• berasx.blogspot.com

    selamat datang di website ini....

  • kacangx.blogspot.com

    selamat datang di website ini....

  • coklatx.blogspot.com

    selamat datang di website ini....

Sabtu, 30 November 2024

dunia kuno 5



s eorang dewa telah berbicara 

secara langsung kepada Anda sama sulitnya untuk ditolak pada waktu itu 

seperti pada waktu kini.

Namun, kesepakatan itu tidak berlangsung lama. Setelah kematian 

Mesilim, raja baru Umma merobohkan stele itu dan menganeksasi daerah 

yang dipertikaikan (yang mengisyaratkan bahwa yang menyebabkan damai 

sementara itu adalah ketakutan kepada Mesilim, bukan hormat kepada dewa 

Sataran). Umma menguasai daerah itu selama dua generasi; kemudian seorang 

raja Lagash yang berjiwa militer bernama Eannatum merebutnya kembali.

Kita mengetahui lebih banyak tentang Eannatum daripada tentang 

banyak raja Sumeria lainnya karena ia sangat gemar inskripsi dan monumen. 

Ia mewariskan salah satu monumen Sumer yang paling terkenal, Stele Burung 

nasar. Pada bilah batu itu skenario-skenario gaya komik menunjukkan 

kemenangan Eannatum terhadap Umma. Barisan demi barisan orang 

Eannatum berjalan, dengan mengenakan topi baja dan bersenjatakan 

perisai serta tombak, menginjak mayat orang-orang mati. Burung-burung 

nasar mencocok bangkai mayat yang telah rusak dan terbang pergi dengan 

membawa kepada mereka. ”Ia menumpuk mayat-mayat itu di dataran￾dataran”, demikian bunyi sebuah inskripsi, ”dan mereka berlutut, menangisi 

nyawa mereka.”3

 Stele Burung Nasar menunjukkan sebuah seni berperang yang maju. 

Pasukan Eannatum tidak hanya bersenjatakan perisai tetapi juga kapak pe￾rang dan pedang sabit; mereka bersenjata seragam, yang menunjukkan bahwa 

konsep sebuah bala tentara yang terorganisasi (dibanding segerombolan pe￾juang lepas) telah berlaku; mereka berjalan dalam barisan yang rapat yang 

kemudian akan terbukti mematikan bagi negara-negara yang dilalui oleh 

Aleksander Agung; dan Eannatum sendiri ditampilkan mengendarai sebuah 

kereta perang, yang ditarik oleh binatang yang agaknya seekor bagal.*∗

Eannatum dari Lagah menggunakan angkatan perang yang terorganisasi 

dengan baik itu untuk menyerang bukan saja Umma tetapi secara praktis se￾tiap kota lainnya di dataran Sumeria. Ia menyerang Kish; ia menyerang kota 

Mari; dengan tetangganya, ia menyerang orang Elam yang melakukan invasi. 

Setelah menjalani hidup yang penuh peperangan, tampaknya ia mati dalam 

pertempuran. Saudara lelakinya mengambil alih tahta menggantikannya.

 Selama tiga atau empat generasi, Lagash dan Umma berperang 

mempertikaikan letak tepatnya garis perbatasan mereka, sebuah pertengkaran 

dalam negeri yang sengit dan berdarah yang sesekali terputus oleh serbuan gerombolan orang Elam yang melanggar masuk. Raja Umma berikutnya 

membakar stele-stele, baik stele Mesilim maupun Stele Burung Nasar yang 

pongah; hal itu pada dasarnya tidak ada maknanya, karena kedua stele itu 

batu belaka, tetapi mungkin melegakan perasaannya. Saudara lelaki Eannatum 

menyerahkan mahkota Lagash kepada anak lelakinya, yang kemudian 

digulingkan oleh seorang perebut.4

Sekitar seratus tahun setelah mulai, pertikaian itu masih berlangsung. 

Lagash waktu itu diperintah oleh seorang raja bernama Urukagina. Urukagina, 

iBarat sosok Jimmy Carter masa Timur Tengah purba, adalah raja pertama 

Sumeria yang memiliki kesadaran sosial. Kekuatan ini sekaligus merupakan 

titik lemahnya.

Perang melawan Umma bukan satu-satunya masalah yang dihadapi Lagash. 

Serangkaian inskripsi dari masa pemerintahan Urukagina menggambarkan ke 

dalam keadaan semacam apa kota itu terpuruk. Kota itu seutuhnya dijalan￾kan oleh imam-imam dan orang kaya yang korup, dan kaum lemah serta 

papa hidup dalam kelaparan dan ketakutan. Wilayah kuil, yang semestinya

digunakan atas nama rakyat Lagash, telah diambil oleh perangkat pegawai 

kuil yang tak berhati nurani untuk kepentingan mereka sendiri, seperti wi￾layah taman nasional yang direbut oleh perambah yang tamak. Para pekerja 

harus mengemis untuk mendapat makanan, dan para magang tidak diupah 

serta mengais di tempat sampah untuk mencari sisa makanan. Para petugas 

menuntut upah tambahan untuk segalanya dari mencukur bulu domba putih 

sampai penguburan jenazah (jika Anda ingin menguburkan ayah Anda, Anda 

perlu menyediakan tujuh gelas besar bir dan 420 potong roti untuk pelaksana 

penguburan). Beban pajak telah menjadi sedemikian tak tertahankan sehingga 

orang tua terpaksa menjual anaknya sebagai budak untuk membayar hutang 

mereka.5

 ”Dari tapal batas sampai ke laut, para pemungut pajak ada”, bunyi 

keluhan pada sebuah inskripsi, suatu pernyataan frustrasi yang mengandung 

gema yang agaknya berasal dari zaman itu.6

Urukagina membubarkan sebagian besar dari pemungut pajak dan 

menurunkan jumlah pajak. Ia meniadakan biaya tambahan untuk pelayanan￾pelayanan dasar. Ia melarang petugas dan imam untuk menyita tanah 

atau harta milik seseorang sebagai pembayaran hutang, dan menawarkan 

pengampunan kepada para penghutang. Ia memangkas birokrasi Lagash, 

yang menggembung karena posisi-posisi yang diciptakan (termasuk di 

antaranya juru perahu kepala, pengawas penangkapan ikan, dan ”penyelia 

gudang gandum”). Tampaknya ia juga membatasi kekuasaan imam dengan 

memisahkan fungsi keagamaan dan fungsi keduniaan, dan dengan demikian 

persis mencegah jenis kekuasaan yang telah memungkinkan Mesilim untuk 

mendirikan stele atas kekuasaan dewa Sataran: ”Di mana pun dari tapal batas 

ke tapal batas lainnya”, demikian tutur penulis kroniknya, ”tak seorang pun 

berbicara lagi tentang imam-hakim ... Imam tidak lagi menyeruak ke kebun 

milik orang rendahan”.7

Cita-cita Urukagina adalah memulihkan Lagash ke keadaan keadilan yang 

diharapkan oleh para dewa. ”Ia membebaskan penduduk Lagash dari riba ... 

kelaparan, pencurian, pembunuhan”, tulis juru kroniknya. ”Ia mengukuhkan 

amagi. Janda dan yatim piatu tidak lagi di bawah kesewenangan yang berkuasa: 

untuk merekalah Urukagina melakukan perjanjian dengan Ningirsu”.8 Amagi: 

tanda cuneiformnya agaknya berarti kebebasan dari ketakutan, kepercayaan 

bahwa hidup warga Lagash dapat diatur dengan suatu undang-undang yang 

pasti dan tak berubah, dan bukan oleh gejolak kemauan yang berkuasa. Hal 

itu, sembari terbuka untuk diperdebatkan, merupakan kemunculan pertama 

gagasan ”kebebasan” dalam bahasa tertulis manusia; amagi, yang secara 

harfiah berarti ”kembali kepada ibu”, menggambarkan keinginan Urukagina 

untuk memulihkan Lagash kepada keadaan yang lebih bersih seperti pada 

masa sebelumnya. Lagash pada masa Urukagina harus menjadi kota yang

mengindahkan keinginan dewa-dewa, khususnya dewa kota Ningirsu. Lagash 

harus menjadi seperti pada masa sebelumnya, kembali ke masa silam yang 

diidealkan. Sudah sejak zaman yang sangat tua, nostalgia akan suatu masa 

silam yang bersinar dan tak pernah ada berjalan seiring dengan reformasi 

sosial.*∗

Dalam hal itu tidak ada banyak keuntungan untuk Urukagina sendiri. 

Sungguh mustahil, dengan jarak hampir lima ribu tahun, untuk mengetahui 

apa yang ada dalam benak orangnya, tetapi tindakan-tindakannya 

menunjukkan dia sebagai seorang yang diresapi kesalehan yang mengatasi 

gagasan keuntungan politis apa pun. Kelurusan moral Urukagina terbukti 

merupakan suatu pembunuhan diri politis. Pemangkasan yang ia lakukan 

terhadap tindak-tindak penyalahgunaan para imam menjadikannya tidak 

populer untuk badan keagamaan. Yang lebih serius, tindakan-tindakannya 

demi kaum miskin menjadikannya tidak populer untuk para hartawan kotanya 

sendiri. Setiap raja Sumeria memerintah dengan bantuan dewan lapis ganda 

para tua-tua dan orang-orang muda, dan dewan tua-tua tentu saja dijejali 

dengan kaum pemilik tanah yang kaya di kota itu. Orang-orang ini, para lugal

(”kepala keluarga besar”) kota Lagash, telah dikritik secara sangat pedas dalam 

inskripsi-inskripsi Urukagina karena memeras tetangga mereka yang miskin.9

Mereka tidak mungkin menanggung deraan publik itu tanpa rasa dengki.

Sementara itu, tahta Umma, musuh bebuyutan Lagash, telah diwarisi oleh 

seorang yang tamak dan ambisius bernama Lugalzaggesi. Ia mengirim pasu￾kannya ke Lagash dan menyerangnya, dan jatuhlah kota Urukagina.

Penaklukan kota tampaknya berjalan dengan gampang, dengan sedikit 

sekali perlawanan dari warga kota. ”Ketika Enlil, raja daerah-daerah, telah 

menyerahkan kekuasaan daerahnya kepada Lugalzaggesi”, maklumat 

dari inskripsi kemenangan itu, ”[dan] telah mengarahkan pandangan 

matanya ke daerah dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, [dan] 

telah menaklukkan semua bangsa kepadanya ... Tanah itu bergembira ria 

di bawah pemerintahannya; semua kepala suku Sumer ... membungkuk di 

depannya”.10 Bahasa inskripsi ini mengisyaratkan bahwa imam-imam bukan 

saja dari Lagash tetapi juga dari Nippur, kota suci Enlil, bekerja sama dengan 

sang penakluk.11 Imam-imam Nippur yang berkuasa tidak mungkin merasa 

bergairah dengan penyunatan kekuasaan imami sampai ke daerah Selatan; itu 

pasti menjadi preseden yang sangat buruk. Dan seandainya dewan tua-tua 

secara nyata tidak membantu penggulingan Urukagina, yang pasti mereka

tidak melawan dengan gigih untuk membelanya. Reformasi yang ia lakukan 

telah mendatangkan kesudahan yang dahsyat untuk karier politiknya dan 

mungkin juga untuk hidupnya sendiri.

Sebuah cerita yang ditulis oleh seorang juru tulis yang yakin akan kebaikan 

Urukagina menjanjikan bahwa raja yang baik itu akan dibalaskan: ”Karena 

orang Umma menghancurkan batu bata Lagash”, demikian peringatan juru 

tulis itu, ”mereka melakukan dosa kepada Ningirsu; Ningirsu akan memotong 

tangan-tangan yang diangkat melawan dia.” Catatan itu berakhir dengan 

suatu permohonan kepada dewi pribadi Lugalzaggesi sendiri, bahwa bahkan 

dewi itu pun menimpakan akibat dari dosanya kepada Lugalzaggesi.12

Dipacu oleh kemenangan yang mudah terhadap Lagash, Lugalzaggesi 

menebarkan jalanya ke sasaran yang lebih luas. Ia menghabiskan dua puluh 

tahun untuk merambah jalannya ke seluruh Sumer. Menurut ceritanya sendiri, 

wilayahnya terbentang ”dari Laut Bawah, sepanjang Tigris dan Efrat sampai 

ke Laut Atas”.13 Menyebutnya sebagai sebuah kekaisaran mungkin merupakan 

suatu tindakan yang berlebihan. Sumbar Lugalzaggesi bahwa ia memerintah 

sampai ke Laut Atas mungkin suatu acuan kepada suatu serangan tunggal 

yang menyeruak jauh ke Laut Hitam.14 Tetapi tidak ada persoalan bahwa 

Lugalzaggesi sudah melakukan usaha yang paling ambisius untuk meraih 

kota-kota Sumer yang tersebar itu ke dalam kekuasaannya.

Sementara Lugalzaggesi meninjau kekaisaran barunya dengan punggung￾nya terarah ke Utara, datanglah pembalasan.




D  K, seorang petugas minuman bernama Sargon membuat 

rencana sendiri untuk membangun sebuah kekaisaran.

Sargon adalah seseorang yang sosoknya antara ada dan tiada. Dalam in￾skripsi yang mentarikhkan kelahirannya, suara Sargon berkata:

Ibuku seorang yang ditukar saat lahir, ayahku tak kukenal,

Saudara lelaki ayahku gemar akan perbukitan,

Rumahku di dataran tinggi, tempat rerumputan tumbuh.*

Ibuku mengandungku secara diam-diam, ia melahirkan aku dengan sem￾bunyi-sembunyi..

Ia menaruhku di sebuah keranjang gelagah,

Ia mengunci lidah-lidahnya dengan ter.**

Ia membuang aku ke sungai, tetapi aku tidak tenggelam.

Aliran sungai membawaku kepada Akki, si penimba air,

Ia mengangkatku keluar dari air ketika ia membenamkan gucinya ke air,

Ia mengambilku sebagai anak, dan membesarkanku,

Ia menjadikan aku sebagai juru kebunnya.1

Kisah kelahiran ini tidak menuturkan apa pun tentang asal usul Sargon. 

Kita tidak mengetahui rasnya atau nama kecilnya. Nama ”Sargon” tidak membantu juga, karena nama itu ia pakai untuk dirinya kemudian. Dalam 

bentuk aslinya, Sharrum-kin, nama itu hanya berarti ”raja yang sah” dan (se￾perti kebanyakan ungkapan protes terhadap keabsahan) menunjukkan bahwa 

ia terlahir sama sekali tanpa hak atas klaim sedikit pun.*

Jika ia berasal dari dataran tinggi, mungkin sekali ia seorang Semit, bukan 

Sumeria. Orang Semit dari Barat dan Selatan telah berbaur dengan orang 

Sumeria di dataran Mesopotamia sejak awal masa pemukiman; seperti yang 

telah kita catat sebelumnya, puluhan kata pinjaman dari bahasa Semit mun￾cul dalam tulisan Sumeria yang sangat awal, dan raja-raja Kish yang paling 

awal memiliki nama Semit.

Sungguhpun demikian, terdapat pemilahan nyata antara orang Sumeria 

dari Utara dan orang Semit yang kebanyakan tinggal di sebelah Utara. Kedua 

ras itu merunut leluhur mereka ke suku yang berlainan, yang mengembara ke 

Mesopotamia, lama sebelumnya, dari bagian bumi yang berlainan. Sebuah 

bahasa Semit yang terkait dengan bahasa-bahasa yang lebih muda di Israel, 

Babylon, dan Assyria, digunakan di daerah Utara; di Selatan, penduduk kota￾kota Sumeria berbicara dan menulis dalam bahasa Sumeria, sebuah bahasa 

yang tidak terkait dengan satu bahasa lain pun yang kita ketahui. Bahkan 

di daerah-daerah di mana orang Sumeria dan orang Akkadia berbaur, suatu 

pemilahan rasial masih terjadi. Ketika pada satu setengah abad sebelumnya 

Lugulannemundu dari Adab mengusir orang Elam dan untuk beberapa waktu 

menyatakan dirinya sebagai penguasa atas ”keempat penjuru” Sumer, para 

pemimpin ketiga belas kota yang bersatu melawan dia semuanya memiliki 

nama Semit.2

Tetapi kisah Sargon tidak menegaskan asal usul Semitnya, karena orang 

itu berhati-hati untuk mengaburkan detail-detail asal usul darahnya. Ia 

mengklaim bahwa tidak mengenal ayahnya, yang dengan rapi menyingkir￾kan masalah leluhur yang dina atau pengkhianat. Ibu yang ”ditukarkan saat 

ia lahir” juga sama-sama kaburnya. Barangkali wanita itu suatu ketika telah 

mengganti identitasnya. Mungkin ia meninggalkan kehidupan duniawi untuk 

memeluk peranan keagamaan (sebagian penerjemah memilih untuk mener￾jemahkan kata itu sebagai ”imam wanita”), atau berhasil naik dari suatu kelas 

rendah ke kelas yang lebih tinggi, atau bermukim di antara orang-orang dari 

ras yang berbeda.

Apa pun asal-usulnya, ibu yang menukarkannya saat lahir itu tidak ber￾bagi asal usulnya dengan anaknya. Dengan meninggalkan anaknya di sungai, ia menyerahkan identitasnya kepada peluang yang muncul. Peristiwa ditarik 

dari air itu pun membawa gema yang bergaung kemudian dalam tulisan￾tulisan, baik karya orang Ibrani maupun orang Kristiani; orang Sumeria ber￾pikir bahwa sungai memisahkan mereka dengan kehidupan setelah mati, dan 

bahwa melalui air menghasilkan suatu perubahan kehidupan yang hakiki. 

Setelah ditarik dari air, Sargon mengenakan persona dari orang tua angkatnya. 

Orang yang menyelamatkannya, Akki, memiliki nama Semit; Sargon menjadi 

seorang Semit. Akki bekerja di istana raja Kish; ia membesarkan anak angkat￾nya untuk menjadi juru kebun raja. 

Ketika Sargon sudah tumbuh menjadi dewasa, ia telah naik jauh lebih 

tinggi. Menurut daftar raja Sumeria, ia telah menjadi ”petugas minuman Ur￾Zababa”, raja Sumeria kota Kish.3

Petugas minuman zaman kuno tidak sekedar penyaji minuman. Inskripsi￾inskripsi Sumeria tidak melukiskan tugas petugas minuman, tetapi di 

Assyria, pada masa yang tidak lama sesudahnya, petugas minuman adalah 

orang kedua setelah raja sendiri. Menurut Xenofon, petugas minuman tidak 

hanya mencicipi santapan raja tetapi juga membawa segel raja, yang mem￾berinya hak untuk memberikan persetujuan raja. Ia adalah pengatur orang 

yang menghadap raja, yang berarti bahwa ia mengendalikan kemungkinan 

bertemu dengan raja; petugas minuman raja-raja Persia, tulis Xenofon dalam 

Pendidikan Cyrus, ”memegang jabatan untuk menerima ... mereka yang me￾miliki urusan dengan [raja], dan menolak mereka yang menurut dia tidak 

perlu diterima.”4

 Petugas minuman memiliki kekuasaan yang sedemikian 

besar sehingga ia diminta mencicipi anggur dan makanan raja, bukan untuk 

melindungi raja terhadap kemungkinan diracuni (petugas minuman adalah 

seorang petugas yang terlalu berharga sebagai perisai nyawa), tetapi supaya 

petugas minuman sendiri tidak tergoda untuk meningkatkan kekuasaannya 

dengan meracuni tuannya.

Sementara Sargon mengabdi Ur-Zababa di Kish. Lugalzaggesi sibuk 

mengirim pasukan penyerang dan mencaplok bagian-bagian dari wilayah 

Sumeria ke dalam wilayah kerajaannya. Sementara Sargon membawa piala 

raja, Lugalzaggesi menyerang Lagash dan mengusir Urukagina; ia menduduki 

Uruk, kota mendiang Gilgamesh, dan mencaploknya ke dalam wilayah keku￾asaannya. Sesudah itu, seperti yang dilakukan oleh setiap penakluk Sumeria, 

Lugalzaggesi mengarahkan pandangannya ke Kish, kota permata di dataran 

itu.

Sebuah fragmen cerita menuturkan apa yang terjadi sesudahnya. ”Enlil”, 

tutur fragmen itu, ”memutuskan untuk menghapus kesejahteraan istana”. 

Dengan kata lain, Lugalzaggesi adalah penyerang; Enlil adalah dewa pri￾badinya. Ur-Zababa, ketika mengetahui bahwa pasukan si penakluk tengah mendekati kotanya, menjadi sedemikian takut sehingga ia ”memerciki tung￾kainya”. Di hadapan serangan yang datang mengancam, ia ”takut seperti ikan 

menggelepar di air payau”.5

Ketidaktentuan itu diperparah oleh kecurigaan Ur-Zababa yang semakin 

besar terhadap petugas minumannya. Ada sesuatu dalam pembawaan diri 

Sargon yang membuat dia bertanya-tanya (dan ada dasar pembenarannya) 

apakah orang kedua yang ia percayai sesungguhnya berada pada pihaknya. 

Maka ia mengutus Sargon kepada Lugalzaggesi dengan sebuah pesan pada 

papan lempung. Pesan itu, yang kelihatannya merupakan suatu usaha untuk 

berdamai, sebenarnya mengandung permintaan agar musuhnya membunuh 

si pembawa pesan. Lugalzaggesi menolak permintaan itu dan terus maju 

menuju Kish.

Bagian cerita ini mungkin layak diragukan. Kisah-kisah tentang Sargon 

sangat diperindah oleh raja-raja Assyria sesudahnya, yang mengklaim dia 

sebagai leluhur mereka yang agung; tentu saja bagian berikutnya dari ceri￾ta itu, di mana istri Lugalzaggesi menyambut Sargon dengan menawarkan 

“kewanitaannya sebagai pelindung”, merupakan bagian dari sebuah tradisi 

sangat panjang yang menggambarkan para penakluk besar sebagai lelaki yang 

seksualitasnya sangat menggoda. Namun, serangan ke kota Kish sendiri meng￾isyaratkan bahwa Sargon tidak sepenuhnya mendukung rajanya. Lugalzaggesi 

melangkah dengan jaya ke kota Kish sementara Ur-Zababa terpaksa melari￾kan diri. Sargon, yang diperkirakan sebagai tangan kanan Ur-Zababa, tidak 

tampak batang hidungnya.

Agaknya, sementara Lugalzaggesi tengah merayakan kemenangannya, 

Sargon sedang menghimpun sebuah bala tentara sendiri (yang mungkin 

diambil dari pasukan Ur-Zababa dengan pemilihan yang cermat selama 

bertahun-tahun sebelumnya) dan melangkah menuju Uruk; ini dapat kita 

simpulkan karena cerita-cerita tentang pertempuran itu menyatakan bahwa 

Lugalzaggesi tidak berada di sana, ketika Sargon pertama kali muncul di cakra￾wala, dan kotanya direbut secara tak terduga. “Ia memporakporandakan kota 

Uruk”, tutur inskripsi kemenangan Sargon, “menghancurkan temboknya dan 

berperang melawan penduduk Uruk serta menaklukkan mereka”.6

Lugalzaggesi, ketika mendengar berita tentang serangan itu, meninggal￾kan Kish dan menuju kembali ke kotanya untuk menghancurkan ancaman 

terhadap kekuasaannya itu. Tetapi kini Sargon sudah tak dapat dihentikan. 

Ia menghadang Lugalzaggesi di medan, menangkap dia, memasang kuk 

pada lehernya, dan mengaraknya sebagai tawanan ke kota suci Nippur. Di 

Nippur, ia memaksa raja yang kalah itu untuk melangkah sebagai tawanan 

melewati gerbang khusus yang dipersembahkan kepada Enlil: dewa yang 

kepadanya Lugalzaggesi telah bersyukur atas kemenangan-kemenangannya, dewa yang telah memberi Lugalzaggesi hak untuk ”menggembalakan” seluruh 

wilayah itu. Itu merupakan penghinaan yang pahit. Dua dasawarsa setelah 

penaklukan Lagash, kutukan Urukagina akhirnya melayang ke rumah dan 

bertengger di sana. 

Sargon langsung mengambil gelar sebagai raja Kish. Pada inskripsi yang 

sama yang melukiskan penaklukan Lugalzaggesi, ia mencatat bahwa ia me￾langkah ke Selatan, menaklukkan kota Ur, menghancurkan Umma, dan 

menyapu seluruh perlawanan orang Sumeria yang masih tersisa dalam suatu 

perjalanan yang menaklukkan semuanya ke Selatan sampai Teluk Parsi. Di 

sana ia ”membasuh senjatanya di laut” dalam suatu tindakan kemenangan 

yang misterius.

Penaklukan seluruh dataran Mesopotamia yang dilakukan Sargon se￾cara relatif cepat itu mencengangkan, mengingat ketidakmampuan raja-raja 

Sumeria untuk mengendalikan suatu wilayah yang lebih luas daripada dua 

atau tiga kota. Kombinasi dari kekuatannya sendiri dan kelemahan Sumeria 

telah mencondongkan perimbangan untuk keuntungan-nya. Bala tentara￾nya lebih kuat daripada Sumeria sebagai pihak yang mempertahankan diri, 

karena mereka menggunakan busur dan panah secara besar-besaran. Karena 

langka-nya kayu, busur merupakan senjata yang tidak lazim di Sumer; Sargon 

tampaknya memiliki sebuah sumber kayu eru, yang mengisyaratkan bahwa 

sudah sangat dini ia melebarkan jangkauannya ke Pegunungan Zagros, tepat 

di sebelah Timur Teluk. Pasukannya tampaknya juga telah mengubah formasi. 

Bila Stele Burung Nasar dan Panji-Panji Ur menunjukkan tentara-tentara ber￾senjata membentuk gugus-gugus, dan bergerak agak serupa dengan barisan 

tentara dari masa sesudahnya, tentara Sargon tampak dalam pahatan-pahatan 

sebagai pasukan yang lebih ringan, menyandang beban yang lebih enteng dan 

lebih lincah dan leluasa bergerak di seluruh medan pertempuran untuk me￾nyerbu dan kemudian membentuk formasi kembali sesuai keinginan.7

Tambahan lagi, orang Sumeria mungkin dilumpuhkan oleh keretakan 

dalam kota mereka. Kota-kota Sumeria, tepat sebelum penaklukan itu men￾derita akibat kesenjangan yang kian besar antara kelompok elite pemimpin 

dan pekerja miskin. Penindasan yang dengan sumpah Urukagina hendak per￾baiki merupakan gejala wajar dalam suatu masyarakat di mana para aristokrat, 

yang merangkul kaum imam, menggunakan kekuasaan keagamaan yang di￾padukan dengan kekuasaan duniawi untuk mengklaim sebanyak tiga perem￾pat dari wilayah di kota mana pun untuk mereka sendiri. Penaklukan wilayah 

itu yang dilakukan secara relatif mudah oleh Sargon (belum lagi keluhannya 

yang tidak habis-habisnya akan latar belakang dirinya yang bukan aristokrat) 

mungkin menjelaskan ajakannya yang berhasil kepada anggota masyarakat 

Sumeria yang tertindas untuk memihak kepadanya.Apa pun kontribusi kelemahan Sumeria dalam keberhasilan penaklukan 

itu, hasilnya adalah suatu hal yang baru. Sargon melakukan sesuatu yang 

belum pernah dihasilkan oleh seorang pun raja Sumeria; ia mengubah suatu 

koalisi lepas dari beberapa kota menjadi suatu kekaisaran.*

B , wilayah baru itu perlu dikendalikan.

Sebagai bagian dari strateginya untuk memerintah kota-kota yang berte￾bar luas, Sargon membangun sebuah ibu kota baru, Agade; dari ejaan nama 

kota itu, Akkad, dalam bahasa Ibranilah kekaisarannya mendapat nama.**

Sisa-sisa Agade belum ditemukan, tetapi kota itu mungkin terletak di dataran 

Sumeria Utara, barangkali di dekat kota Baghdad dewasa ini, di leher botol 

di mana terletak kota Sippar. Dari posisi itu, yang sedikit ke Utara dari Kish, 

Sargon dapat mengendalikan lalu lintas sungai dan mengawasi kedua ujung 

kerajaannya.

Di dalam kerajaan itu orang Sumeria segera merasa seperti hidup sebagai 

orang asing di kota mereka sendiri. Orang-orang Sargon adalah orang Semit 

dari dataran Utara. Dialek mereka, yang kemudian dikenal sebagai bahasa 

Akkadia, adalah bahasa Semit. Adat istiadat dan logat bicara mereka tidak 

sama dengan yang digunakan orang Sumeria Selatan. Ketika Sargon merebut 

sebuah kota, kota itu menjadi kubu orang Akkadia, yang stafnya terdiri dari 

orang Akkadia dan garnisunnya terdiri dari pasukan Akkadia.

Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, Sargon bisa bertindak kasar 

kepada penduduk asli. Ketika Lugalzaggesi menaklukkan Kish, ia mengklaim 

sebagai penguasa besar tetapi tidak menyingkirkan pegawai Sumeria, para 

lugal, yang menjalankan birokrasi Kish. Bagaimana pun, mereka adalah orang 

seasal dia juga dan ia membiarkan mereka tetap menduduki jabatan mereka 

sejauh mereka bersedia mengganti sumpah loyalitas. Sargon tidak memiliki 

kelunakan semacam itu. Ketika ia menaklukkan sebuah kota, ia mengganti 

pemimpin kota itu dengan orangnya sendiri. ”Dari laut di atas sampai laut 

di bawah”, demikian bunyi inskripsinya, ”para keturunan Akkad memegang 

pimpinan kota.” Orang Akkadia Semit, yang telah lama berbaur dengan orang 

Sumeria, kini berkuasa atas mereka. Agade sendiri memiliki garnisun tetap 

beranggotakan lima ribu empat ratus prajurit yang ”diberi makan setiap hari” 

di depan raja. Ada ribuan lagi tersebar di seluruh Mesopotamia.Setelah dataran Mesopotamia berada dalam kekuasaannya, Sargon 

mulai membangun suatu kekaisaran yang terbentang melampaui wilayah 

Mesopotamia. Ia memimpin serdadu-serdadu itu dalam pertempuran demi 

pertempuran; ”Sargon, raja Kish”, bunyi salah satu papan inskripsinya, ”me￾nang dalam tiga puluh empat pertempuran”.9

 Ia menyeberangi Tigris dan 

merebut tanah orang Elam, yang sebagai pengganti tampaknya memindahkan 

pusat kerajaan mereka dari Aswan ke Susa yang sedikit lebih jauh letaknya, 

di mana terletak ibu kotanya. Ia menyerbu terus ke Utara ke kota Mari, 

yang dapat ia rebut, dan kemudian masih menyerbu lebih lanjut ke daerah 

sebuah suku Semit lain, yang lebih liar dan lebih tidak menetap daripada 

sukunya sendiri Akkadia: orang Amorit, yang bermukim di sepanjang daerah 

di sebelah Barat Laut Kaspia. Sambil terus berperang di sepanjang Tigris, ia 

mencapai dan menaklukkan kota kecil di Utara bernama Assur, yang telah 

menjadi pusat pemujaan dewa Ishtar selama barangkali tiga ratus tahun sebe￾lum kelahiran Sargon. Sesudah itu ia bahkan menyerbu lebih jauh ke Utara 

dan menguasai kota yang sama kecilnya Nineweh, seratus lima puluhan kilo￾meter lagi. Nineweh adalah sebuah pos luar yang terpencil; dari titik pantau 

di Utara itu anak-anak-nya mengawasi seluruh daerah taklukan liar di Utara, 

sementara Agade tetap menjadi titik pengawasannya untuk daerah Selatan.10

Sargon mungkin bahkan telah menyerbu Asia Kecil. Sebuah cerita dari 

masa yang lebih kemudian, ”Sargon, Raja Peperangan”, melukiskan perjalan￾annya ke kota Purushkanda, yang penduduknya mengirim pesan kepadanya 

untuk meminta pertolongan melawan Nur-daggal, raja setempat yang kejam. 

Dalam sanjak-sanjak yang masih ada, Nur-daggal meremehkan kemungkinan 

bahwa Sargon akan muncul:

Ia tidak akan datang jauh-jauh ke sini.

Tebing sungai dan air pasang akan menghalangi dia,

Gunung-gemunung akan merintangi jalannya dengan onak dan duri.

Begitu kata-kata itu terlepas dari mulutnya, Sargon menghantam hancur ger￾bang kotanya:

Nur-daggal belum selesai berbicara,

Ketika Sargon mengepung kotanya,

dan mengangakan gerbangnya seluas satu hektar!11

Apakah Sargon sesungguhnya mencapai Purushkhanda, cerita itu meng￾ungkapkannya. Ia tentu tampak tak dapat dihentikan seperti tank, berada 

secara hampir-hampir magis di seluruh wilayah dunia yang diketahui. Ia mengklaim bahwa telah menyerbu jauh ke Barat sampai ke Laut Tengah,12

dan bahkan membanggakan diri dengan mengendalikan kapal-kapal dari 

Meluhha (Indus), Magan (di Arabia Selatan), dan Dilmun (di pantai Timur 

Teluk).

Untuk mengendalikan bentangan wilayah yang seluas itu diperlukan se￾buah bala tentara yang menetap; orang-orang yang “makan roti„ di hadapan 

Sardon setiap hari itu mungkin merupakan tentara profesional pertama dalam 

sejarah. Mengendalikan bangsa yang bermacam ragam itu dalam kekuasaannya 

juga menuntut kadar kecerdikan keagamaan tertentu, yang memang dimiliki 

Sargon secara melimpah. Ia memberikan penghormatan kepada cukup ba￾nyak dewa setempat yang penting yang ia jumpai, membangun kuil-kuil di 

Nippur seperti seorang Sumeria yang baik, dan menjadikan anak perempuan￾nya sebagai imam agung wanita dewi bulan Ur.

Catatan-catatan dari istana Sargon menunjukkan bahwa kekaisaran ini 

memiliki birokrasi yang jauh berbeda dengan apa yang sudah dikembang￾kan sampai saat itu di Sumer. Sargon berusaha menetapkan standar berat dan 

ukuran di wilayah kekuasaannya; ia juga menciptakan sebuah sistem pajak 

bergaya Mesir, yang dijalankan oleh pegawai negara yang mengelola keuangan 

kekaisaran.13 Dan strategi politisnya mencakup lebih dari pajak dan admi￾nistrasi. Ia membentuk perwakilan dari wangsa penguasa lama di istananya, 

sebuah taktik yang akan menjadi baku untuk kekaisaran-kekaisaran yang jauh 

lebih muda waktunya; wakil-wakil itu, yang secara mencolok disambut de￾ngan penghormatan berkat asal-usul mereka yang luhur, sebenarnya merupa￾kan sandera untuk kelangsungan baik kota-kota mereka.14

Strategi itu menyibakkan garis lemah yang terus berlanjut di dalam ke￾kaisarannya. Kerajaan yang terbentang luas itu selalu berada di ambang 

pemberontakan.

Daftar raja Sumeria menyatakan pemerintahan Sargon berlangsung selama 

lima puluh enam tahun. Menjelang akhir pemerintahannya, ketika ia barang￾kali berusia di atas tujuh puluh tahun, pecahlah sebuah pemberontakan yang 

berat. Inskripsi-inskripsi Babilon Tua mencatat bahwa “para tua-tua negeri“, 

yang sudah dipangkas kekuasaannya, berkumpul dan menjejali Kuil Inanna 

di Kish.

Sargon, tentu saja, mengklaim bahwa ia telah menggilas seketika pembe￾rontakan itu. Tetapi menurut catatan-catatan Babilon Tua (yang diperkirakan 

dari masa yang jauh dan pada umumnya anti-Sargon), sekurang-kurangnya 

satu pertempuran melawan para pemberontak itu sedemikian jeleknya se￾hingga orang tua itu akhirnya bersembunyi di sebuah parit sementara para 

pemberontak melaju lewat.15 Memang tidak diragukan bahwa, hampir seke￾tika setelah Sargon wafat, anak lelakinya Rimush harus melakukan serangan melawan suatu koalisi pemberontak dari lima kota yang mencakup Ur, Lagash, 

dan Umma.16 Rimush berkuasa selama kurang dari sepuluh tahun dan wafat 

secara mendadak. Sebuah inskripsi masa kemudian mengatakan bahwa ia di￾bunuh oleh hamba-hambanya.

Walaupun terdapat pertikaian setelah kematian Sargon itu, keturunan 

Sargon tetap menguasai tahta Agade selama lebih dari seratus tahun—jauh 

lebih lama daripada dinasti Sumeria mana pun. Kekaisaran Akkadia di￾pertahankan kesatuannya oleh lebih daripada kharisma saja. Birokrasi dan 

administrasi Sargon, seperti yang ada di Mesir, akhirnya menyediakan untuk 

Mesopotamia sebuah struktur yang dapat mempertahankan kesatuan bah￾kan ketika tahta beralih dari ayah yang besar kepada anak lelakinya yang 

berjuang.

M”, dari mana kapal-kapal tiba untuk berdagang dengan 

Sargon Yang Agung adalah India, di mana suatu peradaban besar telah 

tumbuh. Tetapi dari peradaban yang besar itu tidak ada satu tokoh pun yang 

masih terkabar.

 Dalam kurun tujuh ratus tahun yang terjadi antara Manu Vishnu dan 

Sargon, desa-desa di sepanjang Indus telah menjadi sebuah jaringan kota. 

Orang-orang yang mendiami kota-kota itu terkait, tidak terlalu jauh, dengan 

orang Elam. Seperti halnya orang Amorit dan orang Akkadia merupakan 

keturunan dari kelompok orang-orang yang sama yang bermigrasi, 

demikianlah para penduduk asli lembah Elam di sebelah Utara Laut Arab 

dan orang-orang yang membangun kota-kota di sepanjang Indus tampaknya 

berasal dari rumpun asli yang sama.

 Hanya itulah seluruh hal yang kita ketahui. Apa yang tersisa dari 

peradaban kota Indus, yang pada umumnya disebut ”peradaban Harappa”, 

dari kota Harappa (salah satu dari situs-situs paling purbanya yang ditemukan), 

terdiri dari reruntuhan kota, berbagai macam cap yang digunakan untuk 

mengidentifikasikan barang-barang dagangan, dan inskripsi-inskripsi singkat 

yang tak seorang pun bisa membacanya, karena aksaranya belum dapat 

diuraikan sandinya. Kedua kota Harappa yang paling luas adalah Harappa 

sendiri di cabang Utara Indus dan Mohenjo-Daro, lebih jauh ke Selatan.*∗

Dengan mengerahkan imajinasi kita dapat menggambarkan kota-kota itu

didiami oleh tukang, pedagang, dan pekerja, semuanya tanpa sosok, tetapi 

peradaban Harappa sendiri tidak memiliki catatan perang, pendudukan, 

pergulatan kekuasaan, atau kisah pahlawan.

Hal itu mungkin tidak merepotkan khususnya para ahli antropologi 

dan arkeologi, tetapi merisaukan sejarawan tiada habisnya. ”[Kita memiliki] 

sejarah lengkap dengan perkiraan waktu, kota-kota, industri-industri, serta 

kesenian”, keluh John Keay, ”tetapi sama sekali tidak memiliki peristiwa yang 

tercatat ... [dan] kecuali beberapa tulang yang tidak sangat membantu, tidak 

ada sosok manusia.” 1

 Kita dapat berspekulasi bahwa kota memiliki raja; salah 

satu dari satu-satunya gambaran yang memiliki ciri khas yang ditemukan 

di dalam reruntuhan adalah patung seorang lelaki berjanggut, mengenakan 

jubah berhias dan tutup kepala, matanya setengah tertutup dan wajahnya 

tanpa ekspresi. Mungkin ia adalah raja Mohenjo-Daro, di mana gambarnya 

ditemukan. Kota itu memiliki sederetan bangunan yang tampaknya adalah 

barak-barak, atau perkampungan hamba, yang menyarankan bahwa seorang 

raja atau seorang imam-raja mungkin memerlukan seperangkat staf untuk 

melakukan urusan-uruannya.2

 Tetapi mungkin tidak ada raja sama sekali. Tidak 

ada papan lempung, naskah yang ditulis pada papyrus, atau suatu percontoh

lain dari adanya pencatatan di antara reruntuhan Harappa, walaupun sistem 

penulisan (apa pun itu) tampaknya mampu untuk menghasilkannya.3

 Dan 

cukup sulit membayangkan bagaimana para imam, raja, dan birokrat dapat 

melakukan urusan mereka tanpa merasa perlu mencatat hal-hal yang mereka 

lakukan.

Dengan atau tanpa birokrasi, pedagang-pedagang Harappa memper￾dagangkan barang mereka secara meluas. Cap-cap Harappa muncul di 

reruntuhan Ur, yang berasal dari masa ketika Sargon memerintah kota itu. 

Barangkali kedua peradaban itu bertemu pertama kali di Arab tenggara, di 

mana kedua pihak membeli tembaga dari tambang-tambang di Magan, dan 

kemudian mulai melakukan perdagangan mereka sendiri. Ur, yang letaknya 

dekat ujung Teluk Parsi, merupakan pusat yang masuk akal untuk pertukaran 

barang dagangan India dan Akkadia. Pedagang-pedagang India dapat 

menghindari barisan pegunungan Kirthar, yang merintangi dataran Utara, 

dengan berlayar keluar dari Indus ke Laut Arab, melewati Teluk Oman, ke 

Utara ke Teluk Parsi, dan dari sana ke Efrat. Sebuah pos perdagangan Harappa 

telah ditemukan di Sutkagen Dor, yang 

letaknya hampir di dalam wilayah Elam. 

Mungkin sekali kedua kebudayaan 

memiliki sekurang-kurangnya suasana 

damai untuk melakukan usaha.

Selama beberapa waktu Harappa 

dan Mohenjo-Daro dikira sebagai 

dua kota Harappa yang satu-satunya. 

Tetapi kini lebih dari tujuh puluh 

kota Harappa telah ditemukan, yang 

tersebar dari muara Indus ke hampir 

sepanjang sungai-sungai di Utara, dari 

Sutkagen Dor di Barat sampai sungai 

Narmada di Timur. Peradaban Harappa 

mungkin mencakup wilayah seluas tiga 

perempat juta kilometer persegi.4

Kota-kota itu rendah dan luas, 

terbuat dari bata lumpur yang dibakar 

menjadi keras dalam tungku. Rumah￾rumahnya, jarang yang lebih tinggi 

dari dua tingkat, berderet sepanjang 

jalan-jalan yang dirancang dengan 

baik, yang cukup lebar untuk dilewati

dua gerobak sapi yang berpapasan.5

 Bangunan-bangunan gudang, yang 

mungkin merupakan lumbung untuk bahan makanan penduduk, terletak 

di dekat kota-kota yang paling besar; Mohenjo-Daro dan Harappa mungkin 

menopang kehidupan penduduk yang jumlahnya masing-masing sekitar tiga 

puluh ribu jiwa. 

Penduduk kota-kota itu tampaknya sangat mementingkan kebersihan. 

Jalan-jalan dilengkapi dengan selokan dan sistem penyaluran air limbah; 

rumah-rumah pada umumnya dilengkapi dengan kamar mandi; dan salah 

satu ciri khas kota-kota besar ialah adanya tempat-tempat mandi besar 

seukuran kolam renang yang dikelilingi kamar-kamar kecil, mungkin tempat 

berganti pakaian. Tak seorang pun dapat mengatakan dengan pasti apakah 

perhatian orang Harappa akan kebersihan bersifat keagamaan atau semata￾mata pribadi. Reruntuhan kota-kota Harappa tidak meninggalkan untuk para 

ahli arkeologi satu bangunan pun yang dapat mereka identifikasikan dengan 

pendapat bulat sebagai sebuah kuil.

Ciri paling khas kota-kota Harappa adalah adanya benteng, yakni bagian 

dari bangunan yang dikelilingi tembok dan menara penjagaan. Pada umumnya 

lebih banyak rumah lagi yang tersebar menjauh dari benteng, kebanyakan ke 

arah Timur. Mengelilingi seluruh kota terdapat sebuah tembok tebal lagi yang 

terbuat dari bata lumpur. Andai kata tembok itu dibobol, penduduk masih 

dapat mengungsi ke benteng, yang merupakan tempat perlindungan terakhir 

mereka. 

Hal itu membuat kita bertanya-tanya: apakah yang sedemikian ditakuti 

orang Harappa sehingga mereka memerlukan lapis tembok? Baik orang 

Sumeria maupun orang Elam tidak pernah mengirim pasukan ke Timur sejauh 

itu. Juga tidak terdapat bukti akan adanya suku-suku pengembara yang ganas 

di wilayah itu. Namun kedua tembok itu tinggi dan tebal, dengan benteng 

dan menara penjagaan yang dibangun untuk menghalau musuh.

Mungkin pertahanan yang berlapis itu memberi kita petunjuk tentang 

sifat orang Harappa.

Telah lama diduga bahwa kota berbenteng merupakan suatu perkembangan 

alami dari desa-desa yang telah berurat berakar di lembah hampir seribu tahun 

sebelumnya. Namun terdapat suatu kemungkinan lain. Empat puluh lima 

kilometer dari Mohenjo-Daro, di tepi sebelah lain Indus, terdapat sebuah 

kota yang dikenal sebagai Kot Diji. Penggalian yang cermat lapisan-lapisan 

pemukiman itu menunjukkan bahwa pada abad-abad sebelum kota-kota 

Harappa berkembang menjadi besar, tembok-tembok Kot Diji berulang￾ulang diperkuat untuk menahan serangan. Pada tahun-tahun awal kekuasaan 

Harappa, tembok-tembok itu masih dibangun kembali. Kemudian suatu 

kebakaran besar menghanguskan seluruh kota dan menghancurkan tidak

hanya tembok-tembok kota tetapi bahkan kota itu sendiri. Sebuah kota yang 

baru dibangun di atas Kot Diji lama. Kota itu memiliki jalan-jalan yang 

lebar, selokan dari bata, rumah-rumah dengan kamar mandi. Itu sebuah kota 

Harappa, dan polanya tidak sama dengan pola kota yang terdapat di tempat 

itu sebelumnya.6

 Kot Diji bukan satu-satunya situs yang tampak menunjukkan suatu 

pengambilalihan dengan kekerasan pada masa kota-kota Harappa. Di Amri, 

di sisi Indus yang sama dengan letak Mohenjo-Daro tetapi seratus lima puluh 

kilometer ke Selatan, sebuah pemukiman yang sangat tua secara mendadak 

ditinggalkan oleh separuh dari penduduk desa itu. Di atas reruntuhan lama 

muncullah sebuah kota Harappa, dengan jalan-jalan yang lebar, selokan dari 

bata, dan rumah-rumah dengan kamar mandi.

 Di Kalibangan, jauh di Utara dan tidak begitu jauh dari Harappa, sebuah 

kota lama yang masih dalam keadaan baik ditinggalkan oleh penduduknya. 

Di atas reruntuhan kota yang ditinggalkan itu muncul sebuah kota Harappa, 

dengan jalan-jalan yang lebar, selokan dari bata, dan rumah-rumah dengan 

kamar mandi.7

 Jejak-jejak dari suatu kejadian peperangan sulit ditemukan. Namun pola 

itu mengisyaratkan sesuatu; peradaban Harappa, pada saat menyebar, tidak 

selalu berupa sebuah perkembangan organik. Sekurang-kurangnya untuk 

sejumlah kota, penyebaran itu terjadi melalui suatu pengambilalihan oleh 

suatu segmen orang India yang gemar berperang. Karena menilai orang lain 

berdasarkan dirinya sendiri (atau mungkin karena takut akan pembalasan), 

mereka membangun tembok berlapis untuk menahan serangan dan 

pembalasan.

 Pengambilalihan dengan senjata tidaklah istimewa, tetapi persebaran 

arsitektur Harappa memang suatu hal yang aneh. Bahkan dalam bentangan 

pemukiman seluas tiga perempat juta kilometer persegi, kota-kota Harappa 

sungguh serupa secara mencolok. Rancangan besar kota-kota itu sama, 

dengan benteng yang terpisah dari gugus-gugus rumah dan toko, dan selalu di 

sebelah Barat. Rumah-rumah dan toko-toko, atau ”desa yang rendah”, ditata 

di sekitar jalan-jalan yang direncanakan dengan cermat. Tergantung pada 

tingkat kepadatan lalu lintas yang diperkirakan harus didukungnya, jalan￾jalan dirancang sebagai jalan nadi lalu lintas (mau tak mau selebar delapan 

meter), jalan biasa (enam meter lebarnya atau tiga perempat lebarnya jalan 

nadi), atau jalan samping (empat meter lebarnya, atau setengah dari lebarnya 

jalan nadi). Arah jalan-jalan, mau tak mau, lurus dari Utara ke Selatan atau 

dari Timur ke Barat, dalam pola kisi-kisi yang terancang. Kota-kota itu 

menggunakan patokan berat yang distandarkan, hal yang tidak sedemikian 

aneh, karena kekaisaran Akkadia Sargon telah mulai merambah ke arah

yang sama; yang sedikit lebih aneh ialah bahwa upaya penstandaran itu juga 

diterapkan untuk bata lumpur yang digunakan sebagai bahan bangunan, yang 

mulai menyesuaikan diri dengan dimensi yang tepat sama: 17,5 cm x 15 cm 

x 30 cm.8

 Hal itu sungguh praktis, seperti yang dapat ditegaskan oleh seseorang 

yang telah membuat bangunan Legos, tetapi hal itu juga menegaskan adanya 

suatu konformitas yang anehnya cukup kuat, yang ditegakkan dengan suatu 

cara yang tak diketahui. John Keay menyebutnya ”keseragaman obsesif”, dan 

mencatat bahwa hal itu bahkan diterapkan pada perkakas pembangunan dan 

piranti tukang, yang disusun ke dalam sebuah ”piranti terstandar” yang akan 

langsung dikenali sedari pantai Laut Arab hingga jauh ke Utara di pelosok 

Punjab.

 Sangat mungkin bahwa pola kehidupan sehari-hari berbeda dari kota ke 

kota. Persebaran peradaban Harappa bukanlah padanan purba yang tepat dari 

Invasi Borg.*∗

 Tetapi kemiripan di antara kota-kota yang terpisah secara luas 

itu tentu menuntut komunikasi yang dekat (kalau bukan pemaksaan), dan 

walaupun demikian tak satu pesan pun yang tertinggal bekasnya untuk kita. 

Selama periode itu aksara Harappa (apa pun bunyinya) juga terstandar dalam 

bentuknya itu dan, mungkin saja, dalam penggunaannya.

Namun itu tidak meninggalkan satu pesan pun untuk kita. Kota-kota 

Harappa tinggal tanpa tokoh bersosok. Kalau mereka dapat disamakan 

dengan Borg, letaknya ialah pada tiadanya suara yang muncul sebagai Aku

dari hamparan kolektif pengalaman Harappa

G A R I S WA K T U 1 4

 MESOPOTAMIA INDIA

Dinasti Purba I (2900-2800)

 Desa-desa petani tumbuh di sepanjang Indus 

 Dinasti Purba II (2800-2600)

 Gilgamesh 

 Peradaban Harappa menyebar di sepanjang

 Dinasti Purba III (2600-2350) Indus dan sampai jauh ke Punjab

 Lugulannemundu (sek. 2500) 

 Mesilim 

 Lugalzaggesi Urukagina 

 (Umma) (Lagash) 

 Perdagangan dengan Mesopotamia

 Periode Akkadia (2334-2100)

 Sargon Kematangan peradaban Harappa

 Rimush







S , Mesir tengah mengalami masalah yang sebaliknya: terlalu 

banyak tokoh, semuanya ingin diingat untuk selamanya.

Khufu, pembangun Piramida Besar, digantikan mula-mula oleh anak lelaki 

sulungnya, yang tidak memerintah cukup lama untuk membangun apa pun 

secara khusus, dan kemudian oleh anak lelaki berikutnya, Khafre. Khafre me￾merintah selama enam puluh enam tahun menurut Manetho dan lima puluh 

enam tahun menurut perhitungan Herodotus.*∗

 Berdasarkan perhitungan 

yang mana pun, ia menduduki tahta untuk waktu yang sangat lama.

Menurut tuturan Herodotus, Khafre ”berperilaku dengan cara yang sama” 

dengan perilaku ayahnya. Seperti Khufu, ia mencurahkan begitu banyak 

energi untuk membangun sehingga ia melalaikan dewa-dewa dan tidak mem￾buka kembali tempat-tempat pemujaan. ”Orang Mesir sedemikian membenci 

Chephren [Khafre] dan Cheops [Khufu] sehingga mereka sungguh-sungguh 

tidak suka menyebutkan nama mereka”, tambah Herodotus.1

 Tindakan kejam 

mana pun yang digunakan Khufu dalam membangun piramidanya diulang 

kembali selama pemerintahan anaknya. Piramida Khafre sendiri, yang dise￾but Piramida Kedua, hanya sepuluh meter lebih rendah daripada Piramida 

Besar. Tetapi dengan lihai Khafre membangunnya di lahan yang lebih tinggi, 

sehingga pengunjung yang tidak begitu memperhatikan akan terkecoh dan 

mengira bahwa Piramida Kedua lebih tinggi.

Ia juga meninggalkan sebuah monumen spektakuler lain: Sphinx, sebuah 

pahatan misterius dari batu kapur, sebagian singa dan sebagian elang, dengan 

wajah manusia (mungkin gambaran Khafre sendiri, walaupun terdapat banyak 

perdebatan tentang hal ini). Makhluk raksasa itu menatap ke Timur. Benda 

itu biasanya diacu sebagai sebuah patung yang dibuat dari ”cadas hidup”, yang semata-mata berarti bahwa patung itu dipahat pada sebuah cadas yang sudah 

menonjol di tempat itu, dan bukan dibangun di tempat lain dan kemudian 

dipindahkan ke sana.

Asal usul sosok sphinx sama sekali tidak diketahui. Kelak, orang Yunani 

mengisahkan cerita-cerita yang bagus tentang sosok ini, yang sama sekali 

tidak beredar pada milenium ketiga. Khafre sendiri bahkan mungkin telah 

menciptakan sosok itu, karena satu-satunya sphinx yang mungkin lebih tua*∗

adalah sebuah sphinx kecil wanita yang ditemukan di reruntuhan makam 

anak sulungnya Djedefre yang tidak selesai. Tidak ada kemungkinan untuk 

mengetahui apakah sphinx ini berasal dari zaman Djedefre, atau diletakkan 

di sana kemudian.2

Seperti halnya Piramida Besar, Sphinx juga telah memunculkan teori-teori 

sinting sendiri: ia berasal dari 10.000 SM dan dibangun oleh suatu peradaban 

maju yang telah lenyap; ia dibangun oleh makhluk Atlanta (atau alien); ia 

menampilkan sebuah tanda zodiak, atau sebuah titik pusat energi global.

Penjelasan yang begitu melantur sama sekali tidak perlu. Elang diidentifi-

kasikan dengan Horus, sedang singa diidentifikasikan dengan matahari dan 

dengan demikian dengan dewa matahari Ra, dan dewa sejawat Ra yakni Amun 

(ini adalah suatu dewa setempat yang kemudian diidentifikasikan dengan Ra, 

terkadang sebagai dewa majemuk Amun-Ra). Memiliki sebuah patung se￾tengah singa, setengah elang, yang menjaga tempat di mana jiwa Anda akan 

berada secara abadi, adalah mengklaim perlindungan dewa-dewa Mesir yang 

paling berkuasa. Menambahkan wajah Anda sendiri pada patung itu adalah 

mengklaim identitas mereka. Nama “sphinx” adalah sebuah lafal rusak dalam 

bahasa Yunani; nama Mesir aslinya untuk sosok itu adalah mungkin “shese￾pankh”, atau “gambar yang hidup”.3

Barangkalai Khafre perlu menciptakan sebuah bukti baru keilahiannya, 

karena, seperti yang diisyaratkan oleh Herodotus, orang Mesir telah menjadi 

jemu dengan tuntutan para penguasa mereka yang menekan. Sesungguhnya, 

Khafre adalah pembangun terakhir sebuah opiramida besar dan penguras 

terakhir energi rakyatnya. Anak lelakinya Menkaure dipaksa berhemat dan 

mengubah perilaku.

Herodotus menuturkan bahwa, sesuai dengan tradisi Mesir, Menkaure 

membuka kembali kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan Mesir, mengangkat 

rakyatnya dari kesengsaraan yang telah ditimpakan kepada mereka oleh para 

pendahulunya, dan memerintah rakyatnya dengan murah hati.*∗

 Piramida 

Menkaure merupakan bukti tambahan dari adanya perubahan: Piramida 

Ketiga tingginya hanya tujuh puluh tujuh meter, separuh ukuran piramida 

Khufu. Bangunan itu masih memerlukan penggunaan sumber daya yang luas, 

tetapi tidak lagi menuntut jam kerja manusia seperti yang diperlukan untuk 

piramida-piramida sebelumnya.

Perilaku Menkaure yang relatif baik hati, demikian jelas Herodotus, tim￾bul dari kesadaran; ia “tidak menyetujui apa yang telah dilakukan ayahnya. 

4

 Mungkin Menkaure memang menolak arsitektur monumental dari ayah 

dan kakeknya. Namun, sebesar itu pula kemungkinannya bahwa ia sekadar 

mematuhi apa yang tak dapat dihindari: merosot-nya kemampuan pharaoh 

dari Dinasti Keempat untuk menuntut ketaatan massa besar pekerja Mesir 

sebesar yang diperlukan untuk membangun sebuah Piramida Besar. Jika ia 

curiga bahwa terdapat ancaman pemberontakan, maka penghematan publik, 

yang mengarah kepada perilaku belas kasih, bukan saja lihai tetapi bahkan tak 

dapat dielakkan.

Bangunan itu pun tahan. Piramida-piramida besar Dinasti Keempat, yang telah menjadi wakil seluruh sejarah Mesir untuk sedemikian banyak maha￾siswa, menjulang sebagai obyek menarik di bentangan pemandangan Mesir; 

tidak ada pharaoh selanjutnya yang melebihinya. Para pharaoh telah menguji 

batas-batas kekuasaan ilahi mereka, dan telah mencapai akhirnya. Menkaure 

tidak dapat memaksakan pelayanan tanpa bertanya yang sama dengan yang 

dilakukan ayah dan kakeknya.

Penemuan batas-batas kekuasaan ilahi tampaknya telah menyebabkan ke￾merosotan yang meningkat dalam kekayaan pharaoh, seakan-akan pengakuan 

Menkaure tentang keterbatasannya telah memicu Mesir turun ke lereng yang 

licin dan berakhir dalam suatu genangan anarki.

Cerita tradisional tentang pemerintahan Menkaure, yang disampaikan 

kepada Herodotus oleh imam-imam di Memphis, mengisyaratkan bahwa 

Menkaure merasa terjepit. Dewa-dewa begitu tidak puas dengan pemerintahan 

Menkaure sehingga mereka mengirim sebuah pesan kepadanya: Menkaure 

akan mati sebelum tahun ketujuh pemerintahannya berakhir. Terhadap hal 

itu Menkaure menjadi geram. Ia merasa sangat tidak adil bahwa Khufu dan 

Khafe, yang telah

 Menutup tempat-tempat pemujaan, mengabaikan dewa-dewa, dan meng￾hancurkan kehidupan banyak orang, telah hidup selama begitu banyak 

tahun, sedangkan seseorang yang takut akan dewa seperti dirinya akan 

mati demikian cepat. Pesan kedua datang dari peramal, yang menjelaskan 

bahwa justru karena ia seorang yang takut akan dewa itulah hidupnya 

akan dipersingkat—bahwa ia tidak berperilaku seperti yang semestinya. 

Mesir ditentukan untuk menderita selama seratus lima tahun, dan kedua 

pendahulunya telah memahami hal itu, sedangkan dia tidak.5

Kisah hukuman yang sangat

dunia kuno 4




 elum Hammurabi (s. 1750 SM) bersifat problematis. Bahkan naiknya 

Hammurabi mengandung unsur kekeliruan sekitar lima puluh tahun pada 

kedua sisinya, dan ketika kita kembali ke tahun 7000 SM unsur kekeliruan 

itu mendekati lima atau enam ratus tahun. Sebelum 7000 SM penetapantanggal terjadi dengan bebas-bagi-siapa-saja secara sopan. Menulis tentang se￾suatu yang terjadi dari awal waktu sampai sekitar 4000 SM bertambah rumit 

lagi karena terdapat berbagai sistem yang dianut untuk menandai masa-masa 

”prasejarah”, dan tak satu pun di antaranya yang sejalan dengan lainnya, tam￾bahan lagi sekurang-kurangnya satu di antaranya benar-benar menyimpang.

Saya memilih untuk menggunakan sebutan tradisional SM dan M untuk 

tanggal. Saya mengetahui mengapa banyak sejarawan memilih menggunakan 

sebutan SMM dan MM dalam usaha untuk menghindari penyajian sejarah 

yang seluruhnya didasarkan atas titik pandang Yahudi-Kristiani, tetapi meng￾gunakan SMM sambil tetap menghitung dengan bertolak pada kelahiran 

Kristus menurut hemat saya adalah sia-sia juga.



Belum setelah kematiannya—ketika para raja 

Mesir tengah berjuang untuk mengukuhkan wibawa ilahi mereka sendiri—

raja Sumeria Gilgamesh telah menjadi seorang pahlawan legendaris. Ia telah 

membunuh Raksasa Mahabesar, yang disingkirkan dengan Ketetapan Langit, 

menolak langkah-langkah romantis dewi Inanna, dan melangkah masuk ke 

taman dewa-dewa, di mana keharuman kebakaannya mencengangkan dewa 

matahari sendiri. Berkat Epik Gilgamesh (cerita epik paling tua yang kita ke￾tahui), pribadi Gilgamesh yang historis masih bergema sampai ke zaman kita, 

lima ribu tahun setelah kematiannya.

Hubungan antara Gilgamesh sebagai tokoh kesusastraan dan sebagai 

tokoh historis tidak berbeda dengan hubungan antara tokoh Macbeth dalam 

karya Shakespeare dan Maormor Macbeda yang membayar dengan nyawanya 

kejahatannya membunuh raja dan dan sanak saudaranya sendiri pada tahun 

1056. Kehidupan nyata memberikan semacam papan lenting untuk suatu 

cerita yang luar biasa dan lebih luas daripada kehidupan sendiri; inti dari orang￾nya sendiri tetap hidup, diagungkan, didistorsikan, tetapi pada hakikatnya 

tetap benar.

Jauh lebih mudah mengisolasikan kejadian-kejadian historis dalam 

Macbeth. Salah satu sebabnya adalah bahwa detail-detail kehidupan nyata 

Maormor Macbeda dilukiskan oleh banyak sumber lain. Namun, di luar 

cerita Epik, kehidupan Gilgamesh dicatat hanya oleh beberapa inskripsi, 

yakni daftar raja Sumeria dan satu atau dua puisi. Cerita tentang misi damai 

Agga kepada Gilgamesh yang tanpa hasil, yang dikutip pada bab sebelumnya, 

adalah salah satunya; puisi itu ditulis dalam bahasa Sumeria dan mungkin 

sekali dicerita-kan secara lisan selama beberapa dasawarsa (atau abad) sebelum 

dituliskan pada papan lempung. Eksemplar yang kita miliki berasal dari sekitar 

2100 SM, ketika raja Ur menunjuk seorang juru tulis untuk menuliskan  cerita Gilgamesh. Raja itu, seorang bernama Shulgi, ingin memiliki catatan 

tentang kehidupan raja besar itu karena ia mengklaim Gilgamesh sebagai 

nenek moyangnya (yang mungkin sekali berarti bahwa Shulgi adalah seorang 

perebut tanpa adanya hubungan sama sekali dengan Gilgamesh).1

 Puisi-puisi 

itu berasal dari masa yang jaraknya cukup dekat dengan masa hidup Gilgamesh, 

sehingga kita dapat (dengan hati-hati) mengajukan teori bahwa puisi-puisi 

itu memang mengandung sebagian fakta tentang tindakan-tindakan sang raja 

yang historis.

Cerita Epik juga mengandung hal semacam itu, tetapi memilah-milahnya 

jauh lebih rumit.

Silakan meninjau sebuah percontoh dari Epik Gilgamesh di toko buku 

di tempat Anda, maka Anda akan melihat bahwa Epik itu terdiri dari enam 

cerita yang saling berhubungan, seperti cerita-cerita pendek bersambung 

yang bersama-sama membentuk sebuah novel. Yang pertama adalah “Kisah 

Enkidu”, di mana Gilgamesh berkenalan dengan monster yang dikirim oleh 

dewa-dewa untuk menjinakkannya; yang kedua, “Perjalanan ke Hutan Aras”, 

di mana ia mengalahkan Humbaba; yang ketiga, “Ketetapan dari Langit”, 

di mana Gilgamesh membuat marah dewi Inanna dan Enkidu menderi￾ta karenanya; yang keempat, “Perjalanan Gilgamesh”, di mana ia mencapai 

negeri Utnapishtim yang baka, tokoh Nuh Sumeria yang tetap hidup sete￾lah selamat dari Air Bah Besar; yang kelima, “Cerita tentang Air Bah”, yang 

dituturkan oleh Utnapishtim kepada Gilgamesh; dan yang keenam, “Upaya 

Gilgamesh”, di mana Gilgamesh berusaha secara sia-sia untuk menemukan 

kehidupan abadi—atau sekurang-kurangnya pulihnya masa mudanya—dan 

gagal. Kemudian sebuah catatan akhir meratapi kematian Gilgamesh.

Versi enam bab yang rapi tentang petualangan Gilgamesh ini tidak hanya 

sedikit mengecoh. Epic itu disalin berulang kali ke papan lempung, yang 

wajar saja bila pecah menjadi berkeping-keping. Kepingan-kepingan yang 

tersebar di wilayah Timur Tengah kuno itu ditulis dalam sejumlah bahasa, 

dari bahasa Sumeria hingga bahasa Assyria, dan dibuat antara 2100 dan 612 

SM. Salinan-salinan tertua dalam bahasa Sumeria, yang berasal dari masa 

juru tulis Shulgi, hanya memuat dua cerita pertama dan ratapan penutup. 

Tidak dapat lagi diketahui apakah keempat cerita lainnya merupakan bagian 

dari seluruh rangkaian itu sejak semula dan kemudian hilang, atau apakah 

merupakan tambahan dari masa kemudian. Beberapa bagian dari cerita 

ketiga dan keempat, “Ketetapan dari Langit” dan “Perjalanan Gilgamesh”, 

mulai muncul pada papan lempung bersama kedua cerita pertama antara 

1800 dan 1500 SM, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Akkadia (bahasa 

yang menyusul bahasa Sumeria, yang digunakan oleh mereka yang bermukim 

di dataran sungai ketika kota-kota Sumeria memudar). Sekitar 1000 SM kepingan-kepingan keempat cerita muncul di sepanjang pantai Laut Tengah 

dan tersebar di wilayah Asia Kecil. Cerita air bah, yang sudah terdapat dalam 

berbagai versi jauh sebelum 2000 SM, mungkin dimampatkan ke dalam cerita 

Gilgamesh sebagai cerita kelima, sekurang-kurangnya seribu tahun setelah 

kematian Gilgamesh; cerita itu jelas terlepas dari cerita-cerita lainnya di dalam 

epik. (“Duduklah dan dengarkan cerita yang akan aku tuturkan”, perintah 

Utnapishtim kepada Gilgamesh, dan ia seketika mulai bercerita seakan-akan ia 

tidak memiliki banyak kesempatan untuk menuturkannya sejak ia turun dari 

kapal.) Dan satu-satunya hal yang dapat kita katakan tentang cerita “Upaya 

Gilgamesh”, di mana ia menemukan dan kemudian kehilangan Pohon awet￾muda, ialah bahwa cerita itu telah terhubung dengan cerita lainnya dalam 

Epik pada 626 SM.

Itulah tanggal dari salinan tertua yang masih ada dari keenam cerita Epic 

seutuhnya. Itu berasal dari perpustakaan Ashurbanipal, raja Assyria yang 

berjiwa pustakawan. Ashurbanipal menjadi raja pada 668. Selama masa tiga 

puluh tahun lebih sedikit masa pemerintahannya, ia menghancurkan Babylon, 

membunuh saudara lelakinya sendiri (yang telah menjadi raja Babylon), dan 

dipusingkan oleh seorang nabi Ibrani bernama Yunus yang gigih meneriakkan 

bahwa Nineweh, ibu kota Ashurbanipal, kena kutuk. Ketika wafat pada 626, 

Ashurbanipal juga telah mengoleksikan dua puluh dua ribu papan lempung ke 

dalam perpustakan sejati pertama dunia. Dua belas buah papan di antaranya 

memuat Epik Gilgamesh kurang lebih dalam bentuknya yang ada sekarang.

Jadi, hanya kedua cerita pertama yang, dalam batas-batas kepastian yang 

ada, dapat ditempatkan dalam masa yang tidak jauh jaraknya dari masa kehi￾dupan Gilgamesh. Kesulitan yang diakibatkan oleh kekuatan besar Gilgamesh 

pada bawahan-bawahannya, perjalanannya ke Utara ke hutan aras, dan rata￾pan pada penguburannya: hal-hal itu dapat dipandang sebagai mencerminkan, 

betapa pun terdistorsi, suatu kenyataan sejarah.

Lebih dari itu, hal-hal itu merupakan pusat yang tak diragukan dari epik 

pertama dunia, di mana kematian dialami sebagai sekaligus kehancuran dan 

pembebasan.

Dalam cerita pertama, “Kisah Enkidu”, raja Uruk memerintah secara tirani 

kepada rakyatnya sampai mereka mulai bergumam:

Gilgamesh menyuarakan panggilan perang demi kesenangannya sendiri,

Kepongahannya tidak mengenal batas,

Tidak peduli siang, tidak peduli malam:

Ia merenggut anak lelaki dari haribaan ayahnya,

Walau seorang raja seharusnya menjadi gembala bangsanya.2


Martabat raja yang diberikan oleh dewa-dewa kepada Sumer, wibawa 

kuat yang membantu kota-kota untuk tetap bertahan, telah meluber menjadi 

tirani. Warga Uruk berseru kepada dewa-dewa untuk memohon pembebasan. 

Sebagai jawaban, dewa-dewa membuat suatu ciptaan dari lempung bernama 

Enkidu dan menurunkannya di padang belantara Sumer. Enkidu

tidak mengenal sedikit pun tanah yang diolah,

orang-orang yang berperadaban, atau pun peri hidup mereka, 

tak mengenal sedikit pun kota-kota bertembok yang telah menjadi pusat 

kebudayaan Sumer. Rupanya seperti seorang lelaki yang kuat dan mirip dewa, 

tetapi berbuat seperti binatang, mengembara di padang-padang sambil makan 

rumput dan hidup bersama binatang-binatang; pada kenyataannya, ia adalah 

sebuah karikatur dari para pengembara yang selalu berselisih paham dengan 

penduduk kota.

Ketika Gilgamesh mendengar berita tentang pendatang baru itu, ia mengi￾rim seorang pelacur untuk merayu dia dan dengan demikian menjinakkannya. 

(“Ia bertelanjang bulat-bulat,” tutur puisi itu). Tertaklukkan oleh strategi yang 

cukup lugas itu, Enkidu melewatkan enam hari dan tujuh malam untuk me￾muaskan nafsu kedagingan. Ketika ia pada akhirnya bangkit dan berusaha 

kembali hidup dengan binatang-binatang, hewan-hewan itu melarikan diri; 

ia telah menjadi manusia.

Enkidu menjadi lebih kecil,

menjadi lemah, dan binatang-binatang buas lari dari padanya;

tetapi ia juga menjadi lebih luas,

karena kini kebijaksanaan telah diam padanya, 

kini ia memiliki pikiran manusia.

Karena kini Enkidu telah memiliki pikiran manusia, ia harus pergi ke kota, 

tempat tinggal yang tepat untuknya. Pelacur itu menawarkan untuk mengan￾tarnya ke “kota Uruk yang bertembok kuat, di mana Gilgamesh memerintah 

rakyatnya seperti banteng liar”.

Ketika mereka tiba di Uruk, Gilgamesh tengah mengacaukan sebuah 

pernikahan dengan klaimnya atas hak penguasa, yang telah ia lakukan sela￾ma sekian banyak tahun: ”Raja Uruk minta menjadi lelaki pertama bersama 

mempelai wanita”, catat Epik itu, sebagai “hak kelahirannya”. Enkidu, yang 

menjadi geram terhadap penyalahgunaan kuasa itu, menghalangi langkahnya 

ke ruang tidur mempelai wanita. Keduanya bertarung; pertarungan itu ketat, 

dan lebih ketat daripada yang pernah dikenal Gilgamesh. Dan walaupun sang

raja akhirnya menang, ia juga sedemikian terkesan oleh kekuatan Enkidu se￾hingga keduanya mengangkat sumpah ikatan persahabatan. Itu menjinakkan 

gelora tirani Gilgamesh. Rakyat Urut bernapas lega, ketika damai turun ke 

jalan-jalan mereka.

Pergulatan itu tentu saja lebih dari sekadar pertarungan dengan bergulat. 

Terjalin dalam seluruh cerita itu suatu ambiguitas Sumeria tentang marta￾bat raja. Martabat raja adalah sebuah karunia dewa-dewa demi kelangsungan 

hidup manusia; raja-raja semestinya menegakkan keadilan, mencegah yang 

kuat agar tidak menjerumuskan yang lemah ke dalam kemiskinan dan kela￾paran. Jelaslah bahwa seorang raja yang wajib menegakkan keadilan itu harus 

cukup kuat juga untuk melaksanakan kehendaknya.

Tetapi kekuatan itu juga penuh bahaya, karena mampu menimbulkan pe￾nindasan. Dan ketika hal itu terjadi, rajutan kehidupan kota Sumeria mulai 

melintir dan buyar. Di Uruk, raja adalah hukum, dan jika raja sendiri menjadi 

busuk, kodrat hukum itu sendiri menjadi terdistorsi.

Hal itu cukup menakutkan untuk diulas secara tak langsung belaka. 

Gilgamesh bertarung bukan melawan dirinya sendiri melainkan melawan 

suatu makhluk dari luar tembok. Pergulatan di pintu kamar mempelai wanita 

terjadi melawan gambar cerminan dirinya yang tak beradab; bagaimana pun, 

enkidu telah diciptakan

sedemikian serupa dengannya seperti cerminan dirinya sendiri,

dirinya yang kedua, setara dengan hatinya yang menggelora dengan liar:

biarlah keduanya saling bertarung,

dan biarlah seisi kota menikmati kedamaian. 

Cerita tentang perjalanan Gilgamesh ke hutan aras tidak terlalu berbeda. 

Gilgamesh menunjukkan lagi kecenderungan untuk secara membabibuta 

mengejar kemauannya sendiri.

Aku akan menaklukkan Raksasa Mahabesar,

Aku akan menegakkan keharuman namaku selamanya

katanya kepada dewan tua-tua Uruk. Mereka mencoba mengekang ambi￾sinya:

Kamu masih muda, Gilgamesh.

Kamu dikendalikan oleh keinginan hatimu.

Raksasa itu tidak seperti manusia yang dapat mati.

Namun, karena Gilgamesh berkukuh, para tua-tua menyerah. Gilgamesh 

dan Enkidu bersiap untuk memerangi raksasa, sementara Enkidu diserahi 

tugas oleh para tua-tua untuk menjaga keselamatan sang raja.

Perjalanan Gilgamesh ke Utara didorong oleh keinginannya akan nama 

harum, hasrat yang juga mendesak dia untuk mendorong rakyatnya ke pe￾perangan. Tetapi sekali lagi, bahaya terhadap kedamaian Uruk ditampilkan 

sebagai sebuah kekuatan dari luar. Yang jahat mengintai, bukan di dalam jiwa 

raja, melainkan di hutan-hutan di Utara.

Di sana pun ada bahaya lain yang mengintai. Dalam cerita yang paling 

awal ini pun Gilgamesh direpotkan oleh kematian. Bahkan sebelum berang￾kat ia merenungkan kefanaannya. Ia terdengar menyerah kepada apa yang tak 

terelakkan:

Siapa yang dapat naik ke langit?

Hanya dewa saja yang hidup untuk selamanya.

Jumlah hari-hari manusia terbilang. 

Tetapi bahkan jika aku jatuh pun aku akan meraih nama harum,

dan nama harum akan tinggal selamanya.

Tetapi kemungkinan bahwa ia akan jatuh dalam peperangan berkembang 

di dalam pikirannya. Dalam perjalanan untuk menyerang Humbaba, Raksasa 

Mahabesar, ia bermimpi tiga kali, dan setiap kali ia terbangun dengan berte￾riak, “Seorang dewa telah lewat; dagingku menggigil!” Mimpi ketiga adalah 

yang paling menakutkan:

Terang siang hari meredup, kegelapan meluas,

Kilat menyambar, api berkobar,

Maut menghujan ke bumi.

Ia menjadi sedemikian takut dan ingin berbalik, tetapi Enkidu meyakin￾kannya untuk terus maju. Kemudian, pada malam menjelang pertempuran 

dengan Humbaba, Gilgamesh tertidur sedemikian lelapnya sehingga Enkidu 

baru berhasil membangunkan-nya sesaat saja sebelum waktu bertempur.

Berlawanan dengan firasat-firasat buruk itu, maut dapat dicegah. Pada akhir 

cerita, Uruk selamat dan Raksasa Mahabesar mati terkapar. Tetapi pengakuan 

Gilgamesh bahwa hari-harinya sudah terbilang dan ketakutan yang muncul 

dari kefanaannya menjadi inti yang membentuk sisa dari cerita Epik itu sen￾diri. Manakala sisa cerita dibalikkan masuk ke dalam cerita, masing-masing 

cerita menampilkan suatu kekhawatiran yang meningkat akan penurunan ke

alam kematian, dan tekad yang kian besar untuk menghindarinya. Gilgamesh 

berangkat ke taman para dewa dengan harapan bahwa ia akan mampu, entah 

bagaimana, untuk mengembalikan Enkidu yang sudah mati; ia mendengar 

cerita tentang air bah sementara ia mencari sebab-sebab kebakaan; ia berhasil 

menemukan Pohon Awet-Muda, yang akan menunda kematian kalau pun 

tidak melenyapkannya, tetapi kemudian ia membiarkan pohon itu dicuri oleh 

seekor ular air. Dalam perjuangannya untuk menghindari kematian ia mem￾buat rencana, berkelana, mengemis, mencari; tetapi tidak pernah berhasil.*∗

Hal itu ternyata merupakan sesuatu yang sangat baik, sejauh menyangkut 

orang-orang Sumeria. Ratapan penguburan yang menutup Epik itu 

merupakan bagian asli dari ceritanya sejak awal mulanya. Bagian itu tidak 

dimuat di dalam salinan Ashurbanipal, agaknya karena orang Assyria 

memandang bagian akhirnya terlalu mengejutkan, terlalu berbeda dengan 

upaya mengejar kebakaan yang ditampilkan pada bagian sebelumnya. Tetapi 

ratapan itu merangkum kekhawatiran orang Sumeria tentang martabat raja 

ke dalam serangkai baris, yang menampilkannya secara lebih lugas daripada 

di bagian lain mana pun.

Engkau diberi martabat raja,

Hidup abadi bukanlah bagian nasibmu.

Engkau memiliki kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan,

Kekuasaan terhadap rakyat,

Kejayaan di peperangan.

Tetapi jangan salahgunakan kuasa itu.

Perlakukanlah hamba-hambamu di istana dengan adil.

Raja telah membaringkan dirinya,

Ia telah berangkat ke pegunungan;

Ia tidak akan kembali lagi.

Musuh yang tidak bertangan dan tidak berkaki,

Tak minum air dan tak makan daging,

Menimpa berat-berat padanya.3

 Di Sumer, Gilgamesh dipandang sebagai seorang dewa sejak kurun yang 

sedemikian dekat masa hidupnya sendiri. Tetapi martabat kedewaannya, yang 

agaknya ia peroleh berkat usahanya yang besar untuk kotanya (bagaimana 

pun, adalah tugas baik raja maupun dewa untuk melindungi kota dan mem￾buatnya masyhur) masih dibatasi oleh kematian. Seperti halnya Badar dalam 

mitologi Norwegia yang jauh lebih muda, Gilgamesh bermartabat ilahi, tetapi 

itu tidak begitu saja semakna dengan kebakaan.

Sesungguhnya, daya Gilgamesh yang luar biasa bahkan membuat 

kematian menjadi lebih kekar. Kalau pun ia tetap tinggal jahat, kekuasaannya 

pada akhirnya akan berakhir. Raja Sumer yang paling kuat pun mati. Musuh 

yang tak berkaki dan tak bertangan itulah yang membatasi kekuasaan yang 

menakutkan yang dapat memiliki akibat yang menguntungkan atau pun 

merugikan rakyatnya. Dalam cerita epik pertama dunia, raja Gilgamesh 

mengalahkan, melampaui daya tahan, atau meyakinkan semua musuhnya 

dengan retorika, kecuali musuhnya yang terakhir.

K  M, para pharaoh dari Dinasti Ketiga mulai membuat 

versi mereka sendiri tentang upaya epik untuk mengalahkan kematian.

Dalam suasana yang relatif damai, pharaohh Djoser dari Dinasti Ketiga 

awal melakukan ekspedisi sendiri ke tambang-tambang tembaga dan batu pirus 

di Sinai.*∗

 Birokrasi Mesir mulai mendapat bentuk yang tetap; Mesir dibagi 

ke dalam provinsi-provinsi, masing-masing diawasi oleh seorang gubernur 

yang melapor kepada wangsa kerajaan. Djoser melakukan perannya sendiri 

dalam membangun kekaisaran, dengan mendorong perbatasan Selatan Mesir 

sampai ke Katarak Pertama. Menurut sebuah tradisi dari masa kemudian yang 

dicatat pada sebuah inskripsi di Aswan, ia membaktikan sebagian dari daerah 

yang baru saja ia taklukkan kepada dewa setempat Khnum sebagai pernyataan 

syukur atas berakhirnya masa tujuh tahun paceklik.1

 “Tujuh” mungkin sekadar 

ungkapan tradisional untuk “terlalu lama”; dalam arti mana pun, itu sangat 

jauh untuk mendukung teori bahwa luapan air Nil yang berkurang telah 

menimbulkan kesulitan untuk klaim pharaoh terhadap kuasa ilahi.

Pada masa Djoser, peran pharaoh sebagai peredam perubahan telah 

terbentuk secara kokoh dalam ritual. Sebuah relief menampilkan Djoser 

tengah mengambil bagian dalam sebuah festival yubileum, festival heb-sed, di 

mana raja melakukan lari seremonial mengelilingi sebuah jalur lomba lari. Ia 

diharapkan memenangkan kontes fisik itu, yang mengisyaratkan bahwa dalam 

arti tertentu kekuatannya terkait dengan kebaikan negara. Memenangkan 

lomba heb-sed menegaskan kembali kekuasaan pharaoh untuk melindungi 

Mesir dan menjamin terjadinya pasang surut air secara tetap dan berkala.

Kenyataan bahwa orang Mesir merasakan perlunya suatu festival

pembaharuan mengisyaratkan suatu ketakutan tertentu bahwa kekuasaan 

pharaoh mungkin memudar jika tidak dikuatkan kembali secara ritual. 

Pharaoh tentu saja masih dipandang memiliki semacam martabat ilahi, tetapi 

perjuangan kedua dinasti pertama telah membuat sisi manusiawinya menjadi 

sangat kentara. Ketika suatu gagasan kehilangan sebagian dari daya aslinya yang 

memukau, gagasan itu mulai dikelilingi ritual dan struktur, sebuah penegasan 

pendukung yang tidak perlu sebelumnya. Dalam hal ini, kepemimpinan 

kharismatis digantikan oleh suatu perangkat aturan dan suksesi. Penampakan 

kekuasaan alami mulai dibekukan dalam festival; sisi moral pharaoh terhapus 

dari penglihatan oleh pelaksanaan suatu kehendak nasional.

Ketika akhirnya Djoser wafat, ia tidak dikuburkan di pemakaman 

tradisional di Abydos. Ia telah membangun makamnya sendiri jauh di Utara 

di Saqqara. Ia juga meninggalkan makam tradisional Dinasti Kedua yang 

terbuat dari bata lumpur. Makamnya harus dibuat dari batu dan harus tahan 

selamanya karena makam itu bukan tempat keberangkatan untuk perjalanan 

rohnya ke dunia berikutnya. Makam itu adalah suatu tempat di mana sang 

pharaoh masih hidup.

Di sekeliling makam Djoser ditatalah sebuah kota lengkap untuk rohnya. 

Sebuah jalur heb-sed dibangun di sebelah Selatan, sehingga raja dapat terus 

berlomba-lari yang membuatnya awet muda. Di sekeliling kompleks makam, 

dibuatlah bangunan-bangunan yang menampilkan dalam wujud batu bahan￾bahan untuk membangun rumah Mesir tradisional, yang dipahat agar 

menyerupai anyaman buluh; beberapa pilar dibentuk seperti berkas-berkas 

buluh; bahkan sebuah pagar kayu dengan pintu gerbang setengah terbuka 

dipahat dari batu. Buluh dan kayu itu tak akan lapuk, melainkan tinggal 

selamanya di bumi. Demikian juga roh sang pharaoh. Dalam sebuah bilik 

kecil yang disebut serdab, duduklah sebuah patung Djoser dalam ukuran 

sebenarnya, menghadap ke Timur, berbusana jubah putih dari batu kapur. 

Dinding serdab memiliki dua lubang mata yang dibor, sehingga patung 

pharaoh dapat memandang ke luar ke arah matahari terbit. Di bawah lubang 

mata terdapat sebuah mazbah di mana para imam mempersembahkan 

makanan; Djoser dapat berpesta secara rohani dari aromanya.

Jauh dari melakukan perjalanan ke dunia Osiris (dengan atau tanpa iringan 

pegawai istana yang dikurbankan), sang pharaoh masih sepenuhnya hadir: 

dengan menggunakan bangunan-bangunan, menyantap korban, memudakan 

kembali dirinya dan Mesir dengan jalur lomba heb-sed. Tidak perlu lagi 

mengurbankan pelayan-pelayan untuk kenyamanannya. Orang yang hidup 

tetap dapat melayaninya di kota arwahnya.

Pada pusat kota arwah yang dibangun di atas makam itu sendiri berdiri￾lah piramida pertama Mesir: Piramida Berundak. Enam tingkat balok batu 

tegak menjulang serupa undakan ke ketinggian sekitar tujuh puluh meter. Di 

bawahnya, terdapat lorong-lorong yang menuju ke makam keluarga raja, yang 

digali di tanah di bawah lapisan terbawah.

Tampaknya Imhotep, wazir Djoserlah yang merancang, mendesain, dan 

memimpin pembangunan struktur yang ganjil itu. Manetho menuturkan 

bahwa Imhotep adalah orang pertama dalam sejarah yang mendesain 

sebuah bangunan dari batu yang dipotong-potong. Kita tidak mengetahui 

secara tepat apa yang mengilhami Imhotep untuk menciptakan makam 

gaya baru itu, walaupun para ahli arkeologi mengisyaratkan bahwa bentuk 

Piramida Berundak hanyalah suatu perluasan dari sebuah bentuk Mesir 

purba. Kuburan-kuburan di Abydos beratapkan tutup atau bangunan dari 

tembok batu dan puncaknya berbentuk bujur sangkar, yang disebut mastaba. 

Piramida Berundak pada hakikatnya adalah sebuah mastaba raksasa dengan 

lima mastaba yang lebih kecil yang disusun di atasnya. Mungkin Imhotep 

mendesain sebuah makam mastaba raksasa sebagai pusat kompleks Djoser, 

dan kemudian mulai menyusun mastaba-mastaba lain di atasnya.

Tetapi tidak terdapat alasan yang wajib untuk membuat mastaba bersusun￾susun. Lebih besar kemungkinannya, Imhotep mengambil alih bentuk untuk 

Piramida Berundak dari orang Sumeria, yang menggunakan kuil bertangga 

yang disebut ziggurat untuk kebaktian mereka. Karena luasnya jangkauan 

jalur perdagangan di dunia kuno, orang Mesir tentu melihat kuil-kuil itu 

menjulang di langit Sumeria.

Fungsi ziggurat Sumeria sendiri tidak sepenuhnya jelas. Bangunan itu 

mungkin telah didesain karena suatu kebutuhan. Di tempat-tempat yang 

paling suci di Sumer, seperti di kota tua Eridu, kuil-kuil yang telah merosot 

bangunannya digempur dan disegel secara seremonial di dalam sebuah 

lapisan tanah dan lempung yang dipadatkan. Kemudian sebuah kuil baru 

dibangun di atasnya. Jika itu dilakukan berulang kali, terbentuklah serangkai 

landasan berundak-undak, masing-masing lapisannya dikelilingi sebuah 

tembok penyangga agar tanahnya tidak bergeser. Mungkin saja dalam kurun 

beberapa abad konstruksi berundak menjadi sebuah bentuk tersendiri yang 

akhirnya diterima: dikeramatkan karena usianya, dan bermanfaat karena 

puncak ziggurat tempat para imam melangsungkan ritual yang masih belum 

jelas itu dekat dengan langit.*∗

 Puncak ziggurat mungkin menjadi lapik kaki

bagi para dewa, tempat di bumi di mana mereka dapat meletakkan kaki 

mereka.*†

Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan agar dilaku￾kan oleh roh Djoser dengan Piramida Berundak itu, tetapi inovasi Imhotep 

mendatangkan sejumlah kehormatan baginya. Sebuah patung Imhotep yang 

berasal dari masa pemerintahan Djoser mendaftar gelar-gelarnya pada lapik￾nya; ia adalah Bendahara Raja Mesir Hilir, Orang Pertama sesudah Raja Mesir 

Hulu, Penyelenggara Istana dan Imam Agung Heliopolis, pelayan dewa ma￾tahari.2

 Setelah kematiannya, ia juga dihormati sebagai imam terbesar dan 

orang paling bijak di Mesir. Tak lama sesudah itu ia didewakan sebagai dewa 

kedokteran, sebuah bidang usaha lain yang diciptakan manusia untuk me￾nangkis kematian.3

Piramida Berundak, yang pertama di antara piramida-piramida besar 

Mesir, menunjukkan lebih banyak hal daripada sekadar usaha untuk 

mendefiniskan ulang kematian sebagai tidak hadirnya tubuh dan hadirnya 

roh. Itu menunjukkan awal sebuah kerajaan Mesir baru, sebuah kerajaan yang 

damai dan bersatu dengan birokrasi yang tertata. Djoser hanya memerintah 

selama sembilan belas tahun, yang secara relatif merupakan rentang waktu 

yang pendek untuk sebuah proyek bangunan batu yang sedemikian besar. 

Dalam sembilan belas tahun itu batu harus ditambang dengan perkakas dari 

tembaga dan diangkut dari jarak yang cukup jauh; menurut Herodotus, batu 

untuk piramida ditambang dari barisan pegunungan di sebelah Timur Mesir 

dan di sebelah Barat Laut Merah.4

 Piramida sendiri perlu dibangun oleh 

suatu angkatan kerja laki-laki kekar yang terorganisasi yang dapat dibebaskan 

dari pekerjaan bertani dan berperang. Pembangunan piramida memerlukan 

kemakmuran, perdamaian, dan dana pajak; gelar “wazir” atau “kanselir” yang 

disandang Imhotep mengisyaratkan bahwa pengawasan pemungutan pajak 

merupakan bagian dari tugasnya. Untuk pertama kalinya Mesir memiliki 

Penghasilan Dalam Negeri yang resmi.

Hanya sebuah negara yang kuat dan berkecukupan yang dapat mempe￾kerjakan orang di tambang batu dan mampu memberikan makanan serta 

pakaian untuk mereka. Mesir telah mencapai suatu tingkat kemakmuran dan 

keteraturan tertentu. Oleh sebab itu, mulainya abad piramida juga menandai 

awal suatu era baru dalam sejarah Mesir: “Kerajaan Tua Mesir”.

Terdapat sembilan usaha pembangunan piramida yang tetap lestari dalam 

masa dua dinasti Kerajaan Tua pertama, di antaranya ada yang lebih berhasil 

daripada lainnya, tetapi semua menampakkan kepiawaian manusia dan 

sumber daya yang sama. Setelah Djoser, pharaoh berikutnya, Sekhemkher, 

melakukan usaha besar yang sama. Tidak banyak yang kita ketahui mengenai 

Sekhemkher selain bahwa ia tampaknya mengidap perasaan tidak aman; 

dalam suatu pameran klasik “milikku lebih besar”, piramid Sekhemkhet 

dirancang untuk naik setinggi tujuh undakan, bukan enam undakan seperti 

piramida Djoser. Tetapi piramida Sekhemkhet tidak selesai. Ia wafat pada 

tahun keenam masa pemerintahannya dan konstruksi Piramida Tak Selesai 

terhenti pada lapisan pertama.

Raja keempat Dinasti Ketiga, Khaba, juga membangun sebuah piramida. 

Piramida Berlapis Khaba dibangun bukan di Saqqara melainkan beberapa 

kilometer lebih ke Utara, mungkin sudah memasuki daerah Kerajaan 

Hilir, walaupun ketegangan antara kerajaan Utara dan Selatan pada waktu 

itu tampaknya telah reda. Piramida itu (mungkin sekali) dirancang untuk 

memiliki tujuh undakan, sehingga mencapai ketinggian yang lebih besar 

daripada piramida Djoser. Cita-cita yang hendak diraih Khaba melampaui 

daya jangkaunya; piramida ini pun tidak selesai. Piramid terakhir dari Dinasti 

Ketiga, Piramida Meydum, juga tidak selesai; piramida ini dibangun oleh raja 

terakhir Dinasti Ketiga, Huni, dan menurut rencana piramida ini memiliki 

delapan undakan. 

Berbeda dengan kedua piramida sebelumnya, piramida ini diselesai￾kan oleh raja pertama dinasti berikutnya. Dari sudut pandang kita, Dinasti 

Keempat dapat dibedakan dengan Dinasti Ketiga terutama raja-raja Dinasti 

Keempat akhirnya menyelesaikan dengan baik urusan piramida.

Snefru mulai karyanya dengan suatu gebrakan. Pertama, ia menyelesaikan 

Piramida Meydum dan memasukkan beberapa inovasi. Salah satu contoh￾nya, kamar pemakaman pada Piramida Meydum terletak di dalam piramida 

sendiri, bukan di dalam tanah di bawah atau di dekat piramida, seperti yang 

terdapat pada Piramida Berundak, Piramida Lapisan, dan Piramida Tak Selesai 

yang mendahuluinya. Pada Piramida Meydum ia juga membuat sebuah jalur 

pengantar—sebuah jalan lebar yang membentang ke bawah dari piramida ke 

“kuil jenazah”, sebuah bangunan suci di sebelah Timur, menghadap matahari 

terbit, di mana persembahan dapat dilakukan. Kedua inovasi ini tak lama 

kemudian menjadi baku.

Hal yang paling menarik ialah usaha yang tampaknya dilakukan oleh 

Snefru untuk melapisi Piramida Meydum dengan semacam pembungkus. 

Keempat piramida pertama semuanya merupakan piramida berundak, yang 

sisi-sisinya serupa dengan sisi ziggurat yang bertangga-tangga. Tetapi tumpuk￾

an puing di sekeliling Piramida Meydum menunjukkan bahwa para pekerja 

berusaha menutup tangga-tangga dengan sebuah lapisan halus batu-batu yang 

menutup sisi luarnya.5

Andai kata itu berhasil, Piramida Meydum akan menjadi piramida per￾tama bersisi halus yang lazim seperti yang kita kenal. Namun, arsitek Snefru 

(yang kemudian tidak didewakan) tidak memiliki keterampilan yang dimiliki 

Imhotep. Piramida itu runtuh. Bagian inti yang tersisa dari Piramida Meydum 

masih mencuat seperti sebuah kue perkawinan yang separuhnya habis dima￾kan, dikelilingi oleh onggokan batu-batu runtuhan.

Tak seorang pun dimakamkan di piramida yang gagal itu. Demikian 

pula, kuil kecil tak berjendela pada ujung jalur pengantar itu benar-benar 

mengesankan sebagai prestasi yang spektakuler. Beberapa abad sesudahnya 

seorang Mesir yang berjalan melewati kotak kecil yang tak menarik itu 

menulisi “Kuil Indah Raja Snefru”, contoh pertama corat-coret sarkastis 

dalam sejarah.

Snefru tidak menyerah. Tidak banyak yang kita ketahui tentang raja 

pertama Dinasti Keempat ini, selain catatan-catatan tentang ekspedisi yang 

sudah baku ke tambang-tambang di Sinai dan ke pelabuhan-pelabuhan da￾gang di Lebanon. (Terdapat juga sebuah cerita acak pada Papyrus Westcar 

tentang suatu hari ketika Snefru, karena bosan, memerintahkan dua puluh 

gadis yang paling cantik dari haremnya untuk mengantar dia dengan menda￾yung mengelilingi danau istana dengan hanya berpakaian jala ikan.) Tetapi ia 

setidak-tidaknya gigih. Ia bangkit dari eksperimen Meydum yang gagal itu 

dan mulai membuat sebuah piramida baru, kali ini di suatu tempat lain: 

Dahshur, agak jauh di sebelah Selatan Saqqara. 

Sejak awalnya piramida ini berbeda. Piramida ini dirancang sebagai pi￾ramida yang sisinya melandai dengan pelapis halus dari batu kapur yang 

membuatnya berkilat di sinar matahari.

Banyak spekulasi diarahkan ke seputar piramida, tetapi salah satu mis￾teri yang lebih mengasyikkan namun belum terpecahkan adalah mengapa 

Snefru, yang tidak mendapat penghormatan sebagai penemu suatu bentuk 

arsitektur baru, menggagas inovasi untuk membuat piramida bersisi rata dan 

bukan berundak. Apakah ini memiliki makna religius tertentu? Apakah ini 

melambangkan sebuah cara berpikir baru tentang piramida—sebagai titik 

pengenal pada pemandangan sekitar, dan bukan sebagai pusat sebuah kom￾pleks untuk roh-roh?

Kita tidak tahu. Tetapi piramida Snefru yang bersisi rata kemudian dike￾nal sebagai Piramida Bongkok karena alasan yang tidak mengenakkan bahwa 

Snefru masih belum mampu menghitung sudut-sudutnya. Piramida itu 

dirancang untuk memiliki sisi-sisi yang rata dan sangat terjal—tetapi semen￾tara pembangunan berlangsung, Snefru dan pimpinan proyeknya tampaknya 

menyadari bahwa perhitungan mereka meleset. Andai kata piramida tetap 

dibangun dengan sudut yang sedemikian lancip, berat batu di atas landasan 

yang secara relatif sempit itu akan menyebabkannya runtuh. Maka mereka 

membuat perubahan cepat dalam sudutnya, dan akibatnya piramida menjadi 

seperti berbahu bongkok; salah satu sisinya membenjol ke kanan.

Piramida ini selesai, tetapi tidak pernah digunakan. Snefru masih belum 

berhasil membangun sebuah tempat peristirahatan abadi yang memuaskan 

hatinya. Menjelang akhir masa pemerintahannya, ia memulai penggarapan 

piramidanya yang ketiga.

Piramida Utara, yang terletak hampir sejauh dua kilometer di sebelah 

Utara Piramida Bongkok, lebih lebar, lebih besar, dan lebih pendek dibanding 

piramida-piramida lain sebelumnya. Sudut Piramida Bongkok berubah ke￾lancipan sudutnya dari 52 derajat ke sudut landai 43 derajat; Piramida Utara 

sejak awalnya dirancang dengan sisi-sisi yang melandai pada sudut 43 derajat. 

Desain Snefru ini sedemikian baik rancangannya sehingga sekarang pun, lebih

dinding atau atap kamar-kamar yang terletak di bawahnya beban batu yang 

beratnya dua juta ton.

Piramida Utara (yang juga dijuluki “Piramida Merah”, karena lapisan luar 

batu kapur mulai mengelupas dan menjadikan batu pasir merah di bawahnya 

berkilat di sinar matahari) barangkali merupakan tempat pemakaman akhir 

Snefru. Para ahli arkeologi menemukan sebuah jenazah di dalamnya dan 

mengirimkannya ke British Museum untuk diidentifikasikan; jenazah itu 

hilang dalam perjalanan dan tak pernah ditemukan kembali.

Di mana pun terdamparnya tubuh Snefru, implikasi dari proyek 

bangunan rangkap tiga itu mengisyaratkan bahwa kepercayaan orang Mesir 

tentang masih hadirnya pharaoh yang wafat telah mengental ke dalam ritual. 

Snefru bertekad membuat sebuah tempat peristirahatan terakhir untuk 

dirinya sendiri yang tidak hanya menjadi tempat yang baik bagi rohnya 

untuk berjalan-jalan setelah kematiannya, tetapi yang juga berbeda dengan 

tempat-tempat berjalan pharaoh-pharaoh yang telah mendahuluinya. Dalam 

arti tertentu, kini kematian sudah dijinakkan. Para pharaoh telah merasuk 

kepercayaan yang cukup menenteramkan bahwa mereka masih akan tinggal 

di tengah rakyatnya. Kini, mereka dapat mengarahkan perhatian pada upaya 

melampaui pharaoh yang telah mendahului.

Bahwasanya Snefru dapat menyelesaikan sebuah piramida dan membangun 

dua lainnya mengisyaratkan bahwa Mesir kini bahkan sudah lebih kaya, lebih 

damai, dan lebih terkendalikan oleh kekuasaan pharaoh daripada sebelumnya. 

Anak lelaki Snefru, Khufu, mewarisi kekuasaannya dan menggunakannya se￾tandas-tandasnya.*∗

 Ia melanjutkan ekspedisi militer yang kurang lebih telah 

menjadi hal yang biasa untuk seorang raja Mesir; ia mengirim ekspedisi ke 

Sinai; berdagang untuk mendapat batu pirus; dan merancang piramidanya 

sendiri.

Menurut Herodotus, Khufu memerintah selama lima puluh tahun. 

Para ahli ilmu Mesir kuno memperkirakan masa pemerintahannya adalah 

setengahnya, tetapi dua puluh lima tahun pun sudah cukup panjang baginya 

untuk memulai proyek bangunan terbesar dalam sejarah. Piramidanya, 

Piramida Besar, dirancang dengan sebuah kompleks lengkap, didasarkan 

pada desain Snefru yang telah disempurnakan: piramida sendiri, sebuah 

jalur pengantar ke bawah menuju sebuah kuil lembah, sebuah kuil untuk 

persembahan di sebelah Timur, dan tiga piramida yang lebih kecil, mungkin 

untuk para permaisuri Khufu.

Piramida yang dibangun di tempat lain, di dataran Giza, itu puncaknya se￾tinggi 160 meter. Sudut kemiringannya 51º52´, lebih tajam daripada Piramida Utara karya Snefru yang berhasil itu tetapi tidak setajam Piramida Bongkok 

yang gagal; pimpinan proyek Khufu telah memetik manfaat dari contoh para 

pendahulunya. Sisi luar Piramida Besar sungguh-sungguh seragam; walaupun 

masing-masing sisi panjangnya sekitar 230 meter, dan seragam dengan sisi 

lainnya dengan batas selisih sebesar 20 sentimeter. Terowongan Utara yang 

mengantar ke Kamar Raja dirancang untuk menunjuk ke Bintang Kutub.

Walaupun tidak banyak yang kita ketahui secara pasti tentang kehidupan 

Khufu, berbagai cerita tentang pemerintahannya sampai juga kepada kita. 

Salah satunya menuturkan bahwa untuk menyediakan air untuk ratusan ribu 

pekerja yang menggarap Piramida Besar, Khufu membangun bendungan per￾tama dunia: Sadd al-Kafara, tiga puluh dua kilometer di sebelah Selatan Kairo. 

Dengan demikian, danau yang terjadi karena bendungan itu, yang bagian ter￾dalamnya mencapai hampir tiga puluh meter, merupakan bak penampungan 

air umum pertama dunia. Sebuah cerita lain mencatat bahwa pembangun 

Piramida Besar itu melecehkan dewa-dewa dan selama bertahun-tahun bersi￾kap mencemoohkan sampai akhirnya ia menyesal dan menulis satu seri Buku 

Suci.6

 Herodotus menulis bahwa 

untuk membangun Piramida Besar 

Khufu “telah menjerumuskan Mesir 

ke dalam suatu kondisi yang me￾nyedihkan … dan memerintahkan 

semua orang Mesir bekerja untuk￾nya.” 7

 Ia menambahkan dengan 

lugas. “Ia orang yang sangat jahat.” 

Herodotus, yang mencatat semua 

pharaoh dengan urutan yang keliru, 

sangat tidak dapat diandalkan dalam 

perkara ini, dan Buku-Buku Suci itu 

tidak pernah ditemukan; mungkin 

buku-buku itu tidak pernah ada. 

Tetapi tradisi sifat jahat Khufu, 

yang digemakan oleh lebih dari 

satu sumber, merupakan perkara 

yang menarik. Untuk membangun 

monumennya—sebuah struktur batu 

yang terdiri dari sekitar dua setengah 

juta balok batu, sedang setiap balok 

itu beratnya sekitar dua setengah ton—Khufu mengerahkan salah satu dari 

regu pekerja yang paling besar di dunia. Bahkan jika para pekerja tidak 

diperlakukan sebagai budak yang hina, kemampuan raja untuk menghimpun

suatu jumlah pekerja yang sedemikian besar dengan jelas menggambarkan 

kemampuannya untuk menindas rakyatnya. Piramida itu sendiri merupakan 

tanda kesaksian atas kekuasaan itu.

Cerita-cerita tentang kekejaman Khufu mengisyaratkan bahwa kese￾diaannya untuk menerapkan kuasa untuk keuntungannya sendiri dengan 

mengorbankan rakyatnya tidak berhasil dengan cukup baik. Ambisinya juga 

mendorongnya kepada ketidaksalehan; ia sedemikian sibuk membangun 

sehingga ia menutup kuil-kuil dan menyuruh rakyatnya untuk berhenti mela￾kukan persembahan. Salah satu cerita yang cukup kecut yang dituturkan oleh 

Herodotus menyebutkan bahwa Khufu, ketika mulai kekurangan dana dan 

perlu menghimpun sedikit lebih banyak uang lagi, menempatkan anak pe￾rempuannya di sebuah kamar disertai perintah untuk menghibur siapa pun 

lelaki yang mungkin ingin menengoknya dan menyerahkan dana yang dite￾rima kepadanya; anak perempuan itu berbuat begitu, tetapi ia mengatakan 

kepada setiap lelaki pada saat lelaki itu meninggalkan dia, untuk menum￾puk satu batu di lokasi pekerjaan baginya. Hasilnya adalah Piramida Ratu di 

tengah, yang terletak dekat Piramida Besar dan yang kiranya menampilkan 

semacam rekor dunia dalam hal pelacuran.8

Pada zaman Khufu, tujuan asli dari nekropolis (kota arwah) pertama yang 

dibangun oleh Imhotep telah terkaburkan. Piramida Besar dan monumen-mo￾numen yang menyusulnya merupakan contoh tertua yang masih ada dari apa 

yang kita sebut “arsitektur monumental”— bangunan yang jauh lebih terolah 

dalam hal ukuran atau desainnya daripada yang diperlukan demi kepraktisan. 

Dengan kata-kata ahli arkeologi Bruce Trigger, “Kemampuan untuk mengerah￾kan energi, khususnya dalam bentuk kerja berat orang lain untuk hal tidak 

berkegunaan adalah simbol kekuasaan yang paling dasar dan paling universal 

yang diketahui”.9

 Semakin kurang perlu dan kurang bermanfaat piramida itu, 

semakin nyatalah ia sebagai saksi akan kekuasaan pembangunnya. Rumah roh 

telah menjadi tanda wasiat kekuasaan yang bergemerlapan.

Hampir semua hal yang kita ketahui tentang Khufu terpusat di sekitar 

piramidanya. Hal-hal lain yang ia capai, apa pun wujudnya, telah hilang dari 

sejarah.

P B telah menjadi fokus dari teori yang lebih banyak jumlahnya 

daripada struktur lain (mungkin selain Stonehenge) dalam sejarah. Teori-teori 

tentang piramida berkisar dari yang rasional-namun-sulit-dibuktikan sampai 

yang benar-benar tidak masuk akal. Di antaranya: tata letak Piramida-Piramida 

di dataran Giza menampilkan di bumi konstelasi Orion (mungkin saja, tetapi 

ada terlalu banyak bintang yang kurang untuk menjadikan teori ini meyakin￾kan); Piramida Besar terletak pada pusat geografis bumi (ini hanya berlaku

jika Anda menggunakan proyeksi Mercator, yang agak mustahil bahwa sudah 

lazim digunakan oleh orang Mesir kuno); orang Mesir menggunakan sebuah 

koil energi yang disebut “Koil Caduceus” yang menyadap “kisi-kisi energi 

planeter” dan memungkinkan mereka untuk mengangkat balok-balok batu 

itu ke tempatnya. Yang cukup menggoda, tetapi anakronistis, “panel kontrol 

untuk kisi-kisi itu adalah Tabut Perjanjian.” 10 Telah dikemukakan juga bahwa 

Piramida Besar dibangun oleh penghuni Atlantis, yang berlayar dari benua 

mitis mereka dengan perahu-perahu mitis untuk membangun piramida￾piramida, tanpa sebab yang jelas, dan kemudian meninggalkannya. Teori￾teori lain menegaskan bahwa berbagai perhitungan matematis menunjukkan 

bahwa Piramida Besar adalah suatu “model berskala dari belahan bumi”, dan 

bahwa siapa pun yang telah membangunnya “mengetahui secara tepat jarak 

lingkar planet kita serta durasi tahun sampai ke beberapa angka desimal.” 11

Leluhur teori piramida yang aneh-aneh adalah Erich von Däniken, seorang 

pengusaha hotel berkebangsaan Swiss yang menjadi penulis pada awal tahun 

1960-an dan menerbit-kan sebuah buku yang berjudul Kereta-Kereta Dewa￾Dewa. Däniken menandaskan bahwa piramida-piramida tidak mungkin 

dibangun oleh orang Mesir karena mereka tidak memiliki kemampuan tek￾nologis yang diperlukan; dan, lebih lanjut, bahwa piramida-piramida muncul 

sekonyong-konyong tanpa ada apa pun yang serupa dengannya sebelumnya, 

hal mana berarti bahwa piramida-piramida itu mungkin sekali dibangun oleh 

makhluk alien.

Memang benar bahwa orang Mesir tidak berkecenderungan pada pemikir￾an matematis. Namun, mengamati garis-garis lurus sebuah dasar piramida 

bukan suatu pekerjaan yang terlalu rumit; yang dibutuhkan adalah kalku￾lasi yang memadai, tetapi bukan pemahaman konsep-konsep matematis yang 

lebih tinggi. Tugas memindahkan balok batu memang suatu tugas yang besar, 

tetapi itu pun adalah suatu kesulitan mekanis semata-mata. Herodotus meng￾atakan bahwa balok-balok itu ditarik melalui jalur tanah yang condong, suatu 

tugas yang jauh dari mustahil; berbagai percobaan menunjukkan seratus 

orang laki-laki mampu mengangkat sebuah balok batu seberat dua setengah 

ton dengan sebuah tali papyrus,12 khususnya jika bola-bola mineral dolomit 

keras disisipkan ke bawah batu sebagai penggelinding.

Adapun para penghuni Atlantis dan makhluk alien, perkembangan dari 

piramida-piramida yang gagal sebelum Khufu menunjukkan dengan cukup 

jelas bahwa pembangunan piramida tidak melompat muncul dalam bentuk 

begitu terkembang dari kepala suatu ras alien. Piramida-piramida itu ber￾kembang, dengan tahap-tahap yang mudah dilacak, secara langsung dari kota 

roh asli karya Djoser sampai ke tempat peristirahatan maharaksasa Khufu. 

Piramida-piramida itu hadir sebagai tanda wasiat, bukan dari kedatangan makhluk alien, tetapi dari keengganan orang Mesir untuk melepaskan kekua￾saan di hadapan kematian. Gilgamesh pergi ke pegunungan dan tidak kembali 

lagi. Tetapi bagi orang Mesir, yang selalu dapat melihat rumah roh raja mereka 

membayang di kejauhan, kekuasaan pharaoh selalu tetap hadir.




Sulit membayangkan orang Sumeria, dengan rasa kebebasannya yang 

sangat peka itu, memberikan kepada seorang penguasa kekuasaan sebesar 

yang diberikan kepada para pharaoh di Mesir. Para warga Sumeria tentu 

akan memberontak seandainya mereka diminta berpeluh-peluh selama dua 

puluh tahun dengan menggarap sebuah monumen untuk kebesaran penguasa 

mereka. Sedang raja Sumeria pun tidak menikmati keleluasaan untuk bisa 

memaksakan ketaatan semacam itu. Koalisi empat kota pada masa Gilgamesh 

adalah bentuk terdekat dengan sebuah kerajaan bersatu yang dialami Sumeria, 

dan koalisi itu pun berlangsung hanya lebih panjang sedikit dari usia hidup 

Gilgamesh. Anak lelakinya Ur-Lugal mewarisi kerajaannya dan berhasil men￾jaga keutuhannya, tetapi kota-kota itu telah menjadi lemah karena pertikaian 

yang terus menerus. Dan sementara Mesir tidak menghadapi suatu ancaman 

langsung dari luar perbatasannya, hal yang sama tidak terjadi di Sumeria. Di 

sebelah Timur, orang Elam menunggu kesempatan.

Orang Elam sudah lama mendiami kota-kota kecil mereka sendiri di 

sebelah Timur Teluk, sama masanya dengan masa ketika orang Sumeria 

menduduki dataran Mesopotamia. Asal usul pertama mereka, seperti halnya 

asal usul bangsa yang sangat kuno, tidak diketahui, tetapi kota-kota mereka 

berkembang tidak hanya di sebelah Selatan Laut Kaspia tetapi juga sepan￾jang plato gurun garam besar yang terbentang di sebelah Timur Pegunungan 

Zagros.

Sejak sekitar 2700 orang Elam juga mempunyai raja. Kota kembar Susa 

dan Awan menjadi pusat peradaban mereka. Awan (yang lokasi tepatnya tidak 

diketahui) merupakan kota yang lebih penting di antara keduanya. Sejauh 

seorang raja memiliki yurisdiksi atas penghimpunan pajak dari seluruh Elam, 

demikianlah raja Awan, tidak berbeda dengan sejawat Sumerianya di kota 

Kish.Inskripsi-inskripsi dari dua abad sesudah masa Gilgamesh memberi kita 

suatu gambaran tentang adanya sejumlah persaingan yang sedang berkembang. 

Orang Elam dan kota-kota di dataran Sumeria—Uruk dan Kish, tetapi juga 

kota Ur, Lagash, dan Umma, yang kini bertambah kekuatannya—bertarung 

dalam suatu rentetan peperangan untuk mendapatkan posisi pertama. Daftar raja Sumeria kekurangan beberapa nama dan karena cenderung 

mendaftar raja-raja dari berbagai kota yang memerintah pada waktu yang ber￾samaan seakan-akan mereka susul-menyusul, tidaklah mudah membangun 

sebuah kronologi yang tepat. Kita mengetahui bahwa suatu ketika setelah 

anak lelaki Gilgamesh mewarisi kerajaan dari ayahnya, kota Uruk ditaklukkan 

oleh Ur, dan bahwa Ur kemudian ”ditaklukkan dalam peperangan dan kera￾jaan dipindahkan ke Aswan”. Itu tampaknya mengisyaratkan adanya invasi 

Elam dengan kekuataan besar; dan sesungguhnya raja-raja dari dinasti Kish 

berikutnya memiliki nama Elam.

Sama sekali tidak semua kota Sumer jatuh ke kekuasaan orang Elam. Suatu 

ketika setelah invasi orang Elam, raja dari sebuah kota Sumeria lain, Adab 

—yang kedudukannya hampir tepat ditengah dataran Mesopotamia—me￾ngerahkan orang-orangnya kepadanya dan menantang kekuasaan Elam.

Raja itu, Lugulannemundu, memerintah sekitar 2500 SM. Untuk 

mengusir orang Elam, ia menyerang sebuah koalisi besar tiga belas kota yang 

dikuasai orang Elam. Menurut inskripsi kemenangannya sendiri, ia menang; 

ia menyebut dirinya raja ”keempat penjuru” (dengan kata lain, seluruh dunia) 

dan menyatakan bahwa ia ”memaksa semua daerah untuk membayar upeti 

tetap kepadanya [dan] mendatangkan damai kepada bangsa-bangsa itu ... [ia] 

memulihkan Sumer”.1

Jika ia benar-benar melakukan penaklukan itu, ia mempersatukan sebuah 

kekaisaran sementara yang lebih luas daripada kekaisaran Gilgamesh. Tetapi 

karya-karya besar Lugulannemundu yang mungkin telah menyelamatkan 

Sumer dari orang Elam dan melestarikan eksistensinya sebagai suatu ke￾budayaan mandiri sedikit lebih lama, tidak memicu imajinasi orang-orang 

sezamannya. Tidak ada puisi epik yang menggemakan penaklukan itu. 

Kerajaannya pun tidak berlangsung lebih lama daripada kerajaan Gilgamesh. 

Peristiwa penting berikutnya di dataran Sumeria adalah suatu pertikaian 

perbatasan antara kota Lagash dan Umma; suatu pertikaian biasa yang men￾jemukan atas sebentang tanah yang tidak istimewa yang pada akhirnya akan 

menyebabkan kebudayaan Sumeria berakhir.

I- yang mencatat awal pertikaian itu baru ditulis dua atau 

tiga generasi setelah masa pemerintahan Lugulannemundu, tetapi kerajaan￾nya telah lebur. Raja-raja Sumeria memerintah dengan kekuatan senjata dan 

kharisma. Kerajaan mereka tidak memiliki birokrasi yang tertata untuk me￾nunjang mereka. Ketika mahkota beralih dari pejuang yang dinamis kepada 

anak lelakinya yang kurang memiliki talenta, maka kerajaan-kerajaan itu mau 

tidak mau runtuh.

Kerajaan Lugulannemundu runtuh sedemikian cepatnya sehingga kota 

kedudukannya Adab bahkan tidak lagi merupakan sebuah kekuasaan di atas 

panggung Sumeria. Ketika Lagash bertingkai dengan Umma, seorang raja 

lain—raja Kish, yang dahulu pernah naik namanya—melangkah masuk. 

Kedua kota yang terpisah oleh jarak sembilan puluh kilometer itu telah sa￾ling melanggar wilayah satu sama lain. Raja Kish, Mesilim menengahi dan 

memberitahukan bahwa Sataran, dewa jaksa Sumeria, telah menunjukkan 

kepadanya batas-batas yang sebenarnya yang harus ditaati oleh kedua kota 

itu. Ia mendirikan sebuah stele (tonggak berinskripsi) untuk menandai garis 

itu: ”Mesilim, raja Kish”, bunyi sebuah inskripsi yang memperingati kejadian 

itu, ”menetapkan ukurannya sesuai dengan sabda Sataran”.2

 Kedua kota tam￾paknya menyetujui keputusan itu; klaim bahwa s