Rabu, 03 Mei 2023

idiot 2

arah ke perilaku alamiah, di mana 
anak didorong untuk terlibat dalam latihan atau kegiatan bermain 
terstruktur dengan target spesifik. Dari penelitian ini, didapatkan 
hasil bahwa Developmental Skills lebih efektif pada anak dengan 
Sindrom Down, sedangkan NDT lebih efektif pada anak dengan 
palsi serebral. Efek dari intervensi tidak sepenuhnya berdasar pada 
jenis intervensinya, namun dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti 
pelatihan intervensionis, frekuensi latihan, tingkat komprehensif 
program, dan keterlibatan orang tua. Rata-rata perkembangan 
motorik tidak berubah selama intervensi, baik bagi penerima terapi 
NDT maupun Developmental Skills. Perbedaan dampak motorik yang 
bermakna yaitu  kontribusi dari jumlah sesi.
Intervensi olahraga dan aktivitas fisik telah banyak diteliti 
memberi manfaat terhadap ketahanan otot dan kardiovaskular, 
meningkatkan kekuatan, dan menurunkan persentasi lemak tubuh 
pada individu dengan Sindrom Down. Sebuah systematic review
oleh Hardee dan Fetters (2017) terhadap 525 peserta dari 19 studi 
pada usia kurang dari 18 tahun, memberikan hasil bahwa intervensi 
olahraga dapat mendukung aktivitas sehari-hari.
ada  peningkatan bukti yang menyatakan bahwa anak 
Sindrom Down menunjukkan perbedaan dalam pemrosesan
informasi pada awal perkembangannya. Misalnya bayi secara 
signifikan menunjukkan hubungan sosial yang lebih sedikit 
(menunjuk, menatap mata, dan memberi perhatian) yang 
mengarahkan ke perhatian dan aksi, memanipulasi mainan lebih 
jarang, lebih cenderung memegang mainan saja, dan menunjukkan 
perilaku yang lebih pasif dalam menanggapi perhatian ibu. Kesulitan 
dalam keterlibatan, pemrosesan informasi, dan manipulasi mainan 
secara fisik dapat mengganggu kemampuan anak untuk secara 
aktif menggali dan memahami lingkungan. Kompetensi motorik 
perseptual (seperti menatap mata dan memberi perhatian pada suatu 
objek, orang dan lingkungan) dapat diajarkan dengan permainan 
untuk memaksimalkan kualitas hubungan interaksi antara orang 
tua dan bayi Sindrom Down. Intervensi didesain untuk menargetkan 
domain spesifik seperti motorik dan bahasa dalam konteks yang 
lebih luas dan terintegrasi.
Tidak seperti kelompok anak dengan keterlambatan bicara 
dan bahasa yang lain, anak Sindrom Down dapat diidentifikasi 
sejak lahir sehingga intervensi dapat dimulai sejak awal. Melatih 
orang tua menjadi terapis utama bagi anak tentu sangat penting 
adanya, sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa interaksi 
orang tua dengan anak melibatkan perkembangan kognitif dan 
komunikasi. Hubungan orang tua dan anak mulai terganggu 
oleh Sindrom Down sejak usia lima bulan. Salah satu aspek yang 
penting yaitu  responsivitas. Sebagai contoh, Mahoney menemukan 
bahwa anak dengan Sindrom Down memiliki skor lebih tinggi di 
domain mental Bayley Scales of Infant Development (BSID) jika ibunya 
memakai  gaya interaksi responsif ketika bermain dengan 
anaknya dibandingkan anak dengan ibu yang memakai  lebih 
banyak gaya mengajar direktif. Penelitian Martin pada tahun 2009 
menyarankan untuk memberi kosakata yang lebih sederhana dalam 
komposisi maupun variabilitas untuk anak Sindrom Down.
Intervensi bahasa bagi individu dengan Sindrom Down 
ditujukan untuk memperbaiki fungsi komunikasi, akademik, sosial, 
dan vokasional. Prioritas target intervensi perlu mempertimbangkan 
prioritas keluarga, tingkat keparahan, dan kepentingan fungsi
akademik dan sosial. Pengetahuan tentang fenotip kognitif dan 
tingkah laku Sindrom Down, termasuk profil neurokognitif dan 
perkembangan yang dapat mengarahkan pada intervensi yang 
diberikan. Misalnya, strategi intervensi yang menekankan pada 
memori visual, seperti gambar yang menarik secara visual pada 
artikel  cerita dapat meningkatkan pembelajaran pada anak Sindrom 
Down. Intervensi dini lebih efektif dibandingkan intervensi 
yang lebih lambat untuk anak dengan Sindrom Down, bahkan ketika 
intervensi itu tertunda dalam waktu 2 bulan. Pelatihan keterampilan 
prelinguistik dan edukasi orang tua dapat menjadi intervensi yang 
efektif untuk anak dengan Sindrom Down yang memproduksi 
sedikit bahkan tidak sama sekali kata.
8.3 INTERACTIVE FOCUSED STIMULATION
‘Intensive focused stimulation’ yang dikenal juga sebagai
‘responsivity education/teaching’ atau ‘naturalistic teaching’ memiliki 
tujuan untuk melatih pengasuh mengenali dan merespons 
komunikasi dan sosialisasi nonverbal pada anak untuk mendorong 
penggunaan komunikasi konvensional (verbal). Salah satu contoh 
programnya yaitu  ‘It takes two to talk’ yang mengedukasi orang 
tua tentang pentingnya perilaku berorientasi pada anak untuk 
mendorong kemunculan atensi, interaksi resiprokal, dan membantu 
anak untuk mengaplikasikan bahasa dalam interaksi sehari-hari. 
‘Enhanced Millieu Teaching’ (EMT) yaitu  versi lain dari intervensi 
jenis ini yang mengombinasikan beberapa elemen dari pendidikan 
responsif dengan strategi perilaku dan pengajaran melalui pemberian 
model dan pengaturan lingkungan yang mendukung. 
Beberapa program (seperti pengajaran prelinguistik) 
mengombinasikan elemen-elemen dari intervensi orang tua dengan 
intervensi langsung dari klinisi. Intervensi dengan mediasi orang 
tua sering kali dilakukan di sesi kelas berkelompok di mana mereka 
belajar tentang strategi komunikasi dan secara rutin merekam 
interaksi dengan anak mereka untuk mendapatkan umpan balik 
dan target latihan dari klinisi. Sebagai alternatif, intervensi dapat

diberikan berbasis individual, di mana klinisi dan orang tua bekerja 
bersama untuk menentukan target pencapaian orang tua-anak. 
Orang tua dilatih oleh klinisi melalui diskusi, permainan peran, 
dan umpan balik dari video rekaman. 
Intervensi berbasis orang tua muncul dari observasi alamiah 
dari interaksi dua arah antara anak dengan Sindrom Down dengan 
orang dewasa. Peningkatan komunikasi nonverbal maupun verbal 
dari anak dapat mengubah respons orang dewasa (respons kontingen) 
yang dapat mendukung perkembangan komunikasi pada anak. 
Komunikasi di antara keduanya dapat berubah dari waktu ke waktu 
dan berdampak secara timbal balik. Intervensi ini mengajak orang 
dewasa menjadi lebih peka terhadap komunikasi dan interaksi anak 
dan mengubah responsnya dengan tujuan mendorong anak untuk 
meningkatkan komunikasi verbal, nonverbal, maupun keduanya 
(misalnya menunjuk dan gerakan tubuh).
Ada banyak aspek yang dapat memengaruhi efektivitas 
intervensi, di antaranya bagaimana dan oleh siapa intervensi ini 
diberikan, implementasi strategi oleh orang tua, dan kemampuan 
anak, hubungan pengasuh dengan klinisi. Sebuah studi menyatakan 
bahwa gaya interaksi ibu dan tingkat pendidikan sebelum terapi 
memberikan dampak pada intervensi serupa. Bagi anak, penelitian 
sebelumnya menyatakan bahwa kemampuan kognitif dan bahasa 
dasar dapat memengaruhi respons anak terhadap intervensi jenis 
ini.
8.4 PROGRAM LITERASI DINI UNTUK ANAK DENGAN SINDROM 
DOWN
Telah disadari sekarang bahwa anak Sindrom Down dapat 
dan seharusnya diajar untuk membaca dan menulis. Literasi yaitu  
kombinasi dari kemampuan kognitif dan bahasa, namun membaca 
dan menulis yaitu  keterampilan berbasis bahasa. Beberapa studi 
tentang intervensi yang menargetkan literasi dini dengan siswa 
Sindrom Down. Studi heterogen ini mempertimbangkan usia 
kronologis dan kemampuan peserta, walaupun kebanyakan studi

ditujukan untuk siswa yang lebih tua dibandingkan usia prasekolah. 
Penelitan menyatakan bahwa dengan instruksi yang jelas dan 
sistematis, siswa dengan Sindrom Down dapat mengembangkan 
keterampilan literasi dini termasuk pengetahuan nama dan bunyi 
huruf (letter names dan letter sounds), membaca kata yang sering 
dipakai  dan kata sederhana, mengidentifikasi huruf awal maupun 
bunyi akhir kata, dan menggabungkan bunyi untuk membentuk 
kata-kata. Respons terhadap intervensi sangat bervariasi dan tidak 
semua anak mengalami peningkatan dari setiap pengukuran.
Sebuah penelitian tentang program literasi dini dilakukan oleh 
Collozo dkk (2016) di Canada pada anak dengan usia 3-6 tahun. 
Program membaca dini berjalan selama 45 minggu. Terdiri atas 
sesi individu bersama guru bersertifikat dengan latihan tambahan 
reguler. Untuk memulai, anak memilih sebuah artikel  dari koleksi 
pribadinya untuk dibacakan oleh guru. Kemudian, guru akan 
memilihkan sebuah artikel  untuk dibaca bersama dengan siswa. 
artikel -artikel  ini menargetkan kata-kata spesifik yang bermakna 
bagi setiap anak dan kata-kata awal dari daftar Fry. Kata-kata dalam 
setiap halamannya berkisar antara dua hingga lima kata, tergantung 
tingkatan masing-masing siswa sesuai dengan berjalannya program. 
Kebanyakan cerita diambil dari situs Reading A-Z (https://www.
readinga-z.com), yang menyediakan cerita bergambar dengan teks 
yang mengandung kata-kata dengan frekuensi tinggi. Setiap artikel  
cerita diidentifikasi dengan tingkatan membaca sesuai dengan 
Common Core State Standards tahun 2010. artikel  yang dikhususkan 
untuk siswa bertujuan untuk menyesuaikan ketertarikan anak 
(seperti makanan, kegiatan) dan kata-kata yang bermakna (seperti 
nama anggota keluarga). Setelah kegiatan membaca dua artikel  
ini, anak diajak untuk berlatih membaca kata-kata yang sering 
dipakai  dan bermain, berlatih nama dan bunyi huruf, dan tugas 
Phonologycal Awareness (PA). Kegiatan PA berfokus pada deteksi 
suku kata, segmen bunyi fonem, dan kecocokan irama. Setiap sesi 
termasuk sesi membaca bersama dan diskusi sekitar 5-10 menit 
dengan orang tua setiap minggunya. Setiap minggunya, guru 
mengajarkan hingga empat kata, disesuaikan dengan kemajuan  
setiap siswa. Tujuannya yaitu  untuk mencapai keseimbangan 
antara latihan dan menjaga siswa tetap termotivasi. Beberapa siswa 
memerlukan flash card dengan teks bergambar di awal program. Sight 
words juga diintegrasikan dalam aktivitas bermain dalam bentuk 
gerak dan lagu. Pada akhir program, seluruh siswa telah terekspos 
dengan 20 Fry words pertama.
8.5 TERAPI ORAL MOTOR 
Pada tahun 1970, Castilo Morales mengembangkan sebuah 
program untuk mengurangi disfungsi oral fasial yang terdiri atas 
orofacial therapy, body therapy, dan stimulating palate therapy. Orofacial 
dan body therapy terdiri atas beberapa tipe latihan sentuhan, tekanan, 
elongasi, dan vibrasi untuk memperbaiki postur mulut dan badan. 
Tujuan dari terapi regulasi oral fasial yaitu  memundurkan lidah 
ke arah dorsokranial yang dikombinasikan dengan latihan otot dan 
stimulasi bibir atas yang tidak aktif. Plat palatal bermanfaat untuk 
melatih fungsi motorik mulut dan memperbaiki artikulasi.
Anak dengan Sindrom Down memiliki disfungsi sensoris 
integrasi sebagai dampak dari terbatasnya pengalaman sensoris 
karena kurangnya kontrol motorik. Permasalahan fisik, kognitif, dan 
sensoris integrasi menurunkan kemampuan fungsional anak untuk 
beraktivitas sehari-hari. Pendekatan neurodevelopmental, terapi 
sensoris integrasi dan stimulasi vestibular telah dipakai  untuk 
memperbaiki fungsi ini  pada anak dengan Sindrom Down.
 Intervensi berbasis sensoris yaitu  pendekatan yang sering 
dilakukan untuk mengatasi masalah perilaku pada anak, terdiri atas 
intervensi berbasis taktil, proprioseptif, dan vestibular. Stimulasi 
taktil meliputi sensasi sentuhan terhadap objek dan lingkungan 
yang berbeda. Sensasi sentuhan yang berbeda seperti dingin, hangat, 
nyeri, halus, dan keras. Stimulasi proprioseptif menyediakan sensasi 
ketika otot dan persendian diaktivasi oleh gerakan dan kontrasi otot.
Stimulasi vestibular yaitu  ketika seorang individu bergerak dalam 
suatu kecepatan dan arah tertentu. Stimulasi vestibular berhubungan 
dengan keseimbangan tubuh ketika bagian dalam telinga dari 
seseorang distimulasi dari beberapa bentuk gerakan kepala. 
Intervensi berbasis taktil seperti terapi pijat menjadi intervensi yang 
paling menjanjikan dalam mengurangi masalah perilaku.
8.7 PIJAT BAYI
Pengayaan lingkungan (Environmental Enrichment) bermanfaat 
sebagai strategi dini noninvasif untuk efek positif plastisitas otak 
pada bayi dengan gangguan perkembangan. Paradigma pengayaan 
lingkungan didefinisikan sebagai kombinasi dari stimulasi kompleks 
dan stimulasi sosial serta sebagai dampak peningkatan stimulasi 
sensoris motoris. Pengayaan lingkungan pada tikus dengan stimulasi 
sensoris motoris serupa dengan teknik pijat bayi pada manusia. Pijat 
bayi tidak hanya model stimulasi taktil yang terstandar, namun juga 
memiliki  efek proprioseptif dan dimediasi oleh beberapa sensor 
lain, disediakan oleh tangan pengasuh, meliputi belaian pelan 
di setiap bagian tubuh, yang sekarang banyak dipakai  dalam 
perawatan neonatus. Bukti bahwa efek pijat bayi dalam peningkatan 
berat badan, penurunan hormon stres seperti kortisol, pada hormon 
pertumbuhan dan pada IGF-1 ada pada bayi baru lahir dan bayi usia 
kurang dari satu tahun 
Hipotesis bahwa pengayaan lingkungan dengan pijat bayi 
memberikan efek positif bagi perkembangan bayi dengan Sindrom 
Down, mendukung dan mempercepat maturasi fungsi visual yang 
memiliki peran penting untuk perkembangan kompetensi kognitif 
dan komunikasi sosial, terutama dalam tahun pertama. Pijat bayi 
yaitu  suatu proses kompleks yang dilandasi ide yang mengatur 
dan memfasilitasi kedekatan antara ibu dan bayi serta hubungan 
ibu dan bayi melalui kontak kulit ke kulit, stimulasi kinestetik, dan 
komunikasi ibu-bayi nonverbal (kontak mata, senyum sosial, meniru 
ekspresi, pengenalan dan interpretasi petunjuk komunikasi bayi, 
serta bahasa tubuh). 
Dalam sebuah penelitian oleh Giulia dkk (2014)di Italia tentang 
pijat bayi dan efeknya terhadap anak Sindrom Down, orang tua 
dilatih untuk melakukan pijatan oleh pemijat bayi bersertifikat 
internasional. Pijatan dilakukan sekali dalam sehari saat bayi terjaga 
atau tenang, setidaknya hingga usia 6 bulan. Setiap sesi terdiri atas 15 
menit stimulasi taktil, diikuti 5 menit stimulasi kinestetik. Stimulasi 
dilakukan di kepala, leher, bahu, pantat, kedua kaki, dan tangan. 
Untuk fase kinestetik, bayi diletakkan dalam posisi supine dan orang 
tua membantu menggerakkan fleksi ekstensi secara pasif anggota 
geraknya.
 TERAPI SENSORIS INTEGRASI 
Pada tahun 1972, Ayres memperkenalkan konstruksi sensoris 
integrasi (SI). SI yaitu  proses neurologis yang mengatur sensasi 
tubuhnya sendiri dari lingkungan dan menggerakkan tubuh 
secara efektif di tengah lingkungan. SI terjadi di korteks otak 
dan membutuhkan keseimbangan antara sistem saraf sentral dan 
perifer, seperti halnya sistem neurologis eksitatori dan inhibitori. SI
dipandang sebagai kebutuhan untuk menjaga peta tubuh seseorang. 
Terapi SI banyak dipakai  pada anak dengan Sindrom Down.
Sebuah penelitian oleh Uyanik (2003) di Turki membandingkan 
3 kelompok anak dengan Sindrom Down yang mendapat terapi 
sensoris integrasi, sensoris integrasi dengan stimulasi vestibular, 
dan kelompok dengan terapi neurodevelopmental. Dari hasil pre dan 
post test pada kelompok pertama didapat perbaikan signifikan hanya 
pada sensoris integrasi dan kemampuan motorik halus (p<0,05). Pada 
kelompok kedua (terapi sensoris integrasi dan stimulasi vestibular) 
didapatkan perbaikan signifikan pada kemampuan sensoris 
integrasi, sistem vestibular, motorik halus tangan, perkembangan 
refleks, dan insekuritas gravitasi (p<0,05). Pada kelompok ketiga 
(terapi neurodevelopmental) ada  perbedaan signifikan di seluruh 
kemampuan (p<0,05). Stimulasi vestibular rotasional efektif untuk 
meningkatkan integrasi refleks, keseimbangan, fungsi intelektual, 
keterampilan persepsional motorik, pendengaran bahasa, dan
perkembangan sosio-emosional. Terapi neurodevelopmental
memberikan perbaikan pada keseimbangan, koordinasi visual 
motorik, praksis, motorik halus, dan lokomotor setelah 3 bulan 
terapi.
 TERAPI OKUPASI
Terapi okupasi merupakan suatu terapi yang diberikan untuk 
melatih kemandirian, kognitif (pemahaman), kemampuan sensorik 
dan motorik anak dengan Sindrom Down. Terapi ini diberikan 
karena pada dasarnya anak Sindrom Down sangat bergantung 
dengan orang lain dan acuh sehingga mereka beraktifitas tanpa 
berkomunikasi serta tidak mempedulikan orang lain. Terapi okupasi 
ini sangat membantu anak dalam mengembangkan kekuatan dan 
koordinasi otot. Terapi okupasi yaitu  intervensi kompleks berupa 
pendampingan untuk mencapai kesehatan dan kehidupan yang 
baik dengan memperbaiki kemampuan individu untuk melakukan 
aktivitas sehari-hari. Aspek ini  di antaranya sensoris motorik, 
perseptual, sistem kognitif, psikologis, sosial, simbolis, dan kultural 
dari perilaku.


Anak merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang 
tuanya. Keberadaannya diharapkan dan ditunggu-tunggu 
serta disambut dengan penuh bahagia. Semua orang tua 
mengharapkan memiliki anak yang sehat, membanggakan, 
dan sempurna, akan tetapi, terkadang kenyataan yang 
terjadi tidak sesuai dengan keinginan. Sebagian orang tua 
mendapatkan anak yang diinginkannya dan sebagian lagi 
tidak. Beberapa diantaranya memiliki anak dengan 
kebutuhan-kebutuhan khusus, seperti mengalami autisme.
Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami 
peningkatan. Awal tahun1990-an, kasus autisme masih 
berkisar pada perbandingan 1 : 2.000 kelahiran.(Synopsis 
of Psychiatry). Di Amerika Serikat pada th 2000 angka ini 
meningkat menjadi 1 dari 150 anak punya kecenderungan 
menderita autisme (Sutism Research Institute). Di Inggris, 
datanya lebih mengkhawatirkan. Data terakhir dari CDC 
(Center for Disease Control and Prevention) Amerika 
Serikat pada tahun 2002 juga menunjukkan prevalensi 
autisme yang semakin membesar, sedikitnya 60 penderita 
dalam 10.000 kelahiran. berdasar  data International 
Congress on Autismem tahun 2006 tercatat 1 dari 150 
anak punya kecenderungan autisme. Pada tahun yang 
sama data dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian 
Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention) 
Amerika Serikat menyebut, prevalensi penyandang autisme
di beberapa negara bagian yaitu  1 dari 88 anak usia 8 
tahun. Penelitian di Korea Selatan tahun 2005-2009 menemukan, 
autisme pada 26,4 dari 1.000 anak usia 7-12 tahun.
Meningkatnya jumlah kasus autisme ini kemungkinan 
karena semakin berkembangnya metode diagnosis,
sehingga semakin banyak ditemukan anak penderita 
Autism Spectrum Disorder (ASD). 
Sampai saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah 
penyandang autisme di negara kita . Dari catatan praktek 
dokter diketahui, dokter menangani 3-5 pasien autisme per 
tahun tahun 1980. Data yang akurat dari autisme ini sukar
didapatkan, hal ini dipicu  karena orang tua anak yang 
dicurigai mengindap autisme seringkali tidak menyadari 
gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka tidak 
terdeteksi dan begitu juga keluarga yang curiga anaknya 
ada kelainan mencari pengobatan ke bagian THT karena 
menduga anaknya mengalami gangguan pendengaran atau 
ke poli tumbuh kembang anak karena mengira anaknya 
mengalami masalah dengan perkembangan fisik. 
Menurut Sutadi (2003), sebelum tahun 1990-an prevalensi 
ASD pada anak berkisar 2-5 penderita dari 10.000 anak￾anak usia dibawah 12 tahun, dan setelah itu jumlahnya 
meningkat menjadi empat kali lipat. Sementara itu, 
menurut Kelana dan Elmy (2007) menyatakan bahwa 
prevalensi ASD di negara kita  berkisar 400.000 anak, laki￾laki lebih banyak daripada perempuan dengan 
perbandingan 4 : 1 (Handojo 2003).
Sebagai akibatnya jumlah anak dengan kebutuhan khusus 
yang memasuki usia sekolah terus meningkat. 
Mereka berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan 
Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 yang menekankan
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan 
pendidikan tanpa terkecuali. Namun masalahnya banyak
anak autisme yang baru terdeteksi setelah memasuki usia 
sekolah. Oleh karena itu seyogianya guru. mulai dari 
kelompok bermain (playgroup), Taman Kanak-kanak dan 
Sekolah Dasar memiliki  kemampuan untuk mengenali 
secara dini bila ada anak didiknya yang menunjukkan 
gejala-gejala autism dan kemudian  bisa membantu anak 
autis ini  di sekolah atau memberikan informasi dan 
advis kepada orang tua anak autis ini . 
Autisme biasanya terdeteksi sebelum usia 3 tahun. Namun, 
ada juga gejala sejak usia bayi dengan keterlambatan 
interaksi sosial dan bahasa (progresi) atau pernah mencapai 
normal tapi sebelum usia 3 tahun perkembangannya 
berhenti dan mundur, serta muncul ciri-ciri autisme.
Masalahnya, sekolah insklusi untuk gangguan prilaku 
seperti halnya autisme masih sulit ditemukan. Masih 
banyak guru dan orang tua yang belum mengenali gejala 
autisme pada anak. Hal lain yang memperberat penanganan 
autisme ini yaitu  pandangan negatif masyarakat terhadap 
penyandang autisme masih kuat, terutama di luar Jakarta. 
Anak autisme sering dianggap sebagai anak dengan 
gangguan jiwa. Bahkan, banyak orangtua yang malu dan 
menyembunyikan anaknya. Ketidaksiapan orangtua 
menerima kondisi anak apa adanya itu terjadi pada semua 
kelompok masyarakat, termasuk mereka yang 
berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Hal ini akan 
memperberat penanganan penyandang autisme mencapai 
kemandiriannya.

mendidik anak autisme ini serta merupakan tempat 
sumber ilmu dan ketrampilan bagi guru-guru di sekolah 
regular/umum dan para orang tua anak didiknya. Program 
pendidikan benar-benar mengakomodasi anak dengan 
kebutuhan khusus yang tidak bisa mengikuti kehidupan 
normalnya. Disamping itu, pendidikan juga memiliki 
evaluasi dalam waktu tertentu untuk melihat kemajuan 
anak. Dengan demikian pedoman penanganan dan 
pendidikan autisme di YPAC mutlak dibutuhkan.
artikel  ini disusun dengan maksud menjadi pedoman 
bagi YPAC yang menyelengarakan penanganan dan 
pendidikan autisme.
2. Tujuan 
Tujuan umum 
Dengan tersedianya artikel  pedoman penanganan dan 
pendidikan autisme di- YPAC di harapkan mutu 
penanganan dan pendidikan meningkat.
Tujuan khusus 
 Membantu para terapis dan pendidik dalam 
melaksanakan penanganan dan pendidikan yang 
tepat buat anak autisme di YPAC.
 Menjadikan YPAC sebagai tempat rujukan pe￾nanganan dan pendidikan autisme di wilayahnya.
 Menjadikan YPAC sebagai rujukan ilmu penge￾tahuan penanganan dan pendidikan autisme di￾wilayahnya.
 Sebagai pedoman keluarga dalam mengenali /
deteksi dini autisme serta terapi dan pendidikan 
sederhana keluarganya
Sebagai pedoman keluarga dalam mendapatkan 
pendidikan bagi keluarganya yang menyandang 
autisme.

1. Sasaran langsung dari artikel  ini yaitu  untuk para 
terapis dan para pendidik yang menangani autisme di￾YPAC.
2. Sasaran tidak langsung yaitu  para orang tua yang 
memiliki  anak Autis dan para pemerhati Autisme.
D. LANDASAN HUKUM 
Landasan hukum yang terkait dengan pendidikan hak azasi 
dan penyandang cacat yaitu  :
1. UU Negara RI Tahun 1945 Pasal 31
2. UU RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
3. UU RI No. Tahun tentang Sistim Pendidikan Nasional
4. UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
5. UU RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
6. UU RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 
7. UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8. UU RI No. 11Tahun 2009 tentang Kesejahteraan 
Sosial
9. UU RI No. 19 Tahun 2011 tentang Hak-hak 
Penyandang Cacat

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan pada 
tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari 
John Hopkins University yang menangani sekelompok 
anak-anak yang mengalami kelainan sosial yang berat, 
hambatan komunikasi dan masalah perilaku. Anak￾anak ini menunjukkan sifat menarik diri (withdrawal), 
membisu, dengan aktivitas repetitif (berulang-ulang) 
dan stereotipik (klise) serta senantiasa memalingkan 
pandangannya dari orang lain. 
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos=diri dan 
isme= paham/aliran. 
Autisme berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti 
”sendiri” anak autisme seolah-olah hidup didunianya 
sendiri, mereka menghindari/tidak merespon terhadap 
kontak sosial dan lebih senang menyendiri.
Secara etimologi (ilmu asal kata) : anak autis yaitu  
anak yang memiliki gangguan perkembangan dalam 
dunianya sendiri. Seperti kita ketahui banyak istilah
yang muncul mengenai gangguan perkembangan.
Autism = autisme yaitu nama gangguan perkembangan
komunikasi, sosial, perilaku pada anak (LeoKanner & 
Asperger, 1943).
Autist = autisme : Anak yangmengalami ganguan 
autisme.

Autistic child=anak autistik : Keadaan anak yang
mengalami gangguan autisme. Autistic disorder = 
gangguan autistic = anak-anak yang mengalami 
gangguan perkembangan.
.2. Pengertian
World Health Organization’s International 
Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan 
autisme khususnya childhood autism sebagai adanya 
keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang 
muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe 
karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu 
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang 
diulang-ulang (World Health Organozation, h. 253, 
1992). 
Anak autis termasuk salah satu jenis Anak 
Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mengalami 
gangguan neurobiologis dengan adanya hambatan 
fungsi syaraf otak yang berhubungan dengan fungsi 
komunikasi, motorik sosial dan perhatian. Hambatan 
yang dialami anak autis merupakan kombinasi dari 
beberapa gangguan perkembangan syaraf otak dan 
perilaku siswa yang muncul pada tiga tahun pertama 
usia anak.
Sutadi (2002) menjelaskan bahwa yang dimaksud 
autistik yaitu  gangguan perkembangan neurobiologis 
berat yang mempengaruhi cara seseorang untuk 
berkomunikasi dan berelasi (berhubungan dengan 
orang lain). 
Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan 
orang lain secara berarti, serta kemampuannya untuk 
membangun hubungan dengan orang lain terganggu

karena ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dan 
mengerti perasaan orang lain penyandang autis 
memiliki gangguan pada interaksi sosial, komunikasi 
(baik verbal maupun non-verbal), imajinasi, pola 
perilaku repetitive dan resistensi terhadap perubahan 
pada rutinitas.
Ika Widyawati (2001) menjelaskan bahwa autisme 
merupakan gangguan perkembangan pervasif 
/Pervasive Developmental Disorder(PDD) atau disebut 
Autism Specrtum Disorder (ASD) yang ditandai 
dengan adanya abnormalitas dan / atau hendaya 
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan 
memiliki  fungsi yang abnormal dalam 3 bidang, 
yaitu interaksi : sosial, komunikasi, dan perilaku yang 
terbatas (restriktif) dan berulang (repetitif).
Menurut kriteria diagnostik dalam DSM IV (Elliott 
GR. Autistic Disorder and Other Pervasive 
Developmental Disorders. In: Rudolph CD, Rudolph 
AM. Rudolph’s Pediatrics, 21st ed. McGraw-Hill: New 
York, 2003. p498-500) karakteristik penderita yaitu  :
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari butir (1), (2), dan 
(3), dengan minimal 2 gejala dari butir (1) dan masing￾masing 1 gejala dari butir (2) dan (3) dibawah ini.
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang 
timbal balik.Tak mampu menjalin interaksi sosial 
yang cukup memadai : kontak mata sangat 
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik 
yang kurang tertuju.
a. Tak bisa bermain dengan teman sebaya.
b. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan 
orang lain.
c. Kurangnya hubungan sosial dan emosional 
yang timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak 
berkembang (dan tidak ada usaha untuk 
mengimbangi komunikasi dengan cara lain 
tanpa bicara)
b. Bila bisa bicara, bicara tidak dipakai untuk 
komunikasi
c. Sering memakai  bahasa aneh yang 
diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang 
imajinatif, dan kurang bisa meniru
(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang 
dari perilaku, minat, dan kegiatan.
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, 
dengan cara yang sangat khas dan berlebih￾lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik 
atau rutinitas yang tak ada gunanya.
c. Ada gerakan aneh yang khas dan diulang￾ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian 
benda.
Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan 
kemudian dilakukan penanganan yang tepat dan 
intensif, kita dapat membantu anak autis untuk
perkembang secara optimal.
Pada lampiran ada 4 alat yang dapat melakukan deteksi 
dini autisme pada anak. 
B. pemicu 
Secara pasti pemicu  autisme tidak diketahui namun 
autisme dapat terjadi dari kombinasi berbagai faktor, 
termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan

Ada berbagai teori yang menjelaskan faktor-faktor yang 
mempengaruhi terjadinya autisme yaitu :
a. Teori Biologis
a.1. Faktor Genetik, 
Keluarga yang ada  anak autis memiliki 
resiko lebih tinggi dibandingkan populasi 
keluarga normal. Abnormalitas genetik dapat 
memicu  abnormalitas pertumbuhan sel – sel 
saraf dan sel otak.
a.2. Prenatal, natal dan post natal
Pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan,
tangis bayi yang terlambat, gangguan pernapasan 
dan anemia merupakan salah faktor yang dapat 
mempengaruhi terjadinya autisme. Kegagalan 
pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan 
dalam pertumbuhan otak tidak mencukupi karena 
nutrisi tidak dapat diserap oleh tubuh, hal ini 
dapat terjadi karena adanya jamur dalam 
lambungnya, atau nutrisi tidak terpenuhi karena 
faktor ekonomi.
a.3. Neuro Anatomi
Gangguan/fungsi pada sel-sel otak selama dalam 
kandungan yang mungkin dipicu  terjadinya 
gangguan oksigenasi perdarahan atau infeksi
dapat memicu terjadinya autisme.
a.4. Struktur dan Biokimiawi Otak dan Darah
Kelainan pada cerebellum dengan sel-sel purkinje 
memiliki  kandungan 
serotinin yang tinggi. Demikian juga 
kemungkinan tingginya kandungan dopamin atau 
upioid dalam darah.

b. Teori Psikososial.
Beberapa ahli (Kanner & Bruno Bettelhem) autisme
dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin/tidak 
akrab antara orang tua ibu dan anak. Demikian juga 
orang yang mengasuh dengan emosional kaku, obsesif 
tidak hangat bahkan dingin dapat memicu  anak 
asuhnya menjadi autistik.
c. Faktor Keracunan Logam Berat 
Keracunan logam berat dapat terjadi pada anak yang 
tinggal dekat tambang batu bara, emas dsb. Keracunan 
logam berat pada makanan yang dikonsumsi ibu yang 
sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam 
berat yang tinggi. 
Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak 
penderita autism terkandung timah hitam dan merkuri 
dalam kadar yang relatif tinggi.
d. Faktor Gangguan Pencernaan, Pendengaran, dan 
Penglihatan.
 Menurut data yang ada 60% anak autistik memiliki  
sistem pencernaan kurang sempurna. Kemungkinan 
timbulnya autistik karena adanya gangguan dalam 
pendengaran dan penlihatan.
e. Autoimun tubuh 
Auto imun pada anak dapat merugikan perkembangan 
tubuhnya sendiri karena zat – zat yang bermanfaat 
justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun yaitu  
kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa 
penyakit. Sedangkan autoimun yaitu  kekebalan yang 
dikembangkan oleh tubuh sendiri yang justru kebal 
terhadap zat – zat penting dalam tubuh dan 
menghancurkannya.

Klasifikasi Autisme dapat dibagi berdasar  berbagai 
pengelompokan kondisi
1. Klasifikasi berdasar  saat munculnya kelainan 
a. Autisme infantil; istilah ini dipakai  untuk 
menyebut anak autis yang kelainannya sudah 
nampak sejak lahir
b. Autisme fiksasi; yaitu  anak autis yang pada waktu 
lahir kondisinya normal, tanda-tanda autisnya 
muncul kemudian setelah berumur dua atau tiga 
tahun
2. Klasifikasi berdasar  intelektual
a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan 
berat (IQ dibawah 50).
Prevalensi 60% dari anak autistik 
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 
50-70)
Prevalensi 20% dari anak autis
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan 
mental (Intelegensi diatas 70) 
Prevalensi 20% dari anak autis
3. Klasifikasi berdasar  interaksi sosial: 
a. Kelompok yang menyendiri; banyak terlihat pada 
anak yang menarik diri, acuh tak acuh dan 
kesal bila diadakan pendekatan sosial serta 
menunjukkan perilaku dan perhatian yang tidak 
hangat 
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan 
sosial dan bermain dengan anak lain jika pola 
permainannya disesuaikan dengan dirinya
c. Kelompok yang aktif tapi aneh : secara spontan 
akan mendekati anak yang lain, namun interaksinya 
tidak sesuai dan sering hanya sepihak. 
4. Klasifikasi berdasar  prediksi kemandirian: 
a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari 
penyandang autis)
b. Prognosis sedang, ada  kemajuan dibidang 
sosial dan pendidikan walaupun problem perilaku 
tetap ada (1/4 dari penyandang autis) 
c. Prognosis baik; memiliki  kehidupan sosial 
yang normal atau hampir normal dan berfungsi 
dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja.
(1/10 dari penyandang autis)
D. JENIS GANGGUAN
Ada beberapa jenis gangguan perkembangan pervasif 
sbb : 
1. Gangguan autistik
Gejala ini sering diartikan orang saat mendengar kata 
autis. Penyandangnya
memiliki masalah interaksi sosial, berkomunikasi, dan 
permainan imaginasi 
pada anak di bawah usia tiga tahun.
2. Sindrom Asperger
Anak yang menderita sindrom Asperger biasanya umur 
lebih dari 3 th memiliki problem bahasa. Penderita 
sindrom ini cenderung memiliki intelegensi rata-rata 
atau lebih tinggi. Namun seperti halnya gangguan 
autistik, mereka kesulitan berinteraksi dan 
berkomunikasi.

3. Gangguan perkembangan menurun (PDD 
NOS/Pervasive developmental disorder not otherwise 
specified) . Gejala ini disebut juga non tipikal autisme. 
Penderita memiliki gejala-gejala autisme, namun 
berbeda dengan jenis autisme lainnya. IQ penderita ini 
rendah.
4. Sindrom Rett
Sindrom ini terjadi hanya pada anak perempuan. 
Mulanya anak tumbuh normal. Pada usia satu hingga 
empat tahun, terjadi perubahan pola komunikasi,
dengan pengulangan gerakan tangan dan pergantian 
gerakan tangan.
5. Gangguan Disintegrasi Anak
Pada gejala autisme ini, anak tumbuh normal hingga 
tahun kedua. kemudian  anak akan kehilangan 
sebagian atau semua kemampuan komunikasi dan 
keterampilan sosialnya.
Untuk lebih jelasnya tabel1. Dibawah ini menggambarkan 
perbedaan secara klinis dari lima jenis gangguan 
perkembangan pervasif ini  diatas
1. Karakteristik dalam interaksi sosial 
a. Menyendiri (aloof): terlihat pada anak yang 
menarik diri, acuh tak acuh, dan kesal bila diadakan 
pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan 
perhatian yang terbatas (tidak hangat). 
b. Pasif : dapat menerima pendekatan sosial dan 
bermain dengan anak lain jika pola permaiannya 
disesuaikan dengan dirinya. 
c. Aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati 
anak lain, namun interaksi ini seringkali tidak 
sesuai dan sering hanya sepihak.
2. Karakteristik dalam komunikasi antara lain yaitu  : 
a. Bergumam 
b. Sering mengalami kesukaran dalam memahami arti 
kata-kata dan kesukaran dalam mengggunakan 
bahasa dalam konteks yang sesuai dan benar 
c. Sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka 
dengar atau yang pernah mereka dengar sebe￾lumnya tanpa bermaksud untuk berkomunikasi 
d. Bila bertanya sering memakai  kata ganti 
orang dengan terbalik, seperti "saya" menjadi 
"kamu" dan menyebut diri sendiri sebagai "kamu"; 
e. Sering berbicara pada diri sendiri dan mengulang 
potongan kata atau lagu dari iklan tv dan 
mengucapkannya di muka orang lain dalam 
suasana yang tidak sesuai.
f. Penggunaan kata-kata yang aneh atau dalam arti 
kiasan, seperti seorang anak berkata "sembilan" 
setiap kali ia melihat kereta api.
g. Mengalami kesukaran dalam berkomunikasi 
walaupun mereka dapat berbicara dengan baik, 
karena tidak tahu kapan giliran mereka berbicara,

memilih topik pembicaraan, atau melihat kepada 
lawan bicaranya.
h. Bicaranya monoton, kaku, dan menjemukan.
i. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau 
emosinya melalui nada suara
j. Tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh 
untuk menyampaikan keinginannya, tetapi dengan 
mengambil tangan orangtuanya untuk mengambil 
obyek yang dimaksud
k. Mengalami gangguan dalam komunikasi non￾verbal; mereka sering tidak memakai  gerakan 
tubuh dalam berkomunikasi untuk 
mengekspresikan perasaannya atau untuk meraba￾rasakan perasaan orang lain, misalnya 
menggelengkan kepala, melambaikan tangan, 
mengangkat alis, dan sebagainya. 
3. Karakteristik dalam perilaku dan pola bermain
a. Abnormalitas dalam bermain, seperti stereotip, 
diulang-ulang dan tidak kreatif
b. Tidak memakai  mainannya dengan sesuai
c. Menolak adanya perubahan lingkungan dan 
rutinitas baru
d. Minatnya terbatas, sering aneh, dan diulang-ulang
e. Hiperaktif pada anak prasekolah atau sebaliknya 
hipoaktif
f. Gangguan pemusatan perhatian, impulsifitas, 
koordinasi motorik terganggu, kesulitan dalam 
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
4. Karakteristik kognitif 
a. Hampir 75-80% anak autis mengalami retardasi 
mental dengan derajat rata-rata sedang.
b. Sebanyak 50% dari idiot savants (retardasi mental 
yang menunjukan kemampuan luar biasa) yaitu  
seorang penyandang autisme.

Dalam melakukan penanganan terhadap para penyandang 
autis baik oleh terapis, guru maupun keluarga harus 
memperhatikan prinsip secara umum sebagai berikut :
a) Semua hak azasi manusia khususnya anak juga berlaku 
pada kelompok anak autis seperti berhak mendapat 
pendidikan, bermain, kasih sayang dll.
b) Anak autis tidak persis sama satu sama lainnya, masing 
masing memiliki  keunikan dan tingkat gangguannya 
sendiri-sendiri, oleh karena itu perlu diperhatikan 
kebutuhannya serta kekhususan masing-masing.
c) Gangguan spektrum Autisme yaitu  suatu gangguan 
proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun 
yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. 
Terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak 
membutuhkan jenis terapi yang berbeda.
d) Tujuan utama penanganan anak autis yaitu  
mendorong kemandirian, disamping peningkatan 
akademiknya jika memungkinkan. 
e) Orang tua dan guru-guru sekolah harus bekerja sama, 
bersikap terbuka, selalu komunikasi untuk membuat 
perencanaan penanganan dengan tehnik terbaik untuk 
anak-anak mereka.
f) Pengajaran terstruktur sangat penting

Dalam melakukan penanganan terlebih dahulu orang tua
dan guru harus mampu melakukan deteksi Autisme secara 
sederhana apakah anak mengalami autis atau tidak. Pada 
bab II sudah dijelaskan gejala atau prilaku anak yang 
mengalami autisme. Untuk melakukan deteksi terlampir 5 
macam alat yang dipakai  untuk menjaring apakah anak 
dicurigai mengalami autisme atau tidak. Tool yang tersedia 
dapat dipakai  saling mendukung. (terlampir)
B. METODA-METODA PENANGANAN 
MODEL/ JENIS SEKOLAH YANG TERSEDIA
Intervensi sejak dini terhadap anak berkebutuhan khusus 
mutlak diperlukan. Intervensi ini  diberikan dalam 
bentuk terapi dan pendidikan yang efektif. 
Ada bermacam-macam jenis pendidikan bagi anak autis 
karena anak autis memiliki  kemampuan serta hambatan 
yang berbeda-beda saat belajar. Untuk hal ini  mari 
kita bahas jenis sekolah yang tersedia :
a. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autis yang telah 
diterapi dan memerlukan layanan khusus termasuk 
anak autis yang terapi secara terpadu atau struktur. 
Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah 
reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat 
bersosialisai dengan anak lain. Kelas transisi 
merupakan kelas persiapan dengan acuan kurikulum 
yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan 
anak.
b. Program Pendidikan Terpadu
Program pendidikan terpadu dilaksanakan di sekolah 
reguler dalam kasus/waktu tertentu, anak autis dilayani 
di kelas khusus untuk remidial atau layanan lain yang 
diperlukan. Keberadaan anak autis di kelas khusus bisa

sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung 
kemampuan anak.
c. Program Pendidikan Inklusi
Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang 
sudah siap memberikan layanan bagi anak autis. Untuk 
membuka program ini sekolah harus memenuhi 
persyaratan antara lain:
 guru terkait telah siap menerima anak autis.
 tersedia ruang khusus untuk penanganan individual
 tersedia guru pemebimbing khusus dan guru 
pendamping
 dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2(dua) 
anak autis
 dan lain-lain yang dianggap perlu.
d. Sekolah Khusus Anak Autistik
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autis 
terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti 
pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini 
sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya 
distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah 
difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, 
bakat , minat yang sesuai dengan potensi mereka.
e. Program Sekolah Di Rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autis yang tidak 
mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena 
keterbatasannya. Anak autis non verbal, mental 
retardasi dan gangguan motorik serta auditori yang 
serius dapat mengikuti program sekolah di rumah. 
Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan 
guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah,
orang tua dan masyarakat.

f. Panti (griya) Rehabilitasi Autis
Anak autis yang kemampuannya sangat rendah,
gangguannya sangat parah dapat mengikuti program di 
panti(griya) rehabilitasi autistik. Program di panti 
rehabilitasi difokuskan pada pengembangan :
 Pengenalan diri
 Sensori motor dan persepsi
 Motorik kasar dan halus 
 Kemampuan berbahasa dan komunikasi
 Bina diri kemampuan sosial
 Kemampuan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan 
potensi
C . PELAKSANAAN INTERVENSI
1. Pendekatan anak autis
Anak autis dengan masalah perkembangan dan 
kemampuan berbeda, pendekatan penangan 
pendidikanyapun juga berbeda-beda. Dibawah ini di 
uraikan berbagai pendekatan dalam pendidikan anak 
autis sbb :
a. Discrete Trial Training(DTT)
Dalam pembelajarannya dipakai  stimulus respon 
atau dikenal dengan orper and conditioning.
Dalam prakteknya guru memberikan stimulus pada 
anak dan dinilai prilaku anak terhadap stimulus 
yang diberikan, setelah itu berikan respon. Apabila 
perilaku anak itu baik guru memberikan 
reinforcement/reward. Sebalikmya perilaku anak 
yang buruk dihilangkan melalui time out/hukuman.
b. Learning Experience And Alternative Program 
Prescshoolers And Parents (Leap)
memakai  stimulus respon sama dengan DTT
tetapi anak langsung berada dalam lingkungan

sosial (dengan teman-temannya). Anak autis belajar 
berperilaku melalui pengamatan perilaku orang 
lain.
c. Floor Time
Floor Time merupakan tehnik pembelajaran melalui 
kegiatan intervensi interaktif. Interaksi anak dalam 
hubungan dan pola keluarga merupakan kondisi 
penting dalam menstimulasi perkembangan dan 
pertumbuhan anak dari segi komunikasi, sosial dan 
perilaku anak.
d. Treatment And Education For Autistic Children 
And Related Comunication Handicaps (TEACCH)
TEACCH merupakan pembelajaran bagi anak autis 
dengan memperhatikan seluruh aspek layanan 
untuk pengembangan komunikasi anak. Pelayanan 
diprogramkan dari segi diagnosa, terapi. konsultasi,
kerjasama dan layanan lain yang dibutuhkan oleh
anak maupun orang tua.
2. Persayaratan pengajar bagi autis
Agar anak autis mendapatkan manfaat yang optimal 
dari proses belajarnya di sekolah maka pengajar yang 
dibutuhkan bagi anak autis yaitu  orang-orang yang :
a. memiliki kompetensi yang memadai untuk 
berhadapan dengan anak autis 
b. memiliki minat atau ketertarikan untuk terlibat 
dalam kehidupan anak autis, 
c. memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, 
d. memiliki  kecenderungan untuk selalu belajar 
sesuatu yang baru karena bidang autisme ini yaitu  
bidang baru yang selalu berkembang.
3. Langkah-langkah penatalaksanaan pendidikan anak 
artis di sekolah.
Biasanya sebelum sekolah anak-anak ini sudah 
mendapatkan penanganan dari berbagai ahli seperti : 
dokter syaraf, dokter specialis anak (Pediatri), 
Psikolog, Terapi wicara, Okupasi Terapi, Fisioterapi,
Orthopedagog (Guru khusus). dengan perkembangan 
dan perubahan sendiri sendiri, ada yang maju pesat tapi 
ada yang sebaliknya. 
Langkah-langkah penerimaan oleh sekolah : 
a. Tentukan jumlah anak autis yang akan diterima 
misal, dua anak dalam satu kelas dan lain-lain, atau 
untuk sekolah khusus akan menampung berapa 
anak autis dengan mempertimbangkan jumlah guru 
terlatihnya
b. Lakukan tes untuk melihat kemampuan serta 
menyaring anak
c. Wawancara orang tua untuk melihat pola pikirnya, 
apa tujuan memasukkan anak ke sekolah.
d. Buatlah kerangka kerja dan hasil observasi awal.
e. Susun bagaimana mengatur evaluasi anak dalam 
hal : siapa yang bertanggung jawab mengawasi, 
menerima complain, periode laporan perkembangan 
dan lain-lain.
f. Buatlah kesepakatan antara orang tua dan sekolah 
bahwa hasil yang dicapai yaitu  paling optimal.
4. Berbagai jenis terapi autisme 
a. Terapi Perilaku (ABA, LOVAAS, TEACCH,
Son-rise)
Anak autis seringkali merasa frustrasi. Teman￾temannya seringkali tidak memahami mereka, 
mereka merasa sulit mengekspresikan 
kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif 
terhadap suara, cahaya dan sentuhan
Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang 
terapis perilaku terlatih akan mencari latar belakang 
dari perilaku negatif ini  dan mencari solusinya 
dengan menyarankan  perubahan lingkungan 
dan rutin anak ini  untuk memperbaiki 
perilakunya.
Terapi perilaku (behavior theraphy) yaitu  terapi 
yang dilaksanakan untuk mendidik dan 
mengembangkan kemampuan perilaku anak yang 
terhambat dan untuk mengurangi perilaku-perilaku 
yang tidak wajar dan menggantikannya dengan 
perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. 
Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak 
autis yang belum patuh (belum bisa kontak mata 
dan duduk mandiri) karena program dasar/kunci 
terapi perilaku yaitu  melatih kepatuhan, dan 
kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak 
akan mengikuti terapi-terapi lainnya seperti terapi 
wicara, terapi okupasi, fisioterapi, karena tanpa 
kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah 
berhasil.
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia 
yaitu  Applied Behavioral Analysis (ABA) yang 
diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University 
of California Los Angeles (UCLA).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak 
pada pemberian reinforcement positif setiap kali 
anak berespons benar sesuai instruksi yang 
diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam 
terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif 
(salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali 
maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif 
yang ia sukai ini . Perlakuan ini diharapkan
meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons 
positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons 
negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi 
yang diberikan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat 
dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A (antecedent)
yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti 
dengan C (consequence). Antecedent (hal yang 
mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi 
yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. 
Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak 
autis kemudian memahami Behavior (perilaku) apa 
yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah 
instruksi ini  diberikan, dan perilaku ini  
diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak 
memperoleh Consequence/akibat (konsekuensi 
perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang 
menyenangkan.
Tujuan penanganan ini terutama yaitu  untuk 
meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak 
terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan 
hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, 
teratur dan konsisten pada usia dini.
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan 
yaitu  40 jam/minggu, tetapi keberhasilan terapi ini 
dipengaruhi beberapa faktor :
1). Berat ringannya derajat autisme, 
2). Usia anak saat pertama kali ditangani / terapi, 
3). Intensitas terapi, 
4). Metode terapi, 
5). IQ anak, 
6). Kemampuan berbahasa, 
7). Masalah perilaku, 
8). Peran serta orang tua dan lingkungan

Methoda lain dari terapi perilaku ini yaitu  terapi 
bermain Son rise. Son rise yaitu  program terapi 
berbasis rumah untuk anak-anak dengan yang 
mengalami gangguan komunikasi dan interaksi 
sosial. Program ini dapat membantu meningkatkan 
kontak mata, menerima keberadaan orang lain. Dan 
yang lebih penting, program ini, tidak memberikan 
punishment berupa kekerasan kepada anak. Proses 
ini dilakukan dengan harapan, anak mereka dapat 
”berubah” dan menjadi kondisi yang lebih baik.
Metode ini tidak bisa diterapkan/diimplementasikan 
pada semua kasus, terutama kasus autis yang masih 
berada pada tahap kurikulum awal.
Kemampuan perkembangan bermain, merupakan 
hal yang penting dalam program ini, selain juga 
kemampuan komunikasi dan sosialisasi. Program 
son rise, menyatakan bahwa, jika kita mengadakan 
pendekatan ke anak secara positif, dengan rasa 
cinta, akan membuat anak menjalin interaksi 
dengan kita, dibandingan bila kita mengedepankan 
sikap marah dll. 
Ide dasar teori ini yaitu  bahwa setiap anak 
termasuk autisme, lebih menyukai suasana belajar 
yang menyenangkan.
Banyak orang tua berusaha menerima keberadaan 
anak mereka yang terdiagnosa autis, son rise 
menekankan bahwa peran serta orang tua dapat 
memberikan support yang positif bagi 
perkembangan / kemajuan anak mereka.
Dengan program terapi yang lain seperti Metode 
DIR / floortime, memiliki kesamaaan dalam hal 
kebutuhan arti cinta dan ”penerimaaan”. Dengan 
asumsi bahwa anak-anak autis, memiliki rasa dan
mengerti tentang, keberadaan kita, bahasa tubuh, 
dan bahasa verbal lainnya. Son-rise dipakai  
sesuai dengan kondisi anaknya, anak diberi tujuan 
untuk mengikuti, (mengikuti anak sesuai dengan 
tugas yang diberikan) sedangkan floor-time murni 
bermain dengan tugas yang diberikan/bermain 
bebas saja. 
TEACCH (Treatment and Education of Austistic 
and Related Communication Handicapped 
Children and Adults). Kemampuan berbicara dan 
sosial seseorang menentukan tingkat perkembangan 
sosialnya, atau tingkat penguasaan kemampuan 
untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan 
masyarakat serta menentukan kemandirian dan 
kesiapan anak dalam mengikuti proses belajar di 
sekolah. Kekuatan dasar ini sangat menentukan 
kemampuan perilaku adaptif anak, yang dalam 
pengertian lebih sempit diartikan sebagai perilaku 
yang sesuai dengan kebiasaan yang dapat diterima 
secara sosial. Penekanan pada aspek sosial ini 
sangat penting mengingat manusia, termasuk anak 
autis yaitu  makhluk sosial dan memiliki  
kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial. Oleh 
karena itu perlu dikembangkan kemampuan 
psikososialnya dengan memakai  metode ini.
b. Terapi Wicara, Terapi wicara (speech therapy) 
merupakan suatu keharusan, karena anak autis 
memiliki  keterlambatan bicara dan kesulitan 
berbahasa.
Tujuannya yaitu  untuk melancarkan otot-otot 
mulut agar dapat berbicara lebih baik. Hampir 
semua anak dengan autisme memiliki  kesulitan 
dalam bicara dan berbahasa.

Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak 
pula individu autis yang non-verbal atau 
kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, 
namun mereka tidak mampu untuk memakai 
bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan 
orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan 
berbahasa akan sangat menolong.
c. Terapi okupasi, Terapi okupasi dilakukan untuk 
membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi 
dan keterampilan otot pada anak autis dengan kata 
lain untuk melatih motorik halus anak. Hampir 
semua anak autis memiliki  keterlambatan dalam 
perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku 
dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil 
dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang 
sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan 
lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat 
penting untuk melatih mempergunakan otot -otot 
halusnya dengan benar. Contohnya Floortime.
d. Terapi Fisik
Autisme yaitu  suatu gangguan perkembangan 
pervasif. Banyak diantara individu autistik 
memiliki  gangguan perkembangan dalam 
motorik kasarnya.
Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga 
jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya 
kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi 
sensoris akan sangat banyak menolong untuk 
menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki 
keseimbangan tubuhnya.

Hydroterapi, merupakan salah satu contoh terapi 
fisik yang dapat membantu anak autistik untuk 
melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak.
e. Terapi Bermain, untuk melatih mengajarkan anak 
melalui belajar sambil bermain. Meskipun 
terdengarnya aneh, seorang anak autis 
membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. 
Bermain dengan teman sebaya berguna untuk 
belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. 
Seorang terapis bermain bisa membantu anak 
dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
Terapi bermain ini bertujuan selain untuk 
bersosialisasi juag bertujuan untuk terapi perilaku, 
bermain sesuai aturan.
f. Terapi Medikamentosa, obat-obatan (drug 
therapy) untuk menenangkan melalui pemberian 
obat-obatan oleh dokter yang berwenang., untuk 
kebaikan dan kebugaran kondisi tubuh agar terlepas 
dari faktor-faktor yang merusak dari keracunan 
logam berat,efek elergi. Terapi biomedik 
dikembangkan oleh kelompok dokter yang 
tergabung dalam DAN! (Defeat Autismem Now).
Banyak dari para perintisnya memiliki  anak 
autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan 
menemukan bahwa gejala-gejala anak ini 
diperparah oleh adanya gangguan metabolisme 
yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. 
Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara 
intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan 
rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan 
dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari 
gangguan.

Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan 
bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu 
terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri 
(biomedis).
g. Terapi Melalui Makan(diet therapy), untuk 
mencegah atau mengurangi tingkat ganggguan 
autisme.
h. Terapi integrasi sensoris, untuk melatih kepekaan 
dan koodinasi daya indra anak autis.Terapi 
Integrasi Auditori, untuk melatih kepekaan 
pendengaran supaya lebih sempurna. Dapat 
memakai  snozellen.
i. Terapi Musik, untuk melatih audiotori 
anak,menekan emosi,melatih kontak mata dan 
konsentrasi.
j. Terapi Anggota Keluarga, memberi perhatian 
yang penuh. Bisa dengan memakai  konseling 
kognitif perilaku (KKP).
k. Terapi Sosial, Kekurangan yang paling mendasar 
bagi individu autisme yaitu  dalam bidang 
komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini 
membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan 
berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main 
bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial 
membantu dengan memberikan fasilitas pada 
mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya 
dan mengajari cara-caranya.
l. Terapi Perkembangan
RDI (Relationship Developmental Intervention) 
dianggap sebagai terapi perkembangan
Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan 
tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan 
kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. 
Terapi perkembangan berbeda dengan terapi 
perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan 
ketrampilan yang lebih spesifik.
m. Media Visual
Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat 
(visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang 
kemudian dipakai untuk mengembangkan metode 
belajar komunikasi melalui gambar-gambar, 
misalnya dengan metode PECS ( Picture Exchange 
Communication System). Beberapa video games 
bisa juga dipakai untuk mengembangkan 
ketrampilan komunikasi. Contoh lain memakai  
Computer picture.
Pemilihan terapi ini  diatas yang diberikan pada 
anak, tergantung dari kondisi kemampuan dan 
kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai dengan 
kebutuhan anak, namun terapi utama bagi anak yaitu  
terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupas

Sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum 
tingkat satuan pendidikan yang antara lain yaitu  : 
berpusat pada potensi anak, perkembangan, kebutuhan, dan 
kepentingan peserta didik dan lingkungannya, maka :
1. Kurikulum dikembangkan secara fleksibel sesuai 
dengan kebutuhan setiap individu anak autis 
Kurikulum harus disesuaikan dengan kemampuan anak 
masing-masing. Kurikulum di individualkan (IEP).
2. Pengembangan kurikulum beragam dan terpadu artinya 
memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, 
kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta 
menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan 
agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, 
ekonomi dan jender. 
3. Pengembangan kurikulum harus relevan dengan 
kebutuhan kehidupan, artinya pengembangan 
keterampilan pribadi, keterampilan berfikir, 
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan 
keterampilan vokasional merupakan keharusan untuk 
memenuhi kebutuhan kehidupannya.
4. Kurikulum untuk anak autis pada umumnya 
meliputi 5 bidang, yaitu bidang akademik, 
sensori motor, komunikasi, perilaku adaptif dan 
kurikulum vokasional.
1. Tujuan Umum
Tujuan dasar pendidikan anak autis yaitu  mandiri 
dalam memenuhi kebutuhannya sendiri/melakukan 
aktivitas mengurus diri sendiri.
2. Tujuan Khusus 
a. Mengembangkan perilaku yang adaptif
b. Mengembangkan kemampuan komunikasi baik 
secara verbal dan non verbal
c. Mengembangkan kemampuan sosialisasi
d. Mengembangkan bakat dan minat anak
C. TEMPAT PENDIDIKAN
Orangtua merupakan penanggung jawab utama pendidikan 
anaknya oleh karena itu orangtua anak autis harus berperan 
aktif terhadap pengembangan kemampuan anak. Sekolah 
menjadi agen untuk mendorong kemampuan anak dalam 
hal belajar akademik, komunikasi dan sosialisasi. 
Masyarakat juga harus berperan aktif mendorong dengan 
menciptakan lingkungan yang inklusif. Pelaksanaan 
pendidikan selain di rumah, dan di sekolah juga di
masyarakat.
D. PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
Prinsip-prinsip umum pembelajaran anak autis, meliputi :
a. Terstruktur
Materi pengajaran dimulai dari bahan ajar yang paling 
mudah dan yang dapat dilakukan oleh anak. Setelah 
kemampuan ini  dikuasai, kemudian  ditingkatkan 
ke bahan ajar yang setingkat diatasnya yang masih
merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari 
materi sebelumnya. Struktur pengajarannya meliputi; 
struktur waktu, struktur ruang, dan strutur kegiatan.
b. Terpola
Pada umumnya kegiatan anak autis terbentuk dari 
rutinitas yang terpola dan terjadwal, mulai dari bangun 
tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu, dalam 
pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan 
dengan pola yang teratur. Untuk anak autis yang 
kemampuan kognitifnya telah berkembang, dapat 
dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan 
dengan situasi dan kondisi lingkungannya, agar anak 
dapat menerima perubahan dari rutinitas yang sudah 
berlaku agar menjadi lebih fleksibel. Dengan demikian 
diharapkan anak autis akan menjadi lebih mudah 
menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri 
dengan lingkungannya (adaptif) dan dapat berperilaku 
secara wajar (sesuai dengan tujuan pembelajarannya).
c. Terprogram
Dalam program materi pendidikannya harus dilakukan 
secara bertahap dan berdasar  pada kemampuan 
anak, sehingga target program pertama akan menjadi 
dasar target program yang kedua, dan seterusnya. 
Prinsip dasar terprogram ini berguna untuk memberi 
arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan 
dalam melakukan evaluasi.
d. Konsisten
Konsisten artinya tetap dalam berbagai hal, ruang, dan 
waktu. Konsisten bagi guru berarti tetap dalam 
bersikap, merespon dan memperlakukan anak sesuai 
dengan karakter dan kemampuannya. Konsisten bagi 
anak artinya tetap dalam menguasai kemampuan sesuai 
dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu
yang berbeda. Peran orang tua dituntut konsisten dalam 
pendidikan bagi anaknya, yakni dengan bersikap dan 
memberikan perlakuan terhadap anak sesuai dengan 
program pendidikan yang telah disusun bersama 
dengan gurunya.
e. Kontinyu
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis bersifat 
kontinyu, artinya berkesinambungan antara prinsip 
dasar pengajaran, program pendidikan dan 
pelaksanaannya. Kontinyu dalam pelaksanaan 
pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus 
ditindak lanjuti di rumah dan lingkungan sekitar anak 
agar berkesinambungan, simultan dan integral 
(menyeluruh dan terpadu).
E IDENTIFIKASI
Anak autis yang akan dilakukan penanganan dan 
pendidikan harus dilakukan terlebih dahulu identifikasi. 
Identifikasi dapat dilakukan dengan memakai  alat 
identifikasi seperti : DSM IV, M-Chat, ICD 10
(terlampir).
F. ASSESMEN
Tujuan asesmen anak autis untuk mengetahui 
1. Kemampuan dan Ketidakmampuan/kesulitan yang 
dialami anak di bidang : (1) Kognitif, (2) Motorik 
kasar, (3) Motorik halus, (4) Bahasa dan komunikasi, 
(5) Interaksi sosial, (6) Kemampuan bina diri, (7) 
Penglihatan, (8) Pendengaraan, dan (9) otot-otot 
mulut.
2. Kebutuhan akademik dan non akademik 
3. Klasifikasi
4. Untuk menyusun IEP
5. Mendapatkan suatu keputusan tentang program 
intervensi apa yang diperlukan
Teknik yang dipakai  untuk mengases anak dapat 
melalui observasi, wawancara, dan tes.
Dalam melaksanakan asesmen diperlukan keterlibatan 
yang aktif dan kerjasama antara orang tua, guru, dokter 
ahli, psikolog, dan terapis wicara. Masing-masing 
mencari informasi tentang anak autis sesuai dengan 
keahlian dan batas kewenangannya agar terkumpul data 
yang lengkap dan akurat yang dapat dijadikan dasar 
pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan bersama 
tentang layanan pendidikan dan pembelajaran anak.
G. PROGRAM PEMBELAJARAN
Penyusunan program pembelajaran didasarkan atas hasil 
analisis asesmen, kemudian di selaraskan dengan 
kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, program 
pembelajaran harus mempertimbangkan kemampuan dan 
ketidak mampuan serta kebutuhan anak, sehingga 
pembelajaran akan manjadi fungsional. program 
pembelajaran Mencakup Program umum dan program 
yang diindividualkan.
Adapun komponen program pembelajaran minimal 
mencakup: kemampuan awal siswa, tujuan, materi pokok, 
strategi/metode, kegiatan pembelajaran/pelaksanaan, 
evaluasi. 
Gaya belajar anak autis
Ada beberapa gaya belajar yang dominan pada anak autis 
yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan 
pembelajaran. Beberapa gaya belajar yang dominan 
ini  menurut Susman (1999) antara lain yaitu  :

1. Rote Learner
Anak yang memakai  gaya belajar ini cenderung 
menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami 
arti simbol yang mereka hapalkan.
2. Gestal Learner
Anak cenderung belajar melihat sesuatu secara global. 
Anak menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa 
mengerti arti kata-per-kata yang ada  pada kalimat 
ini .
3. Visual Learner
Anak dengan gaya belajar visual senang melihat-lihat 
artikel  atau gambar atau menonton TV, pada umumnya 
lebih mudah mencerna informasi yang dapat mereka 
lihat dari pada yang hanya mereka dengar.
4. Hand on Learner
Anak yang belajar dengan gaya ini, senang mencoba￾coba dan biasanya mendapatkan pengetahuan melalui 
pengalamannya. Mulanya mungkin ia tidak tahu apa 
arti kata ”buka”, setelah tangannya diletakkan di 
pegangan pintu dan membantu tangannya membuka 
pintu sambil kita katakan ”buka”, ia segera tahu bahwa 
bila kita mengatakan ”buka” berarti ...ia kepintu dan 
membuka pintu itu.
5. Auditory Learner
Anak dengan gaya belajar ini senang bicara dan 
mendengarkan orang lain bicara. Anak mendapatkan 
informasi melalui pendengarannya.
6. Visual Thinking
Anak dengan gaya berfikir seperti ini lebih mudah 
memahami hal-hal yang konkrit (dapat dilihat dan 
dipegang) dari pada hal yang abstrak.
7. Processing Problems
Anak dengan gaya belajar ini sulit memahami 
informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi).

Mereka cenderung terbatas dalam memahami dan 
memakai  akal sehat/nalarnya.
8. Sensory Sensitivities
a. Sound sensitivity: takut berlebihan pada suara yang 
keras/bising, sehingga membuat mereka bingung, 
merasa cemas atau terganggu yang 
termanifestasikan dalam bentuk perilaku yang 
buruk.
b. Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap 
sentuhan ringan yang terwujud dalam bentuk 
masalah perilaku. Apabila anak terganggu dengan 
sentuhan kita, maka pelukan kita justru ia artikan 
sebagai hukuman yang menyakitkan.
9. Communications frustrations
Mereka dapat mengerti orang lain, bila orang lain 
bicara langsung pada mereka, seolah mereka tidak 
mendengar. Anak autis juga sulit mengungkapkan diri, 
oleh karena itu lalu berteriak atau berperilaku negative 
hanya sekedar untuk mendapatkan sesuatu yang 
diinginkan.
10. Social and Emotional Issues
Keterpakuan akan sesuatu yang membuat anak autis 
cenderung berfikir kaku. Akibatnya, anak autis sulit 
adaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di 
lingkungan sehari-hari.
H PELAKSANAAN PEMBELAJARAN 
Pelaksanaan pembelajaran terdiri dari 3 kegiatan, yaitu :
1. Kegiatan awal
2. Kegiatan inti
3. Kegiatan akhir. 
Kegiatan awal dapat dilakukan dengan appersepsi, yaitu 
mengaitkan antara pelajaran yang sudah diberikan dengan

yang akan diajarkan. Salah satu caranya dengan memberi 
pertanyaan pelajaran yang sudah diberikan. Kegiatan inti 
menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh guru dan 
kegiatan yang dilakukan oieh murid. Intinya yaitu  
menyampaikan materi agar mudah dipahami oleh siswa. 
Sedangkan kegiatan akhir dapat dilakukan dengan cara 
merangkum pelajaran yang telah diberikan bersama-sama 
dengan murid, diakhiri dengan pemberian tugas untuk 
dievaluasi. 
Masalah yang mempersulit pengajaran pada anak autis 
yaitu  motivasi yang rendah, macam imbalan yang 
terbatas, singkatnya perhatian, mudah terdistraksi, belajar 
lebih lambat, kesulitan mengerti konsep abstrak, kekurang 
mampuan belajar dari observasi, kekurang mampuan 
membedakan stimuli (rangsangan) yang relevan dan 
irrelevan, prilaku stimuli diri yang mengganggu, kesulitan 
belajar dalam kelompok besar, menyibukkan diri secara 
aneh/semaunya/tidak semestinya, gangguan sensori/motor. 
Akibatnya anak autis mengalami kesulitan dalam belajar,
baik akademik maupun non-akademik.
Dalam pendidikan dan pengajaran bagi anak autis, evaluasi 
dapat dilakukan dengan cara :
a. Evaluasi Proses
Dilakukan saat proses belajar berlangsung, dengan cara
meluruskan atau mengoreksi perilaku yang 
menyimpang dalam pembelajaran yang sedang 
berlangsung seketika itu juga. Dilakukan oleh 
pembimbing dengan cara memberi reward atau 
demonstrasi secara visual dan konkrit.
b. Evaluasi Hasil
Dilakukan setelah proses belajar selesai untuk 
mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang

telah dirumuskan, dan untuk melihat terjadinya 
perubahan perilaku pada siswa sebelum dan sesudah 
diberi perlakuan/freatmenf.
c. Evaluasi Bulanan
Dilakukan satu bulan sekali dengan mengadakan case 
conference, untuk mendiskusikan perkembangan dan 
masalah anak serta mencari solusi pemecahan 
masalahnya.
d. Evaluasi Caturwulan
Disebut juga evaluasi program sebagai tolok ukur 
program secara keseluruhan. Apabila program 
pendidikan dan pengajaran telah tercapai dan dikuasai 
anak, maka kelanjutannya ditingkatkan. Sebaliknya 
apabila program belum dikuasai anak, maka diadakan 
pengulangan (remedial) atau meninjau ulang apa yang 
memicu  ketidak berhasilan anak.
e. Kenaikan Kelas
Apabila anak telah dapat menyelesaikan tugas-tugas 
belajarnya yang telah ditetapkan dalam tujuan 
pembelajaran, maka anak dapat naik kelas.
Sebaliknya bila belum dapat, maka anak akan 
mengulang kembali. Laporan hasil evaluasi (raport) 
kemajuan siswa bersifat kualitatif, sehingga 
memberikan gambaran secara nyata, riel dan tidak akan 
mengaburkan.

Keluarga yang mendaftarkan anak yang menyandang autisme 
untuk di terapi atau di didik maka terlebih dahulu Tim dari 
YPAC akan menilai dengan tahapan :
- Tim menyerahkan ke dokter rehabilitasi medis
- Tim mengobservasi :
sejarah anak penyandang autis : sejak masa kehamilan, 
masa kelahiran dan setelah lahir (gangguan sakit, dll)
- Saat anak diobservasi orang tua harus mendampingi anak
- Test psikologi apakah anak sudah bisa bicara atau belum, 
jika belum, dan test lain yang cocok untuk diberikan, 
sehingga terungkap perilaku anak.
Setelah anak diketahui apakah anak ini  penyandang 
autis, hyper aktif, atau lainnya.
- Jika nak pernah diterapi di tempat lain mintalah hasil terapi 
dari tempat lain yang pernah menangani anak ini  
yaitu sejarah medis apakah anak autis/hyperaktif.
- Kemudian dilakukan terapi di bulan I – III : dilakukan 
observasi apakah sudah ada kemajuan
Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu  
- Terapi dini dapat diberikan disekolah, tak perlu harus
menunggu anak selesai 
program terapinya baru diberikan pendidikan sekolah
karena anak akan lama menunggu hingga bisa masuk 
sekolah. Intinya terapi dan pendidikan keduanya berjalan 
beriringan.
- Sistem kontrak hendaknya tidak diberikan batas waktu 
(setahun, dll) tetapi selama si anak membutuhkan bantuan.

Penempatan anak dipertimbangkan berdasar  hasil 
seleksi dan evaluasi.
- Perlu adanya ruang sumber untuk mendukung 
keberlangsungan studi si anak (jika anak bermasalah dalam 
studi bisa langsung dibantu = ruang time-out?).
- Seleksi dan evaluasi awal untuk menentukan jenis kelas 
indivisual atau klasikal.
- Menentukan metode terapi sesui dengan hasil identifikasi 
dan assessment.
- Alat evaluasi perlu modifikasi dengan pertimbangan alat, 
waktu, cara, isi/bobot materi dan bentuk.
A. Seleksi dan Evaluasi
Pendidikan dan terapi dilaksanakan secara beriringan. 
Anak yang menempuh pendidikan dengan belajar 
akademik tetap harus diberikan terapi
Untuk memasukkan anak autism ke YPAC syarat yang 
harus dijalankan oleh orangtua yaitu  mau berperan aktif
dalam penanganan anak. Kesanggupan orangtua ini bisa 
dituangkan dalam kontrak atau pernyataan/pejanjian 
orangtua. Sistem kontrak tidak perlu menetapkan jangka 
waktu tetapi selama anak masih membutuhkan pendidikan.
Pada prinsipnya jumlah anak autis yang akan masuk tidak 
dibatasi, namun demikian YPAC harus mempertim￾bangkan faktor-faktor seperti : Ketersediaan SDM, sarana 
dan prasarana dll.
Seleksi dan evaluasi awal
Dalam melakukan pendidikan dan penaganan anak autis di 
sekolah terlebih dahulu anak harus dilakukan seleksi dan 
evaluasi tentang kemampuan akademi, ketrampilan sosial 
dan tingkah lakunya, kemampuan berkomunikasi,

Dengan parameter diatas kita akan mampu mengiden￾tifikasi anak-anak dengan lebih akurat, bukan menitik 
beratkan pada berat dan ringan kondisi anak, akan tetapi 
untuk memudahkan pihak-pihak yang bersangkutan dan 
orang tua agar mengerti apa yang harus dilakukan, guru 
mampu membuat program dengan akurat untuk anak, 
lembaga dapat menyeleksi anak sesuai kapasitas dan 
kebutuhan. Anak-anak autis ringan seperti: asperger, 
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), ADD
(Attention Deficit Disorder), memungkinkan untuk di￾intergrasikan penuh dengan anak bukan penyandang autis
karena biasanya anak- anak ini memiliki kecerdasan dan 
kemampuan yang cukup.
Hal penting yang harus diperhatikan agar terlaksananya 
proses belajar dan mengajar untuk mengintegrasikan anak 
autism ini ada hal-hal lain yang dapat dijadikan 
pertimbangan : 
 Seberapa besar gangguan/kekacauan yang dapat timbul 
karena anak autis ini.
 Berapa persentase dari kurikulum yang dapat 
dipakai  dan dijangkau oleh anak autis.
 Seberapa siap tenaga ahli/guru menangani dan 
mengelola kelas yang di dalamnya ada  anak 
autism.
Penempatan Anak : 
Setelah dilakukan seleksi dan evaluasi maka langkah 
kemudian  yaitu  penempatan anak yaitu 
1. menentukan jenis kelas apakah kelas individual atau 
kelas klasikal
2. menentukan metode yang tepat sesuai dengan hasil 
identifikasi dan assessment
3. evaluasi alat evaluasi perlu dimodifikasi : menyangkut 
alat, waktu, cara, isi/bobot materi dan bentuk.
Kelas klasikal yaitu  kelas dengan beberapa anak autis 
dalam satu kelas dengan layanan yang seragam, sedangkan 
kelas individual yaitu  layanan untuk satu orang anak autis 
yang dirancang/spesifik khusus untuk dia sendiri.
Tingkatan manifestasi gangguan autisme sangat lebar, 
antara yang berat hingga yang ringan. Di satu sisi ada  
individu yang memiliki semua gejala dan di sisi lain yaitu 
individu yang memiliki sedikit gejala. Perbedaan 
manifestasi gangguan-gangguan ini  menjadikan setiap 
individu sangat unik. Mengingat tidak ada dua individu 
autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu 
sebabnya, sangat ditekankan, agar orang tua dan guru tidak 
memberikan layanan pendidikan yang seragam atau 
klasikal bagi sekelompok anak.
C. Program Pendidikan Individual
Dalam pendalaman pembuatan program pendidikan untuk
anak secara individual sebaiknya ditekankan pada apa yang 
bisa dilakukan dan disukai maka perlu dilakukan 
mengenal potensi kemampuan anak yaitu :
1. Kenali minat dan bakat anak.

2. Lakukan evaluasi lewat tes bakat dan minat oleh 
psikolog atau lewat tes fingerprint. Namun tes 
fingerprint tidak dianjurkan untuk anak berkebutuhan 
khusus karena ada beberapa kemampuan anak yang 
tidak optimal,
3. Pertimbangkan untuk mengikuti pendidikan vokasional 
yang berfokus dalam pengembangan potensi dan 
kemampuan yang dimiliki. Dalam pendidikan 
vokasional, orangtua dan anak perlu memilih apakah 
masih akan tetap meneruskan pendidikan formal atau 
tidak. Pada beberapa kasus, ada anak yang memiliki 
nilai bagus dalam pendidikan formal, maka dia boleh￾boleh saja meneruskan pendidikan formal. Tapi jika 
anak memang terlihat kesulitan mengikuti pendidikan 
formal, maka sebaiknya anak diberikan pendidikan 
Vokasional sepenuhnya.
"Vokasi secara harfiah berarti kerja. Pendidikan vokasional 
yaitu  pendidikan yang berhubungan dengan kerja. 
Konsep vokasional berbasis dari bakat, minat dan 
kemampuan anak yang diarahkan sejak dini. Pendidikan 
vokasional yaitu  pendidikan yang ideal untuk anak 
berkebutuhan khusus, terutama anak autis," Pendidikkan 
vokasional sebaiknya diberikan sejak anak berusia 10 
tahun setelah anak-anak autis selesai menjalani berbagai 
macam terapi untuk meningkatkan kemampuan emosi, 
komunikasi dan interaksinya. Apabila terapi yang 
diberikan belum selesai atau tidak berjalan baik, 
biasanya anak masih sulit untuk mengembangkan 
potensinya agar 
dapat mengikuti pendidikan vokasional.
Ada berbagai macam pendidikan vokasional yang bisa 
diberikan, mulai dari tingkat rendah seperti mengaduk￾aduk roti, membersihkan, hingga ketrampilan kerajinan

tangan, ketrampilan salon, bermusik dan desain grafis. 
Pilihan ini tentu disesuaikan dengan kemampuan anak.
Sayangnya, pendidikan vokasional yang ada saat ini lebih 
berfokus pada jenjang SMK dan Diploma. Untuk anak￾anak usia 10 tahun ke atas dan SMP, pendidikan 
vokasional baru bisa diperoleh lewat kursus.
Anak-anak diajarkan keterampilan praktis. Keterampilan 
yang diajarkan disesuaikan dengan keinginan dan tingkat 
kemudahan aktivitas menurut anak. Keterampilan 
individual ini seringkali lebih cepat dipelajari karena anak 
sangat termotivasi. 
D. Metode Belajar yang tepat bagi Anak
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan 
dengan 
a. usia anak 
b. kemampuan 
c. hambatan yang dimiliki anak saat belajar,
d. gaya belajar atau learning style masing-masing anak 
autis. 
Metode yang dipakai  biasanya bersifat kombinasi 
beberapa metode. 
a. Stimulus visual. Banyak anak autis yang berespon 
sangat baik terhadap stimulus visual sehingga metode 
belajar ini banyak dipakai  terutama bagi mereka 
baik respon visualnya. Mereka memiliki  
kemampuan luar biasa untuk 
Mengingat dan menggambarkan benda-benda secara 
detail.
b. Pembelajaran yang memakai  alat bantu sebagai 
media pengajarannya menjadi pilihan. Alat Bantu dapat 
berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll.

Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis 
didampingi oleh seorang terapis yang berfungsi sebagai 
guru pembimbing khusus, atau adanya shadow teacher/ 
guru bayangan.
E. Materi Pelajaran
Rancangan materi pelajaran yaitu  :
a. Konsentrasikan pada keterampilan untuk menolong diri 
sendiri seperti berpakaian, latihan buang air, serta 
berbagi dengan anak-anak lain. 
b. Latihan motorik halus membantu anak autis SD 
meningkatkan keterampilan koordinasi mata dan 
tangan serta sejumlah keterampilan akademik dini. 
Penyandang autis anak SD memiliki  kesulitan 
bicara. Terapi wicara mengajarkan anak-anak SD 
bagaimana cara berkomunikasi. 
Dinilai pemahaman, penggunaan bahasa, perkataan 
reseptif dan perkataan ekspresif, serta kejelasan bicara. 
Juga membantu anak-anak yang memiliki  kesulitan 
makan. Sejak berusia 1 tahun, dapat dimulai pengajaran 
untuk menjaga agar lidahnya tetap di dalam mulut 
dengan komunikasi verbal atau pun dengan sentuhan. 
Setelah itu berilah pujian. Dengan cara-cara ini, 
biasanya anak sudah berhenti memcucurkan air liur 
pada waktu mereka berusia 4 tahun. 
c. Diperhatikan kemampuan kognitif dini seperti 
mencocokkan dan memilah bentuk dan warna.
Keterampilan akademik dini pada akhirnya mendasari 
keterampilan membaca, menulis, dan mengerjakan 
bilangan.

Hal penting yang perlu diperhatikan seorang guru anak 
autis
1) Jangan memberi tugas pada anak autis beberapa tugas 
dalam waktu yang sama (multi tasking) pada anak 
karena mereka cenderung kaku untuk tugas yang 
berurtan.
2) Jangan memberi tugas memanjat atau memakai  
api pada anak autism karena 40% anak autis 
mengalami epilepsi. Akan sangat berbahaya jika timbul 
serangan kejang sewaktu tugas memanjat atau 
memakai  api.
3) Dengan merangsang inderanya, memungkinkan anak 
autis dapat berkomunikasi, salah satunya dengan 
mengajarinya mengetik.
4) Jangan selalu mengikuti kemauan anak agar dia tidak 
marah. Hal ini akan membuat anak menjadi semakin 
menuntut sebab keinginan anak akan semakin 
meningkat. Sebaiknya jelaskan kepada anak mengapa 
terkadang keinginannya tidak boleh dipenuhi.
5) Jangan tidak menepati janji tanpa penjelasan 
sebelumnya
Anak autis sangat tergantung pada rutinitas yang 
terstruktur. Jadi guru harus menjelaskan mengapa tidak 
bisa menepati janji. Jika sering melanggar janji tanpa 
alasan yang jelas sebelumnya, anak autis bisa menjadi 
tantrum atau rewel dan tak lagi percaya pada gurunya
6) Jangan berkonsentrasi pada hal yang tidak bisa 
dilakukan anak, tapi focuslah pada kemampuan yang 
bisa dia lakukan, karena itu salah satu kunci dalam 
mengembangkan kemampuan anak autis secara 
optimal.
World Health Organization’s International 
Classification of Diseases (ICD-10) mendefinisikan autisme 
khususnya childhood autisme sebagai adanya keabnormalan 
dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 
tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga 
bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang 
diulang-ulang (World Health Organozation, h. 253, 1992). 
Dalam dekade terakhir, jumlah anak yang mengalami Autism 
Spectrum Disorder (ASD) semakin meningkat pesat. Dengan 
semakin berkembangnya metode diagnosis, semakin banyak 
ditemukan anak penyandang ASD.
Anak Autis yaitu  di negara kita  yaitu  bagian integral 
dari anak negara kita  secara khusus, bangsa negara kita  secara 
umum yang berhak mengenyam pendidikan sesuai dengan 
Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 yang menekankan bahwa 
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa 
terkecuali. Pendidikan dan terapi yang tepat bagi anak autis 
akan mendorong anak autis mampu tumbuh dan belajar sesuai 
dengan kemampuan dan keadaan mereka. Selain itu suksesnya 
penanganan pendidikan anak autis sangat tergantung dari tiga 
pilar utama yaitu diagnosa akurat, pendidikan tepat dan 
dukungan yang kuat.
Masalahnya, sekolah insklusi untuk gangguan prilaku 
seperti halnya autisme masih sulit ditemukan. Masih banyak 
guru dan orang tua yang belum mengenali gejala autisme pada 
anak. Hal lain yang memperberat penaganan autisme ini yaitu  
pandangan negatif masyarakat terhadap penyandang autisme


masih kuat, terutama di luar Jakarta. Anak autisme sering 
dianggap sebagai anak kelainan jiwa. Bahkan, banyak orangtua 
yang malu dan menyembunyikan anaknya. Ketidaksiapan 
orangtua menerima kondisi anak apa adanya itu terjadi pada 
semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang 
berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Hal ini akan 
memperberat penanganan penyandang autis mencapai 
kemandiriannya. 
YPAC sebagai organisasi yang bergerak di bidang 
pendidikan anak yang berkebutuhan khusus, seyogianya 
memiliki  guru dan fasilitas yang dapat diandalkan dalam 
mendidik anak autis ini serta merupakan tempat sumber ilmu 
dan ketrampilan bagi guru-guru di sekolah regular/umum dan 
para orang tua anak didiknya. Program pendidikan benar￾benar mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus yang 
tidak bisa mengikuti kehidupan normalnya. Disamping itu, 
pendidikan juga memiliki evaluasi dalam waktu tertentu untuk 
melihat kemajuan anak. Dengan demikian pedoman 
penanganan dan pendidikan autisme di YPAC mutlak 
dibutuhkan.





Related Posts:

  • idiot 2 arah ke perilaku alamiah, di mana anak didorong untuk terlibat dalam latihan atau kegiatan bermain terstruktur dengan target spesifik. Dari penelitian ini, didapatkan hasil b… Read More