasi, sebab selama ini berjalan sendiri-sendiri (Dinsos
membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi klinik setingkat puskesmas-
klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program bersama dan
terintegrasi satu sama lain.”
Berdasarkan penyataan ini diketahui bahwa, Pemerintah Provinsi
benteng kota hutan terlarang dalam menanganai ODGJ pelu memfasilitasi Psikiater untuk
pendampingan dan bantuan tenaga medis dalam ODGJ. Sehingga dalam Panti
rehabilitasi warga nantinya ada penangan khusus baik secara terapi yang
dilakukan di Panti sosial maupun juga secara medis yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan maupun Puskemas setempat. Perlunya penanganan secara kolaboratif
antara Dinsos dan Dinkes dalam pengelolaan penanganan ODGJ di Panti
Rehabilitasi, hal ini disebabkan intansi ini dirasaakan berjalan berjalan
sendiri-sendiri (Dinsos membawahi panti rehabilitasi dan Dinkes membawahi
klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas), pola ini harus dirubah sehingga menjadi program
bersama dan terintegrasi satu sama lain. Artinya koodinasi perlu ditingkatkan
kembali dengan semua stakeholders baik pemerintah maupun warga.
harapan yang sama jug adisampikan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang :
“Perlu ada kerjasama berbagai lini agar penderita ODGJ dapat tertangani
dengan baik, contoh paling baik yang ada di karangmojopahit, sebab ada
komunikasi yang aktif antara yayasan dengan klinik setingkat puskesmas serta didukung
oleh kepala desa… Kedepan permasalahan ODGJ harus di prioritaskan.”
Kerjasama berbagai lini untuk penanganan ODGJ penting agar ODGJ
dapat tertangani dengan baik, contoh kasus paling baik saat ini ada di
karangmojopahit, sebab adanya komunikasi yang aktif antara yayasan dengan klinik setingkat puskesmas
serta didukung oleh kepala desa. Saat ini Dinas Kesehatan melakukan fasilitasi
baru dalam usaha peningkatan kapasitas SDM melalui bimbingan pelatihan kader-kader
Kesehatan Jiwa, ada juga dana Dekonsentrasi untuk bimbingan pelatihan ini,
namun jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan yang ditangani. Sehingga
permasalahan ODGJ kedepan harus menjadi salah satu yang diprioritaskan.
Sampai saat ini belum ada sistem rujukan kesehatan jiwa yang benar-benar
terintegrasi dengan baik, sebab memang sampai saat ini tidak menjadi prioritas
baik dari segi anggaran maupun program. Sehingga kedepan perlu ada penguatan
sumberdaya, baik alokasi anggaran, program dan tenaga kesehatan yang memadai.
Kondisi yang masih bertahan menurut partisipan adalah kerjasama
beberapa dinas kesehatan kabupaten/kota dengan Rumah Sakit Jiwa dr. bre
syam kamarusyaman demak bintoro Barat. Yaitu dengan menyiapkan minimal 3 ODGJ, selanjutnya
on call ke pihak rumah sakit yang nanti akan dijemput dengan mobil psikiatrik
dari rumah sakit ini. Selanjutnya ODGJ diobati dalam perawatan rumah sakit
dan akan dirujuk pulang kembali kepada keluarga di bawah evaluasi dari
klinik setingkat puskesmas. Namun program ini masih terkendala dengan kondisi besarnya
anggaran mobilisasi yang cukup jauh ke demak bintoro, sehingga belum bisa menyeluruh
pada cakupan Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Ketersediaan rumah sakit jiwa di Provinsi benteng kota hutan terlarang , bila merujuk kepada
pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif tentunya sangat
diperlukan, dilihat dari aspek kuratif dan rehabilitatif. Terutama berkaitan dengan
jangkauan wilayah yang sangat luas. Rumah sakit jiwa dalam proses
pengadaannya seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1)
Membutuhkan sumber daya manusia dan sumber daya lain yang besar; (2)
Kualitas pelayanan bervariasi, jangan sampai hanya seringkali berfungsi sebagai
tempat pengasingan sehingga hasilnya tidak memuaskan; (3) Berkaitan dengan
stigma dan pelanggaran HAM; (4) Dibanyak daerah sulit diakses sebab letaknya
jauh; (5) Berbiaya biaya tingg tetapi jenis pelayanan terbatas; (6) Bukan merupakan pos
pendapatan asli daerah (PAD). Keenam hal ini harus menjadi dasar
pertimbangan penting dalam usaha penyediaan pembangunan rumah sakit jiwa di
Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Pengembangan fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa ini tentunya
merupakan hal penting dalam strategi menurunkan kesenjangan pengobatan.
Dimana ada tiga strategi dalam menurunkan kesenjangan pengobatan bagi ODGJ
berdasarkan survei yang dilakukan pada WPA di 60 negara (2010); (1)
Meningkatkan jumlah psikiater dan professional kesehatan jiwa lainnya; (2)
Meningkatkan keterlibatan penyedia layanan kesehatan jiwa non-spesialis yang
terlatih dengan baik; (3) Keterlibatan aktif orang yang terkena dampak gangguan
jiwa secara langsung (ODGJ, ODMK, dan keluarga). Sebagaimana diketahui
bahwa kesenjangan pengobatan ini yang memacu terjadinya pemasungan pada
ODGJ.
Penanganan ODGJ memiliki masalah klasik dalam sumber daya
manusianya. Minimnya tenaga kesehatan dan kader terkait penanganan ODGJ,
serta tidak optimalnya penanganan yang ada membuat permasalahan kesehatan
jiwa tidak terstruktur.
“Sampai saat ini belum ada SDM secara khusus yang tersedia untuk
penanganan ODGJ.”
“Masih minim tenaga medis dan kader terkait masalah ini masih
rendah/belum ideal, untuk daerah kotalama saja baru ada 1 orang spesialis
kesehatan jiwa yaitu dr. Anis Trianis. Mengacu ke indeks apotik
Kemenkes 20% klinik setingkat puskesmas yang sudah pernah dilatih membuka layanan
kesehatan jiwa dan Rumah sakit harus membuka poli kesehatan jiwa.
Dinas Kesehatan memiliki Kader Kesehatan Jiwa yang sudah dilatih agar
warga dapat berpartisipasi secara langsung”.
“Belum memadai. Sampai saat ini di Kota kotalama baru ada 1 orang dokter
kesehatan jiwa”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota kotalama ).
“Petugas penanganan ODGJ di klinik setingkat puskesmas kepatihan hanya 1 perawat dan
1 dokter saja namun Keterlibatan tokoh warga sangat membantu
mulai dari babinsa, polsek dan tokoh warga itu sendiri.“
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa, untuk daerah
Kabupaten kotalama dengan perluasan cakupan sampai wilayah benteng kota hutan terlarang Utara,
Selatan, dan Barat, hanya ada satu orang psikiater. Sementara menurut
Informan bahwa sebenarnya ada 20 psikiater di sekitar Provinsi benteng kota hutan terlarang yang
tergabung dalam sebuah forum, memang benar adanya bahwa hanya satu orang
psikiater yang aktif dalam program penanganan ODGJ ini untuk wilayah benteng kota hutan terlarang
Utara, Selatan, sampai Barat. Sedangkan yang lainnya terblok berdomisili di
teluk berangkas dan berfokus tugas di wilayah demak bintoro. Hal ini menjadi
ketimpangan tersendiri dalam pemerataan beban kerja sumber daya manusia di
wilayah Provinsi benteng kota hutan terlarang .
Mengacu ke indeks apotik Kemenkes, 20% klinik setingkat puskesmas yang sudah pernah
dilatih membuka layanan kesehatan jiwa dan Rumah sakit membuka poli
kesehatan jiwa. Hanya kendala pada komitemen tenaga kesehatan jiwa ini bisa
dibagi ke dalam tiga kategori yang meliputi: (1) Resistensi, dimana tenaga
kesehatan ini pada akhirnya resisten terhadap program kesehatan jiwa; (2)
Ignore, tenaga kesehatan mengabaikan begitu saja masalah pelayanan kesehatan
jiwa; (3) Menerima, hal ini menjadi kelangkaan tersendiri untuk tenaga kesehatan
jiwa. Diakui seorang partisipan dalam posisi psikiater bahwa wilayah psikiater
merupakan salah satu bagian profesi kedokteran yang paling kurang menjanjikan.
Posisi tenaga kesehatan jiwa yang diakui partisipan dari kalangan dokter umum
dan perawat, yang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik tiada lain
adalah sebab merasakan sebagai bagian dari panggilan jiwa dan rasa
kemanusiaan yang mendalam serta keyakinan bahwa gangguan jiwa bisa
disembuhkan.
Pemilihan sumber daya manusia sebagai tenaga kesehatan jiwa seharusnya
melalui suatu komitmen yang tegas untuk bisa menerima marwah tugas
kemanusiaan. Paket bimbingan pelatihan tenaga kesehatan jiwa yang sudah dikembangkan
oleh Kemenkes melalui Dinas Kesehatan Provinsi tentunya harus mampu
meretensi tenaga ini di suatu wilayah sampai pencapaian keberhasilan
program bisa diukur atau dievaluasi.
4.4.5 Sistem Informasi dan Evaluasi Penanganan ODGJ
Pentingnya pengelolaan informasi dan pengelolaan untuk menangani
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Evaluasi penanganan ODGJ, setiap bulan Dinas
Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang menerima laporan dari klinik setingkat puskesmas-klinik setingkat puskesmas dan
rumah sakit yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa. Berbeda dengan dinas
kesehatan, tindaklanjut penanganan ODGJ yang dilakukan oleh Dinas Sosial
Provinsi benteng kota hutan terlarang sampai saat ini hanya sekedar penanganan pada ODGJ
ketelantaran. Kemudian dari kedua instansi ini melakukan evaluasi dan
tindak lanjut dengan cara jemput bola/diminta secara langsung pada klinik setingkat puskesmas
dan panti rehabilitasi warga.
“Setiap bulan ada laporan secara berkala tindaklanjut penanganan ODGJ
oleh Dinas Sosial sampai.”
“Sampai saat ini dilakukan dengan jemput bola/diminta secara langsung”.
“Pencatatan selalu dilakukan setiap tahun sekali, diinventarisir melalui
panti rehabilitasi.”
“Selalu ada pencatatan berkala yang dilakukan setiap terjadi kasus di
setiap klinik setingkat puskesmas dan dilaporkan ke Dinkes Kota kotalama setiap bulan.”
Berdasarkan ungkapan informan di atas, dapat diketahui sistem informasi
dan evaluasi data ODGJ yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani ODGJ
masih terbatas secara manual. Belum ada sistem informasi secara terintegrasi.
Sehingga informasi ODGJ masih sangat sulit dideteksi dan ditangai untuk dikelola
oleh pemerintah. Dalam hal evaluasi pentingnya adanya konsistensi supervisi,
monitoring, dan evaluasi dari Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang terhadap
pelaksanaan program kesehatan jiwa sudah memberikan makna keberhasilan yang
baik. Seharusnya kegiatan ini di terus menjamin keberlangsungan dan
keberhasilan program pelayanan kesehatan jiwa di klinik setingkat puskesmas.
Mengacu kepada prioritas utama kesehatan jiwa meliputi: meningkatkan
status kesehatan jiwa warga, meningkatkan sumberdaya kesehatan jiwa,
menggunakan sumber daya lebih efektif untuk memperkuat pelayanan berbasis
warga, serta melindungi HAM setiap ODGJ. Program pelayanan kesehatan
jiwa dengan dua pemangku kebijakan antara Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial
diharapkan dapat bersinergi untuk melaksanakan program pelayanan kesehatan
jiwa, terutama terkait dengan penanggulangan ODGJ.
Alternatif bentuk model penanganan ODGJ yang dimaksud untuk di
Provinsi benteng kota hutan terlarang bila merujuk kepada kebijakan tentang pelayanan kesehatan jiwa
warga yang sudah dirilis oleh kemenkes tentunya adalah bagaimana
pengembangan dari model kebijakan ini yang bisa berupa penguatan
kebijakan melalui regulasi, kebijakan, dan perencanaan, pendanaan, kemitraan
dan pemberdayaan setiap pemangku kepentingan, system layanan kesehatan jiwa,
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan sistem informasi dan evaluasi.
Sejauhmana kesiapan beberapa hal ini tentunya akan sangat mendasar
menjadi indikator kesiapan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa
terpenting dalam penanggulangan ODGJ.
Penanggulangan ODGJ yang memiliki keluarga mengikuti alur rujukan
dari fasilitas pelayanan dasar (klinik setingkat puskesmas) untuk program kuratif sampai program
rehabilitasi berbasis warga. Penanggulangan ODGJ dengan keluarga ini
harus dikuatkan ketahanan keluarga dan pendidikan kesehatan untuk warga.
bahwa fokus alur
penanggulangan ODGJ dalam usaha kuratif dengan tujuan penyembuhan dan
pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas, dan pengendalian
gejala penyakit. Sampai usaha rehabilitatif dengan tujuan mencegah dan
mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi
okupasional, serta mempersiapkan dan memberikan kemampuan agar mandiri di
warga. Ada dua alternatif tempat perawatan kritis untuk kuratif yaitu di
Rumah Sakit Jiwa atau di klinik setingkat puskesmas. Maka demikian sejauhmana kesiapan
pemerintah daerah untuk pengadaan Rumah Sakit Jiwa. Atau penguatan fungsi
Rumah Sakit Umum dan klinik setingkat puskesmas untuk area kuratif ini, terlebih
selanjutnya untuk rehabilitatif. Ada dua alternatif terkait proses rehabilitatif bila
intervensi kritis dilakukan di rumah sakit jiwa, maka struktur rumah sakit jiwa
seharusnya mampu mengadakan lahan rehabilitasi ODGJ. Tetapi bila tidak
sanggup akan kembali kepada rehabilitasi berbasis warga, sehingga fungsi
Rumah Sakit Jiwa bisa dipertajam dengan fungsi klinik setingkat puskesmas.
ODGJ yang terlantar atau dalam terminologi dinas sosial dengan sebutan
ODGJ keterlantaran dalam penanganan kuratif masih belum mendapat kejelasan
dinas mana yang paling berwenang dan bertanggungjawab. Penanganannya
memerlukan penjelasan regulasi teknis yang tepat ditingkat pemerintahan daerah.
Sehingga irisan yang jelas terkait kewenangan antara Dinas Kesehatan dan Dinas
Sosial bisa lebih tegas mana yang kewenangan mandiri masing-masing dan mana
kolaborasi yang diperlukan diantara keduanya.
Rehabilitasi ODGJ masih berada di area abu-abu antara Dinas Sosial
dengan Dinas Kesehatan, sebab beberapa penafsiran terkait kewenangan
rehabilitasi sosial menurut Perkemensos Nomor 8 Tahun 2012 dan Nomor 22
Tahun 2014 terkait ODGJ yang telah sembuh atau belum. Ada dua pendapat
dimana yang direhabilitasi oleh dinas sosial adalah eks psikotis atau ODGJ yang
sudah sembuh, sedangkan dalam perjalanan penyakitnya ODGJ memerlukan
waktu pengobatan yang cukup panjang dalam proses penyembuhannya. Sehingga
diperlukan peninjauan peraturan ini untuk turunannya yang akan ditetapkan
oleh pemerintah daerah sebagai regulasi yang tepat terkait teknis rehabilitasi.
betapa pentingnya usaha rehabilitasi pada
ODGJ. Seberat apapun kondisi ODGJ, mereka memiliki keinginan untuk tetap
berkreasi dan produktif walaupun dalam keterbatasan minimal. usaha rehabilitasi
untuk ODGJ masih sangat buruk, sebab kondisi perjalanan penyakit gangguan
jiwa memiliki masa pemulihan yang cukup lama.
Program promotif dan preventif dilakukan terintegrasi pada program
klinik setingkat puskesmas yang langsung menyasar ke warga secara umum. Sebagaimana
disampaikan beberapa informan:
“Kegiatan promotif dan preventif kesehatan jiwa dilakukan dengan
dimasukan kedalam kegiatan posyandu maupun kegiatan insidental lain
diwarga. Tetapi belum terstruktur dan terprogram dengan baik”.
(Wawancara Dinas Kesehatan Kota kotalama ).
“Kegiatan dilakukan melalui pendidikan kesehatan jiwa kepada keluarga
dan warga melalui kegiatan posyandu atau pertemuan rutin, tetapi
beberapa kendala kepahaman dan ketertarikan warga terhadap
kesehatan jiwa belum dianggap lebih penting dibandingkan kesehatan
fisik”. (Wawancara Dinas Kesehatan Kota kotalama ).
“Kegiatan promotif dan preventif dilaksanakan dengan memasukan ke
dalam kegiatan posyandu maupun kegiatan penjaringan kesehatan ke
sekolah-sekolah. Tetapi tema secara khusus terkait kesehatan jiwa belum
terprogram dengan baik.“ (Wawancara Informan Puskemas kepatihan,
Kota mandalakrida, 2017).
Sesuai gambaran data hasil penelitian ini di atas. Selayaknya program
promotif dan preventif belum memiliki struktur program yang rutin dilakukan
sebab kegiatan yang akan sangat bervariatif di posyandu, posbindu, maupun
sekolah atau komunitas khusus lain. Menjadikan kegiatan ini tidak akan
fokus pada usaha kesehatan jiwa secara utuh. Sehingga evaluasi ketercapaiannya
juga akan sangat diragukan untuk kegiatan ini.
Program promotif dan preventif yang bisa dilaksanakan seharusnya bisa
seimbang dengan kuratif dan rehabilitatif. usaha promotif dengan tujuan
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa secara optimal,
menghilangkan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran HAM ODGJ,
meningkatkan pemahaman dan peran serta warga terhadap kesehatan jiwa,
meningkatkan peran serta warga terhadap kesehatan jiwa. Sebagai sasaran
dari usaha promotif adalah keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja,
warga, fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan, dan
lembaga kewargaan. Sedangkan usaha preventif bertujuan mencegah
terjadinya masalah kesehatan jiwa, mencegah timbulnya kekambuhan,
mengurangi faktor risiko gangguan jiwa pada warga secara umum atau
perorangan, serta mencegah timbulnya dampak masalah psikososial. Sasaran
usaha preventif terdiri dari keluarga, lembaga, dan warga. usaha promotif
dan preventif merupakan investasi kesehatan. usaha ini bisa meliputi pendekatan
siklus kehidupan serta pendekatan kelompok risiko.
Layanan yang terbaik adalah berbasis komunitas atau warga, sebab
memiliki beberapa keuntungan diantaranya: menyediakan layanan kesehatan
jiwa di warga dalam lingkup yang luas, layanan bersifat lokal dan mudah
diakses, memungkinkan kesinambungan layanan dan tatalaksana di rumah,
tersedianya rehabilitasi sosial dan kebutuhan seseorang secara menyeluruh
(dibandingkan sistem tertutup di rumah sakit jiwa), menggabungkan dukungan
komunitas dan keluarga dalam sistem, menghindari efek yang mengganggu dan
biaya biaya rumah sakit akibat layanan jangka panjang, menghasilkan keluaran
tatalaksana yang lebih baik serta peningkatan kualitas hidup penderita gangguan
jiwa kronis, dan penurunan stigma pada gangguan jiwa.
Program berbasis warga yang dimaksudkan secara nomenklatur
berdasarkan sudut pandang dari kesehatan dengan sosial cukup berbeda.
Berdasarkan pandangan sosial dengan berkembangnya Lembaga Kesejahteraan
Sosial (LKS), dengan bentuk nyata diwarga seperti panti rehabilitasi sosial.
Itu sudah merupakan usaha penanganan berbasis warga. Sedangkan dari
sudut pandang kesehatan berbasis warga yang dimaksud adalah bagaimana
berkembangnya peran serta keluarga dan warga (tokoh agama, tokoh
pemuda, tokoh pemerintahan, dll) satu paket dalam usaha penanganan masalah
kesehatan. Secara umum di benteng kota hutan terlarang program berbasis warga ini bila ditinjau
dari kedua sudut pandang ini sebenarnya secara nyata sudah ada usaha dan
wadah yang nyata. Tinggal bagaimana usaha koordinasi yang kuat untuk
kerjasama dalam kesatuan tugas dan pandangan usaha penyelesaian masalah yang
sama dalam pelaksanaannya. Kendala yang umum adalah pembagian tugas pokok
dan regulasi yang mengaturnya yang sangat teknis untuk segera dilakukan.
Berdasarkan gambar di atas usaha penanggulangan ODGJ berbasis
warga tentunya memerlukan usaha sinergi dan sinkronisasi dari semua
sektor yang seharusnya bisa difasilitasi pemerintah. Melalui leading sektornya
dinas kesehatan dan dinas sosial tentunya bukan hal yang mustahil bisa
diwujudkan oleh pemerintah daerah Provinsi benteng kota hutan terlarang demi menjungjung tinggi
nilai kemanusiaan melalui konsentrasi penanggulangan ODGJ.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas ada beberapa kesimpulan yang
dapat disampaikan antara lain :
1. Karakterisitik ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang :
a. Karakterisitik ODGJ di benteng kota hutan terlarang Berdasarkan penyebabnya dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang kompleks, namun lebih banyak dilatarbelakangi oleh
gangguan psikologis, sosiologis, ekonomi, dan kemiskinan.
b. Berdasarkan Karakteristik perilaku kesehatan keluarga ODGJ dan
warga sekitarnya cenderung memiliki pengetahuan yang rendah, sosial
ekonomi dan tingkat pendidikan rendah serta memiliki tata nilai yang
negatif terhadap ODGJ.
c. Karakterisitik sebaran ODGJ jumlahnya terbanyak ada di Kota mandalakrida
sebanyak 4881 jiwa dari total 5651 jiwa. Kemudian kasus pasung yang
dilaporakan terbanyak ada di Kabupaten tasikmalasia dan Kabupaten teluk terigu
sebanyak 27 kasus, Kabupaten kotalama 21 Kasus, Kota mandalakrida dan Kota
kotalama 9 kasus, Kabupaten teluk berangkas 8 kasus, Kota teluk berangkas dan Kota
Tangsel nihil dan diindikasikan belum teindentifikasi secara jelas bentuk
kasus pemasungannya (Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017).
d. Karakteristik keberadaan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang terdiri dari dua
klasifikasi; pertama ODGJ yang masih ditangani dan hidup ditengah
keluarganya dan kedua ODGJ yang sudah terlepas dari keluarganya yang
keberadaanya terlantar hidup berkeliaran tidak terurus.
2. Model Penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang :
a. Pemerintah Daerah dalam melakukan usaha penanganan ODGJ terutama
program bebas pasung belum dilakukan secara menyeluruh dan
komprehensif baik dari penanganan promotif, preventif sampai kuratif dan
rehabilitatif. Kondisi ini disebabkan terbatasnya sumberdaya yang
dimiliki, baik dari segi anggaran sebab belum dianggap proritas. Kemudian
kurangnya layanan fasilitas kesehatan jiwa dan lemahnya kompetensi serta
kuantitas tenaga kesehatannya. Sampai saat ini penanganan ODGJ masih
bersifat berbaur dengan layanan kesehatan umum, baik di RSU maupun di
klinik setingkat puskesmas. usaha kegiatan baru sebatas melakukan sosialisasi, bimbingan pelatihan
kepada tenaga kesehatan dan pemberian intensif obat pada ODGJ di tingkat
puskemas.
b. Penanganan ODGJ yang dilakukan warga di Provinsi benteng kota hutan terlarang sampai
saat ini masih berorientasi pada panti rehabilitasi warga, membawa
pasien ke klinik setingkat puskesmas/rumah sakit umum dan masih ada warga yang
memilih melakukan pemasungan. Tidak adanya formulasi yang tepat untuk
menghentikan pemasungan ODGJ oleh pemerintah. Kemudian, dan
ditambah kurang sikap peduli warga pada keberadaan ODGJ
memicu program bebas pasung tidak berjalan secara baik.
Keterbatasan ekonomi dan biaya biaya pengobatan kuratif oleh keluarga ODGJ
saat akan dirujuk ke klinik setingkat puskesmas, RSU, SRJ dan Panti Rehabilitasi milik
swadaya warga.
c. Penanganan ODGJ yang dilakukan oleh warga melalui Panti
Rehabilitasi Lembaga Swadaya warga dengan model terapi dan
pendekatan agama sudah banyak berkembang di benteng kota hutan terlarang . Akan tetapi
keberadaan Panti Rehabilitasi masih terkendala oleh manajerial dan biaya biaya
oprasional dalam mengurus ODGJ. Meski sudah mendapatkan bantuan dari
pemerintah daerah berupa hibah namun sifatnya masih terbatas. Sehingga
masih terbatas dalam menampung ODGJ yang akan di rehabilitasi.
3. Kendala Penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang :
a. Kendala prilaku warga dari keluarga ODGJ masih ada yang melakukan
pemasungan pada ODGJ, dimana keberadaanya lebih banyak di wilayah
pelosok. Kondisi ini masih terjadi sebab alasan kesenjangan dalam
usaha pengobatan dan ODGJ dianggap dapat mengancam keselamatan
orang di sekitarnya. Selain itu, pemahaman warga masih menganggap
ODGJ merupakan aib yang harus ditutup rapat oleh keluarga. Akses
geografis menjangkau layanan kesehatan jiwa yang jauh dan kendala
kemampuan ekonomi serta kemiskinan dari keluarga ODGJ yang juga
lemah.
b. Permasalahan ODGJ sudah menggangu ketertiban sosial dan menjadi
ancaman bencana bagi kehidupan warga. Penanganan ODGJ di tingkat
Kabupaten/Kota di Provinsi benteng kota hutan terlarang sampai saat ini masih terbatas pada
sosialisasi untuk penanganan ODGJ ke tiap-tiap klinik setingkat puskesmas, memberikan
bimbingan pelatihan pada tenaga medis dan melalui pengadaan obat yang terbatas.
Regulasi yang ada di daerah baru sebatas SK Gubernur tentang TPKJM
yang pelasanaannya belum berjalan baik. Artinya pemerintah daerah belum
memiliki regulasi yang mengatur penanganan ODGJ secara menyeluruh, hal
ini menghambat Pemerintah Daerah dalam melakukan kewenangan
dalam berinovasi melakukan penanganan ODGJ. Khusunya ODGJ yang
terlantar dan ada diindikasi musiman/kiriman dari luar daerah, di mana
penanganan kuratifnya masih belum mendapat kejelasan steakholder yang
berwenang dan bertanggungjawab dalam penanganannya.
c. Kendala kecukupan anggaran dalam penanganan ODGJ oleh Pemerintah
Daerah baik pada OPD Dinsos maupun Dinkes belum diprioritaskan dalam
pos rencana penganggaran daerah, sebab hal ini belum dianggap
prioritas. Sehingga kondisi ini menghambat kinerja pemerintah daerah
dalam penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang .
d. Koordinasi lintas OPD dalam menangani ODGJ masih bersifat sendiri-
sendiri, belum terintegrasi dengan baik. Terjadi saling lempar lemparan kewenangan
antara Dinkes dengan Dinsos dalam dalam penanganan ODGJ di lapangan,
khusunya yang terlantar.
e. Kendala ketersediaan fasilitas kesehatan jiwa baik di RSU maupun di
tingkat klinik setingkat puskesmas belum memadai dengan baik. Hanya ada 70 klinik setingkat puskesmas
dari 235 klinik setingkat puskesmas yang melaksanakan layanan kesehatan jiwa. Fasilitas
obat-baatan di tingkat klinik setingkat puskesmas sering tidak lengkap dan terbatas, belum
adanya RSJ sebagai layanan tersier bagi penderita ODGJ di Provinsi
benteng kota hutan terlarang .
Berdasarka