Rabu, 03 Mei 2023

gangguan jiwa 1

Seiring dengan dinamisnya kehidupan manusia serta kondisi masalah 
kehidupan yang dihadapi seperti: globalisasi, perubahan demografi, dan tuntutan 
kebutuhan warga. Dampak negatifnya telah merubah perilaku individu, 
keluarga, dan warga. Memunculkan masalah psikososial dan gangguan 
kesehatan jiwa yang berakibat pada rendahnya kualitas dan produktivitas sumber 
daya manusia. Akhirnya akan menjadi lingkaran setan antara gangguan kesehatan 
jiwa dengan kemiskinan.  
Masalah kesehatan jiwa di dunia sudah menjadi masalah kesehatan global  
yang sangat serius. Hampir 400 juta penduduk dunia menderita masalah kesehatan 
jiwa dan gangguan perilaku, satu dari empat keluarga sedikitnya memiliki 
seorang anggota keluarga dengan gangguan kesehatan jiwa (WHO, 2011). Setiap 
empat orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan seorang diantaranya 
mengalami gangguan jiwa dan sering kali tidak terdiagnosis secara tepat sehingga 
tidak memperoleh perawatan dan pengobatan dengan tepat. Menurut World 
Federation of Mental Health atau disingkat WFMH (2016) dalam (Ikatan Dokter 
negeri ini, 2016) ada fakta mencengankan, bahwa satu dari empat orang dewasa 
akan mengalami masalah kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya. 
Bahkan, setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal 
sebab bunuh diri. 
Masalah jiwa menimbulkan beban yang sangat besar terutama beban sosial 
dan ekonomi, dimana mengakibatkan proporsi besar terhadap beban penyakit 
serta penyebab terbesar disabilitas yang hampir 14% dari beban penyakit global 
yang diukur dengan disability-adjusted life years (DALYs), disebabkan oleh 
gangguan jiwa. Hal ini akan sangat mempengaruhi pencapaian MDGs/SDGs. 
Selain hal ini gangguan jiwa (depresi mayor unipolar) menjadi beban global 
penyakit selain penyakit jantung iskemik pada tahun 2020 dan setelah HIV-AIDS 
pada tahun 2030 (Global Burden of Disease-WHO, 2012). Fenomena orang 
dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan 
 
 
yang signifikan di dunia, sehingga trend dan isu kesehatan jiwa global ini akan 
berpengaruh terhadap beberapa Negara termasuk negeri ini. 
Data di negeri ini untuk masalah kesehatan jiwa tertuang dalam hasil 
Riskesdas (2013). Gejala gangguan mental emosional seperti depresi dan anxietas 
pada usia lebih sama dengan 15 tahun sebesar 6% atau sebanyak lebih dari 10 juta 
jiwa. Prediksi ke depan akan semakin menambah angka gangguan jiwa berat 
(psikosis) dengan angka gejala-gejala psikosis sebesar 1,7/1000 atau sebesar lebih 
dari 450.000 jiwa. Akan menjadi fenomena bola salju bila masalah kesehatan jiwa 
dan fisik dimana ada 20% - 30% pasien depresi pada pasien dengan penyakit 
fisik kronis dan orang yang mengalami penyakit fisik kronis cenderung 2-3 kali 
lebih sering mengalami depresi, sebaliknya 2/3 dari orang yang mengalami 
depresi lebih tinggi kemungkinannya untuk timbul penyakit fisik yang kronis. 
ada hubungan yang bermakna antara depresi dengan penyakit fisik kronis 
(penyakit jantung, asma, arthritis). Sebanyak 14,3% (lebih dari 60.000) dari 
penduduk negeri ini yang mengalami gangguan jiwa berat, mengatakan pernah 
dipasung. Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan 
salah satu dampak  kesenjangan pengobatan terhadap gangguan jiwa. Begitu besar 
data kejadian masalah gangguan jiwa yang aktual dan potensial di negeri ini yang 
sangat penting dilakukan penanganan serius, terutama melalui kehadiran 
pemerintah. 
Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, ODGJ terbesar 
terdiagnosa medis skizofrenia yaitu 70% (Depkes RI, 2003). Kelompok 
skizofrenia menempati 90% ODGJ di rumah sakit jiwa di seluruh negeri ini (Jalil, 
2006). Salah satu masalah dalam penanganannya menurut Olfson dkk (2000) 
dalam Stuart & Laraia (2005) adalah terjadinya kekambuhan dimana dialami oleh: 
60%-70% pada ODGJ yang mendapatkan terapi medikasi; 40% pada ODGJ yang 
hanya mendapatkan medikasi, serta 15,7% pada ODGJ dengan kombinasi terapi 
medikasi, psikoterapi dan mendapat dukungan dari tenaga kesehatan, keluarga, 
dan warga, kekambuhan ini terjadi pada satu tahun setelah terdiagnosa 
skizofrenia. 
 
 
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk negeri ini menurut hasil 
Riskesdas (2013) angka tertinggi gangguan jiwa berat ada di Yogyakarta dan 
Aceh (masing masing 2,7%), sedangkan yang terendah yaitu benteng Barat 
(0,7%), sementara untuk Provinsi benteng kota hutan terlarang  prevalansinya (1,1%). Adapun untuk 
prevalensi gangguan jiwa berat nasional adalah 1,7 per mil. Berdasarkan 
prevalansi gangguan jiwa berat ini, posisi Provinsi benteng kota hutan terlarang  masih di bawah 
angka nasional. Meski demikian Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  tidak bisa diam 
untuk berusaha meminimalisir kondisi ini. 
 
Gambar 1.1 Prevalensi Gangguan Mental Emosional Berdasarkan Karakteristik, 
Riskesdas Tahun 2007 dan 2013 
 
Sumber: Riskesdas Kemenkes (2013) 
 
Berdasarkan data gambar ini diketahui bahwa prevalensi gangguan 
mental emosional berdasarkan karakteristik Riskesdas 2007 dan 2013 terjadi 
penurunan. Menurut kelompok umur gangguan mental tertinggi berada di umur 
75 tahun ke atas. Prevalensi untuk jenis kelamin, perempuan merupakan yang 
tertinggi dan untuk tingkat pendidikan posisi tidak sekolah menjadi yang tertinggi. 
Adapun Berdasarkan karakteristik wilayah, posisi pedesaan adalah merupakan 
paling tinggi dibandingkan perkotaan. 
Frekuensi kekambuhan dan proporsinya dalam satu tahun menambah 
masalah penanganan skizofrenia pada ODGJ selain angka kekambuhan. Survei 
yang dilakukan pada 697 psikiater serta 1082 keluarga oleh Federasi Kesehatan 
 
 
Jiwa Sedunia (World Federation of Mental Health) tahun 2006 menunjukan hasil 
bahwa hampir 37% keluarga menyatakan ODGJ kambuh lima kali atau lebih 
setelah terdiagnosa skizofrenia. Hal ini diperkuat bahwa ODGJ dengan 
skizofrenia mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun 
kedua (Sulinger, 1988 yang dikutip oleh Keliat, 2003), bahkan ODGJ dengan 
skizofrenia mengalami kekambuhan 25% pada tahun pertama, 70% pada tahun 
kedua, dan 100% pada tahun ketiga di RS dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 
2003 (Jalil, 2006). 
Beberapa hal ini di atas tidak terlepas dari kondisi saat ini, dimana 
ada kesenjangan pengobatan yang masih tinggi mencapai 90%, adanya 
keterlambatan dalam pengenalan masalah kesehatan jiwa, keterlambatan dalam 
membawa orang dengan masalah kejiwaan ke fasilitas kesehatan, serta adanya 
kasus-kasus pemasungan. Sementara sumber daya layanan kesehatan jiwa secara 
nasional masih terbatas. Identifikasi terhadap kesenjangan pengobatan beberapa 
penyebab diantaranya adalah kondisi geografis yang sulit dijangkau, tingkat 
pengetahuan warga terhadap kesehatan jiwa masih rendah, stigma terhadap 
kesehatan jiwa, sumber daya pendukung layanan kesehatan jiwa masih terbatas, 
serta faktor ekonomi, sosial, dan budaya. 
Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta 
warga oleh sebab produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan 
beban biaya biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, 
gangguan ini menghabiskan biaya biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat 
ini masih ada pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa 
berat di negeri ini. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan 
jiwa belum memadai. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah melalui 
Kementerian Kesehatan adalah menjadikan negeri ini bebas pasung oleh sebab 
tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar 
hak asasi manusia (Riskedas Kemenkes, 2013). 
Selain gangguan jiwa berat, Riskesdas Kemenkes (2013) juga melakukan 
penilaian gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional merupakan 
istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini merupakan keadaan 
 
 
yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. 
Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental 
emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan 
tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi 
gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Perhatian besar 
ditunjukan WHO (2001), dimana  jika 10% dari populasi penduduk mengalami 
masalah kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian serius sebab sudah 
terkategori rawan kesehatan jiwa yang perlu disikapi secara serius oleh semua 
pihak. 
Setiap orang dijamin oleh Negara untuk bisa hidup sejahtera lahir dan 
batin serta memperoleh pelayanan kesehatan, hal ini merupakan amanat 
UUD Tahun 1945 (Pasal 28 ayat 1). usaha untuk meminimalisir dan 
mengendalikan permasalahan kesehatan jiwa, Pemerintah negeri ini sudah 
berusaha dengan membuat regulasi dan berbagai program penanganan. 
Keseriusan pemerintah dalam menangani hal ini dengan dikeluarkannya 
Undang-undang No. 3 Tahun 1966 dan diperbaharui dengan UU No. 18 Tahun 
2014 tentang Kesehatan Jiwa. 
Pemerintah negeri ini juga mencanangkan pada Tahun 2017 ini sebagai 
tahun “bebas pasung”. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari tingginya 
angka pasung di negeri ini, Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa gangguan 
jiwa berat yang pernah dipasung sebesar 14,3 persen. Tindakan pemasungan 
dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai pada kaki, 
tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk 
mengurung dan penelantaran, yang menyertai salah satu metode pemasungan 
(Kemenkes, 2013). Begitu pun potret di Provinsi benteng kota hutan terlarang  yang juga menjadi salah 
satu representasi dari kondisi nasional. 
Berdasarkan data hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukan 1 dari 17 
penduduk di benteng kota hutan terlarang  memiliki gangguan mental emosional (anxietas dan depresi) 
serta sekitar 13.200 penduduk di benteng kota hutan terlarang  memiliki gangguan jiwa berat (psikotik). 
Bila disikapi dengan bijak, penanganan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  harus sangat 
serius mengingat pergeseran dari masalah gangguan emosional yang akan 
 
 
semakin beresiko bergeser ke masalah gangguan jiwa berat dan lambat atau cepat 
menambah angka ODGJ. Diperkuat dengan laporan data kasus pasung per 
kabupaten/kota pada periode Januari-Juli 2017, dari 5851 yang dilaporkan sudah 
4881 (87%) yang ditangani dengan Kota mandalakrida yang melaporkan data kasus 
paling tinggi yaitu 2923 (52%) dan sudah ditangani seluruhnya. Sedangkan 
jumlah pasung yang dilaporkan masih ada 101 ODGJ dengan sebaran terbanyak di 
Kabupaten teluk terigu dan Kabupaten tasikmalasia yaitu masing-masing 27 (27%) 
(Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang , 2017). Sehingga kondisi masalah kesehatan jiwa di 
benteng kota hutan terlarang  ini perlu segera ditangani dengan model penanganan yang tepat dan 
komprehensif pada semua populasi; populasi sehat, populasi resiko tinggi dan 
populasi dengan gangguan jiwa. 
Sesuai kebijakan dari pemerintah pusat dengan nawa cita, nomor lima 
yaitu usaha meningkatkan kualitas hidup manusia negeri ini. Arah pembangunan 
kesehatan di negeri ini sesuai dengan RPJMN III 2015-2019, dari kuratif bergerak 
ke arah promotif dan preventif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. usaha 
promotif dan preventif kesehatan jiwa meliputi pendekatan siklus kehidupan dan 
kelompok resiko serta terintegrasi pada semua tingkat layanan kesehatan dan 
kegiatan layanan primer dan sekunder. 
Perkembangan ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  Berdasarkan banyaknya kondisi 
yang dipasung jumlahnya terus mengalami peningkatan. Data Riskesdas 
Kemenkes (2013) menyatakan persentasenya mencapai 10,3 persen. Jumlah 
ODGJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  terus mengalami peningkatan, data Dinas Kesehatan 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  (2015) pada Oktober 2015 tercatat ada sebanyak 1.600 orang dan 
pada September 2016 mencapai 1.650 orang. Fenomena ini perlu menjadi 
perhatian pemerintah daerah untuk ditangani secara serius. 
Penderita gangguan jiwa atau ODGJ ini seringkali menjadi kaum marjinal 
yang dilupakan keberadaannya oleh jutaan penduduk di benteng kota hutan terlarang . Padahal, sebagai 
warga negara, warga penderita gangguan jiwa tetap memiliki hak 
sebagaimana yang dimiliki warga tanpa gangguan jiwa. Khususnya hak 
mendapatkan pelayanan kesehatan serta hak-hak yang lainnya baik dari 
warga maupun pemerintah. Fenomena permasalahan orang yang terganggu 
 
 
kesehatan jiwa seringkali berakhir dengan dirantai atau dikurung di ruang yang 
penuh sesak dan sangat tidak sehat, tanpa persetujuan mereka, sebab stigma dan 
minimnya perawatan kesehatan jiwa dan dukungan pelayanan berbasis 
warga. Di institusi itu mereka menghadapi kekerasan fisik dan seksual, 
menjalani pengobatan paksa termasuk terapi elektro-syok, diisolasi, dibelenggu, 
dan dipaksa menerima kontrasepsi. 
Pemasungan orang dengan kondisi kesehatan jiwa adalah tindakan ilegal 
di negeri ini, tapi ini masih jadi praktik brutal dan berkembang luas, Orang 
menjalani hidupnya selama bertahun-tahun dengan dirantai, diikat di balok kayu, 
atau dikurung di kandang kambing sebab keluarga tak tahu lagi yang harus 
dilakukan. Sementara pemerintah belum bisa memberikan solusi alternatif yang 
tepat dalam pengobatan yang manusiawi untuk warga. Berikut ini 
perkembangan data Kasus Pasung di Provinsi benteng kota hutan terlarang  dari 2014-2017: 
Tabel 1.1 Data Kasus Pasung di Provinsi benteng kota hutan terlarang  dari 2014-2017 
No Perkembangan Kasus Pasung Tahun 2014 2015 2016 2017 
1 Jumlah pasien yang di laporkan 88 189 1706 5651 
2 Jumlah pasien yang ditangani 83 181 820 4881 
3 Jumlah pasien yang dilepas   25 23 
4 Jumlah yang dipasung    101 
5 Jumlah yang rujuk    444 
Sumber: Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang  (2017) 
Berdasarkan tabel ini bahwa perkembangan data kasus pasung di 
Provinsi benteng kota hutan terlarang  dari 2014-2017 tercatat semakin meningkat. Hal ini dilihat 
dari jumlah pasien yang dilaporkan di tahun 2017 semakin memuncak sebanyak 
5651 orang, sementara yang dilaporakan 4881 orang, pasien yang dilepas 23 
orang, yang dipasung 101 orang dan jumlah yang dirujuk sebanyak 444 0rang. 
Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  melalui Dinas kesehatan secara umum sudah 
memulai usaha penanganan dengan turunan kebijakan dan program dari 
kementrian kesehatan.  Beberapa hal terkait layanan kesehatan jiwa warga di 
benteng kota hutan terlarang  belum terintegrasi dengan baik pada beberapa level seperti rumah sakit 
jiwa (RSJ), layanan psikiatri/psikologi di RSU, layanan kesehatan jiwa di 
klinik setingkat puskesmas, kelompok swabantu, LSM peduli kesehatan jiwa, dan perawatan diri 
 
 
di keluarga (self care). Masalah kesehatan jiwa tidak menjadi perhatian pemangku 
kebijakan terkait dengan beberapa hal seperti kesehatan jiwa belum menjadi 
agenda prioritas, investasi pemerintah di bidang kesehatan jiwa masih rendah 
termasuk sumber daya manusia untuk pelayanan kesehatan jiwa, anggaran untuk 
program kesehatanjiwa sangat kecil tidak sebanding dengan beban yang 
ditimbulkan. Sumber daya kesehatan jiwa masih terkonsentrasi di RSJ di kota 
besar sehingga mempengaruhi akses dan kontinuitas layanan kesehatan jiwa. 
Layanan kesehatan jiwa belum secara merata terintegrasi di layanan primer; masih 
kurangnya dokter dan perawat terlatih jiwa, ketersediaan obat baik jenis, dan 
jumlah yang masih kurang, sebagian besar klinik setingkat puskesmas tidak menjalankan program 
kesehatan jiwa dengan alasan kesehatan jiwa bukan program psrioritas. Banyak 
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota tidak memiliki pemegang program 
kesehatan jiwa. 
Tabel 1.2 klinik setingkat puskesmas Yang Melaksanakan Layanan Kesehatan Jiwa di 
Kabupaten/Kota Provinsi benteng kota hutan terlarang  
No Kabupaten / Kota Jumlah klinik setingkat puskesmas 
Jumlah klinik setingkat puskesmas 
yang Membuka 
Layanan Jiwa 
1 Kota kotalama  16 6 
2 Kabupaten kotalama  31 13 
3 Kabupaten teluk terigu 36 11 
4 Kabupaten tasikmalasia 42 11 
5 Kota teluk berangkas 33 7 
6 Kabupaten teluk berangkas 44 9 
7 Kota teluk berangkas Selatan 25 5 
8 Kota mandalakrida 8 8 
 
Provinsi 235 70 
Sumber: Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang  (2017) 
 
Berdasarkan tabel ini diketahui bahwa jumlah layanan jiwa di 
klinik setingkat puskesmas yang ada di benteng kota hutan terlarang  baru ada 70 klinik setingkat puskesmas dari 235 puskemas yang 
ada di Provinsi benteng kota hutan terlarang . Sejauh ini Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  baru sebatas 
mengoptimalkan peran klinik setingkat puskesmas yang ada dalam menangani permasalahan 
penyakit ganggunan jiwa, dengan menyediakan obat dan menjadi pusat konsultasi. 
Sejauh ini di benteng kota hutan terlarang  belum ada rumah sakit rujukan dan ada rumah sakit yang 
 
 
menangani masalah kesehatan ini di setiap daerah khususnya daerah dengan 
jumlah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan 
Kejiwaan (ODGJ). 
Keseriusan Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  tentunya harus 
mempertimbangkan penanganan masalah kesehatan jiwa yang mengacu kepada 
sistem kesehatan jiwa antara lain; (1) Regulasi, kebijakan, dan perencanaan; (2) 
Finansial; (3) Kemitraan dan pemberdayaan, pemangku kepentingan; (4) Sistem 
layanan kesehatan jiwa; (5) Infrastruktur; dan (6) Sistem informasi dan evaluasi. 
Sehingga sangat penting dalam usaha melakukan penanganan ODGJ 
mendapatkan data dasar terlebih dahulu terkait kesiapan keenam sistem kesehatan 
jiwa ini. Begitu pula regulasi yang akan menjadi landasan hukum dalam 
pelaksanaan penanganan. 
Payung hukum sudah cukup jelas diturunkan dari mulai UU No.36 tahun 
2009 tentang kesehatan, mengenai layanan kesehatan jiwa pada pasal 144, 146, 
dan 147. UU No.18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa yang terdiri dari 10 bab 
dan 91 pasal, mengenai layanan kesehatan jiwa pada pasal 33 dan 34, serta 
didukung satu peraturan presiden terkait koordinasi dalam pelaksanaan usaha 
kesehatan jiwa, empat peraturan menteri kesehatan dan satu peraturan menteri 
sosial. Bagaimana untuk kesiapan regulasi pada pemerintah daerah?. Hal ini 
tentunya akan berpengaruh terhadap model penanganan yang akan ditetapkan. 
Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  secara regulasi di daerah juga belum memiliki 
peraturan daerah yang berkaitan dengan penganan orang dengan gaganguan jiwa. 
hal ini menyulitkan pemerintah untuk leluasa berinovasi melakukan usaha 
penanganan secara masif. 
Finansial dan pendanaan tentunya pemerintah daerah saat menggulirkan 
suatu pola kebijakan penanganan kesehatan jiwa perlu merasa memiliki sumber 
dana yang memadai, memiliki perencanaan pengajuan maupun penggunaan 
dana serta memiliki kapasitas untuk dapat membuat perencanaan dana yang baik. 
Apakah masih tergantung kepada pendanaan pusat, hal ini tentunya harus segera 
menggali potensi daerah untuk mengalokasikan pada kegiatan pelayanan 
kesehatan jiwa ini. 
10 
 
10 
 
Penanganan ODGJ harus melibatkan berbagai pihak dalam kemitraan dan 
pemberdayaan. Masalah kesehatan jiwa harus dipahami dan dinggap menjadi 
masalah bersama, memiliki mitra pemangku kepentingan, dan usaha advokasi 
yang dilakukan harus dirasakan efektif. Terkait hal penting lain adalah 
membangun system layanan kesehatan jiwa dengan memiliki fasilitas kesehatan 
jiwa yang cukup, memiliki kemampuan dan aktivitas layanan kesehatan yang 
cukup (preventif dan rehabilitatif) dan sistem rujukan berjenjang dan dua arah 
yang berjalan sesuai dengan harapan. Fenomena yang terjadi masih ditemukan 
orang gila (ODGJ) yang berkeliaran di Jalur Protokol yang membuat 
terganggunya ketertiban dan kenyamanan kota. Beberapa usahan razia kerap 
dilakukan oleh Dinas Sosial bersama dengan Satpol PP Pemerintah 
Kabupaten/Kota, namun kondisi ini belum ampuh menyelesaikan 
permasalahan. Banyaknya ODGJ yang berkeliaran diduga juga ada pihak-pihak 
yang melakukan pengiriman dari luar daerah di benteng kota hutan terlarang . 
Sumber daya manusia, infrastruktur harus terpenuhi secara kuantitas dan 
kualitas dari mulai tingkat dinas, klinik setingkat puskesmas, sampai warga. Fisik bangunan, 
obat, dan alat penunjang layanan, transfortasi sesuai kebutuhan. Serta sistem 
informasi dan evaluasi yang meliputi pencatatan dan pelaporan sebagai gambaran 
capaian saat ini untuk menyusun rencana tindak lanjut dan sumber daya manusia 
yang memiliki kapasitas pengelolaan sistem informasi yang baik. 
usahan Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  sejuh ini dalam melakukan 
penanganan ODGJ belum secara masif. Meski sudah ada beberapa usaha seperti 
yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Provinsi benteng kota hutan terlarang  yaitu 
dengan pemeriksaan, menyediakan obat hingga rehabilitasi. Korban ODGJ yang 
ditangani adalah rata-rata mereka yang menjadi korban pemasungan. Setelah 
dilakukan pemeriksaan dan pengobatan, korban ODGJ kemudian diserahkan 
kepada yayasan yang ditunjuk sebagai Instalasi Penerima Wajib Lapor (IPL) 
untuk dilakukan rehabilitasi, di mana ada empat yayasan sejauh ini ditunjuk oleh 
pemerintah daerah, salah satunya Yayasan Bani Sifa di Kecamatan Pamarayan 
Kabupaten kotalama . 
11 
 
11 
 
Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  juga belum memaksimalkan layanan BPJS 
(Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) Kesehatan. Padahal langkah ini 
bisa meringkankan beban ekonomi keluarga pasien ODGJ. Fasilitasi 
pelayanannya dengan mengunakan fasilitas BPJS dapat meringkan pengobatan 
keluarga pasien ODGJ. usaha Pemerintah Provinsi benteng kota hutan terlarang  untuk menangani 
permasalahan ODGJ sudah berencana akan mendirikan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). 
Tahapan ini baru sebatas pengamatan bahwa RSJ akan dibangun di 
Kecamatan Ciruas, Kabupaten kotalama , seluas lima sampai enam hektar 
(tangselpos.co.id, dikases 24-08-2017). Namun usaha terebut hingga saat ini 
belum ada tanda-tanda akan dibangunnya RSJ di Provinsi benteng kota hutan terlarang  ini. 
Fenomena kompleksnya permasalahan penanganan ODGJ di atas, maka 
penanganannya perlu melibatkan oleh semua stakeholders, baik pemerintah 
maupun partisipasi warga. Perlu dilakukan penanganan kesehatan jiwa 
berbasis warga yaitu dengan cara pemberdayaan serta membangun 
kemandirian warga dibidang kesehatan jiwa. Berdasarkan amanat UU No. 8 
Tahun 2014 di atas sudah secara tegas bahwa sistem pelayanan Kesehatan Jiwa 
harus dilakukan secara berjenjang dan komprehensif. Maka pemerintah tentu tidak 
bisa melaksanakan sistem palayanan kesehatan jiwa ini dengan baik tanpa 
keterlibatan semua pihak khusunya warga. Sehingga, Pemerintah daerah 
perlu mendukung fasilitasi dari penanganan rehabilitasi ODGJ berbasis 
warga. 
Berdasarkan uraian latar belakang ini maka untuk menyusun, 
membuat skema dari penanganan ODGJ tentunya terlebih dahulu harus diketahui 
kesiapan sistem kesehatan jiwa di atas, demikian pentingnya diketahui kesiapan 
sistem ini sehingga harus melalui usaha telaah dengan sebuah penelitian. 
 
1.2 RUMUSAN MASALAH 
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, setelah 
dilakukan identifikasi permasalahan mengenai “Model Penanganan Orang Dengan 
Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang ”. Maka, ada beberapa rumusan 
masalah yang hendak dikaji untuk diteliti dalam penelitian ini, diantaranya: 
12 
 
12 
 
1. Bagaimanakah usaha penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) 
di Provinsi benteng kota hutan terlarang ? 
2. Apa kendala penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di 
Provinsi benteng kota hutan terlarang ? 
3. Bagaimana bentuk dan usaha yang harus dilakukan untuk penanganan 
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang ? 
 
1.3 TUJUAN  
Tujuan penelitian penelitian model penanganan Orang dengan Gangguan 
Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang  adalah bertujuan untuk mengetaui, mengkaji dan 
menganalisis dan serta merumuskan: 
1. Untuk mengetahui model penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa 
(ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
2. Untuk Mengetahui kendala penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa 
(ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
3. Untuk menganalisis dan menemukan bentuk dan usaha yang harus 
dilakukan sebagai model penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa 
(ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang . 
 
1.4 SASARAN 
Untuk dapat merealisasikan tujuan ini di atas, maka pelaksanaan 
penelitian Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang , di arahkan 
pada sasaran manfaat sebagai berikut : 
1. Diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi 
pemerintah daerah dalam merumuskan program kebijakan, khususnya 
masukan alternatif kebijakan dalam usaha penanganan masalah Orang 
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berkesinambungan di Provinsi 
benteng kota hutan terlarang . 
2. Dapat menyusun rekomendasi tentang alternatif tindakan dan pemikiran 
mengenai usaha-usaha yang harus dilakukan dalam rangka 
penyempurnaan kebijakan program berkaitan dengan model penanganan 
13 
 
13 
 
masalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang  
secara tuntas. 
3. Diharapakan penelitian model penanganan orang dengan gangguan jiwa 
(ODGJ) di Provinsi benteng kota hutan terlarang , diikuti oleh Aparatur dari Dinsos Provinsi 
benteng kota hutan terlarang , Dinkes Provinsi benteng kota hutan terlarang , Kader Kesehatan, Tokoh warga, 
Tokoh Agama, Aparat Desa, dan unsur SKPD Kabupaten/Kota Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  dan Aparatur Badan Perencanaan dan Pembangunan Provinsi 
benteng kota hutan terlarang . 
 
1.5 DASAR HUKUM 
1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 25A, Pasal 28H ayat (1), pasal 31 
pasal, dan pasal 33 ayat  (3). 
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang 
(Lembaran Negara Republik negeri ini Tahun 1992 Nomor 115,  
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi 
benteng kota hutan terlarang  (Lembaran Negara Republik negeri ini Tahun 2000 Nomor 182, 
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4010); 
4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional 
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan 
Teknologi; 
5. Undang-undang no. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan 
Nasional. 
6. Undang-undang 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan 
Pembangunan Nasional. 
7. Undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian 
Kewenangan; 
9. Undang Undang Republik negeri ini Nomor 11 Tahun 2009 Tentang 
Kesejahteraan Sosial; 
14 
 
14 
 
10. Undang Undang Republik negeri ini Nomor 36 Tahun 2009 Tentang 
Kesehatan; 
11. Undang Undang Republik negeri ini Nomor 18 Tahun 2014 Tentang 
Kesehatan Jiwa; 
12. Undang Undang Republik negeri ini Nomor 8 Tahun 2016 Tentang 
Penyandang Disabilitas; 
13. Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun 2007 tentang Kebijakan 
Kerjasama Daerah; 
14. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan 
Pendidikan; 
15. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas 
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan 
Penyelenggaraan Pendidikan. 
16. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan 
Kesejahteraan Sosial; 
17. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua 
Atas PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; 
18. Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional; 
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik negeri ini Nomor 39 Tahun 
2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program negeri ini Sehat 
Dengan Pendekatan Keluarga. 
20. Peraturan Daerah Provinsi benteng kota hutan terlarang  Nomor 3 Tahun 2008 tentang 
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi 
benteng kota hutan terlarang ; 
21. Peraturan Daerah Provinsi benteng kota hutan terlarang  Nomor 8 Tahun 2010 Tentang 
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. 
15 
 
15 
 
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 
 
2.1 KEBIJAKAN PUBLIK 
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin, (2005) dapat 
dibedakan dalam tiga tingkatan: kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi 
pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang 
bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang 
bersangkutan. Kebijakan pelaksanaan, adalah kebijakan yang menjabarkan 
kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan 
suatu undang-undang. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di 
bawah kebijakan pelaksanaan. 
Definisi kebijakan menurut Aminullah (dalam Muhammadi, 2001) 
Kebijakan adalah suatu usaha atau tindakan untuk mempengaruhi sistem 
pencapaian tujuan yang di inginkan, usaha dan tindakan dimaksud bersifat 
strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh. Sedangkan menurut Ndraha 
(2003) bahwa kata Kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang 
memiliki arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi aktor dan 
lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat. 
Dari beberapa definisi Kebijakan, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa 
Kebijakan adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan 
oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan 
pertimbangan situasi tertentu. Jadi, Berdasarkan beberapa Definisi mengenai 
kebijakan, maka dapat di simpulkan, bahwa Kebijakan adalah intervensi 
pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan masalah dalam 
pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. 
Kebijakan Publik pada dasarnya merupakan keputusan atau pilihan 
tindakan secara langsung yang mengatur pengelolaan dan pendistribusian 
sumberdaya ini, baik sumber daya alam, financial, maupun sumberdaya 
manusia demi kepentingan publik (umum), yaitu rakyat banyak, penduduk, 
warga dalam suatu negara. Riant Nugroho (2003) menjelaskan bahwa 
ada tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan Kebijakan Publik, yaitu: 
16 
 
16 
 
Pertama, Perumusan Kebijakan. Kedua, Implementasi Kebijakan. Ketiga, 
Evaluasi Kebijakan. Di dalam pengertian Kebijakan Publik, menurut Young dan 
Quinn (dalam Edi Suharto, 2010): 
1. Kebijakan Publik adalah tindakan yang dibuat dan di implementasikan 
oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan 
financial untuk melakukannya. 
2. Kebijakan Publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, 
melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang 
dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. 
3. Kebijakan Publik adalah tindakan kolektif untuk memecahkan masalah 
sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan 
keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka 
kebijakan yang sudah ada dan sebabnya tidak memerlukan tindakan 
tertentu. 
4. Kebijakan Publik adalah kebijakan yang berisi sebuah pernyataan atau 
justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah 
dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. 
 
Di dalam analisis kebijakan publik yang dibuat ada pertimbangan lain 
dalam menetapkan suatu masalah sosial yang akan dijadikan pusat kajian 
kebijakan adalah penentuan apakah masalah ini termasuk kategori masalah 
sosial strategis atau tidak. Suharto (2010) mengajukan empat parameter yang 
dapat dijadikan pedoman untuk memecahkan masalah sosial. Selanjutnya menurut 
Thomas R. Dye dalam Riant Nugroho, (2008) mendefinisikan kebijakan publik 
sebagai “segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan 
dan hasil apa yang membuat kehidupan bersama tampil berbeda”. 
Sementara menurut Harold Laswell (dalam Riant Nugroho, 2008) 
mendefinisikan Kebijakan Publik “sebagai program yang diproyeksikan dengan 
tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai dan praktik-praktik tertentu. Kemudian menurut 
Riant Nugroho (2008), Kebijakan Publik adalah keputusan otoritas Negara yang 
mengatur kehidupan bersama. Dimana tujuan kebijakan publik dapat dibedakan 
dari sisi sumber daya atau risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan 
mendistribusi sumber daya Negara dan yang bertujuan menyerap sumber daya 
Negara. 
Kemudian menurut Chandler dan Plano (dalam Thoha, 2008) menjelaskan 
beberapa lingkup studi Kebijakan Publik meliputi hal-hal sebagai berikut: 
17 
 
17 
 
1. Adanya partisipasi warga (public participation). 
Ruang lingkup kebijakan publik yang pertama adalah membangkitkan 
adanya partisipasi warga untuk bersama-sama memikirkan cara-cara 
untuk mengatasi persoalan-persoalan warga. Tanpa adanya partisipasi 
warga maka kebijakan publik kurang bermakna. 
2. Adanya kerangka kerja kebijakan (policy framework). 
Kerangka kerja disini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian yang 
dilakukan. 
3. Adanya strategi-strategi kebijakan (policy strategies). 
Sesungguhnya kebijakan yang terbaik adalah kebijakan yang berlandaskan 
akan strategi yang tepat pemecahannya berkaitan dengan wilayah 
persoalannya dan sama sekali tidak menghilangkan struktur kekuasaan dan 
instrument-instrumen inovatif yang ada untuk pelaksanaan kebijakan 
publik. 
4. Adanya kejelasan tentang kepentingan warga (public interst). 
Public interest merupakan suatu objek kepentingan yang setiap orang 
merasa memberikan andil bersama-sama dengan orang lain dalam suatu  
negara untuk menentukan kepentingan bersama yang didasarkan atas 
pemikiran rasional dan adanya saling bertukar pikiran antara orang yang 
satu dengan yang lainnya. 
5. Adanya pelembagaan lebih lanjut dari kemampuan kebijakan public. 
Pelembagaan disini adalah diadakannya suatu lembaga riset yang 
idependen tentang kebijakan publik untuk menggali implikasi jangka 
panjang dari policy dengan menggambarkan pernyataan gambar masa 
depan, membuat unit baru pembuatan kebijakan, merancang kembali 
organisasi yang menangani program, penilaian dan evaluasi dari kebijakan 
yang telah ada. 
 
Berdasarkan beberapa definisi mengenai kebijakan publik, maka dapat di 
simpulkan, bahwa kebijakan publik adalah keseluruhan aktivitas pemerintah baik 
dilakukan sendiri maupun melalui berbagai badan yang lain, yang dimaksudkan 
untuk mempengaruhi kehidupan warga, dengan kata lain kebijakan publik 
ditempatkan sebagai  pengatur dalam warga, atau bisa di bilang kebijakan 
publik yaitu kebkotalama kaian kegiatan yang dibuat oleh pemerintah yang berisi 
berbagai pilihan untuk dilakukan maupun tidak dilakukan. 
Kebijakan Sosial, secara umum merupakan suatu perangkat, mekanisme, 
dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan 
pembangunan. Menurut Magill (dalam Edi Suharto, 2010) bahwa Kebijakan 
Sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik 
18 
 
18 
 
meliputi semua kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan 
keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). 
Selanjutnya, menurut Gilbert (dalam Edi Suharto, 2010) Kebijakan Sosial 
merupkaan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan sosial. Kemudian, Menurut Spicker (dalam Edi Suharto, 2010) Kebijakan 
Sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan, baik dalam arti luas, 
yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang 
menunjuk pada beberapa jenis pemberian intensif pelayanan kolektif tertentu guna 
melindungi kesejahteraan rakyat. Menurut David Gill (dalam Edi Suharto, 2010) 
Kebijakan Sosial adalah Perangkat dan mekanisme kewargaan yang perlu 
dirubah dari pengembangan sumber-sumber, pengalokasian status, dan 
pendistribusian hak. 
Sejalan kesimpulan berdasarkan definisi di atas, Kebijakan Sosial adalah 
perencanaan untuk mengatasi biaya biaya-biaya biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan 
pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial. Berdasarkan dari beberapa Definisi 
mengenai kebijakan  Sosial, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa kebijakan 
Sosial adalah kebijakan yang mencakup tentang pemecahan masalah sosial, aspek 
sosial dan lain-lain, serta berkaitan juga dengan tujuan sosial yang akan dilakukan. 
 
2.2 KONSEP PATOLOGI SOSIAL 
Sebelum membahas teori patologi, perlu diketahui bagaimana kita 
memandang manusia sebagai warga. Menurut teori sosial change (perubahan 
sosial), warga dipandang sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran warga 
ini, bukan bentuk riil dari warga itu sendiri (aliran sosial kritis). 
Sedangkan menurut teori sosial order, manusia dipandang sebagai benda yang 
dapat dikendalikan dan diatur sebagaimana benda (positivistik). Dari cara kita 
memandang masarakat, kemudian digabungkan dengan teori patologi sosial, maka 
diharapkan nantinya dapat menemukan kesimpulan jika diterapkan dengan 
lapangan. 
Konsep Patologi Sosial secara etimologis, kata “patologi” berasal dari 
kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti 
19 
 
19 
 
berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang 
penyakit atau ilmu tentang penyakit. Sedangkan kata “sosial” adalah tempat atau 
wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok 
manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang 
berinteraksi/berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam 
arti fisik. Maka pengertian dari “patologi sosial” adalah ilmu tentang gejala-gejala 
sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu 
tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat 
adanya manusia dalam hidup warga. 
Menurut Kenneth J Neubeck dkk (2007) dalam bukunya “Social Problem” 
bahwa teori patologi sosial mendasarkan diri pada analogi organisme biologi 
dengan organisme sosial, yang mana suatu masalah di analogikan dengan 
penyakit. Penyakit yang dimaksudkan di sini adalah penyimpangan dari keadaan 
normal. Suatu keadaan dikatakan normal apabila bagian-bagiannya saling 
memelihara organisme secara keseluruhan. Penyakit sosial itu berbeda menurut 
tempat dan waktu. 
 Menurut Koe Soe Khiam (1963) dalam Kartono Kartini (2003), bahwa 
Patologi Sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai 
unsur dari suatu keseluruhan sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok 
atau yang merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota-anggotanya, 
akibatnya pengikatan sosial patah sama sekali. Sedangkan, Blackmar dan Billin 
(1923) dalam Soerjono Soekanto (2012) menyatakan bahwa, patologi 
sosial diartikan sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan 
sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi 
perkembangan kepribadian. 
Teori patologi merupakan satu teori tentang masalah sosial. Masalah sosial 
berbeda dengan problema-problema lainnya di dalam warga. sebab masalah 
sosial ini berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial dan lembaga-lembaga 
kewargaan. Masalah ini bersifat sosial sebab bersangkut paut dengan 
hubungan antar manusia dan di dalam kerangka bagian-bagian kebudayaan yang 
20 
 
20 
 
normatif. Hal ini dinamakan masalah sebab bersangkut paut dengan gejala-gejala 
yang mengganggu kelanggengan dalam warga (Soerjono Soekanto, 2012). 
Berbagai macam pendapat dari para ahli tentang masalah-masalah sosial 
yang pada intinya mengacu pada penyimpangan dari berbagai bentuk tingkah laku 
yang mana dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal dalam warga. Dari 
berbagai pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa “patologi 
sosial” merupakan semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma 
kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas 
kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. 
 
2.3 ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) 
Dalam panduan klasifikasi gangguan jiwa, gangguan mental atau yang 
lebih umum dikenal dengan “gangguan jiwa”, dikonseptualisasikan sebagai suatu 
perilaku klinis yang signifikan atau pola/sindrom psikologis yang ditemukan pada 
seseorang dan terkait dengan tekanan yang sedang terjadi (misalnya, gejala sakit) 
atau disabilitas (misalnya kerusakan fungsi satu atau beberapa area pening) atau 
dengan peningkatan resiko atas kematian, rasa sakit, diabilitas atau kebebasan 
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV edition Text Revision 
DSMIV-TR,  2000). 
Lebih lanjut (Halgin & Whitborn, 2007) menjelaskan ada empat (4) 
dimensi yang menjadi kriteria seseorang digolongkan mengalami gangguan 
kejiwaan, yaitu: 
a. Tekanan (Distress). 
Pengalaman sakit emosional atau fisikal merupakan hal biasa dalam 
kehidupan sehari-hari. Namun, depresi dalam atau kecemasan berlanjut 
dapat menjadi begitu hebat sehingga seseorang tidak mampu 
menjalankan tugas-tugas kesehariannya. 
b. Kerusakan (Impairment). 
Seringkali tekanan berlebihan memicu seseorang tidak 
dapatberfungsi optimal atau bahkan mencapai fungsi rata-rata . 
c. Resiko terhadap diri sendiri atau orang lain. 
21 
 
21 
 
Resiko disini mengacu pada bahaya dan ancaman terhadap kesejahteraan 
seseorang. 
d. Perilaku yang secara sosial atau budaya tidak dapat diterima. 
Kriteria abnormalitas dipandang dari sudut kewajaran norma yang 
digunakan oleh suatu kelompok sosial atau budaya. 
 
Undang-undang No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, menyebutkan 
bahwa “Gangguan Jiwa” merupakan bentuk dari penyimpangan perilaku akibat 
adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku 
yang diakibatkan oleh menurunnya semua fungsi kejiwaan, yang meliputi proses 
berfikir, emosi, kemauan, dan perilaku psikomotorik, termasuk bicara. Menurut 
UU No. 18 Tahun 2014, yang dimkasud orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) 
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan 
yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku 
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam 
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.  Sementara ODMK (orang dengan 
masalah kejiwaan) adalah orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, 
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki 
risiko mengalami gangguan jiwa (UU No. 18 Tahun 2014 Pasal (2 dan 3). 
 
2.4 KONSEP SKIZOFRENIA 
Skizofrenia menurut Manualy Statisticaly of Mental Disorder IV adalah 
dua atau  lebih dari karakteristik gejala delusi, halusinasi, gangguan bicara 
(disorganitation speech) misalnya inkoheren, tingkah laku katatonik dan adanya 
gejala-gejala negatif (Stuart & Laraia, 2005). Skizofrenia dapat didefinisikan 
sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui) 
dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah 
akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Kaplan, 
Saddock, & Grebb, 1997). 
Skizofrenia merupakan suatu psiko-fungsional dengan gangguan utama 
pada proses pikir serta disharmoni (keretakan atau perpecahan) antara proses 
22 
 
22 
 
pikir, efek, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan terutama sebab 
waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoheren, efek dan 
emosi menjadi inadekuat,  psikomotor menunjukan penarikan diri, ambivalensi, 
autism dan perilaku bizarre (Maramis, 2006). Skizofrenia berdasarkan beberapa 
pendapat ini adalah sekumpulan gejala yang sangat bervariasi terhadap 
kondisi psikologis seseorang dan mengakibatkan perubahan perilaku dalam 
kehidupan sehari-hari. 
Ada beberapa teori yang mengatakan gangguan skizofrenia disebabkan 
oleh faktor gangguan skizofrenia yang berawal dengan keluhan halusinasi dan 
waham kejaran yang khas seperti mendengar pikirannya sendiri diucapkan dengan 
nada keras atau mendengar dua atau lebih memperbincangkan diri penderita 
sehingga merasa menjadi orang ketiga. Teori tentang penyebab skizofrenia 
(Maramis, 2006), yaitu:  
a. Keturunan 
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar 
satu telur, angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi saudara 
kandung 7%-15%, anak dengan salah satu menderita skizofrenia 7%-
16%. Apabila kedua orangtua menderita skizofrenia 40%-60% kembar 
dua telur 2%-15%. Kembar satu telur 61%-68%. Menurut hukum 
Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang bersifat resesif. 
b. Endokrin. 
Teori ini mengemukakan bahwa sering timbulnya skizofrenia pada 
waktu pubertas, waktu kehamilan dan waktu klimakterus. 
c. Metabolisme 
Gangguan metabolisme pada penderita skizofrenia, tampak pucat dan 
ujung ekstremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang serta 
penurunan  berat badan, pada penderita dengan stupor katatonik zat 
asam menurun. 
d. Susunan saraf pusat 
Penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan saraf pusat atau kortek 
otak. 
23 
 
23 
 
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kategori utama 
(Vedebeck, 2008) yaitu; (1) Gejala Negatif atau gejala samar, seperti afek datar, 
tidak memiliki kemauan, rasa tidak nyaman dan menarik diri dari warga. 
Gejala negatif sering kali menetap sepanjang waktu dan menjadi penghambat 
utama pemulihan dan perbaikan fungsi dalam kehidupan sehari-hari pasien; (2) 
Gejala Positif atau gejala nyata;  yang mencakup waham, halusinasi dan 
disorganisasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur. Gejala positif seperti 
halusinasi dapat dikontrol dengan pengobatan. 
 
2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN 
JIWA 
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa menurut (Halgin 
dan Whitbourne, 2007) membagi penyebab gangguan jiwa menjadi tiga (3) faktor, 
yaitu: 
a. Biologis 
Banyak gangguan jiwa berasal dari keturunan. Penelitian menemukan 
bahwa kemungkinan seorang anak menjadi depresi lebih besar terjadi jika 
orang tuanya juga mengalami depresi ketimbang anak yang berasal dari 
orang tua non depresi. Selain dari gen, para ahli klinis juga mencurigai 
gangguan fisik sebagai penyebab gangguan jiwa. Gangguan ini dapat 
berasal dari berbagai sumber, misalnya kondisi medis, kerusakan otak, 
atau keterpaparan dalam lingkungan tertentu. 
b. Psikologis 
Gangguan biasanya muncul sebagai akibat dari kesulitan pengalaman 
hidup. Trauma dapat menjadikan beban dalam diri seseorang yang 
mengarah pada gangguan kejiwaan. 
c. Sosiokultural 
Istilah Sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran sosial yang 
mempengaruhi hidup seseorang. Lingkaran paling kecil menunjukkan 
interaksi lokal yang paling intens dilakukan. Lingkaran ini dapat berupa 
keluarga, teman dekat, lingkungan sekolah, pekerjaan dan lingkungan 
24 
 
24 
 
rumah. Abnormalitas dapat terjadi saat konflik berlangsung antara 
seseorang dengan lingkungan lingkarannya. 
Dalam sudut pandang lain penyebab gangguan jiwa ini dibagi atas: 
a. Faktor Intrinsik 
Faktor intrinsik ini meliputi seluruh pengaruh yang berasal dari diri 
individu, termasuk gen, sistem otak dan aspek fisiologis lain. 
b. Faktor Ekstrinsik 
Faktor ekstrinsik meliputi semua pengaruh yang berasal dari hal di luar 
inidvidu, diantaranya: 
1) Keluarga 
Keluarga merupakan bagian yang paling penting dalam “jaringan 
sosial” anak, sebab anggota keluarga merupakan lingkungan pertama anak 
dan orang yang paling penting selama tahun-tahun formatif awal (Hurlock, 
1976). Orang tua adalah lingkungan terdekat yang mengajarkan kepada 
anak mengenai nilai-nilai dalam warga. Pola asuh orang tua 
berpengaruh besar terhadap kepribadian anak. Sekumpulan nilai-nilai 
dalam rumah tangga cenderung tercermin dalam perilaku anak di 
lingkungan sosial. Menurut (Baumrind, 1971, 1978) pola asuh orang tua 
dapat dibagi atas: 
Pertama Demokratis. orang tua memberikan keleluasaan bagi anak 
untuk diperlakukan secara adil dan sebagai anggota keluarga yang  
dihargai haknya. Pada pola asuh ini terlihat ada sikap terbuka antara orang 
tua dan anak dalam menyetujui aturan-aturan dalam keluarga. 
Kedua Otoriter. Orang tua yang menjalankan pola asuh otoriter 
menempatkan diri sebagai pengatur, penguasa dan penghukum. Orang tua 
tidak mengindahkan otonomi anak dan menerapkan aturan yang harus 
dipatuhi anak. 
Ketiga Permisif. Ini adalah kebalikan dari pola asuh otoriter, dimana 
anak dibiarkan berperilaku sesuai kehendaknya. Sikap orang tua yang 
mengalah terhadap keinginan anak ini menghilangkan media bagi anak 
untuk mengetahui mana yang benar dan yang salah. 
25 
 
25 
 
Keempat Sekolah dan Institusi Pendidikan Sekolah memiliki 
tanggung jawab dalam menjaga kesehatan siswa, bukan hanya secara fisik 
namun juga terkait dengan kesehatan mental, yang sering disebut psikolog 
sebagai wellbeing (kesejahteraan). Konu dan Rimpela merumuskan 
penerapan well-being di sekolah dengan terpenuhinya kebutuhan yang 
berkaitan dengan memiliki  (having), mencintai (loving), ada (being), dan 
sehat (health) (Konu & Rimpela, 2002). 
2) Lingkungan kerja 
Gangguan jiwa yang disebabkan lingkungan kerja rentan terjadi. Hal 
yang menjadi pemicu gangguan ini adalah ketidak puasan yang 
dilandaskan perbedaan antara keinginan dan kenyataan. Stres keuangan 
merupakan penyebab utama orang gagal di dunia kerja (Heidenreich & 
Pruter, 2009). 
Lebih lanjut menurut Harrington, Bean, Pintelio, dan Matthews 
2001, (dalam Heidenreich & Pruter, 2009) mencatat bahwa pekerja 
cenderung keluar saat mereka merasa lelah secara emosional, memiliki 
kepuasan kerja rendah, dan tidak puas dengan gaji serta kesempatan 
promosinya. Ditambahkan pula oleh Angerer (2003, dalam Heidenreich & 
Pruter, 2009) menyatakan bahwa tekanan dalam pekerjaan dapat 
memicu burnout dan penurunan tingkat kepuasan kerja. Pada tahun 
1959 Herzberg, Mausner dan Snyderman (dalam Heidenreich & Pruter, 
2009) mereka mengidentifikasikan faktor-faktor seperti prestasi, 
pengenalan, tanggung jawab, kemajuan dan perkembangan pribadi yang 
dianggap sebagai komponen intrinsik pekerjaan, cenderung memotivasi 
karyawan untuk bekerja lebih baik. Faktor seperti gaji, peraturan 
perusahaan, gaya kepemimpinan, kondisi kerja dan hubungan dengan rekan 
kerja cenderung merusak motivasi kerja jika tidak dipenuhi, namun tidak 
meningkatkan motivasi jika dicukupipun. 
 
 
 
26 
 
26 
 
2.6 PENANGANAN ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) 
Sesuai dengan Pasal 144 Undang Undang no 36 Tahun 2009 tentang 
Kesehatan, penanganan gangguan jiwa harus dilakukan dengan standar pelayanan 
kesehatan paripurna yang meliputi: 
1. Promotif. Promosi kesehatan adalah filosofi umum yang ide utamanya 
bahwa kesehatan atau kesejahteraan adalah pencapaian personal dan 
kolektif (Taylor, 2007). Lebih lanjut (Alberry dan Munafo, 2012) 
mendefinisikan promosi kesehatan sebagai segala intervensi, berbasis 
lingkungan dan berbasis behavioral, yang berusaha menunjukkan dan 
memungkinkan perubahanperubahan pada status kesehatan individu dan 
populasi. Aspek ini dilakukan dengan melakukan sosialisasi perilaku 
sehat. Menurut (Taylor, 2007) perilaku sehat adalah perilaku yang 
dilakukan untuk meningkatkan atau menjaga kesehatannya. Perilaku sehat 
yang senantiasa dilakukan akan menjadi kebiasaan sehat. Promosi 
kesehatan jiwa dilakukan untuk mengembangkan kebiasaan positif dalam 
menjaga kesejahteraan jiwa seseorang. sebab perilaku ini harus menjadi 
kebiasaan, maka promosinya dilakukan dari bentuk yang paling kecil dan 
paling sederhana sehingga mudah dilaksanakan sehari-hari. Oleh sebab 
itu, pembentukan perilaku sehat jiwa tidak terlepas dari lingkungan hidup 
individu, misalnya keluarga, sekolah, kantor, dan ruang publik. 
Pemerintah sebagai penanggung jawab kesejahteraan warga memiliki 
tugas untuk mengembangkan peraturan yang berperspektif kesehatan jiwa 
(WHO, 2007). 
2. Preventif. Aspek preventif dalam penanganan kesehatan jiwa dilakukan 
untuk mencegah terjadinya resiko gangguan kejiwaan berkembang. Dalam 
hal menekan permasalahan kejiwaan agar tidak meluas menjadi gangguan 
kejiwaan yang berat, maka mutlak dilakukan intervensi. Untuk aspek ini, 
psikolog berperan besar sebab dapat melakukan intervensi di rumah 
tangga, sekolah, kantor dan lingkungan sosial lain tanpa menjadikan 
Orang Dengan Gangguan Jiwa takut dilabeli memiliki masalah kejiwaan. 
27 
 
27 
 
3. Kuratif. Aspek kuratif dalam penanganan kesehatan jiwa lebih banyak 
menekankan pada intervensi medis. Oleh sebab itu dokter spesialis 
kedokteran jiwa dan perawat kejiwaan merupakan tenaga profesional yang 
paling dibutuhkan untuk menyediakan pelayanan kuratif. Selain itu, 
dibutuhkan pula sarana pelayanan kesehatan jiwa yang memadai di rumah 
sakit maupun klinik setingkat puskesmas. 
4. Rehabilitatif. Proses rehabilitasi pada penanganan kesehatan jiwa berbeda 
dengan rehabilitasi kesehatan umumnya. Dalam tahapan ini aspek 
rehabilitatif bertujuan untuk mengembalikan fungsi personal dan sosial. 
Seiring dengan perbaikan fungsi ini, pasien masih tetap menjalankan 
prosedur kuratif yang berfungsi untuk mengontrol pemicu gangguan 
kejiwaan. Artinya, aspek rehabilitatif dan kuratif tidak dapat dipisahkan 
dalam perbaikan kualitas hidup ODGJ. 
 
2.7 PERMASALAHAN PENANGANAN ODGJ 
Dalam mengelola permasalahan kesehatan jiwa di warga, Negara 
memberikan tanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian 
Sosial. Untuk itu dibentuklah direktorat khusus yang fokus menangani isu 
kesehatan jiwa, yang pada Kementerian Kesehatan di sebut Direktorat Bina 
Kesehatan Jiwa, sedangkan di Kementerian Sosial dinamakan Direktorat Jendral 
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang salah satu tugasnya adalah rehabilitasi 
penyandang masalah kesehatan jiwa. Namun demikian, usaha pemerintah dalam 
usaha penanganan kesehatan jiwa hingga saat ini belum optimal, hal ini terlihat 
dari belum tercerminnya struktur di Kementerian Kesehatan dan Sosial ini di 
daerah-daerah. Minimnya perhatian dari beberapa daerah terhadap kesehatan jiwa 
ditambah belum adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang yang 
khusus untuk penanganan kesehatan jiwa membuat pelayanan kesehatan jiwa 
terabaikan. 
negeri ini pernah memiliki Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang 
Kesehatan Jiwa, namun UU ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan 
hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992. Seiring berjalannya waktu UU Nomor 23 
28 
 
28 
 
Tahun 1992 juga dicabut dengan adanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang 
Kesehatan. Pengaturan mengenai Kesehatan Jiwa hanya diatur dengan 7 pasal 
pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX. Yang menjadi sorotan adalah tidak 
idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik dengan 
kesehatan psikis. Pengaturan yang ada masih sangat berorientasi pada kesehatan 
fisik, masih kurang memberikan porsi pada kesehatan psikis, kesehatan jiwa. 
Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap kesehatan jiwa berdampak 
pada kurangnya kebijakan-kebijakan di pemerintah yang pro kesehatan jiwa. 
Minimnya perhatian secara otomatis berdampak pada pendanaan yang minim, dan 
kurangnya tindakan nyata di tingkat akar rumput yang memperhatikan kesehatan 
jiwa warga. Sehingga yang terjadi dilapangan adalah semakin tumbuh 
suburnya gangguan-gangguan jiwa yang berujung pada disabilitas warga. 
Irmansyah (2009) secara detail telah menuliskan dampak minimnya 
perhatian pada kesehatan jiwa di warga, yaitu: (1) Sarana dan prasarana 
(untuk penanganan kesehatan jiwa) yang jauh dari mencukupi. (2) Jumlah tenaga 
profesional dan fasilitas yang sangat sedikit. (3) Tidak efisiennya sistem yang ada 
sekarang, sebab berpusat di rumah sakit jiwa (RSJ). (4) Tidak adanya sistem 
kesehatan mental yang berbasis warga. (5) Kesehatan mental tidak menjadi 
program prioritas di klinik setingkat puskesmas. (6) Anggaran Kementerian Kesehatan untuk 
kesehatan jiwa selalu dibawah 1% dan umumnya penggunaannya tidak tepat 
sasaran. (7) Di Kementerian Kesehatan, organisasi yang menangani kesehatan 
mental hanya setingkat direktorat, berada di bawah dirjen layanan medis. (8) 
Belum terpenuhinya hak-hak penderita, padahal Hak-hak mereka dijamin dalam 
Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia yang juga telah diadopsi dalam UUD 45 
pasal 25H(1) yaitu, “setiap manusia memiliki hak atas standar kehidupan yang 
cukup, bagi kesehatan diri sendiri dan keluarganya, yang mencakup tempat 
tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan, serta pelayanan sosial yang penting”. 
(9) Akses penderita terhadap layanan kesehatan sangat sulit, mengingat hampir 
semua RSJ terletak di ibukota propinsi. Bahkan masih ada provinsi yang belum 
memiliki RSJ (seperti di benteng kota hutan terlarang ); (10) Obat untuk penderita tidak tersedia di 
layanan primer, bila ada dengan jumlah yang sangat sedikit dan sangat 
29 
 
29 
 
ketinggalan jaman.(11) Kualitas dan kuantitas layanan di rumah sakit jiwa sangat 
tidak mencukupi. (12) Obat dengan kwalitas yang buruk. (13) Jenis layanan lain 
yang direkomendasikan WHO umumnya tidak tersedia. (14) Electro Convulsive 
Therapy masih menggunakan cara-cara kuno yang tidak manusiawi. (15) Isolasi 
pasien masih menggunakan cara-cara ikatan di tempat tidur yang tradisional 
(pasung). (16) Jumlah pegawai yang kurang membuat banyak RSJ mengunci 
penderita diruangnya sebelum jam 5 sore, mengabaikan hak-hak pasien untuk 
menikmati kehidupan yang normal. (17) Tidak ada program jangkauan layanan ke 
warga membuat banyak pasien yang kambuh hanya beberapa saat setelah 
kepulangan dari RSJ. (18) Program edukasi dan promosi yang tidak pernah ada. 
Apalagi program pencegahan, sama sekali tidak pernah terdengar. 
Salah satu penyebab begitu banyaknya penderita gangguan jiwa tidak 
mendapatkan pengobatan adalah tidak memadainya informasi tentang kesehatan 
jiwa. Tidak ada informasi memadai kepada publik bahwa gangguan kejiwaan 
adalah masalah medis yang dapat diobati. Ketidaktahuan ini bukan hanya terjadi 
di pedesaan atau di antara warga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan 
yang rendah, namun merata di semua kelas warga. Untuk itu dibutuhkan 
suatu kegiatan sosialisasi informasi yang bersifat masif, konsisten dan sistemik, 
yang menerangkan kepada publik tentang gangguan kejiwaan dan penanganannya. 
 
2.8 PERAN SERTA warga DALAM PENANGANAN ODGJ 
Rehabilitasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses 
penyembuhan penderita gangguan kejiwaan. Selama ini tahap ini dilakukan oleh 
panti-panti sosial baik milik pemerintah maupun swasta. Akan tetapi konsep panti 
rehabilitasi di negeri ini saat ini mirip dengan konsep suaka, dimana penderita 
diasingkan dan ditempatkan disebuah lokasi yang jauh dari warga agar tidak 
mengganggu ketertiban sosial. Saat ini pendekatan ini sudah tidak sesuai 
lagi. 
Permasalahan lainnya adalah sedikitnya fasilitas panti di negeri ini, 
terutama di benteng kota hutan terlarang  sehingga kebanyakan penderita tidak dapat tertampung 
dipanti-panti, sehingga 97% ODGJ tinggal di rumah masing-masing. Selain itu 
30 
 
30 
 
daya tampung panti yang sangat terbatas, biaya biaya operasional yang mahal, lokasinya 
yang jauh dari rumah penderita, dan kurangnya kontrol dari warga. Solusi 
atas permasalahan ini adalah dengan mendirikan tempat-tempat rehabilitasi 
berbasis warga sehingga ODGJ dapat tetap tinggal di rumah masing-masing. 
Tempat rehabilitasi ini bisa berbentuk pusat komunitas (Community Centre) yang 
menyediakan fasilitas pendidikan, olah raga, rekreasi, koperasi, dan lain-lainnya 
yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas, baik ODGJ maupun jenis 
disabilitas lainnya, dan di Community centre ini mereka dapat datang dan 
beraktivitas bersama warga sekitar. 
Kelebihan dari rehabilitasi berbasis warga ini adalah kebutuhan 
biaya biayanya yang lebih rendah sebab penderita tinggal dirumah masing-masing, 
lokasi yang tidak jauh dari rumah penderita, Community Centre juga di desain 
sehingga mengundang warga umum untuk dapat mengunjungi dan 
menikmati tempat ini sehingga tercipta interaksi antara penderita dan 
warga sehingga diharapkan mempercepat proses adaptasi penderita. 
 
2.9 PERAN SERTA klinik setingkat puskesmas DAN RUMAH SAKIT UMUM 
DALAM PENANGANAN ODGJ 
Selain mendorong terbentuknya penanganan ODGJ berbasis warga, 
maka strategi lainnya adalah dengan melibatkan peran Pusat Kesehatan 
warga (klinik setingkat puskesmas) dan Rumah Sakit Umum (RSU), sebab keduanya 
merupakan pelayanan kesehatan yang terdekat yang dapat diakses oleh 
warga baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sehingga kedepan klinik setingkat puskesmas 
dan RSU tidak hanya menangani kesehatan fisik saja tetapi juga psikis baik itu 
untuk control, penyediaan obat, ataupun rujukan dalam kondisi akut. 
Orang Dengan Gangguan Jiwa khususnya yang menderita psikotik 
memerlukan kontrol medis dan obat seumur hidupnya. Maka akan sangat 
memudahkan bagi penderita jika fasilitas obat dekat dari tempat tinggal pasien. 
Penanganan kesehatan jiwa sampai saat ini belum sampai ke tengah-tengah 
warga melalui klinik setingkat puskesmas maupun Rumah Sakit Umum. 
31 
 
31 
 
Fakta saat ini adalah tidak adanya pelayanan di Rumah Sakit Umum di 
lingkungan pemerintahan Provinsi benteng kota hutan terlarang  yang memberikan pelayanan terhadap 
Orang Dalam Gangguan Jiwa, sehingga tidak terfasilitasnya penyandang 
disabilitas kejiwaan ini. 
Tiadak adanya layanan kesehatan jiwa memicu provinsi benteng kota hutan terlarang  
dalam keadaan darurat kejiwaan, panti-panti rehabilitasi ODGJ yang tersedia tidak 
memiliki tenaga medis yang memadai, sehingga menimbulkan kecenderungan 
sulitnya penanganan penyandang disabilitas kejiwaan ODGJ. Kondisi ini 
melunturkan semangat kesehatan jiwa di lingkungan Provinsi benteng kota hutan terlarang , terkait 
Daerah bebas pasung. 
 
2.10 PERAN SERTA KELUARGA DALAM PENANGANAN ODGJ 
a. Dukungan Keluarga Pada ODGJ 
Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa 
kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus 
kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti 
dukungan dari suami, isteri, atau dukungan dari saudara kandung, dan dapat juga 
berupa dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti. Dukungan keluarga 
membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. 
Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga 
(Friedman, 2010). 
House dan Kahn (1985) dalam Friedman  (2010), menerangkan bahwa 
keluarga memiliki empat fungsi dukungan, diantaranya: 
1. Dukungan Emosional. 
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan 
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari 
dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk 
afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. 
Dukungan emosional keluarga merupakan bentuk atau jenis dukungan 
yang diberikan keluarga berupa memberikan perhatian, kasih sayang dan 
empati. Menurut Friedman (1998) dukungan emosional merupakan fungsi 
32 
 
32 
 
afektif keluarga yang harus diterapkan kepada seluruh anggota keluarga 
termasuk anggota keluarga yang mengalami halusinasi. Fungsi afektif 
merupakan fungsi internal keluarga dalam memenuhi kebutuhan 
psikososial anggota keluarga dengan saling mengasuh, cinta kasih, 
kehangatan, dan saling mendukung dan menghargai antar anggota 
keluarga (Friedman, 1998). Dukungan emosional merupakan bentuk 
dukungan atau bantuan yang dapat memberikan rasa aman, cinta kasih, 
membangkitkan semangat, mengurangi putus asa, rasa rendah diri, rasa 
keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik (penurunan 
kesehatan dan kelainan yang dialaminya. Pada ODGJ dukungan emosional 
sangat diperlukan dan akan menjadi faktor sangat penting untuk usaha 
perawatan dan pengobatan dalam mengontrol masalah halusinasinya.  
Dukungan emosional dari keluarga sangat dibutuhkan oleh ODGJ 
yang dapat mempengaruhi status psikososial dan mentalnya yang akan 
ditunjukan dengan perubahan perilaku yang diharapkan dalam usaha 
meningkatkan status kesehatannya. Hal ini tentunya disebabkan 
sebab terjadinya peningkatan perasaan tidak berguna, tidak dihargai, 
merasa dikucilkan dan  kecewa dari ODGJ. Dukungan keluarga dapat 
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang melalui pengaruhnya 
terhadap pembentukan emosional. 
2. Dukungan informasi 
Keluarga berfungsi sebagai sebuah pengumpul dan penyebar 
informasi. Menjelaskan tentang pemberian intensif saran dan sugesti, informasi 
yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari 
dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor sebab 
informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus 
pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, 
saran, petunjuk dan pemberian intensif informasi. 
Dukungan informasi merupakan suatu dukungan atau bantuan yang 
diberikan oleh keluarga dalam bentuk memberikan saran atau masukan, 
nasehat atau arahan dan memberikan informasi-informasi penting yang 
33 
 
33 
 
sangat dibutuhkan ODGJ dalam usaha meningkatkan status kesehatannya. 
Menurut Friedman (1998) dukungan informasi yang diberikan keluarga 
terhadap ODGJ merupakan salah satu bentuk fungsi perawatan kesehatan 
keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar 
tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Bentuk fungsi perawatan 
kesehatan yang diterapkan keluarga terhadap ODGJ diantaranya adalah 
memperkenalkan kepada ODGJ tentang kondisi dan penyakit yang 
dialaminya dan menjelaskan cara perawatan yang tepat pada ODGJ agar 
pasien termotivasi menjaga dan mengontrol kesehatannya. 
ODGJ cenderung dan sering mengalami masalah kemunduran 
kognitif, sehingga keadaan ini juga dapat mengakibatkan munculnya rasa 
pesimis dan putus asa bahkan kepasrahan terhadap masalah kesehatan 
yang terjadi pada dirinya. Dirasakan penting usaha bantuan informasi 
(saran, nasehat dan pemberian intensif informasi) bagi ODGJ untuk meningkatkan 
semangat dan motivasi agar dapat meningkatkan status kesehatannya 
secara optimal. 
3. Dukungan instrumental 
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan kongkrit 
diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, 
istirahat dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan instrumental 
keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh dari keluarga 
dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, dana, maupun meluangkan 
waktu untuk membantu atau melayani dan mendengarkan ODGJ dalam 
menyampaikan perasaannya. Serta dukungan instrumental keluarga 
merupakan fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan yang 
diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit (Friedman, 
1998). 
Fungsi ekonomi keluarga merupakan fungsi keluarga dalam 
memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga termasuk kebutuhan 
kesehatan anggota keluarga, sedangkan fungsi perawatan kesehatan 
keluarga merupakan fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan 
34 
 
34 
 
kesehatan anggota keluarga diantaranya adalah merawat anggota keluarga 
yang mengalami halusinasi dan membawa anggota keluarga ke pelayanan 
kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya (Friedman, 1998). 
4. Dukungan penilaian 
Keluarga bertindak sebagai pemberi umpan balik, membimbing dan 
menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas 
anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan 
perhatian. Dukungan penilaian merupakan suatu dukungan dari keluarga 
dalam bentuk memberikan umpan balik dan penghargaan kepada ODGJ  
dengan menunjukan respon positif yaitu dorongan atau persetujuan 
terhadap gagasan, ide atau perasaan seseorang. Menurut Friedman (1998) 
dukungan penilaian keluarga merupakan bentuk fungsi efektif keluarga 
terhadap ODGJ yang dapat meningkatkan status kesehatan ODGJ. Melalui 
dukungan penghargaan ini, ODGJ akan mendapat pengakuan atas 
kemampuannya sekecil dan sesederhana apapun. 
Dengan demikian dukungan keluarga terhadap ODGJ sangat penting 
dilakukan dalam usaha peningkatan status kesehatan ODGJ. Pasien bisa 
semangat dan termotivasi sehingga menjadikan kehidupan ODGJ lebih 
berharga dan berarti serta bermakna bagi keluarganya, dan ODGJ akan 
merasakan bahwa dirinya masih sangat dibutuhkan oleh orang lain 
khususnya oleh keluarga dimana ODGJ ini tinggal. 
 
Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan masalah gangguan 
halusinasi memiliki tuntutan pengorbanan ekonomi, sosial dan psikologis yang 
telah lebih besar daripada keluarga yang normal.  Dukungan keluarga pada ODGJ 
dapat diwujudkan dengan adanya usaha perawatan keluarga pada ODGJ ini 
berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi oleh pasien itu sendiri. 
Bila penderita tidak dirawat di institusi rumah sakit, keluarga sangat 
dibutuhkan untuk menjamin pemberian intensif obat di rumah. Salah satu anggota 
keluarga harus dapat melakukan hal ini dengan baik, juga untuk membawa 
penderita pada pemeriksaan lanjutan (Depkes RI, 1995). Dengan demikian 
35 
 
35 
 
penatalaksanaan regimen terapeutik keluarga sangat diperlukan untuk masalah 
pasien dengan halusinasi ini. 
Sumber dukungan keluarga dimana dukungan keluarga mengacu kepada 
dukungan yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau 
diadakan untuk keluarga, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang 
bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika 
diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal seperti 
dukungan dari suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau 
dukungan keluarga eksternal (Friedman, 1998). 
Manfaat dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang 
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai 
tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus 
kehidupan dukungan keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan 
berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan 
dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998). 
Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-efek 
penyangga (dukungan menahan efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) 
dan efek-efek utama (dukungan secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari 
kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari 
dukungan keluarga terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi 
bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat 
terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh, dan 
pemulihan fungsi kognitif, fisik serta kesehatan emosi (Ryan & Austin dalam 
Friedman, 1998). 
Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Feiring dan Lewis 
(1984) dalam Friedman (1998) ada bukti kuat dari hasil penelitian yang 
menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif 
menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang 
berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak 
dari keluarga yang besar. Selain itu dukungan yang diberikan orangtua (khususnya 
ibu) juga dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman (1998) ibu yang masih muda 
36 
 
36 
 
cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya 
dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. 
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas 
sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan 
atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, 
suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam 
keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu 
orang tua dengan kelas sosial menengah memiliki tingkat dukungan, afeksi dan 
keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah. 
Dukungan keluarga berhubungan dengan pemberi perawatan dirumah oleh 
salah satu anggota keluarga berkaitan dengan hal usia menurut Soelaiman (1993) 
dalam Notoatmodjo (2003), usia yang dianggap optimal dalam memahami dan 
mengambil keputusan adalah di atas 20 tahun, sebab usia di bawah 20 tahun atau 
kurang dari 20 tahun cenderung dapat mendorong terjadinya kebimbangan dalam 
memahami dan mengambil keputusan. Demikian usia ini berhubungan dengan 
seseorang mampu mengambil keputusan menjadi pemberi perawatan bagi pasien 
yang mengalami halusinasi serta mampu mengikuti regimen terapeutik. 
 
b. Beban Keluarga yang memiliki ODGJ 
Keberadaan stres seperti halnya terjadi pada individu, begitupun dalam 
sebuah keluarga pada awalnya membantu keluarga untuk memobilisasi sumber-
sumbernya dan untuk bekerja guna memecahkan masalah. Stres memicu 
keseimbangan antara keadaan stabil menjadi berbahaya atau terancam; pada kasus 
ini anggota keluarga pada awalnya mengeluarkan banyak usaha untuk 
mendapatkan kembali keseimbangan dalam keluarga. Akan tetapi,  jika usaha 
awal untuk menyelesaikan masalah atau memenuhi tuntutan mengalami 
kegagalan, stres akan meningkat. Seringkali suatu stressor pada awalnya 
mempengaruhi individu, diikuti dengan sebuah subsistem dan subsistem yang 
lain, sampai akhirnya semua subsistem keluarga terpengaruh (ripple effect). 
Walaupun stres dapat dialami oleh semua subsistem, setiap subsistem dapat 
menoleransi dan menangani stres secara berbeda. 
37 
 
37 
 
Disabilitas satu anggota keluarga secara signifikan mempengaruhi 
keluarga dan fungsinya, sebagaimana perilaku keluarga dan anggota keluarga 
secara simultan mempengaruhi perjalanan dan karakteristik disabilitas. 
Berdasarkan asumsi timbal balik, jelas bahwa disabilitas sangat mempengaruhi 
perkembangan keluarga dan juga anggota keluarga, terutama anggota keluarga 
yang tidak mampu. Seringkali saat suatu keluarga terlambat dalam memenuhi 
tugas perkembangan keluarganya, ada interaksi antara tuntutan atau stresor 
perkembangan dan tuntutan atau stresor situasional dalam keluarga secara 
berlebih. Bertambahnya stres keluarga yang diciptakan oleh adanya kedua jenis 
stressor sering kali menghasilkan rendahnya fungsi keluarga, sementara tugas 
perkembangan keluarga menjadi terganggu atau terhambat.  
Besarnya tugas perkembangan dipengaruhi dan tergantung pada beberapa 
faktor antara lain: (1) tahap siklus kehidupan keluarga yang dijalani keluarga; (2) 
anggota keluarga dengan masalah halusinasi membuat perubahan. Faktor lain 
yang membuat perbedaan dalam dampak disabilitas pada perkembangan keluarga 
adalah sumber formal dan informal yang dimanfaatkan oleh keluarga. Sistem 
dukungan keluarga yang baik pada keluarga besar dan teman-teman, serta 
dukungan psikososial dan kesehatan yang membantu dan kompeten, akan 
menambah kemampuan keluarga untuk lebih cepat kembali melanjutkan 
perkembangan. 
saat suatu keluarga yang salah satu anggota keluarganya disabilitas, 
misalnya salah satu anggota keluarga mengalami halusinasi, membandingkan 
tugas perkembangan keluarga yang ideal dalam tahap siklus kehidupan keluarga 
dengan perilaku aktual keluarga akan sangat berguna. Perbandingan ini berguna 
dalam mengevaluasi kemungkinan dampak disabilitas pada keluarga. 
Keluarga menghadapi situasi penuh stres dan ketegangan sebab memiliki 
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Situasi penuh stres ini 
diperberat dengan tuntutan ekonomi akan perawatan anggota keluarga yang 
mengalami halusinasi ini dalam jangka waktu yang tidak singkat dalam 
perawatan, kesabaran tinggi dalam menghadapi emosi, kekhawatiran akan 
perilaku maladaptif dan masa depannya. Situasi-situasi ini menimbulkan 
38 
 
38 
 
beban keluarga yang tidak ringan, jika tidak mendapatkan intervensi secara 
optimal dapat mengantarkan keluarga ke dalam krisis psikologis. 
Fontaine (2009) mengatakan bahwa beban keluarga adalah tingkat 
pengalaman distress keluarga sebagai efek dari kondisi anggota keluarganya. 
Kondisi ini dapat memicu meningkatnya stres emosional dan ekonomi dari 
keluarga. Sebagaimana respon keluarga terhadap berduka dan trauma, keluarga 
dengan anggota keluarga mengalami halusinasi juga membutuhkan empati dan 
dukungan dari tenaga kesehatan profesional (Mohr & Regan-Kubinski, 2001 
dalam Fontaine, 2009). 
Menurut Mohr (2006), ada tiga jenis beban keluarga yaitu: 
1. Beban Obyektif, merupakan beban dan hambatan yang dijumpai dalam 
kehidupan suatu keluarga yang berhubungan dengan pelaksanaan merawat 
salah satu anggota keluarga yang mengalami halusinasi. Termasuk 
kedalam beban obyektif adalah: beban biaya biaya finansial untuk perawatan dan 
pengobatan, tempat tinggal, makanan, dan transportasi. 
2. Beban Subyektif, merupakan beban yang berupa distress emosional yang 
dialami anggota keluarga yang berkaitan dengan tugas merawat anggota 
keluarga yang mengalami halusinasi. Termasuk beban subyektif 
diantaranya: ansietas akan masa depan, sedih, frustasi, merasa bersalah, 
kesal, dan bosan. 
3. Beban Iatrogenik, merupakan beban yang disebabkan sebab tidak 
berfungsinya sistem pelayanan kesehatan jiwa yang dapat mengakibatkan 
intervensi dan rehabilitasi tidak berjalan sesuai fungsinya. Termasuk 
dalam beban ini, bagaimana sistem rujukan dan program pendidikan 
kesehatan. 
 
Sedangkan menurut WHO (2008) mengkategorikan beban keluarga 
dengan ODGJ dibagi kedalam dua jenis yaitu: 
1. Beban obyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan masalah dan 
pengalaman anggota keluarga, terbatasnya hubungan sosial dan aktivitas 
kerja, kesulitan finansial dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik 
39 
 
39 
 
anggota keluarga. 
2. Beban subyektif, merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi 
psikologis anggota keluarga meliputi perasaan kehilangan, kesedihan, 
kecemasan dan malu dalam situasi sosial, koping, stress terhadap 
gangguan perilaku dan frustasi yang disebabkan sebab perubahan 
hubungan. 
 
Berdasarkan kedua pendapat mengenai beban keluarga dengan anggota 
keluarga yang mengalami halusinasi untuk regimen terapeutik keluarga inefektif, 
maka penelitian ini akan berusaha mengukur beban keluarga yang terdiri dari 
beban obyektif  dan beban subyektif. 
 
c. Kepatuhan Keluarga ODGJ Untuk Mengikuti Pengobatan 
Kepatuhan atau ketaatan merupakan suatu derajat  keluarga ODGJ  
mengikuti anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan & Saddock, 
1997). Menurut Sackett (1976) dalam Niven (2002) kepatuhan adalah sejauh 
mana perilaku keluarga ODGJ sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh 
petugas kesehatan, kepatuhan sebagai suatu tingkatan keluarga ODGJ dalam 
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau 
perawat. Berdasarkan dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa kepatuhan 
merupakan suatu ketaatan terhadap anjuran dalam melaksanakan suatu terapi atau 
pengobatan yang diberikan oleh petugas kesehatan sesuai dengan ketentuan dan 
standar. 
Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis spesifik, sifat alam 
penyakit dan program pengobatan. Seseorang menjadi tidak taat atau tidak patuh 
kalau situasinya tidak memungkinkan (Bart, 1994 dalam Niven, 2002). Kondisi 
yang dapat menurunkan kepatuhan minum obat antara lain: regimen yang rumit 
(banyak macam obat yang diberikan), timbul efek samping secara dini dan terus – 
menerus, efek manfaat yang lambat, bila terapi dihentikan dirasa tidak 
menimbulkan kekambuhan, pasien sulit menerima informasi, masalah finansial 
atau biaya biaya, terlibat banyak dokter, dan buruknya hubungan dokter dan pasien. 
40 
 
40 
 
Menurut Sarwono (1997) dalam Niven (2002) bahwa perubahan sikap dan 
perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi dan tahap terakhir 
berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran atau instruksi tanpa 
kerelaan untuk melakukan tindakan ini dan seringkali sebab ingin 
menghindari hukuman atau sanksi jika dia tidak patuh atau untuk memperoleh 
imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran ini. Tahap ini disebut 
tahap kepatuhan dan biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat 
sementara artinya tindakan ini dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi 
begitu pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik atau tokoh otoriter, 
melainkan cukup rasa takut pada ancaman sanksi berlaku, jika individu tidak 
melakukan tindakan ini. Dalam hal ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah 
besar, sehingga individu terpaksa mengikuti tindakan perilaku mayoritas 
kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun, segera setelah 
dia keluar dari kelompok ini, mungkin sekali perilaku akan berubah menjadi 
perilaku yang diinginkan sendiri. 
Kepatuhan keluarga ODGJ yang berdasarkan rasa terpaksa atau 
ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru dapat disusul dengan 
kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik 
dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan ini 
(change agent). 
Kepatuhan timbul sebab keluarga ODGJ merasa tertarik atau mengagumi 
tokoh ini sampai ingin menirukan tindakannya tanpa memahami sepenuhnya 
arti dan manfaat dari tindakan ini. Proses ini disebut identifikasi. Meskipun 
motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik daripada 
dalam kekambuhan, namun motivasi ini belum dapat dikaitkan perilaku ini 
dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika ditinggalkan oleh tokoh 
idolanya itu maka dia merasa tidak perlu lagi melanjutan perilaku ini. 
Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan ini 
terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap 
bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai 
lain dari hidupnya. 
41 
 
41 
 
Ketidakpatuhan adalah keadaan dimana keluarga ODGJ berkeinginan 
untuk memenuhi tetapi ada faktor yang menghalangi ketaatan terhadap nasehat 
yang berkaitan dengan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan yang 
dipengaruhi oleh mahalnya biaya biaya pengobatan, transportasi, minat dan psikologis 
seseorang (Capernito, 2001). Ketidakpatuhan adalah tingkat keluarga ODGJ tidak 
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau 
perawat. Ketidakpatuhan sulit dianalisis sebab sulit didefinisikan, sulit untuk 
diukur dan tergantung pada banyak faktor. Kebanyakan studi berkaitan dengan 
ketaatan minum obat sebagai cara pengobatan, misalnya tidak minum cukup obat, 
minum obat terlalu banyak, minum obat tambahan tanpa resep dokter dan 
sebagainya. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai dan 
masalahnya dipandang sebagai masalah kontrol dan harus mendapat perhatian 
utama dari keluarga. 
Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan penggunaan obat sesuai 
dengan petunjuk pada resep. Ini mencakup penggunaannya pada waktu yang 
benar dan mengikuti pembatasan makanan yang berlaku, misalnya biasa minum 
obat pada pagi dan malam, maka setiap hari harus minum obat pada waktu yang 
sama. Selain waktu yang sama, obat ini juga harus diminum seumur hidup. 
Bilamana pindah waktu minum atau lupa minum satu hari, maka obat antipsikotik 
atau halusinasi tidak akan berfungsi dengan optimal untuk mengontrol 
halusinasinya. Obat yang dikonsumsi masuk ke aliran darah dan diangkut ke 
seluruh tubuh. Pada saat  darah melewati hati dan ginjal, sebagian obat ini 
disaring dan dibuang. Jadi jumlah obat dalam aliran darah menjadi semakin kecil, 
sehingga penderita memakainya lagi. Hal ini merupakan bagian dari 
tanggung jawab keluarga ODGJ untuk pelaksanaan pengobatan dan perawatan 
pasien dirumah. 
Keluarga ODGJ sering menemukan masalah dalam regimen terapeutik 
ODGJ. Seperti beberapa obat diserap lebih baik dan masuk ke aliran darah dengan 
tingkat lebih tinggi, bila tidak ada makanan dalam perut. Obat ini harus 
dikonsumsi dengan perut kosong. Sementara ada obat lain yang lebih baik masuk 
42 
 
42 
 
ke aliran darah bila perutnya penuh. Obat ini sebaiknya dikonsumsi dengan 
makan. Dengan beberapa obat pun, makanan tidak penting. 
Keluarga pasien harus memberikan informasi kepada pasien diantaranya 
pasien harus mengetahui petunjuk untuk penggunaan masing-masing obat agar 
selalu ada cukup obat dalam aliran darah. Petunjuk ini termasuk berapa pil harus 
digunakan, kapan dan bagaimana. Jika pasien melupakan satu dosis, tidak 
menggunakan dosis penuh atau tidak mengikuti petunjuk tentang makanan, 
tingkat obat dalam aliran darah dapat menjadi terlalu rendah yang akan 
memicu kekambuhan gejala seperti halusinasi. Cara terbaik untuk mencegah 
kekambuhan ini adalah dengan kepatuhan terhadap terapi, demikian 
kepatuhan pasien merupakan cermin kepatuhan keluarga untuk mengikuti regimen 
terapeutik. 
Penting bagi keluarga pasien untuk mengembangkan rutinitas (kebiasaan) 
yang dapat membantu pasien mengikuti jadwal terapi, yang kadang kala rumit dan 
mengganggu kegiatan sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan pasien akan 
membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan yang 
diakibatkannya pada hidup pasien. Ini bisa menjadi hal yang paling penting untuk 
dipertimbangkan waktu pasien mulai memakai terapi baru. 
Menggalang dukungan dari petugas kesehatan atau teman adalah sangat 
penting, agar mengingatkan keluarga pasien saat waktu pasien harus memakai 
obat dan untuk memberikan semangat atau motivasi.  Menilai kepatuhan pasien 
secara ketat selama satu minggu. Jika hasilnya tampak kurang baik, pasien 
membutuhkan lebih banyak dukungan yang tersedia. Jika masih ada masalah, 
pasien dapat membahasnya dengan dokter. Jika pasien benar - benar tidak dapat 
mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi, mungkin sebaiknya pasien berhenti 
terapi untuk sementara (Alcorn, 2007) dan keluarga pasien mengamati resiko 
kekambuhan dan melaporkannya kepada petugas kesehatan. 
Tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang 
instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (1967) dalam Niven (2002) 
menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan 
dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-
43 
 
43 
 
kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam 
memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah – istilah medis, dan 
memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien dan keluarganya.  
Anderson (1986) dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang 
komunikasi dokter dan pasiennya di Hongkong, mendapatkan bahwa keluarga 
pasien dan pasien yang rata – rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam 
setiap konsultasi, hanya mampu mengingat 31% saja. Ketepatan dalam 
memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam 
pemberian intensif antibiotik, sebab seringkali keluarga pasien tidak mengetahui atau 
sengaja sepakat dengan pasien menghentikan obat setelah gejala yang dirasakan 
pasien hilang bukan saat obat ini habis (Haynes et al, 1979 dalam Niven, 
2002). 
Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan keluarga pasien dan 
pasien dalam pengobatan ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (1984) dalam 
Niven (2002): (1) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diiterpretasikan; (2) 
Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain. Jika 
seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat; (3) Maka 
akan ada efek keunggulan yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama 
kali tertulis. Efek keunggulan ini telah terbukti mampu menguatkan ingatan 
tentang informasi-informasi medis. (Ley,1972 dalam Niven, 2002); (4) Instruksi - 
instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non-medis) dan hal - hal penting 
perlu ditekankan. 
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan keluarga pasien serta 
pasien merupakan bagian yang penting dalam menemukan derajat kepatuhan 
(Niven, 2002). Korsch dan Negrete (1972) dalam Niven (2002) telah mengamati 
800 kunjungan orangtua dan anak - anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. 
Selama 14 hari mereka mewawancarai ibu - ibu ini untuk memastikan 
apakah ibu - ibu ini melaksanakan nasihat - nasihat yang diberikan dokter, 
dan mereka menemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kepuasan ibu terhadap 
konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter; tidak ada 
kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasan ibu. 
44 
 
44 
 
Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi 
sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan (Baekeland & Lundwall, 
1975 dalam Niven, 2002). Anggota - anggota jaringan sosial individu seringkali 
mempengaruhi seseorang dalam mencari pelayanan kesehatan (Niven, 2002).  
Keyakinan, Sikap dan Kepribadian  menurut Becker et al (1979) dalam 
Niven (2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan 
berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Ahli psikologis lain telah 
melakukan penyelidikan tentang hubungan antara pengukuran kepribadian dan 
kepatuhan. Blumental et al (1982) dalam Niven (2002) melakukan sebuah 
penelitian dan didapatkan hasil bahwa orang-orang yang tidak patuh adalah orang-
orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan 
kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan 
sosialnya lebih memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang 
lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal pengendalian diri sendiri dan 
kurangnya penguasaan terhadap lingkungan. 
Pemusatan terhadap diri sendiri dalam lingkungan sosial mengukur tentang 
bagaimana kenyamanan seseorang berada dalam situasi sosial. Blumenthal et al 
(1982) dalam Niven (2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang 
disebutkan di atas itu yang memicu seseorang cenderung tidak patuh (drop 
out) dari program pengobatan. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan 
reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau 
objek. Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan 
bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan 
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan 
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. 
Motivasi adalah dorongan untuk melakukan hal yang positif bagi dirinya 
dan orang lain. Motivasi adalah penggerak tingkah laku ke arah suatu tujuan 
dengan didasari adanya suatu kebutuhan yang dapat timbul dari dalam individu 
ini, atau dapat diperoleh dari luar dan orang lain atau keluarga (Friedman, 
19

Related Posts:

  • gangguan jiwa 1 Seiring dengan dinamisnya kehidupan manusia serta kondisi masalah kehidupan yang dihadapi seperti: globalisasi, perubahan demografi, dan tuntutan kebutuhan warga. Dampak negatifny… Read More